Daya Saing Minyak Sawit Indonesia Dan Dampak Renewable Energy Directive (Red) Terhadap Ekspor Indonesia Di Pasar Uni Eropa

DAYA SAING MINYAK SAWIT INDONESIA DAN DAMPAK
RENEWABLE ENERGY DIRECTIVE (RED) TERHADAP
EKSPOR INDONESIA DI PASAR UNI EROPA

GISA RACHMA KHAIRUNISA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Daya Saing Minyak
Sawit Indonesia dan Dampak Renewable Energy Directive (RED) terhadap
Ekspor Indonesia di Pasar Uni Eropa adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, April 2016
Gisa Rachma Khairunisa
NIM H14120062

ABSTRAK
GISA RACHMA KHAIRUNISA. Daya Saing Minyak Sawit Indonesia dan
Dampak Renewable Energy Directive (RED) terhadap Ekspor Indonesia di Pasar
Uni Eropa. Dibimbing oleh TANTI NOVIANTI .
Minyak sawit merupakan komoditi ekspor unggulan Indonesia. Uni Eropa
merupakan pengimpor minyak sawit Indonesia terbesar kedua setelah India. Pada
tahun 2009 Uni Eropa mengeluarkan Renewable Energy Directive yang dapat
berdampak kepada ekspor minyak sawit Indonesia. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk menganalisis posisi daya saing minyak sawit Indonesia
menggunakan metode Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Export
Product Dynamics (EPD) di pasar Uni Eropa serta menganalisis dampak
kebijakan Renewable Energy Directive terhadap nilai ekspor minyak sawit
Indonesia dengan menggunakan gravity model. Hasil analisis RCA menunjukkan

bahwa minyak sawit Indonesia memiliki keunggulan komparatif (nilai RCA>1).
Analisis EPD minyak sawit Indonesia pada lima negara anggota Uni Eropa berada
pada posisi “Rising Star”. Hasil analisis gravity model menunjukkan GDP riil
perkapita negara tujuan, populasi negara tujuan, harga ekspor minyak sawit, dan
kebijakan Renewable Energy Directive signifikan memengaruhi nilai ekspor
minyak sawit, sedangkan nilai tukar riil Indonesia dan jarak ekonomi tidak
berpengaruh signifikan.
Kata kunci: minyak sawit, Renewable Energy Directive, RCA, EPD, gravity
model

ABSTRACT
GISA RACHMA KHAIRUNISA. Indonesian Palm Oil Competitiveness and
Impact of Renewable Energy Directive (RED) on Indonesian Exports in the
European Union Market. Supervised by TANTI NOVIANTI.
Palm oil is Indonesia's main export commodity. The EU is Indonesia's
second largest palm oil importer after India. In 2009 the EU issued Renewable
Energy Directive that may have an impact on Indonesia's palm oil exports. The
purpose of this study was to analyze the competitive position of Indonesian palm
oil using the Revealed Comparative Advantage (RCA) and the Export Product
Dynamics (EPD) in the EU market as well as analyze the impact of Renewable

Energy Directive towards the export value of Indonesian palm oil using gravity
models. RCA analysis results indicate that the Indonesian palm oil has a
comparative advantage (RCA> 1). EPD analysis on Indonesian palm oil in five
EU member states are in "Rising Star" position. The results of the analysis of
gravity models show a real GDP per capita in the country of destination, the
population of the country of destination, the export price of palm oil, and the
Renewable Energy Directive policies significantly affect the value of exports of
palm oil, while Indonesia and the real exchange rate had no significant effect
within the economy.
Keywords: palm oil, the Renewable Energy Directive, RCA, EPD, gravity models

DAYA SAING MINYAK SAWIT INDONESIA DAN DAMPAK
RENEWABLE ENERGY DIRECTIVE (RED) TERHADAP
EKSPOR INDONESIA DI PASAR UNI EROPA

GISA RACHMA KHAIRUNISA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi

pada
Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2016 ini ialah
perdagangan internasional, dengan judul Daya Saing Minyak Sawit Indonesia dan
Dampak Renewable Energy Directive (RED) terhadap Ekspor Indonesia di Pasar
Uni Eropa.
Terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada kedua orangtua
penulis, yaitu Gogi Gondomono, SE (Bapak) dan Umi Salmah (Ibu), serta seluruh
keluarga besar atas doa serta dukungan moril maupun materil yang telah diberikan
kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Selanjutnya, penulis juga

mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr Tanti Novianti, SP, MSi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan arahan, masukan, dan motivasi selama proses penyusunan skripsi
ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
2. Dr Alla Asmara, SPt, MSi dan Dr Muhammad Findi Alexandi, SE, ME selaku
dosen penguji yang telah memberi kritik dan saran demi perbaikan dan
kesempurnaan skripsi ini.
3. Para dosen, staff, dan seluruh civitas Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB
yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama menjalani
studi.
4. Teman-teman satu bimbingan Ni Putu Sara Sutengsu, Faisal Anugrah
Widiatama, dan Asep Kusnaedi yang saling mendukung dan membantu dalam
penyusunan skripsi.
5. Sahabat-sahabat penulis (Selly, Talitha, Indah, Ratri, Vicky, Casey, Nydia,
Mayca, Aul, dan Gustam) serta teman-teman ESP 49 atas kebersamaan,
semangat, bantuan dan motivasi selama menjalankan studi.
6. Keluarga Hipotesa khususnya RED periode 2013/2014 dan 2014/2015 (Inet,
Ditta, Ben, Viddy, Deni, Prancis, Kintan, Fakhri, Irfan, dan Anditta) yang
senantiasa bertukar pikiran dalam berbagai hal.
7. Kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan semangat kepada

penulis baik langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan
satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
.
Bogor, April 2016
Gisa Rachma Khairunisa

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

4

Tujuan Penelitian

5

Manfaat Penelitian

6


Ruang Lingkup Penelitian

6

TINJAUAN PUSTAKA

6

Penelitian Terdahulu

10

Relevansi dengan Penelitian Sebelumnya

12

Kerangka Pemikiran

12


Hipotesis Penelitian

14

METODE

15

Jenis dan Sumber Data

15

Metode Analisis Data

16

HASIL DAN PEMBAHASAN

23


Gambaran Umum Komoditi Minyak Sawit

23

Analisis Daya Saing Minyak Sawit Indonesia

26

Analisis Faktor yang Memengaruhi Ekspor Minyak Sawit Indonesia

30

Dampak Renewable Energy Directive (RED) terhadap Ekspor Indonesia

34

SIMPULAN DAN SARAN

35


Simpulan

35

Saran

36

DAFTAR PUSTAKA

36

LAMPIRAN

39

RIWAYAT HIDUP

47

DAFTAR TABEL
1. Pendapatan domestik bruto atas harga konstan 2000 menurut lapangan
usaha tahun 2007 -2014 (milyar Rupiah)
2. Data dan Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian
3. Matriks Posisi Daya Saing
4. Kerangka identifikasi autokorelasi
5. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Minyak Sawit di Indonesia
Tahun 2007-2014
6. Nilai RCA Minyak Sawit Indonesia di Pasar Uni Eropa (2005-2014)
7. Indeks RCA Minyak Sawit Indonesia (2005-2014)
8. Hasil Estimasi Ekspor Minyak Sawit Indonesia ke Uni Eropa
9. Hasil Estimasi Model Cross Section Effect

1
16
19
22
24
28
28
30
34

DAFTAR GAMBAR
1. Perkembangan Neraca Perdagangan Minyak Sawit Indonesia (2005 2014)
2. Importir Terbesar Minyak Sawit Indonesia (ribu USD)
3. Kurva Perdagangan Internasional
4. Kerangka Pemikiran
5. Produsen minyak sawit terbesar dunia, rata-rata 2005-2014
6. Eksportir Terbesar di Pasar Uni Eropa (2005-2014)
7. Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia di Pasar Uni Eropa (2005-2014)
8. Perkembangan Indeks Nilai RCA Eksportir Terbesar ke Uni Eropa
Tahun 2005-2014
9. Perkembangan EPD Indonesia ke Uni Eropa Tahun 2007-2014

2
4
7
14
23
25
25
27
29

DAFTAR LAMPIRAN
1. Hasil Olahan RCA Eksportir Terbesar Minyak Sawit ke Uni Eropa
2. Hasil Olahan RCA Minyak Sawit Indonesia ke Uni Eropa
3. Hasil Olahan EPD Minyak Sawit Indonesia ke Uni Eropa
4. Hasil Estimasi FEM
5. Hasil Uji Hausman
6. Hasil Uji Chow
7. Korelasi antar variabel
8. Uji Normalitas
9. Uji Heteroskedastisitas
10. Hasil Cross Section Effect (Estimasi Keragaman Individu)

39
40
42
44
44
45
45
45
46
46

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar perekonomiannya
disokong oleh sektor pertanian. Sektor pertanian pada tahun 2014 merupakan
sektor yang memberikan sumbangan terbesar ketiga dengan nilai 350 722.2 milyar
Rupiah setelah sektor industri pengolahan dan perdagangan, hotel, dan restoran
dengan pertumbuhan rata-rata dalam periode 2007-2014 sebesar 3.26 persen (BPS
2015). Di dalam sektor pertanian, subsektor perkebunan memiliki peranan penting
dalam meningkatkan PDB sektor pertanian yang pada akhirnya akan
meningkatkan PDB total Indonesia seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Pendapatan domestik bruto Indonesiaatas harga konstan 2000 sektor
pertanian tahun 2007-2014 (milyar Rupiah)
Lapangan Usaha
Pertanian
Tanaman Bahan Makanan
Perkebunan
Peternakan
Kehutanan
Perikanan
PDB Total
PDB Non Migas

2007

2008

2009

2010

271 509 284 619 295 883 304 777
133 888 142 000 149 057 15 1500
43 199
44 783
45 558
47 150
34 220
35 425
36 648
38 214
16 548
16 543
16 843
17 249
43 652
45 866
47 775
50 661
1 964 327 2 082 456 2 178 850 2 314 458
1 821 757 1 939 625 2 036 685 2 171 113

2011

2012

2013

2014

315 036
154 153
49 260
40 040
17 395
54 186
2 464 566
2 322 653

328 279
158 910
52 325
41 918
17 423
57 702
2 618 932
2 481 790

339 560
161 925
54 629
43 902
17 442
61 661
2 769 053
2 635 612

350 722
164 082
57 245
45 960
17 476
65 957
2 909 181
2 779 064

Pertumbuhan
(%)
3.26
2.59
3.6
3.77
0.69
5.32
5.05
5.44

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015
Berdasarkan data pada Tabel 1, PDB subsektor perkebunan menunjukan
pertumbuhan sebesar 3.6 per tahun. Jika dilihat berdasarkan kontribusi subsektor
perkebunan terhadap PDB total pada tahun 2007 subsektor perkebunan
memberikan kontribusi sebesar 2.20 persen dan mengalami penurunan menjadi
1.97 persen pada tahun 2014. Hal yang sama juga terjadi pada kontribusi
subsektor perkebunan terhadap PDB non migas yakni pada tahun 2007 kontribusi
subsektor perkebunan terhadap non migas sebesar 2.37 persen dan mengalami
penurunan menjadi 2.06 persen pada tahun 2014. Penurunan kontribusi subsektor
perkebunan tersebut mengindikasikan bahwa subsektor perkebunan perlu
diperhatikan agar menjadi subsektor yang tetap unggul dan dapat menjadi
kekuatan bagi perekonomian nasional.
Dalam jangka panjang, permintaan minyak sawit global sebagai komoditi
unggulan subsektor perkebunan menunjukkan tren meningkat sebagai peningkatan
populasi global dan semakin berkembangnya trend pemakaian bahan dasar
oleochemical pada industri makanan, industri shortening, dan farmasi (kosmetik).
Hal ini menimbulkan peningkatan konsumsi produk berbasis kelapa sawit. Trend
penggunaan komoditi berbasis minyak kelapa sawit di pasar global terus
meningkat dari waktu ke waktu mengalahkan industri berbasis komoditi vegetable
oil lainnya seperti minyak gandum, minyak jagung, dan minyak kelapa.
Trend ini berkembang karena produk yang menggunakan bahan baku kelapa
sawit lebih berdaya saing dibandingkan minyak nabati dengan bahan baku lainnya
karena dapat diproduksi dalam jumlah yang banyak dengan biaya yang sedikit.
Menurut Kemenperin (2010), sejak tahun 2004 konsumsi komoditi minyak sawit

2

Juta USD

telah menduduki posisi tertinggi dalam pasar vegetable oil dunia yaitu mencapai
sekitar 30 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 8% per tahun, mengalahkan
komoditi minyak kedelai sekitar 25 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 3,8%
per tahun. Komoditi lainnya yang banyak digunakan adalah minyak bunga
matahari yaitu sekitar 11,5 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 2,2% per tahun.
Minyak sawit adalah salah satu dari minyak sayuran yang paling banyak
diproduksi dan dikonsumsi di dunia. Pada tahun 2014 produksi minyak sayuran
terbesar adalah minyak sawit yaitu 53.67 juta ton atau 28.79 persen dari total
produksi minyak sayuran. Selain itu, pada tahun 2014 pangsa pasar minyak sawit
merupakan 55.9 persen dari perdagangan minyak dan lemak dunia (Palm Oil
Research 2014).
Indonesia saat ini merupakan produsen terbesar minyak sawit di seluruh
dunia (GAPKI 2013). Sebagai produsen terbesar minyak sawit, Indonesia melihat
kebutuhan akan konsumsi dan pangsa pasar minyak sawit yang terus meningkat
sebagai peluang untuk melakukan ekspor. Di pasar internasional, ekspor minyak
sawit Indonesia selalu lebih besar dari impornya. Walaupun selama periode tahun
2005 hingga tahun 2014 ekspor minyak sawit Indonesia mengalami fluktuasi,
nilainya selalu lebih besar dari impornya sehingga neraca perdagangan minyak
sawit Indonesia selalu positif. Gambar 1 memperlihatkan nilai ekspor dan impor
minyak sawit Indonesia di pasar internasional.
9000
8500
8000
7500
7000
6500
6000
5500
5000
4500
4000
3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
0

Ekspor
Impor

Tahun

Sumber: Pusdatin, 2015
Gambar 1 Perkembangan Neraca Perdagangan Minyak Sawit Indonesia di Pasar
Internasional (2005 -2014)
Pada Gambar 1 terlihat bahwa ekspor minyak sawit Indonesia jauh lebih
besar dibandingkan impornya, ini membuktikan bahwa Indonesia merupakan
eksportir minyak sawit di dunia. Selama periode tahun 2005 hingga 2014 ekspor
minyak sawit Indonesia mengalami fluktuasi dengan trend yang menurun, dengan
nilai tertinggi pada tahun 2011 sebesar 8.77 milyar USD dan nilai terendah pada
tahun 2005 sebesar 1.6 milyar USD. Sedangkan, nilai impor minyak sawit
Indonesia periode tahun 2005 hingga 2014 berbeda jauh daripada ekspornya yang
mana nilainya paling besar hanya 3.36 juta USD pada tahun 2010. Penurunan nilai
ekspor minyak sawit Indonesia di pasar internasional ini terjadi pada tahun 20082009 serta 2011-2014. Penurunan yang terjadi pada tahun-tahun tersebut diduga
disebabkan oleh adanya krisis global yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun

3
2008 serta krisis hutang yang dialami oleh Uni Eropa pada tahun 2011, adapun
dugaan lainnya yang dinilai memengaruhi nilai ekspor minyak sawit Indonesia
yaitu adanya hambatan-hambatan perdagangan dari negara importir.
Minyak sawit merupakan komoditi unggulan dari subsektor perkebunan
yang kinerja ekspornya dipengaruhi daya saing dan perubahan pangsa pasar yang
terjadi di pasar domestik maupun pasar internasional. Sebagai komoditi ekspor,
minyak sawit menjadikan Indonesia sebagai pengekspor minyak sawit terbesar di
dunia diikuti dengan Malaysia, Ekuador, Kolombia, dan Thailand dengan nilai
ekspor yang mencapai 4.2 milyar USD atau 51.98 persen dari ekspor minyak
sawit di pasar internasional pada tahun 2014 (UNComtrade 2016).
Perdagangan yang dilakukan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekspor
mengalami hambatan baik tarif maupun non-tarif. World Trade Organization
(WTO) telah menetapkan tingkat tarif yang diberlakukan untuk komoditi di
seluruh dunia, baik untuk negara maju maupun berkembang. Melalui perjanjian
preferensi dalam perdagangan global, berbagai macam bentuk tarif telah semakin
berkurang. Adanya batasan tarif ini membuat negara memberlakukan kebijakan
non-tarif sebagai bentuk proteksi pada produsen domestik dalam menghadapi
persaingan impor dengan produk asing (Dahar 2014). Kawasan Uni Eropa
mengadaptasi kebijakan hambatan non-tarif tersebut ke dalam beberapa jenis
kebijakan. Jenis-jenis kebijakan itu antara lain adalah dengan menggunakan
lisensi dan kuota, prasyarat teknis, European Standards Organizations (ESO),
akreditasi dan konfirmasi negara anggota, restriksi bahan kimia di bawah
REACH, Sanitary and Phytosanitary (SPS) (Lord et al. 2010).
Uni Eropa sebagai tujuan ekspor minyak sawit Indonesia terbesar kedua
setelah India, pada tanggal 23 April 2009 menetapkan Renewable Energy
Directive (RED) yaitu kebijakan prasyarat teknis. Secara keseluruhan, RED
mengharuskan Uni Eropa untuk memenuhi setidaknya 20 persen dari total
kebutuhan energi merupakan energi yang dapat diperbaharui pada tahun 2020
yang pada akhirnya akan dicapai melalui pencapaian target nasional masingmasing negara. Semua negara Uni Eropa juga harus memastikan bahwa
setidaknya 10 persen dari bahan bakar transportasi mereka terbuat dari sumber
yang terbarukan pada tahun 2020. Renewable Energy Directive (RED)
menetapkan kriteria keberlanjutan biofuel untuk semua biofuel yang diproduksi
atau dikonsumsi di Uni Eropa untuk memastikan bahwa mereka diproduksi secara
berkelanjutan dan ramah lingkungan (EC 2016).
Kriteria keberlanjutan biofuel pada RED artikel 17 ayat 2 menyatakan
bahwa tabungan gas rumah kaca dari penggunaan biofuel harus di atas 35%, dan
juga pada ayat 3 dan 5 berisi tiga kriteria penggunaan lahan yaitu:
1. Bukan tanah dengan keanekaragaman hayati, seperti hutan lindung, hutan yang
tidak diganggu oleh aktivitas manusia, dan padang rumput dengan keaneka
ragaman hayati tinggi.
2. Bukan tanah dengan saham karbon tinggi: lahan basah dan area penghijauan
kontinu.
3. Sudah tidak dalam status lahan gambut kecuali budidaya dan pemanenan tidak
melibatkan proses pengeringan lahan gambut.
Dengan membuat perbedaan antara biofuel berdasarkan kriteria tersebut
tidak sesuai dengan disiplin yang ditetapkan WTO karena kriteria keberlanjutan
biofuel ini dapat mempengaruhi perdagangan internasional. Dalam kasus minyak

4
sawit, kebijakan Renewable Energy Directive (RED) membatasi penggunaan
biofuel berbasis kelapa sawit karena penghematan karbon dari biofuel berbasis
CPO dianggap gagal memenuhi target yang ditetapkan oleh Uni Eropa sebesar 35
persen dan 27 persen kelapa sawit ditanam di hutan gambut. Pembatasan
penggunaan biofuel berbasis CPO ini dapat menurunkan nilai ekspor minyak
sawit Indonesia ke Uni Eropa. Oleh karena itu untuk mengetahui dampak
kebijakan Renewable Energy Directive (RED), analisis daya saing minyak sawit
Indonesia dan dampak kebijakan Renewable Energy Directive (RED) Uni Eropa
terhadap ekpor Indonesia di pasar Uni Eropa perlu dilakukan.
Perumusan Masalah
Tanah yang subur, iklim yang menguntungkan dan tenaga kerja rendah
dengan upah yang rendah telah membuat Indonesia menjadi produsen utama
minyak sawit di seluruh dunia pada saat permintaan global terkait bahan makanan
dan bioenergi terus meningkat. Komoditi minyak sawit pada tahun 2013
merupakan penyumbang utama terhadap PDB sebesar 4.5% dan hampir 7% dari
total nilai ekspor. Angka ini akan meningkat pada 2011 mengingat harga minyak
sawit yang tinggi di pasar global, target pemerintah dari kenaikan 16% di ekspor
untuk 2014 dan tujuan yang lebih ambisius untuk 2020 yang akan menggandakan
output (Global Business Guide Indonesia 2012).
Tujuan ekspor minyak sawit Indonesia paling besar ke pasar India, Uni
Eropa, Singapore, Malaysia, dan Kenya. Pada tahun 2014, ekspor minyak sawit
Indonesia di pasar Uni Eropa mencapai 33.85 persen yang merupakan Negara
tujuan ekspor terbesar kedua setelah India (49.96 persen) (UN COMTRADE
2016). Hal ini menunjukan bahwa Uni Eropa merupakan pasar yang potensial
walaupun masih memiliki pangsa pasar di bawah India.
2.500
2.000

Juta USD

1.500
1.000
500
0
India

Uni Eropa Singapore Malaysia

Kenya

Sumber: UNCOMTRADE, 2016 (diolah)
Gambar 2 Importir Terbesar Minyak Sawit Indonesia Tahun 2014
Walaupun permintaan dunia untuk komoditi minyak sawit terus tumbuh,
Indonesia menghadapi tantangan untuk membuat produksi minyak sawitnya
menjadi berkelanjutan sesuai dengan standar internasional dan memperbaiki
citranya berkaitan dengan semakin banyaknya kampanye hitam yang ditujukan
kepada minyak sawit Indonesia. Hal ini terkait dari dampak negatif dari produksi
minyak sawit (terlepas dari dampaknya terhadap kesehatan masyarakat karena

5
tingginya tingkat lemak jenuh) adalah bahwa bisnis minyak sawit merupakan
pendorong utama deforestasi di negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia.
Indonesia adalah penghasil gas rumah kaca terbesar setelah China dan Amerika
Serikat (Indonesia Investments 2015). Sehingga menimbulkan berbagai tuduhan
tentang minyak sawit Indonesia di Eropa bahwa minyak sawit Indonesia tidak
ramah lingkungan.
Sejalan dengan semakin majunya teknologi dan ilmu pengetahuan, saat ini
isu-isu terkait dengan lingkungan dapat mempengaruhi perdagangan baik itu
dalam negeri maupun internasional. Ekspor minyak sawit menghadapi hambatan
terkait dengan isu-isu lingkungan. Uni Eropa sebagai importir minyak sawit
terbesar kedua setelah India menetapkan Renewable Energy Directive (RED)
sebagai bagian dari kebijakan biofuel ramah lingkungan di Uni Eropa.
Persyaratan tabugan emisi gas rumah kaca dalam RED merupakan bentuk
diskriminasi terhadap produsen asing karena emisi transportasi juga dihitung
(Erixon 2009). Pesaing biofuel Uni Eropa berasal dari Amerika atau Asia
Tenggara yang memerlukan transportasi jarak jauh, jika emisi pada proses
pengiriman menggunakaan kapal tanker yang sebagian besar berbahan bakar batu
bara maka bahan baku biofuel yang berasal dari negara lain yang tidak dapat
bersaing dengan bahan baku Uni Eropa.
Selain itu, kriteria penggunaan lahan tidak membatasi secara signifikan
mempengaruhi produksi Uni Eropa sehingga secara de facto membuat biofuel
impor dari negara pesaing (Malaysia, Indonesia, Afrika Selatan, Brazil, dan
Amerika Serikat) kurang menguntungkan. Perlakuan kurang menguntungkan bagi
negara asing dalam tabungan emisi gas rumah kaca dan kriteria penggunaan
lahan ini dianggap bertentangan dengan peraturan GATT pasal 3 tentang
National Treatment yaitu produk yang diimpor ke dalam suatu negara harus
diperlakukan sama seperti halnya produk dalam negeri.
Berdasarkan uraian tersebut maka perumusan masalah yang dapat dikaji dan
dianalisis lebih lanjut dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana daya saing minyak sawit Indonesia di pasar Uni Eropa?
2. Apa saja faktor yang memengaruhi ekspor minyak sawit Indonesia di
pasar Uni Eropa?
3. Bagaimana dampak Renewable Energy Directive (RED) Uni Eropa
terhadap ekspor minyak sawit Indonesia?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang dan masalah yang telah dirumuskan
diharapkan dapat dicapai tujuan yang diinginkan, yaitu:
1. Menganalisis daya saing minyak sawit Indonesia di pasar Uni Eropa.
2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ekspor minyak sawit
Indonesia di pasar Uni Eropa.
3. Menganalisis dampak Renewable Energy Directive (RED) Uni Eropa
terhadap ekspor minyak sawit Indonesia.

6
Manfaat Penelitian
1. Bagi pemerintah, penelitian ini dapat membantu untuk meningkatkan daya
saing komoditi minyak sawit di Indonesia.
2. Bagi para pelaku pasar, penelitian ini dapat menjadi pertimbangan dalam
mengambil keputusan.
3. Bagi penulis, penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan
tentang Renewable Energy Directive (RED) Uni Eropa dan komoditi
minyak sawit Indonesia.
4. Bagi pihak-pihak lain, penelitian ini dapat menjadi literatur mengenai studi
komoditi minyak sawit Indonesia.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada komoditi minyak sawit Indonesia kode HS
151110 (HS tahun 1996). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
time series dari tahun 2005-2014 dengan cross section tujuh negara anggota Uni
Eropa yaitu Belanda, Denmark, Inggris, Italia, Jerman, Spanyol, dan Yunani.
Metode analisis yang digunakan Revealed Comparative Advantage (RCA) dan
Export Product Dynamics (EPD) serta Gravity Model.

TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Perdagangan Internasional
Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh
penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan
bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antara individu dengan individu,
individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan
pemerintah negara lain. Perdagangan internasional yang tercermin dari kegiatan
ekspor dan impor suatu negara menjadi salah satu komponen dalam pembentukan
PDB (Produk Domestik Bruto). Peningkatan ekspor bersih suatu Negara menjadi
faktor utama untuk meningkatkan PDB suatu Negara (Oktaviani dan Novianti
2009).
Perdagangan internasional yang terjadi antarnegara dapat memberikan
manfaat bagi negara-negara yang bekerjasama yaitu saling membantu memenuhi
kebutuhan antarnegara, meningkatkan produktivitas usaha, dapat mengurangi
pengangguran, menambah pendapatan devisa bagi negara, dan mendorong
terjadinya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Salvatore 1997).
Keunggulan khusus yang dimiliki oleh masing-masing negara, dijadikan basis
dalam meningkatkan perdagangan yang saling menguntungkan. Teori tersebut
mengenai keunggulan komparatif berkembang sebagai basis perdagangan
internasional.

7

Sumber : Salvatore, 1997
Gambar 3 Kurva Perdagangan Internasional
Keterangan:
Pa
Harga relatif minyak sawit di Indonesia tanpa perdagangan internasional
0Qa Jumlah minyak sawit yang diperdagangkan di Indonesia tanpa
perdagangan internasioanal.
X
Jumlah minyak sawit yang di ekspor oleh Indonesia
Pb
Harga relatif minyak sawit di Uni Eropa tanpa perdagangan internasional
0Qb Jumlah minyak sawit yang diperdagangkan di Uni Eropa tanpa
perdagangan internasional.
M
Jumlah minyak sawit mentah yang diimpor oleh Uni Eropa
P*
Harga keseimbangan atara kedua negara setelah perdagangan internasional
OQ* Keseimbangan penawaran dan permintaan antara Indonesia dan Uni Eropa
dimana jumlah yang diekspor (X) sama dengan jumlah yang diimpor (M).
Gambar 3 menunjukkan terjadinya keseimbangan harga relatif di pasar
dunia karena adanya perdagangan internasional. Sumbu vertikal menunjukkan
harga relatif minyak sawit mentah (P) sedangkan sumbu horizontal
menggambarkan jumlah dan kuantitas minyak sawit mentah yang diminta maupun
ditawarkan (Q). Sebelum terjadi perdagangan internasional, negara A memiliki
harga minyak sawit lebih rendah (PA) dan negara B berada pada PB dimana harga
minyak sawit lebih tinggi. Negara A mempunyai kelebihan produksi yaitu sebesar
X yang berada diatas kurva keseimbangan, sedangkan pada negara B mempunyai
kekurangan produksi yang artinya negara B tidak dapat memenuhi kebutuhan
domestiknya sebesar M. Sehingga perdagangan internasional dapat terjadi antara
negara A dan negara B dengan harga dan kuantitas berada pada tingkat P* dan Q*
yang dapat memberikan keuntungan terhadap masing-masing negara.
Teori Daya Saing
Daya saing ekspor merupakan kemampuan suatu komoditi untuk
memasuki dan bertahan dalam pasar luar negeri. Suatu negara akan berusaha
untuk meningkatkan daya saing produk, barang dan jasa agar dapat masuk dan
mempertahankan produk, barang dan jasa negara tersebut di pasar internasional
(Tambunan 2003). Keunggulan dalam daya saing dapat dikelompokkan menjadi
dua macam, yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif (Porter
1990).

8
Teori Keunggulan Komparatif
Keunggulan komparatif adalah keunggulan relatif yang dimiliki oleh suatu
negara dibandingkan dengan negara lain dalam memproduksi berbagai komoditi
(Lipsey 1995). Jika masing-masing negara yang memiliki keunggulan komparatif
dalam suatu komoditi mengkhususkan berproduksi dalam komoditi tersebut, maka
produksi dunia akan mampu ditingkatkan sehingga akan memberikan peluang
bagi setiap negara untuk melakukan perdagangan serta memperoleh manfaat dari
perdagangan tersebut. Keunggulan komparatif itu sendiri timbul karena adanya
negara-negara yang mempunyai biaya dan kesempatan yang berbeda dalam
memproduksi barang atau komoditi tertentu.
Hukum keunggulan komparatif menurut David Ricardo dalam Salvatore
(1997) ialah meskipun negara mempunyai kerugian absolut terhadap negara lain
dalam memproduksi suatu komoditi, namun perdagangan yang menguntungkan
kedua belah pihak masih dapat berlangsung. Hal ini dapat terjadi jika salah satu
negara melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditi
yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (komoditi yang memiliki keunggulan
komparatif) dan mengimpor yang memiliki kerugian absolut lebih besar (yang
memiliki kerugian komparatif).
Teori Keunggulan Kompetitif
Keunggulan kompetitif adalah keunggulan yang harus dimiliki suatu negara
agar mampu bersaing di pasar internasional. Menurut Porter (1990), konsep
keunggulan kompetitif yaitu suatu bangsa atau negara yang memiliki competitive
advantage of nation dapat bersaing di pasar internasional jika memiliki empat
faktor utama yaitu kondisi faktor (factor condition), kondisi permintaan (demand
condition), industri terkait dan industri pendukung yang kompetitif (related and
supporting industry) serta kondisi struktur, persaingan dan strategi industri (firm
strategy, structure and rivalry). Selain keempat faktor utama di atas, terdapat dua
faktor yang memengaruhi interaksi antara ke empat faktor tersebut yaitu faktor
kesempatan (chance event) dan faktor pemerintah (government).
Untuk mewujudkan keunggulan kompetitif dalam suatu industri
memerlukan ketersediaan sumber daya dan keterampilan seperti informasi yang
membentuk peluang apa saja yang dirasakan dan arahan kemana sumber daya dan
keterampilan dialokasikan, tujuan pemilik, manajer, dan karyawan yang terlibat
dalam atau yang melakukan kompetisi, dan yang jauh lebih penting, tekanan
terhadap perusahaan untuk berinvestasi dan berinovasi.
Teori Permintaan Ekspor
Teori permintaan ekspor bertujuan untuk menentukan faktor yang
mempengaruhi permintaan. Permintaan ekspor suatu negara merupakan selisih
antara produksi atau penawaran domestik dikurangi dengan konsumsi atau
permintaan domestik negara yang bersangkutan ditambah dengan stok tahun
sebelumnya (Salvatore 1997).
Secara matematis rumusnya dapat ditulis sebagai berikut :
� = � − � + �−
dimana :
Xt
= jumlah ekspor komoditas tahun ke t
Qt
= jumlah produksi domestik tahun ke t

9
Ct
= jumlah konsumsi domestik tahun ke t
St-1
= stok tahun sebelumnya.
Jika jumlah stok tahun sebelumnya diasumsikan nol, karena produksi pada
tiap tahun semuanya diekspor, maka dengan demikian fungsi ekspor dapat
dirumuskan sebagai berikut :
� = �− �
Untuk komoditi ekspor, permintaan komoditi yang bersangkutan akan
dialokasikan untuk memenuhi permintaan masyarakat dalam negeri (konsumsi
domestik) atau luar negeri (ekspor), sedangkan yang tersisa akan menjadi
persediaan yang akan dijual pada tahun berikutnya. Sebagai sebuah permintaan,
maka ekspor suatu negara akan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
mempengaruhi permintaan negara tujuan ekspor terhadap komoditi yang
dihasilkan, yaitu harga domestik negara tujuan ekspor (HDj), harga impor negara
tujuan ekspor (HIj), pendapatan perkapita penduduk negara tujuan ekspor (YPj),
dan selera penduduk negara tujuan ekspor (Sj). Selain dipengaruhi oleh faktorfaktor yang berasal dari negara tujuan ekspor, ekspor suatu negara sebagai sebuah
permintaan juga dipengaruhi oleh faktor harga di pasar internasional (HX), dan
nilai tukar (NT). Pengaruh jangka panjang dalam kegiatan ekspor diketahui
dengan memasukkan peubah lag yaitu nilai ekspor tahun sebelumnya (Xt-1), dan
untuk mengetahui sejauh mana pengaruh kondisi perekonomian negara terhadap
kegiatan ekspor, perlu dimasukkan variabel dummy (D) berupa kondisi
perekonomian. Secara keseluruhan fungsi ekspor suatu komoditi menjadi :
� = (
�,
�− ,
�, ,
�,
�, �,
� , � � , �− , )
dimana :
Xt
= nilai ekspor tahun ke t
HDt
= harga domestik tahun ke t
HDt-1 = harga domestik tahun ke t-1
HDjt
= harga domestik negara tujuan ekspor tahun ke t
HIjt
= harga impor negara tujuan ekspor tahun ke t
YPjt
= pendapatan perkapita negara tujuan ekspor tahun ke t
Sjt
= selera negara tujuan ekspor tahun ke t
HXt
= harga ekspor tahun ke t
NTt
= nilai tukar mata uang negara pengekspor terhadap nilai tukar
negara pengimpor tahun ke t
Xt-1
= volume ekspor tahun lalu, tahun ke t-1
D
= variabel dummy kondisi perekonomian negara
Hambatan Nontarif (Nontariffs Barrier)
Semenjak berakhirnya Perang Dunia II, hambatan tarif mulai berkurang
bahkan dihapuskan, pemerintah berbagai negara memiliki kecenderungan untuk
melindungi industri-industri domestik dengan memberlakukan berbagai macam
hambatan non-tarif (Salvatore 1997). Berdasarkan hasil perundingan GATT pada
putaran Uruguay, terdapat beberapa kesepakatan mengenai jenis- jenis hambatan
non tarif, antara lain:
1. Kuota Impor
Kuota impor digunakan untuk melindungi sektor industri tertentu.
Pada negara maju, hambatan ini umumnya digunakan untuk melindungi

10

2.

3.

4.

5.

6.

7.

sektor pertanian, sementara pada negara berkembang digunakan untuk
melindungi sektor manufaktur.
Subsidi Ekspor
Subsidi ekspor diberikan oleh negara kepada perusahaanperusahaan untuk meningkatkan ekspor. Bentuk subsidi berupa pinjaman
ekspor sebenarnya telah disepakati untuk dilarang dalam perdagangan
internasional. Peningkatan pemberian subsidi yang berlebihan dapat
menimbulkan daya saing yang berlebihan pula sehingga dapat menjadi
ancaman bagi kelangsungan perdagangan internasional.
Pembatasan Ekspor Secara Sukarela
Tindakan pembatasan ekspor secara sukarela merupakan implikasi
dari adanya pemaksaan untuk pengurangan ekspor yang dilakukan
bersamaan dengan hambatan perdagangan yang lebih keras oleh suatu
negara pengimpor. Tujuannya yakni untuk melindungi sektor tertentu yang
menurun karena adanya produk impor.
Hambatan Birokrasi
Pemerintah suatu negara memberlakukan kontrol ketat terhadap
standar kesehatan, keamanan, dan prosedur kepabeanan. Tindakan ini
dinilai efisien untuk membatasi impor. Akan tetapi, pada praktiknya
pemerintah ingin membatasi impor tanpa mengumumkannya secara formal
sehingga seringkali menimbulkan hambatan dalam perdagangan
internasional.
Kartel Internasional
Kartel merupakan bentuk sebuah organisasi produsen tertentu yang
anggotanya terdiri dari beberapa negara. Tujuan pembentukan kartel yakni
untuk membatasi output serta mengendalikan kegiatan ekspor sehingga
dapat digunakan untuk memaksimalkan keuntungan bagi negara- negara
tertentu. Praktik kartel menjadi merugikan bagi negara konsumen karena
harus membeli produk yang terbayas dengan harga relatif mahal.
Tindakan Anti- Dumping
Tindakan anti-dumping merupakan langkah yang dilakukan
pemerintah
sebagai respon terhadap adanya pengaduan serta keluhan
produsen
domestik karena perusahaan asing tertentu menjual
komoditinya dengan harga dibawah biaya produksi atau lebih murah
dibandingkan harga pasar
negara asalnya.
Standar Lingkungan
Isu standar lingkungan yang semakin gencar dibahas dan telah
diberlakukan oleh negara- negara maju berdampak pada perdagangan negaranegara berkembang. Standar lingkungan yang diberlakukan oleh negara maju
dikhawatirkan menjadi hambatan perdagangan terutama dalam segi kinerja
ekspor bagi negara- negara berkembang. Bagi negara maju, standar
lingkungan seringkali digunakan untuk tujuan tidak langsung yaitu untuk
melindungi industri-industri dalam negerinya (Verbruggen et al. 1995).
Penelitian Terdahulu

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Azizah (2015) mengenai Analisis
Ekspor Crude Palm Oil (CPO) Indonesia di Uni Eropa tahun 2000-2011, faktorfaktor yang berpengaruh signifikan terhadap ekspor CPO Indonesia di Uni Eropa

11
adalah produksi CPO Indonesia dan GDP riil perkapita negara importir. Analisis
ini menggunakan metode regresi data panel dengan menggunakan data time series
tahun 2000-2011 dan variabel yang digunakan adalah produksi CPO Indonesia,
harga CPO Internasional, kurs nilai mata uang euro ke rupiah, GDP riil perkapita
negara importir dan kebijakan Renewable Energy Directive 2009 (RED09).
Abimanyu (2014) melakukan penelitian mengenai Dampak Kebijakan
Ecolabel Uni Eropa terhadap Ekspor Furnitur Indonesia di Pasar Uni Eropa
dengan menggunakan metode Revealed Comparative Advantage (RCA) dan
Export Products Dynamic (EPD) untuk menganalisis keunggulan komparatif dan
kompetitif serta metode regresi data panel untuk menganalisis dampak kebijakan
Ecolabel Uni Eropa. Data time series yang digunakan tahun 2006 – 2012. Hasil
estimasi menyatakan GDP riil negara tujuan ekspor, nilai tukar Rupiah riil,
kebijakan Ecolabel Uni Eropa Indeks Harga Konsumen Indonesia dan
berpengaruh nyata terhadap nilai ekspor furniture kayu Indonesia sedangkan jarak
ekonomi tidak berpengaruh nyata terhadap nilai ekspor furnitur kayu Indonesia.
Gonel et al. (2012) meneliti tentang pengaruh standar internasional pada
arus ekspor Turki ke negara Uni Eropa. Penelitian ini menggunakan data
sertifikasi ISO 9000 sebagai pendekatan untuk standar internasional dan
mengadopsi model gravity dengan sampel dari negara-negara Uni Eropa 15
(EU15) pada tahun 1993-2011. Variabel yang digunakan GDP Turki dan negara
tujuan, ISO Turki dan negara tujuan, infrastruktur Turki dan Negara Tujuan. Hasil
dari penelitian ini GDP negara tujuan selalu berpengaruh signifikan dan positif,
sedangkan GDP Turki tidak berpengaruh. Sebelum dan setelah dimasukannya
variabel infrastruktur ISO Turki berpengaruh signifikan dan positif sedangkan
ISO negara tujuan bukan merupakan hambatan perdagangan karena sebelum
dimasukannya variabel infrastruktur tidak signifikan dan setelah dimasukannya
infrastruktur menjadi berpengaruh signifikan tetapi koefisiennya sangat kecil.
Penelitian ini menyarankan adopsi ISO 9000 di promosi ekspor Turki ke negara
mitra dagang Eropa yang mungkin diindikasi dari signal kualitas produk yang
tinggi.
Trabelsi (2013) melakukan penelitian mengenai Agricultural trade face to
Non-tariff barriers: A gravity model for the Euro-Med area. Penelitian ini
mengunakan analisis data panel dengan model gravity. Data yang digunakan data
time series tahun 1996 dan 2008 dengan cross section negara-negara anggota Uni
Eropa. Variabel-variabel yang digunakan adalah GDP negara pengekspor, GDP
negara pengimpor, jarak ekonomi, BNT; perbedaan antara tariff trade
restrictiveness index (TTRI) dan overall trade restriction index (OTRI), tariff
trade restrictiveness index (TTRI), dan dummy (bahasa dan perbatasan). Hasil
estimasi menyatakan hambatan non-tarif umumnya memiliki dampak negatif pada
perdagangan produk pertanian. SEMC tidak signifikan dipengaruhi oleh langkahlangkah ini dalam ekspor mereka ke utara Euro-Med untuk tahun 2008.
Sedangkan ekspor mereka di daerah selatan, dampak negatif dari hambatan nontarif tampak lebih sensitif untuk ekspor Uni Eropa pada tahun 1996 daripada
tahun 2008.
Anggoro (2015) melakukan penelitian mengenai Hambatan Non-Tarif dan
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Kakao Indonesia ke Pasar Uni Eropa.
Penelitian ini mengunakan analisis data panel dengan model gravity. Data yang
digunakan data time series tahun 2001-2012 dengan cross section Perancis,

12
Belanda, Jerman, Spanyol, United Kingdom, Belgia, Estonia, Bulgaria. Variabelvariabel yang digunakan adalah jarak ekonomi, GDP per kapita negara Indonesia,
GDP per kapita negara tujuan ekspor, nilai tukar Indonesia terhadap negara tujuan
ekspor dan tarif. Hasil estimasi menyatakan bahwa GDP per kapita negara
eksportir dan importir, jarak ekonomi antar negara eksportir dan importir, nilai
tukar negara eksportir terhadap negara importir, dan tarif berpengaruh signifikan
terhadap ekspor kakao Indonesia. Hasil perhitungan nilai hambatan non-tarif
menunjukan bahwa hambatan non-tarif tertinggi adalah Bulgaria.
Relevansi dengan Penelitian Sebelumnya
Penelitian sebelumnya membahas faktor-faktor yang memengaruhi ekspor
Crude Palm Oil (CPO) Indonesia di Uni Eropa tahun 2000 – 2011 dengan metode
regresi data panel. Penelitian ini membahas daya saing komoditi minyak sawit dan
dampak Renewable Energy Directive (RED) Uni Eropa terhadap ekspornya di
pasar Uni Eropa dengan menggunakan analisis Revealed Comparative Advantage
(RCA) dan Export Product Dynamics (EPD) untuk menganalisis daya saing
komoditi minyak sawit serta metode gravity model untuk menganalisis dampak
Renewable Energy Directive (RED) Uni Eropa terhadap ekspor minyak sawit
Indonesia. Tahun pengamatan dalam penelitian sebelumnya sejak tahun 2001
hingga 2011. Penelitian ini menggunakan delapan tahun pengamatan sejak tahun
2005 hingga 2014.
Variabel yang digunakan dalam penelitian terdahulu adalah produksi CPO
Indonesia, harga CPO internasional, kurs nilai mata uang euro ke rupiah, GDP riil
perkapita negara pengimpor, dan kebijakan Renewable Energy Directive 2009
(RED09) sehingga dapat dilihat bahwa penelitian terdahulu ini lebih melihat dari
sisi penawaran ekspor CPO. Dalam penelitian ini menggunakan varibel GDP riil
perkapita negara tujuan ekspor, populasi negara tujuan ekspor, nilai tukar Rupiah
riil terhadap negara tujuan, harga ekspor minyak sawit Indonesia, jarak ekonomi,
dan variabel dummy (Renewable Energy Directive) sehingga dalam penelitian ini
lebih melihat dari sisi permintaan minyak sawit. Negara yang dianalisis penelitian
sebelumnya hanya enam negara tujuan ekspor di kawasan Uni Eropa memasukan
Rusia dan Ukraina yang bukan anggota Uni Eropa sedangkan penelitian ini
menganalisis tujuh negara anggota Uni Eropa.
Kerangka Pemikiran
Komoditi minyak sawit mentah merupakan penyumbang devisa non-migas
terbesar untuk Indonesia sehingga merupakan penyumbang utama terhadap PDB
sebesar 4.5 persen dan hampir 7 persen dari total nilai ekspor untuk tahun 2014.
Uni Eropa merupakan tujuan ekspor minyak sawit mentah Indonesia terbesar kedua
setelah India. Pada tahun 2014, ekspor minyak sawit mentah Indonesia di pasar
Uni Eropa mencapai 33.85 persen yang merupakan negara tujuan ekspor terbesar
kedua setelah India (49.96 persen).
Uni Eropa pada tanggal 23 April 2009 membuat Renewable Energy
Directive (RED) yang menetapkan kebijakan secara keseluruhan untuk produksi
dan promosi energi dari sumber terbarukan di Uni Eropa. Renewable Energy
Directive (RED) dapat menyebabkan ketidakstabilan volume dan nilai ekspor

13
minyak sawit Indonesia. Ketidakstabilan ini pada akhirnya akan menurunkan nilai
ekspor minyak sawit Indonesia di pasar Uni Eropa.
Selain kebijakan Renewable Energy Directive (RED), ekspor minyak kelapa
sawit tentunya dipengaruhi pula oleh faktor-faktor lainnya. Maka dari itu, faktorfaktor yang memengaruhi ekspor minyak sawit Indonesia lainnya perlu
diidentifikasi dan juga kinerja perdagangannya di pasar Uni Eropa sebagai
gambaran kondisi ekspornya supaya nilai ekspor minyak sawit Indonesia di pasar
Uni Eropa tidak menurun.
Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui kinerja perdagangan minyak sawit Indonesia di pasar Uni Eropa
dengan melihat arus perdagangan, nilai RCA, dan EPD. Untuk menganalisis
faktor-faktor yang memengaruhi ekspor minyak kelapa sawit Indonesia dan
melihat dampak kebijakan Renewable Energy Directive (RED) Uni Eropa
terhadap ekspor minyak sawit mentah Indonesia di pasar Uni Eropa digunakan
analisis data panel dengan model gravity. Faktor-faktor yang akan diteliti antara
lain adalah GDP riil perkapita negara tujuan ekspor, populasi negara tujuan ekspor,
nilai tukar Rupiah riil terhadap negara tujuan ekspor, harga ekspor minyak sawit
Indonesia, jarak ekonomi, dan varibel dummy (Renewable Energy Directive).
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.

14
Minyak sawit merupakan
penyumbang devisa nonmigas terbesar

Uni Eropa adalah tujuan
ekspor
minyak
sawit
terbesar kedua

Uni Eropa menetapkan Renewable Energy Directive
Ketidakstabilan volume dan nilai ekspor minyak sawit
mentah

Penurunan nilai ekspor minyak sawit Indonesia

Analisis
kondisi
daya saing minyak
sawit Indonesia

Analisis faktor-faktor
yang mempengaruhi
ekspor minyak sawit
Indonesia

Analisis dampak Renewable
Energy Directive terhadap
ekspor minyak sawit
Indonesia

Revealed
Comparative
Advantage

Export Product
Dynamics

Gravity Model

Rekomendasi pengendalian nilai ekspor minyak sawit Indonesia di
pasar Uni Eropa
Gambar 4 Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian mengenai faktor-faktor yang memengaruhi ekspor
minyak sawit mentah Indonesia ini antara lain:
1. GDP riil perkapita negara tujuan ekspor mempunyai pengaruh positif
terhadap nilai ekspor minyak sawit Indonesia karena semakin besar GDP
riil perkapita akan meningkatkan daya beli masyarakat dan meningkatkan
permintaan ekspor.
2. Populasi negara tujuan ekspor memiliki hubungan positif dengan ekspor
minyak sawit, besarnya populasi menunjukan kapasitas suatu negara.
Semakin besar populasi akan meningkatkan permintaan ekspor.

15
3. Nilai tukar Rupiah riil terhadap negara tujuan ekspor memiliki hubungan
positif dengan ekspor minyak sawit Indonesia. Terdepresiasinya mata uang
domestik terhadap mata uang asing akan menyebabkan harga komoditi
dalam negeri relatif lebih murah. Hal ini mendorong peningkatan ekspor
karena negara tujuan hanya butuh sedikit uang untuk mengimpor.
4. Harga ekspor mempunyai pengaruh negatif terhadap nilai ekspor minyak
sawit Indonesia. Kenaikan harga ekspor suatu negara akan menyebabkan
konsumen luar negeri mengurangi jumlah permintaan terhadap barang
tersebut, sehingga menyebabkan nilai ekspor dari suatu negara akan
mengalami penurunan .
5. Jarak ekonomi mempunyai pengaruh negatif terhadap aliran perdangan
ekspor komoditi minyak sawit Indonesia. Hal ini karena ketika jarak
ekonomi dari Indonesia ke negara pengimpor makin jauh maka maka
negara pengimpor akan lebih susah untuk melakukan impor ke Indonesia.
6. Dummy (Renewable Energy Directive) mempunyai pengaruh negatif
terhadap nilai ekspor komoditi minyak sawit Indonesia.

METODE
Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder. Data yang diamati merupakan
data gabungan time series dan cross section atau panel data dengan data
penampang lintangnya adalah salah satu pengimpor terbesar minyak sawit ke
Indonesia yaitu tujuh negara anggota Uni Eropa dan data deret waktu tahunan dari
tahun 2005 sampai tahun 2014. Adapun pemilihan komoditi yang diteliti yaitu
minyak sawit karena komoditi ini memiliki nilai ekspor tertinggi di dunia pada
tahun 2014.
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi: nilai ekspor komoditi
minyak sawit mentah Indonesia, GDP riil perkapita dengan tahun dasar 2005
masing-masing negara, populasi negara tujuan ekspor, nilai tukar riil rupiah
terhadap negara tujuan, dan jarak antara Indonesia dengan negara tujuan ekspor.
Data tersebut diperoleh dari: Badan Pusat Statistik, Kementerian Pertanian,
Kementerian Perdagangan, United Nation Commodity Trade (UN Comtrade),
United Nation Conference on Trade and Development (UNCTAD), Bank Dunia
(World Development Indicator), Centre d’Etudes Prospectives et d’Informations
Internatioanales (CEPII) dan penelusuran situs-situs yang terkait dengan
penelitian.

16
Tabel 2 Data dan Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian
No Data yang Digunakan
1
Nilai dan volume ekspor komoditi minyak
sawit Indonesia (USD)
2
Populasi negara tujuan ekspor komoditi
minyak sawit (jiwa)
3
4
5
6

GDP riil perkapita negara tujuan ekspor
komoditas minyak sawit (USD)
Nilai tukar riil efektif (Rp/LCU)
Harga ekspor minyak sawit
Jarak geografis antara Indonesia dan negara
tujuan ekspor komoditas minyak sawit (Km)

Sumber
UN Comtrade
(comtrade.un.org)
World Development
Indicator
(www.worldbank.org)
World Develoment Indicator
(www.worldbank.org)
UNCTAD
UN Comtrade
(comtrade.un.org)
CEPII

Definisi variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian
Pada penerapan konsep data panel gravity model, variabel-variabel yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu :
Nilai Ekspor
Perdagangan internasional mempunyai pengaruh terhadap perekonomian
nasional. Hubungan pendapatan nasional dengan pendekatan pengeluaran
(expenditure approach) adalah : Y = C + I + G + (X-M). Dalam hal ini (X-M)
adalah ekspor neto. Ekspor neto bernilai positif ketika nilai ekspor lebih besar dari
nilai impor dan negatif ketika nilai impor lebih besar daripada nilai ekspor
(Mankiw 2006).
Gross Domestic Product (GDP) per kapita riil negara tujuan
Gross Domestic Product (GDP) per kapita merupakan pendapatan rata-rata
penduduk di suatu negara pada waktu tertentu yang dapat digunakan sebagai salah
satu indikator dalam mengukur tingkat konsumsi atau kemampuan daya beli suatu
negara atas barang dan jasa tertentu. Gross Domestic Product (GDP) per kapita
riil diperoleh dari pendapatan nasional pada tahun tertentu dibagi dengan jumlah
penduduk suatu negara pada tahun tertentu tersebut (Wardhana 2011). Kenaikan
pendapatan akan menyebabkan jumlah komoditi yang diminta lebih banyak pada
setiap harga tertentu. Pada penelitian ini, pendapatan yang digunakan adalah GDP
per kapita riil negara tujuan per tahun. Ketika GDP per kapita riil negara tujuan
ekspor meningkat maka uang yang siap dibelanjakan masyarakat pun meningkat.
Peningkatan pendapatan menyebabkan masyarakat dapat meningkatkan
konsumsinya.
Populasi
Jumlah penduduk menjadi salah satu faktor penentu dalam permintaan
ekspor. Semakin banyaknya jumlah penduduk suatu negara maka semakin banyak
juga permintaan negara tersebut terhadap suatu barang untuk memenuhi
kebutuhan masyarakatnya (cateris paribus). Kenaikan jumlah penduduk akan
menggeser kurva permintaan ke kanan atas dan memperlihatkan bahwa dengan

17
naiknya jumlah penduduk maka jumlah komoditi yang diminta pada setiap tingkat
harga akan lebih banyak (Lipsey 1995).
Nilai tukar riil
Nilai tukar riil (real exchange rate) merupakan harga suatu mata uang
dalam satuan mata uang asing atau jumlah mata uang suatu negara asing
yangharus dibayarkan untuk mendapatkan satu unit uang domestik (Lipsey 1997).
Nilai tukar terbagi menjadi dua, yaitu nilai tukar riil dan nilai tukar nominal.
Menurut Mankiw (2006), nilai tukar nominal (nominal exchange rate) merupakan
harga relatif dari mata uang dua negara, sedangkan nilai tukar riil (real exchange
rate) adalah harga relatif dari barang-barang antara dua negara. Secara matematis,
nilai tukar riil dapat dijelaskan sebagai berikut :
� �



=





� ×

� �

Jika nilai tukar riil tinggi, barang-barang luar negeri relatif lebih murah dan
barang-barang domestik relatif lebih mahal. Sebaliknya jika nilai tukar riil rendah,
barang-barang luar negeri relatif lebih mahal dan barang-barang domestik relatif
lebih murah.