Analisis Faktor-Faktor Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa Barat

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin meningkatnya permintaan terhadap sumberdaya lahan. Luas lahan sawah pada tahun 2010 terkonversi menjadi 3,5 juta hektar dari 4,1 juta hektar pada tahun 2007. Dalam periode 2007-2010, konversi lahan mencapai 600.000 ha. Tingginya konversi lahan di Pulau Jawa umumnya digunakan untuk kepentingan di luar pertanian, seperti jalan tol, industri, perumahan, pusat perbelanjaan, dan fasilitas umum lainnya (BPS, 2010).

Hal ini sejalan dengan uraian Barlowe (1978) bahwa dari segi penggunaannya lahan mempunyai kompetisi, yakni adanya ketidakseimbangan antara penawaran yang terbatas dan permintaan yang tak terbatas. Pada kondisi tersebut maka peningkatan kebutuhan lahan untuk suatu kegiatan produksi atau pembangunan akan mengurangi ketersediaan lahan untuk kegiatan lainnya. Karena pembangunan ekonomi cenderung meningkatkan permintaan lahan di luar sektor pertanian dengan laju lebih besar dari pada sektor pertanian maka pertumbuhan ekonomi cenderung memacu konversi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian terutama di daerah dengan ketersediaan lahan terbatas.

Konversi lahan sawah terjadi karena pertama, adanya desakan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin bertambah jumlahnya seperti pemukiman, industri, maupun prasarana dengan tujuan memperluas kegiatan


(2)

perekonomian. Hal ini disebabkan karena sebagai negara agraris, basis perekonomian Indonesia pada awalnya bersumber pada pengembangan sektor pertanian. Oleh sebab itu pengembangan sektor pertanian pada umumnya terjadi pada wilayah yang berlahan subur seperti Provinsi Jawa Barat. Kedua meningkatkan mutu kehidupan yang lebih baik merupakan dampak positif dari keberhasilan pembangunan yang telah dilaksanakan.

Terjadinya konversi lahan sawah tidak menguntungkan bagi sektor pertanian karena dapat menurunkan kapasitas produksi dan daya serap tenaga kerja pertanian. Akibat dari pembangunan sektor non pertanian yang relatif intensif dalam menggunakan kapital sehingga sektor pertanian dituntut agar menyediakan lapangan kerja untuk mengantisipasi pertumbuhan angkatan kerja (Winoto, 1995). Adanya konversi ini juga dapat merugikan ketahanan pangan karena sekitar 55% konsumsi kalori dan 45% konsumsi protein rumah tangga berasal dari beras, sedangkan sekitar 90% produksi beras nasional dihasilkan dari lahan sawah (Irawan, 2004).

Untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan tersebut, produksi beras nasional harus meningkat secara memadai dalam rangka mempertahankan kecukupan pangan. Peningkatan produktivitas padi tersebut merupakan faktor utama bagi peningkatan produksi beras nasional. Pertumbuhan produksi bersumber dari dua faktor (a) pertambahan areal panen dan (b) peningkatan produktivitas.

Asyik (1996) dalamIrawan (2002) berpendapat bahwa pemantapan ekosistem sawah baru membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun. Sebaliknya areal sawah produktif yang memiliki kontribusi cukup besar terhadap produksi pangan justru telah


(3)

Secara agregat luas areal baku tanaman pangan cenderung menurun secara kualitas sehingga masalah pengadaan pangan akan semakin kompleks di masa yang akan datang yang dicirikan dengan menyusutnya lahan baku tanaman pangan, dan semakin terbatasnya anggaran pemerintah untuk memacu peningkatan produksi beras. Di satu sisi kebutuhan pangan terutama beras terus meningkat akibat pertambahan penduduk dan peningkatan daya beli. Oleh karena itu impor beras dalam tiga tahun terakhir ini berfluktuatif. Pada tahun 2008 impor beras sebesar 289,6 juta kg. kemudian pada tahun 2009 menurun sebesar 250,4 juta kg dan pada tahun 2010 kembali meningkat tajam sebesar 687,5 juta kg (BPS, 2011). Dalam situasi tersebut upaya untuk mengurangi “kehilangan produksi pangan” yang terjadi akibat alih fungsi lahan tanaman pangan menjadi penting guna mengimbangi stagnasi pertumbuhan produksi pangan.

Provinsi Jawa Barat merupakan sentra produksi padi nasional dengan luas lahan sawah terbesar di Indonesia. Pada tahun 2010, produksi padi wilayah ini sebesar 17,66% dari total produksi padi nasional dan 32,27% dari total produksi padi di Pulau Jawa. Jenis lahan sawah yang ada di wilayah ini adalah sawah irigasi teknis, setengah teknis, sederhana, tadah hujan, dan jenis sawah lainnya. Lahan sawah terluas di Jawa Barat adalah lahan sawah irigas teknis dengan laju konversi yang tinggi pula. Lahan sawah irigasi teknis adalah sawah yang memperoleh pengairan dimana saluran pemberi terpisah dari saluran pembuang agar penyediaan dan pembagian irigasi dapat sepenuhnya diatur dan diukur dengan mudah. Jaringan seperti ini biasanya terdiri dari saluran induk, sekunder dan tersier. Pada tahun 2003-2008, jaringan irigasi dalam


(4)

(Bappeda, 2009). Lahan sawah irigasi teknis merupakan lahan sawah dengan dataran rendah, hal ini menyebabkan pembangunan industri, pemukiman, serta sarana/prasarana lain semakin mudah dilaksanakan sehingga daerah ini memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Kemudahan aksesibilitas dan letak geografis yang strategis dengan wilayah pusat pertumbuhan seperti Bandung, Bogor, dan Bekasi juga merupakan penyebab terjadinya konversi lahan sawah irigasi teknis.. 1.2 Perumusan Masalah

Konversi lahan dapat bersifat permanen dan juga dapat bersifat sementara. Jika lahan sawah beririgasi teknis berubah menjadi kawasan pemukiman atau industri, maka konversi lahan ini bersifat permanen. Akan tetapi, jika sawah tersebut berubah menjadi perkebunan tebu, maka konversi lahan tersebut bersifat sementara, karena pada tahun-tahun berikutnya dapat dijadikan sawah kembali. Konversi lahan permanen biasanya lebih besar dampaknya daripada konversi lahan sementara (Utomo, 1992).

Pada dasarnya konversi lahan tidak dapat dihindari dalam pelaksanaan pembangunan, namun perlu dikendalikan. Peningkatan kebutuhan lahan akibat semakin tingginya aktivitas perekonomian secara langsung maupun tidak langsung telah menyebabkan terjadinya pengurangan luas lahan pertanian.

Sampai saat ini peran pulau jawa dalam produksi beras nasional sangatlah nyata, terutama saat pemerintah sedang gencar-gencarnya melaksanakan program swasembada beras pada tahun 1984. Pada waktu itu Pulau Jawa mampu memberikan kontribusi 63,12% dari total produksi nasional beras. Angka ini sangat fantastis,


(5)

melihat luas Pulau Jawa hanya 7% dari luas total daratan Indonesia, kontribusi Pulau Jawa terhadap produksi beras nasional tidak pernah kurang dari 50%.

Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi padi di Indonesia yang harus dipertahankan tetapi tidak terlepas dari masalah konversi lahan sawah ke penggunaan non-sawah dan merupakan jalur utama dalam pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa. Daerah-daerah pertanian diantara dua pusat industri (Jakarta – Cirebon) menjadi stimulus terhadap sektor lainnnya untuk berkembang, misalnya sektor transportasi, komunikasi, jasa, dan perdagangan. Dengan berkembangnya industri di Provinsi Jawa Barat menjadi daya tarik bagi penduduk luar wilayah untuk bermigrasi ke wilayah ini. Luas lahan sawah irigasi teknis, luas konversi lahan sawah irigasi teknis, dan laju konversi lahan sawah di Provinsi Jawa Barat dari tahun 2000 sampai tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Luas Lahan Sawah Irigasi Teknis, Luas Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis, dan Laju Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa Barat Tahun 2000-2010

Tahun

Luas Lahan Sawah Irigasi Teknis (hektar) Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis (hektar) Laju Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis (%)

2000 458.240 0 0

2001 398.275 59.965 13,09

2002 368.273 30.002 7,53

2003 376.865 -8.592 -2,33

2004 383.261 -6.396 -1,70

2005 380.996 2.265 0,59

2006 380.348 648 0,17

2007 374.850 5.498 1,45

2008 378.856 -4.006 -1,07

2009 374.156 4.700 1,24

2010 371.145 3.011 0,80


(6)

Diketahui bahwa luas lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat dari tahun 2000 sampai tahun 2010 terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan oleh semakin meningkatnya tren konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah seperti untuk pembangunan kawasan pemukiman, perindustrian, infrastruktur, dan sebagainya. Secara umum konversi lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat periode 2000-2010 mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Luas lahan sawah irigasi teknis yang terkonversi dari tahun 2000-2010 mencapai 87.095 hektar atau 7917,73 hektar per tahun, dengan laju konversi 1,80% per tahun. Dengan adanya konversi lahan sawah tersebut mengubah luas lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2000 seluas 458.240 hektar menjadi 371.145 hektar pada akhir tahun 2010.

Konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah mempunyai opportunity cost yang sangat besar, diantaranya adalah penurunan produksi beras lokal/nasional yang secara tidak langsung akan mengurangi kontribusi sektor pertanian dalam produk domestik regional bruto (PDRB) dan penurunan laju pertumbuhan daya serap tenaga kerja sektor pertanian. Padahal dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk maka kebutuhan akan kesempatan kerja juga semakin meningkat.

Permasalahan konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah dalam pelaksanaan pembangunan menunjukkan masih lemahnya pelaksanaan peraturan perundang-undangan tentang pertanahan dan masih belum adanya sinkronisasi dalam pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan tanah dan instansi yang terkait (Irawan, 2005). Oleh karena itu permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah


(7)

1) Faktor-faktor apa yang mempengaruhi konversi lahan sawah irigasi teknis ke penggunaan non-sawah di Provinsi Jawa Barat?

2) Bagaimanakah dampak ekonomi konversi lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah tersebut, maka muncul beberapa tujuan penelitian yang ingin dicapai diantaranya:

1) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah irigasi teknis ke penggunaan non-sawah di Provinsi Jawa Barat.

2) Menganalisis dampak ekonomi konversi lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak pemerintah dan masyarakat. Manfaat-manfaat tersebut diantaranya:

1) Pemerintah dapat menggunakan hasil dari penelitian ini untuk membuat kebijakan yang dapat menekan konversi lahan sawah.

2) Sebagai bahan pertimbangan, referensi, dan literatur bagi peneliti-peneliti selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini hanya mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat selama periode 2001-2010 dengan mengestimasi model regresi linear berganda. Lahan sawah irigasi teknis


(8)

lahan sawah irigasi teknis yang dihitung berupa produksi dan nilai produksi padi serta jumlah dan upah tenaga kerja yang hilang selama periode 2001-2010. Pada penelitian ini faktor-faktor yang diduga mempengaruhi konversi lahan sawah irigasi teknis yaitu:

1. Laju pertumbuhan penduduk 2. Harga Gabah Kering Panen (GKP) 3. Laju pertumbuhan luas lahan pemukiman 4. Laju pertumbuhan PDRB industri pengolahan 5. Laju pertambahan panjang jalan


(9)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Sumberdaya Lahan

Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena diperlukan dalam setiap kegiatan manusia, seperti untuk pertanian, industri, pemukiman, jalan, rekreasi, dan daerah-daerah yang dipelihara kondisi alamnya untuk tujuan ilmiah. Sitorus (2001) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief, tanah, air, dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan.

Dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia yang terus berkembang dan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi, pengelolaan sumberdaya lahan sering kali kurang bijaksana dan tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutannya (jangka pendek) sehingga kelestariannya semakin terancam. Akibatnya sumberdaya lahan yang berkualitas tinggi menjadi berkurang dan manusia semakin bergantung pada sumberdaya lahan yang bersifat marginal (kualitas lahan yang rendah). Hal ini berdampak pada semakin berkurangnya ketahanan pangan, tingkat dan intensitas pencemaran yang berat dan kerusakan lingkungan lainnya. Oleh karena itu, aktifitas kehidupan cenderung menuju sistem pemanfaatan sumberdaya alam dengan kapasitas daya dukung yang menurun. Di lain pihak, permintaan akan sumberdaya lahan terus meningkat akibat tekanan pertambahan konsumsi per kapita. 2.2 Penggunaan Lahan


(10)

dan Nasoetion (1995) bahwa penggunaan lahan merupakan suatu proses yang dinamis, sebagai hasil dari perubahan pada pola dan besarnya aktivitas manusia sepanjang waktu. Sehingga masalah yang berkaitan dengan lahan merupakan masalah yang komplek. Oleh karena itu upaya pemanfaatan sumberdaya lahan yang optimal memerlukan alokasi penggunaan lahan yang efisien.

Dalam pertanian, lahan merupakan faktor penting dalam fungsi produksi disamping modal, tenaga kerja, dan manajemen. Menurut Hermanto (1988) dalam Lubis (1991), lahan sebagai faktor produksi di Indonesia pada umumnya bersifat:

1) Relatif langka dibandingkan dengan faktor produksi lain 2) Distribusi penguasaannya di masyarakat tidak merata 3) Luasnya relatif tetap dan dianggap tetap

4) Tidak dapat dipindahkan

5) Dapat dipindahtangankan dan atau diperjualbelikan

Sihaloho (2004) membedakan penggunaan lahan ke dalam tiga kategori, yaitu:

1) Masyarakat yang memiliki lahan luas dan menggarapkannya kepada orang lain, pemilik tanah menerapkan sistem sewa atau bagi hasil.

2) Pemilik lahan sempit yang melakukan pekerjaan usaha tani dengan tenaga kerja keluarga, sehingga tidak memanfaatkan tenaga kerja buruh tani.

3) Pemilik lahan yang melakukan usaha tani sendiri tetapi banyak memanfaatkan tenaga kerja buruh tani, baik petani berlahan sempit maupun berlahan luas. Rencana tata guna lahan yang baik akan menciptakan suatu lingkungan fisik


(11)

sungguh-sungguh membantu usaha peningkatan kesejahteraan rakyat dalam mewujudkan keadaan sosial. Meningkatnya kebutuhan akan lahan bagi pembangunan menyebabkan tanah semakin mempunyai nilai dalam kehidupan masyarakat, baik diperkotaan maupun di pedesaan. Pembangunan desa di negara agraris umumnya bertujuan memajukan sektor pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani (Jayadinata, 1986).

Pembangunan pertanian di Indonesia harus memanfaatkan secara efisien sumberdaya yang ada dan dikembangkan secara seimbang dengan peningkatan usaha-usaha lain. Peningkatan produksi pangan perlu dilanjutkan untuk memantapkan swasembada pangan.

Menurut Barlowe (1986) faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah faktor fisik dan biologis, faktor pertimbangan ekonomi dan faktor institusi (kelembagaan). Faktor fisik dan biologis mencakup kesesuaian dari sifat fisik seperti keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan dan kependudukan. Faktor pertimbangan ekonomi dicirikan oleh keuntungan, keadaan pasar dan transportasi. Faktor institusi dicirikan oleh hukum pertanahan, keadaan politik, keadaan sosial dan secara administrasi dapat dilaksanakan.

2.3 Konversi Lahan Sawah

Sebagai sumberdaya alam, lahan merupakan wadah dan faktor produksi strategis bagi kegiatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Perubahan pola penggunaan lahan pada dasarnya bersifat dinamis mengikuti perkembangan penduduk dan pola pembangunan wilayah (Utomo, 1992).


(12)

Konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian periode 1990-1995 di Jawa secara keseluruhan paling besar terjadi di Jawa Timur dan Jawa Barat, masing-masing mengalami konversi lahan sekitar 23.448 dan 21.447 hektar. Konversi lahan sawah yang terjadi di Jawa Barat, sekitar 66% lahan sawah dialihkan fungsinya untuk kebutuhan penggunaan perumahan dan industri. Konsekuensi logis yang terjadi di Jawa Barat karena daerah tersebut merupakan daerah tujuan untuk berimigrasi dan pusat-pusat pertumbuhan industri. Akibatnya alokasi lahan untuk kepentingan tersebut semakin meningkat dari tahun ke tahun (Sumaryanto, 1994).

Hasil sensus pertanian 2003 mengungkapkan bahwa selama tahun 2000-2002 total luas lahan sawah di Indonesia yang dikonversi ke penggunaan lain rata-rata 187,7 ribu hektar per tahun, sedangkan luas percetakan sawah baru hanya 46,4 ribu hektar per tahun, sehingga luas lahan sawah rata-rata berkurang 141,3 ribu hektar per tahun (Sihaloho, 2004).

Sihaloho (2004) membagi konversi lahan kedalam tujuh pola atau tipologi, antara lain:

1) Konversi gradual berpola sporadik; dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu lahan yang kurang/tidak produktif dan keterdesakan ekonomi pelaku konversi. 2) Konversi sistematik berpola ‘enclave’; dikarenakan lahan kurang produktif,

sehingga konversi dilakukan secara serempak untuk meningkatkan nilai tambah.

3) Konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population growth driven land conversion); lebih lanjut disebut konversi adaptasi


(13)

demografi, dimana dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, lahan terkonversi untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal.

4) Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (social problem driven land conversion); disebabkan oleh dua faktor yakni keterdesakan ekonomi dan perubahan kesejahteraan.

5) Konversi tanpa beban; dipengaruhi oleh faktor keinginan untuk mengubah hidup yang lebih baik dari keadaan saat ini dan ingin keluar dari kampung. 6) Konversi adaptasi agraris; disebabkan karena keterdesakan ekonomi dan

keinginan untuk berubah dari masyarakat dengan tujuan meningkatkan hasil pertanian.

7) Konversi multi bentuk atau tanpa bentuk; konversi dipengaruhi oleh berbagai faktor, khususnya faktor peruntukan untuk perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan, termasuk sistem waris yang tidak dijelaskan dalam konversi demografi.

Sumaryanto (1994) memaparkan bahwa jika suatu lokasi terjadi konversi lahan pertanian maka lahan-lahan di sekitarnya akan terkonversi juga dan sifatnya cenderung progresif.

Irawan (2005) mengemukakan bahwa konversi lahan lebih besar terjadi pada lahan sawah dibandingkan dengan lahan kering karena dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu pertama, pembangunan kegiatan non-pertanian seperti kompleks perumahan, pertokoan, perkantoran, dan kawasan industri lebih mudah dilakukan pada tanah sawah yang lebih datar dibandingkan dengan tanah kering. Kedua, akibat


(14)

infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah tanah kering. Ketiga, daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumen atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah tanah kering yang sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan pegunungan.

2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah

Isa (2004) mengatakan faktor-faktor yang mendorong terjadinya konversi lahan pertanian menjadi non pertanian adalah:

1) Faktor kependudukan

2) Kebutuhan lahan untuk kegiatan non-pertanian 3) Faktor ekonomi

4) Faktor sosial budaya 5) Degradasi lingkungan 6) Otonomi daerah

7) Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum

Kustiwan (1997) menyatakan bahwa setidaknya ada tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu:

1) Faktor Eksternal. Merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan (fisik maupun spasial), demografi maupun ekonomi. 2) Faktor Internal. Faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi

sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan.

3) Faktor Kebijakan. Yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan


(15)

Ilham et al (2004) menyatakan konversi lahan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

1) Faktor sosial atau kependudukan. Berkaitan erat dengan peruntukan lahan bagi pemukiman atau perumahan secara luas. Khususnya pertambahan penduduk di kota, kenaikan itu disebabkan oleh kelahiran alamiah dan urbanisasi.

2) Kegiatan ekonomi dan pembangunan. Merupakan kegiatan pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat.

3) Penggunaan jenis teknologi. Seperti penggunaan pestidida dapat menyebabkan rusaknya potensi lahan yang dikenai dan berakibat lebih jauh pada penurunan potensi lahan.

4) Kebijaksanaan pembangunan makro. Kebijaksanaan ini akan mempengaruhi terhadap pemilihan investasi yang ditanam dan akan mempengaruhi konversi lahan.

Pasandaran (2006) menjelaskan paling tidak ada tiga faktor, baik sendiri sendiri maupun bersama-sama yang merupakan determinan konversi lahan sawah, yaitu:

1) Kelangkaan sumberdaya lahan dan air 2) Dinamika pembangunan

3) Peningkatan jumlah penduduk

Pakpahan, et.al (1993) membagi faktor yang mempengaruhi konversi dalam kaitannya dengan petani, yakni faktor tidak langsung dan faktor langsung. Faktor


(16)

urbanisasi dan konsistensi implementasi rencana tata ruang. Sedangkan faktor langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan kebutuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman dan sebaran lahan sawah.

Hayat (2002), faktor-faktor yang diduga mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat wilayah dengan metode kuadrat terkecil biasa (OLS) dengan menggunakan pendekatan dua variabel, variabel tak bebas yaitu penurunan jumlah luas lahan dan variabel yang bebas yaitu kepadatan penduduk, produktivitas padi sawah, persentase luas lahan sawah, kontribusi sektor non-pertanian, pertambahan jalan aspal dan proporsi jumlah tenaga kerja sektor non-pertanian. Namun dalam hasil penelitiannya, faktor tenaga kerja sektor non-pertanian dihilangkan karena terdapat kontribusi positif yang kuat dengan faktor kontribusi sektor non-pertanian. Dari hasil perhitungan, faktor produktivitas lahan sawah, persentase luas lahan sawah, kontribusi sektor non-pertanian, pertambahan jalan aspal berpengaruh nyata, sedangkan kepadatan penduduk merupakan faktor yang tidak mempengaruhi secara nyata dalam model ini pada taraf uji 0,1.

Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, secara garis besar terdapat dua faktor penyebab konversi, yaitu pada tingkat makro dan mikro. Dalam bidang makro, konversi lahan sawah disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi sektor non-pertanian yang pesat, implementasi undang-undang yang lemah, serta nilai tukar petani yang rendah. Dalam skala mikro, alasan utama petani melakukan konversi lahan adalah karena kebutuhan, lahannya berada dalam kawasan


(17)

mendorong petani melakukan konversi. Faktor pendorong konversi yang tidak kalah pentingnya khususnya di Pulau Jawa adalah adanya kesempatan membeli lahan di tempat lain yang lebih murah. Semua penyebab konversi itu akhirnya bermuara pada motif ekonomi, yaitu penggunaan lahan untuk peruntukan yang baru dipandang lebih menguntungkan daripada digunakan untuk lahan sawah (Ashari, 2003).

2.5 Dampak Konversi Lahan Sawah

Secara teoritis, konversi lahan sawah dapat menimbulkan kerugian, terutama hilangnya lahan produktif penghasil beras, disamping tidak dipungkiri adanya manfaat ekonomi. Namun demikian, tidaklah mudah untuk membuat perhitungan pasti dari manfaat dan kerugian akibat konversi ini, karena cukup banyak manfaat dan kerugian yang sulit diukur.

Furi (2007) menjelaskan konversi lahan yang terjadi mengubah status kepemilikan lahan dan penguasaan lahan. Perubahan dalam penguasaan lahan di pedesaan membawa implikasi bagi perubahan pendapatan dan kesempatan kerja masyarakat yang menjadi indikator kesejahteraan masyarakat desa. Terbatasnya akses untuk menguasai lahan menyebabkan terbatas pula akses masyarakat atas manfaat lahan yang menjadi modal utama mata pencaharian sehingga terjadi pergeseran kesempatan kerja ke sektor non-pertanian (sektor informal).

Sumaryanto et al. (1994) menyatakan dampak negatif konversi lahan adalah hilangnya “peluang” memproduksi hasil pertanian di lahan sawah yang terkonversi, di antaranya hilangnya produksi pertanian dan nilainya, pendapatan usaha tani, dan kesempatan kerja yang tercipta secara langsung maupun tidak langsung dari kegiatan


(18)

diakui bahwa selain mengakibatkan kerugian, konversi lahan juga memberikan banyak manfaat. Hasil ini didasarkan pada fakta bahwa sebagai bagian dari sumberdaya ekonomi, lahan akan dialokasikan pada penggunaan yang menghasilkan land rent tertinggi. Dengan demikian, konversi lahan dikatakan memberi manfaat tertinggi apabila perubahan tersebut dapat memberikan peningkatan kesejahteraan bagi petani. Manfaat yang timbul dari konversi lahan, berdasarkan hasil studi Sumaryanto et al. (1994) di Jawa Timur dan Jawa Barat adalah berupa tambahan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan, dan dalam skala makro berupa perkembangan ekonomi wilayah.

Menurut Ilham et al (2004), dampak konversi lahan sawah dapat dipandang dari dua sisi. Pertama, dari fungsinya, lahan sawah diperuntukan untuk memproduksi padi. Dengan demikian adanya konversi lahan sawah ke fungsi lain akan menurunkan produksi padi nasional. Kedua, dari bentuknya perubahan lahan sawah ke pemukiman, perkantoran, prasarana jalan dan lainnya berimplikasi besarnya kerugian akibat sudah diinvestasikannya dana untuk mencetak sawah, membangun waduk sistem irigasi.

2.6 Landasan Hukum Kebijakan Konversi Lahan Sawah

Konversi lahan sawah merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari dalam pembangunan ekonomi suatu wilayah. Walaupun pada dasarnya konversi lahan sawah memiliki dampak positif, berupa peningkatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan penyerapan tenaga kerja. Akan tetapi hendaknya dampak konversi lahan tidak hanya diukur dari variabel yang dikuantifikasikan. Dampak lain seperti dampak


(19)

aspek sosial dan budaya serta lingkungan merupakan dampak lain yang harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan untuk menkonversi lahan sawah.

Landasan konstitusional dari kebijakan konversi lahan sawah adalah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Pada pasal 3, perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan diselenggarakan dengan tujuan:

1. Melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan 2. Menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan 3. Mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan 4. Melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani

5. Meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat 6. Meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani

7. Meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak 8. Mempertahankan keseimbangan ekologis

9. Mewujudkan revitalisasi pertanian

Pada pasal 5, lahan pertanian pangan yang ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dapat berupa lahan beririgasi, lahan reklamasi rawa pasang surut dan non pasang surut (lebak), dan lahan tidak beririgasi. Pasal 6 yaitu, perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan terhadap lahan pertanian pangan dan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan yang berada di dalam atau di luar kawasan pertanian pangan.


(20)

Sedangkan untuk jenis perencanaan lahan pertanian pangan berkelanjutan terdapat pada pasal 9 ayat 2 dilakukan pada kawasan pertanian pangan berkelanjutan, lahan pertanian pangan berkelanjutan, dan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan.

Pengembangan kawasan pertanian pangan berkelanjutan dan lahan pertanian pangan berkelanjutan meliputi intensifikasi dan ekstensifikasi tertulis dalam pasal 27 ayat 1. Intensifikasi kawasan pertanian pangan berkelanjutan dan lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan dengan:

1 Peningkatan kesuburan tanah 2 Peningkatan kualitas benih/bibit 3 Pendiversifikasian tanaman pangan

4 Pencegahan dan penanggulangan hama tanaman 5 Pengembangan irigasi

6 Pemanfaatan teknologi pertanian 7 Pengembangan inovasi pertanian 8 Penyuluhan pertanian

9 Jaminan akses permodalan

Ekstensifikasi kawasan pertanian pangan berkelanjutan dan lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan dengan

1 Pencetakan lahan pertanian pangan berkelanjutan

2 Penetapan lahan pertanian pangan menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan


(21)

Pengendalian lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah melalui pemberian insentif, disinsentif, mekanisme perizinan, proteksi, dan penyuluhan. Pemberian insentif kepada petani berupa:

1 Keringanan Pajak Bumi dan Bangunan 2 Pengembangan infrastruktur pertanian

3 Pembiayaan penelitian dan pengembangan benih dan varietas unggul 4 Kemudahan dalam mengakses informasi dan teknologi

5 Penyediaan sarana dan prasarana produksi pertanian

6 Jaminan penerbitan sertifikat bidang tanah pertanian pangan melalui pendaftaran tanah secara sporadik dan sistematik

7 Penghargaan bagi petani berprestasi tinggi

Lahan yang sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan. Dalam hal untuk kepentingan umum, lahan pertanian pangan berkelanjutan dapat dialihfungsikan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengalihfungsian lahan yang sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan untuk kepentingan umum dilakukan dengan syarat:

1 Dilakukan kajian kelayakan strategis 2 Disusun rencana alih fungsi lahan

3 Dibebaskan lahan pengganti terhadap lahan pertanian pangan berkelanjutan yang dialihfungsikan


(22)

Dalam hal ini perlu adanya perlindungan dan pemberdayaan petani, kelompok petani, koperasi petani, serta asosiasi petani yang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Perlindungan petani dilakukan dengan pemberian jaminan berupa harga komoditas pangan pokok yang menguntungkan, memperoleh sarana/prasarana produksi pertanian, pemasaran hasil pertanian pangan pokok, pengutamaan hasil pertanian pangan dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, dan ganti rugi akibat gagal panen.

Sedangkan untuk pemberdayaan petani dapat dilakukan dengan cara penguatan kelembagaan petani, penyuluhan dan pelatihan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, pemberian fasilitas sumber pembiayaan/permodalan, pemberian bantuan kredit kepemilikan lahan pertanian, pembentukan Bank Bagi Petani, pemberian fasilitas pendidikan dan kesehatan rumah tangga petani, dan pemberian fasilitas untuk mengakses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi. 2.7 Penelitian Terdahulu

Hayat (2002) dalam penelitiannya mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di Kabupaten Bogor dengan menggunakan metode LQ menunjukkan bahwa Kabupaten Bogor pada periode 1991-2000 terdapat empat sektor basis yaitu sektor pertambangan dan galian, sektor industri pengolahan, sektor listrik gas dan air bersih dan sektor bangunan, sedangkan sektor pertanian bukan merupakan sektor basis karena memiliki nilai LQ lebih kecil dari satu sehingga prioritas pembangunan lebih condong diarahkan ke pembangunan sektor industri dibandingkan dengan sektor pertanian. Hal ini menyebabkan terjadinya konversi


(23)

Anugerah (2006) dalam penelitiannya juga menggunakan alat analisis regresi linear berganda dengan metode Ordinary Least Square (OLS) dalam menganalisis konversi lahan di Kabupaten Tangerang. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap konversi lahan sawah adalah produktivitas padi sawah, luas lahan sawah irigasi, kontribusi sektor non-pertanian dan kebijakan pemerintah. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk dan pertambahan jalan aspal tidak berpengaruh nyata terhadap terjadinya konversi lahan sawah.

Utama (2006) dalam penelitiannya menggunakan alat analisis regresi linear berganda dengan metode Ordinary Least Square untuk menganalisis konversi lahan sawah di Kabupaten Cirebon. Hasil analisisnya menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah yaitu kepadatan penduduk, produktivitas lahan sawah, kontribusi PDRB non pertanian, dan pertumbuhan jalan aspal. Keempat faktor tersebut memiliki pengaruh positif terhadap konversi lahan sawah. Adapun faktor luas lahan sawah beririgasi teknis tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan luas lahan sawah di Kabupaten Cirebon.


(24)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Lahan merupakan sumberdaya strategis yang memiliki nilai secara ekonomis. Saat ini, jumlah luasan lahan pertanian tiap tahunnya terus mengalami pengurangan. Berkurangnya jumlah lahan pertanian ini merupakan akibat dari adanya peningkatan jumlah dan aktivitas penduduk serta aktivitas pembangunan.

Pertambahan jumlah penduduk memerlukan lahan yang lebih luas, tidak saja perluasan pemukiman, tetapi juga untuk perluasan kegiatan-kegiatan perekonomian pada umumnya guna menunjang kebutuhan penduduk yang semakin bertambah jumlahnya tersebut.

Peningkatan kebutuhan lahan karena peningkatan keperluan untuk pembangunan pemukiman dan industri, pembangunan jaringan prasarana dan berbagai fasilitas umum akan berarti pengurangan terhadap luas lahan-lahan pertanian sehingga mengakibatkan konversi lahan buatan yang telah direncanakan wilayah berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang. Adanya konversi lahan ini merupakan suatu tuntutan pembangunan terkait dengan keterbatasan lahan terutama di perkotaan karena sifat lahan yang relatif tetap. Sebagian besar wilayah Provinsi Jawa Barat merupakan lahan sawah, maka sebagian besar lahan yang dikonversi adalah lahan sawah. Menyempitnya lahan sawah akan berdampak langsung terhadap produktivitas padi di wilayah tersebut. Penurunan produksi padi ini akan menghilangkan nilai produksi padi sawah yang seharusnya dapat diperoleh jika konversi lahan tersebut tidak terjadi. Oleh karena itu, masalah ini membutuhkan suatu kebijakan dan


(25)

langkah-langkah strategis dalam mencegah meluasnya konversi lahan sawah terutama lahan sawah produktif.

Skema faktor-faktor konversi lahan sawah irigasi teknis dan dampak ekonomi yang ditimbulkan dalam pembangunan wilayah ditampilkan secara sederhana dalam Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Operasional Implikasi/Kebijakan

Keterbatasan Sumberdaya Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Konversi Lahan

Sawah Irigasi

- Analisis Linear Berganda - Analisis Ekonomi

- Analisis Statistik - Analisis Ekonometrika

Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis

Dampak Konversi Lahan Sawah Irigasi Pembangunan

Perkembangan Sektor-Sektor

Pertanian Industri Pemukiman Jasa Sektor Kependudukan


(26)

3.1 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran serta permasalahan yang telah dijelaskan, maka dapat dirumuskan beberapa hipotesis penelitian sebagai berikut:

1 Laju pertumbuhan penduduk berkorelasi positif terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis. Adanya proses kelahiran telah menambah jumlah penduduk secara alamiah, selain itu berkembangnya sektor industri telah menarik penduduk dari luar daerah untuk bermigrasi. Hal itu menyebabkan jumlah penduduk semakin meningkat. Sebagian besar penduduk tersebut membutuhkan tempat tinggal baru sehingga permintaan akan lahan terutama lahan sawah irigasi teknis meningkat sehingga konversi lahan sawah irigasi teknis semakin tinggi.

2 Harga GKP berpengaruh negatif terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis. Harga GKP yang semakin bertambah dapat meningkatkan kontribusinya dalam sektor pertanian sehingga pengembangan sektor tersebut akan terus ditingkatkan. Berkembangnya usahatani padi sawah irigasi teknis dapat meningkatkan permintaan terhadap lahan sehingga konversi lahan sawah irigasi teknis akan berkurang.

3 Laju pertumbuhan luas lahan pemukiman berkorelasi positif terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat mengakibatkan permintaan terhadap lahan untuk pemukiman juga akan semakin meningkat sehingga konversi lahan sawah irigasi teknis juga akan semakin tinggi.


(27)

4 Laju pertumbuhan PDRB industri pengolahan berkorelasi positif terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis. Semakin meningkatnya PDRB industri maka akan meningkatkan perekonomian daerah tersebut sehingga permintaan lahan untuk pembangunan industri juga akan semakin meningkat. Lahan yang terkonversi adalah lahan sawah irigasi teknis.

5 Laju pertambahan panjang jalan berkorelasi positif terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis. Artinya bahwa semakin membaiknya aksesibilitas suatu wilayah, kecenderungan terjadinya konversi lahan sawah irigasi teknis adalah semakin tinggi.

6 Nilai Tukar Petani (NTP) berpengaruh negatif terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis. NTP merupakan perbandingan antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani yang dinyatakan dalam persentase. Jika NTP meningkat maka petani lebih memilih untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan sawahnya dibandingkan mengkonversinya ke bentuk yang lain.


(28)

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengambilan data sekunder untuk keperluan penelitian ini dilaksanakan pada awal bulan juli hingga bulan agustus 2011 selama dua bulan. Lokasi penelitian ini dilakukan di Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan bahwa daerah ini merupakan sentra produksi padi dan proses pembangunan pemukiman, industri, dan prasarana perkotaannya berlangsung dengan cepat.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang akan dikumpulkan meliputi data-data sekunder yang berhubungan dengan konversi lahan sawah irigasi teknis selama jangka waktu 10 tahun (2001-2010). Data yang digunakan untuk analisis konversi lahan sawah irigasi teknis adalah menggunakan data kependudukan, perkembangan luas lahan sawah irigasi teknis. panjang jalan, luas lahan pemukiman, pertumbuhan PDRB industri, harga GKP, produktivitas lahan sawah, Nilai Tukar Petani (NTP), dan data lain yang dianggap perlu.

Data yang dibutuhkan diperoleh dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Jawa Barat, Badan Pusat Statistik Nasional, Badan Pusat Statistik Jawa Barat, Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Jawa Barat, Pemerintah Daerah Jawa Barat, serta instansi-instansi lain yang terkait.


(29)

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi metode inferensia dan statistika deskriptif. Metode inferensia menggunakan analisis regresi linear berganda untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat. Metode statistika deskriptif terdiri atas metode-metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian data untuk mencari dan menyajikan informasi dalam suatu kumpulan data agar mudah diinterpretasi. Selain itu digunakan perhitungan-perhitungan lain untuk menganalisis dampak konversi lahan sawah secara kuantitatif. Proses pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Microsoft Excelldan Minitab 14.

Metode pendekatan statistik yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi laju konversi lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat adalah dengan metode regresi linear dengan kuadrat terkecil biasa (Ordinary Least Square = OLS). Metode ini digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah ke penggunaan non-sawah di tingkat wilayah (Gujarati, 2002).

Model regresi secara umum dituliskan sebagai berikut :

Y = β + β X + β X + ⋯ + β X + u i = 1,2,…,n Keterangan :

Yt = Variabel tak bebas (dependent variabel)

0 = Intersep

i = Kemiringan

Xit = Variabel bebas

ut = Galat

t = Tahun (2001 sampai dengan 2010)


(30)

Dalam penggunaan metode estimasi OLS terdapat asumsi yang melandasi estimasi koefisien regresi (Gujarati, 2002) yaitu :

1. E u = 0atau E(uixit) = 0 atau E Y = β + β X

Galat atau ui menyatakan variabel-variabel lain yang mempengaruhi Ytakan tetapi

tidak terwakili dalam model, sehingga pada saat Xit terobservasi, pengaruh ui

terhadap Ytdiabaikan atau ui tidak mempengaruhi E(Yt) secara sistematis.

2. Tidak ada korelasi antara uidengan uj {cov (ui , uj) = 0} ; i≠ j

Artinya, deviasi Yt dari rata-rata populasi (mean) tidak menunjukkan pola {E(ui,

uj) = 0}.

3. Homoskedastisitas

Yaitu besarnya varian uisama, atau var (ui) = 2 untuk setiap i.

4. Kovarian antara ui dan Xit nol {cov (ui , Xit) = 0}

Artinya, tidak ada korelasi antara ui dan Xit sehingga jika ada hubungan dimana Xit

meningkat dan mengakibatkan ui juga meningkat atau ketika Xit menurun, maka ui

juga mengalami penurunan, dapat dikatakan adanya korelasi antara ui dan Xit.

5. Tidak ada multikolinearitas, artinya tidak ada hubungan yang nyata antar variabel bebas dalam model regresi.

Jika asumsi di atas dapat terpenuhi, maka metode OLS dapat memberikan penduga koefisien regresi yang bersifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) (Gujarati, 2002).


(31)

Perumusan model yang dilakukan dibagi menjadi dua jenis. Perumusan ini meliputi identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat dan analisis kuantitatif estimasi dampak ekonomi konversi lahan sawah irigasi teknis.

4.4.1. Faktor-Faktor Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa

Barat

Dalam penelitian ini, faktor-faktor yang diduga akan mempengaruhi konversi lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat dibuat dalam model regresi linear berganda yang dituliskan sebagai berikut:

KLSITt= β0+ β1LPPt+ β2GKPt+ β3LPLLPt+ β4LPPIt+ β5LPPJt + β6NTPt+ µt

Tanda yang diharapkan:

β1 > 0 β2< 0 β3 > 0 β4 > 0 β5> 0 β6 < 0

Keterangan:

KLSITt = Konversi lahan sawah irigasi teknis per tahun (hektar) β0 = Intersep

β1…β6 = Koefisien regresi

LPPt = Laju pertumbuhan penduduk per tahun (%)

GKPt = Harga Gabah Kering Panen (ribu rupiah/ton)

LPLLPt = Laju pertumbuhan luas lahan pemukiman (%)

LPPIt = Laju pertumbuhan PRDB riil sektor industri per tahun (%)

LPPJt = Laju pertambahan panjang jalan per tahun (%)

NTP = Nilai Tukar Petani (%) µt = standar eror


(32)

Variabel-variabel yang digunakan dan diduga berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan sawah dan cara pengukurannya sebagai berikut:

1) Penurunan luas lahan sawah irigasi teknis (konversi lahan sawah) diukur dalam satuan hektar selama jangka waktu 10 tahun dan dilambangkan dengan KLSIT. Variabel KLSIT adalah variabel terikat, dimana variabel KLSIT diperoleh dengan cara menghitung pengurangan luas lahan sawah irigasi teknis per tahun.

2) Laju pertumbuhan penduduk dihitung berdasarkan jumlah penduduk tahun sekarang dikurang jumlah penduduk tahun sebelumnya dibagi dengan jumlah penduduk tahun sebelumnya dikali 100% dilambangkan dengan LPP akan mempengaruhi permintaan terhadap lahan, seperti untuk pemukiman maupun untuk sarana dan prasarana lainnya seperti fasilitas umum, misalnya jalan raya, pasar, rumah sakit, dan lain-lain.

3) Harga Gabah Kering Panen (GKP) dilambangkan dengan GKP adalah harga padi konstan ditingkat petani.

4) Laju pertumbuhan luas lahan pemukiman dihitung berdasarkan luas lahan pemukiman tahun sekarang dikurang luas lahan pemukiman tahun sebelumnya dikali 100% dilambangkan dengan LPLLP merupakan luas properti untuk memenuhi kebutuhan papan penduduk.

5) Laju pertambahan PDRB riil sektor industri pengolahan dilambangkan dengan LPPI dengan menggunakan PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000.


(33)

6) Laju pertumbuhan panjang jalan dilambangkan dengan LPPJ merupakan perhitungan dari panjang jalan tahun sekarang dikurang panjang jalan tahun sebelumnya dibagi panjang jalan tahun sebelumnya dikali 100%.

7) Nilai Tukar Petani dilambangkan dengan NTP merupakan rasio antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani yang dinyatakan dalam persentase.

4.4.2. Estimasi Dampak Ekonomi Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis

Kerugian yang ditimbulkan dari konversi lahan sawah irigasi teknis diantaranya berupa hilangnya peluang memperoleh produksi dan nilai produksi padi penyerapan tenaga kerja dan upah tenaga kerja usahatani padi seluas lahan sawah irigasi teknis yang terkonversi.

4.4.2.1 Produksi dan Nilai Produksi Padi

Dalam penelitian ini mengasumsikan sawah irigasi teknis yang terkonversi merupakan sawah dengan sistem tiga kali tanam dengan menggunakan produktivitas lahan sawah. Produksi dan nilainya yang hilang merupakan akumulasi dari peluang produksi yang hilang selama kurun waktu akibat konversi tersebut. Sehingga secara kumulatif produksi yang hilang selama periode t tahun adalah (Irawan dan Friyatno, 2002). Secara matematis dapat dihitung:

Q =∑ 3 S KLS Keterangan:

Q = Produksi kumulatif padi yang hilang selama kurun waktu n tahun (ton)

S = Produktivitas padi sawah per tahun (ton/hektar) KLS = Konversi lahan sawah irigasi teknis per tahun (hektar)


(34)

Sedangkan nilai produksi padi yang hilang dapat dirumuskan sebagai berikut: NQ = ∑ P Q )

Keterangan:

NQ = Nilai produksi padi yang hilang (rupiah) P = Harga komoditi padi (rupiah/ton)

Q = Produksi padi yang hilang per tahun (ton) t = 1, 2,…., 10

4.4.2.2 Penyerapan Tenaga Kerja dan Upah Tenaga Kerja Usahatani Padi

Dalam penelitian ini, penyerapan tenaga kerja dalam setiap proses produksi padi yang dipakai berdasarkan Hari Orang Kerja (HOK) per hektar. Dan upah tenaga kerja dalam setiap proses produksi berdasarkan upah per hari per hektar lahan sawah. Secara matematis penyerapan tenaga kerja yang hilang dapat dihitung (1 HOK = 6 jam):

PTKhilang= Lahan yang terkonversi x HOK

Sedangkan upah tenaga kerja yang hilang dapat dihitung:

Upahhilang= Lahan yang terkonversi x Upah

4.5. Pengujian Model

Pengujian yang dilakukan meliputi pengujian ekonomi, pengujian statistik dan pengujian ekonometrik. Pengujian ekonomi dilakukan untuk melihat apakah tanda dan besaran koefisien dugaan yang diperoleh sesuai dengan karakteristik ekonomi. Pengujian statistik dilakukan untuk mengetahui apakah variabel independen berpengaruh secara nyata atau tidak terhadap variabel dependennya. Pengujian ekonometrik dilakukan untuk mengetahui apakah parameter yang diestimasi melakukan pelanggaran atau tidak terhadap asumsi klasik OLS (Utama, 2006).


(35)

4.5.1. Kriteria Ekonomi

Pengujian ekonomi dilakukan untuk melihat apakah tanda dan besaran koefisien dugaan yang diperoleh sesuai dengan karakteristik ekonomi. Koefisien dalam model ekonomi adalah konstan dari teori ekonomi: elastisitas, nilai marginal, multiply, dll. Teori ekonomi mendefinisikan tanda dan nilai dari koefisien tersebut secara umum penting dalam hubungan teori ekonomi.

Jika hasil dari parameter tidak sesuai dengan teori ekonomi harus ditolak kecuali ada alasan yang kuat kenapa teori ekonomi tidak berlaku pada model tersebut. Namun pada kebanyakan kasus yang salah disebabkan karena kurangnya data empiris. Selain itu sampel yang diambil tidak representatif pada kondisi ekonomi secara keseluruhan, kurangnya jumlah sampel, atau pelanggaran beberapa asumsi dari metode tersebut. Intinya, jika kriteria teori yang priori tersebut tidak terpenuhi maka model akan ditolak (Koutsoyiannis, 1977).

4.5.2. Kriteria Statistik

Pengujian statistik yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari tiga pengujian. Pengujian ini meliputi uji koefisien determinasi R-Squared, uji F, dan uji t. 4.5.2.1. Uji Koefisien Determinasi (R-Squared)

Nilai R-squared mencerminkan seberapa besar keragaman dari variabel dependen yang dapat diterangkan oleh variabel independen. Nilai R-squared memiliki dua sifat yang memiliki besaran yang positif dan besarannya adalah 0 < R-squared < 1. Jika R-squared bernilai nol maka artinya keragaman dari variabel dependen tidak dapat diterangkan oleh variabel independennya. Sebaliknya, jika nilai


(36)

dapat diterangkan oleh variabel independennya secara sempurna (Gujarati, 2002). Koefisien determinasi (R-Squared) dari model yang digunakan adalah rasio dari jumlah kuadrat regresi dan total jumlah kuadrat seperti yang terlihat berikut ini:

R = R = = 1 -Keterangan:

JKR = Jumlah kuadrat regresi JKT = Jumlah kuadrat total JKG = Jumlah kuadrat galat

Salah satu masalah jika menggunakan ukuran R2untuk menilai baik buruknya suatu model adalah mendapatkan nilai yang terus naik seiring dengan penambahan variabel bebas ke dalam model. Adjusted R-Squared secara umum memberikan finalty atau hukuman terhadap penambahan variabel bebas yang tidak mampu menambah daya prediksi suatu model. Nilai R2(Adj) tidak akan pernah melebihi nilai R2 bahkan bisa turun jika ditambahkan variabel bebas yang tidak perlu. Adjusted R-Squared dapat bernilai negatif jika model memiliki kecocokan rendah (goodness of fit). Nilai R2 (Adj) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Ř2

= 1

-∑ ∑ ²


(37)

4.5.2.2. Uji F

Pengujian variabel secara keseluruhan, dimaksudkan untuk melihat pengaruh bersama-sama antar variabel dependen dengan variabel independen secara keseluruhan (Gujarati, 2002). Hipotesa yang digunakan adalah sebagai berikut:

H : β1=β2= β3= β4= β5= β6= βi = 0

H : minimal ada satu variabel βi≠ 0

Uji statistik yang digunakan:

F = /

/

Keterangan:

JKR = Jumlah kuadrat regresi JKG = Jumlah kuadrat galat

k = Jumlah variabel terhadap intersep n = Jumlah pengamatan/sampel Kaidah pengujian:

Jika Fhit> Ftabelmaka tolak H0

Jika Fhit < Ftabelmaka terima H0

Jika hasil pengujian menolak H , maka paling tidak ada satu atau seluruh variabel independen yang berpengaruh terhadap variabel dependennya atau signifikan secara statistik. Atau dengan kata lain model tepat untuk meramalkan pengaruh antara variabel independen dengan variabel dependen. Sebaliknya, jika hasil pengujian menerima H0, maka tidak ada variabel independen yang mempengaruhi konversi

lahan sawah dan model tidak tepat untuk meramalkan pengaruh antara variabel independen dengan variabel dependennya (Gujarati, 2002).


(38)

Pengujian ini digunakan untuk menghitung koefisien regresi masing-masing variabel independen sehingga dapat diketahui pengaruh variabel independen tersebut terhadap variabel dependennya (Gujarati, 2002). Hipotesis yang digunakan dalam pengujian ini adalah:

H :βi = 0

H :βi > 0atau βi< 0

Uji statistik yang digunakan:

t

=

β

Keterangan:

βi = Koefisien regresi suatu variabel bebas

Se = Standar eror Kaidah pengujian:

Jika thit> ttabelmaka tolak H

Jika thit< ttabelmaka terima H

Jika hasil pengujian menolak H maka variabel yang diuji secara nyata berpengaruh terhadap variabel dependen atau signifikan secara statistik. Namun, sebaliknya jika hasil pengujian menerima H maka variabel yang diuji tidak memiliki pengaruh nyata terhadap variabel dependen (Gujarati, 2002).

4.5.3. Kriteria Ekonometrika

Pengujian ekonometrika yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari tiga jenis pengujian. Pengujian ini meliputi uji normalitas, uji autokorelasi, uji multikolinearitas, dan uji heteroskedastisitas.

4.5.3.1. Uji Normalitas


(39)

membandingkan distribusi data (yang akan diuji normalitasnya) dengan distribusi normal baku. Distribusi normal baku adalah data yang telah ditransformasikan ke dalam bentuk Z-Score dan diasumsikan normal. Hipotesis pada uji Kolmogorov-Smirnovadalah sebagai berikut (Lanis, 2006):

H0 : Sisaan menyebar normal

H1 : Sisaan tidak menyebar normal

Uji statistik yang digunakan:

Z(X) = Keterangan:

Z(X) = Angka baku X = Angka pada data S = Simpangan baku Kaidah pengujian:

Jika Zhit> Ztabel maka tolak H0

Jika Zhit< Ztabelmaka terima H0

Jika keputusan yang diperoleh menolak H0, artinya error term atau sisaan

yang diperoleh tidak menyebar normal. Sebaliknya, jika keputusan yang diperoleh menerima H0artinya sisaan yang diperoleh telah menyebar normal.

4.5.3.2. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu. Adanya autokorelasi dalam persamaan regresi dapat mengakibatkan bahwa penduga yang diperoleh dengan menggunakan OLS tidak lagi bersifat BLUE. Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dapat dilakukan dengan uji Durbin-Watson.

Rumus statistik Durbin-Watson adalah (Yuwono, 2005):


(40)

Keterangan:

d = Statistik Durbin-Watson et dan et-1 = Gangguan estimasi

Pengambilan keputusannya:

- Jika nilai DW terletak antara batas atau upper bound (du) dan (4-du), maka koefisien autokorelasi sama dengan nol, berarti tidak ada autokorelasi positif. - Jika nilai DW lebih rendah dari pada batas bawah atau lower bound (dl), maka

koefisien autokorelasi lebih besar dari pada nol, berarti ada autokorelasi positif.

- Jika nilai DW lebih besar dari pada (4-dl), maka koefisien autokorelasi lebih kecil dari pada nol, berarti ada autokorelasi negatif.

- Jika nilai DW terletak diantara batas atas (du) dan batas bawah (dl) atau DW terletak anatara (4-du) dan (4-dl), maka hasilnya tidak dapat disimpulkan.

Gambar 2. Klasifikasi Keputusan Statistik d

4.5.3.3. Uji Multikolinieritas

Uji multikolinearitas didefinisikan sebagai adanya korelasi yang kuat antara variabel independen pada model persamaan. Adanya multikolinearitas dalam persamaan regresi akan berdampak pada varian koefisien regresi menjadi besar yang akan menyebabkan standar error terlalu tinggi sehingga kemungkinan penduga koefisien regresi menjadi tidak signifikan secara statistik.


(41)

Dengan mengetahui dampak yang ditimbulkan akibat adanya multikolinearitas dalam persamaan regresi maka dibutuhkan uji untuk mendeteksi multikolinearitas tersebut. Pengujian atas kemungkinan terjadinya multikolinearitas dapat dilihat dengan menggunakan metode pengujian Variance Inflation Factor (VIF). Pedoman regresi yang bebas dari multikolinearitas adalah mempunyai nilai VIF di bawah 10. Nilai VIF yang lebih besar dari 10 mengindikasikan terjadinya multikolinearitas (Juanda, 2009).

Jika terdapat multikolinearitas dapat diatasi dengan metode Best Subsets. Metode ini dilakukan dengan memilih best k subsetberdasarkan nilai Cpyaitu dengan

menentukan k model yang mempunyai nilai CpMallowsterkecil dan membandingkan

derajat bebas serta nilai dari uji rasio likelihooddengan model penuh atau model yang mengandung semua variabel yang mungkin. Dengan nilai k yang digunakan adalah 5 (Draper, 1992).

Dalam penelitian ini terdapat multikolinearitas secara teroritis yaitu variabel laju pertumbuhan penduduk dengan laju pertumbuhan luas lahan pemukiman serta variabel harga GKP dengan Nilai Tukar Petani.

4.5.3.4. Uji Heteroskedastisitas

Jika ragam sisaan tidak sama atau Var(εi)=E(εi2)=σi2 untuk setiap pengamatan

dari variabel bebas dalam model regresi, maka terjadi masalah heteroskedastisitas. Heteroskedastisitas pada umumnya terjadi pada data cross-section atau data deret waktu. Untuk mendeteksi adanya heteroskedatisitas adalah dengan melihat plot antara sisaan dengan dugaan respon. Jika ragam sisaan homogen, maka seharusnya plot antara sisaan tersebut tidak memiliki pola apapun. Cara mengatasi


(42)

terkecil terboboti (weight least square) dan dengan cara transformasi terhadap peubah respon dilakukan dengan tujuan untuk menjadikan ragam menjadi homogeny pada peubah respon hasil transformasi tersebut. Atau dapat juga dengan melakukan uji White Heteroscedasticity.

Hipotesis yang digunakan dalam pengujian ini yaitu: H0: Tidak terdapat heteroskedastisitas

H1 : Terdapat heteroskedastisitas

Kaidah pengujian:

Probabilitas observasi R-Squared < α maka tolak H0

Probabilitas observasi R-Squared > α maka terima H0

Kesimpulannya jika menolak H0 maka terdapat masalah heteroskedastisitas

dalam model, dan jika menerima H0 maka dalam model persamaan tidak terjadi


(43)

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT

5.1. Kondisi Geografis

Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5o50’ - 7o50’ Lintang Selatan dan 104o48’-108o48’ Bujur Timur, dengan batas wilayah yaitu: a. Sebelah utara : Laut Jawa dan Provinsi DKI Jakarta

b. Sebelah timur : Provinsi Jawa Tengah c. Sebelah selatan : Samudra Indonesia d. Sebelah barat : Provinsi Banten

Tabel 2. Luas Wilayah per Kabupaten di Jawa Barat

No Kabupaten/Kota Luas Wilayah

(Km2) %

1 Kab. Bogor 2997.13 8.07

2 Kab. Sukabumi 4160.75 11.21

3 Kab. Cianjur 3594.65 9.68

4 Kab. Bandung 1756.65 4.73

5 Kab. Garut 3094.4 8.34

6 Kab. Tasikmalaya 2702.85 7.28

7 Kab. Ciamis 2740.76 7.38

8 Kab. Kuningan 1189.6 3.21

9 Kab. Cirebon 1071.05 2.89

10 Kab. Majalengka 1343.93 3.62

11 Kab. Sumedang 1560.49 4.20

12 Kab. Indramayu 2092.1 5.64

13 Kab. Subang 2164.48 5.83

14 Kab. Purwakarta 989.89 2.67

15 Kab. Karawang 1914.16 5.16

16 Kab. Bekasi 1269.51 3.42

17 Kab. Bandung Barat 1335.6 3.60

18 Kota Bogor 111.73 0.30

19 Kota Sukabumi 48.96 0.13

20 Kota Bandung 168.23 0.45

21 Kota Cirebon 40.16 0.11

22 Kota Bekasi 213.58 0.58

23 Kota Depok 199.44 0.54

24 Kota Cimahi 41.2 0.11

25 Kota Tasikmalaya 184.38 0.50


(44)

Berdasarkan Tabel 2 diatas, menunjukkan bahwa luas wilayah Jawa Barat sebesar 37.116,54 km2. Kabupaten Sukabumi merupakan wilayah terluas di Jawa Barat sebesar 4.160,75 km2 atau sebesar 11,21% dari luas wilayah Jawa Barat. Sedangkan luas wilayah terkecil adalah Kota Cirebon dan Cimahi masing-masing sebesar 40,16 km2 dan 41,2 km2 atau sebesar 0,11% dari luas wilayah Jawa Barat.

Secara umum pola penggunaan lahan dari tahun 2007 sampai 2009 berfluktuatif setiap tahunnya. Penggunaan lahan dibedakan menjadi lahan untuk sawah irigasi teknis, sawah irigasi setengah teknis, sawah irigasi sederhana, sawah bukan PU, sawah tadah hujan, sawah lainnya, bangunan, tegal/kebun, padang rumput, lahan yang tidak diusahakan, hutan rakyat, hutan negara, perkebunan, rawa-rawa, tambak, kolam/empang, dan penggunaan lainnya yang berupa sungai, saluran air, jalur kereta api, dan sebagainya.

Pola penggunaan lahan di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2009 berdasarkan perhitungan, luas penggunaan lahan terbesar adalah untuk lahan sawah sebesar 949.914 ha atau 27,22%, terbesar kedua untuk tegal/kebun sebesar 797.087 ha atau 22,84%. Kemudian untuk hutan negara dan bangunan masing-masing 522.444 ha atau 14,97% dan 370.544 ha atau 10,62%. Penggunaan lahan yang paling kecil adalah rawa-rawa seluas 3.025 ha atau 0,09% dari total penggunaan lahan.

Adapun kawasan budidaya non pertanian mengalami pertumbuhan cukup pesat terutama penggunaan lahan untuk bangunan. Pada tahun 2008 penggunaan lahan untuk bangunan seluas 227.038 ha atau 6,75% meningkat pesat pada tahun 2009 menjadi seluas 370.544 ha atau 10,62%. Adanya peningkatan luas lahan untuk


(45)

industri yang berkembang sehingga jumlah permintaan penggunaan lahan untuk bangunan semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Jenis dan Luas Penggunaan Lahan di Provinsi Jawa Barat Tahun 2007-2009

No Jenis Penggunaan Lahan

2007 2008 2009

Luas (ha) % Luas (ha) % Luas

(Ha) %

1 Sawah irigasi teknis 374.850 10,93 378.856 11,26 374.156 10,72 2 Sawah irigasi 1/2

teknis 128.465 3,74 121.004 3,60 131.674 3,77

3 Sawah irigasi

sederhana 108.583 3,17 105.144 3,12 104.077 2,98

4 Sawah irigasi bukan

PU 149.126 4,35 156.128 4,64 154.488 4,43

5 Sawah tadah hujan 174.744 5,09 180.877 5,37 183.691 5,26

6 Sawah lainnya 3.460 0,10 2.879 0,09 1.828 0,05

7 Bangunan 213.314 6,22 227.038 6,75 370.544 10,62

8 Tegal/Kebun 866.328 25,25 798.314 23,72 797.087 22,84

9 Padang Rumput 71.249 2,08 31.586 0,94 35.844 1,03

10 Lahan yang tidak

diusahakan 62.733 1,83 12.487 0,37 12.957 0,37

11 Hutan Rakyat 189.524 5,52 246.027 7,31 257.963 7,39 12 Hutan Negara 570.334 16,63 582.323 17,30 522.444 14,97

13 Perkebunan 263.127 7,67 291.669 8,67 313.623 8,99

14 Rawa-Rawa 14.627 0,43 4.004 0,12 3.025 0,09

15 Tambak 30.192 0,88 32.207 0,96 29.590 0,85

16 Kolam/Empang 76.815 2,24 35.363 1,05 35.968 1,03

17 Lainnya 132.859 3,87 159.306 4,73 160.732 4,61

Total 3.430.330 100 3.365.212 100 3.489.691 100 Sumber: Bappeda Provinsi Jawa Barat 2011

5.2. Kependudukan

Penduduk merupakan salah satu modal dalam pelaksanaan pembangunan karena penduduk merupakan objek sekaligus subjek dalam pembangunan. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, Provinsi Jawa Barat dihuni sebanyak 43.021.826 jiwa.


(46)

Tabel 4. Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Jawa Barat Tahun 2010

No Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk

Jiwa % (Jiwa/Km²) %

1 Kab. Bogor 4763209 11.07 1589.26 1.74

2 Kab. Sukabumi 2339348 5.44 562.24 0.62

3 Kab. Cianjur 2168514 5.04 603.26 0.66

4 Kab. Bandung 3174499 7.38 1807.13 1.98

5 Kab. Garut 2401248 5.58 776.00 0.85

6 Kab. Tasikmalaya 1675544 3.89 619.92 0.68

7 Kab. Ciamis 1531359 3.56 558.74 0.61

8 Kab. Kuningan 1037558 2.41 872.19 0.96

9 Kab. Cirebon 2065142 4.80 1928.15 2.11

10 Kab. Majalengka 1166733 2.71 868.15 0.95

11 Kab. Sumedang 1091323 2.54 699.35 0.77

12 Kab. Indramayu 1663516 3.87 795.14 0.87

13 Kab. Subang 1462356 3.40 675.62 0.74

14 Kab. Purwakarta 851566 1.98 860.26 0.94

15 Kab. Karawang 2125234 4.94 1110.27 1.22

16 Kab. Bekasi 2629551 6.11 2071.31 2.27

17 Kab. Bandung Barat 1513634 3.52 1133.30 1.24

18 Kota Bogor 949066 2.21 8494.28 9.30

19 Kota Sukabumi 299247 0.70 6112.07 6.70

20 Kota Bandung 2393633 5.56 14228.34 15.59

21 Kota Cirebon 295764 0.69 7364.64 8.07

22 Kota Bekasi 2336489 5.43 10939.64 11.98

23 Kota Depok 1736565 4.04 8707.21 9.54

24 Kota Cimahi 541139 1.26 13134.44 14.39

25 Kota Tasikmalaya 634424 1.47 3440.85 3.77

26 Kota Banjar 175165 0.41 1338.57 1.47

Jawa Barat 43021826 91290.32

Sumber: Badan Pusat Statistik 2010

Secara nasional Jawa Barat masih merupakan provinsi dengan jumlah populasi terbesar dibanding dengan provinsi lain di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan tiga daerah dengan penduduk terbesar yaitu: Kabupaten Bogor 4.763.209 jiwa, Kabupaten Bandung 3.174.499 jiwa dan Kabupaten Bekasi 2.629.551


(47)

jiwa. Sedangkan tiga daerah dengan penduduk terkecil yaitu: Kota Banjar 175.165 jiwa, Kota Cirebon 295.764 jiwa dan Kota Sukabumi 299.247 jiwa.

Adanya ketidakmerataan penduduk di Provinsi Jawa Barat disebabkan kondisi dan potensi diri di setiap kabupaten tidak sama. Kepadatan penduduk yang tinggi cenderung terjadi di kabupaten dan daerah perkotaan dimana banyak terdapat kegiatan-kegiatan ekonomi masyarakat di berbagai bidang usaha yang dapat memberikan lapangan pekerjaan.

Penduduk yang telah memasuki usia kerja didefinisikan sebagai penduduk yang berusia limabelas tahun keatas yang terdiri dari angkatan kerja (bekerja dan mencari kerja) dan bukan angkatan kerja (sekolah, mengurus rumah tangga, dan lainnya). Pada tahun 2007, jumlah angkatan kerja di Provinsi Jawa Barat sebanyak 18.240.036 orang dan jumlah angkatan bukan kerja sebanyak 10.944.744 orang. Tetapi pada tahun 2009 terjadi peningkatan jumlah angkatan kerja sebanyak 18.981.260 orang dan jumlah angkatan bukan kerja sebanyak 11.200.929 orang. Tabel 5. Banyaknya Penduduk Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja di

Provinsi Jawa Barat Tahun 2007 dan Tahun 2009

Periode Angkatan Kerja Bukan Angkatan Kerja

Bekerja Mencari Kerja Sekolah Mengurus Rumah Tangga Lainnya

2007 15853822 2386214 2168112 7104353 1672279

2009 16901430 2079830 2360499 7168646 1671784

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2010

Penduduk Provinsi Jawa Barat pada tahun 2009 rata-rata masih bekerja di sektor pertanian yaitu sebanyak 26,97% kemudian rata-rata penduduk yang bekerja di sektor perdagangan sebanyak 24,79%. Sedangkan penduduk yang bekerja di sektor


(48)

Tabel 6. Persentase Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Kelompok Umur dan Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Barat Tahun 2009 (%)

Kelompok Umur

Pertani

An Industri Konstruksi

Perdagang an Transpor tasi Jasa Lain nya

15-19 17,35 32,47 53,17 27,13 7,07 12,19 0,63

20-24 13,76 30,48 4,52 24,96 8,96 14,36 2,96

25-29 14,51 24,90 5,87 25,74 10,11 15,81 3,07

30-34 18,35 21,30 6,58 26,06 10,69 14,41 2,61

35-39 21,13 17,17 7,20 28,09 8,98 14,40 3,04

40-44 23,13 15,73 6,94 25,96 9,14 16,58 2,52

45-49 29,08 10,69 6,17 25,20 8,67 17,62 2,59

50-54 34,08 10,01 5,84 24,48 7,12 16,53 1,95

55-59 40,84 8,26 5,67 24,49 6,48 12,95 1,31

60-64 57,47 7,61 2,36 21,18 3,06 6,87 1,45

65+ 62,40 7,59 1,50 19,39 2,79 5,44 0,88

Rata-rata 26,97 16,93 5,07 24,79 7,55 13,38 2,09

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2010 5.3. Perekonomian

Produk Domestik Regional Bruto merupakan gambaran kemampuan suatu daerah dalam mengelola sumberdaya alam yang dimiliki. PDRB yang dihitung berdasarkan harga pada tahun berjalan disebut PDRB atas dasar harga tahun berlaku sedangkan PDRB yang dihitung berdasarkan harga pada tahun dasar disebut PDRB atas dasar harga konstan. PDRB Provinsi Jawa Barat setiap sektor ekonomi dan kontribusinya berdasarkan harga berlaku dari tahun 2008 sampai tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 7.

Kontribusi nilai tertinggi PDRB Provinsi Jawa Barat pada tahun 2008 dicapai oleh sektor industri pengolahan disusul oleh sektor perdagangan hotel dan restoran serta sektor pertanian masing-masing sebesar 44,91%, 19,11%, dan 11,26%. Sedangkan pada tahun 2009 kontribusi nilai PDRB sektor industri pengolahan


(49)

20,32%, dan sektor pertanian meningkat menjadi 12,25%. Sedangkan kontribusi terkecil diberikan oleh sektor pertambangan dan penggalian sebesar 1,76%.

Tabel 7. PDRB Provinsi Jawa Barat tiap Sektor Ekonomi dan Kontribusinya atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2008-2009 (Juta Rupiah)

Sektor 2008 % 2009 %

Pertanian 67.849.463 11,26 79.896.246 12,25

Pertambangan dan Penggalian 14.453.535 2,40 11.469.346 1,76 Industri Pengolahan 270.551.853 44,91 275.165.264 42,20 Lisrik, Gas dan Air Bersih 16.913.616 2,81 20.139.267 3,09

Bangunan 19.440.248 3,23 21.226.757 3,26

Perdagangan, Hotel dan Restoran 115.139.072 19,11 132.517.277 20,32 Pengangkutan dan Komunikasi 36.401.476 6,04 41.780.336 6,41 Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 17.228.057 2,86 18.802.857 2,88

Jasa-Jasa 44.443.235 7,38 51.031.556 7,83

Total 602.420.555 100 652.028.906 100

Sumber: Badan Pusat Statistik Jawa Barat 2010 (diolah) 5.4. Pertanian Padi

Jawa Barat merupakan lumbung padi nasional dimana setiap tahunnya terjadi peningkatan produksi yang menimbulkan optimisme tinggi bahwa produksi beras nasional akan terus mengalami surplus, dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu pemasok beras dunia.

Berdasarkan Tabel 8, jenis lahan sawah yang ada di Jawa Barat adalah lahan sawah irigasi teknis, sawah irigasi setengah teknis, sawah irigasi sederhana, sawah tadah hujan, sawah non PU, dan sawah lainnya. Rataan luas lahan sawah irigasi teknis pada tahun 2001-2010 merupakan luas lahan sawah terbesar di Jawa Barat sebesar 378.502,5 ha. Luas lahan sawah irigasi teknis terbesar berada di Kabupaten Karawang sebesar 81.974,2 ha. Luas lahan sawah irigasi teknis terbesar berada di Kabupaten Indramayu sebesar 16.195,8 ha. Luas lahan sawah irigasi sederhana terbesar berada di Kabupaten Sumedang sebesar 13.017,7 ha. Dan luas lahan sawah tadah hujan terbesar


(50)

Tabel 8. Rataan Luas Lahan Sawah Menurut Jenis Pengairannya di Jawa Barat Tahun 2001-2010

No Kabupaten/Kota Sawah Irigasi Teknis Sawah Irigasi Setengah Teknis Sawah Irigasi Sederhana Sawah Tadah Hujan Sawah Non PU Sawah Lainnya Kab/Reg

1 Bogor 3962 8028.9 13453 10061.7 13221.4 0

2 Sukabumi 4595.4 8941.1 9690.5 19871.6 21583.5 201

3 Cianjur 14108.1 7616.1 7475 15610.8 17803.4 59

4 Bandung 10227.1 7541.2 6144.4 10475.3 12736.8 13.7

5 Garut 8478.1 9368.1 9779.7 9851 12976.8 0

6 Tasikmalaya 4295.3 3793 4436.9 13976.8 22137.9 0

7 Ciamis 16240.7 3259.2 5548.7 12332.2 14811.8 271.1

8 Kuningan 4639.3 8396.7 3370.2 7887.4 4843.2 0

9 Cirebon 35090.5 8938.8 3065.4 5214.5 2786.3 20.1

10 Majalengka 17513.9 8182 5561.6 12120.1 7785.7 15.9

11 Sumedang 3308.6 5137.2 13017.7 6539 5415.9 95.8

12 Indramayu 71297.1 16195.8 3236.5 18805.2 4052.1 1054.1

13 Subang 58085.9 9084.8 3569.6 7485.4 6297.4 0

14 Purwakarta 1983.5 2988.1 3198.1 5673.7 2002.1 22

15 Karawang 81974.2 4694.4 3748.9 3095.9 836.3 0

16 Bekasi 37119.4 6390.7 849.4 7384 3167.5 334

17 Bandung Barat 626.7 924.9 702.2 1987.8 1803.2 14.8

Kota/City

18 Bogor 254.4 145.7 222.6 44.5 247.7 0

19 Sukabumi 0 0 421.6 267.6 1333.1 0

20 Bandung 13.3 134.5 706.2 253.1 706.3 0

21 Cirebon 108.5 7.9 9 168.9 1195.8 0

22 Bekasi 186.9 51 1.5 411.4 71.2 0

23 Depok 243.3 317.4 271.6 156.7 103.1 0

24 Cimahi 312.4 173 11.1 137.5 186.8 0

25 Tasikmalaya 2520 838.2 170.1 852.4 1805.5 0

26 Banjar 1317.9 103.4 24.6 697.1 395.3 11.6

Total 378502.5 121252.1 98686.1 171361.6 160306.1 2113.1

Sumber: Badan Pusat Statistik 2011 (diolah)

Berdasarkan tabel 9 bahwa rataan luas lahan sawah irigasi teknis terbesar berada di Kabupaten Karawang sebesar 21,66%, Indramayu sebesar 18,84%, dan


(51)

dengan aksesibilitas perekonomian yang tinggi. Sedangkan luas lahan sawah irigasi teknis terendah berada di Kota Cirebon sebesar 0,03%. Wilayah yang hamper samasekali tidak terdapat lahan sawah irigasi teknis adalah Kota Sukabumi dan Bandung.

Tabel 9. Rataan Luas Lahan Sawah Irigasi Teknis di Jawa Barat Tahun 2001-2010

No Kabupaten/Kota Sawah Irigasi Teknis

(ha) %

Kab/Reg

1 Bogor 3962 1.05

2 Sukabumi 4595.4 1.21

3 Cianjur 14108.1 3.73

4 Bandung 10227.1 2.70

5 Garut 8478.1 2.24

6 Tasikmalaya 4295.3 1.13

7 Ciamis 16240.7 4.29

8 Kuningan 4639.3 1.23

9 Cirebon 35090.5 9.27

10 Majalengka 17513.9 4.63

11 Sumedang 3308.6 0.87

12 Indramayu 71297.1 18.84

13 Subang 58085.9 15.35

14 Purwakarta 1983.5 0.52

15 Karawang 81974.2 21.66

16 Bekasi 37119.4 9.81

17 Bandung Barat 626.7 0.17

Kota/City

18 Bogor 254.4 0.07

19 Sukabumi 0 0.00

20 Bandung 13.3 0.00

21 Cirebon 108.5 0.03

22 Bekasi 186.9 0.05

23 Depok 243.3 0.06

24 Cimahi 312.4 0.08

25 Tasikmalaya 2520 0.67

26 Banjar 1317.9 0.35

Total 378502.5

Sumber: Badan Pusat Statistik 2011 (diolah)

Berdasarkan Tabel 10, luas lahan sawah di Jawa Barat pada tahun 2009 sebesar 949.914 ha. Semakin besar luas lahan sawah maka semakin besar juga luas


(52)

panen dan produksinya. Kabupaten Indramayu merupakan daerah yang memiliki luas lahan sawah yang terbesar di Provinsi Jawa Barat yaitu sebesar 118.663 ha atau 12,49 % dengan luas panen sebesar 226,568 ha atau 11,62 % dan diikuti oleh peningkatan hasil produksi nya sebesar 1.321.016 ha atau 11,67 % di Jawa Barat.

Tabel 10. Luas Lahan Sawah, Luas Panen, dan Produksi Padi di Jawa Barat Tahun 2009

No Kabupaten/Kota

Luas Lahan

Sawah Luas Panen Produksi

Ha % Ha % ton %

Kab

1 Bogor 48837 5.14 85147 4.37 500686 4.42

2 Sukabumi 68188 7.18 144499 7.41 796502 7.03

3 Cianjur 65881 6.94 144026 7.39 766039 6.77

4 Bandung 36398 3.83 75891 3.89 443507 3.92

5 Garut 50273 5.29 135104 6.93 785374 6.94

6 Tasikmalaya 49567 5.22 120254 6.17 724703 6.40

7 Ciamis 52286 5.50 107575 5.52 675637 5.97

8 Kuningan 29045 3.06 61068 3.13 348093 3.07

9 Cirebon 54581 5.75 86187 4.42 509729 4.50

10 Majalengka 51899 5.46 97204 4.98 568955 5.02

11 Sumedang 33176 3.49 78143 4.01 437192 3.86

12 Indramayu 118663 12.49 226568 11.62 1321016 11.67

13 Subang 85362 8.99 184585 9.46 1105550 9.76

14 Purwakarta 16566 1.74 41662 2.14 231285 2.04

15 Karawang 97529 10.27 182425 9.35 1067691 9.43

16 Bekasi 54425 5.73 105825 5.43 620868 5.48

17 Bandung Barat 20654 2.17 43847 2.25 243570 2.15

Kota

18 Bogor 960 0.10 1269 0.07 7112 0.06

19 Sukabumi 1929 0.20 3625 0.19 22687 0.20

20 Bandung 1983 0.21 1897 0.10 10897 0.10

21 Cirebon 333 0.04 656 0.03 3643 0.03

22 Bekasi 664 0.07 1013 0.05 5678 0.05

23 Depok 932 0.10 793 0.04 4596 0.04

24 Cimahi 293 0.03 504 0.03 2933 0.03

25 Tasikmalaya 6172 0.65 14252 0.73 80844 0.71

26 Banjar 3318 0.35 6184 0.32 37895 0.33

Jawa Barat 949914 1950203 11322682

Sumber: Badan Pusat Statistik 2010 (diolah)


(53)

504 ha atau 0,03% dan dengan produksi sebesar 2.933 ha atau 0,03% dari total produksi di Jawa Barat. Hal ini dimungkinkan oleh penggunaan teknik intensifikasi pertanian oleh petani seperti penggunaan pupuk atau penggunaan bibit unggul dalam bercocok tanam.

Peningkatan produksi padi yang terus terjadi menimbulkan optimisme tinggi bahwa produksi beras Jawa Barat terus mengalami surplus dan menjadikan Provinsi Jawa Barat menjadi pemasok beras utama di Indonesia. Hal ini berpengaruh terhadap peningkatan harga gabah seperti yang dilihat pada Tabel 11 dibawah ini, terlihat bahwa rataan harga Gabah Kering Panen dan harga Gabah Kering Simpan di tingkat petani serta harga Gabah Kering Giling di tingkat KUD meningkat secara konsisten setiap tahunnya. Demikian juga untuk harga beras baik di tingkat penggilingan, di tingkat dolog, dan di tingkat pasar juga semakin meningkat setiap tahunnya.

Tabel 11. Rataan Harga Gabah dan Harga Beras di Jawa Barat Tahun 2001-2010

Sumber: Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Jawa Barat, 2011

Tahun

Harga Gabah (Rp/Kg) Harga Beras (Rp/Kg)

Di Tingkat

Petani Di Tingkat KUD

(GKG) Di Tingkat Penggilingan Di Tingkat Dolog Di Tingkat Pasar GKP GKS

2001 1340 1590 1445 2645 2100 2875

2002 1400 1661 1718 2846 3076 3119

2003 1247 1443 1590 2533 1959 2736

2004 1151 1339 1478 2377 2357 2562

2005 1401 1661 1718 2846 3076 3119

2006 2021 2263 2399 3890 3605 4182

2007 2358 2603 2759 4525 3943 4820

2008 2425 2711 2880 4589 4181 5042

2009 2469 2804 2969 4893 4438 5298


(1)

Lampiran 6. Jumlah Panjang Jalan per Kabupaten di Jawa Barat Tahun 2001-2010

No KABUPATEN 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-Rata Kab/Reg

1 Bogor 1240 1506 1407 4153 8307 15373 1508 1749 1749 1749 3874

2 Sukabumi 1506 1506 1541 4553 9105 16704 1316 1731 1731 1752 4144

3 Cianjur 1343 1343 1342 4028 8056 14770 97 90 90 1290 3245

4 Bandung 3118 3118 3254 9489 18978 34839 2267 739 1813 1155 7877

5 Garut 835 835 1041 2711 5422 10009 829 829 829 829 2417

6 Tasikmalaya 1118 1118 1065 3301 6601 12084 1065 1305 1305 1303 3026

7 Ciamis 785 785 771 2342 4683 8581 763 772 772 772 2103

8 Kuningan 446 446 413 1305 2610 4775 416 416 416 416 1166

9 Cirebon 635 635 640 1910 3820 7006 643 644 642 642 1722

10 Majalengka 694 694 666 2053 4106 7518 693 716 716 704 1856

11 Sumedang 532 532 716 1780 3560 6588 796 796 796 796 1689

12 Indramayu 954 783 736 2473 4947 8939 797 797 798 807 2203

13 Subang 1027 1027 927 2980 5960 10893 1055 1055 1055 1055 2703

14 Purwakarta 620 1776 658 3054 6108 11596 720 720 721 722 2669

15 Karawang 2525 2579 2299 7402 14804 27084 2640 1217 2640 2640 6583

16 Bekasi 834 940 873 2646 5292 9751 926 927 927 843 2396

17 Bandung Barat 0 0 0 0 0 0 0 478 524 607 161

Kota/City

18 Bogor 564 567 463 1594 3188 5812 749 749 749 749 1519

19 Sukabumi 167 167 152 485 969 1772 125 125 143 143 425

20 Bandung 1 1104 1157 2261 4523 9045 1179 1185 1185 1185 2283

21 Cirebon 166 186 612 964 1928 3691 148 148 148 148 814

22 Bekasi 209 214 305 728 1456 2702 563 563 563 312 761

23 Depok 321 335 417 1074 2148 3974 485 470 473 473 1017

24 Cimahi 0 0 98 98 197 393 126 127 119 119 128

25 Tasikmalaya 0 0 498 498 997 1994 651 651 651 400 634

26 Banjar 0 0 110 110 220 440 190 190 205 225 169

Total 19193 22174 22356 23018 21717 21290 21744 23139 22758 21760 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 (diolah)


(2)

87 Lampiran 7. Jumlah Luas Lahan Pemukiman per Kabupaten di Jawa Barat Tahun 2001-2010

No KABUPATEN 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-Rata Kab/Reg

1 Bogor 15320 16170 17101 17299 26026 26026 26026 26916 26915 27310 22511 2 Sukabumi 7890 8470 8920 9068 8864 8864 8864 22327 22327 23400 12899 3 Cianjur 17800 18440 18910 18921 17729 17729 17729 17720 17720 17900 18060 4 Bandung 25390 25780 26100 26180 30962 30962 30962 15459 15458 16780 24403 5 Garut 9089 10280 10390 11244 12312 12312 12312 39557 39557 40500 19755 6 Tasikmalaya 16940 17320 18240 18536 14588 14588 14588 16211 16211 17944 16517 7 Ciamis 27550 28735 28900 29039 26534 26534 26534 26637 26636 27890 27499 8 Kuningan 9760 9835 9790 9805 9805 9805 9805 10021 10021 11567 10021 9 Cirebon 14590 14901 15400 15574 2203 2203 2203 1568 1567 1890 7210 10 Majalengka 13390 13908 14120 14889 9090 9090 9090 9110 9110 9540 11134 11 Sumedang 9874 9900 9910 10023 10030 10030 10030 11468 11468 11800 10453 12 Indramayu 19450 19890 20000 20102 17765 17765 17765 17754 17754 17900 18614 13 Subang 15350 16165 16500 16798 16456 16456 16456 16456 16456 16100 16319 14 Purwakarta 4100 4190 4550 4725 7247 7247 7247 4841 4841 4900 5389 15 Karawang 17800 17980 18200 18128 14191 14191 14191 21412 21411 21300 17880 16 Bekasi 16000 16160 16510 17293 17293 17293 17293 2309 2308 2200 12466

17 Bandung Barat 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Kota/City

18 Bogor 4123 4590 5900 4958 4650 4650 4650 5217 5216 5100 4905

19 Sukabumi 1323 1356 1380 1231 1163 1163 1163 1715 1714 1710 1392

20 Bandung 8100 8230 9023 8442 9835 9635 9635 9766 9765 9765 9220

21 Cirebon 1400 1478 1490 1513 1268 1268 1268 1884 1884 1883 1534

22 Bekasi 11800 11980 12100 12289 12289 12289 12289 12289 12289 12230 12184

23 Depok 5900 6100 6200 6367 6811 6811 6811 8499 8498 8400 7040

24 Cimahi 2001 2090 3040 2341 1603 1603 1603 1253 1252 1251 1804

25 Tasikmalaya 0 0 0 0 3516 3516 3516 3560 3559 3560 2123

26 Banjar 0 0 0 0 2269 2269 2269 1922 1922 1923 1257

Total 290956 291009 321979 294765 284499 284298 284298 305840 305859 314350 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 (diolah)


(3)

(4)

89 Lampiran 9. Penggunaan Lahan di Jawa Barat Tahun 2001-2010

Penggunaan Lahan Jawa Barat

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Bangunan 502540 398383 398768 393298 394903 390312 387327 213314 227038 370544 387360 Tegal/Kebun/Ladang/Huma 849888 799531 647097 784359 795126 791617 791617 866328 798314 797087 787951 Padang Rumput 33271 35490 33341 31396 30369 31597 31615 71249 31586 35844 30255 Lahan yang tidak

diusahakan 39004 15862 13846 12270 10534 28989 11447 62733 12487 12957 12176 Hutan Rakyat 240986 201428 211626 218741 221089 299130 248234 189524 246027 257963 226075 Hutan Negara 752573 595440 579536 572995 577110 572362 601118 570334 582323 522444 540049 Perkebunan 370631 322407 315449 318293 309306 285919 314641 263127 291669 313623 301801

Rawa-Rawa 20932 9762 9924 10543 20872 10524 10675 14627 4004 3025 2932

Tambak 34780 33582 35941 36218 36975 37843 34898 30192 32207 29590 33837 Kolam/Tebat/Empang 25939 23569 23023 23111 22912 40665 26402 76815 35363 35968 29096 Lainnya 204134 207349 317767 213510 182975 249615 211016 132859 159306 160732 155783 Sawah 1123303 933490 881637 934095 930347 924832 923432 939228 944888 949914 942411


(5)

RINGKASAN

Elvira GV Butar-Butar. Analisis Faktor-Faktor Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh UJANG SEHABUDIN.

Dalam periode 2007-2010, konversi lahan sawah di Pulau Jawa mencapai 600.000 ha. Lahan tersebut digunakan untuk kepentingan di luar pertanian seperti jalan tol, industri, perumahan, pusat perbelanjaan, dan fasilitas umum lainnya. Konversi lahan sawah tidak menguntungkan bagi sektor pertanian karena dapat menurunkan produksi dan daya serap tenaga kerja pertanian. Hal ini dapat merugikan ketahanan pangan karena sekitar 55% konsumsi kalori dan 45% konsumsi protein rumah tangga berasal dari beras, sedangkan sekitar 90% produksi beras nasional dihasilkan dari lahan sawah. Dalam situasi tersebut upaya untuk mengurangi “kehilangan produksi pangan” yang terjadi akibat alih fungsi lahan tanaman pangan menjadi penting guna mengimbangi stagnasi pertumbuhan produksi pangan. Seperti halnya Provinsi Jawa Barat yang merupakan sentra produksi padi nasional dengan luas lahan sawah terbesar di Indonesia. Jenis lahan sawah terluas adalah lahan sawah irigasi teknis dengan laju konversi yang tinggi pula. Hal ini disebabkan karena pada tahun 2003-2008, jaringan irigasi dalam kondisi rusak berat dan ringan telah berkurang dari sekitar 74% menjadi 51%, kemudian lahan sawah irigasi teknis merupakan lahan sawah dengan dataran rendah yang menyebabkan pembangunan industri, pemukiman, serta sarana/prasarana lain semakin mudah dilaksanakan sehingga daerah ini memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, kemudahan aksesibilitas dan letak geografis yang strategis dengan wilayah pusat pertumbuhan seperti Bandung, Bogor, dan Bekasi.

Luas lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat dari tahun 2000 sampai tahun 2010 terus mengalami penurunan. Luas lahan sawah irigasi teknis yang terkonversi dari tahun 2000-2010 mencapai 87.095 hektar atau 7917,73 hektar per tahun, dengan laju konversi 1,80% per tahun. Dengan adanya konversi lahan sawah tersebut mengubah luas lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2000 seluas 458.240 hektar menjadi 371.145 hektar pada akhir tahun 2010.

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah irigasi teknis dan menganalisis dampak ekonomi konversi lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat selama periode 2001-2010. Pengambilan data sekunder dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2011 di Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan, Badan Pusat Statistik, dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Analisis data dilakukan dengan mengestimasi model regresi linear berganda dan menganalisis kuantitas serta nilai produksi yang hilang.

Hasil estimasi pada model regresi menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh nyata terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat adalah laju pertumbuhan PDRB industri dan laju pertumbuhan panjang jalan. Sementara itu, laju pertumbuhan penduduk, harga Gabah Kering Panen (GKP), laju pertumbuhan luas lahan pemukiman, dan Nilai Tukar Petani tidak berpengaruh nyata. Dampak yang ditimbulkan dari adanya konversi lahan sawah adalah berkurangnya jumlah produksi padi dan nilai produksi padi serta jumlah dan upah tenaga kerja yang


(6)

4 hilang. Selama periode 2001-2010 jumlah produksi padi yang hilang adalah sebesar 1.308.420,30 ton sehingga dengan menggunakan harga GKP tahun dasar 2000 diperoleh nilai produksi padi yang hilang adalah sebesar Rp 2.008.252.301 per ton atau mencapai Rp 2,0 triliun. Serta Hari Orang Kerja yang hilang dalam pola tiga kali tanam adalah sebesar 452,8 juta atau 45,28 juta setiap tahun dan upah tenaga kerja yang hilang Rp 350,12miliar atau Rp 35,01 miliar setiap tahun.