Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Konversi Lahan Sawah Dan Dampaknya Terhadap Produksi Padi Di Pulau Jawa

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI
KONVERSI LAHAN SAWAH DAN DAMPAKNYA
TERHADAP PRODUKSI PADI DI PULAU JAWA

WINA DWI FEBRINA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Faktor-Faktor
yang Memengaruhi Konversi Lahan Sawah dan Dampaknya Terhadap Produksi
Padi di Pulau Jawa adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2016
Wina Dwi Febrina
NIM H152120151

RINGKASAN
WINA DWI FEBRINA. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Konversi
Lahan Sawah dan Dampaknya Terhadap Produksi Padi di Pulau Jawa. Dibimbing
oleh DOMINICUS SAVIO PRIYARSONO dan NOER AZAM ACHSANI.
Lahan merupakan sumberdaya yang secara fisik tidak dapat diproduksi
sehingga persediaan lahan terbatas. Tingginya permintaan lahan untuk berbagai
kegiatan yang cenderung melebihi persediaan lahan yang ada dapat menyebabkan
terjadinya kelangkaan lahan. Kelangkaan lahan mendorong terjadinya persaingan
penggunaan lahan dimana peningkatan kebutuhan lahan untuk suatu kegiatan akan
mengurangi ketersediaan lahan untuk kegiatan lainnya. Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya konversi lahan.
Terkait dengan permasalahan konversi lahan sawah di Indonesia, tentunya
tidak terlepas dari peranan Pulau Jawa sebagai sentra produksi padi. Pulau Jawa
adalah produsen padi terbesar dengan lahan sawah terluas di Indonesia.
Berdasarkan sebarannya, Pulau Jawa memiliki lahan sawah terluas yakni kurang

lebih 3.231 ribu hektar atau 43% dari total luas lahan sawah di Indonesia. Oleh
karena itu, terjadinya konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah di Pulau
Jawa perlu mendapat perhatian karena mempunyai opportunity cost yang sangat
besar, diantaranya dapat mempengaruhi kapasitas produksi padi lokal/nasional
mengingat Pulau Jawa merupakan produsen padi terbesar di Indonesia, sehingga
jika tidak diantisipasi, diduga akan berdampak pada kondisi pangan di masa depan.
Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah untuk mengetahui
perkembangan konversi lahan sawah, faktor-faktor yang mempengaruhi konversi
lahan sawah dan dampaknya terhadap produksi padi di Pulau Jawa. Data yang
digunakan adalah data sekunder berupa data panel terkait konversi lahan sawah
tahun 1995-2013. Data dianalisis menggunakan analisis deskriptif kuantitatif,
analisis regresi data panel dan fungsi produksi Cobb Douglas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, sepanjang tahun 1995-2013 konversi
lahan sawah terjadi di seluruh provinsi di Pulau Jawa dengan total luas konversi
sebesar 370 ribu hektar atau sekitar 19 ribu hektar per tahun dengan laju sekitar
0,57 persen per tahun. Faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap
terjadinya konversi lahan di Pulau Jawa adalah nilai tukar petani dan PDRB sektor
industri pengolahan. Berdasarkan nilai elastisitasnya, secara parsial dapat
diketahui bahwa nilai tukar petani dan PDRB sektor industri bersifat inelastis
terhadap konversi lahan sawah di Pulau Jawa. Berdasarkan metode analisis

deskriptif kuantitatif dan fungsi produksi Cobb Douglas diketahui bahwa konversi
lahan sawah yang terjadi di Pulau Jawa selama kurun waktu 19 tahun (1995-2013)
telah menyebabkan hilangnya kapasitas produksi padi sebesar 57,733 juta ton
gabah atau sekitar 3,038 juta ton gabah per tahun. Bila dikonversikan setara beras,
maka konversi lahan sawah menyebabkan hilangnya produksi sebesar 36,222 juta
ton beras atau sekitar 1,906 juta ton beras per tahun. Berdasarkan elastisitasnya,
luas lahan sawah bersifat elastis terhadap produksi padi.
Kata kunci: konversi lahan sawah, faktor yang memengaruhi, dampak terhadap
produksi padi.

SUMMARY
WINA DWI FEBRINA. Determinant of Paddy Fields Conversion and its Impact
to Paddy Production in Java. Supervised by DOMINICUS SAVIO
PRIYARSONO and NOER AZAM ACHSANI.
Land is a resource that physically can not be produced, so that the supply of
land is limited. In the other side, the high demand for land for a variety of
activities tend to exceed the supply of available land, this condition led to scarcity
of land. The scarcity of land led to the competition of land use. The increasing in
land use requirements for an activity will reduce the availability of land for other
activities that can cause land conversion. Land conversion can be defined as a

change of land use for an activity into other land use that different from previous
activities.
Problems associated with the paddy fields conversion in Indonesia, of
course, inseparable from the role of Java as rice production centers. Java Island is
the largest rice producer with the largest paddy field in Indonesia. Based on the
distribution, Java has the largest paddy field which is approximately
3,231 thousand hectares or 43 percent of the total area of paddy fields in Indonesia.
The occurrence of paddy fields conversion to the use of non-paddy fields in Java
requires attention because it has opportunity costs, of which may affect the
capacity of rice production locally/nationally. Considering that Java are the largest
rice producers in Indonesia, if paddy fields conversion in Java not anticipated, it
expected to have an impact on food situation in the future.
This paper reports the progress of land conversion, especially from paddy
field to other utilizatios and its impact to paddy production in Java Island using
panel data (provincial data 1995-2013). Using descriptive analysis method it is
found that among 1995-2013 paddy fields conversion in Java island is about
370 thousand hectares or about 19 thousand hectares annually at a rate of about
0.57 percent per year. West Java province had the largest paddy field convertion
amounted to 228 thousand hectares or about 12 thousand hectares per year.
The data then threated as the dependent variabel in the regression analysis

for determining the factors that are significantly influential. It is found that
farmers exchange rate, and GDP of manufacturing industries sectors are
significantly influence the land conversion. The relative strengths of the
influential factors are then compared using the concept of elasticity. Using
mathematic formulation it is found that the paddy field conversion among
1995-2013 caused lost of paddy production about 57,733 million tons or about
3,038 million tons per year. Converted to the rice equivalent, the paddy field
conversion causes loss of production amounted to 36.222 million tons of rice, or
about 1.906 million tons of rice per year. If the conversion of land continues to
occur each year, assuming the rate of land conversion are fixed, then in 2018 the
estimated paddy production capacity will be lost by 6.35 million tons . Based on
the elasticity, the paddy field are elastic to paddy production.
keywords: paddy field conversion, determinant factors, paddy production

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI
KONVERSI LAHAN SAWAH DAN DAMPAKNYA
TERHADAP PRODUKSI PADI DI PULAU JAWA

WINA DWI FEBRINA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah
dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc

Judul Tesis : Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Konversi Lahan Sawah
dan Dampaknya Terhadap Produksi Padi di Pulau Jawa
Nama
: Wina Dwi Febrina
NIM
: H152120151

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir DS Priyarsono, MS
Ketua

Prof Dr Ir Noer Azam Achsani, MS
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan
Perdesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 29 Juli 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan program pendidikan

stratra dua (S2) di IPB. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan
sejak bulan Agustus 2015 ini ialah Konversi Lahan dengan judul Analisis FaktorFaktor yang Memengaruhi Konversi Lahan Sawah dan Dampaknya terhadap
Produksi Padi di Pulau Jawa.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir DS Priyarsono dan
Bapak Prof Dr Ir Noer Azam Achsani selaku komisi pembimbing, terima kasih
sebesar-besarnya atas motivasi, bimbingan, dan segala bantuan yang diberikan
hingga penyelesaian tesis ini. Terima kasih kepada Prof Dr Ir Akhmad Fauzi
selaku penguji luar komisi yang telah memberikan masukan dan arahan untuk
perbaikan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MSi sebagai Ketua Program Studi PWD,
seluruh staf pengajar PWD serta jajarannya. Terima kasih pula kepada
Pusbindiklatren Bappenas dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN yang
telah memberikan bantuan selama penulis menempuh pendidikan S2 ini.
Rasa terima kasih penulis yang spesial untuk Alm.Wisnu Anggoro, belahan
jiwa yang selalu membantu dan mendampingi dan memberi semangat hingga
akhir hayatnya, juga kepada Herjuno Wisnu Aji atas warna dan keceriaan yang
telah dibagi kepada penulis. Terima kasih pula disampaikan kepada ibu dan
keluarga besar kostaman, alm. Sudaryanto dan keluarga besar Sudaryanto atas
segala doa dan kasih sayangnya.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa

PWD, khususnya angkatan 2012 serta rekan-rekan di Puslitbang Kementerian
Agraria dan Tata Ruang/BPN atas segala support dan inspirasinya. Tidak lupa
juga penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat
disebutkan namanya satu per satu. Semoga Allah SWT membalas kebaikan
Bpk/Ibu/Sdr semua. Semoga karya ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2016
Wina Dwi Febrina

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

viii


1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
8
9
9
9

2 TINJAUAN PUSTAKA
Arti Penting Lahan dari Segi Ekonomi
Teori Tanah sebagai Lahan Pertanian
Teori Klasik Penggunaan Lahan
Teori Kontemporer dalam Penggunaan Lahan
Konversi Lahan Sawah
Faktor-Faktor yang Memengaruhi terjadinya Konversi Lahan Sawah
Dampak Konversi Lahan Sawah
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian

10
10
11
11
12
13
13
15
17
18
20

3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis Data
Metode analisis deskriptif kuantitatif
Metode analisis regresi data panel
Metode analisis deskriptif kuantitatif
Metode Fungsi Produksi Cobb Douglas
Prosedur Analisis Data

20
20
20
21
21
25
29
30

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
32
Perkembangan Konversi Lahan Sawah di Pulau Jawa
32
Faktor-faktor yang mempengaruhi Konversi lahan sawah di Pulau Jawa 35
Dampak Konversi Lahan Sawah terhadap Produksi padi
45
5 SIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Simpulan
Saran
Implikasi Kebijakan

51
51
51
52

DAFTAR PUSTAKA

53

LAMPIRAN

56

RIWAYAT HIDUP

73

DAFTAR TABEL
1 Luas penggunaan lahan sawah di Indonesia tahun 1980-2009
2 Klasifikasi lahan sawah di Indonesia berdasarkan jenis pengairan tahun
1980-2009
3 Jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk Indonesia tahun
1971-2010
4 Perkembangan defisit/surplus produksi dan konsumsi beras serta
volume impor beras Indonesia tahun 2001-2012
5 Luas penggunaan lahan sawah di Pulau Jawa tahun 1980-2009
6 Metode dan prosedur analisis data
7 Perkembangan Konversi Luas lahan Sawah Menurut Provinsi di
Pulau Jawa Tahun 1995-2013 (Ha)
8 Laju Konversi Lahan Sawah Neto Menurut Provinsi di Pulau Jawa
tahun 1995-2013
9 Wilayah dengan Laju Konversi Neto Tertinggi di Pulau Jawa
tahun 2009-2013
10 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Sawah di
Jawa menggunakan Metode PLS
11 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Sawah di
Jawa menggunakan Metode FEM
12 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Sawah di
Jawa menggunakan Metode REM
13 Hasil Estimasi Likelihood Test Ratio antara metode FEM dan PLS
14 Hasil Estimasi Uji Hausman antara metode FEM dan REM
15 Kapasitas produksi padi pada kondisi luas sawah tetap di Pulau Jawa
menurut provinsi periode tahun 1995-2013
16 Kapasitas produksi padi pada kondisi luas sawah mengalami konversi
lahan sawah di Pulau Jawa menurut provinsi periode tahun 1995-2013
17 Produksi padi yang hilang sebagai dampak konversi lahan sawah di
Pulau Jawa menurut provinsi periode tahun 1995-2013
18 Perkiraan produksi padi yang hilang sebagai dampak konversi lahan
sawah di Pulau Jawa menurut provinsi periode tahun 2014-2018
19 Hasil estimasi model persamaan dampak konversi lahan sawah terhadap
produksi padi di Pulau Jawa tahun 1995-2013

3
4
4
5
6
31
33
34
35
36
37
38
39
39
46
47
48
49
50

DAFTAR GAMBAR
1 Perubahan struktur ekonomi Indonesia tahun 1983-2009
2 Kerangka pemikiran
3 Perkembangan luas baku sawah dan produksi Padi per tahun pada
kondisi tidak ada perkembangan teknologi dan luas sawah baku tetap
(Lc), luas sawah baku berkurang sebesar K1 (LK1) dan luas sawah baku
berkurang sebesar k2 (LK2)
4 Kerangka analisis data

2
20

27
31

DAFTAR LAMPIRAN
1 Luas lahan sawah menurut Provinsi di Pulau Jawa tahun 1995-2013
(hektar)
2 Luas konversi lahan sawah menurut Propinsi di Pulau Jawa
tahun 1995-2013 (Hektar)
3 Laju konversi lahan sawah menurut Kabupaten/Kota di Pulau Jawa
tahun 2009-2013 (persen)
4 Laju konversi lahan sawah, laju nilai tukar petani, laju PDRB sektor
industri pengolahan, laju jumlah penduduk dan laju perkembangan
jumlah industri besar dan sedang pada industri pengolahan per Tahun
Menurut Propinsi di Jawa Tahun 1995-2013 (persen)
5 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Sawah di
Jawa menggunakan Metode PLS
6 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Sawah di
Jawa menggunakan Metode FEM
7 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Sawah di
Jawa menggunakan Metode REM
8 Hasil Estimasi Likelihood Test Ratio antara metode FEM dan PLS
9 Hasil Estimasi Uji Hausman antara metode FEM dan REM
10 Intensitas panen padi per tahun (It) menurut Provinsi di Pulau Jawa
tahun 1995-2013
11 Produksi padi per hektar per musim panen (Yt) menurut Provinsi di
Pulau Jawa tahun 1995-2013

57
58
59

63
66
67
68
69
70
71
72

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lahan sebagai sumberdaya alam sangat dibutuhkan dalam kehidupan
manusia. Penggunaan lahan berkaitan baik dengan potensi alaminya seperti
kesuburan tanah atau kandungan mineral yang berada di bawah permukaannya
maupun dalam kaitannya sebagai ruang yang ditentukan adanya hubunganhubungan tata ruang dengan penggunaan lain yang telah ada (Harsono 1991).
Ketersediaan lahan merupakan faktor penting untuk menjamin kelangsungan
berbagai kegiatan manusia, salah satunya adalah kegiatan penyediaan pangan.
Akan tetapi, lahan merupakan sumberdaya yang secara fisik tidak dapat
diproduksi sehingga persediaan lahan terbatas (Nuryati 1995). Tingginya
permintaan lahan untuk berbagai kegiatan yang cenderung melebihi persediaan
lahan yang ada dapat menyebabkan terjadinya kelangkaan lahan. Kelangkaan
lahan mendorong terjadinya persaingan penggunaan lahan yang dapat
menyebabkan konversi lahan. Hal tersebut sejalan dengan uraian Barlowe (1978)
dalam Butar-Butar (2012) bahwa dari segi penggunaannya lahan mempunyai
kompetisi, yakni adanya ketidakseimbangan antara penawaran yang terbatas dan
permintaan yang tak terbatas. Pada kondisi tersebut maka peningkatan kebutuhan
lahan untuk suatu kegiatan akan mengurangi ketersediaan lahan untuk kegiatan
lainnya sehingga dapat menyebabkan terjadinya konversi lahan. Konversi lahan
dapat didefinisikan sebagai perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan
dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang
membawa dampak terhadap lingkungan dan potensi itu sendiri (Utomo et al. 1991
dalam Nuryanti 2011).
Konversi lahan adalah sebuah fenomena yang tidak dapat dihindari baik di
negara belum berkembang, sedang berkembang dan negara maju, sejalan dengan
pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk (Azadi et al. 2010). Indonesia
sebagai negara berkembang tidak terlepas dari permasalahan konversi lahan.
Permasalahan konversi lahan umumnya terjadi pada sektor pertanian yang
peranannya menurun sejalan dengan perubahan struktur perekonomian. Seiring
waktu, pembangunan di Indonesia telah berhasil memacu pertumbuhan ekonomi
dan perubahan struktur perekonomian. Perkembangan pembangunan secara tidak
langsung merubah struktur ekonomi Indonesia menjadi lebih kearah ekonomi
industri dan jasa dan berdampak terhadap sektor lain terutama sektor pertanian.
Perubahan struktur ekonomi ini terlihat dari perubahan komposisi sektor ekonomi
atas kontribusinya terhadap PDB dalam jangka waktu tahun 1983-2009 pada
Gambar 1.

2

Gambar 1. Perubahan struktur ekonomi Indonesia tahun 1983-2009
Sektor primer merupakan gabungan dari sektor pertanian, peternakan,
kehutanan, perikanan serta sektor pertambangan dan penggalian. Sektor sekunder
merupakan gabungan dari sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air
dan sektor konstruksi. Sedangkan sektor tersier merupakan gabungan dari sektor
perdagangan, hotel, restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor
keuangan, real estate dan jasa perusahaan serta sektor jasa-jasa. Berdasarkan
Gambar 1, terlihat bahwa telah terjadi transformasi perekonomian atau perubahan
struktur ekonomi Indonesia yang ditandai dengan semakin menurunnya peran
sektor primer dalam sumbangannya terhadap PDB Indonesia dan semakin
meningkatnya peran sektor nonprimer.
Pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan berkembangnya industri,
prasarana ekonomi, fasilitas umum, dan permukiman dimana semuanya
memerlukan lahan telah meningkatkan permintaan lahan untuk memenuhi
kebutuhan nonpertanian tersebut. Namun, tidak dipungkiri bahwa pertumbuhan
ekonomi juga meningkatkan kondisi sosial ekonomi pada lahan nonpertanian.
Kondisi seperti inilah yang membuat konversi lahan pertanian terus meningkat
seiring dengan laju pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang tidak mungkin
dapat dihindari (Sudaryanto 2004). Hal ini tentu saja merupakan kondisi yang
harus diwaspadai karena bukan saja berarti berkurangnya luas areal pertanian,
namun akan berdampak pula pada produksi pertanian.
Salah satu isu konversi lahan pertanian yang marak terjadi dan perlu
diantisipasi adalah konversi lahan sawah. Lahan sawah merupakan lahan
pertanian yang memiliki peluang lebih besar untuk terkonversi dibandingkan
lahan kering (Irawan 2005). Hal ini terjadi karena tiga faktor yaitu,
1) pembangunan kegiatan non pertanian seperti perumahan dan industri lebih
mudah dilakukan pada lahan sawah yang lebih datar dibandingkan lahan kering,
2) pembangunan masa lalu terfokus pada upaya peningkatan produksi padi, maka
infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah lahan
kering, dan 3) daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumen
atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah lahan
kering yang sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan pegunungan.
Berkaitan dengan konversi lahan sawah di Indonesia. Tabel 1 menunjukkan
perubahan luas lahan sawah di Indonesia sejak tahun 1980 hingga tahun 2009.

3
Tabel 1 Luas penggunaan lahan sawah di Indonesia tahun 1980-2009
Pulau

1980

Luas Penggunaan Lahan Sawah (Ha)
1990
2000
2009
1990-2009

Sumatera

1.504.860

2.274.411

2.273.173

2.398.716

124.305

Jawa

3.616.795

3.558.184

3.504.016

3.444.579

-113.605

72.725

100.934

97.989

76.003

-24.931

Nusa Tenggara

368.259

354.117

351.745

285.582

-68.265

Kalimantan

898.470

1.305.137

1.003.410

937.607

-367.530

Sulawesi

763.560

796.296

832.187

886.501

90.205

7.417

19.359

33.307

21.763

2.404

30.286

73.316

61.158

55.840

-17.476

7.262.372

8.481.754

8.157.526

8.106.860

-374.894

Bali

Maluku
Papua
Indonesia

Sumber :Direktorat Penatagunaan Tanah, BPN RI (2010)
Berdasarkan Tabel 1, luas lahan sawah di Indonesia pada tahun 1980 hingga
tahun 1990 cenderung mengalami peningkatan. Akan tetapi sejak tahun 1990
hingga 2009 luasan lahan sawah di Indonesia mengalami penurunan. Penurunan
luasan lahan sawah tersebut dapat diketahui dari tanda negatif. Tanda negatif
menunjukkan pengurangan luas lahan sawah (konversi), sementara tanda positif
menunjukkan penambahan luas lahan sawah. Penurunan luas lahan sawah terbesar
terjadi di Pulau Kalimantan dan Pulau Jawa, sedangkan penambahan luas lahan
terbesar berada di Pulau Sumatera dan Pulau Sulawesi.
Proses konversi lahan ini terjadi sebagai dampak dari peningkatan aktivitas
ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya dan akibat diberlakukannya hukum
pasar (Pramudita 2015). Hukum pasar memicu adanya pergeseran aktivitas pada
lahan dari aktivitas yang menghasilkan keuntungan rendah (land rent rendah)
menuju aktivitas-aktivitas dengan land rent yang lebih tinggi (Rustiadi 2001).
Posisi pertanian dalam menghasilkan land rent rendah cenderung kalah dengan
sektor lain seperti industri, perumahan, dan jasa yang memiliki land rent lebih
tinggi. Land rent pertanian nilainya 1:500 untuk kawasan industri, dan 1:622
untuk kawasan perumahan (Nasoetion dan Winoto 1996), kondisi ini
menyebabkan aktivitas konversi lahan ke penggunaan nonpertanian menjadi tidak
terkendali terutama pada wilayah sekitar perkotaan (Pramudita 2015).
Konversi lahan pertanian yang terjadi dalam skala yang cukup besar di
Indonesia, melibatkan ribuan hektar lahan pertanian primer dengan irigasi teknis
(Firman 2004). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2 dimana berdasarkan jenis
pengairannya, Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar lahan sawah di
Indonesia berupa lahan sawah tadah hujan, sawah irigasi semi teknis dan sawah
irigasi teknis. Namun, luas lahan sawah yang menggunakan irigasi teknis dan
irigasi semi teknis mengalami penurunan dibanding luas sawah dengan jenis
pengairan yang lain. Konversi lahan sawah yang terjadi terutama pada lahan
sawah beririgasi teknis dan semi teknis memberikan kerugian karena dapat

4
menyebabkan pemborosan investasi pada jaringan irigasi yang dibangun untuk
mendukung lahan pertanian khususnya sawah.
Tabel 2 Klasifikasi lahan sawah di Indonesia berdasarkan jenis pengairan tahun
1980-2009
Klasifikasi Tanah
Sawah

Luas Penggunaan Tanah Sawah Indonesia
1980

1990

2000

2009

Irigasi teknis

1.767.355

1.766.056

1.787.583

1.774.276

Irigasi semi teknis

2.029.218

2.289.195

2.227.900

2.190.139

Irigasi sederhana

1.478.534

1.772.678

1.725.576

1.560.349

Tadah hujan

1.827.178

2.227.024

1.994.601

2.174.501

Pasang Surut

160.087

426.802

421.865

407.594

7.262.372

8.481.754

8.157.526

8.106.860

Luas Sawah (Ha)

Sumber :Direktorat Penatagunaan Tanah, BPN RI (2010)
Selain akibat dari pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk juga
diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya konversi lahan sawah. Ditinjau dari
sisi demografi, populasi penduduk di Indonesia terus meningkat dari tahun ke
tahun dengan laju pertumbuhan yang cukup tinggi sebagaimana terlihat pada
Tabel 3.
Tabel 3 Jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk Indonesia tahun
1971-2010
Tahun
Jumlah Penduduk
(juta jiwa)
Laju Pertumbuhan
(persen)

1971

1980

1990

2000

2010

119,2

147,5

179,4

205,1

237,6

2,30

1,97

1,49

1,49

Sumber: BPS Sensus Penduduk tahun 1971, 1980, 1990, 2000 dan 2010
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa jumlah penduduk Indonesia
pada tahun 2010 sudah mencapai 237,6 juta jiwa atau bertambah 32,5 juta sejak
tahun 2000 (BPS 2010). Laju pertumbuhan penduduk Indonesia tahun 2000-2010
1,49 persen per tahun. Artinya bahwa rata-rata peningkatan jumlah penduduk
Indonesia per tahun antara tahun 2000 hingga 2010 adalah sebesar 1,49 per tahun.
Hal ini menunjukkan bahwa setiap tahunnya antara tahun 2000 hingga 2010
jumlah penduduk Indonesia bertambah sebesar 1,49 persen.
Peningkatan jumlah penduduk tersebut diduga akan berpengaruh besar
terhadap kebutuhan lahan khususnya kebutuhan untuk pemukiman dan sarana
prasarana umum. Semakin meningkatnya jumlah penduduk, juga akan
mempengaruhi permintaan terhadap beras. Berdasarkan hasil penelitian

5
Kumalasari (2014), tingkat konsumsi beras per kapita per tahun masyarakat
Indonesia meningkat per tahunnya sedangkan produksi yang dihasilkan meskipun
pada beberapa tahun terakhir dapat memenuhi tingkat konsumsi masyarakat
Indonesia, namun laju produksi padi tersebut cenderung mengalami penurunan.
Hal ini menjadi salah satu alasan pemerintah mengambil keputusan untuk
melakukan impor beras dari negara lain. Tabel 4 menunjukkan perkembangan
defisit/surplus dari produksi dan konsumsi beras serta volume impor beras di
Indonesia tahun 2001-2012.
Tabel 4 Perkembangan defisit/surplus produksi dan konsumsi beras serta volume
impor beras Indonesia tahun 2001-2012
Konsumsi
(ton)

Defisit/Surplus
(ton)

Impor
(ton)

Tahun

Produksi (ton)

2001

31.659.094

32.283.326

-624.232

649.488

2002

32.304.634

33.073.152

-768.519

1.811.988

2003

32.711.132

33.372.463

-661.331

1.437.472

2004

33.935.104

33.669.384

265.720

246.256

2005

33.974.398

34.389.029

-414.631

189.617

2006

34.165.027

35.532.082

-1.367.055

438.108

2007

35.860.574

36.423.236

-562.662

1.406.547

2008

37.848.485

37.200.322

648.163

289.000

2009

40.403.863

38.102.776

2.301.087

250.473

2010

41.702.897

38.502.594

3.200.303

687.581

2011

41.255.881

38.740.235

2.515.646

2.750.476

2012

43.325.813

39.265.422

4.060.391

1.810.372

Sumber: Statistik Indonesia 2013, Neraca Bahan Makanan 2013 dalam Kumala Sari 2014

Berdasarkan Tabel 4, terlihat bahwa pada tahun 2001-2007 Indonesia
mengalami defisit beras dimana konsumsi beras lebih tinggi dari produksi beras.
Namun sejak tahun 2008 Indonesia mengalami surplus beras, dimana produksi
lebih tinggi dari tingkat konsumsi. Hasil penelitian Kumalasari (2014)
menyatakan bahwa produksi padi berpengaruh negatif terhadap impor beras. Hal
ini berarti bahwa jika produksi meningkat maka impor beras akan menurun.
Akan tetapi, nilai impor tidak serta merta turun akibat pengaruh produksi
padi, terdapat faktor lain yang mempengaruhi peningkatan impor beras selain
produksi padi antara lain konsumsi beras, nilai tukar rupiah terhadap US dollar
dan harga beras domestik. Oleh karena itu, meskipun pada periode lima tahun
terakhir produksi padi meningkat, nilai impor ternyata tetap tinggi akibat
pengaruh faktor lain tersebut. Meskipun demikian, mengingat maraknya konversi
lahan sawah yang terjadi dan semakin meningkatnya jumlah penduduk
dikhawatirkan akan mempengaruhi tingkat produksi beras. Jika produksi kembali

6
mengalami penurunan, maka tidak menutup kemungkinan bahwa impor beras
akan semakin besar.
Terkait dengan permasalahan konversi lahan sawah di Indonesia, tentunya
tidak terlepas dari peranan Pulau Jawa sebagai sentra produksi padi. Peran Jawa
dalam produksi padi nasional cukup besar meskipun luasnya hanya 7 persen dari
luas daratan total Indonesia. Secara historis, pencapaian swasembada beras pada
tahun 1984 tidak terlepas dari peranan Pulau Jawa sebagai sentra produksi padi
nasional dimana pada saat itu Pulau Jawa mampu memberikan kontribusi sebesar
63,12 persen dari total produksi padi nasional. Selanjutnya, selama tahun
1985-2005 sekitar 55-62 persen produksi padi nasional dihasilkan di Pulau Jawa
(Irawan et al. 2012). Akan tetapi, konversi lahan sawah nampaknya sudah
menjadi fenomena yang lazim terjadi di Pulau Jawa. Berdasarkan data Badan
Pertanahan Nasional, perkembangan luas lahan sawah di Pulau Jawa dapat dilihat
pada Tabel 5 berikut.
Tabel 5 Luas penggunaan lahan sawah di Pulau Jawa tahun 1980-2009
Pulau Jawa

1980

1990

2000

2009

10.883

5.609

2.913

1.756

Jawa Barat

1.086.687

1.073.327

1.060.659

1.039.828

Jawa Tengah

1.090.724

1.075.962

1.072.602

1.064.776

78.313

70.752

64.322

57.376

1.122.849

1.113.251

1.101.331

1.084.278

-

-

202.190

196.565

3.616.795

3.558.184

3.504.016

3.444.579

DKI Jakarta

DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Pulau Jawa

Sumber :Direktorat Penatagunaan Tanah, BPN RI (2010)
Berdasarkan Tabel 5 diatas, dapat dilihat bahwa luas lahan sawah sejak
tahun 1980 hingga tahun 2009 terus mengalami penurunan luasan di seluruh
provinsi di Pulau Jawa. Hal ini tentunya perlu diwaspadai karena lahan
merupakan input utama dalam produksi padi. Menurunnya luasan lahan di Pulau
Jawa sebagai sentra produksi padi, tentunya akan berdampak pada besarnya
produksi padi yang dihasilkan dan tidak menutup kemungkinan akan berpengaruh
pada ketersediaan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia.
Maraknya konversi lahan yang terjadi khususnya pada lahan pertanian
tentunya tidak terlepas dari perhatian Pemerintah. Berbagai upaya untuk menjaga
ketahanan pangan terus dilakukan oleh Pemerintah antara lain dengan
perlindungan terhadap lahan pertanian. Upaya yang dilakukan Pemerintah untuk
perlindungan terhadap lahan pertanian salah satunya dilakukan melalui
pendekatan yuridis yaitu dengan mengeluarkan berbagai kebijakan antara lain
melalui UUPA No.50 tahun 1960, UU No. 12 tahun 1992 tentang sistem budidaya
tanaman, UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, UU No. 41 tahun 2009
tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, serta Peraturan
Presiden dan Peraturan Pemerintah lainnya.

7
Namun, fakta dilapangan menunjukkan bahwa pengendalian konversi lahan
sawah melalui pendekatan yuridis belum maksimal dalam mengatasi
permasalahan konversi lahan sawah. Lichtenberg and Ding (2008) menyatakan
bahwa rintangan terbesar dalam perlindungan lahan pangan bukan pada aspek
fisik melainkan institusional. Kegagalan dalam mengatur aspek institusional
berpengaruh terhadap permintaan dan penawaran lahan untuk dikonversi.
Instrumen yuridis yang selama ini dikembangkan oleh pemerintah belum
menerapkan sangsi yang jelas, tumpang tindih dan tidak didukung dengan
instrumen ekonomi dan sosial. Hal ini menyebabkan laju konversi lahan sawah
masih cukup besar bahkan merambah ke lahan sawah dengan irigasi teknis yang
sangat potensial untuk produksi padi sawah (Irawan 2008). Sebagai contoh,
ditinjau dari segi ekonomi, kurangnya infrastruktur pasar dan kelembagaan
menyebabkan masalah besar dalam merealisasikan pendapatan potensial dan
spesialisasi regional pada produksi pangan yang dapat menghalangi proses
investasi pertanian di banyak daerah.
Selain itu, pelaksanaan UU No. 41 tahun 2009 terkendala dengan tumpang
tindihnya aturan dari UU yang lain, seperti dalam UU No. 23 tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah dimana daerah mempunyai kewenangan dalam menetapkan
fungsi wilayahnya. Pertanian hanya merupakan urusan pilihan bagi pemerintah
Kabupaten/Kota di dalam UU No.23 tahun 2014. Kondisi ini memperbesar
peluang daerah mengabaikan sektor pertanian. Irawan (2008) menyatakan bahwa
fokus daerah terhadap kemajuan wilayahnya yang dilihat dari pertumbuhan
ekonomi dan pendapatan asli daerah (PAD) menyebabkan daerah berlomba-lomba
meningkatkan investasi di sektor non pertanian karena dapat menghasilkan PAD
lebih besar dan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat. Konsekuensinya
jika terjadi permintaan konversi lahan pertanian untuk dimanfaatkan oleh
pembangunan sektor pertanian maka pemerintah daerah cenderung kurang
mempertimbangkan larangan konversi lahan yang berlaku.
Inkonsistensi antara tujuan pengendalian konversi lahan sawah dan
penentuan luasan lahan sawah dalam instrumen tata ruang pun dapat turut memicu
terjadinya konversi lahan sawah. Hal ini dapat dilihat pada penelitian yang
dilakukan oleh Dewi (2010) yang menunjukkan bahwa RTRW sebagai instrumen
tataruang justeru dapat memberikan peluang terjadinya konversi lahan. Hal ini
terjadi akibat adanya ketidaksesuaian penentuan luasan lahan sawah yang tertera
di RTRW dengan luasan sebenarnya di lapangan dimana ternyata luasan lahan
sawah yang tertera di RTRW lebih kecil dari besar luasan lahan sawah sebenarnya
di lapangan. Penelitian yang membandingkan dua RTRW Kabupaten Bekasi yaitu
RTRW tahun 1999 dan 2007 menunjukkan bahwa pada RTRW tahun 1999, luas
kawasan yang dialokasikan untuk pertanian lahan basah adalah seluas 66.937 Ha,
sedangkan pada RTRW 2007 luas untuk peruntukan lahan sawah menurun
menjadi 51.093 Ha. Hal ini berarti telah terjadi penurunan luasan pertanian lahan
basah. Selain itu, melalui analisis spasial, diketahui bahwa berdasarkan fakta di
lapangan ternyata luas pertanian lahan basah eksisting di lapangan ternyata lebih
besar dari yang tertera di RTRW tahun 2007, dimana luas lahan sawah beririgasi
teknis seluas 58.680 Ha dan sawah tadah hujan seluas 2.486 Ha. Hal ini berarti
terdapat lahan sawah irigasi teknis di lapangan sebesar 18.400 Ha yang tidak
termasuk dalam alokasi peruntukan lahan sawah pada RTRW 2007 sehingga
dapat memacu terjadinya konversi lahan sawah sebesar luasan lahan tersebut.

8
Dengan demikian, ternyata instrumen tata ruang yang diharapkan memberikan
perlindungan terhadap lahan pertanian justeru memberikan peluang bagi
terjadinya konversi lahan sawah yang lebih besar.
Konversi lahan pada hakekatnya merupakan hal yang tidak dapat dihindari
pada negara berkembang seperti Indonesia, namun konversi lahan pada
kenyataannya dapat membawa banyak masalah jika terjadi di atas lahan sawah
yang masih produktif. Konversi lahan sawah merupakan ancaman serius terhadap
ketahanan pangan nasional karena dampaknya bersifat permanen. Lahan sawah
yang telah dikonversi ke penggunaan lain sangat kecil peluangnya untuk berubah
kembali menjadi lahan sawah. Demikian pula upaya untuk membangun sawah
baru diluar Jawa tidak dengan sendirinya dapat mengganti kehilangan produksi di
Jawa, karena diperlukan waktu yang sangat lama untuk melakukan pembangunan
lahan sawah dengan tingkat produktivitas yang tinggi. Penyelesaian masalah ini
perlu dukungan dari keinginan petani untuk mempertahankan lahan dan perlu
diimbangi dengan insentif yang tepat agar lahan tidak dikonversi ke penggunaan
lain di luar pertanian. Selain itu pengendalian terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya konversi lahan sawah penting untuk dilakukan sebagai
upaya mengendalikan konversi lahan sawah yang terjadi.

Perumusan Masalah
Pangan bagi masyarakat Indonesia masih identik dengan beras, meskipun
sebenarnya sumber pangan masyarakat Indonesia tidak hanya beras. Keberadaan
lahan sawah memiliki peran yang penting bagi masyarakat Indonesia. Hal ini
dikarenakan beras merupakan bahan pangan pokok sebagian besar masyarakat
Indonesia, sehingga dapat dikatakan bahwa keberadaan lahan sawah penting
artinya bagi ketersediaan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia.
Berdasarkan sebarannya, Pulau Jawa memiliki lahan sawah terluas yakni
kurang lebih 3.231 ribu hektar atau 43 persen dari total luas lahan sawah di
Indonesia (Isa 2014). Akan tetapi, mengingat perubahan struktur ekonomi dan
semakin meningkatnya kepadatan penduduk di Pulau Jawa dari tahun ke tahun
yang memerlukan lahan untuk pemukiman, perkembangan industri dan
infrastruktur, maka diduga luasan areal sawah akan semakin terbatas. Lahan
sawah di Pulau Jawa tampaknya akan terus berkurang dan terkonversi menjadi
lahan penggunaan lain. Konversi lahan sawah dapat dikatakan sebagai proses
yang mengikuti pembangunan. Proses pembangunan diringi dengan perlunya
pengadaan infrastruktur baik berupa jalan, bangunan industri dan pemukiman.
Akibatnya banyak lahan pertanian, khususnya sawah, mengalami konversi ke
penggunaan non-pertanian.
Terjadinya konversi lahan sawah tidak menguntungkan bagi sektor
pertanian karena salah satunya dapat menurunkan kapasitas produksi padi,
sedangkan sekitar 95 persen produksi padi nasional dihasilkan dari lahan sawah
(Irawan et al. 2012). Oleh karena itu, konversi lahan sawah ke penggunaan non
sawah di Pulau Jawa perlu mendapat perhatian karena mempunyai opportunity
cost yang sangat besar, diantaranya mempengaruhi kapasitas produksi padi
lokal/nasional, mengingat Pulau Jawa merupakan produsen padi terbesar di

9
Indonesia, jika konversi lahan sawah di Indonesia tidak diantisipasi, diduga akan
berdampak pada kondisi pangan di masa depan.
Berdasarkan paparan diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan konversi lahan sawah di Pulau Jawa?
2. Faktor apa yang mempengaruhi konversi lahan sawah di Pulau Jawa?
3. Bagaimana dampak konversi lahan sawah terhadap produksi padi di Pulau
Jawa?

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui perkembangan konversi lahan sawah berdasarkan Provinsi di
Pulau Jawa.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan
sawah di Pulau Jawa.
3. Mendeskripsikan dampak konversi lahan sawah terhadap produksi padi di
Pulau Jawa.

Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain
sebagai :
1. Bahan pertimbangan bagi Pemerintah dalam pengambilan keputusan atau
kebijakan berkaitan dengan pengendalian konversi lahan sawah di Pulau Jawa.
2. Bahan pertimbangan bagi Pemerintah dalam pemberian ijin penggunaan
lahan di Pulau Jawa.

Ruang Lingkup Penelitian
Pulau Jawa yang dimaksud dalam penelitian merujuk pada provinsi-provinsi
yang terdapat di Pulau Jawa yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah
Istimewa Yogyakarta, dan Banten. Adapun provinsi DKI Jakarta tidak termasuk
dalam lingkup penelitian dengan asumsi hampir tidak adanya sawah di provinsi
tersebut. Lingkup analisis dilakukan terhadap luas lahan sawah dan produksi padi
yang terdapat di setiap provinsi di Pulau Jawa.

10

2 TINJAUAN PUSTAKA

Arti Penting Lahan dari Segi Ekonomi
Lahan merupakan sumber daya alam yang memiliki fungsi sangat luas
dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Ditinjau dari penggunaannya,
penggunaan lahan (land use) diartikan sebagai setiap bentuk intervensi manusia
terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Penggunaan lahan
merupakan suatu proses yang dinamis, sebagai hasil dari perubahan pada pola dan
besarnya aktivitas manusia sepanjang waktu sehingga masalah yang berkaitan
dengan lahan merupakan masalah yang komplek. Oleh karena itu, upaya
pemanfaatan sumberdaya lahan yang optimal memerlukan alokasi penggunaan
lahan yang efisien (Saefulhakim dan Nasoetion 1995).
Ditinjau dari segi ekonomi, lahan merupakan input tetap yang utama bagi
berbagai kegiatan produksi komoditas pertanian dan nonpertanian. Banyaknya
lahan yang digunakan untuk setiap kegiatan produksi secara umum merupakan
permintaan turunan dari kebutuhan dan permintaan komoditas yang dihasilkan.
Oleh karena itu, perkembangan kebutuhan lahan untuk setiap jenis kegiatan
produksi akan ditentukan oleh perkembangan jumlah permintaan setiap komoditas.
Barlowe (1978) dalam Butar-Butar (2012) menyatakan bahwa dari segi
penggunaannya lahan mempunyai kompetisi, yakni adanya ketidakseimbangan
antara penawaran yang terbatas dan permintaan yang tak terbatas. Pada kondisi
tersebut maka peningkatan kebutuhan lahan untuk suatu kegiatan produksi akan
mengurangi ketersediaan lahan untuk kegiatan lainnya sehingga dapat
menyebabkan terjadinya konversi lahan. Pada umumnya permintaan komoditas
pertanian terutama komoditas pangan kurang elastis terhadap pendapatan
dibandingkan permintaan komoditas nonpertanian. Konsekuensinya adalah
pembangunan ekonomi yang membawa kepada peningkatan pendapatan
cenderung menyebabkan naiknya permintaan lahan untuk kegiatan di luar
pertanian dengan laju lebih cepat dibandingkan kenaikan permintaan lahan untuk
kegiatan pertanian.
Bagi bidang pertanian, lahan merupakan sumber daya yang sangat penting,
baik bagi petani maupun bagi pembangunan pertanian. Hal ini didasarkan pada
kenyataan bahwa di Indonesia kegiatan pertanian masih bertumpu padal
lahan/land based agriculture activities, (Catur, et al. 2010). Walaupun secara
kualitas sumber daya lahan dapat ditingkatkan, tetapi secara kuantitas sumber
daya lahan yang tersedia di setiap daerah praktis tetap. Pada kondisi keterbatasan
tersebut, maka peningkatan kebutuhan lahan untuk permukiman, industri,
pembangunan prasarana ekonomi umum, fasilitas sosial, dan lain-lain, akan
mengurangi ketersediaan lahan untuk pertanian. Akibat pembangunan ekonomi
yang cenderung mendorong permintaan lahan di luar sektor pertanian dengan laju
lebih besar dibandingkan permintaan lahan di sektor pertanian maka pertumbuhan
ekonomi cenderung merangsang terjadinya konversì lahan pertanian ke
penggunaan di luar pertanian, terutama di daerah dengan kelangkaan lahan tinggi
(Hidayat 2008).

11
Teori Tanah sebagai Lahan Pertanian
Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang jumlahnya terbatas.
Tanah menjadi sangat penting karena keberadaannya dibutuhkan untuk
kelangsungan hidup manusia dalam melakukan kegiatannya. Tanah sebagai lahan
pertanian merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting peranannya
dalam pertanian jika dibandingkan dengan faktor produksi yang lain. Jika tidak
ada lahan, maka tidak ada pertanian. hal ini dikarenakan lahan merupakan tempat
dimana pertanian dapat berjalan. Permintaan akan tanah dari tahun ketahun
mengalami peningkatan, hal ini yang mengakibatkan harga tanah semakin tinggi.
Pada dasarnya penggunaan tanah yang ada sekarang ini digunakan untuk sektor
pertanian. akan tetapi seiring kemajuan jaman banyak lahan pertanian beralih
fungsi menjadi tanah non pertanian. Banyak para ahli ekonomi menuliskan teori
mereka terhadap pentingnya tanah.
Menurut Mahzab Fisiokratis yang dipelopori oleh Quesnay mengatakan
bahwa hukum ekonomi yang bersesuaian dengan hukum alam ini menjadikan
alam. Yang dimaksud disini ialah adalah tanah sebagai salah satu sumber
kemakmuran bagi rakyat. Menurutnya kegiatan industri dan perdagangan dinilai
tidak produktif, karena kegiatan industri hanya mengubah bentuk dan sifat barang.
Begitu juga dengan perdagangan yang dinilai hanya memindahkan barang dari
satu tempat ke tempat yang lain. Menurut Quesnay kaum petani paling produktif,
oleh karena itu menganjurkan agar kebijakan yang diambil pemerintah harus
ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup para petani.
Dari teori yang dikemukakan oleh Quesnay tersebut mengandung
pengertian bahwa para petani perlu mendapatkan perhatian yang khusus dari
pemerintah agar proses produksi pertanian dapat meningkat. Perhatian tersebut
dapat berupa kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada para petani, agar proses
produksi yang dilakukan petani tidak terganggu. Hal ini dikarenakan petanilah
yang mempunyai produktifitas paling tinggi (Deliarnov dalam Suriyanto, 2012).
Teori Klasik Penggunaan Lahan
Teori terkait penggunaan lahan telah berkembang sejak lama ketika pada
tahun 1826 Von Thunen seorang ahli ekonomi dari Jerman melalui karyanya The
Isolated State berusaha menghubungkan antara konsep ekonomi dengan lokasi
spasial. Von Thunen melalukan pembagian penggunaan lahan dengan bentuk
lingkaran (Rustiadi, 2011). Berdasarkan asumsinya Von Thunen membagi
penggunaan lahan di wilayah terisolasi tersebut ke dalam enam zona, yaitu:
 Zona kesatu yang paling mendekati kota/pasar diusahakan tanaman yang
mudah rusak seperti sayuran dan kentang
 Zona kedua merupakan hutan dengan hasil kayu
 Zona ketiga menghasilkan biji-bijian seperti gandum dengan hasil relatif
tahan lama dan ongkos transfer murah
 Zona kelima untuk pertanian yang berubah-ubah dua sampai tiga jenis
tanaman
 Zona keenam berupa lahan yang paling jauh ke pusat, digunakan untuk
rerumputan dan peternakan domba atau sapi.

12
Konsep Von Thunen pada dasarnya menjelaskan bahwa penggunaan lahan
sangat ditentukan oleh biaya angkut produk yang diusahakan yang pada akhirnya
menentukan sewa ekonomi lahan (Land Rent). Konsep Von Thunen menjadi
gambaran mengenai penggunaan lahan. Von Thunen menyebutkan bahwa nilai
land rent tidak ditentukan hanya oleh kesuburan lahan seperti yang diungkapkan
oleh David Ricardo (Ricardian Rent), tetapi nilai land rent merupakan fungsi dari
lokasinya (Location rent), dimana perbedaan rent ini lebih ditentukan oleh biayabiaya transfernya. Pada kasus konversi lahan di Indonesia terutama di Jawa,
banyak lahan-lahan sawah yang terkonversi sebagai akibat pertimbangan relatif
antara kegiatan pertanian dan non pertanian, hal ini dapat dimengerti karena
penggunaan lahan di perkotaan cenderung mendorong perubahan penggunaan
lahan di wilayah sekitarnya (Pramudita, 2015). Barlowe dalam Rustiadi (2011)
menggambarkan hubungan antara nilai land rent dan alokasi sumberdaya lahan di
antara berbagai kompetisi penggunaan kegiatan. Sektor-sektor yang komersial dan
strategis mempunyai land rent tinggi. Sebaliknya sektor-sektor yang kurang
mempunyai nilai komersial, nilai land rentnya semakin kecil. Kondisi di Pulau
Jawa, sektor-sektor industri dan jasa berkembang pesat yang menyebabkan sektor
pertanian kalah bersaing, terutama untuk lahan-lahan yang berada di dekat
perkotaan.
Teori Kontemporer dalam Penggunaan Lahan
Teori dalam pembangunan wilayah terkait dengan alokasi sumberdaya lahan.
Lahan merupakan input utama dalam proses produksi pertanian yang dalam
perkembangannya mengalami tekanan sebagai akibat peningkatan aktivitas
ekonomi lain (industri dan jasa) serta pertumbuhan penduduk yang meningkatkan
potensi konflik penggunaan lahan. Ekonomi neo klasik cenderung
memperlakukan lahan sama dengan modal biasa yang akan terus bertambah
hasilnya jika dilakukan investasi. Padahal lahan mempunyai keterbatasan daya
dukung karena adanya penurunan kualitas lahan sebagai akibat proses ekonomi.
Selain itu, lahan juga menampung tidak hanya economic rent, tetapi juga
environmental rent dan social rent, dimana social net benefit dari lahan diperoleh
dari gabungan ketiga rent lahan tersebut. konsep ekonomi terkait lahan berakar
dari konsep ekonomi kelembagaan dan mempunyai keterkaitan dengan ekonomi
pertanian, ekonomi sumberdaya, dan ekonomi lingkungan. Land resource
economics yang berakara dari ekonomi kelembagaan melihat budaya sebagai
faktor penting dalam menentukan kebijakan ekonomi pada situasi tertentu.
Sementara ekonomi neoklasik cenderung mengesampingkan budaya,
kelembagaan, agama dan faktor lainnya sebagai bagian ceteris paribus.
Lahan pertanian menurut Dorfman, et al. (2008) mempunyai fungsi utama,
yaitu: 1) sebagai sumber produksi pangan lokal dan nasional, 2) sebagai penyedia
tenaga kerja di sektor pertanian khususnya, 3) membantu proses manajemen lahan
yang baik bagi pengembangan perkotaan dan perdesaan, dan 4) sebagai bentuk
jasa lingkungan. Pada kondisi pasar konvensional nilai pasar dari lahan pertanian
hanya terbatas pada poin satu dan dua. Nilai pasar lahan pertanian untuk tujuan
pengembangan berdasar peran pemerintah. Tidak adanya subsidi yang dilakukan
oleh pemerintah terhadap proses pengembangan lahan, menyebabkan lahan
pertanian berubah menjadi lahan perumahan, jasa komersial dan industri karena

13
nilai pasar dari pengguanaan non pertanian lebih besar daripada nilai pasar lahan
di sektor pertanian. Berdasar pada kondisi ini, dengan teori penggunaan lahan
klasik, menyebabkan nilai lahan menjadi rendah dan realokasi lahan untuk sektor
non pertanian tidak dapat dicegah. Konsep yang berbeda yang memasukkan dua
unsur terakhir terutama unsur keempat mengenai jasa lingkungan menjadi ide
dasar dalam pengembangan teori ekonomi sumberdaya lahan yang langka untuk
keuntungan semua pihak agar dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya.
Internalisasi nilai tersebut diharapkan dapat meningkatkan manajemen
sumberdaya lahan yang lebih efisien dan berkelanjutan.
Konversi Lahan Sawah
Konversi lahan atau perubahan penggunaan lahan adalah perubahan
penggunaan karena aktivitas terhadap suatu lahan yang berbeda dari aktivitas
sebelumnya, baik untuk tujuan komersial maupun untuk industri (Kazaz 2001
dalam Marstaningsih 2008). Konversi lahan juga dapat didefinisikan sebagai
perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula
(seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif
(masalah) terhadap lingkungan dan potensi itu sendiri (Utomo et al. dalam
Nuryanti 2011). Konsekuensi logis dari pertambahan penduduk dan pembangunan
ekonomi adalah terjadinya perubahan alokasi sumberdaya, khususnya sumberdaya
lahan yang sulit dihindari. Akibat tidak diperhatikannya skala prioritas alokasi
penggunaan sumberdaya lahan, maka terjadi pula konflik alokasi sumbedaya
lahan untuk penyediaan sumber pangan dan pembangunan sarana dan prasarana
non pertanian (Irawan dan Friyatno 2002).
Kustiawan (1997) mendefinisikan konversi lahan sawah sebagai proses
dialihgunakannya lahan dari lahan sawah pertanian atau pedesaan ke penggunaan
non pertanian atau perkotaan. Konversi lahan sawah dapat bersifat permanen dan
dapat bersifat sementara. Jika lahan sawah berubah menjadi kawasan pemukiman
atau industri, maka konversi ini bersifat permanen. Namun jika lahan sawah
dialihfungsikan menjadi lahan pertanian lain (misal lahan tanaman tebu) maka
konversi bersifat sementara karena pada tahun-tahun berikutnya dapat diubah
menjadi lahan sawah kembali. Konversi lahan sawah yang bersifat permanen pada
umumnya lebih besar dan berdampak lebih serius daripada konversi yang bersifat
sementara.
Faktor-Faktor yang Memengaruhi terjadinya Konversi Lahan Sawah
Faktor yang dianggap berpengaruh dalam konversi lahan pertanian menurut
Kustiawan (1997) yaitu: faktor eksternal, faktor internal, dan