Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah Serta Dampaknya Terhadap Produksi Padi di Kota Depok
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI
LAHAN SAWAH SERTA DAMPAKNYA TERHADAP
PRODUKSI PADI DI KOTA DEPOK
NADIA KHAIRUNNISA ANDHIKA
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2013
(2)
(3)
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah Serta Dampaknya Terhadap Produksi Padi di Kota Depok adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013
Nadia Khairunnisa Andhika NIM H44090082
(4)
(5)
NADIA KHAIRUNNISA ANDHIKA. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah Serta Dampaknya Tehadap Produksi Padi di Kota Depok. Di bawah bimbingan RIZAL BAHTIAR.
Meningkatnya aktivitas pembangunan dan pertumbuhan penduduk mengindikasikan terjadinya alih fungsi lahan pertanian. Hal ini dikarenakan lahan yang tersedia jumlahnya tetap sedangkan kebutuhan penduduk terus bertambah sehingga ketersediaan lahan semakin terbatas. Seperti halnya pembangunan yang meningkat di Kota Depok yang mengurangi luas lahan sawah sebesar 815 hektar dalam periode 2001 hingga 2012 dengan total laju penyusutan sebesar 0.80 persen. Alih fungsi lahan sawah yang terjadi di tingkat wilayah dipengaruhi oleh luas bangunan dan juga PDRB non pertanian. Sedangkan faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam melakukan alih fungsi lahan yakni luas lahan dan pengalaman bertani. Dampak alih fungsi lahan tersebut yakni hilangnya 4848.5345 ton produksi padi atau rata-rata kehilangan sekitar 449.87 ton per tahun. Dimana nilai produksi yang hilang sebesar Rp19 794 138 000 atau Rp1 799 468 000 per tahun. Sehingga terdapat selisih antara kebutuhan akan konsumsi pangan penduduk dengan produksi beras di wilayah depok yakni sebesar 384.63 ton/hari dimana kebutuhan konsumsi penduduk sebesar 396.67 ton/hari sedangkan rata-rata produksi beras yang dihasilkan sebesar 12.04 ton/hari.
Kata Kunci : Alih Fungsi Lahan Sawah, Dampak Alih Fungsi Sawah, Konsumsi Beras, Produksi Beras
(6)
NADIA KHAIRUNNISA ANDHIKA. The Influence of Variable Threatening Wetland Conversion and its Impact on Rice Production in Depok. Supervised by RIZAL BAHTIAR.
Increasing construction activity and population growth will indicate the occurrence of agricultural land conversion. This is because the amountof land availablearefixed, whilehuman needscontinue to increaseso that the availability of landwill belimited. As well as increased development in Depok, reducing the land area of 815 hectares of paddy fields in the period 2001 to 2012 with a total rate of depreciation of 0.80 percent. Paddy fields conversion has occurred at the level of the area affected by the building area as well as non-agricultural GDP. While the factors that influence farmers decisions in making the land conversion and land farming experience. The impact of land use change is the loss of 4848.5345 tons of rice production is lost or an average loss of about 449.87 tonnes per year. Meanwhile, the value of lost production amounted to Rp19794138,000 or Rp1799468000 per year. Resulting in a difference between the need for food consumption for rice production which amounted to 384.63 tons / day where the average production of rice by 12.04 tons / day, while consumption amounted to 396.67 tons / day.
Keywords : Wetland Conversion, Rice Consumption, Rice Production, The Impact of Conversion
(7)
NADIA KHAIRUNNISA ANDHIKA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
(8)
(9)
Nama NIM
Tanggal Lulus:
Depok
Nadia Khairunnisa Andhika H44090082
Disetujui oleh
セエ^@
セ@Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si Pembimbing
Diketahui oleh
o
OCT 2013
(10)
Depok
Nama : Nadia Khairunnisa Andhika
NIM : H44090082
Disetujui oleh
Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
(11)
(12)
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah Serta Dampaknya Terhadap Produksi Padi di Kota Depok”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat penyelesaian tugas akhir studi Program Sarjana (S1) Departemen Ekonomi Sumberdaya Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan saran kepada penulis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Nindyantoro, M.SP dan Bapak Benny Osta Nababan, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji atas saran dan masukannya dalam penulisan skripsi ini. Disamping itu, dengan ketulusan dan kerendahan hati penulis berterima kasih kepada Ayah (Ir. Yusli Karmain), Ibu (Rina Haerani), dan Adik (Aldi Firhand A.) atas dukungan serta doa yang tiada henti diberikan kepada penulis. Ungkapan terima kasih juga diberikan kepada Ibu Etty dan Ibu Lelly dari Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Depok, Bapak Nasrullah dari Badan Penyuluhan Pertanian Kota Depok yang telah membantu dalam pengumpulan data saat penelitian serta kepada rekan-rekan ESL 46 (Lungit Shriwinanti, Vidya, Genyas, Nova, Qyqy) dan keluarga besar PSM IPB Agria Swara (Yovita, Stefany, Dini, Firdha) atas kebersamaan, saran, doa, dan dukungannya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Bogor, September 2013
Nadia Khairunnisa Andhika
(13)
(14)
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 4
1.3 Tujuan Penelitian ... 6
1.4 Manfaat Penelitian ... 6
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8
2.1 Sumberdaya Lahan ... 8
2.2 Alih Fungsi Lahan ... 10
2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian ... 12
2.4 Dampak Alih Fungsi Lahan ... 13
2.5 Penelitian Terdahulu ... 14
III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 20
3.1 Kerangka Teoritis ... 20
3.2 Kerangka Operasional ... 21
IV. METODE PENELITIAN ... 25
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 25
4.2 Jenis dan Sumber Data ... 25
4.3 Metode Pengambilan Sampel ... 26
4.4 Metode Analisis Data ... 26
4.4.1 Analisis Laju Alih Fungsi Lahan ... 27
4.4.2 Analisis Linier Berganda ... 28
4.4.3 Analisis Regresi Logistik ... 31
4.4.4 Analisis Estimasi Dampak Produksi ... 34
V. GAMBARAN UMUM ... 35
5.1 Gambaran Umum Wilayah Depok ... 35
5.2 Gambaran Umum Kecamatan Limo ... 38
5.3 Karakteristik Umum Responden ... 40
5.3.1 Tingkat Usia ... 41
5.3.2 Tingkat Pendidikan ... 41
5.3.3 Jumlah Tanggungan ... 42
5.3.4 Lama Bertani ... 43
(15)
6.3 Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi di Tingkat Petani ... 54
6.4 Dampak Alih Fungsi Terhadap Produksi Padi ... 58
6.5 Dampak Alih Fungsi Terhadap Ketersediaan Pangan ... 60
VII. SIMPULAN DAN SARAN ... 63
7.1 Simpulan ... 63
7.2 Saran ... 63
DAFTAR PUSTAKA ... 65
LAMPIRAN ... 69
RIWAYAT HIDUP ... 80
(16)
1 Laju Pertumbuhan dan Sumber Pertumbuhan Nasional pada Tahun 2012... 2
2 Penelitian Terdahulu ... 15
3 Matriks Metode Analisi Data ... 27
4 Data Penggunaan Lahan di Kota Depok Tahun 2009 ... 36
5 Mata Pencaharian Penduduk Kota Depok tahun 2011 ... 38
6 Jumlah Penduduk, Luas Kelurahan, dan Kepadatannya di Kecamatan Limo Tahun 2009……… ... 39
7 Keadaan Penduduk di Kecamatan Limo Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2012 ... 40
8 Luas dan Laju Alih Fungsi Lahan Sawah di Kota Depok Tahun 2001-2012 ... 47
9 Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih fungsi Lahan Sawah di Tingkat Wilayah ... 50
10 Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani Dalam Mengalihfungsikan Lahan Sawah ... 55
11 Pekerjaan Sampingan Petani Kecamatan Limo, Depok ... 57
12 Pekerjaan Petani Setelah Alih Fungsi Lahan Sawah di Kecamatan Limo, Depok ... 58
13 Produktivitas Padi Sawah di Kota Depok pada Periode 2001-2012 ... 59
14 Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah Terhadap Produksi Padi di Kota 15 Depok Tahun 2001-2012 ... 60
16 Estimasi Produksi Beras di Kota Depok Periode 2001-2012 ... 61 17 Estimasi Kebutuhan Konsumsi Beras Penduduk Depok Tahun 2001 -2012 61
(17)
Nomor Halaman 1 Land Rent Sebagai Sisa Surplus Ekonomi Setelah Biaya Produksi
Dikeluarkan ... 21
2 Diagram Alur Pikir ... 24
3 Tingkat Usia Responden ... 41
4 Tingkat Pendidikan Responden ... 42
5 Jumlah Tanggungan Responden ... 43
6 Pengalaman Bertani Responden ... 44
7 Lahan Sawah Responden ... 45
8 Laju Luasan Sawah di Kota Depok Tahun 2001-2012 ... ………. 46
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman 1 Kuisioner Penelitian ... 712 Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah di Tingkat Wilayah ... 75
3 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani dalam Melakukan Alih Fungsi Lahan Sawah ... 78
(18)
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia termasuk negara kepulauan yang memiliki kekayaan alam dan sumberdaya yang melimpah. Beragamnya kekayaan yang dimiliki ini berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perekonomian negara secara menyeluruh. Banyak sektor seperti bidang pertanian, pertambangan, industri, serta pariwisata yang berperan dalam kegiatan perekonomian Indonesia. Sektor-sektor inilah yang selama ini dapat dikembangkan secara optimal dan dapat dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Sektor pertanian memiliki peran yang penting dalam kegiatan perekonomian nasional seperti dalam hal menyerap tenaga kerja, menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB), sumber devisa, bahan baku industri, sumber bahan pangan dan gizi, serta pendorong bergeraknya sektor-sektor ekonomi lainya. Menurut Kuznets (1966), sektor pertanian mengkontribusikan terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional dalam 4 bentuk yaitu :
1. Kontribusi Produk contohnya menyediakan bahan baku untuk industri manufaktur seperti: industri tekstil, makanan, minuman, dan lain-lain.
2. Kontribusi pasar contohnya pembentukan pasar domestik untuk barang industri dan konsumsi
3. Kontribusi faktor produksi menyebabkan penurunan peranan pertanian di pembangunan ekonomi, maka terjadi transfer surpus modal dan sektor pertanian ke sektor lain.
4. Kontribusi devisa pertanian sebagai sumber paling penting bagi surplus neraca perdagangan melalui ekspor produk pertanian dan produk pertanian yang menggantikan produk impor.
Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2012 tumbuh sebesar 6.23 persen dibandingkan dengan tahun 2011. Pertumbuhan terjadi pada semua sektor ekonomi tidak terkecuali pada sektor pertanian dengan laju pertumbuhan sebesar 3.97 persen. Walaupun peran pertanian memiliki arti penting bagi pembangunan nasional dan terus mengalami pertumbuhan setiap tahunnya, namun laju pertumbuhannya tidak sebesar sektor-sektor lainnya. Dapat dilihat pada tabel 1
(19)
laju pertumbuhan tertinggi pada Sektor Pengangkutan dan Komunikasi sebesar 9.98 persen diikuti oleh Sektor Perdagangan sebesar 8.11 persen.
Tabel 1 Laju Pertumbuhan dan Sumber Pertumbuhan Nasional pada Tahun 2012 Lapangan Usaha
Laju Pertumbuhan 2012 (persen)
Sumber Pertumbuhan 2012 (persen) 1. Pertanian, Peternakan,
Kehutanan, dan Perikanan 3.97 0.51
2. Pertambangan dan Penggalian 1.49 0.11
3. Industri Pengolahan 5.73 1.47
4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 6.40 0.05
5. Konstruksi 7.50 0.49
6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 8.11 1.44
7. Pengangkutan dan Komunikasi 9.98 0.98
8. Keuangan, Real Estat, dan Jasa
Perusahaan 7.15 0.69
9. Jasa-Jasa 5.24 0.49
Produk Domestik Bruto (PDB) 6.23 6.23
PDB tanpa migas 6.81 -
Sumber: Badan Pusat Statistik (2012)
Kontribusi sektor pertanian terhadap total pertumbuhan PDB berdasarkan sumber pertumbuhan sebesar 0.51 persen sedangkan kontribusi terbesar pada Sektor Industri Pengolahan sebesar 1.47 persen. Selanjutnya diikuti oleh Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, dan Sektor Pengangkutan dan Komunikasi yang memberikan sumber pertumbuhan masing-masing 1.44 persen dan 0.98 persen. Sektor pertanian mulai tersingkirkan perannya jika dibandingkan dengan sektor-sektor lain seperti sektor industri maupun perdagangan yang memberikan output lebih tinggi bagi perekonomian nasional daripada sektor pertanian. Para investor pun lebih tertarik menanamkan modal kepada sektor non pertanian.
Masih kurangnya kontribusi sektor pertanian terhadap pembangunan nasional mendorong perubahan penggunaan lahan pertanian ke penggunaan lahan non pertanian. Salah satu faktor kurangnya kontribusi sektor pertanian terhadap pembangunan nasional yakni adanya alih fungsi lahan yang semakin meningkat khususnya di pulau jawa yang merupakan wilayah utama pertanian di Indonesia. Secara spasial, struktur perekonomian di Indonesia masih di dominasi oleh kelompok provinsi di Pulau Jawa yang memberikan kontribusi terhadap PDB
(20)
sebesar 57.51 persen dan Jawa Barat termasuk penyumbang terbesar di Pulau Jawa sebesar 13. 91 persen (BPS 2012).
Menurut Sitorus (2011), pembangunan ekonomi cenderung meningkatkan permintaan lahan di luar sektor pertanian, sehingga memacu alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian terutama di daerah dengan ketersediaan lahan terbatas. Hal ini termasuk Jawa Barat sebagai salah satu penyumbang pertumbuhan ekonomi dengan segala aktivitas produksi namun lahan yang tersedia sangatlah terbatas sehingga mendorong terjadinya alih fungsi lahan.
Salah satu wilayah di Jawa Barat yang mengalami alih fungsi penggunaan lahan akibat kegiatan produksi atau pembangunan adalah Kota Depok. Kota Depok mengalami perkembangan yang cukup pesat dalam pembangunannya. Hal ini disebabkan oleh letak wilayahnya yang strategis, dekat dengan pusat pemerintahan DKI Jakarta yang berkembang sebagai pusat pemerintahan, perdagangan, dan perekonomian. Meningkatnya laju urbanisasi serta perkembangan sektor non pertanian di Kota Depok menjadi salah satu indikator dalam perkembangan pembangunan kota yang mendorong alih fungsi penggunaan lahan pertanian ke non pertanian.
Peningkatan laju pertumbuhan penduduk mempengaruhi ketersediaan lahan yang ada. Pertambahan jumlah penduduk memerlukan lahan yang lebih luas tidak saja dipergunakan untuk pemukiman tetapi juga perluasan kegiatan-kegiatan perekonomian lainnya guna menunjang kebutuhan penduduk yang semakin bertambah jumlahnya tersebut. Hasil sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kota Depok mencapai 1 736 565 jiwa, yang terdiri dari penduduk laki-laki 879 325 jiwa dan penduduk perempuan 857 240 jiwa dengan sex ratio sebesar 103. Sedangkan kepadatan penduduk Kota Depok berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2010 mencapai 10 101 jiwa/km².
Pertambahan penduduk yang mempengaruhi luasan lahan yang tersedia dapat mendorong perubahan penggunaan lahan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang tidak terbatas. Menurut Utomo (1992), alih fungsi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Nilai dan
(21)
harga lahan di sekitar daerah perkotaan yang semakin tinggi menyebabkan adanya pergeseran aktivitas ekonomi dan penguasaan lahan oleh pihak pengembang atau para investor sehingga arahan pengembangannya pun sebisa mungkin disesuaikan dengan keinginan pihak pengembang tersebut (Marliza 2008).
1.2 Perumusan Masalah
Lahan merupakan modal penting yang diperlukan dalam produksi pertanian. Namun pengembangan sektor ekonomi semakin mendorong perubahan sumberdaya lahan ke penggunaan yang memberikan nilai ekonomi yang lebih tinggi. Perubahan penggunaan lahan pertanian yang terjadi biasanya menjadi kawasan pemukiman, industri, maupun perdagangan. Alih fungsi penggunaan lahan tersebut dapat bersifat permanen atau bersifat sementara. Jika berubah menjadi kawasan pemukiman atau industri maka lahan ini bersifat permanen, namun jika berubah menjadi kawasan perkebunan maka alih fungsi lahan ini bersifat sementara karena pada tahun-tahun berikutnya dapat dijadikan lahan pertanian lainnya. Alih funsi lahan permanen biasanya lebih besar dampaknya daripada alih fungsi lahan sementara (Utomo 1992).
Kecenderungan alih fungsi lahan yang tinggi selama ini terasa pada sebagian besar kota-kota di Pulau Jawa dimana laju urbanisasi dan pengembangan sektor non pertanian meningkat. Salah satunya terjadi pada kota depok dengan urbanisasi dan pengembangan sektor non pertanian juga meningkat. Sumberdaya lahan Kota Depok mengalami tekanan sejalan dengan perkembangan kota yang sedemikian pesat. Sebagaimana kita ketahui berdasarkan data analisis Revisi RTRW Kota Depok (2000-2010) dalam pemanfaatan ruang kota, kawasan pemukiman pada tahun 2005 mencapai 8915.09 ha (44.31%) dari total pemanfaatan ruang Kota Depok. Pada tahun 2005 kawasan terbuka hijau tercatat 10106.14 ha (50.23%) dari luas wilayah Depok atau terjadi penyusutan sebesar 0.93 % dari data tahun 2000. Meningkatnya tutupan permukaan tanah, berdampak terhadap penurunan kondisi alam Kota Depok, terutama disebabkan oleh meningkatnya pemanfaatan lahan untuk kegiatan pemukiman yang mencapai lebih dari 44.31 % dari luas wilayah kota. Sementara luas kawasan terbangun
(22)
tahun 2005 mencapai 10 013.86 ha (49.77%) dari luas wilayah Kota Depok atau meningkat 3.59 % dari data tahun 2000.¹
Kedepannya pembangunan pertanian tanaman pangan di Kota Depok pada tahun-tahun selanjutnya akan menghadapi suatu kondisi, dimana lahan sawah yang semakin menyempit jika semakin tinggi permintaan akan kebutuhan lahan non pertanian. Penyempitan yang paling parah akan terjadi pada lahan sawah tadah hujan, disusul sawah irigasi sederhana PU. Alih fungsi lahan sawah merupakan ancaman yang lebih serius terhadap ketahanan pangan dibandingkan dengan gangguan produksi lain seperti serangan hama/penyakit maupun kekeringan, karena dua hal yakni: (1) kegiatan alih fungsi lahan relatif sulit dihindari karena merupakan suatu proses alami yang terkait dengan kelangkaan lahan, pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk, dan (2) dampak alih fungsi lahan sawah terhadap penurunan produksi padi cenderung bersifat permanen, karena lahan sawah yang sudah dialihfungsikan ke penggunaan non pertanian tidak pernah berubah kembali menjadi lahan sawah.
Meningkatnya alih fungsi penggunaan lahan pada Kota Depok diakibatkan oleh adanya beberapa faktor yang ditimbulkan oleh masyarakat sekitar Depok maupun beberapa pihak terkait misalnya para investor maupun pengembang, pertumbuhan ekonomi serta pertumbuhan laju penduduk yang menyebabkan permintaan terhadap lahan untuk berbagai kegiatan ekonomi dan sosial meningkat. Peningkatan permintaan ini mendorong harga lahan termasuk Kota Depok menjadi semakin mahal. Menurut Isa (2004), faktor-faktor yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian adalah: 1) Faktor kependudukan
2) Kebutuhan lahan untuk kegiatan non-pertanian 3) Faktor sosial budaya
4) Faktor ekonomi 5) Degradasi lingkungan 6) Otonomi daerah
¹ Kondisi Geografis Kota Depok.
http://www.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/1162. Diakses pada tanggal 13 febuari 2013
(23)
7) Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum.
Pada dasarnya alih fungsi lahan tidak dapat dihindari dalam pelaksanaan pembangunan. Namun perlu adanya pengendalian peningkatan kebutuhan lahan akibat tingginya aktivitas pembangunan sehingga lahan tidak menjadi langka dan perlu adanya keseimbangan antara pembangunan dengan kualitas lingkungan. Pengendalian ini akan mengurangi dampak negatif yang terjadi akibat alih fungsi lahan sehingga kualitas lingkungan tidak lagi dikorbankan demi kebutuhan lahan yang semakin meningkat. Alih fungsi penggunaan lahan tersebut selain menimbulkan dampak terhadap berkurangnya kapasitas produksi beras yang mengancam ketahanan pangan, juga menimbulkan masalah ketenagakerjaan dibidang pertanian, hilangnya aset pertanian yang telah dibangun dengan biaya yang mahal serta menimbulkan masalah lingkungan. Berdasarkan uraian tersebut beberapa masalah dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Berapa laju alih fungsi lahan sawah di Kota Depok?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah di Kota Depok?
3. Bagaimana dampak alih fungsi lahan sawah terhadap produksi padi dan nilai produksi padi di Kota Depok?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Menghitung laju alih fungsi lahan di Kota Depok.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah secara makro dan mikro di Kota Depok.
3. Mengestimasi dampak alih fungsi lahan sawah di Kota Depok. 1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1. Peneliti dalam mengaplikasikan ilmu pengetahuan bidang keilmuan ekonomi sumberdaya dan lingkungan yang dipelajari selama menjalani perkuliahan di Institut Pertanian Bogor.
(24)
2. Pemerintah dan para pengambil keputusan dalam menentukan kebijakan penggunaan lahan yang dialihfungsikan dan melakukan perbaikan tata guna lahan di Jawa Barat pada umumnya dan Kota Depok pada khususnya.
3. Petani pemilik lahan sebagai informasi yang dapat menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk mengalihfungsikan lahan pertanian mereka
4. Para civitas akademisi sebagai bahan tambahan dan bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini diperlukan batasan agar penelitian lebih terarah dan peneliti dapat lebih fokus dalam melakukan pengamatan. Adapun ruang lingkup sebagai batasan-batasan dalam penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini dilakukan di Kota Depok, Jawa Barat.
2. Studi kasus yang dilakukan untuk mengetahui faktor dan dampak alih fungsi lahan terhadap petani dilakukan di Kecamatan Limo.
3. Lahan pertanian yang dianalisis terbatas pada lahan sawah dan hasil produksinya berupa padi atau gabah.
4. Faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan dilihat dari faktor makro di tingkat wilayah dan faktor mikro yang mempengaruhi keputusan petani.
(25)
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sumberdaya Lahan
Lahan merupakan bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan hidrologi. Lahan termasuk sumberdaya alam yang memiliki arti penting bagi masyarakat sehingga dapat dimanfaatkan keberadaannya. Sumberdaya lahan sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena diperlukan dalam setiap kegiatan manusia, seperti untuk pertanian, industri, tempat tinggal, jalan, rekreasi, dan daerah-daerah yang dipelihara kondisi alamnya untuk tujuan ilmiah. Sitorus (2011) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief, tanah, air, dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan.
Menurut Utomo et al. (1992) menyatakan bahwa lahan sebagai modal alami utama yang melandasi kegiatan kehidupan, memiliki dua fungsi dasar, yaitu: 1. Fungsi kegiatan budidaya, memiliki makna suatu kawasan yang dapat
dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan, seperti pemukiman, perkebunan, perkotaan maupun pedesaan, hutan produksi, dan lain-lain.
2. Fungsi lindung, memiliki makna suatu kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utamanya untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang ada, yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan, nilai sejarah, dan budaya bangsa yang bisa menunjang pemanfaatan budidaya.
Jayadinata (1999) menggolongkan lahan dalam tiga kategori yaitu:
1. Nilai keuntungan, dihubungkan dengan tujuan ekonomi dan yang dapat dicapai dengan jual beli lahan di pasaran bebas.
2. Nilai kepentingan umum, yang dihubungkan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat
3. Nilai sosial, yang merupakan hal mendasar bagi kehidupan yang dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan, dan sebagainya.
(26)
Fungsi lahan yaitu digunakan untuk pemukiman, perkebunan, industri, perkotaan maupun pedesaan, serta sebagai nilai budaya dan kelestarian lingkungan. Kategori lahan berupa nilai keuntungan, nilai kepentingan umum, dan nilai sosial. Ketiga kategori tersebut menunjukan bahwa alasan setiap individu menggunakan lahan dipengaruhi oleh tujuan yang berbeda-beda.
Menurut Saefulhalim R (1995) bahwa penggunaan lahan merupakan suatu proses yang dinamis, sebagai hasil dari perubahan pada pola dan besarnya aktivitas manusia sepanjang waktu. Sehingga masalah yang berkaitan dengan lahan merupakan masalah yang kompleks. Oleh karena itu upaya pemanfaatan sumberdaya lahan yang optimal memerlukan alokasi penggunaan lahan yang efisien.
Lahan pertanian merupakan bidang lahan yang digunakan untuk usaha pertanian misalnya sawah, kebun buah dan sayuran, perikanan, maupun peternakan, dll. Lahan sawah merupakan bidang lahan yang dipergunakan untuk usaha pertanian yang secara fisik memiliki permukaan yang rata dan digenangi air serta dibatasi oleh pematang. Lahan sawah lebih banyak digunakan untuk produksi padi. Dalam menanam padi diperlukan genangan air pada periode tertentu dalam pertumbuhannya sehingga sawah harus mampu menyangga genangan air untuk kelangsungan produksi padi. Sistem pengairan lahan sawah merupakan suatu hal yang penting bagi kelangsungan sistem pertanian. Selama ini sistem pengairan sawah irigasi teknis menjadi sistem pengairan yang paling banyak digunakan. Pada sistem pengairan ini keberadaan air masih sangat melimpah dan air akan terus menerus ada walaupun pada musim kemarau. Macam-macam sistem pengairan sawah yakni:
1. Sawah Irigasi Teknis
Merupakan sistem pengairan sawah yang pengairannya terukur dan terarah yang dimulai dari sumber air hingga petak sawah karena terdapat jaringan irigasi dan bangunan permanen. Sehingga dapat meminimalkan kehilangan air akibat penguapan.
(27)
Merupakan sistem pengairan sawah dengan jaringan irigasi yang tidak permanen secara keseluruhan, sehingga penguapan masih akan terjadi. Kurang terukurnya sistem ini serta tidak memiliki pintu air.
3. Sawah Sederhana
Sawah dengan bangunan jaringan irigasi menggunakan peralatan seadanya atau dengan sederhana sehingga tidak hemat air.
4. Sawah Irigasi Desa
Sistem pengairan sawah yang memanfaatkan pompa untuk menaikkan air tanah atau air sungai permanen untuk mengairi lahan pertanian yang ada di sekitarnya.
5. Sawah Tadah Hujan
Sistem pengairan sawah yang bergantung pada curah hujan yang ada pada daerah lahan sawah tersebut. Sistem pengairan ini memanfaatkan musim penghujan.
Perkembangan pemanfaatan lahan pada sektor pertanian pada umumnya terjadi pada wilayah-wilayah yang berlahan subur. Pada wilayah-wilayah inilah berkembang pusat-pusat pemukiman penduduk sehingga menuntut pemerintah daerah setempat untuk membangun fasilitas-fasilitas umum dan prasarana-prasarana di wilayah tersebut. Adanya pusat pemukiman penduduk, ketersediaan prasarana dan berdasarkan pertimbangan faktor-faktor lokasi, yaitu dekatnya lokasi dengan pemukiman sebagai sumber tenaga kerja, maka penggunaan lahan untuk penggunaan non pertanian seperti industri cenderung untuk berkembang di wilayah ini (Nuryati 1995) dalam Anugerah F (2005).
2.2 Alih Fungsi Lahan
Alih fungsi lahan atau konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan tersebut. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan atau penyesuaian penggunaan disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin
(28)
bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik (Utomo et al. 1992).
Sihaloho (2004) membagi konversi lahan kedalam tujuh pola atau tipologi, antara lain:
1. Konversi gradual berpola sporadik; dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu lahan yang kurang/tidak produktif dan keterdesakan ekonomi pelaku konversi.
2. Konversi sistematik berpola ‘enclave’ dikarenakan lahan kurang produktif, sehingga konversi dilakukan secara serempak untuk meningkatkan nilai tambah.
3. Konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population growth driven land conversion); lebih lanjut disebut konversi adaptasi demografi, dimana dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, lahan terkonversi untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal.
4. Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (social problem driven land conversion); disebabkan oleh dua faktor yakni keterdesakan ekonomi dan perubahan kesejahteraan.
5. Konversi tanpa beban; dipengaruhi oleh faktor keinginan untuk mengubah hidup yang lebih baik dari keadaan saat ini dan ingin keluar dari kampung. 6. Konversi adaptasi agraris; disebabkan karena keterdesakan ekonomi dan
keinginan untuk berubah dari masyarakat dengan tujuan meningkatkan hasil pertanian.
7. Konversi multi bentuk atau tanpa bentuk; konversi dipengaruhi oleh berbagai faktor, khususnya faktor peruntukan untuk perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan, termasuk sistem waris yang tidak dijelaskan dalam konversi demografi.
Irawan (2005) mengemukakan bahwa konversi lahan lebih besar terjadi pada lahan sawah dibandingkan dengan lahan kering karena dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu pertama, pembangunan kegiatan non-pertanian seperti kompleks perumahan, pertokoan, perkantoran, dan kawasan industri lebih mudah dilakukan pada tanah sawah yang lebih datar dibandingkan dengan tanah kering. Kedua, akibat pembangunan masa lalu yang terfokus pada upaya peningkatan produk padi
(29)
maka infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah tanah kering. Ketiga, daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumen atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah tanah kering yang sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan pegunungan.
Isu alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian sudah merupakan isu umum yang terjadi hampir di semua kota besar atau kota metropolitan di berbagai negara termasuk di Indonesia. Hal ini umumnya terjadi di wilayah sekitar perkotaan akibat dukungan perkembangan sektor industri dan jasa. Dalam kasus lahan pertanian perkotaan isu ini sudah merupakan fenomena yang terjadi akibat mengakomodir kawasan perumahan dan fasilitas sosial dan ekonomi lainnya. Kebijakan tata ruang kota dapat menjadi aspek legal terjadinya alih fungsi lahan tersebut, namun disisi lain fenomena ini bisa juga merupakan suatu pelanggaran dalam implementasi Rencana Tata Ruang di perkotaan yang telah ditetapkan sebagai suatu peraturan daerah.
2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian Kustiawan (1997) menyatakan bahwa setidaknya ada tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu:
1. Faktor Eksternal. Merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan (fisik maupun spasial), demografi maupun ekonomi. 2. Faktor Internal. Faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi
sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan.
3. Faktor Kebijakan. Yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian.
Ilham et al (2004) dalam Butar-Butar (2012) menyatakan konversi lahan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Faktor sosial atau kependudukan. Berkaitan erat dengan peruntukan lahan bagi pemukiman atau perumahan secara luas. Khususnya pertambahan penduduk di kota, kenaikan itu disebabkan oleh kelahiran alamiah dan urbanisasi.
(30)
2. Kegiatan ekonomi dan pembangunan. Merupakan kegiatan pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat.
3. Penggunaan jenis teknologi. Seperti penggunaan pestidida dapat menyebabkan rusaknya potensi lahan yang dikenai dan berakibat lebih jauh pada penurunan potensi lahan.
4. Kebijaksanaan pembangunan makro. Kebijaksanaan ini akan mempengaruhi terhadap pemilihan investasi yang ditanam dan akan mempengaruhi konversi lahan.
Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, secara garis besar terdapat dua faktor penyebab konversi, yaitu pada tingkat makro dan mikro. Dalam skala makro yakni pada tingkat wilayah misalnya pada kabupaten atau kota, konversi lahan sawah disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi sektor non-pertanian yang pesat, implementasi undang-undang yang lemah, serta nilai tukar petani yang rendah. Dalam skala mikro, alasan utama petani melakukan konversi lahan adalah karena kebutuhan, lahannya berada dalam kawasan industri, serta harga lahan yang menarik. Pajak lahan yang tinggi juga cenderung mendorong petani melakukan konversi. Faktor pendorong konversi yang tidak kalah pentingnya khususnya di Pulau Jawa adalah adanya kesempatan membeli lahan di tempat lain yang lebih murah. Semua penyebab konversi itu akhirnya bermuara pada motif ekonomi, yaitu penggunaan lahan untuk peruntukan yang baru dipandang lebih menguntungkan daripada digunakan untuk lahan sawah (Ashari 2003).
Penelitian ini merumuskan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan, yaitu faktor makro dan faktor mikro. Faktor mikro meliputi tingkat pendidikan, jumlah tanggungan, harga bibit, luas lahan petani, dan hasil panen. Sedangkan faktor makro terdiri dari luas bangunan, kontribusi PDRB non pertanian, pengaruh investor, dan perubahan panjang aspal.
2.4 Dampak Alih Fungsi Lahan
Menurut Furi (2007) Konversi lahan yang terjadi mengubah status kepemilikan lahan dan penguasaan lahan. Perubahan penguasaan lahan di pedesaan membawa implikasi bagi perubahan pendapatan dan kesempatan kerja
(31)
masyarakat yang menjadi indikator kesejahteraan masyarakat. Terbatasnya akses untuk menguasai lahan menyebabkan terbatas pula akses masyarakat atas manfaat lahan yang menjadi modal utama mata pencaharian sehingga terjadi pergeseran kesempatan kerja ke sektor non-pertanian (sektor informal).
Alih fungsi lahan sawah menimbulkan dampak bagi petani maupun pihak-pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak. Utamanya terjadi pengurangan produksi padi yang berdampak langsung kepada konsumsi dan juga penghasilan petani. Disamping itu ada pula dampak positif bagi peningkatan pembangunan kota bagi pemerintah maupun investor. Namun perhitungan dari kerugian maupun manfaat yang ditimbulkan oleh alih fungsi lahan tidak bisa dihitung secara pasti karena beberapa dari kerugian dan manfaat alih fungsi lahan sulit untuk diukur.
Menurut Nuryati (1995) dalam Anugerah K (2005), masalah yang timbul akibat konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah adalah terancamnya swasembada beras yang telah dicapai dengan susah payah. Di samping itu alih fungsi lahan sawah ini mempunyai opportunity cost yang sangat besar, diantaranya adalah penurunan produksi pangan lokal atau nasional yang secara tidak langsung akan mengurangi kontribusi sektor pertanian dalam PDRB, penurunan laju daya serap tenaga kerja sektor pertanian, terbengkalainya investasi irigasi dan terdapat dampak alih fungsi terhadap lingkungan dan sosial budaya masyarakat.
2.5 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu merupakan kumpulan dari penelitian-penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan maupun dampaknya. Pada penelitian terdahulu terdapat variabel-variabel independen yang digunakan antara lain, jumlah penduduk, pembangunan perumahan, jumlah industri dan PDRB. Tabel 2. merupakan kumpulan dari penelitian terdahulu.
Penelitian yang dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian Utama (2006) dengan judul “Analisis Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Sawah di Kabupaten Cirebon”. Persamaan berupa identifikasi yang akan dilakukan terkait laju alih
(32)
fungsi lahan, faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan, serta menghitung produksi dan nilai produksi padi yang hilang akibat alih fungsi lahan. Perbedaannya dengan penelitian ini yakni faktor-faktor yang dianalisis tidak hanya berupa keseluruhan secara makro tetapi juga secara mikro yang dipengaruhi oleh keputusan petani, mengestimasi hilangnya produksi dan nilai produksi padi, serta mengestimasi perbandingan antara produksi beras dan juga konsumsi yang dibutuhkan penduduk terhadap beras.
(33)
Tabel 2. Penelitian Terdahulu
No. Pengarang, Tahun dan Judul Tujuan Metode Hasilnya
1 Fanny Anugerah K, 2005, Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Pertanian di Kabupaten Tangerang.
1. Mengidentifikasi perkembangan dan pola
konversi lahan sawah selama sepuluh tahun terakhir di wilayah Kabupaten Tangerang.
2. Mengidentifikasi dampak konversi lahan
sawah seiring dengan terjadinya pergeseran struktur ekonomi di Kabupate n Tangerang.
3. Menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian di Kabupaten Tangerang.
1. Analisis deskriptif
2. Analisis estimasi dampak
konversi lahan
3. Metode Location Quotieny (LQ)
4. Analisis surplus pendapatan dan
tenaga kerja.
5. Analisis regresi linier berganda.
1. Konversi lahan yang terjadi di Kabupaten
Tangerang pada tahun 1994-2003 sebesar 5407 ha dengan laju sebesar 2.44% per tahun.
2. Rata-rata lahan sawah yang terkonversi
selama 1994-2003 yaitu sebesar 3588.11 ton per tahun dan kehilangan nilai produksi sebesar Rp48 439 427 500.
3. Hasil perhitungan LQ berdasarkan indikator
pendapatan menunjukan sektor pertanian merupakan sektor basis dan mampu memberikan nilai surplus.
2 Dicky fajar Utama, 2006, Analisis Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Sawah di Kabupaten Cirebon
1. Mengetahui besaran dan laju konversi
lahaan sawah ke penggunaan non sawah di Kabupaten Cirebon.
2. Mengetahui pola konversi lahan sawah
yang terjadi dan mengetahui dampak ekonomi konversi lahan sawah.
3. Menganalisis faktor–faktor yang
berpengaruh terhadap konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah di kabupaten Cirebon.
1. Analisis deskriptif
2. Analisis kuantitatif estimasi
dampak konversi lahan sawah 3. Analisis regresi
4. Analisis operasional
1. Konversi lahan yang terjadi di Kabupaten
Cirebon pada tahun 1990-2004 sebesar 5872 ha atau sekitar 391.47 ha per tahun.
2. Konversi lahan sawah yang terjadi
mengakibatkan kehilangan peluang produksi padi sebesar 42209.08 ton dengan nilai sebesar Rp78 086 798 000.
3. Faktor–faktor yang mempengaruhi adalah
kepadatan penduduk, produktivitas lahan sawah, kontribusi PDRB non pertanian dan pertumbuhan panjang jalan aspal.
3 Misbahul Munir, 2008, Pengaruh Konversi Lahan Pertanian terhadap tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Petani
1. Menganalisis faktor-faktor yang
berhubungan dengan pengambilan keputusan petani untuk mengkonversi lahan pertanian.
2. Menganalisis pengaruh konversi lahan
pertanian terhadap tingkat kesejahteraan rumahtangga petani.
1. Metode penelitian survey
2. Analisis deskriptif korelasional
3. Analisis kuantitatif dan
kualitatif
4. Uji statistik non-parametrik
5. Teknik pengolahan data
1. Ada hubungan antara faktor internal dan
eksternal petani dengan pengambilan keputusan untuk mengkonversi lahan.
2. Konversi lahan berpengaruh positif terhadap
tingkat kesejahteraan rumahtangga petani khususnya di Desa Candimulyo. Dalam hal ini, petani tersebut akan lebih sejahtera setelah mengkonversikan lahan mereka
(34)
menjadi pertambangan pasir dan batu. Akan tetapi, jika dilihat sisi negatifnya, petani tersebut pada hakekatnya menghancurkan lingkungan sendiri.
3. Tipe konversi lahan yang terjadi di Desa
Candimulyo tergolong ke dalam tipe konversi yang disebabkan oleh masalah
sosial (Social Problem driven land
conversion); pola konversi yang terjadi karena adanya motivasi untuk berubah dari masyarakat, meninggalkan kondisi lama dan bahkan keluar dari sektor pertanian (utama). 4 Desi Irnalia Astuti, 2011,
Keterkaitan Harga Lahan Terhadap laju Konversi Lahan Pertanian di Hulu Sungai Ciliwung Kabupaten Bogor
1. Mengidentifikasi laju konversi lahan di
Kecamatan Cisarua.
2. Menganalisis keterkaitan harga lahan
terhadap laju konversi lahan pertanian di Kecamatan Cisarua.
3. Mengkaji faktor–faktor yang
mempengaruhi penduduk dalam mengkonversi lahan di hulu sungai.
1. Laju konversi lahan (parsial dan kontinu)
2. Metode korelasi pearson
3. Analisis korelasi berganda
1. Tren laju konversi lahan di Kecamatan
Cisarua tahun 2001-2010 terus mengalami peningkatan. Konversi lahan tertinggi pada tahun 2006, ada pertambahan jumlah objek wisata dan jumlah penduduk. Tingkat konversi lahan untuk pertanian dan pemukiman masaing–masing sebesara 2.28% dan 3.94%.
2. Harga lahan di tingkat Kecamatan Cisarua
pada tahun 2001-2010 berhubungan positif terhadap konversi lahan. Laju konversi semakin tinggi karena kenaikanharga lahan di kecamatan cisarua lebih murah dibandingkan dengan daerah asal mayoritas pembeli yaitu Jakarta.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penduduk
pada tingkat rumah tangga dalam mengkonversi lahan adalah lahan, jumlah tanggungan, pendapatan dan luas lahan yang dimiliki saat sebelum dijual.
(35)
5 Febriastuti, 2011, Analisis yang Mempengaruhi Harga Lahan di Sekitar Bandara Raja Haji Fisabilillah Kepulauan Riau
(Kasus: Harga Lahan di Kecamatan Tanjungpinang Timur, Tanjungpinang, Kepulauan Riau)
1. Menganalisis perbandingan harga lahan di
Kecamatan Tanjungpinang Timur sebelum dan setelah adanya pengembangan Bandara Raja Haji Fisabilillah.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi harga lahan di sekitar Bandara Raja Haji Fisabilillah, Kecamatan Tanjungpinang Timur, Tanjungpinang, Kepulauan Riau sebelum dan setelah dilakukan pengembangan.
1. Adjustment harga dan analisis deskriptif
2. Analisis regresi double log dan analisis deskriptif
1. Berdasarkan nilai inflasi lahan yang terjadi
diketahui bahwa besarnya nilai peningkatan harga lahan di sekitar Bandara Raja Haji Fisabilillah setelah dilakukan pengembangan bandara berkisar antara 17 % sampai 67 % dari harga sebelumnya.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga
lahan di sekitar sebelum dilakukan pengembangan bandara adalah jarak bidang tanah ke jalan raya terdekat, status jalan dan topografi lahan. Variabel tersebut mempengaruhi harga lahan secara nyata pada taraf nyata 10 %. Hal tersebut
berdasarkan hasil model double log dengan
R2 sebesar 70.30 %.
3. Sementara faktor-faktor yang
mempengaruhi harga lahan setelah dilakukan pengembangan bandara adalah luas lahan, jarak bidang tanah ke bandara dan jarak bidang tanah ke jalan raya terdekat. Variabel tersebut mempengaruhi harga lahan secara nyata pada taraf nyata 10 %. Hal tersebut berdasarkan hasil model
double log dengan R2 sebesar 69.20 %.
6 Anneke Puspasari, 2012,
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi
Lahan Pertanian dan Dampaknya terhadap Pendapatan Petani (Studi Kasus
De sa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten
1. Mengkaji laju alih fungsi lahan pertanian
di Kecamatan Karawang Timur
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih
fungsi lahan pada tingkat wilayah dan petani.
3. Menganalisis dampak alih fungsi lahan
terhadap pendapatan petani di Desa Kondangjaya
1. Analisis deskriptif
2. Analisis laju alih fungsi lahan 3. Analisis regresi linear berganda 4. Analisis regresi logistik
5. Uji beda rata-rata
1. Alih fungsi lahan yang terjadi pada tahun
2006-2011 sebesar 0.47%.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah
industri, proporsi luas lahan sawah,tingkat usia, pendapatan dan pengalaman bertani.
3. Rata-rata pendapatan Rp1 421 512.03
menjadi Rp1 299 796.30 setelah terjadinya laju alih fungsi lahan.
(36)
Karawang) 4. Menganalisis dampak alih fungsi lahan pertanian di Desa Kondangjaya.
4. Dampak alih fungsi lahan sawah terhadap
lingkungan tidak terlalu dirasakan, sebab responden kurang peduli terhadap lingkungan.
7 Elvira G.V.Butar-Butar, 2012,
Analisis Faktor-Faktor Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa Barat
1. Menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi konversi lahan sawah irigasi teknis ke penggunaan non-sawah di Provinsi Jawa Barat.
2. Menganalisis dampak ekonomi konversi
lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat.
1. Metode inferensia dengan
analisis regresi linier berganda 2. metode statistika deskriptif
1. Faktor-faktor yang berpengaruh secara
nyata terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis adalah laju pertumbuhan PDRB industri dan laju pertumbuhan panjang jalan.
2. Dampak yang ditimbulkan dari adanya
konversi lahan sawah adalah berkurangnnya jumlah produksi padi sebesar 1 308 420.30 ton dan nilai produksi padi sebesar Rp2 008 252 301. Serta penyerapan tenaga kerja yang hilang dengan pola tiga kali tanam adalah sebesar 48.26 juta atau 4.8 juta setiap tahun. Sedangkan upah tenaga kerja yang hilang dengan asumsi upah tenaga kerja setiap tahun Rp25 000 adalah sebesar Rp 6.53 miliar atau Rp 0.6 miliar setiap tahun.
(37)
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Teoritis
Sumberdaya lahan menjadi asset penting bagi pembangunan dan memiliki fungsi luas dalam kebutuhan manusia. Segala kegiatan perekonomian membutuhkan lahan sebagai input tetap utama pada aktivitas produksi komoditas pertanian maupun non-pertanian. Namun semakin tinggi permintaan kebutuhan lahan untuk aktivitas manusia maka akan semakin membatasi penggunaan lahan yang tersedia. Ketersediaan lahan yang terbatas ini akan memacu peningkatan harga lahan sehingga terjadi persaingan kepentingan dalam penggunaan lahan. Meningkatnya harga lahan akan mempengaruhi biaya produksi dan opportunity cost pada sektor pertanian karena harga lahan menentukan penggunaan lahan dengan kemampuan untuk membayar lahan yang akan digunakan. Pada lahan yang awalnya berupa lahan pertanian kini menjadi lahan yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dan menarik para investor untuk mengubah penggunaannya menjadi sektor non pertanian sehingga jumlah lahan pertanian mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Persaingan dalam penggunaan lahan tersebut ditentukan oleh besarnya nilai sewa ekonomi lahan (land rent). Nilai sewa ekonomi lahan akan berbeda-beda pada setiap wilayah tergantung pada penggunaan lahan tersebut. Land rent merupakan salah satu konsep yang penting untuk dipelajari menurut ilmu ekonomi sumberdaya lahan. Menurut Thalib (1998), sewa ekonomi lahan adalah keuntungan dari faktor produksi lahan yang merupakan selisih dari pendapatan minimumnya dalam suatu sistem produksi. Sedangkan menurut Barlowe (1978) yang mendefinisikan land rent sebagai nilai ekonomi yang diperoleh suatu bidang lahan bila lahan tersebut digunakan untuk kegiatan proses produksi. Nilai land rent diperoleh dari total produksi yang dikurangi oleh biaya produksi pada suatu petak lahan.
(38)
Sumber: Barlowe, 1978
Gambar 1 Land Rent Sebagai Sisa Surplus Ekonomi Setelah Biaya Produksi Dikeluarkan
Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat bahwa land rent diperoleh dari LMRN-LMSP=NPSR dimana LMRN merupakan nilai total produksi yang dihasilkan dan LMSP adalah biaya produksi. Selain itu land rent juga dipengaruhi oleh lokasi penggunaan lahan. Semakin dekat lokasi lahan dari pusat pemerintahan maupun pusat kegiatan (industri atau aksesibilitas) maka lahan tersebut akan semakin besar nilai sewa ekonomi lahannya. Adapun di beberapa daerah menggunakan zonasi sebagai penentuan nilai sewa ekonomi lahan. Pada dasarnya penentuan zonasi juga ditentukan oleh lokasi penggunaan lahan. Nilai sewa ekonomi lahan pada zona 1 biasanya memiliki nilai yang besar karena berada di dekat pusat kegiatan. Pada zona selanjutnya akan semakin rendah nilainya karena semakin menjauhi pusat kegiatan dan keramaian. Hal ini disebabkan oleh semakin jauh jarak dari pusat kegiatan maka akan semakin membutuhkan biaya transportasi untuk mencapai pusat kegiatan tersebut.
3.2 Kerangka Operasional
Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena dibutuhkan dalam setiap kegiatan pertanian, industri, pemukiman, sarana publik, rekreasi, perdagangan, maupun dalam aktivitas pembangunan kota. Perlu adanya perencanaan dan arah kebijakan yang tepat agar dapat memanfaatkan sumberdaya lahan secara optimal demi
S R N
P
L M
Output Biaya Produksi
AC MC
MR=AR
(39)
terwujudnya pembangunan kota sehingga tercipta kesejahteraan dengan meningkatnya perekonomian. Ketimpangan akan terjadi ketika pembangunan tidak menjalankan perencanaan sebagaimana mestinya dan tanpa kebijakan yang pasti karena pada sektor pertanian akan menjadi bagian yang tersisihkan ketika terjadi pembangunan kota. Pembangunan yang tidak disertai dengan arah kebijakan yang pasti akan mengancam keberadaan lahan pertanian yang semakin beralih fungsi menjadi sektor non pertanian guna menunjang peningkatan perekonomian suatu kota atau daerah.
Perkembangan pemanfaatan lahan pada sektor pertanian pada umumnya terjadi pada wilayah yang memiliki nilai ekonomi rendah. Pada wilayah-wilayah inilah berkembang pusat-pusat pemukiman penduduk dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk sehingga menuntut pemerintah kota atau daerah setempat untuk membangun fasilitas-fasilitas umum dan prasarana-prasarana di wilayah tersebut. Adanya pusat pemukiman penduduk, ketersediaan prasarana dan berdasarkan pertimbangan faktor-faktor lokasi, yaitu dekatnya lokasi dengan pemukiman sebagai sumber tenaga kerja, maka penggunaan lahan untuk penggunaan non pertanian cenderung untuk berkembang di wilayah ini.
Terjadinya alih fungsi lahan pertanian ini disebabkan oleh beberapa faktor-faktor baik secara makro maupun mikro. Faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat wilayah atau secara makro disebabkan oleh bertambah luasnya bangunan, meningkatnya laju PDRB non pertanian, pertumbuhan panjang aspal, maupun meningkatnya jumlah industri. Selain itu faktor yang mempengaruhi pada tingkat petani atau secara mikro yakni luas lahan yang dimiliki petani, harga lahan, hasil panen, tingkat pendidikan, harga benih, lama menetap, dan pengalaman bertani. Secara tidak langsung faktor makro maupun faktor mikro yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan ini saling terkait satu sama lain sehingga perlu adanya kebijakan secara keseluruhan yang dapat memberikan solusi serta menyelesaikan permasalahan yang terjadi akibat adanya alih fungsi lahan pertanian.
Lahan yang digunakan untuk produksi pertanian semakin tergeserkan sehingga jumlah produksi padi mengalami penurunan dan berimbas pada krisis pangan pada makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia. Krisis pangan
(40)
yang terjadi akibat alih fungsi lahan pertanian ini akan mengurangi hasil produksi petani sehingga meningkatkan impor bahan pangan dari negara lain, kenaikan harga pangan dalam negeri, dan juga mengurangi pendapatan bagi petani. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya kelaparan dan meningkatkan kemiskinan di tengah pertumbuhan penduduk yang semakin bertambah. Dampak lain yang merugikan petani yakni perubahan kepemilikan terhadap lahan. Petani yang awal mulanya merupakan pemilik lahan, perlahan-lahan hanya menjadi penggarap lahan milik orang lain, buruh tani, ataupun beralih pekerjaan lain. Berkurangnya produksi pertanian dan hilangnya nilai produksi juga berdampak kepada pemenuhan konsumsi penduduk.
Skema pengaruh harga lahan terhadap laju alih fungsi lahan beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya dan juga dampak yang terjadi terhadap produksi padi ditampilkan secara sederhana dalam Gambar 2.
(41)
Gambar 2. Diagram Alur Pikir Sumberdaya Lahan
Pertumbuhan Penduduk
Laju Alih Fungsi Lahan Pertanian Alih Fungsi Lahan
Non Pertanian Pertanian
Pembangunan Kota
Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Dampak Ekonomi
Pertanian
Makro Mikro Penurunan Jumlah
Produksi Padi
Regresi Linier Estimasi Dampak
Produksi
Rekomendasi Kebijakan Regresi Logistik
(42)
IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengambilan data dalam penelitian ini secara umum dilakukan di Kota Depok. Pemilihan Kota Depok sebagai lokasi Penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Dasar pertimbangan pemilihan Kota Depok sebagai daerah untuk pengambilan data penelitian karena kota ini ditetapkan sebagai penyangga DKI Jakarta menurut rencana wilayah dan tata ruang yang menjadikan kota ini sebagai kota pusat pemukiman, kota perdagangan, serta kota pendidikan. Hal ini mengindikasikan terjadinya alih fungsi lahan menjadi pemukiman maupun pertokoan. Kota Depok ini memiliki perkembangan pembangunan kota yang cukup pesat dikarenakan wilayahnya yang strategis sehingga laju pertumbuhan penduduk semakin meningkat setiap tahunnya, akibat natalitas maupun migrasi yang mempengaruhi tata guna lahan.
Penelitian dilakukan dengan mengambil sampel di Kecamatan Limo. Dasar penentuan pengambilan sampel karena kecamatan tersebut termasuk salah satu kecamatan yang terjadi alih fungsi pertanian menjadi pemukiman. Selain itu saat ini lahan pertanian di Kecamatan Limo termasuk daerah yang akan dibebaskan lahannya dan dijadikan jalan tol dalam beberapa tahun kedepan. Pengambilan data primer dan sekunder dilakukan selama bulan April hingga Mei 2013.
4.2 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan pemilik lahan baik melalui kuesioner maupun wawancara secara mendalam. Data primer meliputi data mengenai faktor-faktor yang menjadi alasan petani mengalihfungsikan lahannya, dampak alih fungsi pertanian terhadap petani, serta data lainnya yang digunakan dalam penelitian. Data sekunder diperoleh dari BPS Kota Depok, Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Depok, Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Kota Depok, BPP Kota Depok, Kecamatan Limo dan dinas-dinas terkait lainnya. Data sekunder digunakan untuk mengetahui laju konversi lahan
(43)
dan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan di tingkat wilayah. Data sekunder yang diperlukan merupakan data time series dari tahun 2001-2012, meliputi data luas lahan wilayah, luas sawah, produktivitas pertanian, jumlah penduduk, pertumbuhan panjang jalan aspal, pertumbuhan PDRB, jumlah industri serta data-data lain yang di anggap mendukung dalam menjawab pertanyaan penelitian yang diperoleh dari pemerintah dan aparat di Kota Depok.
4.3 Metode Pengambilan Sampel
Metode pengambilan sampel yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan kepada petani pemilik lahan sekaligus penggarap yang mengalami alih fungsi lahan dan tidak mengalami alih fungsi lahan dilakukan secara snowball sampling atau penarikan sampel bola salju yang merupakan bentuk dari non probability sampling method. Metode ini dipilih karena jumlah populasi maupun anggota populasi yang akan diteliti tidak diketahui secara pasti. Cara pengambilan sampel dengan metode ini dilakukan dengan mencari sampel pertama dan mewawancarainya. Setelah itu peneliti juga mencari informasi kepada sampel pertama tersebut tentang sampel selanjutnya yang akan diwawancarai sesuai dengan kriteria yang diinginkan, dan begitu seterusnya.
Responden dalam penelitian ini merupakan petani pemilik lahan sekaligus penggarap yang pernah mengalami alih fungsi lahan dan tidak mengalami alih fungsi lahan. Pengambilan data primer dilakukan melalui teknik wawancara mendalam dengan bantuan kuesioner kepada responden. Responden dalam penelitian ini berjumlah 35 orang. Penetapan sampel ini didasarkan pada pendapat Gujarati (2006) yang menyatakan bahwa rata-rata sampel dari besaran sampel yang terdiri dari sekurang-kurangnya 30 responden akan mendekati normal.
4.4 Metode Analisis Data
Analisis data bertujuan untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk tabel yang mudah dipahami dan diinterpretasikan. Metode analisis data yang akan dilakukan dapat dilihat dalam tabel 3 di bawah ini:
(44)
Tabel 3. Matriks Metode Analisis Data
No Tujuan Penelitian Sumber Data Metode Analisis
Data 1 Mengidentifikasi laju alih fungsi
lahan di Kota Depok
Data sekunder Persamaan laju alih fungsi lahan
2 Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian di tingkat wilayah Kota Depok
Data Sekunder Analisis regresi linier berganda
3 Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian di tingkat petani
Data primer (wawancara menggunakan kuesioner) Analisis regresi logistik
4 Mengestimasi dampak terjadinya alih fungsi lahan pertanian.
Data primer (wawancara menggunakan kuesioner)
Analisis estimasi produksi dan nilai produksi
Data yang diperoleh dalam penelitian dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan menggunakan komputer dengan melalui program Microsoft Office Excel 2007, Statistical Program and Service Solution 20 , dan Eviews 7.
4.4.1 Analisis Laju Alih Fungsi Lahan
Dalam menentukan laju alih fungsi lahan, dibutuhkan identifikasi wilayah yang berupa luas lahan sawah per tahunnya. Setelah itu menentukan tahun awal terjadinya alih fungsi lahan dengan adanya perubahan luasan saat sebelum hingga sesudah terjadinya alih fungsi lahan. Selanjutnya, mengkalkulasi perbandingan luasan lahan per tahun sehingga bisa terlihat perbandingan luas lahan sebelum terjadi alih fungsi lahan hingga terjadinya alih fungsi lahan.
Laju alih fungsi lahan dapat ditentukan dengan cara menghitung laju alih fungsi secara parsial dan kontinu (Sutandi 2009) dalam Astuti (2011). Dalam penelitian ini, laju alih fungsi lahan hanya menggunakan perhitungan laju alih fungsi lahan secara parsial. Analisis dengan persamaan ini dapat melihat persentase laju konversi lahan yang terjadi di Kota Depok setiap tahunnya dari tahun 2001 hingga 2012. Laju konversi lahan tertinggi selama 12 tahun dapat dilihat dengan menggunakan metode seperti ini.
(45)
Laju konversi parsial:
V
=
x 100% ...(4.1) dimana:V = Laju konversi lahan (%)
Lt = Luas lahan saat ini/ tahun ke-t (ha) Lt-1 = Luas lahan tahun sebelumnya (ha)
4.4.2 Analisis Linier Berganda
Analisis data yang digunakan dalam mengkaji faktor-faktor pengaruh alih fungsi lahan adalah analisis regresi linier berganda. Tujuannya adalah membuat suatu deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta. Analisis regresi adalah hubungan secara linier antara dua atau lebih variabel peubah bebas atau independent (X) dengan variabel peubah tak bebas atau dependent (Y).
Faktor – faktor yang mempengaruhi tingkat konversi lahan di tingkat wilayah adalah :
1. Luas Bangunan (X1)
Luas bangunan merupakan jumlah luasan bangunan per hektar. Sebagian besar alih fungsi lahan pertanian diubah menjadi bangunan-bangunan baik dalam bentuk pemukiman, industri, maupun sarana prasarana lainnya. Dengan meningkatnya jumlah penduduk akan menambah permintaan akan tempat tinggal. Hal ini akan mendorong peningkatan luasan bangunan untuk pemukiman sehingga menurunkan luasan lahan pertanian.
2. PDRB non pertanian (X2)
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) non pertanian merupakan salah satu indikator yang dapat menggambarkan pertumbuhan ekonomi pada sektor di luar pertanian. Semakin besar pertumbuhan ekonomi pada sektor non pertanian suatu wilayah dapat mempercepat terjadinya perubahan struktur ekonomi dari sektor pertanian ke arah sektor jasa, perdagangan, manufaktur, dan sektor non pertanian lainnya. Sehingga penggunaan lahan pun akan tergeser dari lahan untuk pertanian menjadi non pertanian.
(46)
3. Perubahan Panjang Jalan Aspal (X3)
Meningkatnya luasan panjang aspal pada suatu wilayah merupakan salah satu cara untuk meningkatkatkan aksesibilitas. Dengan meningkatnya perubahan panjang aspal, diduga akan meningkatkan penurunan luas lahan sawah akibat alih fungsi lahan.
Persamaan model regresi linier berganda antara peubah – peubah diatas dapat dirumuskan sebagai berikut :
Ln Y= α + Ln (β1X1) + Ln(β2X2) + Ln(β3X3) + ε ...(4.2) Tanda yang diharapkan :
β i > 0 Dimana :
Y = Penurunan lahan pertanian akibat konversi lahan α = Intersep
Xi = Faktor – faktor yang diduga mempengaruhi alih fungsi lahan
β i = Koefisien regresi
ε = Error Term
Analisis regresi linier berganda merupakan alat untuk memperoleh suatu prediksi di masa lalu maupun yang akan datang dengan dasar keadaan saat ini. Prediksi dalam hal ini bukanlah merupakan hal yang pasti, namun mendekati kebenaran. Regresi linier sederhana dengan variabel ganda adalah analisis statistik yang mencakup hubungan banyak variabel. Apabila dijumpai satu variabel terikat yang dipengaruhi oleh beberapa variabel bebas dalam mempengaruhi variabel terikat itu bermacam, sehingga bentuk hubungannya pun tentunya berbeda-beda. Sifat hubungan berjenjang sering kali terjadi dalam kajian ilmu sosial. Variabel lain menjembatani pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat tersebut dengan variabel antara. Variabel bebas itu sendiri mempunyai pola hubungan yang tidak tetap. Artinya bisa benar-benar bebas, berkorelasi tetapi tidak signifikan atau mempunyai hubungan yang tidak erat.
Metode regresi linier berganda memiliki beberapa asumsi. Asumsi model regresi dikaitkan dengan pengujian parameter model dimana pengujian dikatakan sah jika asumsi pengujian dipenuhi. Asumsi tersebut menyangkut sifat dari distribusi residual. Residual harus menyebar di sekitar 0, memiliki varians konstan
(47)
(identik) dan independen (tidak berkorelasi satu sama lain). Salah satu syarat untuk mencapai ini yaitu data tidak bersifat time series. Regresi linier berganda dibutuhkan kondisi antar variabel X tidak saling berkorelasi (independent).
Terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan bahwa model yang telah dihasilkan adalah baik. Menurut Sutandi (2009), model yang baik haruslah memenuhi beberapa uji asumsi pelanggaran, seperti:
1. Kriteria Ekonomi
Model yang diuji berdasarkan kriteria ekonomi akan dilihat tanda dan besaran tiap koefisien dugaan yang telah diperoleh. Kriteria ekonomi mensyaratkan tanda dan besaran yang terdapat pada tiap koefisien dugaan sesuai dengan teori ekonomi. Apabila model tersebut memenuhi kriteria ekonomi, maka model tersebut dapat dikatakan baik secara ekonomi, namun, apabila kriteria tersebut tidak memenuhi standar ekonomi maka model tersebut tidak dapat dikatakan baik secara ekonomi.
2. Kriteria Statistik dan Ekonometrika
Ada beberapa uji yang dapat digunakan untuk menentukan kesesuaian model regresi yang telah didapatkan secara statistika dan ekonometrika. Uji tersebut adalah sebagai berikut:
a. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk melihat apakah pada model tersebut residual terdistribusi normal atau tidak. Model yang baik harus mempunyai residual yang terdistribusi normal atau hampir normal. Uji yang dapat digunakan adalah dengan membuat histrogram normalitas. Nilai probality yang lebih besar dari taraf nyata α = 10% menandakan residual terdistribusi secara normal.
b. Uji Multikolinieritas
Model yang melibatkan banyak peubah bebas sering terjadi masalah Multikolinieritas, yaitu terjadinya korelasi yang kuat antar peubah bebas. Masalah ini dapat dilihat langsung melalui output komputer, dimana apabila nilai Varian Inflaction Factor (VIF) < 10 maka tidak ada masalah multikolinieritas. Hal ini berarti bebas uji asumsi
(48)
pelanggaran dan persamaan yang digunakan merupakan persamaan yang baik dan tidak terdapat pelanggaran.
c. Uji Heteroskedastisitas
Salah satu asumsi metode penggunaan kuadrat terkecil adalah Homoskedastisitas, yaitu ragam galat konstan dalam setiap amatan. Pelanggaran atas asumsi Homoskedastisitas adalah Heteroskedastisitas. Masalah Heteroskedastisitas dapat dideteksi dengan uji glejser. Uji glejser dilakukan dengan meregresikan variabelvariabel bebas terhadap nilai absolut residualnya. Jika nilai signifikannya dari hasil uji gletser lebih besar dari α =10% maka tidak terdapat Heteroskedastisitas.
d. Uji Autokorelasi
Uji autokolerasi dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan diantara galat dalam persamaan regresi yang diperoleh. Jika kita mengabaikan adanya autokorelasi, maka akan berdampak terhadap pengujian hipotesis dan proses peramalan. Uji paling sering digunakan dalam mendeteksi adanya autokolerasi dalam suatu model adalah uji DW (Durbin Watson Test), dan jika hasilnya mendekati 2 maka tidak ada autokolerasi. Selain itu, cara mendeteksi autokorelasi dapat dilakukan dengan menggunakan uji Breusch-Godfrey. Uji ini dilakukan dengan meregresikan residual dengan lag residual dan semua regresor. Dari hasil regresi tersebut akan diperoleh koefisien determinasi (Prob. Chi-Square) untuk mengetahui autokorelasi. Jika nilai tersebut lebih besar dari taraf α = 10% maka tidak ada permasalahan autokorelasi.
4.4.3Analisis Regresi Logistik
Analisis regresi logistik digunakan untuk mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam mengkonversi lahan sawah. Menurut Nachrowi et all (2002), model logit adalah model non linear, baik dalam parameter maupun dalam variabel. Juanda (2009), memaparkan bahwa model logit diturunkan berdasarkan fungsi peluang logistik yang dapat dispesifikasikan sebagai berikut
(49)
Dimana e mempresentasikan bilangan dasar logaritma natural (e=2.718....). Dengan aljabar biasa, persamaan dapat di tunjukkan menjadi :
………..…………..(4.4)
Peubah (Pi / 1 - Pi ) dalam persamaan 4.4 diatas disebut sebagai odds, yaitu rasio peluang terjadinya pilihan 1 terhadap peluang terjadinya pilihan 0 alternatif. Parameter model estimasi logit harus diestimasi dengan metode maximum likelihood (ML). Dengan persamaan logaritma natural, maka :
………..(4.5) Persamaan model regresi logistik untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan adalah sebagai berikut :
……….(4.6) Dimana:
Z = Peluang tidak konversi lahan (0) dan konversi lahan (1) α = Intersep
Xi = Faktor –faktor yang diduga mempengaruhi keputusan alih fungsi lahan βi = Koefisien regresi
ε = Error Term
Faktor – faktor yang mempengaruhi petani untuk mengkonversi lahan adalah:
1. Luas Lahan (ha)
Luas lahan mempengaruhi jumlah produksi yang dihasilkan oleh petani. Hal ini akan mempengaruhi penghasilan petani dan berpengaruh dalam mengambil keputusan untuk melakukan alih fungsi atau tidak terhadap lahan sawahnya. Semakin luas lahan yang dimiliki petani, diduga petani cenderung menjual lahannya.
2. Lama Bertani (tahun)
Semakin lama pengalaman bertani pada seorang petani, maka keahlian dalam bertani akan semakin tinggi. Hal tersebut akan mempengaruhi petani dengan cenderung mempertahankan lahannya.
(50)
3. Hasil Panen (ton/ha)
Semakin tinggi hasil panen akan memberikan tingkat pengembalian yang besar, sehingga akan mendorong petani untuk mempertahankan lahannya. Dengan mempertahankan lahannya, diharapkan petani akan mendapat pengasilan yang besar sehingga terjadi penurunan alih fungsi lahan.
4. Lama Menetap (tahun)
Semakin lama petani tinggal di suatu wilayah, maka petani akan cenderung mempertahankan lahannya.
5. Jumlah Tanggungan (Jiwa)
Semakin banyak jumlah tanggungan anggota keluarga petani, maka akan semakin banyak pula kebutuhan yang harus ditanggapi. Hal ini mempengaruhi petani dalam membuat keputusan sehingga tekanan untuk melakukan alih fungsi lahan akan meningkat. Petani cenderung melakukan alih fungsi lahan untuk mencukupi kebutuhannya.
Agar diperoleh hasil analisis regresi logit yang baik perlu dilakukan pengujian untuk melihat model logit yang dihasilkan keseluruhan dapat menjelaskan keputusan pilihan secara kualitatif. Pengujian parameter yang dilakukan dengan menguji semua secara keseluruhan dan menguji masing – masing parameter secara terpisah. Statistik uji yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Odds Ratio
Odds merupakan rasio peluang kejadian terjadinya sukses (y=1) terhadap peluang kejadian terjadinya gagal (y=0) (Nachrowi et all ,2002). Pada dasarnya odds ratio digunakan untuk melihat hubungan antara peubah bebas dan peubah terikat dalam model logit. Odds ratio dapat didefinisikan sebagai berikut : dimana P menyatakan peluang terjadinya peristiwa (Z=1) dan 1-P menyatakan peluang tidak terjadinya peristiwa.
2. Likelihood Ratio
Likelihood Ratio merupakan rasio kemungkinan maksimum yang digunakan untuk menguji peranan variabel secara serentak (Hosmer dan Lemeshow 2002). Statistik uji yang dapat menunjukkan nilai Likelihood Ratio adalah Uji G dengan rumus seperti:
(51)
……….……….(4.7)
Dimana l0 merupakan nilai likelihood tanpa variabel penjelas dan li
merupakan nilai likelihood model penuh. Statistik uji G akan mengikuti sebaran chi-square dengan derajat bebas α. Kriteria keputusan yang diambil adalah jika G > chi-square maka H0 ditolak. Jika H0 ditolak maka dapat disimpulkan bahwa minimal ada βj ≠ 0, dengan pengertian lain, model regresi logistik dapat
menjelaskan atau memprediksi pilihan individu pengamatan. 4.4.4 Analisis Estimasi Dampak Produksi
Kerugian yang timbul dari alih fungsi lahan pertanian diantaranya berupa hilangnya peluang memproduksi dan pendapatan usaha tani yang seharusnya dapat tercipta dari lahan sawah yang hilang. Dalam penelitian ini, diasumsikan satu tahun produksi mempunyai pola tanam dua kali dan asumsi selanjutnya adalah produktivitas seluruh jenis irigasi dan masa tanam yang sama dalam satu tahun. Menurut Utama (2006), nilai produksi sawah yang hilang dapat dirumuskan secara matematis sebagai berikut:
dimana:
NQ = Nilai produksi padi sawah yang hilang (Rp/ton) Pt = Harga komoditi padi sawah yang ditanam (Rp)
Qt = Produksi padi sawah yang hilang per tahun (ton/tahun) t = Tahun data (tahun)
dimana:
Qi = Produksi padi sawah yang hilang per tahun (ton/tahun)
dimana:
Si = Luas lahan sawah yang terkonversi (ha)
Hi = Produktifitas usaha tani padi sawah per tahun (ton/ha) .
(52)
V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Wilayah Kota Depok
Secara geografis Kota Depok terletak pada koordinat 6º 19’00’’-6º 28’00’’ Lintang Selatan dan 106º43’00’’ - 106º55’30’’ Bujur Timur. Bentang alam Depok dari selatan ke utara merupakan daerah dataran rendah-perbukitan bergelombang lemah, dengan elevasi antara 50–140 meter diatas permukaan laut dan kemiringan lerengnya yang landai kurang dari 15 persen dengan ketinggian 717 m dpl. Kondisi geologi Kota Depok termasuk dalam sistem geologi cekungan Botabek yang dibentuk oleh endapan kuarter yang berupa rombakan gunung api muda dan endapan sungai. Secara umum jenis tanah yang terdapat di Kota Depok berupa tanah alluvial dan latosol. Temperatur suhu wilayah rata-rata 24.3° C - 33° C dan kelembaban udara rata-rata 82 %.
Menurut Badan Pusat Statistik Kota Depok, wilayah ini termasuk daerah beriklim tropis yang dipengaruhi oleh iklim muson, musim kemarau bulan April – September dan musim penghujan antara bulan Oktober – Maret. Kondisi iklim di daerah Depok relatif sama yang ditandai oleh perbedaan curah hujan yang cukup kecil. Curah hujan di Kota Depok terdiri dari:
1. 1500 – 2000 mm/thn, terjadi di bagian utara wilayah Kota Depok 2. 2000 – 2500 mm/thn, terjadi di bagian utara wilayah Kota Depok 3. 2500 – 3000 mm/thn, terjadi di bagian tengah wilayah Kota Depok 4. 3000 – 3500 mm/thn, terjadi di wilayah selatan – timur Kota Depok
Wilayah Kota Depok berbatasan dengan tiga Kabupaten dan satu Propinsi. Secara lengkap wilayah ini mempunyai batas-batas sebagai berikut :
• Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Ciputat Kabupaten Tangerang dan Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
• Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pondok gede Kota Bekasi dan Kecamatan Gunung Putri Kabupaten Bogor.
• Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Bojong gede Kabupaten Bogor.
• Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Parung dan Kecamatan Gunung sindur Kabupaten Bogor.
(53)
Sebagai salah satu wilayah termuda di Jawa Barat, Kota Depok mempunyai luas wilayah sekitar 200.29 km² yang di sekitarnya dialiri oleh sungai-sungai besar yaitu Sungai Ciliwung dan Cisadane serta 13 sub Satuan Wilayah Aliran Sungai. Disamping itu terdapat pula 25 situ. Data luas situ pada tahun 2005 sebesar 169.68 Ha, dengan kualitas air rata-rata buruk akibat tercemar.
Tabel 4 Data Penggunaan Lahan di Kota Depok Tahun 2009
No Jenis Penggunaan Lahan Luas (ha)
1 Industri 514.79
2 Instalasi Pemerintah 236.84
3 Kawasan Militer 159.52
4 Kebun Campuran 7312.20
5 Kolam 276.45
6 Kuburan 104.30
7 Lapangan 1705.82
8 Pendidikan Tinggi 198.06
9 Perdagangan dan Jasa 201.56
10 Perkantoran dan Jasa 11.32
11 Permukiman Swadaya 5375.56
12 Permukiman Terstruktur 1833.58
13 Sawah 19617.59
14 Lain-lain 411.41
Jumlah 20.029,00 Sumber : Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Kota Depok (2009)
Berdasarkan data penggunaan lahan tersebut dapat dilihat bahwa Kota Depok didominasi oleh penggunaan sawah seluas 19 617.59 Ha atau sekitar 97.95% dari total luas wilayah, selan itu juga masih banyak terdapat kebun campuran yang luasannya mencapai 7312.20 Ha atau sekitar 36.51% dari total luas wilayah. Permukiman swadaya juga cukup berkembang hasil analisis dan perhitungan, maka dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan dominan ruang di Kota Depok di dominasi oleh lahan terbangun yaitu sebesar 10461.99 ha atau sekitar 52.30 % dari luas wilayah Kota Depok. Dari penggunaan lahan terbangun yang paling besar digunakan untuk pemanfaatan lahan permukiman dengan nilai luas lahan sebesar 9540.64 ha atau sebesar 48.57% dari luas lahan Kota Depok. Kawasan Permukiman yang terdapat di Kota Depok meliputi kawasan permukiman terstruktur/teratur yang biasa di bangun oleh pengembang atau deplover dan kawasan perumahan non struktur atau disebut juga kawasan permukiman perkampungan dan umumnya di bangun secara perorangan.
(54)
Menurut Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor tanggal 16 Mei 1994 Nomor 135/SK.DPRD/03/1994 tentang Persetujuan Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat tanggal 7 Juli 1997 Nomor 135/Kep.Dewan 06/DPRD/1997 tentang Persetujuan Atas Pembentukan Kotamadya Dati II Depok dan untuk lebih meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah, pelaksanaan pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat serta untuk lebih meningkatkan peran aktif masyarakat, maka pembentukan Kota Depok sebagai wilayah administratif baru di Propinsi Jawa Barat ditetapkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1999.
Berdasarkan Undang-undang tersebut, dalam rangka pengembangan fungsi kotanya sesuai dengan potensinya dan guna memenuhi kebutuhan pada masa mendatang, terutama untuk sarana dan prasarana fisik kota, serta untuk kesatuan perencanaan, pembinaan wilayah, dan penduduk yang berbatasan dengan wilayah Kota Administratif Depok, maka wilayah Kota Depok tidak hanya terdiri dari wilayah Kota Administratif Depok, tetapi juga meliputi sebagian wilayah Kabupaten Bogor lainnya sehingga wilayah Kota Depok terdiri dari 6 Kecamatan.
Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, tuntutan masyarakat akan pelayanan prima dari pemerintah dan volume kegiatan penyelenggaraan pemerintahan pada akhir tahun 2009 Kota Depok pemekaran wilayah kecamatan yang semula 6 kecamatan menjadi 11 kecamatan. Adapun pemekaran ini dituangkan dalam Perda Kota depok No. 8 Tahun 2007 dengan implementasi mulai dilaksanakan tahun 2009. Wilayah yang mengalami pemekaran ada 5 kecamatan terdiri atas Kecamatan Tapos merupakan pemekaran dari Kecamatan Cimanggis, Kecamatan Bojongsari pemekaran dari Kecamatan Sawangan, Kecamatan Cilodong pemekaran dari Kecamatan Sukmajaya, Kecamatan Cipayung pemekaran dari kecamatan Pancoranmas dan Kecamatan Cinere pemekaran dari kecamatan Limo. Dengan demikian Kota Depok memiliki 11 kecamatan, 63 kelurahan, 871 Rukun warga (RW) dan 4856 Rukun Tetangga (RT).
(55)
Jumlah Penduduk di Kota Depok tahun 2012 mencapai 1 898 567 jiwa, yang terdiri dari penduduk laki-laki 961 876 jiwa dan penduduk perempuan 936 691 jiwa. Saat ini sebagian besar penduduk bekerja di sektor perdagangan dan jasa. Mata pencaharian penduduk Kota Depok dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini:
Tabel 5 Mata Pencaharian Penduduk Kota Depok tahun 2011
No Lapangan Pekerjaan Utama Jumlah
(jiwa) Presentase(%) 1 Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Perikanan,
Perburuan 32 020 1.90
2 Pertambangan dan Penggalian 6 381 0.38
3 Industri 211 370 12.54
4 Listrik, Gas, dan Air Minum 8 446 0.50
5 Konstruksi 105 846 6.28
6 Perdagangan, Rumah Makan, dan Jasa Akomodasi 602 693 35.75
7 Transportasi, Pergudangan, dan Komunikasi 116 118 6.89
8 Lembaga keuangan, Real Estate, Usaha
Persewaan, dan Jasa Perusahaan 123 577 7.33
9 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 479 567 28.44
Total 1 686 018 100.00
Sumber: Sakernas (2011)
5.2 Gambaran Umum Kecamatan Limo
Kecamatan Limo merupakan salah satu kecamatan dari 11 kecamatan yang ada di Kota Depok. Secara umum topografi wilayah Kecamatan Limo Kota Depok merupakan dataran rendah dengan elevansi sekitar 50 mdpl. Kemiringan lereng antara 8-15% (lereng landai) yang sesuai untuk pengembangan perkotaan dan pertanian. Suhu rata-rata di Kecamatan Limo berkisar antara 28-30 derajat celcius dengan curah hujan rata-rata 225 mm/th.
Letak geografis wilayah Kecamatan Limo berada di sebelah utara Kota Depok dengan batas-batas sebagai berikut:
• Sebelah Utara : Kecamatan Cinere
• Sebelah Selatan : Kecamatan Pancoran Mas
• Sebelah Timur : Daerah Khusus Ibu kota Jakarta dan Kecamatan Beji
(1)
Lampiran 2
Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi
Lahan Sawah di Tingkat Wilayah
Dependent Variable: LHNSWH Method: Least Squares
Date: 07/02/13 Time: 07:22 Sample: 2001 2012
Included observations: 12
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. PDRBNONPER -0.511389 0.075850 -6.742073 0.0001
LUASBANG -0.809538 0.361049 -2.242185 0.0552 PJGASPAL 0.195839 0.171448 1.142262 0.2864
C 8.733347 2.124867 4.110068 0.0034
R-squared 0.850518 Mean dependent var 2.996012 Adjusted R-squared 0.794463 S.D. dependent var 0.116583 S.E. of regression 0.052854 Akaike info criterion -2.781346 Sum squared resid 0.022349 Schwarz criterion -2.619711 Log likelihood 20.68808 Hannan-Quinn criter. -2.841190 F-statistic 15.17278 Durbin-Watson stat 1.512855
Prob(F-statistic) 0.001153
Variance Inflation Factors Date: 07/02/13 Time: 07:23 Sample: 2001 2012
Included observations: 12
Coefficient Uncentered Centered
Variable Variance VIF VIF
PDRBNONPER 0.005753 1198.273 1.190605 LUASBANG 0.130356 9245.060 1.262481 PJGASPAL 0.029394 4064.805 1.154679
C 4.515059 19394.60 NA
0 1 2 3 4
-0.125 -0.100 -0.075 -0.050 -0.025 0.000 0.025 0.050 0.075
Series: Residuals Sample 2001 2012 Observations 12
Mean 0.000000 Median 0.009869 Maximum 0.063368 Minimum -0.105459 Std. Dev. 0.045074 Skewness -0.895990 Kurtosis 3.580230 Jarque-Bera 1.773929 Probability 0.411904
(2)
Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey
F-statistic 2.553302 Prob. F(3,8) 0.1286 Obs*R-squared 5.869695 Prob. Chi-Square(3) 0.1181 Scaled explained SS 3.365591 Prob. Chi-Square(3) 0.3386
Test Equation:
Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 07/02/13 Time: 07:23 Sample: 2001 2012
Included observations: 12
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -0.176824 0.105280 -1.679550 0.1316
PDRBNONPER 0.009744 0.003758 2.592837 0.0320 LUASBANG 0.030719 0.017889 1.717238 0.1243 PJGASPAL -0.002458 0.008495 -0.289383 0.7796 R-squared 0.489141 Mean dependent var 0.001862 Adjusted R-squared 0.297569 S.D. dependent var 0.003125 S.E. of regression 0.002619 Akaike info criterion -8.791020 Sum squared resid 5.49E-05 Schwarz criterion -8.629384 Log likelihood 56.74612 Hannan-Quinn criter. -8.850863 F-statistic 2.553302 Durbin-Watson stat 2.177325
Prob(F-statistic) 0.128585
Heteroskedasticity Test: Glejser
F-statistic 3.726965 Prob. F(3,8) 0.0607 Obs*R-squared 6.995020 Prob. Chi-Square(3) 0.0721 Scaled explained SS 4.977531 Prob. Chi-Square(3) 0.1734
Test Equation:
Dependent Variable: ARESID Method: Least Squares Date: 07/02/13 Time: 07:24 Sample: 2001 2012
Included observations: 12
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -1.214318 0.854636 -1.420860 0.1931
PDRBNONPER 0.095763 0.030508 3.138990 0.0138 LUASBANG 0.243985 0.145216 1.680150 0.1314 PJGASPAL -0.072223 0.068958 -1.047357 0.3255 R-squared 0.582918 Mean dependent var 0.033765 Adjusted R-squared 0.426513 S.D. dependent var 0.028072 S.E. of regression 0.021258 Akaike info criterion -4.602924 Sum squared resid 0.003615 Schwarz criterion -4.441289 Log likelihood 31.61755 Hannan-Quinn criter. -4.662768 F-statistic 3.726965 Durbin-Watson stat 2.400357
(3)
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 1.286846 Prob. F(2,6) 0.3427 Obs*R-squared 3.602217 Prob. Chi-Square(2) 0.1651
Test Equation:
Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 07/02/13 Time: 07:24 Sample: 2001 2012
Included observations: 12
Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. PDRBNONPER 0.062237 0.088833 0.700612 0.5098
LUASBANG 0.254278 0.384479 0.661357 0.5329 PJGASPAL 0.027375 0.166826 0.164095 0.8750
C -1.615152 2.322684 -0.695382 0.5128
RESID(-1) -0.046489 0.561571 -0.082784 0.9367 RESID(-2) -0.957253 0.597990 -1.600786 0.1605 R-squared 0.300185 Mean dependent var 0.000000
Adjusted R-squared -0.282995 S.D. dependent var 0.045074 S.E. of regression 0.051056 Akaike info criterion -2.804952 Sum squared resid 0.015640 Schwarz criterion -2.562499 Log likelihood 22.82971 Hannan-Quinn criter. -2.894717 F-statistic 0.514738 Durbin-Watson stat 2.073368
(4)
Lampiran 3 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani dalam
Melakukan Alih Fungsi Lahan Sawah
Dependent Variable Encoding
Original Value Internal Value
tidak konversi 0
konversi 1
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1
Step 16,080 5 ,007
Block 16,080 5 ,007
Model 16,080 5 ,007
Model Summary
Step
-2 Log likelihood
Cox & Snell R Square
Nagelkerke R Square
1 27,494a ,368 ,517
Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.
(5)
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 1a
x1 -,350 ,204 2,954 1 ,086 1,419
x3 -,256 ,139 3,404 1 ,065 1,292
x4 -,014 ,031 ,218 1 ,641 1,015
x5 ,128 ,117 1,196 1 ,274 ,880
x6 -,288 ,354 ,662 1 ,416 1,334
Constant 4,185 3,646 1,317 1 ,251 ,015
Classification Tablea
Observed Predicted
Y
Percentage Correct Tidak
Konversi Konversi
Step 1 Y Tidak Konversi 7 4 63.6
Konversi 3 21 87,5
(6)