Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi di Pulau Jawa: Analisis Data Panel

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang sering terjadi pada perekonomian suatu negara. Gejala-gejala inflasi pada perekonomian ditandai dengan kenaikan harga-harga secara umum dan berlangsung secara terus menerus (kontinu) ini akan memengaruhi dan berdampak luas dalam berbagai bidang baik ekonomi, sosial maupun politik.

Inflasi membawa pengaruh yang buruk bagi perekonomian, antara lain yaitu dapat menurunkan kesejahteraan riil masyarakat yang berpenghasilan tetap. Gaji buruh, Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan karyawan swasta lainnya mengalami penurunan nilai riil, kendati nilai nominalnya tidak berubah. Inflasi yang terlampau tinggi akan mengakibatkan terjadinya overheating economy yang mengarah pada situasi resesi. Pada masa resesi pengusaha swasta akan mengadakan rasionalisasi melalui pembatalan investasi yang telah disetujui karena beban bunga yang terlampau tinggi disertai prospek usaha yang menurun drastis. Hal ini pada akhirnya akan menimbulkan masalah yang krusial di bidang ketenagakerjaan yaitu munculnya pengangguran.

Inflasi juga berdampak negatif pada neraca pembayaran yaitu menyebabkan naiknya harga-harga ekspor, sehingga produksi dalam negeri tidak mampu bersaing dengan produk-produk luar negeri yang berakibat kepada turunnya neraca perdagangan. Selain itu, inflasi juga berpengaruh pada nilai tukar rupiah, yaitu tingginya inflasi membuat mata uang rupiah menjadi over valued yang akan berdampak pada isu devaluasi dan menyebabkan rush valuta asing. Ketidakpercayaan terhadap rupiah mengakibatkan aliran modal keluar (capital outflow) yang akan berakibat buruk pada iklim investasi dalam negeri.

Sejarah mencatat inflasi di Indonesia pernah mencapai titik tertinggi yaitu pada tahun 1966 dan tahun 1998. Inflasi pada tahun 1966 merupakan inflasi tertinggi pada era tahun 1960-an, sementara pada tahun 1998 merupakan inflasi tertinggi sejak era orde baru (Gambar 1.1). Hyperinflation yang terjadi pada tahun


(2)

1966 disebabkan oleh defisit anggaran belanja pemerintah yang kemudian dibiayai Bank Indonesia (BI) dalam bentuk pencetakan uang, sedangkan inflasi yang terjadi pada tahun 1998 disebabkan oleh krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997. Fakta sejarah juga menunjukkan bahwa jatuhnya dua rezim yang telah lama berkuasa di Indonesia yaitu Rezim Orde Lama dan Rezim Orde Baru bersamaan dengan saat terjadinya inflasi yang cukup tinggi.

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2012

Gambar 1.1. Inflasi Indonesia Periode 1961-2010

Berdasarkan pengalaman Rezim Orde Lama dan Rezim Orde Baru mengenai bahaya inflasi, pada tahum 1999 Bank Sentral Indonesia dalam hal ini BI mengeluarkan peraturan nomor 23/1999 mengenai perubahan sasaran pokok BI dari multiple objectives menjadi lebih terfokus kepada tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Peraturan ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas kebijakan moneter. Hal tersebut tercantum dalam UU No.23 Tahun 1999.

Menurut UU No.23 Tahun 1999, tujuan utama Bank Sentral adalah untuk memelihara kestabilan rupiah. Definisi khusus dari memelihara kestabilan nilai rupiah adalah untuk mengendalikan laju inflasi dalam negeri. Dalam menjalankan


(3)

3

tugas pokoknya, Bank Sentral menetapkan target inflasi yang akan dicapai sebagai landasan bagi perencanaan dan pengendalian sasaran-sasaran moneter.

Selain itu, BI pun mengeluarkan UU No.29/1999 mengenai indepedensi Bank Sentral. Peraturan tersebut memberikan keleluasaan bagi BI untuk menetapkan target inflasi tanpa campur tangan pihak manapun. Pada tahun 2005, terjadi amandemen UU tersebut dimana pemerintah yang akan menetapkan target inflasi dengan pertimbangan dari BI dan diharapkan BI dapat mencapai target tersebut.

Berbagai upaya Bank Sentral diatas dalam pengendalian inflasi tentunya semakin mendapat tantangan yang berat sejak dimulainya era otonomi daerah. Meskipun banyak khalayak yang menganggap otonomi daerah sebagai fenomena politik, namun otonomi daerah juga membawa konsekuensi pada perekonomian regional. Salah satu dampak otonomi daerah terhadap perekonomian regional adalah terhadap inflasi regional. Mengingat salah satu pertimbangan pemerintah dalam menyusun Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) adalah tingkat inflasi domestik. Pada era otonomi daerah, wilayah-wilayah diberikan kewenangan untuk mengelola perekonomian masing-masing, termasuk meminjam dari luar negeri, disamping kewenangan untuk menentukan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) masing-masing wilayah. Kebijakan ini mengakibatkan semakin meluasnya sumber-sumber inflasi yang akan membuat pengendalian inflasi menjadi semakin sulit (Brodjonegoro et al, 2005).

Jika melihat lebih cermat, rumitnya proses pengendalian inflasi oleh Bank Sentral disebabkan karena pada dasarnya pembentukan inflasi nasional merupkan angka agregat dari inflasi regional. Sebagai bukti, inflasi nasional dihitung berdasarkan rataan dari 66 kota yang disurvei oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Berdasarkan perhitungan tersebut, setiap wilayah masing-masing memiliki perbedaan tingkat komoditi yang dikonsumsi. Perbedaan tersebut mencakup harga serta kualitas komoditi tersebut, yang membedakan tiap wilayah. Hal ini dapat terjadi akibat perbedaan struktur biaya pada masing-masing wilayah seperti biaya hidup, biaya transportasi, pajak regional, tingkat upah, termasuk juga kondisi infrastruktur dan sebagainya. Secara umum, kajian inflasi regional lebih


(4)

mempertimbangkan bahwa masing-masing wilayah memiliki karakteristik inflasi yang berimplikasi kepada kebijakan pengendalian inflasi yang lebih spesifik.

Berdasarkan perhitungan rata-rata inflasi regional menurut bobotnya (persentase) pada pembentukan inflasi nasional yang dilakukan oleh BPS berdasarkan Survei Biaya Hidup (SBH) pada tahun 2007, ditemukan fakta bahwa bobot Jakarta mencapai 22,49 persen atau yang tertinggi dalam pembentukan inflasi nasional, disusul oleh Surabaya (6,47 persen), Bandung (5,38 persen), Medan (4,67 persen), Semarang (3,48 persen), Palembang (2,96 persen), Makasar (2,56 persen), Padang (1,69 persen), Denpasar (1,53 persen), Banjarmasin (1,54 persen), dan gabungan 56 kota lainnya dengan porsi 47,23 persen (Gambar 1.2).

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2012

Gambar 1.2. Bobot Inflasi Kota Menurut SBH 2007

Fakta selanjutnya adalah empat dari lima kota dengan bobot persentase tertinggi dalam pembentukan inflasi nasional yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung dan Semarang merupakan ibukota provinsi yang berada pada regional yang sama (Pulau Jawa). Fakta ini didukung oleh pernyataan BI yang menyatakan bahwa pada tahun 2011 tiga provinsi di Pulau Jawa yaitu Daerah Khusus Ibukota (DKI)

22,49

6,47 5,38

4,67 3,48 2,96 2,56 1,69 1,53 1,54 47,23

Jakarta Surabaya Bandung Medan Semarang Palembang Makasar Padang Denpasar Banjarmasin Gabungan 56 Kota Lainnya


(5)

5

Jakarta, Jawa Barat dan Banten memiliki bobot hampir 50 persen dalam pembentukan inflasi nasional.

Disamping fakta-fakta diatas, Wimanda (2006) berargumen bahwa inflasi di suatu region memiliki keterkaitan dengan region lainnya. Setelah mengetahui keterkaitan antar inflasi wilayah tersebut, beliau kemudian mengklasifikasikan inflasi di suatu wilayah apakah sebagai leader atau sebagai follower. Lebih lanjut, penelitiannya mengkategorikan wilayah di Jawa, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah sebagai leader, sehingga Inflasi yang terjadi pada wilayah tersebut cenderung memengaruhi inflasi di wilayah lain yang dikategorikan sebagai follower. Penelitiannya juga berpendapat bahwa apabila pemerintah dan Bank Sentral dapat mengendalikan inflasi pada wilayah yang dikategorikan sebagai leader maka inflasi nasional akan lebih mudah untuk dikendalikan.

Beberapa uraian diatas menjelaskan betapa pentingnya peranan inflasi regional dalam dinamika inflasi nasional di Indonesia. Oleh sebab itu, diperlukan perhatian khusus dalam menangani inflasi yang terjadi pada tataran wilayah khususnya Pulau Jawa. Mengingat masih relatif terbatasnya studi mengenai inflasi regional dan cukup besarnya pengaruh yang diberikan regional khususnya Pulau Jawa terhadap perekonomian Indonesia membuat studi mengenai faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa menjadi sangat penting dan menarik untuk diteliti. Untuk itu, penelitian ini akan secara fokus menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembentukan inflasi di Pulau Jawa. Penelitian mengenai faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak berwenang khususnya Bank Sentral, sehingga dapat mengarahkan kebijakan moneternya untuk menjaga kestabilan nilai rupiah.

1.2 Perumusan Masalah

Meskipun inflasi merupakan salah satu persoalan ekonomi yang cukup rumit, bukan berarti inflasi tidak dapat dikendalikan. Untuk dapat mengendalikan inflasi caranya adalah dengan terlebih dahulu mendiagnosis jenis inflasi dan


(6)

penyebabnya. Pada negara-negara berkembang khususnya Indonesia, inflasi bukan semata-mata dipengaruhi oleh fenomena moneter saja, tetapi fenomena struktural juga turut memberikan pengaruh. Hal ini lebih disebabkan oleh struktur perekonomian Indonesia, terutama pada struktur perekonomian regionalnya yang berbeda satu sama lain.

Bila diidentifikasi berdasarkan penyebabnya inflasi dibagi menjadi dua kategori, pertama demand pull inflation atau inflasi yang disebabkan karena permintaan masyrakat akan komoditi barang dan jasa meningkat. Kedua, cost push inflation atau inflasi yang disebabkan karena kenaikan harga atas komoditi yang dipicu oleh naiknya biaya produksi. Dari analisa tersebut, diharapkan gambaran meneyluruh tentang perilaku inflasi di Pulau Jawa akan dapat terlihat secara lebih jelas.

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas, permasalahan yang menjadi dasar penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa?

2. Bagaimana implikasi kebijakan yang dilakukan dalam mengendalikan inflasi di Pulau Jawa?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa.

2. Merumuskan implikasi kebijakan pengendalian inflasi di Pulau Jawa.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi pihak-pihak berkepentingan, antara lain:


(7)

7

1. Bagi pemerintah atau instansi terkait, penelitian ini bermanfaat untuk melihat faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa sehingga dapat diambil kebijakan yang tepat untuk pengendalian inflasi.

2. Bagi akademisi, diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan pengetahuan pada penelitian lainnya yang ingin menganalisis tentang inflasi. 3. Bagi penulis, diharapkan penelitian ini memberikan wawasan baru mengenai

inflasi.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi. Pertama, memberikan gambaran umum mengenai dinamika inflasi di Pulau Jawa melalui analisis deskriptif. Kedua, menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa. Ketiga, memberikan saran implikasi kebijakan yang dapat ditempuh oleh pemerintah terkait dengan hasil penelitian.

Dalam penelitian ini cakupan sampel yang dianalisis adalah enam provinsi di pulau Jawa yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Timur dan Banten. Penelitian ini terbatas pada Provinsi Banten yang baru terbentuk pada tahun 2000 sehingga periode analisis dalam penelitian ini terbatas pada tahun 2001-2010.


(8)

2.1 Definisi Inflasi

Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus (kontinu). Mankiw (2007) menyebutkan bahwa inflasi adalah seluruh kenaikan harga output dalam perekonomian. BPS (2008) mendefinisikan inflasi sebagai angka gabungan dari perubahan harga sekelompok komoditi barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat dan dianggap mewakili seluruh komoditi barang dan jasa yang dijual di pasar.

Dalam arti relatif, inflasi dapat didefinisikan sebagai suatu periode dimana kekuatan membeli dalam kesatuan moneter menurun atau terjadi kenaikan harga dari sebagian besar komoditi barang dan jasa secara terus menerus. Jika kenaikan komoditi hanya satu atau beberapa macam tidak dapat dikatakan telah terjadi inflasi, begitu juga kenaikan harga yang bersifat musiman seperti pada hari raya keagamaan dan hari libur. Sementara itu dalam arti luas, inflasi dapat didefinisikan sebagai suatu kenaikan relatif dan memiliki porsi yang besar dalam tingkat harga umum.

Inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Dengan kata lain, harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukkan inflasi. inflasi dapat dikatakan terjadi apabila tingkat harga yang tinggi tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan pendapatan secara riil maka sudah dipastikan bahwa daya beli masyarakat semakin melemah dan akan mengakibatkan tingkat kesejahteraan akan semakin berkurang.

2.2 Inflasi Regional

Teori lokasi (location theory) menyatakan bahwa pemilihan lokasi perusahaan ditentukan oleh permasalahan minimisasi biaya pengangkutan output atas beberapa lokasi alternatif dan dipengaruhi oleh aglomerasi ekonomi. Aglomerasi ekonomi sendiri mendorong perusahaan-perusahaan sejenis untuk


(9)

9

terintegrasi dalam suatu lokasi sebagai akibat penurunan biaya transaksi perusahaan baik karena economies of scale, localization economies atau urbanization economies (Hoover dan Giarratani, 1989).

Teori lokasi juga menjelaskan bagaimana biaya transportasi yang terkait erat dengan masalah infrastruktur, aglomerasi yang kemudian akan memicu terjadinya kompetisi antar perusahaan dan melakukan pembagian pasar sehingga dapat menjangkau dan memperoleh pasar yang lebih luas demi mendapatkan keuntungan maksimum. Meskipun tidak secara langsung, teori lokasi sesungguhnya secara implisit menjelaskan mengenai permasalahan mekanisme perbedaan tingkat pembentukan harga antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya yang bisa bervariasi tergantung dari karakteristik dan struktur perekonomian di masing-masing wilayah. Akibat perbedaan tersebut, sangat dimungkinkan terjadinya divergensi inflasi antar wilayah.

2.3 Teori Inflasi

Atmadja (1999) menjelaskan, terdapat berbagai macam teori yang berusaha untuk menjelaskan inflasi dari berbagai sudut pandang. Teori tersebut, antara lain Teori Kuantitas Uang, Keynesian Model, Mark-up Model dan Teori Struktural.

Teori Kuantitas Uang adalah teori yang menekankan pada peranan jumlah uang beredar dan ekspektasi masyarakat mengenai kenaikan harga terhadap timbulnya inflasi. Teori ini juga dikenal sebagai teori kaum monetaris (monetarist theory). Inti dari teori ini adalah sebagai berkut:

1. Inflasi hanya dapat terjadi apabila terjadi penambahan volume pada jumlah uang yang beredar dalam perekonomian.

2. Laju inflasi juga dipengaruhi oleh ekspektasi masyarakat mengenai kenaikan harga pada masa yang akan datang.

Teori Keynesian Model, dasar dari terciptanya model inflasi Keynes ini adalah bahwa inflasi terjadi karena masyarakat menginginkan kehidupan diluar


(10)

batas kemampuan ekonomisnya, sehingga menyebabkan permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa efektif (permintaan agregat) mengalami peningkatan melebihi jumlah komoditi yang tersedia (penawaran agregat) di pasar, akibatnya terjadi inflationary gap pada perekonomian tersebut. Ketidakmampuan pasar dalam mencukupi permintaan barang dan jasa oleh masyarakat terjadi karena dalam jangka pendek sangat sulit untuk memenuhi kenaikan permintaan agregat tersebut.

Mark-up Model, teori ini mendasarkan pemikiran bahwa inflasi ditentukan oleh dua komponen, yaitu cost of production dan profit margin. Dengan demikian, ketika terjadi kenaikan biaya produksi akan menyebabkan turunnya keuntungan yang didapat oleh perusahaan, yang berdampak kepada kenaikan harga jual komoditi di pasar.

Teori Struktural, teori ini merupakan cerminan teori inflasi yang terjadi pada negara-negara berkembang. Teori struktural menganggap inflasi bukan semata-mata fenomena moneter saja, melainkan juga merupakan fenomena struktural. Teori ini menekankan pada kekakuan harga dan struktur perekonomian negara berkembang. Terkait dengan perekonomian regional hal ini murni disebabkan oleh struktur perekonomian dan kekakuan harga pada masing-masing wilayah. Oleh karenanya fenomena inflasi yang muncul akibat perbedaan struktur perekonomian wilayah sering menjadi suatu permasalahan jangka panjang yang tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek. Menurut teori ini penyebab terjadi kekauan dan kesenjangan struktural pada perekonomian negara berkembang adalah sebagai berikut:

1. Supply dari sektor pertanian tidak elsatis. Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pengejaran sektor pertanian yang masih menggunakan metode dan teknologi yang sederhana, sehingga seringkali terjadi supply dari sektor pertanian tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaannya.

2. Cadangan valuta saing yang terbatas (kecil) akibat dari pendapatan ekspor yang lebih kecil daripada pembiayaan impor. Keterbatsan cadangan valuta asing ini menyebabkan kemampuan untuk mengimpor barang-barang baik bahan baku; input antara; maupun barang modal sangat dibutuhkan untuk


(11)

11

pembangunan menjadi terbatas pula. Akibat dari lambatnya pembangunan sektor industri, seringkali menyebabkan laju pertumbuhan supply barang tidak mampu mengimbangi laju pertumbuhan permintaan.

3. Pengeluaran pemerintah terbatas. Hal ini disebabkan oleh sektor penerimaan rutin yang terbatas, yang tidak cukup untuk membiayai pembangunan, akibat timbulnya defisit anggaran belanja, sehingga seringkali menyebabkan dibutuhkannya pinjaman luar negeri. Apabila pinjaman luar negeri sulit untuk didapat, maka pada umumnya defisit anggaran dibiayai melalui percetakan uang (printing of money).

2.4 Jenis-Jenis Inflasi

Boediono (1994) mengemukakan bahwa inflasi dapat dibedakan menjadi tiga jenis berdasarkan pada:

1. Asal usulnya

a. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation). b. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation).

2. Tingkat keparahannya

a. Inflasi ringan (creeping inflation), jika inflasi yang terjadi berada pada level dibawah 10 persen per tahun.

b. Inflasi sedang (moderate inflation), jika inflasi yang terjadi berada pada level antara 10 sampai dengan 30 persen per tahun.

c. Inflasi berat, jika inflasi yang terjadi berada pada level antara 30 sampai dengan 100 persen per tahun.

d. Inflasi sangat berat (hyperinflation), jika inflasi yang terjadi berada pada level diatas 100 persen per tahun.

3. Sebab awalnya

Berdasarkan teori kuantitas, dijelaskan bahwa sumber utama terjadinya inflasi adalah karena adanya kelebihan permintaan (demand) sehingga uang yang beredar di masyarakat bertambah banyak. Dalam teori ini sumber inflasi dibedakan menjadi dua yaitu demand pull inflation dan cost push inflation.


(12)

a. Demand Pull Inflation

Inflasi jenis ini bermula dari adanya kenaikan permintaan total (aggregate demand), sedangkan produksi berada pada keadaan yang hampir mendekati atau pada kondisi full employment. Dalam keadaan mendekati full employment, kenaikan permintaan total disamping menaikkan harga dapat juga menaikkan output. Dalam keadaan full employment, kenaikan permintaan selanjutnya hanyalah akan menaikkan harga saja. Apabila kenaikan permintaan ini menyebabkan kondisi keseimbangan output berada di atas atau melebihi output full employment maka akan menimbulkan inflationary gap. Inflationary gap inilah yang menyebabkan munculnya inflasi (Nophirin, 2009). Inflasi yang disebabkan oleh demand pull inflation dapat ditunjukkan dengan Gambar 2.1 dibawah ini:

Sumber : Nophirin, 2009

Gambar 2.1 Demand Pull Inflation

b. Cost Push Inflation

Berbeda dengan demand pull inflation, cost push inflation biasanya ditandai dengan kenaikan harga serta turunnya produksi. Keadaan ini timbul akibat adanya penurunan dalam penawaran total (aggregate supply) sebagai konsekuensi kenaikan biaya produksi. Apabila keadaan tersebut berlangsung cukup lama, maka akan terjadi inflasi yang disertai dengan resesi ekonomi. Kenaikan biaya produksi ini dapat timbul karena beberapa faktor diantaranya:

Inflationary Gap AS

AD2 AD3

AD4

AD1 QFE Q1 P1

P2 P3 P4 P


(13)

13

1. Perjuangan serikat buruh yang berhasil untuk menuntut kenaikan upah. 2. Suatu industri yang bersifat monopolistis, memberikan kekuatan kepada

produsen untuk menguasai pasar dan selanjutnya menaikkan harga lebih tinggi.

3. Kenaikan bahan baku industri.

4. Pemerintah yang terlalu berambisi untuk menguasai sumber-sumber ekonomi dalam jumlah yang besar yang seharusnya dapat diserahkan kepada pihak swasta.

5. Adanya kebijakan pemerintah, baik bersifat ekonomi maupun non ekonomi yang dapat memicu kenaikan harga-harga (administred prices). 6. Pengaruh alam yang dapat menurunkan produksi dan menaikkan harga

seperti musim kemarau panjang yang berakibat pada gagal panen.

7. Pengaruh inflasi dari luar negeri, terutama bagi negara-negara yang menganut sistem perekonomian terbuka seperti Indonesia.

Sedangkan menurut Lipsey (1995) menyatakan bahwa cost push inflation dapat disebabkan oleh:

1. Wage cost push inflation

Wage cost push inflation menyatakan bahwa kenaikan yang terjadi pada biaya upah, yang sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan permintaan merupakan penyebab awal terjadinya inflasi.

2. Price push inflation

Price push inflation atau juga dikenal dengan istilah administred price inflation menyatakan bahwa para produsen mempunyai kekuatan monopoli, dan mereka ingin sekali menaikkan harga, tetapi karena mereka mengkhawatirkan terjadinya ketidakpercayaan dari pihak pemerintah maka mereka menggunakan kenaikan dalam biaya produksi yang dapat dijadikan alasan untuk membenarkan terjadinya kenaikan harga.

3. Import cost push inflation

Import cosh push inflation terjadi karena dorongan biaya impor yang merupakan barang yang penting, umumnya bahan baku untuk produksi.


(14)

4. Structural rigidity inflation

Menekankan kekauan struktural, mengasumsikan bahwa sumber-sumber daya tidak dengan cepat beralih dari penggunaan yang satu ke penggunaan yang lain dan adalah mudah untuk menaikkan upah dan harga barang daripada menurunkannya. Mengingat bahwa upah dan harga adalah kaku, maka tidak akan terlihat adanya penurunan upah dan harga pada sektor-sektor yang potensial. Sehingga proses penyesuaian upah dan harga di dalam sebuah perekonomain dengan adanya kekakuan struktural menyebabkan munculnya inflasi.

Nophirin (2009) menyatakan inflasi yang disebabkan oleh cost push inflation dapat ditunjukkan dengan Gambar 2.2 dibawah ini:

Sumber : Nophirin, 2009

Gambar 2.2 Cost Push Inflation

2.5 Perhitungan Inflasi

Menurut Mankiw (2007) Consumer Price Index (CPI) merupakan indikator yang umum digunakan untuk menggambarkan pergerakan harga. CPI berupa data yang mengukur rata-rata perubahan harga yang dibayarkan oleh

AS3 AS2 AS1

AD

Q Q2 Q1 QFE

P1 P2 P3 P4 P


(15)

15

konsumen (dalam rata-rata) untuk sekelompok barang dan jasa tertentu. CPI disebut juga Indeks Harga Konsumen (IHK), yang mengukur harga rata-rata barang dan jasa yang dibeli oleh rata-rata konsumen disuatu negara, termasuk Indonesia. Perhitungan IHK dapat dirumuskan sebagai berikut:

………(2.1)

dimana:

= Indeks Harga Konsumen pada tahun ke-t = Harga pada tahun ke-t

= Harga pada tahun sebelumnya

= Nilai konsumsi pada tahun sebelumnya = Nilai konsumsi pada tahun dasar

Setelah diperoleh IHK, maka inflasi dapat diketahui, perhitungan inflasi dengan laju inflasi dapat dirumuskan sebagai berikut:

………(2.2)

dimana:

= Inflasi pada tahun ke-t

= Indeks harga konsumen pada tahun ke-t

= Indeks harga konsumen pada tahun sebelumnya

2.6 Sumber-Sumber Inflasi 2.6.1 Jumlah Uang Beredar

Fisher (1930) dalam teorinya mengenai kuantitas uang menyatakan bahwa jumlah uang yang beredar dalam perekonomian adalah faktor yang mempunyai peranan penting dalam proses terjadinya inflasi. Menurut teori tersebut dalam setiap transaksi selalu ada pembeli dan penjual. Jumlah uang yang dibayarkan oleh pembeli harus sama dengan jumlah uang yang diterima penjual. Hal tersebut berlaku pula untuk seluruh perekonomian dalam suatu periode tertentu. Apabila terjadi kelebihan jumlah uang yang ditawarkan oleh bank sentral maka akan


(16)

berakibat kepada peningkatan uang yang dipegang oleh masyarakat sehingga memacu hasrat masyarakat untuk meningkatkan konsumsi. Jika peningkatan dalam keinginan untuk mengonsumsi barang tersebut tidak diimbangi dengan supply barang pada pasar, maka hal tersebut akan menimbulkan excess demand sehingga menyebabkan tingkat harga menjadi naik.

Mekanisme transimisi dampak jumlah uang beredar terhadap inflasi dijelaskan oleh Keynes dalam Boediono (1994) oleh teori inflasi permintaan agregat (demand pull inflation).

2.6.2 Pengeluaran Pemerintah Keynes dalam

Mekanisme transimisi dampak jumlah uang beredar terhadap inflasi dijelaskan oleh Keynes

Boediono (1994) menyatakan bahwa inflasi bukan hanya disebabkan oleh ekspansi moneter Bank Sentral saja melainkan juga melalui pengeluaran pemerintah. Menurut Keynes, apabila pemerintah melakukan kebijakan fiskal yang ekspansif, yaitu dengan meningkatkan pengeluaran pemerintah, maka hal tersebut akan mendorong peningkatan harga atau akan memicu terjadi inflasi. Dengan kata lain, peningkatan pengeluaran pemerintah melalui kebijakan fiskal ekspansif akan mendorong perekonomian sektor riil untuk tumbuh. Produktivitas perekonomian tersebut kemudian akan berdampak baik pada peningktan permintaan akan barang input produksi maupun barang konsumsi sehingga menaikkan tingkat harga.

dalam Boediono (1994) oleh teori inflasi permintaan agregat (demand pull inflation).

2.6.3 Pertumbuhan Ekonomi

Mekanisme transmisi pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap inflasi dijelaskan oleh Mishkin (2001). Pertumbuhan ekonomi mencerminkan tingkat produktivitas masyarakat di negara tersebut. Semakin tinggi produktivitas menandakan semakin meningkatnya tingkat konsumsi masyarakat. Pertumbuhan


(17)

17

ekonomi juga akan menyebabkan semakin meningkatnya konsumsi pemerintah sehingga hal tersebut akan meningkatkan permintaan atas barang dan jasa konsumsi kedua pelaku perekonomian tersebut. Apabila peningkatan dalam keinginan untuk mengonsumsi barang tersebut tidak diimbangi dengan supply barang pada pasar, maka hal tersebut akan menimbulkan excess demand sehingga menyebabkan tingkat harga menjadi naik.

2.6.4 Harga Minyak Dunia

Mekanisme transmisi dampak oil price shock terhadap harga dan inflasi dijelaskan oleh Blanchard (2004). Ketika terjadi kenaikan harga minyak dunia maka perusahaan akan merespon dengan menaikkan markup sehingga harga akan naik, karena hubungan keduanya berbanding lurus. Dengan asumsi upah tetap, peningkatan harga minyak menyebabkan peningkatan biaya produksi dan mendorong perusahaan untuk meningkatkan harga.

2.6.5 Harga Pangan Dunia

Kenaikan harga pangan di belahan dunia merupakan fenomena unik bagi sebagian orang yang melihat kaitannya dengan perkembangan makroekonomi dan hubungannya dengan inflasi. Disadari atau tidak, peningkatan harga pangan secara logika dasar makroekonomi dapat menyebabkan peningkatan inflasi. Dalam kaitannya dengan negara berkembang, hal tersebut terjadi karena rata-rata konsumsi pangan menempati porsi terbesar dari dari tingkat konsumsi masyarakat.

Rahardja dalam Wahyuni (2011) menyatakan bahwa harga komoditas di Indonesia seperti gula, minyak goreng, kedelai dan jagung berhubungan dengan harga pangan dunia. Dalam periode sekitar satu tahun, satu persen kenaikkan rata-rata harga komoditas pangan dunia akan menyebabkan kenaikan sebesar satu persen harga pangan domestik di Indonesia. Komoditas yang lain akan merespon hal yang sama dengan waktu respon yang bervariasi. Kecepatan transmisi


(18)

terhadap guncangan harga pangan internasional juga berbeda-beda diantara provinsi di Indonesia.

2.6.6 Upah

Hubungan antara upah dan inflasi ditunjukkan oleh konsep cost push inflation. Konsep tersebut menyatakan bahwa kenaikan-kenaikan yang terjadi pada biaya upah, yang sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan permintaan merupakan penyebab awal terjadinya inflasi. Disamping itu kekakuan struktural menyebabkan harga-harga dan upah menjadi lebih mudah untuk naik daripada turun. Dengan menganggap bahwa upah dan harga-harga adalah kaku, maka tidak akan terlihat adanya penurunan upah dan harga pada sektor-sektor yang berkontraksi potensial. Mengingat buruh merupakan salah satu komponen penting produksi, maka suatu perusahaan akan bertindak rasional dengan menaikkan markup sehingga menyebabkan munculnya inflasi.

2.6.7 Kondisi Infrastruktur

Menurut teori pertumbuhan export base dan growth poles; kapasitas ekspor, sistem produksi yang kompetitif dan kemampuan wilayah dalam menarik suatu kegiatan ekonomi baru merupakan hasil endowment dari infrastruktur yang sudah terbangun. Infrastruktur yang dimaksud adalah infrastruktur ekonomi seperti fasilitas transportasi, jalan raya, pelabuhan laut dan udara, rel kereta api dan pembangkit tenaga listrik, karena berhubungan secara langsung terhadap produktivitas suatu perusahaan (Cappelo dalam

Mengacu pada teori pertumbuhan ekonomi regional tersebut, maka diprediksikan bahwa peningkatan dalam kualitas infrastruktur dalam distribusi produk akan menyebabkan penurunan biaya transport dan penghematan waktu dalam perjalanan. Penghematan tersebut secara langsung akan mempengaruhi permintaan terhadap produk berupa input antara serta tingkat konsumsi. Secara agregat, dampak dari peningkatan kualitas infrastruktur bisa menyebabkan kenaikan tingkat harga atau sebaliknya tergantung dari struktur perekonomian


(19)

19

suatu negara atau wilayah. Peningkatan kualitas infrastruktur transportasi dapat menyebabkan dua kondisi yang berbeda, yaitu akan mendorong peningkatan ekspor atau sebaliknya akan meningkatkan permintaan atas produk impor. Bila kemudian yang terjadi adalah peningkatan ekspor maka pengaruhnya terhadap harga cenderung menjadi negatif, namun jika yang terjadi sebaliknya dampaknya terhadap inflasi menjadi positif (Oosterhaven dan Elhorst, 2003).

2.7 Penelitian Terdahulu

Novi Lestari (2003) dalam Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflasi Pada Perekonomian Regional Indonesia menganalisis faktor-faktor apa saja yang memengaruhi inflasi dan menyebabkan perubahan tingkat harga umum di dua puluh enam provinsi di Indonesia. Penelitian ini diestimasi menggunakan metode regresi data panel dengan pendekatan Fixed Effect Model (FEM). Hasil regresi menunjukkan bahwa dari sisi permintaan agregat inflasi dipengaruhi oleh jumlah uang beredar (berpengaruh negatif), pendapatan perkapita (berpengaruh positif), sedangkan investasi tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi. Dari sisi penawaran agregat inflasi dipengaruhi oleh upah (berpengaruh negatif), impor (berpengaruh positif), sedangkan investasi tahun lalu tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi. Penelitian ini menemukan bahwa inflasi regional juga dipicu oleh sisi penawaran agregat. Hal tersebut sesuai dengan teori strukturalis yang menyatakan bahwa inflasi pada negara berkembang juga disebabkan oleh naiknya biaya-biaya produksi.

Bambang P.S Brodjonegoro, Telissa Falianty dan Beta Y Gitaharie (2005) dalam Determinant Factors of Regional Inflation in Decentralized Indonesia meneliti faktor-faktor yang memengaruhi inflasi pada perekonomian regional pada perekonomian yang ter-desentralisasi. Penelitian ini menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) dan Vector Auto Regression (VAR) dalam menentukan determinan (moneter atau non-moneter) yang memiliki kontribusi terbesar terhadap inflasi pada perekonomian regional. Kemudian dilakukan estimasi dengan menggunakan metode regresi data panel dengan pendekatan FEM terhadap determinan yang paling dominan memengaruhi inflasi pada


(20)

perekonomian regional. Hasil yang didapat ternyata inflasi lebih dipengaruhi determinan non-moneter dengan faktor-faktor yang memengaruhi antara lain, Pendapatan Asli Daerah (PAD), pengeluaran rutin pemerintah daerah dan biaya transportasi yang semuanya berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi regional.

Rizki E Wimanda (2006) dalam Regional Inflation in Indonesia: Characteristic, Convergence, and Determinants melakukan penelitian mengenai karakteristik, konvergensi dan determinan inflasi regional di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode Granger Causality dan koefisien korelasi untuk menganalisis karakteristik inflasi, metode koefisien konvergensi β untuk menganalisis konvergensi tingkat harga dan metode OLS untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi inflasi pada perekonomian regional. Hasilnya adalah banyak wilayah di Indonesia yang memiliki keterkaitan inflasi yang tinggi terutama regional pulau Jawa terhadap wilayah lainnya, inflasi regional di Indonesia cenderung divergen dan determinan yang paling memengaruhi inflasi pada perekonomian regional adalah ekspektasi inflasi dan perubahan nilai tukar.

Muhammad Z Hamzah dan Eleonora Solfida (2006) dalam Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Pengeluaran Pemerintah dan Nilai Tukar terhadap Inflasi di Indonesia: Pendekatan Error Correction Model (ECM) meneliti tentang seberapa besar pengaruh yang diberikan jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah dan nilai tukar terhadap inflasi di Indonesia pada jangka pendek dan jangka panjang. Penelitian ini diestimasi dengan metode Error Correction Model (ECM). Hasil estimasi model dalam jangka pendek menyimpulkan bahwa jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah dan nilai tukar memiliki hubungan yang positif dan tidak signifikan terhadap laju inflasi. Sedangkan dalam jangka panjang, hasil estimasi menyimpulkan bahwa jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah dan nilai tukar memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap laju inflasi.

Reza Satrya Arjakusuma (2009) dalam Analisis Inflasi Regional di Indonesia melakukan penelitian untuk mengidentifikasi penyebab terjadinya inflasi regional di Indonesia, terutama terkait apakah berasal dari demand-pull


(21)

21

inflation ataukah cost-push inflation. Penelitian ini diestimasi dengan metode VAR dan Vector Error Correction Model (VECM). Hasil estimasi menyimpulkan bahwa varaibel harga beras dunia paling mempengaruhi tingkat inflasi regional di Indonesia disusul dengan harga minyak dunia akibatnya hampir seluruh regional di Indonesia mengalami incomplete passthrough akibat guncangan harga beras dan minyak dunia.

John Beirne (2009) dalam Vulnerability of Inflation in The New EU Member States to Country-Specific and Global Factors melakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan atau memicu terjadinya inflasi secara komprehensif pada sepuluh negara anggota baru dari Uni Eropa. Penelitian ini diestimasi dengan dengan metode regresi data panel dinamis System-Generalized Method of Moment (SYS-GMM). Hasil regresi menyimpulkan bahwa inflasi inersia, nilai tukar nominal efektif (NEER), defist fiskal, belanja pemerintah, investasi (PMTB), kondisi infrastruktur dan variabel-variabel yang menggambarkan tekanan inflasi yang berasal dari faktor global (harga minyak, harga pangan, shock nilai tukar dan aksesi uni eropa) berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi di negara-negara yang diteliti.

Jun Nagayasu (2009) dalam Regional Inflation in China melakukan penelitian mengenai perkembangan dalam tingkat harga dan inflasi di dua puluh tujuh region di China. Penelitian ini diestimasi dengan menggunakan metode regresi data panel dengan pendekatan Random Effect Model (REM). Hasil estimasi menunjukkan bahwa inflasi secara signifikan dipengaruhi oleh jumlah uang beredar M1&M2 (berpengaruh positif), kredit (berpengaruh positif), produktivitas (berpengaruh negatif) dan nilai tukar (berpengaruh positif). Secara keseluruhan disimpulkan bahwa semua parameter pada penelitian ini bersesuaian dengan teori ekonomi.

Dwi Wahyuni (2011) dalam Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflasi dari Sisi Penawaran meneliti faktor-faktor yang memengaruhi inflasi dan menyebabkan perubahan tingkat harga umum di Indonesia bila dilihat dari gangguan sisi penawaran. Penelitian ini diestimasi dengan menggunakan metode VAR dan VECM. Hasilnya adalah dalam jangka pendek variabel yang


(22)

berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi adalah nilai tukar rupiah, sedangkan dalam jangka panjang inflasi dipengaruhi oleh expected inflation, nilai tukar rupiah, harga minyak dunia, harga pangan dunia dan upah buruh riil.

Adji Subekti (2011) dalam Dinamika Inflasi Indonesia Pada Tataran Provinsi melakukan penelitian mengenai pengaruh variabel kebijakan dan non-kebijakan terhadap inflasi di Indonesia. Penelitian ini diestimasi dengan dengan metode regresi data panel dinamis First Difference-Generalized Method of Moment (FD-GMM) dan Spatially Corrected Arellano-Bond (SCAB). Hasil yang didapat adalah dinamika inflasi Indonesia di pengaruhi oleh variabel kebijakan: inersia inflasi, fluktuasi nilai tukar, perubahan kondisi infrastruktur dan derajat keterbukaan perdagangan. Dinamika inflasi Indonesia juga dipengaruhi oleh variabel non kebijakan antara lain: penyesuaian upah, harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri dan BI rate.

Tabel 2.1 Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu

Penulis Judul Variabel Ekonomi Observasi Rentang

Waktu Lestari (2003) Analisis

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflasi Pada Perekonomian Regional Indonesia IHK, Pendapatan Perkapita, Jumlah Uang Beredar, Investasi, Investasi Tahun Lalu, Impor dan Upah 26 Provinsi di Indonesia 1991-2001 Brodjonegoro et al (2005)

Determinant Factors of Regional Inflation in Decentralized Indonesia IHK, PAD, Pengeluaran Rutin Pemerintah dan Biaya Transportasi

43 Kota di Indonesia 1990-2002 Wimanda (2006) Regional Inflation in Indonesia: Characteristic, Convergence and Determinants

CPI, Nilai Tukar, Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Pengeluaran Rutin Pemerintah dan Pengeluaran Pembangunan 26 Provinsi di Indonesia 1991M9-2004M12


(23)

23 Hamzah dan Solfida (2006) Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Pengeluaran Pemerintah dan Nilai Tukar terhadap Inflasi di Indonesia:

Pendekatan Error Correction Model (ECM)

IHK, Jumlah Uang Beredar, Pengeluaran Pemerintah dan Nilai Tukar

Indonesia 1990-2005 Arjakusuma (2009) Analisis Inflasi Regional di Indonesia

Harga Minyak Dunia, Harga Beras Dunia, Output Gap, CPI dan

Wholesale Price Inflation

48 Kota di Indonesia

2005M1-2008M12

Beirne (2009) Vulnerability of Inflation in The New EU Member States to Country-Specific and Global Factors

HICP, NEER,

Current Account Deficit, GDP Riil Perkapita, Pengeluaran Pemerintah, Harga Relatif, Tingkat Penganguran, Kapitalisasi Pasar Modal, Kredit Swasta Domestik, Rezim Nilai Tukar, Indeks Kebebasan Ekonomi, Indeks Reformasi Infrastruktur dan Derajat Keterbukaan Perdagangan Bulgaria, Rep.Ceko, Estonia, Hungaria, Latvia, Lithuania, Polandia, Slovakia, Slovenia dan Rumania 1998Q1-2007Q4 Nagasayu (2009) Regional Inflation in China

Retail Price Index

(RPI), jumlah uang beredar (M1&M2), Kredit perbankan, produktivitas,

pertumbuhan populasi dan Renminbi (RMB)

exchange rate 26 Provinsi di China 1991-2005 Wahyuni (2011) Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflasi dari Sisi Penawaran

IHK, Harga Minyak Dunia, Harga Pangan Dunia, Nilai Tukar dan Upah

Indonesia 1998M1-2010M12


(24)

Subekti (2011)

Dinamika Inflasi Indonesia Pada Tataran Provinsi

IHK, Output Gap, Nilai Tukar, Suku Bunga Nominal, Jumlah Uang Beredar, Pengeluaran

Pemerintah, Indeks Harga BBM, Upah Minimum Nominal, Kondisi Infrastruktur dan Derajat

Keterbukaan Perdagangan

26 Provinsi di Indonesia

1999-2009


(25)

25

2.8 Kerangka Pemikiran

Sebagai konsekuensi dari era otonomi daerah pada tahun 2001 menyebabkan semakin meluasnya faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Indonesia. Dalam hal ini akan membuat proses pengendalian inflasi akan menjadi semakin rumit karena inflasi nasional pada dasarnya merupakan angka agregasi dari inflasi di masing-masing wilayah di Indonesia. Oleh karena itu, pengidentifikasian faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa penting untuk dipahami untuk merumuskan kebijakan pengendalian inflasi yang tepat. Berikut ini adalah gambaran dari kerangka pemikiran penelitian ini:

Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran

Penelitian ini akan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa. Variabel-variabel yang akan dianalisis dalam penelitian ini seperti jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah, pertumbuhan ekonomi, upah minimum, kondisi infrastruktur, harga minyak dunia dan harga pangan dunia. Selanjutnya variabel-variabel tersebut akan dianalisis dengan menggunakan metode regresi data panel.

Indonesia

Otonomi Daerah

Inflasi Regional

Pulau Jawa Cost Push Inflation Demand Pull Inflation

Implikasi Kebijakan Indonesia


(26)

2.9 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan tinjauan pustaka dan beberapa penelitian terdahulu maka disusunlah beberapa hipotesis sementara, yaitu:

1. Jumlah uang beredar memiliki hubungan yang positif terhadap inflasi di Pulau Jawa.

2. Pengeluaran pemerintah memiliki hubungan yang positif terhadap inflasi di Pulau Jawa.

3. Pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang positif terhadap inflasi di Pulau Jawa.

4. Upah minimum memiliki hubungan yang positif terhadap inflasi di Pulau Jawa.

5. Kondisi infrastruktur memiliki hubungan yang negatif terhadap inflasi di Pulau Jawa.

6. Harga minyak dunia memiliki hubungan yang positif terhadap inflasi di Pulau Jawa.

7. Harga pangan dunia memiliki hubungan yang positif terhadap inflasi di Pulau Jawa.


(27)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sumber Data

Pada penelitian ini terdapat dua variabel yang merupakan data dunia dan satu variabel yang merupakan data nasional. Variabel yang merupakan data dunia yaitu harga minyak dunia dan harga pangan dunia, sedangkan variabel yang merupakan data nasional yaitu jumlah uang beredar. Penggunaan data harga minyak dunia dan harga pangan dunia mengacu pada penelitian-penelitian terdahulu dan dimaksudkan untuk melihat dampak fenomena guncangan luar negeri terhadap perekonomian regional. Penggunaan data jumlah uang beredar pada level nasional, disebabkan tidak tersedianya data jumlah uang beredar pada level provinsi. Selebihnya penggunaan variabel lainnya merupakan data pada level provinsi.

Pengguanaan data IHK hanya pada lingkup ibu kota provinsi sebagai proksi dari inflasi mengacu pada penelitian Subekti (2011), yang menganggap bahwa ibukota provinsi sebagai pusat pertumbuhan yang akan mempengaruhi daerah lainnya yang berada pada provinsi yang sama cukup merepresentasikan tingkat harga pada level provinsi.

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder berupa data tahunan periode 2001-2010 yang diambil dari publikasi resmi pemerintah. Variabel, data, satuan dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.1. Proses pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bantuan paket program software Microsoft Office Excel 2007 dan Eviews 6.


(28)

Tabel 3.1 Variabel, Data yang Digunakan dan Sumbernya

Data (Variabel) Data yang digunakan Satuan Sumber Data Inflasi (P) Indeks Harga Konsumen

(IHK) Masing-Masing Ibu Kota Provinsi rebasing :

tahun dasar 2002

Indeks Badan Pusat Statistik

(BPS)

Jumlah Uang Beredar (M)

Jumlah Uang Beredar dalam Arti Sempit (M1)

Miliar Rupiah Bank Indonesia (BI) Pengeluaran Pemerintah (GEXP) Pengeluaran Pemerintah Daerah Miliar Rupiah BPS Pertumbuhan Ekonomi (Y)

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) rebasing :

tahun dasar 2000

Juta Rupiah BPS

Harga Minyak Dunia (OIL_P)

Harga Minyak Dunia US$/Barel Organization of the Petroleum Exporting Country (OPEC) Harga Pangan Dunia (FOOD_P)

Indeks Harga Komoditi Pangan Dunia (55 Komoditi)

Indeks Food

Agricultural Organization

(FAO) Tingkat Upah

(W)

Upah Minimum Regional (UMR) Masing-Masing

Provinsi

Rupiah BPS

Kondisi Infrastruktur

(KI)

Rasio Panjang Jalan Raya dengan Kondisi Baik dan Luas Wilayah Provinsi

Km/Km2 BPS

3.2 Metode Analisis 3.2.1 Analisis Deskriptif

Metode analisis deskriptif merupakan suatu metode analisis sederhana yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi suatu observasi dengan menyajikannya dalam bentuk tabel, grafik maupun narasi dengan tujuan untuk memudahkan pembaca dalam menafsirkan hasil observasi.

Metode analisis deskriptif dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran umum mengenai perkembangan laju inflasi yang terjadi di Pulau Jawa selama kurun waktu 2001-2010 dan juga untuk menggambarkan


(29)

29

hubungan antara inflasi dengan variabel-variabel yang memengaruhi pada peneltian ini.

3.2.2 Analisis Ekonometrika

Metode analisis ekonometrika yang digunakan pada penelitian ini adalah metode analisis regresi data panel (pooled data). Data panel adalah gabungan dari data time series dan data cross section. Penggunaan metode data panel sudah banyak dipakai saat ini sebab adanya kelemahan dalam pendekatan metode cross section saja atau pendekatan time series. Jika hanya menggunakan metode cross section saja, pengamatan yang diamati hanya pada titik tertentu saja, sehingga perkembangan pengamatan tersebut dalam kurun waktu tertentu tidak dapat diestimasi. Pada pendekatan metode time series juga menimbulkan persoalan yaitu peubah-peubah yang diobservasi secara agregat hanya dari satu unit individu sehingga memberi peluang untuk menghasilkan estimasi yang sifatnya bias. Penggunaan data panel ini merupakan konsekuensi dari kemampuan dan keterbatasan kedua metode analisis diatas. Penggabungan data cross section dan time series dalam studi data panel digunakan untuk mengatasi kelemahan dan menjawab pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh pendekatan metode cross section dan time series murni. Data cross section yang sama diobservasi menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel, sebaliknya jika jumlah observasi berbeda maka disebut sebagai unbalanced panel.

Beberapa keunggulan dari penggunaan data panel dalam analisis ekonometrika dikemukakan oleh Baltagi (2005) yaitu, pertama mengontrol heterogenitas individu. Data panel menyatakan bahwa individu, perusahaan, tempat atau negara adalah heterogen. Dalam data panel terdiri dari besaran dan waktu sehingga ada banyak variabel-variabel lain yang mungkin menjadi state-invariant atau time-invariant yang dapat memengaruhi variabel dependen. Data panel memberikan peluang perlakuan setiap unit-unit individu yang dianalisis adalah heterogen. Kedua, data panel memberikan informasi yang lebih banyak dan beragam, meminimalisasi masalah kolinieritas antar variabel, meningkatkan


(30)

derajat bebas dan lebih efisien. Pendekatan metode time series dapat menyebabkan multikoliniearitas, dengan data cross section menambah banyak variabilitas, menambah lebih banyak informasi sehingga dapat menghasilkan parameter estimasi yang dapat diandalkan. Ketiga, data panel lebih baik dalam mempelajari dynamics of adjustment. Distribusi cross section yang kelihatan stabil dapat menyembunyikan banyak perubahan yang sulit untuk diidentifikasi. Masa pengangguran, pergantian pekerjaan, tempat tinggal dan pergerakan pendapatan merupakan contoh data yang lebih baik dipelajari dengan data panel. Data panel juga cocok untuk mempelajari durasi dari variabel besaran ekonomi seperti pengangguran, kemiskinan dan inflasi dan juga dapat menjelaskan dalam kecepatan respon perubahan kebijakan ekonomi.

Data panel juga dibutuhkan untuk mengestimasi hubungan antar massa, siklus hidup dan intergenerasi (intergenerational). Data panel ini dapat menghubungkan pengalaman individu dan tingkah laku dalam satu titik waktu dengan pengalaman dan tingkah laku dalam titik waktu yang berbeda. Keempat, data panel lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak dapat dideteksi oleh cross section murni maupun time series murni. Seperti contoh, dalam menentukan apakah anggota serikat buruh dapat meningkatkan atau menurunkan upah. Hal ini dapat dijawab dengan mengobservasi seorang pekerja yang bergerak dari serikat buruh ke nonserikat buruh atau sebaliknya. Dengan mengasumsikan karakteristik individu yang konstan, dilengkapi dengan variabel yang lain untuk menentukan apakah keanggotaan serikat buruh memengaruhi upah dan dengan berapa banyak upah tersebut bisa berpengaruh terhadap keanggotaan serikat buruh (Friedman dalam Baltagi (2005)). Kelima, model data panel dapat digunakan untuk mengkonstruksi dan menguji model perilaku secara kompleks apabila dibandingkan dengan cross section atau time series murni. Pada kenyataanya, indikator dalam perekonomian sebagian besar bersifat dinamis. Hubungan dinamis ini dapat diketahui dengan adanya lag variabel endogen yang terdapat pada variabel eksogen. Verbeek (2004) menjelaskan kelebihan dari penggunaan metode data panel bila dibandingkan dengan metode cross section dan time series murni. Kombinasi data cross section dan time series membuat jumlah data atau observasi yang digunakan dalam model data panel umumnya


(31)

31

lebih besar bila dibandingkan dengan model cross section dan time series murni. Selain itu, variabel penjelas dalam model data panel lebih bervariasi atau marginal effect dalam dua dimensi (ruang atau individu dan waktu), sehingga selain dapat dianalisis variasi antar ruang (individu) dan waktu, penduga yang didasari oleh data panel lebih akurat dibandingkan cross section dan time series murni. Menurut Baltagi (2005), permasalahan tersebut antara lain: (i) relatif terbatasnya data karena melibatkan komponen cross section dan time series menimbulkan masalah desain survei panel, pengumpulan dan manajemen data (masalah yang umumnya dihadapi diantaranya: coverage, nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi dan waktu wawancara); (ii) distorsi kesalahan pengamatan (measurement error) yang umumnya terjadi karena kegagalan respon (contoh: pertanyaan yang tidak jelas, ketidaktepatan informasi, dan lain-lain); (iii) masalah selektivitas, yakni: selfselectivity, nonresponse, attrition (jumlah responden yang terus berkurang pada survei lanjutan); (iv) cross section dependence (contoh: apabila macropanel data dengan unit analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan cross-country dependence maka dapat mengakibatkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak tepat (misleading inference)).

Umumnya terdapat tiga pendekatan yang biasa diaplikasikan pada metode data panel, yaitu Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM). Selain itu, didalam melakukan pengolahan data panel juga terdapat kriteria pembobotan yang berbeda-beda yaitu No weighting (semua observasi diberi bobot sama), Cross section weight (Generalized Least Square (GLS) dengan menggunakan estimasi varians residual cross section, digunakan apabila terdapat pelanggaran asumsi cross section heteroskedasticity), dan Seemingly Uncorrelated Regression (SUR) (GLS dengan menggunakan covariance matrix cross section). Metode ini mengoreksi baik heteroskedastisitas maupun autokorelasi antar unit cross section.


(32)

3.2.2.1 Pooled Least Square

Pada prinsipnya, pendekatan ini adalah menggunakan gabungan dari seluruh data (pooled), sehingga terdapat N × T observasi, dimana N menunjukkan jumlah unit cross-section dan T menunjukkan jumlah time-series yang digunakan. Persamaan pada estimasi yang menggunakan Pooled Least Square (PLS) dapat dituliskan dalam bentuk sebagai berikut (Baltagi, 2005):

...(3.1) dimana :

= nilai variabel terikat (dependent variable) untuk setiap unit cross section = nilai variabel penjelas (explanatory variable) ke-j untuk setiap cross section

α = intercept yang konstan antar waktu dan cross section

= slope untuk variabel ke-j yang konstan antar waktu dan cross section = komponen error untuk setiap unit cross section ke-i pada periode waktu t. N adalah jumlah unit cross section, T adalah jumlah periode waktunya dan K adalah jumlah variabel penjelas.

Keunggulan dalam penggunaan metode PLS adalah dengan mengkombinasikan semua data cross-section dan data time-series, dapat meningkatkan derajat kebebasan sehingga dapat memberikan hasil estimasi yang lebih efisien. Sementara, kelemahan pada metode PLS terletak pada dugaan parameter akan bias. Parameter yang bias ini disebabkan karena PLS tidak dapat membedakan observasi yang berbeda pada periode yang sama, atau tidak dapat membedakan observasi yang sama pada periode yang berbeda (Firdaus, 2011).

3.2.2.2 Fixed Effect Model

Fixed effect model (FEM) memasukkan unsur variabel dummy sehingga

intersept α bervariasi antar individu maupun antar unit waktu. FEM lebih tepat digunakan jika data yang diteliti ada pada tingkat individu serta jika terdapat

korelasi antara it dan xit. Persamaan pada estimasi menggunakan FEM dapat dituliskan dalam bentuk sebagai berikut (Baltagi, 2005):


(33)

33

Yit = β1i + β2X2it + β3X3it +

uit

Kelebihan pendekatan FEM adalah dapat menghasilkan dugaan parameter yang tidak bias dan efisien. Tetapi kelemahannya adalah jika jumlah unit observasinya besar maka akan mengurangi derajat bebas model, sehingga akan mengurangi tingkat keakuratan model (Firdaus, 2011).

...(3.2)

3.2.2.3 Random Effect Model

Random Effect Model (REM) muncul ketika antara efek individu dan regresor tidak memiliki korelasi. Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dimasukkan ke dalam error pada persamaan regresi. Persamaan estimasi pada REM adalah sebagai berikut (Baltagi, 2005):

………(3.3)

dengan

dimana :

~ N (0, u2

~ N (0, v

) = komponen cross section error 2

~ N (0, w

) = komponen time series error 2

Asumsinya adalah bahwa error secara individual tidak saling berkorelasi begitu juga dengan error kombinasinya.

) = komponen error kombinasi

3.2.2.4 Pengujian Model

Untuk memilih model mana yang paling tepat digunakan untuk pengolahan data panel, maka terdapat beberapa pengujian yang dapat dilakukan, antara lain:


(34)

1. Chow Test

Chow Test merupakan pengujian untuk memilih apakah model yang digunakan PLS atau FEM. Dalam pengujian ini dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut:

H0 H

: PLS 1

Dasar penolakan terhadap hipotesis nol tersebut adalah dengan menggunakan F-statistic seperti yang dirumuskan oleh Chow (1967):

: FEM

……...………(3.4)

dimana:

RRSS = Restricted Residual Sum Square (Sum Square Residual PLS) URSS = Unrestricted Residual Sum Square (Sum Square Residual FEM) N = jumlah data cross section

T = jumlah data time series K = jumlah variabel independen

Dimana pengujian ini mengikuti distribusi F yaitu . Jika nilai Chow Test (F-statistic) hasil pengujian lebih besar dari F-Tabel, maka cukup bukti bagi kita untuk melakukan penolakan terhadap H0

2. Hausman Test

sehingga model yang kita gunakan adalah FEM, begitu juga sebaliknya.

Hausman Test adalah pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan kita dalam memilih apakah menggunakan FEM atau REM. Pengujian ini dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut:

H0 H

: REM 1

Sebagai dasar penolakan H : FEM

0

…………....(3.5) maka digunakan statistik Hausman dan membandingkannya dengan Chi square. Statistik Hausman dirumuskan dengan:


(35)

35

dimana ε adalah matriks kovarians untuk parameter β dan k adalah derajat bebas yang merupakan jumlah variabel independen.

Jika nilai statistik Hausman hasil pengujian lebih besar dari , maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah FEM, begitu juga sebaliknya.

3.2.2.5 Metode Evaluasi Model

Setelah selesai melakukan pengolahan data dengan metode analisis data panel, harus dilakukan evaluasi terhadap model estimasi yang dihasilkan. Metode estimasi yang dihasilkan melalui metode analisis data panel tersebut harus dievaluasi berdasarkan tiga kriteria sebagai berikut:

I. Kriteria Ekonometrika II. Kriteria Statistik III. Kriteria Ekonomi

I. Kriteria Ekonometrika

Model estimasi regresi linear yang ideal dan optimal harus menghasilkan estimator yang memenuhi kriteria Best Linear Unbiased Estimator (BLUE), antara lain sebagai berikut :

a. Estimator linear artinya adalah estimator merupkan sebuah fungsi linear atas sebuah variabel dependen yang stokastik.

b. Estimator tidak bias artinya nilai ekspektasi sesuai dengan nilai yang sebenarnya.

c. Estimator harus mempunyai varians yang minimum. Estimator yang tidak bias dan memiliki varians minimum disebut estimator yang efisien.

Terdapat beberapa permasalahan yang dapat menyebabkan sebuah estimator dikatakan tidak memenuhi kriteria BLUE jika melanggar beberapa asumsi antara lain sebagai berikut:

1. Normalitas

Pengujian asumsi normalitas dilakukan untuk melihat apakah error term mengikuti distribusi normal atau tidak. Jika asumsi normalitas ini tidak dipenuhi


(36)

maka prosedur pengujian dengan menggunakan uji t-statistic menjadi tidak sah. Pengujian asumsi normalitas dilakukan dengan Jarque Bera Test atau dengan melihat plot dari sisaan. Hipotesis dalam pengujian normalitas adalah:

H0 H

: Residual berdistribusi Normal 1

Dasar penolakan H

: Residual tidak berdistribusi Normal

0 dilakukan dengan membandingkan nilai Jarque Bera dengan taraf nyata α sebesar 0,05, dimana jika nilai Jarque Bera Test lebih besar dari taraf nyata α 0,05 menandakan H0

2. Multikolinearitas

tidak ditolak dan residual berdistribusi normal.

Istilah multikolinearitas berarti terdapat hubungan linier sempurna antar peubah bebas dalam suatu model regresi. Dalam prakteknya, kita sering dihadapkan dengan masalah peubah-peubah bebas yang tingkat multikoliniearitasnya tidak sempurna tetapi tinggi. Jika kita berhadapan dengan adanya peubah-peubah bebas yang seperti ini, maka dugaan parameter koefisien regresi masih mungkin diperoleh, tetapi interpretasinya akan menjadi sulit. Gujarati (2003) menyatakan indikasi terjadinya multikolinearitas dapat terlihat melalui:

a. Nilai R2

b. Korelasi berpasangan yang tinggi antara variabel-variabel independennya. yang tinggi tetapi sedikit rasio yang signifikan.

c. Melakukan regresi tambahan (auxiliary) dengan memberlakukan variabel independen sebagai salah satu variabel dependen dan variabel independen lainnya tetap diberlakukan sebagai variabel independen.

Menurut Juanda (2009), ada beberapa cara untuk mendeteksi adanya multikolinearitas di dalam suatu model. Pertama atau merupakan syarat cukup (sufficient condition) adalah melalui Uji koefisien korelasi sederhana (Pearson correlation coefficient), jika korelasi antar peubah-peubah bebas sangat tinggi dan nyata, dapat dikatakan terjadi multikolinearitas. Menurut Gujarati (2003), batas terjadinya korelasi antar variabel bebas adalah tidak boleh lebih dari tanda mutlak 0,8. Kedua atau merupakan syarat perlu (necessary condition) apabila syarat cukup tidak terpenuhi yaitu, dapat dilakukan dengan melihat nilai Variance Inflation Factor (VIF), dimana:


(37)

37

………(3.6)

nilai VIF ini menggambarkan kenaikan varians dari dugaan parameter antar peubah penjelas. Apabila nilai VIF lebih dari 5 atau 10, maka taksiran parameter kurang baik atau terjadi multikoliniearitas.

Perlu diingat jika tujuan pemodelan hanya untuk peramalan nilai peubah tak bebas dan bukan untuk mengkaji hubungan atau pengaruh peubah-peubah bebas terhadap peubah tak bebas, maka masalah multikolinearitas bukan masalah yang serius. Akan tetapi jika tujuan pemodelan adalah untuk menduga hubungan atau pengaruh peubah-peubah bebas terhadap peubah tak bebas, maka masalah multikoliniearitas menjadi masalah yang serius. Oleh karena itu terdapat beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengatasi multikoliniearitas, antara lain (Juanda, 2009):

a. Memanfaatkan informasi sebelumnya (prior information).

b. Mengeluarkan peubah dengan koliniearitas tinggi, tetapi dapat menimbulkann bias spesifikasi model.

c. Melakukan transformasi terhadap peubah-peubah dalam model menjadi bentuk first difference.

d. Menggunakan regresi komponen utama (principal component). e. Penambahan data baru.

3. Heteroskedastisitas

Salah satu asumsi dasar dari metode regresi linear adalah varians tiap unsur error adalah suatu angka konstan yang sama dengan 2

a. Dugaan parameter koefisien regresi tetap tidak bias dan masih konsisten, tetapi standar errornya dapat bias ke bawah.

. Heteroskedastisitas terjadi ketika varians tiap unsur error tidak konstan. Guajarati (2003) menyatakan heteroskedastisitas memiliki beberapa konsekuensi, diantaranya adalah :

b. Perhitungan standar error tidak lagi dapat dipercaya kebenarannya karena varians tidak minimum sehingga dapat menghasilkan estimasi regresi yang tidak efisien.

c. Uji hipotesis yang didasarkan pada uji F-statistic dan t-statistic tidak dipercaya.


(38)

Cara mendeteksi adanya pelanggaran asumsi heteroskedastisitas dalam metode data panel dapat dilakukan dengan menggunakan grafik standardized residual, apabila secara grafis menunjukkan bahwa ragam sisaan menyebar normal maka dapat dinyatakan tidak terjadi pelanggaran asumsi heteroskedastisitas.

4. Autokorelasi

Gujarati (2003) menyatakan autokorelasi adalah korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu seperti dalam data time series atau diurutkan menurut ruang seperti dalam data cross section. Suatu model dikatakan memiliki autokorelasi jika error dari periode waktu (time series) yang berbeda saling berkorelasi. Masalah autokorelasi ini akan menyebabkan model menjadi tidak efisien meskipun masih tidak bias dan konsisten. Autokorelasi menyebabkan estimasi standar error dan varian koefisien regresi yang diperoleh akan underestimate, sehingga R2

Untuk mendeteksi masalah autokorelasi yang paling umum dapat dilakukan dengan melihat nilai Durbin-Watson statistic pada model dibandingkan dengan nilai DW-Tabel. Sebuah model dapat dikatakan terbebas dari autokorelasi jika nilai Durbin-watson statistic terletak di area nonautokorelasi. Penentuan area tersebut dibantu dengan nilai tabel D

akan besar tetapi di uji t-statistic dan uji F-statistic menjadi tidak valid.

L dan DU.

H

Jumlah observasi (N) dan jumlah variabel independen (K). Dengan menggunakan hipotesis pengujian sebagai berikut:

0 H

: Tidak terdapat autokorelasi 1

Maka aturan pengujiannya adalah sebagai berikut : : Terdapat autokorelasi

0 < d < DL : tolak H0

D

, ada autokorelasi positif

L≤ d ≤ DU

D

: daerah ragu-ragu, tidak ada keputusan

U < d < 4 – DU : terima H0

4 - D

, tidak ada autokorelasi

U≤ d ≤ 4-DL

4 – D

: daerah ragu-ragu, tidak ada keputusan


(39)

39

II. Kriteria Statistik

Evaluasi model berdasarkan kriteria statistik dilakukan dengan beberapa pengujian antara lain sebagai berikut:

a. Koefesien Determinasi (R2 Nilai R

) 2

digunakan untuk mengukur seberapa besar tingkat variabel independen yang digunakan dalam penelitian dapat menjelaskan variabel dependen. Nilai tersebut menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang kita estimasi dengan data yang sesungguhnya. Nilai R2

b. Uji F-statistic

terletak antara nol hingga satu dimana semakin mendekati satu maka model akan semakin baik.

Uji F-statistic digunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel independen yang digunakan dalam penelitian secara bersama-sama signifikan memengaruhi variabel dependen. Nilai F-statistic yang besar lebih baik dibandingkan dengan F-statistic yang rendah. Nilai Prob(F-statistic) merupakan tingkat signifikansi marginal dari F-statistic. Dengan menggunakan hipotesis pengujian sebagai berikut:

H0 : β1=β2=…=βk H

=0

1 : minimal ada salah satu βj Tolak H

yang tidak sama dengan nol

0 jika F-statistic > F α(k-1,NT-N-K) atau Prob(F-statistic) < α. Jika H0

c. Uji t-statistic

ditolak, maka artinya dengan tingkat keyakinan 1-α kita dapat menyimpulkan bahwa variabel independen yang digunakan di dalam model secara bersama-sama signifikan memengaruhi variabel dependen.

Uji t-statistic digunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel independen secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Dengan menggunakan hipotesis pengujian sebagai berikut:

H0 : βj H

= 0 1 : βj Tolak H

≠ 0

0 jika t-statistic > t α/2(NT-K-1) atau (t-statistic) < t-tabel. Jika H0 ditolak, maka artinya dengan tingkat keyakinan 1-α kita dapat menyimpulkan bahwa variabel independen ke-i secara parsial memengaruhi variabel dependen.


(40)

III. Kriteria Ekonomi

Evaluasi model estimasi berdasarkan kriteria ekonomi dilakukan dengan membandingkan kesesuaian tanda dan nilai estimator dengan teori ekonomi dan kesesuaian dengan logika.

3.2.3 Aplikasi Regresi Data Panel

Analisis data panel pada umumnya menggunakan data dalam bentuk level dengan tujuan untuk memudahkan interpretasi model, namun jika kemudian penelitian menggunakan data time series yang mengandung tren, maka sebaiknya dilakukan pengujian unit root, untuk memastikan bahwa hubungan antara peubah tak bebas dan peubah bebas tidak menunjukkan spurious regression. Bila hasil pengujian unit root menunjukkan adanya tren pada data level, maka seperti biasanya, harus dilakukan pembedaan pertama (first differencing) untuk menghindari hasil yang misleading. Perlu diingat bahwa metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode regresi data panel, maka pengujian unit root yang digunakan bukan menggunakan metode biasa, tetapi menggunakan panel unit root. Pengujian ini disarankan oleh Baltagi (2005) untuk data panel dengan N dan T yang relatif tidak besar.

Hipotesis nol yang digunakan dalam pengujian panel unit root sama seperti pada pengujian unit root untuk data time series murni, hanya saja statistik uji yang digunakan merupakan pengembangan lebih lanjut dari statistik uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) dan Phillips-Perron (PP). Statistik uji yang digunakan dalam menguji panel unit root terdiri dari dua jenis, yaitu common unit root yang terdiri dari statistik uji Levin, Lin and Chu (LLC) dan Breitung’s test; serta individual unit root yang terdiri dari statistik uji Im, Pesaran and Shin (IPS), ADF - Fisher test dan PP - Fisher test. Setelah diperoleh hasil pengujian yang menyatakan bahwa series dari data panel tidak mengandung unit root maka estimasi bisa dilakukan.


(41)

41

3.3 Perumusan Model Penelitian

Rancangan model yang akan diajukan adalah mengacu pada penelitian Lestari (2003) dengan melakukan beberapa modifikasi pada variabel. Pada model penelitian ini terdapat tujuh variabel independen, dengan variabel dependennya P dan variabel independennya adalah M, GEXP, Y, W, KI, OIL_P dan FOOD_P. Data yang diperoleh pada variabel-variabel tersebut ternyata berbeda satuan dan berada dalam nilai yang sangat besar. Oleh karena itu, untuk memudahkan dalam mengolah data dan interpretasi hasil akhir, seluruh variabel yang berbeda satuan akan ditransformasi sehingga menjadi bentuk satuan yang sama, yaitu dalam bentuk logaritma natural. Dengan model tersebut diharapkan bahwa hasil regresi yang diperoleh akan lebih efisien dan mudah untuk diinterpretasikan.

Sesuai dengan keterangan di atas, maka spesifikasi model tersebut secara ekonometrika akan menjadi model sebagai berikut :

Ln(Pit) = α +β1 Ln(Mit) + β2 Ln(GEXPit) + β3 ln(Yit) + β4 Ln(Wit

β

) +

5 Ln(KIit) + β6 Ln(OIL_Pit) + β7 Ln(FOOD_Pit) + it

Model pada persamaan (3.7) merupakan model pada data level, jika kemudian terdapat unit root pada data level, maka persamaan (3.8) harus dirubah menjadi persamaan pada first differencing, sehingga akan diperoleh persamaan sebagai berikut :

………..…..(3.7)

Ln(∆Pit) = α +β1 Ln(∆Mit) + β2 Ln(∆GEXPit) + β3 ln(∆Yit) + β4 Ln(∆Wit

β

) +

5 Ln(∆KIit) + β6 Ln(∆OIL_Pit) + β7 Ln(∆FOOD_Pit) + it

dimana:

…………...……..…(3.8)

∆P : Perubahan harga (Inflasi)

∆M : Perubahan jumlah uang beredar

∆GEXP : Perubahan pengeluaran pemerintah daerah

∆Y : Perubahan pertumbuhan ekonomi daerah

∆W : Perubahan upah minimum regional


(42)

∆OIL_P : Perubahan harga minyak dunia

∆FOOD_P : Perubahan harga pangan dunia

Subskrip (i) menandakan kondisi pada provinsi ke-i dan (t) menandakan pengamatan pada tahun ke-t.


(43)

IV. GAMBARAN UMUM

4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa

Selama periode 2001-2010, terlihat tingkat inflasi Indonesia selalu bernilai positif, dengan inflasi terendah sebesar 2,78 persen terjadi pada tahun 2009 ketika terjadi penurunan harga BBM dan tertinggi pada tahun 2005 dengan laju inflasi sebesar 17,11 persen pada saat dilaksanakannya kebijakan penyesuaian harga BBM oleh pemerintah akibat kenaikan harga minyak dunia (Gambar 1,1). Kondisi ini ternyata tidak berbeda jauh dengan kondisi inflasi yang terjadi pada perekonomian provinsi di Pulau Jawa. Sepanjang tahun 2001-2010, tercatat inflasi tertinggi dan terendah terjadi di Provinsi Jawa Barat, yaitu sebesar 19,58 persen pada tahun 2005 dan 2,11 persen pada tahun 2009 (Gambar 4.1). Bila dilihat dari struktur perekonomiannya, pada Provinsi Jawa Barat didominasi oleh sektor industri, disusul oleh sektor perdagangan kemudian sektor pertanian. Hal tersebut berimplikasi kepada tingginya ketergantungan masing-masing sektor akan Bahan Bakar Minyak (BBM) sebagi salah satu input yang berpengaruh pada produksi masing-masing sektor tersebut, sehingga guncangan yang terjadi pada BBM memiliki pengaruh yang dominan pada tingkat inflasi di provinsi Jawa Barat.

Secara umum, bila dibandingkan dengan rata-rata inflasi nasional (Gambar 4.1), dapat dilihat bahwa inflasi pada tahun 2001, 2005 dan 2008 untuk semua provinsi di Pulau Jawa melebihi rata-rata inflasi nasional pada tahun 2001-2010. Bila dilihat lebih jauh, tingginya tingkat inflasi pada tahun 2001 dan 2005 disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia dan berdampak pada kenaikan harga BBM sedangkan pada tahun 2008 terjadi krisis finansial global yang menyebabkan nilai tukar Indonesia terdepresiasi dan lebih berfluktuatif yang kemudian memicu terjadinya inflasi.


(44)

Sumber : BPS (Diolah)

Gambar 4.1 Dinamika Inflasi Pulau Jawa terhadap Rata-Rata Inflasi Nasional 2001-2010

Terkait dengan kebijakan Inflation Targeting Framework (ITF) yang diimplementasikan oleh BI sejak tahun 2005, maka dari masing-masing provinsi dapat di ketahui bagaimana perilaku inflasi sebelum dan sesudah kebijakan dengan membandingkan dengan rata-rata inflasi nasional 2001-2010. Berdasarkan Gambar 4.1, diketahui bahwa inflasi di seluruh provinsi di Pulau Jawa memiliki jumlah periode inflasi dengan nilai dibawah rata-rata inflasi nasional lebih banyak setelah diimplementasikannya kebijakan ITF apabila dibandingkan dengan periode sebelum diterapkannya kebijakan tersebut. Hal ini membuktikan bahwa kebijakan ITF cukup efektif untuk menurunkan dan mengontrol kestabilan tingkat inflasi pada Pulau Jawa.


(45)

45

Sumber : BPS (Diolah)

Gambar 4.2 Perbandingan Perubahan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Inflasi di Pulau Jawa 2002-2010

Inflasi dapat memiliki dampak positif atau negatif tergantung seberapa tingginya tingkat inflasi yang terjadi. Inflasi yang ringan atau moderat akan membuat perekonomian menjadi meningkat karena dapat mendorong laju investasi yang kemudian membuka lapangan pekerjaan sehingga dapat mengurangi pengangguran dan pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, inflasi yang tinggi dan tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian bagi para pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan untuk melakukan konsumsi, investasi dan produksi yang pada akhirnya akan


(46)

menurunkan pertumbuhan ekonomi (Boediono, 1995). Gambar 4.2 merupakan perbandingan pertumbuhan ekonomi daerah dengan laju inflasi di masing-masing provinsi di Pulau Jawa. Gambar 4.2 menunjukkan bahwa inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa cenderung memiliki dampak yang negatif. Ketika terjadi inflasi yang cukup tinggi (2005 &2008) akan diikuti dengan menurunnya laju pertumbuhan ekonomi di masing-masing provinsi pada tahun berikutnya.

4.2 Hubungan Inflasi dengan Jumlah Uang Beredar dan Pengeluaran Pemerintah

Hubungan antara inflasi, jumlah uang beredar dan pengeluaran pemerintah menjadi isu penting dalam literatur kebijakan moneter dan fiskal sebagaimana kita ketahui uang beredar merupakan salah satu instrumen kebijakan moneter, sedangkan pengeluaran pemerintah merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal.

Uang yang beredar di masyarakat lebih banyak diterjemahkan sebagai narrow money (M1). Hal ini disebabkan karena masih adanya anggapan bahwa uang kuasi hanya merupakan bagian dari likuiditas perbankan. Gambar 4.3 memberikan informasi persentase laju jumlah uang yang beredar pada perekonomian. Apabila dikaitkan dengan laju inflasi di masing-masing provinsi pada perekonomian regional, maka secara umum hubungan jumlah uang beredar dan inflasi memiliki hubungan yang negatif. Ketika laju inflasi cenderung tinggi, maka Bank Sentral meresponnya dengan mengurangi jumlah uang beredar. Sebaliknya ketika laju inflasi cenderung rendah maka persentase jumlah uang beredar cenderung meningkat.

Sebagai salah satu kebijakan fiskal, pengeluaran pemerintah memegang peranan yang penting dalam mendukung kelancaran mekanisme sistem pemerintahan sebagai upaya efisiensi dan produktivitas nasional. Sejak dimulainya era otonomi daerah pada tahun 2001, hal ini membawa konsekuensi tidak saja pada desentralisasi politik dan administrasi, tetapi juga pada desentralisasi fiskal. Implikasi dari kebijakan desentralisasi fiskal ini adalah pemerintah diberikan kewenangan untuk menggali sumber-sumber pendapatan,


(47)

47

termasuk meminjam dari luar negeri, disamping kewenangan untuk menentukan belanja rutin dan belanja investasi. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya daerah sehingga idealnya akan mendorong daya saing daerah yang akan berujung pada peningkatan kesejahteraan daerah.

Sumber: BI & BPS (Diolah)

Gambar 4.3 Perbandingan Perubahan Laju Jumlah Uang Beredar terhadap Inflasi di Pulau Jawa 2002-2010

Selama periode 2001-2002 pengeluaran pemerintah daerah rutin mengalami peningkatan, tetapi besarnya kenaikan pengeluaran pemerintah berbeda-beda di masing-masing provinsi di Pulau Jawa. Terkait dengan inflasi, Gambar 4.4 memberikan informasi mengenai pertumbuhan laju pengeluaran pemerintah dan laju inflasi di masing-masing provinsi. Berdasarkan Gambar 4.4


(48)

hubungan antara laju pengeluaran pemerintah dengan laju inflasi di masing-masing provinsi cenderung beragam. Hal tersebut disebabkan karena besarnya pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah harus mempertimbangkan besarnya penerimaan daerah. Penerimaan daerah sendiri cenderung beragam di masing-masing provinsi. Beragamnya pengeluaran pemerintah masing-masing provinsi disebabkan oleh perbedaan struktur perekonomian pada masing-masing daerah. Akibatnya hubungan pengeluaran pemerintah dan inflasi cenderung beragam pada masing-masing provinsi di Pulau Jawa.

Sumber: BPS (Diolah)

Gambar 4.4 Perbandingan Perubahan Laju Pengeluaran Pemerintah terhadap Inflasi di Pulau Jawa 2002-2010


(49)

49

4.3 Hubungan Inflasi dengan Upah Minimum

Salah satu implikasi dari pemberlakuan otonomi daerah adalah mekanisme penetapan besarnya Upah Minimum Regional (UMR) yang sebelumnya menganut sistem sentralisasi. Sejak tahun 2001 menggunakan sistem desentralisasi. Perkembangan UMR provinsi di Pulau Jawa dijelaskan oleh Gambar 4.5.

Sumber : BPS, diolah

Gambar 4.5 Perbandingan Perubahan Upah Minimum Regional terhadap Inflasi di Pulau Jawa 2002-2010

Kondisi UMR Pulau Jawa terus menerus mengalami peningkatan, hal tersebut bertujuan agar menjaga daya beli masyarakat agar tidak tergerus oleh inflasi. Gambar 4.5 memberikan informasi mengenai laju pertumbuhan UMR provinsi di Pulau Jawa terhadap laju inflasi sejak tahun 2002. Berdasarkan Gambar 4.5 dapat dilihat bahwa dinamika penyesuaian UMR selalu berusaha


(50)

berada pada tingkatan di bawah laju inflasi di setiap provinsi di Pulau Jawa agar tidak malah memacu meningkatnya tingkat harga. Penyesuaian UMR diatas laju inflasi hanya terjadi pasca terjadinya lonjakan inflasi pada tahun 2005 dan 2008. Sebagaimana kita ketahui dampak negatif akibat tingginya laju inflasi dapat menurunkan daya beli masyarakat, maka pemerintah-pemerintah daerah berusaha menyesuaikan tingkat upah pada masing-masing wilayah pasca terjadinya inflasi yang tinggi dengan meningkatkan UMR diatas laju inflasi sebagai insentif agar roda perekonomian daerah tetap dapat tumbuh dan berlangsung tanpa mengalami gangguan.

4.4 Hubungan Inflasi dengan Kondisi Infrastruktur

Kondisi infrastruktur mempunyai peranan penting didalam aliran distribusi produk. Semakin membaik kondisi infrastruktur tentunya akan semakin memperlancar aliran distribusi produk dan penghematan dalam waktu perjalanan. Penghematan biaya ini tentunya diprediksi akan berdampak pada penurunan harga produk di dalam pasar.

Gambar 4.6 memberikan gambaran mengenai hubungan antara inflasi dengan persentase panjang jalan dengan kondisi baik di Pulau Jawa. Berdasarkan gambar tersebut ternyata kondisi infrastruktur cenderung memberikan hubungan yang negatif dengan inflasi. Saat terjadi penurunan persentase kondisi jalan baik, hal tersebut kemudian memicu kenaikan inflasi pada beberapa provinsi di Pulau Jawa.

Peningkatan kondisi infrastruktur, selain akan menurunkan biaya transpor terkait dengan lancarnya arus barang ke dalam atau keluar suatu wilayah, disamping itu juga akan meningkatkan volume ekspor dan impor suatu wilayah serta memungkinkan terjadinya transfer teknologi dan informasi yang lebih cepat antar wilayah.


(51)

51

Sumber : BPS, diolah

Gambar 4.6 Perbandingan Kondisi Infratruktur terhadap Inflasi di Pulau Jawa 2001-2010

4.5 Perkembangan Harga Minyak dan Harga Pangan Dunia

Pada periode tahun 2001-2010, fluktuasi harga minyak dunia cenderung mengalami kenaikan terus menerus. Harga minyak masih cenderung stabil dari awal tahun 2001 sampai dengan tahun 2004. Selama tahun 2005 harga minyak dunia mulai mengalami kenaikan. Selama periode 2006-2008, harga minyak dunia tetap menunjukkan perkembangan yang selalu naik. Kenaikan dalam tahun-tahun ini bahkan sudah mulai menembus $90 per barel, harga yang sangat tinggi bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.


(52)

Sumber : OPEC, diolah

Gambar 4.7 Perkembangan Harga Minyak Dunia dan Inflasi di Pulau Jawa 2001-2010

Pada Tahun 2009 harga minyak dunia mulai turun akibat telah berakhirnya krisis finansial global yang melanda pada tahun 2008, namun harga minyak dunia kembali naik pada tahun 2010 disebabkan menurnnya pasokan minyak dari negara-negara eksportir utama.

Gambar 4.7 memberikan informasi mengenai pengaruh kenaikan harga minyak dunia terhadap inflasi pada perekonomian provinsi di Pulau Jawa. Dapat dilihat bahwa ketika harga minyak dunia mengalami kenaikan akan disusul oleh kenaikan laju inflasi di setiap provinsi di Pulau Jawa. Kondisi tersebut terjadi mengingat input utama dalam setiap proses produksi perusahaan adalah energi


(1)

Lampiran.4 Hasil Estimasi Model dengan Pendekatan Fixed Effect Model 1st Differencing

Dependent Variable: D(P)

Method: Panel EGLS (Cross-section SUR) Date: 06/21/12 Time: 02:18

Sample (adjusted): 2002 2010 Periods included: 9

Cross-sections included: 6

Total panel (balanced) observations: 54

Linear estimation after one-step weighting matrix

Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

D(M) 0.083627 0.075954 1.101029 0.2773 D(GEXP) 0.023415 0.009337 2.507786 0.0162 D(Y) 0.188878 0.075511 2.501332 0.0165 D(W) 0.085713 0.022540 3.802649 0.0005 D(KI) 0.001921 0.000908 2.116836 0.0404 D(OIL_P) 0.094602 0.045473 2.080410 0.0438 D(FOOD_P) -0.154601 0.088205 -1.752753 0.1171 C 0.041552 0.014756 2.815900 0.0074

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

Weighted Statistics

R-squared 0.523606 Mean dependent var 1.777053 Adjusted R-squared 0.384173 S.D. dependent var 2.495105 S.E. of regression 1.020650 Sum squared resid 42.71078 F-statistic 3.755264 Durbin-Watson stat 1.842296 Prob(F-statistic) 0.000729

Unweighted Statistics

R-squared 0.419790 Mean dependent var 0.081592 Sum squared resid 0.025285 Durbin-Watson stat 2.105064


(2)

86

Lampiran .5 Hasil Chow Test Model 1st Differencing

Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled

Test cross-section fixed effects

Effects Test Statistic d.f. Prob.


(3)

Lampiran.6 Hasil Uji Normalitas Model 1st Differencing

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

-1 0 1 2

Series: Standardized Residuals Sample 2002 2010

Observations 54 Mean -3.29e-17 Median -0.086370 Maximum 2.134483 Minimum -1.749589 Std. Dev. 0.897699 Skewness 0.335640 Kurtosis 2.433268 Jarque-Bera 1.736555 Probability 0.419674


(4)

88

Lampiran.7 Grafik Standardized Residuals Model 1st Differencing

-2 -1 0 1 2 3

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60


(5)

RINGKASAN

ADITYA RAKHMAN. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi di Pulau Jawa: Analisis Data Panel (dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR)

Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang sering terjadi pada perekonomian suatu negara. Inflasi membawa pengaruh buruk bagi perekonomian, antara lain yaitu dapat menurunkan kesejahteraan riil masyarakat yang berpenghasilan tetap dan menciptakan pengangguran. Sejarah mencatat inflasi di Indonesia pernah mencapai titik tertinggi yaitu pada tahun 1966 dan tahun 1998. Inflasi yang terjadi pada tahun 1966 disebabkan oleh defisit anggaran belanja pemerintah yang dibiayai dalam bentuk pencetakan uang, sedangkan inflasi yang terjadi pada tahun 1998 disebabkan oleh krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997. Fakta sejarah juga menunjukkan bahwa jatuhnya dua rezim yang telah lama berkuasa di Indonesia yaitu Rezim Orde Lama dan Rezim Orde baru bersamaan dengan saat terjadinya inflasi yang cukup tinggi. Berdasarkan pengalaman Rezim Orde Lama dan Rezim Orde Baru mengenai bahaya inflasi, pihak berwenang khususnya Bank Sentral telah melakukan berbagai upaya untuk memelihara kestabilan inflasi di dalam negeri. Namun sejak dimulainya era otonomi daerah pada tahun 2001, pengendalian inflasi semakin mendapat tantangan yang berat disebabkan semakin meluasnya sumber-sumber penyebab inflasi dan perbedaan faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di setiap wilayah di Indonesia (Brodjonegoro et al, 2005). Mengingat masih relatif terbatasnya studi mengenai inflasi regional dan cukup besarnya pengaruh yang diberikan Pulau Jawa terhadap perekonomian Indonesia membuat studi mengenai inflasi di Pulau Jawa ini menjadi penting dan menarik untuk dilakukan. Untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebabnya inflasi dibagi menjadi dua kategori, demand pull

inflation atau inflasi yang disebabkan oleh tarikan permintaan dan cost push

inflation atau inflasi yang disebabkan oleh dorongan biaya.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa. Setelah diketahui faktor-faktor yang memengaruhi inflasi pada provinsi-provinsi di Pulau Jawa, kemudian dirumuskan beberapa implikasi kebijakan dalam rangka pengendalian inflasi. Cakupan sampel yang dianalisis dalam penelitian ini adalah enam provinsi di Pulau Jawa yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur dan Banten. Penelitian ini menggunakan data sekunder provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan beberapa data nasional dan internasional dalam bentuk data panel yakni gabungan data time

series dan cross section dari tahun 2001-2010. Data penelitian diperoleh dari BPS,

BI, FAO, OPEC dan beberapa dari penelitian terdahulu serta literatur terkait. Variabel yang diteliti antara lain adalah jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah, pertumbuhan ekonomi, upah minimum regional, kondisi infrastruktur jalan raya, harga minyak dunia dan harga pangan dunia. Metode analisis kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode regresi data panel dengan model penelitian yang mengacu pada penelitian Lestari (2003) dengan melakukan beberapa modifikasi pada variabel-variabel yang diteliti.


(6)

Hasil Pengujian mendapatkan metode terbaik untuk mengestimasi model penelitian adalah dengan metode regresi data panel first differencing melalui pendekatan Pooled Least Square (PLS). Estimasi dengan pendekatan PLS menunjukkan bahwa dari sisi permintaan inflasi secara signifikan dipengaruhi oleh variabel perubahan pengeluaran pemerintah dan tingkat pertumbuhan ekonomi (berpengaruh positif), sementara variabel perubahan jumlah uang beredar tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi. Dari sisi penawaran inflasi secara signifikan dipengaruhi oleh variabel perubahan upah minimum, perubahan kondisi infrastruktur jalan raya serta perubahan harga minyak dunia (berpengaruh positif), sedangkan variabel perubahan harga pangan dunia tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi. Merujuk kepada hasil estimasi, sebaiknya BI bersama-sama dengan pemerintah pusat maupun daerah berkoordinasi dalam menentukan target inflasi dan memfokuskan arah kebijakan pada sumber-sumber utama yang memengaruhi inflasi terutama dari sisi penawaran karena menurut hasil estimasi inflasi lebih dipengaruhi dari sisi penawaran.

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa inflasi di Pulau Jawa bukan semata-mata disebabkan oleh fenomena moneter, tetapi lebih merupakan fenomena fiskal. Hal tersebut juga sejalan dengan teori strukturalis yang menyatakan bahwa inflasi di negara berkembang juga ikut disebabkan oleh kenaikan biaya produksi atau cost push inflation. Sementara itu, temuan penting lainnya dalam penelitian ini ternyata peningkatan pada perubahan kondisi infrastruktur jalan raya menjadi lebih baik malah mengakibatkan inflasi semakin meningkat. Setelah ditelusuri lebih lanjut, hal tersebut disebabkan oleh nilai ekspor komoditi di Pulau Jawa yang lebih rendah bila dibandingkan nilai impornya. Sehingga untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk menambahkan variabel-variabel lain yang diperkirakan memengaruhi inflasi terutama variabel ekspor dan impor serta memperluas ruang lingkup penelitian menjadi provinsi-provinsi lain di Indonesia untuk melengkapi hasil penelitian ini agar lebih mampu untuk menjelaskan dinamika inflasi pada perekonomian regional di Indonesia. Kata Kunci: Pulau Jawa, Inflasi Regional, Regresi Data Panel