Analisis Hormon Kortisol dan Penerapan Aspek Kesejahteraan Hewan pada Sapi yang Dipingsankan dan Tidak Dipingsankan Sebelum Penyembelihan

ANALISIS HORMON KORTISOL DAN PENERAPAN ASPEK
KESEJAHTERAAN HEWAN PADA SAPI YANG
DIPINGSANKAN DAN TIDAK DIPINGSANKAN SEBELUM
PENYEMBELIHAN

ANIS TRISNA FITRIANTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Hormon Kortisol
dan Penerapan Aspek Kesejahteraan Hewan pada Sapi yang Dipingsankan dan
Tidak Dipingsankan Sebelum Penyembelihan adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Anis Trisna Fitrianti
NIM B251120101

RINGKASAN
ANIS TRISNA FITRIANTI. Analisis Hormon Kortisol dan Penerapan Aspek
Kesejahteraan Hewan pada Sapi yang Dipingsankan dan Tidak Dipingsankan
Sebelum Penyembelihan. Dibimbing oleh TRIOSO PURNAWARMAN dan
HADRI LATIF.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran dan membandingkan
respon stres pada sapi melalui pengukuran konsentrasi hormon kortisol dalam
serum darah sapi yang disembelih di rumah potong hewan (RPH) dengan metode
pemingsanan dan tanpa pemingsanan. Tujuan lainnya yaitu untuk mengetahui
pengaruh perlakuan prapenyembelihan terhadap konsentrasi hormon kortisol.
Penelitian ini menggunakan 50 ekor sapi potong Brahman Cross (BX) jantan
yang telah dikastrasi (steer) yang dibagi menjadi dua kelompok, 25 ekor sapi yang
disembelih dengan metode pemingsanan menggunakan captive bold stun gun
nonpenetratif dan 25 ekor sapi yang disembelih tanpa pemingsanan dengan

pengekangan menggunakan restraining box Mark IV. Penilaian perlakuan
prapenyembelihan dilakukan dengan menggunakan checklist. Pengukuran
konsentrasi hormon kortisol di dalam serum darah sapi dilakukan dengan metode
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).
Hasil pengujian ELISA pada penelitian ini menunjukkan rata-rata
konsentrasi hormon kortisol pada penyembelihan dengan pemingsanan sebesar
38.06+14.85 ng/ml sedangkan rata-rata konsentrasi hormon kortisol pada
penyembelihan tanpa pemingsanan sebesar 34.00+15.30 ng/ml. Tidak terdapat
perbedaan konsentrasi hormon kortisol secara nyata pada sampel yang berasal dari
metode penyembelihan dengan dan tanpa pemingsanan. Penilaian terhadap
perlakuan prapenyembelihan menunjukkan bahwa konsentrasi hormon kortisol
secara signifikan lebih rendah pada sapi dengan perlakuan yang baik (26.48+8.81
ng/ml) dibandingkan dengan perlakuan yang sedang (48.57+11.86 ng/ml) dan
yang buruk (55.22+6.25 ng/ml). Respon stres pada sapi tidak dipengaruhi oleh
metode penyembelihan dengan atau tanpa pemingsanan, namun lebih dipengaruhi
oleh penanganan sapi sebelum disembelih (perlakuan prapenyembelihan).
Kata kunci:
pemingsanan

ELISA,


kortisol,

pemingsanan,

prapenyembelihan,

tanpa

SUMMARY
ANIS TRISNA FITRIANTI. Analysis of Cortisol Hormone and Implementation
of Animal Welfare Aspects in Cattle which were Slaughtered With and Without
Stunning. Supervised by TRIOSO PURNAWARMAN and HADRI LATIF.

The study was conducted to compare the response of stress in cattle through
measuring serum cortisol hormone concentration which were slaughtered at the
abattoirs with and without stunning. The other purpose was to know the influence
of preslaughter treatment toward concentration of cortisol hormone. Fifty steers
Brahman Cross (BX) were divided into two groups, 25 head of cattle using
nonpenetrative captive bold stun gun and 25 head of cattle without stunning using

restraining box Mark IV. Preslaughter treatment assessment was conducted using
checklist. Measurement of the cortisol hormone concentration in the cattle serum
by enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).
The results showed that the average concentration of the cortisol hormone at
slaughter with stunning and without stunning were 38.06+14.85 ng/ml and
34.00+15.30 ng/ml, respectively. There was no difference significantly in cortisol
levels derived from the method of slaughter with and without stunning.
Assessment toward preslaughter treatment showed that the cortisol hormone
concentration was significantly lower in the steer which was handled with good
treatment (26.48+8.81 ng/ml) than middle treatment (48.57+11.86 ng/ml) and bad
treatment (55.22+6.25 ng/ml). The response of stress in cattle was not influenced
by the method of slaughter with and without stunning, but more influenced by the
handling of cattle before slaughter (preslaughter).
Keywords: cortisol, ELISA, preslaughter, stunning, without stunning

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS HORMON KORTISOL DAN PENERAPAN ASPEK
KESEJAHTERAAN HEWAN PADA SAPI YANG
DIPINGSANKAN DAN TIDAK DIPINGSANKAN SEBELUM
PENYEMBELIHAN

ANIS TRISNA FITRIANTI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi Ujian Tesis: Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, M Si

Judul Tesis : Analisis Hormon Kortisol dan Penerapan Aspek Kesejahteraan
Hewan pada Sapi yang Dipingsankan dan Tidak Dipingsankan
Sebelum Penyembelihan
Nama
: Anis Trisna Fitrianti
NIM
: B251120101

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Drh Trioso Purnawarman, M Si
Ketua

Dr med vet Drh Hadri Latif, M Si

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, M Si

Dr Ir Dahrul Syah, M Sc Agr

Tanggal Ujian:

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan baik dalam
segi materi, tata bahasa maupun dalam memberikan deskripsi. Selama pengerjaan
tesis ini, penulis mendapatkan banyak saran dan masukan yang membangun dari
berbagai pihak dalam penyempurnaan tulisan.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dirjen
Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian beserta seluruh
jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh
pendidikan magister di IPB. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan
kepada Bapak Dr Drh Trioso Purnawarman, M Si dan Bapak Dr med vet Drh
Hadri Latif, M Si selaku komisi pembimbing atas segala waktu yang diberikan
selama pembimbingan, saran, dan arahan dalam pelaksanaan serta penulisan tesis.
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr med vet Drh
Denny Widaya Lukman, M Si selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat
Veteriner (KMV) dan seluruh staf pengajar di Program Studi KMV.
Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para Kepala RPH
beserta jajarannya dan Laboratorium unit rehabilitasi reproduksi (URR) FKH IPB
dimana penulis melakukan penelitian atas kesempatan dan bantuan yang diberikan
kepada penulis selama melakukan penelitian. Terima kasih kepada Bapak
Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pasca Panen beserta seluruh staf
yang telah memberikan dukungan selama penulis menempuh studi. Terima kasih

kepada Drh Andriyanto, M Si atas bantuannya selama ini. Kepada seluruh rekanrekan seperjuangan KMV 2012, rekan-rekan seangkatan tugas belajar dari Ditjen
PKH, rekan satu tim penelitian serta mahasiswa mayor KMV dan mayor lainnya
yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terimakasih banyak atas bantuan,
kebersamaan, dan kekompakannya selama ini.
Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu dan Bapak
tercinta, keluarga besar H. Sutrisno dan Hadi Tanaya atas iringan doanya. Terima
kasih untuk suami tercinta Harsana dan ananda Nayla Khoirunisa atas segala
dukungan, doa, pengertian, kesabaran, dan kasih sayangnya.
Atas segala kebaikan yang telah penulis terima, semoga Allah SWT
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Semoga bantuan,
dukungan, dorongan, dan perhatian dari semua pihak yang telah diberikan dengan
tulus kepada penulis mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT. Semoga
tesis ini bermanfaat dan dapat memberikan informasi yang berguna bagi semua
pihak. Aamiin Yaa Rabbal

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN


vi
vi
vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
2
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Aspek Kesejahteraan Hewan pada Penanganan Prapenyembelihan

Penyembelihan Hewan
Pemingsanan Sebelum Penyembelihan dengan Captive Bold Stun Gun
Nonpenetratif
Penyembelihan
Tanpa
Pemingsanan
dengan
Pengekangan
Menggunakan Restraining Box Mark IV
Pengaruh Stres terhadap Hormon Kortisol
Metode Pengujian Konsentrasi Hormon Kortisol

3
3
5

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Alat dan Bahan Penelitian
Metode Pengambilan Sampel dan Besaran Sampel
Pengambilan Serum Darah Sapi
Pengujian Konsentrasi Hormon Kortisol dengan ELISA
Penilaian Perlakuan Prapenyembelihan
Analisis Data

5
7
9
10
11
11
11
11
12
133
13
13

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian Konsentrasi Hormon Kortisol dengan ELISA
Konsentrasi Hormon Kortisol dalam Serum Darah Sapi yang
Dipingsankan dan Tidak Dipingsankan Sebelum Penyembelihan
Penilaian Penerapan Aspek Kesejahteraan Hewan pada Perlakuan
Prapenyembelihan
Perbedaan Konsentrasi Kortisol dengan Perlakuan Prapenyembelihan

14
14

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

21
21
21

DAFTAR PUSTAKA

22

RIWAYAT HIDUP

32

15
16
19

DAFTAR TABEL
1
2

Konsentrasi hormon kortisol dalam serum darah sapi pada
penyembelihan dengan dan tanpa pemingsanan ...................................... 15
Perbedaan konsentrasi hormon kortisol dengan perlakuan
prapenyembelihan................................................................................... 20

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Captive bold stun gun nonpenetratif. Gambar a yaitu percussive stun
gun (mushroom cash magnum) dan Gambar b pneumatic stun gun ........... 6
Posisi terbaik untuk memingsankan sapi dengan captive bold stun
gun nonpenetratif ...................................................................................... 7
Restraining box tipe Mark IV ................................................................... 8
Tipikal kurva standar kit ELISA untuk pengujian hormon kortisol.......... 14
Hasil penilaian penerapan aspek kesejahteraan hewan pada
perlakuan prapenyembelihan di RPH dengan pemingsanan (DP) dan
tanpa pemingsanan (TP) ......................................................................... 17

DAFTAR LAMPIRAN
1

2
3

Hasil pengujian sampel serum darah sapi dari RPH dengan metode
pemingsanan (DP) dan tanpa pemingsanan (TP) sebelum
penyembelihan ....................................................................................... 27
Hasil penilaian penerapan kesejahteraan hewan di RPH pada tahapan
prapenyembelihan................................................................................... 29
Pengujian konsentrasi hormon kortisol pada serum darah sapi
dengan metode ELISA............................................................................ 31

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Aspek kesejahteraan hewan (animal welfare) telah menjadi ketentuan yang
harus diperhatikan dan diterapkan dalam memproduksi pangan asal hewan di
seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan
Kesejahteraan Hewan, penerapan prinsip kebebasan hewan pada pemotongan
harus dilakukan dengan cara tidak menyakiti, tidak mengakibatkan ketakutan dan
stres pada saat penanganan hewan sebelum dipotong (Kementan 2012).
Pada bulan Juni tahun 2011, ekspor sapi dari Australia ke Indonesia sempat
dihentikan sementara akibat ditemukan adanya tindakan penyiksaan terhadap sapi
asal Australia sebelum disembelih di beberapa rumah potong hewan (RPH) di
Indonesia. Penanganan hewan tanpa memperhatikan aspek kesejahteraan hewan di
RPH tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan
Hewan Dunia atau Office International des Epizooties (OIE) dan bertentangan
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Penerapan aspek kesejahteraan hewan di RPH yang merupakan bagian dari
penanganan hewan sebelum dipotong dapat memengaruhi kehalalan dan kualitas
daging. Penanganan hewan sebelum dipotong memberikan kontribusi terhadap
kualitas daging yang dihasilkan di RPH (Colditz et al. 2006; Chulayo et al. 2012).
Tingkat stres yang lebih tinggi sebelum penyembelihan dapat mengakibatkan
penurunan kualitas daging (Lawrie dan Ledward 2006; Gupta et al. 2007;
Muchenje et al. 2008). Selain stres, faktor yang dapat memengaruhi kualitas
daging antara lain genotip, transportasi, waktu di kandang penampungan, dan
kondisi lingkungan (Küchenmeister et al. 2005). Penanganan hewan yang tepat
sebelum pemotongan dapat meningkatkan produktivitas, kualitas, dan
profitabilitas daging (Smith dan Grandin 1998).
Seiring dengan perkembangan teknologi, pada saat ini telah banyak
berkembang peralatan dan metode baru untuk penyembelihan hewan dalam
rangka pemenuhan aspek kesejahteraan hewan. Rumah potong hewan di
Indonesia telah banyak yang memanfaatkan peralatan dan metode tersebut dalam
melakukan penyembelihan sapi. Salah satu metode yang umum dilakukan yaitu
metode pemingsanan (stunning) sebelum penyembelihan. Pemingsanan pada sapi
di Indonesia dilakukan dengan menggunakan captive bold stun gun nonpenetratif.
Penyembelihan sapi dengan pemingsanan banyak menimbulkan keraguan di
masyarakat terutama terkait dengan masalah kehalalan. Oleh karena itu, metode
penyembelihan tanpa pemingsanan masih banyak dilakukan di RPH. Metode
penyembelihan sapi tanpa pemingsanan dapat dilakukan dengan metode
konvensional yaitu merebahkan sapi dengan pengekangan menggunakan tali dan
penyembelihan dilakukan di lantai. Metode lainnya ialah dengan pengekangan
sapi dengan berbagai tipe restraining box seperti Mark I dan Mark IV. Menurut
Jones (2011), pengekangan/restraint yang baik ialah yang mampu meminimalisasi
dampak stres baik intensitas maupun periodenya sesuai dengan standar OIE.
Dibandingkan dengan metode konvensional dan restraining box Mark I,

2
penggunaan restraining box Mark IV dinilai lebih tepat dan sesuai dengan
ketentuan kesejahteraan hewan yang dipersyaratkan oleh OIE (Schipp 2011).
Berbagai metode yang digunakan tersebut bertujuan untuk meminimalisasi stres
pada sapi dan memudahkan dalam proses penyembelihan. Adzitey (2011)
menyebutkan bahwa penanganan hewan yang baik sebelum penyembelihan
dilakukan dalam upaya untuk memberikan kenyamanan pada hewan, keselamatan
pekerja RPH, dan menjaga kualitas daging.
Peningkatan konsentrasi hormon kortisol merupakan salah satu indikator
yang mengindikasikan terjadinya stres pada hewan (Fazio dan Ferlazzo 2003;
Bayazit 2009; Adhiarta dan Soetedjo 2009). Menurut Borell (2001), transportasi
dan perlakuan sebelum pemotongan dapat menyebabkan tekanan pada hewan dan
dapat menimbulkan efek yang mengganggu pada kesehatan dan kesejahteraan
hewan. Pengukuran konsentrasi hormon kortisol merupakan metode yang paling
umum digunakan untuk mengevaluasi penanganan hewan yang mengakibatkan
stres (Grandin 1994; Kannan et al. 2003; Odore et al. 2004; Micera et al. 2007).
Munculnya berbagai metode penyembelihan sapi baik dengan maupun tanpa
pemingsanan memerlukan kajian ilmiah yang dapat memberikan gambaran
tentang metode penyembelihan yang lebih efektif untuk meminimalisasi stres
pada sapi dan dapat memberikan ketentraman batin pada masyarakat dengan
menjamin penyembelihan secara halal.

Perumusan Masalah
Penerapan aspek kesejahteraan hewan di RPH akan memengaruhi kehalalan
dan kualitas daging. Metode penyembelihan sapi baik dengan atau tanpa
pemingsanan dilakukan dengan tujuan untuk meminimalisasi stres pada sapi.
Metode penyembelihan sapi dengan pemingsanan dianggap sebagai cara
penyembelihan yang sesuai dengan kesejahteraan hewan dan efektif digunakan di
RPH yang jumlah pemotongannya banyak. Namun, metode pemingsanan ini
banyak menimbulkan keraguan di masyarakat terkait dengan masalah kehalalan.
Hal ini karena hasil pemingsanan sapi tidak selalu sesuai dengan yang
dipersyaratkan. Adakalanya pemingsanan menyebabkan terjadinya kerusakan
berat atau permanen pada otak sapi. Sementara itu, penggunaan metode
penyembelihan tanpa pemingsanan diduga tidak dapat meminimalisasi stres pada
sapi. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan pengukuran konsentrasi
hormon kortisol untuk mengetahui respon atau tingkat stres pada sapi yang
disembelih dengan metode penyembelihan dengan dan tanpa pemingsanan dengan
variasi perlakuan prapenyembelihan.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran dan membandingkan
respon stres pada sapi melalui pengukuran konsentrasi hormon kortisol dalam
serum darah sapi yang disembelih dengan metode pemingsanan menggunakan
captive bold stun gun dan penyembelihan tanpa pemingsanan dengan
pengekangan menggunakan restraining box Mark IV. Tujuan lainnya yaitu untuk

3
mengetahui pengaruh perlakuan prapenyembelihan terhadap konsentrasi hormon
kortisol.

Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah
mengenai metode penyembelihan di RPH yang dapat meminimalisasi tingkat stres
pada sapi.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilakukan selama delapan bulan yaitu pada bulan Januari sampai
dengan Agustus 2014. Lingkup kegiatan dalam penelitian ini meliputi observasi
atau pengamatan terkait penerapan aspek kesejahteraan hewan di RPH pada
tahapan perlakuan prapenyembelihan dengan menggunakan checklist kemudian
memberikan penilaian berdasarkan hasil pengamatan tersebut, menguji kadar
hormon kortisol dari sampel serum darah sapi yang telah diperoleh,
membandingkan hasil uji hormon kortisol untuk mengetahui tingkat stres pada
sapi yang disembelih dengan dan tanpa pemingsanan, dan membandingkan hasil
penilaian perlakuan prapenyembelihan dengan hasil uji hormon kortisol.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Aspek Kesejahteraan Hewan di RPH pada Penanganan Prapenyembelihan
Rumah potong hewan (RPH) merupakan unit pelayanan masyarakat dalam
penyediaan daging yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Selain itu RPH
juga berfungsi sebagai sarana untuk melaksanakan pemotongan hewan secara
benar yaitu sesuai dengan persyaratan kesehatan masyarakat veteriner,
kesejahteraan hewan, dan syariah agama. Kesejahteraan hewan (animal welfare)
adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan
menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk
melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan
yang dimanfaatkan manusia (Kementan 2009).
Menurut Dallas (2006) dan Webster (2003), kesejahteraan hewan dapat
diukur dengan indikator yang dirumuskan sebagai prinsip lima kebebasan (Five of
Freedom) yang dicetuskan oleh Inggris sejak tahun 1992. Prinsip lima kebebasan
yang dimaksud adalah bebas dari rasa haus dan lapar (freedom from hunger and
thirst), bebas dari rasa tidak nyaman atau penyiksaan fisik (freedom from
discomfort), bebas dari rasa sakit, cedera, dan penyakit (freedom from pain,
injury, and disease), bebas untuk mengekspesikan perilaku alamiah (freedom to
express normal behaviour), dan bebas dari ketakutan dan rasa tertekan atau
freedom from fear and distress. Kelima kebebasan saling berkait dan akan
berpengaruh pada semua faktor apabila salah satu tidak terpenuhi atau terganggu.

4
Penerapan aspek kesejahteraan hewan di RPH terdiri atas beberapa tahapan
salah satunya adalah tahapan prapenyembelihan. Menurut Kilgour (1978) dan
Adzitey (2011), penanganan hewan sebelum penyembelihan merupakan prosedur
yang harus ditekankan dalam proses pemotongan hewan di RPH. Beberapa
penanganan prapenyembelihan yang perlu diperhatikan di antaranya adalah
pergerakan sapi selama di gangway yaitu sejak dari kandang penampungan
menuju ke restraining box, penanganan selama di restraining box sebelum sapi
dipingsankan atau disembelih, dan kenyamanan serta tekanan pada sapi selama
berada di restraining box. Semua orang yang terlibat dalam penanganan hewan
potong memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa hewan tersebut
diperlakukan dengan baik dan tidak dalam keadaan stres. Kompetensi serta
kemampuan juru sembelih dan pekerja kandang untuk menangani sapi secara
efektif dianggap sebagai faktor-faktor yang dapat memengaruhi kesejahteraan
hewan, keselamatan pekerja, dan kualitas produk akhir (MLA 2012).
Terkait dengan pergerakan sapi selama di gangway salah satu aspek penting
yang perlu diperhatikan yaitu disain gangway. Bergerak dalam jalur tunggal
adalah perilaku alami pada sapi (Grandin 1996). Sapi akan bergerak satu persatu
melalui jalur tunggal dalam sistem pengendalian hewan model konveyor yang
dirancang dengan baik. Jalur sapi atau gangway yaitu jalur yang dibuat agar sapi
berbaris satu-persatu dan harus didisain lurus atau melengkung secara konsisten
(MLA 2012). Kesalahan disain pada jalur sapi atau gangway dapat menyebabkan
sapi stres. Salah satu kesalahan disain yang paling serius adalah membuat jalur
sapi atau gangway yang bersudut tajam sehingga terkesan buntu. Sapi akan
bergerak lebih mudah melalui jalur melengkung dibandingkan dengan jalur lurus
(Grandin 1993).
Menurut MLA (2012), faktor-faktor lingkungan yang dapat memengaruhi
pemindahan hewan termasuk pergerakan sapi selama di gangway yaitu pantulan
dari genangan air atau logam, benturan logam, suara bernada tinggi, udara yang
bertiup di wajah sapi, pakaian atau kain yang tergantung di jalur ternak, pekerja
yang bergerak ke dalam jalur hewan, mencoba untuk memindahkan hewan dari
tempat terang ke tempat gelap, jalan buntu, lantai yang tidak rata, dan perubahan
pada permukaan lantai.
Prosedur untuk memindahkan hewan tidak boleh terdapat perlakuan yang
dapat menyiksa hewan, termasuk didalamnya mencambuk, memelintir ekor,
penggunaan penjepit hidung (nose twitches), tekanan pada mata, telinga atau alat
kelamin eksternal. Perlakuan lain yang dapat menyebabkan hewan stres yaitu
penggunaan galah atau alat bantu lain yang menyebabkan rasa sakit dan tersiksa
seperti tongkat besar, tongkat dengan ujung yang tajam, pipa besi panjang, kawat
pagar atau sabuk kulit yang berat (OIE 2013).
Penanganan selama di restraining box sebelum sapi dipingsankan atau
disembelih merupakan tahapan prapenyembelihan yang harus diperhatikan karena
sapi dapat mengalami stres. Restraining box merupakan seperangkat peralatan
untuk pengekangan sapi secara efektif sebelum pemingsanan dan penyembelihan
sapi. Metode pengekangan untuk mengendalikan hewan dengan mencederai,
seperti mematahkan kaki, memotong tendon kaki atau merusak sumsum tulang
belakang dengan menggunakan belati dapat menyebabkan sakit dan stres yang
parah. Oleh karena itu perlakuan-perlakuan tersebut sama sekali tidak boleh
diterapkan. Gerakan tersentak atau mendadak harus dihindari ketika menerapkan

5
pengekangan karena tekanan yang berlebihan dapat menyebabkan sapi berontak
atau vokalisasi/melenguh (OIE 2013).

Penyembelihan Hewan
Penyembelihan hewan adalah kegiatan mematikan hewan hingga tercapai
kematian sempurna dengan cara menyembelih yang mengacu kepada kaidah
kesejahteraan hewan dan syariah agama Islam (Kementan 2010). Penyembelihan
hewan dapat dilakukan dengan metode pemingsanan (stunning) dan tanpa
pemingsanan (nonstunning). Menurut OIE (2013), metode penyembelihan dengan
pemingsanan dapat dilakukan dengan metode mekanis, elektrik, dan gas. Metode
penyembelihan dengan pemingsanan secara mekanis dilakukan dengan
menggunakan captive bolt stun gun, secara elektrik dengan menggunakan aliran
listrik yang dialirkan melalui alat penjepit di kepala atau tubuh hewan, dan
menggunakan gas CO2 dengan kadar dan waktu tertentu (EFSA 2006). Metode
penyembelihan tanpa pemingsanan dilakukan secara langsung dengan memutus
pembuluh darah, trakea, dan esofagus tanpa didahului dengan proses
pemingsanan. Berbagai metode penyembelihan yang digunakan tersebut harus
memperhatikan aspek kesejahteraan hewan.
Pemingsanan terhadap hewan yang akan disembelih dilakukan dengan
tujuan untuk mempermudah penyembelihan dan menghindari hewan stres saat
disembelih. Terkait dengan sistem jaminan halal di RPH, syarat pemingsanan
menurut LPPOM MUI (2012) yaitu pemingsanan hanya menyebabkan hewan
pingsan sementara, tidak menyebabkan hewan mati sebelum disembelih, tidak
menyebabkan cedera permanen atau merusak organ hewan yang dipingsankan
khususnya sistem saraf pusat, dan tidak menyebabkan hewan kesakitan.
Pemerintah telah mengatur bahwa dalam hal pemotongan hewan dengan
menggunakan pemingsanan dilarang menggunakan cara yang mengakibatkan
hewan menderita, stres, dan/atau mati (Kementan 2012). Pemingsanan sebelum
penyembelihan dapat menimbulkan stres jika terjadi ketidaktepatan dalam
melakukan pemingsanan, seperti alat pemingsan tidak berfungsi dengan baik
dan/atau operator pemingsan (stunner) yang kurang terlatih (Adzitey 2011).

Pemingsanan Sebelum Penyembelihan dengan Captive Bold Stun Gun
Nonpenetratif
Pemingsanan dengan menggunakan captive bold stun gun merupakan salah
satu metode pemingsanan sebelum penyembelihan sapi secara mekanis yang
paling banyak digunakan. Metode captive bold stunning digunakan dengan tujuan
untuk meminimalisasi stres pada hewan sebelum disembelih dan untuk
mempermudah penyembelihan, sehingga dengan metode ini penyembelihan
hewan dalam jumlah besar dapat dilakukan dengan efisien.
Proses pemingsanan dengan menggunakan captive bold stun gun dapat
dilakukan dengan dua metode yaitu metode penetratif dan nonpenetratif. Metode
captive bold stunning nonpenetratif dilakukan dengan memberikan pukulan tanpa
penetrasi melalui kepala stun gun yang digunakan (Anil 2012). Metode

6
pemingsanan mekanis yang disetujui di Indonesia adalah captive bold stunning
nonpenetratif, dapat menggunakan pneumatic stun gun maupun percussive stun
gun (mushroom head), serta hanya boleh digunakan pada hewan berukuran besar
seperti sapi, kerbau, dan banteng (LPPOM MUI 2012). Gambar 1 menampilkan
stun gun yang digunakan di Indonesia pada pemingsanan sapi sebelum
penyembelihan.

a
b
Gambar 1 Captive bold stun gun nonpenetratif. Gambar a yaitu percussive stun
gun (mushroom cash magnum) dan Gambar b adalah pneumatic stun
gun.
Metode pemingsanan dapat diterima pada penyembelihan halal jika
pemingsanan bersifat reversibel. Otoritas muslim menerima penggunaan captive
bold stun gun nonpenetratif karena dianggap bahwa hewan akan menjadi pulih
kembali (reversibel) jika dipingsankan dengan teknik ini. Namun, cedera pada
kepala hewan yang disebabkan oleh pemingsanan nonpenetratif ini dapat parah
yaitu adanya fraktur pada tengkorak yang menyebabkan perdarahan subarachnoid
pada otak (AMPC 2011). Menurut Pleiter (2010) ketika dilakukan dengan
prosedur yang benar, penggunaan captive bold stun gun nonpenetratif akan
menyebabkan ketidaksadaran sama cepat dengan captive bold stun gun penetratif.
Apabila parameter kejut yang dilakukan benar, maka kerusakan pada jaringan
otak tidak terjadi dan dianggap reversibel. Selanjutnya segera dilakukan
penyembelihan dan tidak boleh ditunda lebih lama dari 20 detik.
Suatu pemingsanan yang efektif bergantung antara lain pada pukulan yang
diberikan pada lokasi yang tepat di tulang dahi. Dampak maksimal pada otak
dapat diperoleh pada posisi yang terbaik yaitu pada titik otak paling dekat dengan
permukaan kepala dan titik tulang tengkorak paling tipis. Lokasi yang paling
mendekati hal tersebut adalah pada daerah frontal kepala (HSA 2013). Posisi
pemukulan yang ideal yaitu pada titik silang di antara garis penglihatan pada dasar
tanduk dan mata (Gregory 1998). Menurut HSA (2013), pada pemingsanan
dengan menggunakan captive bold stun gun nonpenetratif maka stun gun
diposisikan sekitar 20 mm atau 2 cm di atas titik persimpangan dua garis imajiner
yang ditarik antara mata dan pusat dasar tanduk yang berlawanan sebagaimana
ditunjukkan pada Gambar 2.
Prosedur pemingsanan dengan metode captive bold stunning nonpenetratif
dimulai dengan memindahkan sapi ke dalam restraining box, sapi dipingsankan
dalam posisi tegak. Operator pemingsanan harus siap memingsankan sapi segera
setelah sapi dipindahkan ke dalam restraining box. Bagian kepala sapi ditahan dan

7
sapi harus segera dipingsankan setelah kepalanya terkekang. Stun gun
ditempatkan di posisi yang benar yaitu diposisikan dari sudut kanan kepala sapi.
Operator tidak boleh mengejar kepala sapi dengan stun gun. Stun gun hanya boleh
digunakan jika sapi menaikkan kepalanya. Setelah stun gun digunakan, operator
harus memastikan bahwa sapi telah pingsan sebelum dikeluarkan dari restraining
box. Selanjutnya segera dilakukan penyembelihan. Operator RPH harus mengatur
interval antara pemingsanan dan penyembelihan (stun stick interval) agar sapi
tidak kembali sadar. Waktu antara pemingsanan dan penyembelihan ketika
captive bold stun gun nonpenetratif digunakan adalah maksimal 20 detik (OIE
2013).

Gambar 2

Posisi terbaik untuk memingsankan sapi dengan captive bold stun
gun nonpenetratif

Penyembelihan Tanpa Pemingsanan dengan Pengekangan Menggunakan
Restraining Box Mark IV
Salah satu peralatan yang saat ini banyak digunakan untuk membantu proses
penyembelihan sapi tanpa pemingsanan adalah restraining box. Penyembelihan
tanpa pemingsanan dapat dilakukan baik di restraining box yang tegak yaitu tipe
Mark I atau dalam restraining box yang menahan sapi pada posisi berbaring pada
salah satu sisinya yaitu tipe Mark IV. Restraining box adalah sebuah alat fiksasi
pada proses pemotongan sapi di RPH yang berfungsi mengendalikan sapi sesaat
sebelum penyembelihan. Penggunaan restraining box diharapkan dapat menekan
tingkat stres pada sapi sebelum disembelih, baik akibat pengaruh lingkungan di
RPH maupun faktor-faktor lainnya, seperti pengangkutan dan penampungan
sementara yang padat (MLA 2007). Menurut Grandin (1991), restraining box
adalah alat yang digunakan untuk mengendalikan sapi sebelum disembelih agar
tingkat stres sapi dapat dikurangi. Prinsip dasar penggunaan restraining box ialah
menghindarkan sapi dari rasa takut akibat pengaruh lingkungan area
penyembelihan. Metode ini efektif untuk menurunkan tingkat stres, terutama
untuk sapi yang memiliki agresifitas yang tinggi. Keuntungan lain dari
penggunaan restraining box yaitu dapat memudahkan dalam merebahkan sapi
tanpa perlakuan kasar.

8
Restraining box yang dipakai di beberapa RPH di Indonesia menurut
Wicaksono (2010) merupakan disain yang dikembangkan oleh Meat and
Livestock Australia (MLA) pada tahun 2003 melalui Asosiasi Pengusaha
Feedloter Indonesia (APFINDO). Peralatan ini digunakan untuk membantu
merebahkan sapi ketika akan disembelih dengan proses kerja tertentu. Menurut
MLA (2007), tujuan dari penggunaan restraining box adalah untuk mempercepat
proses penyembelihan di RPH, mempermudah pelaksanaan penyembelihan secara
halal, meningkatkan kualitas daging yang dihasilkan dari RPH, dan mewujudkan
penerapan kesejahteraan hewan pada proses penyembelihan sapi di RPH.
Metode penyembelihan tanpa pemingsanan yang disarankan saat ini yaitu
dengan pengekangan menggunakan restraining box Mark IV. Metode ini
dikembangkan untuk memfasilitasi penyembelihan dengan lebih meminimalisasi
stres jika dipergunakan dengan tepat. Restraining box Mark IV adalah boks atau
kotak untuk membatasi gerakan sapi saat akan disembelih yang dimodifikasi
dengan bentuk miring, dilengkapi dengan kerangka seperti gunting penjepit untuk
menahan hewan sebelum dan pada saat perputaran berlangsung. Ketika boks
sudah berputar seluruhnya maka sapi berada pada kemiringan 90 derajat dari sisi
vertikal (Jones 2011). Menurut DAFF (2013), penggunaan restraining box Mark
IV untuk penyembelihan sapi dianggap paling sesuai dengan persyaratan OIE
karena dapat meminimalisasi tingkat stres. Pengekangan dengan boks ini
bertujuan agar penyembelihan dapat dilakukan dengan cepat tanpa menyebabkan
stres yang tidak semestinya pada sapi. Gambar 3 menampilkan restraining box
Mark IV yang digunakan di Indonesia.

Gambar 3 Restraining box tipe Mark IV
Prosedur penyembelihan menggunakan restraining box Mark IV menurut
MLA (2012) yaitu pengekangan harus dilakukan segera setelah sapi berada dalam
posisinya. Sapi tidak dibiarkan menunggu di perangkat boks. Apabila sapi jatuh di
dalam boks maka diberikan waktu berdiri kembali sebelum berusaha mencoba
mengekangnya lagi. Setelah sapi berada dalam posisi yang tepat segera diterapkan

9
penahan samping. Selanjutnya palang penahan diposisikan antara bahu dan
pinggul sapi sehingga sapi berada dalam posisi yang benar untuk dilakukan
perebahan dan penyembelihan. Penekanan dilakukan dengan tekanan yang cukup
untuk menahan hewan secara efektif. Sebelum mekanisme perebahan diaktifkan
dipastikan bahwa para pekerja lainnya tidak didalam pandangan visual langsung
dari sapi karena hal ini dapat menyebabkan sapi memberontak. Juru sembelih
halal harus dalam keadaan siap untuk menyembelih segera setelah sapi terkekang
secara efektif.

Pengaruh Stres terhadap Hormon Kortisol
Stres merupakan suatu kondisi pada hewan sebagai akibat dari satu atau
lebih sumber stres (stresor) baik dari dalam tubuh hewan itu sendiri ataupun
pengaruh dari luar. Transportasi dan perlakuan sebelum pemotongan dapat
menyebabkan tekanan pada hewan dan dapat menimbulkan efek yang
mengganggu kesehatan dan kesejahteraan hewan (Borell 2001). Peningkatan
konsentrasi hormon kortisol setelah transportasi dapat disebabkan oleh faktor
genetik, kecepatan untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan, dan kualitas
serta kuantitas dari stresor (Ladewig 1994).
Tingkat stres dapat dilihat dari beberapa parameter, di antaranya dengan
perubahan tingkah laku, perubahan rasio neutrofil:limfosit, serta perubahan kadar
hormon kortisol dan hormon tiroid dalam darah. Peningkatan hormon kortisol
mengindikasikan terjadinya stres, sedangkan penurunan hormon kortisol
menyebabkan terjadinya lemah badan, muntah, hipoglikemia, dan diare (Adhiarta
dan Soetedjo 2009).
Kortisol atau glukokortikoid merupakan hormon steroid yang dihasilkan
oleh kelenjar adrenal. Respon neuroendokrin terhadap stres terjadi ketika impuls
saraf simpatik dari hipotalamus menstimulir medula adrenal. Kelenjar adrenal
segera melepaskan katekolamin (epinefrin atau adrenalin dan norepinefrin atau
noradrenalin) ke dalam aliran darah. Selanjutnya, hipotalamus menstimulir
hipofise anterior untuk melepaskan adrenocorticotropic hormone (ACTH). Peran
ACTH terhadap korteks adrenal menyebabkan pelepasan kortisol dan
glukokortikoid lainnya. Hormon kortisol ini membantu peningkatan suplai energi
terutama ketika dalam keadaan bahaya (Ackerman 1996).
Menurut Guyton dan Hall (2007), kondisi stres menyebabkan peningkatan
sekresi ACTH dari kelenjar hipofise anterior yang diikuti dengan peningkatan
sekresi hormon adenokortikal seperti kortisol dari korteks adrenal. Hormon ini
berperan dalam menstimulasi glukoneogenesis di hati, membantu hormon
glukagon dan epinefrin dalam proses glikogenolisis, menghambat uptake glukosa,
dan sintesis protein serta menjadi antiinflamasi. Tingginya kadar kortisol dalam
darah dapat menyebabkan penyerapan glukosa tidak maksimal, kelemahan otot
dan tulang karena glikogen dalam otot dirombak menjadi glukosa dan asam laktat,
ketidakseimbangan nitrogen karena perubahan asam amino menjadi glukosa pada
proses glukoneogenesis di hati, dan meningkatkan eksresi air (Cunningham dan
Klein 2007). Kortisol adalah glukokortikoid yang utama untuk manusia, satwa
primata, dan kebanyakan mamalia. Kortisol merupakan hormon yang penting bagi
tubuh yang disekresi oleh kelenjar adrenal dan mempunyai beberapa fungsi di

10
antaranya berperan dalam metabolisme glukosa, regulasi tekanan darah,
melepaskan insulin untuk mempertahankan gula darah, sebagai sistem imun, dan
respon apabila terjadi peradangan (Scott 2014).
Kadar kortisol pada hewan dengan kondisi normal diatur dan dibatasi oleh
sistem feedback negatif pada hipotalamus. Akan tetapi, ketika hewan mengalami
stres sistem feedback tidak terjadi. Corticotropic releasing factor (CRF) atau
corticotropic relasing hormon (CRH) adalah hormon utama yang mengatur
respon hewan terhadap stres. Semua bentuk stres, baik karena fisik, kimia, suhu,
mikroba dan faktor lainnya menimbulkan efek mendalam yang menstimulasi
hipotalamus mensekresikan CRH. Sekresi CRH yang diinduksi oleh stres dapat
meningkatkan kadar kortisol sampai 20 kali lipat. Hal ini menandakan bahwa
peningkatan CRH dan kortisol dapat mengesampingkan feedback negatif basal
pada hipotalamus dan kelenjar pituitari sepenuhnya serta mengacaukan ritme
diurnal dan nokturnal dalam pengaturan kadar kortisol (Martin dan Crump 2003).
Pengukuran konsentrasi hormon kortisol merupakan metode yang paling
umum digunakan untuk mengevaluasi penanganan hewan yang mengakibatkan
stres (Grandin 1994; Kannan et al. 2003; Odore et al. 2004; Micera et al. 2007).
Hewan yang menunjukkan perilaku yang agresif umumnya memiliki tingkat
kortisol yang lebih tinggi dibandingkan dengan hewan yang tenang (Grandin
1994; Grandin 2000). Konsentrasi hormon kortisol akan mencapai puncaknya
pada 15-20 menit setelah hewan mengalami stres dan akan kembali pada
konsentrasi basal satu jam setelah hewan diistirahatkan (Veissier dan Le Neindre
1988; Lay et al. 1998). Proverbio et al. (2013) melaporkan bahwa konsentrasi
normal plasma kortisol pada sapi yang sehat adalah 6.74-56.30

11
radioaktif, label yang stabil sehingga dapat disimpan lebih lama, dan deteksi
aktivitas enzim hanya memerlukan alat fotometri (Entwistle dan Ridd 1995).
Metode ELISA dibagi menjadi dua teknik yaitu teknik kompetitif dan
nonkompetitif. Pemeriksaan hormon umumnya menggunakan teknik kompetitif.
Teknologi ELISA yang digunakan untuk pengujian hormon dalam cairan tubuh
adalah sistem competitive enzyme immuno assay yang analog dengan teknik RIA.
Uji kompetitif ini berdasarkan pada ikatan spesifik hormon dengan protein
(spesifik antibodi). Keseimbangan uji dibentuk antara jumlah hormon yang tidak
dilabel dan yang berlabel dengan ikatan protein yang komplek. Proporsi hormon
yang dilabel dengan yang tidak dilabel dalam mengikat antibodi, bergantung pada
jumlah hormon yang tidak dilabel yang ada dalam pengujian tersebut. Jumlah dari
ikatan tersebut menurun seiring dengan meningkatnya jumlah hormon yang tidak
dilabel (Squires 2003).

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Agustus 2014.
Observasi perlakuan prapenyembelihan dan pengambilan sampel darah sapi
dilakukan di lima RPH di wilayah Provinsi Jawa Barat dan Banten. Pengujian
konsentrasi hormon kortisol dalam serum darah sapi dilakukan di Laboratorium
Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR), Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor (FKH IPB).

Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan untuk pengambilan serum darah sapi ialah tabung
reaksi dan penutupnya, rak, label, pinsil, pipet, tabung eppendorf, sentrifus
refrigerator, dan freezer. Alat yang digunakan untuk pengujian ELISA di
antaranya ialah mikropipet 20-200 µl dan 200-1000 µl, ELISA reader (Bio-Rad
550), dan kertas penyerap. Alat yang digunakan untuk observasi penerapan aspek
kesejahteraan hewan di RPH adalah checklist.
Bahan yang digunakan ialah serum darah sapi dan untuk pengujian ELISA
digunakan kit ELISA untuk hormon kortisol (DRG®, Instruments GmbH,
Germany).

Metode Pengambilan Sampel dan Besaran Sampel
Sampel darah diambil dari sapi Brahman Cross (BX) jantan yang telah
dikastrasi (steer) yang disembelih di RPH dengan metode pemingsanan
menggunakan captive bold stun gun nonpenetratif dan di RPH tanpa pemingsanan
dengan pengekangan menggunakan restraining box Mark IV. Besaran sampel
dihitung dengan menggunakan rumus besaran sampel untuk penelitian analitis

12
numerik tidak berpasangan (Dahlan 2010). Rumus yang digunakan dalam
menentukan jumlah sampel ialah:

Keterangan:
n
=
=
Za
=
Zb
S
=
X1 - X2 =

ukuran sampel
derivat baku alfa = 1.64 (a=0.05)
derivat baku beta = 0.85 (b=0.20)
simpangan baku
selisih minimal rerata yang dianggap bermakna

Nilai simpangan baku yang digunakan yaitu sebesar 38 ng/ml dengan rerata
X1 sebesar 24 ng/ml dan X2 sebesar 51 ng/ml berdasarkan hasil penelitian
konsentrasi hormon kortisol dalam serum darah sapi yang dilakukan oleh Ewbank
et al. (1992). Jumlah sampel yang diperoleh berdasarkan perhitungan tersebut
yaitu sebanyak 25 sampel untuk masing-masing metode. Sampel darah sapi yang
disembelih dengan metode pemingsanan diambil secara acak (random sampling)
dari tiga RPH yang melakukan pemingsanan dengan captive bold stun gun
nonpenetratif yaitu dengan percussive captive bold stun gun (mushroom cash
magnum). Sementara itu, sampel darah sapi yang disembelih tanpa pemingsanan
diambil secara acak dari dua RPH yang melakukan metode penyembelihan
dengan pengekangan menggunakan restraining box Mark IV. Besaran sampel tiap
RPH dihitung menurut alokasi proporsional (proportional allocation) dari ratarata jumlah sapi yang disembelih per hari.
Pada penelitian ini juga dilakukan observasi penerapan aspek kesejahteraan
hewan di RPH dengan menggunakan checklist. Penilaian dilakukan pada tahapan
prapenyembelihan yaitu meliputi pergerakan sapi selama di gangway yaitu sejak
dari kandang penampungan menuju ke restraining box, penanganan selama di
restraining box sebelum sapi dipingsankan atau disembelih, dan kenyamanan
serta tekanan pada sapi selama berada di restraining box.

Pengambilan Serum Darah Sapi
Darah yang memancar dari arteri carotis communis ketika penyembelihan
ditampung menggunakan tabung reaksi sebanyak 5 ml per ekor sapi. Darah di
dalam tabung reaksi lalu didiamkan pada suhu kamar (20

13
Pengujian Konsentrasi Hormon Kortisol dengan ELISA
Pengukuran konsentrasi hormon kortisol dalam sampel serum darah sapi
dilakukan dengan metode ELISA kompetitif berdasarkan prosedur pemeriksaan
dalam kit ELISA untuk hormon kortisol (DRG®, Instruments GmbH, Germany)
dan sampel diuji secara duplo.
Sampel serum beku yang akan dianalisis kadar kortisolnya dipindahkan ke
dalam heat cabinet dengan suhu 37 °C selama 15 menit untuk proses thawing atau
pencairan. Sebanyak 20

14
prapenyembelihan dianalisis menggunakan one way ANOVA dilanjutkan dengan
uji Duncan. Analisis dilakukan dengan perangkat Microsoft Excel dan SPSS 20.0.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian Konsentrasi Hormon Kortisol dengan ELISA
Seluruh sampel serum darah sapi dari penyembelihan di RPH dengan
metode pemingsanan menggunakan captive bold stun gun dan tanpa pemingsanan
dengan pengekangan menggunakan restraining box Mark IV diuji secara duplo
dengan metode ELISA. Metode pengujian kadar hormon dengan ELISA
merupakan metode uji hormon yang sensitif, akurat, relatif murah, dan mudah
pengerjaannya (Mahgoub et al. 2006). ELISA yang digunakan adalah ELISA
kompetitif, yaitu pengujian berdasarkan pada pengikatan spesifik hormon dengan
protein (spesifik antibodi) (Squires 2003).
Hasil pengujian ELISA untuk konsentrasi hormon kortisol dilakukan
dengan mengalkulasikan hasil uji sampel dengan kurva standar uji ELISA. Tipikal
kurva standar pengujian hormon kortisol menggunakan metode ELISA dapat
dilihat pada Gambar 4. Limit deteksi uji ELISA yang digunakan untuk mendeteksi
hormon kortisol pada penelitian ini ialah 11.5 ng/ml. Limit deteksi merupakan
tingkat konsentrasi terendah yang dapat dideteksi dari suatu substansi.

Gambar 4 Tipikal kurva standar kit ELISA untuk pengujian hormon kortisol
Pengukuran konsentrasi hormon kortisol dalam serum darah hewan
merupakan metode yang baik untuk mengevaluasi tingkat stres yang dialami
hewan secara akut seperti akibat penanganan dan pengekangan (Siegel dan Gross
2000). Penelitian Veissier dan Le Neindre (1988) dan Lay et al. (1998)
melaporkan bahwa konsentrasi hormon kortisol akan mencapai puncaknya pada
15-20 menit setelah hewan mengalami stres dan akan kembali pada konsentrasi
basal satu jam setelah hewan diistirahatkan.

15
Konsentrasi Hormon Kortisol dalam Serum Darah Sapi yang Dipingsankan
dan Tidak Dipingsankan Sebelum Penyembelihan
Rata-rata konsentrasi hormon kortisol dalam serum darah sapi yang
disembelih dengan terlebih dahulu dilakukan pemingsanan menggunakan captive
bold stun gun ialah sebesar 38.06±14.85 ng/ml. Konsentrasi hormon kortisol pada
penyembelihan tanpa pemingsanan dengan pengekangan menggunakan
restraining box Mark IV menunjukkan nilai rata-rata sebesar 34.00±15.30 ng/ml.
Secara lengkap, konsentrasi hormon kortisol dalam serum darah sapi pada
penyembelihan dengan dan tanpa pemingsanan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1

Konsentrasi hormon kortisol dalam serum darah sapi pada
penyembelihan dengan dan tanpa pemingsanan
Konsentrasi hormon kortisol (ng/ml)
Metode penyembelihan
n
Rata-rata Minimum Maksimum +sd
Dengan pemingsanan
25
38.06a
13.46
61.96
14.85
(captive bold stun gun)
Tanpa pemingsanan
25
34.00a
11.90
66.49
15.30
(restraining box Mark IV)

Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata
(p0.05) pada sampel yang berasal dari metode penyembelihan dengan
pemingsanan menggunakan captive bold stun gun dan tanpa pemingsanan dengan
pengekangan menggunakan restraining box Mark IV. Meskipun rata-rata
konsentrasi hormon kortisol dari sampel dengan metode captive bold stunning
menunjukkan rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan sampel dari metode
restraining box Mark IV.
Rata-rata konsentrasi hormon kortisol sapi yang disembelih dengan
pemingsanan menggunakan captive bold stun gun maupun pada penyembelihan
tanpa pemingsanan dengan pengekangan menggunakan restraining box Mark IV
menunjukkan nilai yang cukup tinggi. Tingginya konsentrasi hormon kortisol
menunjukkan bahwa sapi mengalami stres sebelum disembelih. Hasil yang
diperoleh dari penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian
Mounier et al. (2006) yaitu rata-rata konsentrasi hormon kortisol dalam serum
darah sapi pada saat penyembelihan sebesar 21 ng/ml. Peningkatan konsentrasi
hormon kortisol terkait dengan adanya stres saat di kandang penampungan atau
saat penanganan hewan sebelum penyembelihan (Mounier et al. 2006). Penelitian
Ewbank et al. (1992) melaporkan bahwa konsentrasi hormon kortisol dalam darah
sapi yang dipingsankan tanpa pengekangan di kepalanya adalah sebesar 67.6
nmol/l atau 24 ng/ml. Konsentrasi kortisol dalam darah akan meningkat ketika
hewan mengalami stres psikologis (Grandin 2000). Peningkatan konsentrasi
hormon kortisol menjadi indikator stres yang sering digunakan dalam penilaian
aspek kesejahteraan hewan pada saat transportasi dan penanganan hewan sebelum
disembelih (Shaw dan Tume 1992).

16
Data konsentrasi hormon kortisol yang diperoleh dalam penelitian ini sangat
bervariasi di antara individu sapi pada masing-masing metode penyembelihan.
Selisih dari nilai minimum dan maksimum data konsentrasi hormon kortisol
sangat tinggi dengan standar deviasi yang tinggi (Tabel 1). Tingginya standar
deviasi dalam penelitian ini menunjukkan adanya tingkat stres yang berbeda pada
setiap individu sapi. Faktor yang diduga berpengaruh dalam hal ini adalah respon
setiap individu yang berbeda terhadap stresor. Setiap individu sapi memiliki
kemampuan adaptasi atau respon yang berbeda terhadap stresor yang ada. Respon
terhadap stres bergantung pada kemampuan masing-masing individu ternak untuk
beradaptasi melalui mekanisme homeostasis (Soeparno 2005). Perbedaan respon
individu dapat dipengaruhi oleh ras sapi (Hollenbeck et al. 2002), perbedaan
waktu istirahat dan jenis kelamin (Sarmin et al. 2014), serta perbedaan umur sapi
(Astuti et al. 2014a).
Sapi yang menunjukkan perilaku yang agresif umumnya memiliki tingkat
kortisol yang lebih tinggi dibandingkan dengan sapi yang tenang (Grandin 1994;
Grandin 2000). Lama et al. (2011) menyebutkan bahwa spesies individu yang
berasal dari bangsa dan kondisi lingkungan yang sama dapat memiliki variasi
perilaku yang tinggi. Penelitian McEwen et al. (1997) menunjukkan bahwa
kemampuan hewan untuk menanggapi suatu keadaan sebagai situasi yang
membuat stres tergantung pada pengalaman-pengalaman yang dirasakan
sebelumnya dan riwayat dari adaptasinya terhadap situasi tersebut. Kombinasi
dari kedua hal ini dapat membuat hewan peka atau terlindungi dari perubahan
tertentu.
Metode penyembelihan dengan pemingsanan menggunakan captive bold
stun gun dilakukan dengan cara dan peralatan yang seragam serta oleh operator
pemingsanan yang sama dalam satu periode pemotongan sapi. Begitu juga dengan
metode penyembelihan tanpa pemingsanan dengan pengekangan menggunakan
restraining box Mark IV dilakukan dengan model restraining box yang seragam
dan operator yang sama dalam satu periode pemotongan. Hasil analisis ini
menggambarkan bahwa konsentrasi hormon kortisol tidak dipengaruhi oleh
metode penyembelihan dengan atau tanpa pemingsanan. Stres pada sapi
kemungkinan tidak hanya disebabkan oleh metode penyembelihan dengan cara
dipingsankan atau tidak dipingsankan.

Penilaian Penerapan Aspek Kesejahteraan Hewan pada Perlakuan
Prapenyembelihan
Penilaian terhadap penerapan aspek kesejahteraan hewan di RPH dengan
menggunakan checklist dilakukan pada tahapan penanganan prapenyembelihan.
Aspek yang diamati me