Studi Histopatologi Organ Limfoid Mencit (Mus Musculus) Dengan Pretreatment Untuk Penyiapan Hewan Penelitian Bidang Biomedis

STUDI HISTOPATOLOGI ORGAN LIMFOID MENCIT
(Mus musculus) DENGAN PRETREATMENT UNTUK
PENYIAPAN HEWAN PENELITIAN BIDANG BIOMEDIS

RIRIN ARIYANI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Histopatologi
Organ Limfoid Mencit (Mus musculus) dengan Pretreatment untuk Penyiapan
Hewan Penelitian Bidang Biomedis adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Ririn Ariyani
NIM B04110057

ABSTRAK
RIRIN ARIYANI. Studi Histopatologi Organ Limfoid Mencit (Mus musculus)
dengan Pretreatment untuk Penyiapan Hewan Penelitian Bidang Biomedis.
Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH dan HUDA SHALAHUDIN DARUSMAN.
Pretreatment diperlukan sebagai proses standardisasi hewan laboratorium,
dalam hal ini adalah mencit (Mus musculus), untuk penelitian biomedis. Penelitian
ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai efek penggunaan dua jenis
bedding dan mengeksplorasi pola-pola pretreatment dengan pemberian sediaan
antiinfeksi. Tiga ekor mencit induk jantan dan 9 ekor betina dari pemasok
memperoleh pretreatment dan dipelihara menggunakan bedding kain kaos.
Perkawinan 1 jantan dengan 3 betina dilakukan setelah uji TTGT menunjukkan 0
telur cacing cestoda dan nematoda. Mencit betina anakan berjumlah 15 ekor berusia
4 minggu dibagi ke dalam 5 kelompok dan dipelihara menggunakan bedding kain
kaos. Kelompok A tidak memperoleh pretreatment, kelompok C memperoleh
antihelmintik (albendazol), kelompok D memperoleh antihelmintik dan antibiotik

(azitromisin), kelompok E memperoleh antihelmintik dan antiprotozoa
(metronidazol), dan kelompok F memperoleh ketiga sediaan. Kelompok B terdiri
atas 3 ekor mencit betina berusia 4 minggu yang diperoleh dari pemasok dan
dipelihara menggunakan bedding serutan kayu. Pembagian kelompok dan asal
mencit jantan, sama seperti kelompok betina. Kelompok A dan B dibandingkan
untuk mencapai tujuan pertama. Hasil terbaik diantara keduanya, yaitu kelompok
A, dibandingkan dengan kelompok C, D, E, dan F untuk mencapai tujuan kedua.
Hasil tersebut diperoleh berdasarkan pengamatan preparat histopatologi organ
limfoid mencit, yaitu timus, limpa, dan limfonodus. Variabel pengamatan ketiga
organ limfoid berbeda-beda berdasarkan morfologinya. Sediaan diberikan sesuai
jadwal yang telah ditentukan. Seluruh kegiatan pretreatment berlangsung selama
25 hari. Kesimpulan penelitian ini adalah penggunaan bedding kain kaos mampu
mencegah re-infeksi patogen lingkungan, seperti kecacingan dan meminimalisir
infeksi patogen alami yang berada di dalam tubuh mencit. Bedding kain kaos
mampu mencegah dan mengurangi gangguan kesehatan akibat penggunaan
bedding serutan kayu, seperti iritasi saluran pernapasan atas. Sediaan antiinfeksi
menyebabkan perubahan nilai kepadatan sel limfosit pada pusat-pusat folikel organ
limfoid. Kelompok mencit jantan memberikan respon morfologi dan fungsi organ
limfoid lebih baik terhadap sediaan antiinfeksi dibandingkan mencit betina. Mencit
kelompok C memiliki nilai kepadatan sel limfosit paling mendekati kelompok A.

Oleh karena itu, pretreatment dengan kedua sediaan tersebut dinilai paling ideal
untuk digunakan dalam penelitian biomedis dengan acuan perubahan mikroskopis
pada organ limfoid.
Kata kunci: mencit, pretreatment, timus, limpa, limfonodus.

ABSTRACT
RIRIN ARIYANI. Histopathological Study of The Mouse’s (Mus musculus)
Lymphoid Organ with Pretreatment for Preparation of Experimental Biomedic
Research. Supervised by SRI ESTUNINGSIH and HUDA SHALAHUDIN
DARUSMAN.
Pretreatment is a necessary process for standardization of laboratory animals,
in this case is mouse (Mus musculus), for biomedical research. This study aimed to
portray the effect from 2 kind of beddings and explore patterns of pretreatment with
administration of anti-infective drug. Three male parent mice and 9 female that
purchased from supplier received pretreatment and maintained using cloth bedding.
One male mated with 3 female after stool test showed 0 ova of cestode and
nematode. Four weeks old female child mice consisted of 15 were divided into 5
groups and maintained using cloth bedding. Group A didn’t receive pretreatment,
group C received anthelmintic (albendazole), group D received anthelmintic and
antibiotic (azithromycin), group E received anthelmintic and antiprotozoal

(metronidazole), and group F received all of them. Group B consisted of 3 female
mice (4 weeks old), purchased from supplier, maintained with wood chips bedding.
The distribution and origin of male mice groups were similar to female groups.
Group A and B were compared to achieve first goal. The best result from both,
which was group A, was compared to group C, D, E, and F to achieve second goal.
The result was evaluated by observing histopathologycal slide of lymphoid organ
(thymus, spleen, and lymph node). Observation variable for each lymphoid organ
were determined based to each morphology. Drug were administered according to
the schedule. All stages of pretreatment activity were carried out for 25 days. In
conclusion, cloth bedding was able to prevent re-infection from environmental
pathogen, such as worm infestation and minimize natural pathogen infection that
exist mouse’s body. Cloth bedding was able to prevent and reduce health problems
caused by wood chips as bedding, for example upper respiratory infection. Antiinfective drug caused alteration of lymphocyte cell’s density in lymphoid organ.
Male mouse had better morphological and functional responses to anti-infective
drug than female. Group C showed the closest density to group A. Therefore,
pretreatment with anthelmintic and antibiotic was considered as the most ideal for
biomedical research with reference to microscopic changes in lymphoid organ.
Keywords: mice (mouse), pretreatment, spleen, thymus, lymph node.

STUDI HISTOPATOLOGI ORGAN LIMFOID MENCIT

(Mus musculus) DENGAN PRETREATMENT UNTUK
PENYIAPAN HEWAN PENELITIAN BIDANG BIOMEDIS

RIRIN ARIYANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
Pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Alhamdulillahi rabbil’alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada
Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia yang telah dilimpahkan. Rahmat
terbesar Allah subhanahu wa ta’ala yang telah diberikan kepada penulis adalah

kedua orang tua serta adik yang selalu mencintai dengan tulus dan mendukung
setiap langkah penulis. Penulis merasa bersyukur dan berterima kasih atas doa,
dukungan, serta kasih sayang dari keluarga besar dan teman-teman.
Rasa hormat dan terima kasih penulis ucapkan kepada Dr drh Sri Estuningsih,
MSi APVet selaku dosen pembimbing tugas akhir dan dosen pembimbing
akademik yang penuh dengan kesabaran memberikan ilmu, semangat, serta saran
untuk perkembangan diri penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada Drh Huda Shalahudin Darusman, MSi PhD yang telah membimbing penulis
menyusun karya ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh dosen serta
staf di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, khususnya di Bagian
Patologi Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi. Terima kasih dan
penghargaan penulis sampaikan kepada Bagian Patologi yang telah membantu serta
mendukung sebagian pelaksanaan penelitian ini dengan menyediakan fasilitas
maupun bahan untuk histopatologi.
Penulis berharap karya tulis ini dapat bermanfaat bagi peneliti lain.

Bogor, September 2015
Ririn Ariyani

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR BAGAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

3

METODE

3

Bahan

3


Alat

4

Prosedur Penelitian

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

8

Kecacingan

8

Pengaruh Penggunaan Bedding terhadap Organ Limfoid

9


Pengaruh Pretreatment terhadap Organ Limfoid
SIMPULAN DAN SARAN

11
18

Simpulan

18

Saran

19

DAFTAR PUSTAKA

19

RIWAYAT HIDUP


22

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

5

6

7
8
9

Pembagian kandang kelompok adaptasi
Pembagian kandang kelompok pretreatment
Jadwal kegiatan penelitian dan pemberian pretreatment
Perbandingan relatif korteks dengan medula serta kepadatan populasi sel
limfosit pada organ timus mencit dengan penggunaan bedding kain kaos
dan serutan kayu
Jumlah pulpa putih, diameter rata-rata pulpa putih, serta kepadatan
populasi sel limfosit pada organ limpa mencit dengan penggunaan
bedding kain kaos dan serutan kayu
Jumlah folikel limfoid, diameter rata-rata folikel limfoid, serta
kepadatan populasi sel limfosit pada organ limfonodus mencit
dengan penggunaan bedding kain kaos dan serutan kayu
Perbandingan relatif korteks dengan medula dan kepadatan
populasi sel limfosit pada organ timus mencit
Jumlah pulpa putih, diameter rata-rata pulpa putih, dan kepadatan
populasi sel limfosit pada organ limpa mencit
Jumlah folikel limfoid, diameter rata-rata folikel limfoid, dan
kepadatan populasi sel limfosit pada organ limfonodus mencit

5
6
6
9

10

10

12
15
17

DAFTAR GAMBAR
1 Fotografi mikro timus mencit jantan kelompok C (albendazol) pada
perbesaran 4x
2 Fotografi mikro limpa mencit jantan kelompok C (albendazol) pada
perbesaran 4x
3 Fotografi mikro limfonodus mencit jantan kelompok C
(albendazol) pada perbesaran 4x

11
14
16

DAFTAR BAGAN
1 Alur penelitian

3

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hewan laboratorium menurut UU nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan
dan Kesehatan Hewan merupakan hewan yang dipelihara khusus sebagai hewan
percobaan, penelitian, pengujian, pengajaran, dan penghasil bahan biomedik
ataupun dikembangkan menjadi hewan model untuk penyakit manusia. Hewan
harus memenuhi persyaratan tertentu, seperti faktor genetis atau keturunan,
lingkungan yang baik, serta dapat memberikan reaksi biologis sesuai dengan tujuan
penelitian (NRC 2010). Mencit merupakan salah satu hewan yang sering digunakan
dalam pendidikan dan penelitian bidang biosains. Sebanyak 59% mencit digunakan
sebagai hewan laboratorium di Uni Eropa sepanjang tahun 2010 (EU Comission
2010). Mencit bersifat cepat berkembang biak, mudah dipelihara dalam jumlah
banyak, memiliki sifat anatomis dan fisiologis yang terkarakteristik dengan baik,
serta ekonomis (Malole dan Pramono 1989).
Pemasok mencit untuk penelitian di Indonesia belum mampu menghasilkan
hewan yang memenuhi standar, sehingga evaluasi mutu jaringan organ untuk
histologi dan histopatologi perlu menjadi perhatian. Manajemen pemeliharaan dan
lingkungan yang kurang baik, terutama sanitasi, juga perlu menjadi perhatian.
Unsur tersebut tidak dapat dipungkiri dapat mengakibatkan perubahan fisiologi
oleh patogen alami mencit, salah satunya endoparasit penyebab kecacingan (Malole
dan Pramono 1989). Kehadiran patogen alami jarang memperlihatkan gejala klinis.
Perubahan fisiologi yang ditimbulkan dapat mengakibatkan mencit kurang cocok
untuk digunakan dalam penelitian (Baker 1998). Pembebasan dari patogen perlu
dilakukan sebagai salah satu cara mempersiapkan mencit yang mendekati standar
untuk penelitian. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan pemberian pretreatment,
yaitu serangkaian tindakan penyiapan hewan laboratorium, yang bertujuan untuk
menghilangkan patogen di dalam tubuh dengan menggunakan sediaan antiinfeksi.
Azitromisin (Zithromax®) merupakan antibiotik oral dengan spektrum luas
yang digunakan untuk terapi infeksi saluran pernapasan atas (Pfizer 2013).
Albendazol (Albendazole®) merupakan anticacing oral spektrum luas dengan efek
larvasidal dan ovosidal. Albendazol digunakan pada terapi infeksi cacing ascaris,
trichuris (cacing cambuk), strongylida, serta fase sistiserkus dari cacing pita
(Katzung 2004). Metronidazol (Flagyl®) merupakan antiprotozoa dan antibiotik
yang dapat digunakan untuk terapi amoebiasis, giardiasis, dan infeksi organisme
anaerob (Rossi 2013). World Health Organization (WHO) menetapkan
metronidazol sebagai salah satu obat yang diperlukan sistem sistem kesehatan dasar
(WHO 2014). Ketiga sediaan antiinfeksi tidak memiliki interaksi antara satu sama
lain (Plumb 2015).
Serutan kayu hingga saat ini masih umum digunakan sebagai bedding oleh
pemasok mencit, bahkan peneliti. Hal tersebut tidak terlepas dari kepraktisan
penggunaan bedding tersebut, karena setelah digunakan dan kotor, serutan kayu
dapat langsung dibuang lalu diganti dengan yang baru. Kotoran yang menumpuk
dapat mengakibatkan peningkatan amonia di dalam kandang, sehingga potensi
infeksi Mycoplasma pulmonum, salah satu bakteri alami di saluran pernapasan
mencit, akan meningkat (Orr 2002). Kenyamanan peneliti dalam bekerja dengan

2
mencit juga akan terganggu oleh bau yang ditimbulkan. Bedding yang digunakan
harus mampu menyerap urin mencit agar kelembaban dan tingkat amonia tidak
tinggi. Penggunaan bedding kain kaos atau fleece, yang dicuci dengan desinfektan
tanpa pewangi, disarankan untuk meminimalisir terjadinya resiko tersebut (Blom et
al. 1996). Frekuensi membersihkan alas kandang juga harus diseimbangkan antara
menjaga kebersihan dengan menjaga agar mencit tidak stres karena kehilangan
scent-marking (Orr 2002).
Sistem pertahanan pada mamalia terdiri atas organ limfoid primer, yaitu timus
dan sumsum tulang, serta organ limfoid sekunder, yaitu jaringan limfoid mukosa,
limfonodus, dan limpa. Seluruh organ tersebut bekerja sama untuk
mempertahankan tubuh dari serangan antigen (Kuby 1997). Timus merupakan
organ yang terdiri atas sel-sel epitel dan Associated Lymphoid Tissue (ALT). Timus
berfungsi sebagai tempat pendewasaan timosit, yaitu sel progenitor hematopoietik
yang berasal dari sumsum tulang. Timopoiesis merupakan proses diferensiasi
timosit menjadi sel limfosit T dewasa di timus (Schwarz dan Bhandoola 2006).
Limpa merupakan organ limfoid terbesar, berfungsi mengakumulasi limfosit dan
makrofag, degradasi eritrosit, tempat cadangan darah, serta organ pertahanan
terhadap antigen yang masuk ke dalam darah (Junqueira et al. 2007). Folikel
limfoid berada di pulpa putih yang tersebar di dalam pulpa merah, berbentuk oval,
dan berwarna biru keunguan. Folikel limfoid umumnya disusun oleh sel limfosit B,
sel limfosit T, makrofag, dan sel debris (Ward et al. 1999). Limfonodus merupakan
organ limfoid sekunder dan bekerja menyaring antigen yang dibawa oleh cairan di
dalam pembuluh limfe (Linden et al. 2012). Korteks luar limfonodus berisi folikel
yang didominasi oleh sel limfosit B, sedangkan korteks dalam (parakorteks)
didominasi oleh sel limfosit T (Katakai et al. 2004).

Perumusan Masalah
Ketersediaan hewan laboratorium terstandar sampai saat ini belum ada di
Indonesia, sehingga perlu upaya untuk memperbaiki kondisi tersebut. Penggunaan
bedding kain kaos sebagai alternatif pengganti serutan kayu diharapkan mampu
mengurangi gangguan kesehatan pada mencit, seperti yang telah disebutkan.
Pretreatment dengan pemberian sediaan antiinfeksi perlu dipelajari dampaknya
agar tidak menganggu tujuan penggunaan hewan laboratorium. Pengamatan
variabel pada organ limfoid perlu dilakukan untuk menilai perubahan fungsi yang
dapat terjadi sebagai dampak penggunaan sediaan antiinfeksi.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran mengenai efek
penggunaan bedding kain kaos dan serutan kayu, serta manajemen sanitasi
pemeliharaan yang berbeda terhadap kesehatan mencit. Penelitian ini juga
bertujuan untuk mengeksplorasi pola pretreatment dengan beberapa kombinasi
pemberian sediaan antiinfeksi dengan melihat efeknya pada organ limfoid. Hal
tersebut dilakukan tidak lain untuk mendapat kualitas mencit sebagai hewan
laboratorium yang lebih baik.

3
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai tata cara
pemeliharaan dan penelitian untuk mendapatkan mencit sebagai hewan
laboratorium yang lebih baik. Informasi mengenai efek penggunaan sediaan
antiinfeksi dalam pretreatment terhadap organ limfoid juga diharapkan dapat
disampaikan melalui penelitian ini.

METODE
Alur penelitian ini secara umum dijelaskan dalam Bagan 1. Pembagian
kelompok mencit sampel disajikan dalam Tabel 1 dan 2.

Bagan 1 Alur penelitian

Bahan
Seluruh mencit sampel yang digunakan berusia 4 minggu. Mencit anakan
merupakan hasil perkawinan induk yang dikembangbiakan sendiri oleh peneliti,
seluruhnya dipelihara dengan bedding kain kaos. Mencit induk sebanyak 3 ekor
jantan dan 9 ekor betina dikawinkan dengan metode terobservasi (1:3). Mencit
anakan jantan memiliki bobot badan minimal 36.10 g, maksimal 40.60 g, dan ratarata 37.58 g. Mencit anakan betina memiliki bobot badan minimal 27.48 g,
maksimal 33.38 g, dan rata-rata 37.58 g. Sampel organ limfoid yang akan dievaluasi
adalah timus, limpa, dan limfonodus. Bahan yang digunakan untuk pemeliharaan
adalah pakan berupa pelet ayam, air mineral, desinfektan, dan larutan pengapung.

4
Sediaan antiinfeksi yang digunakan adalah azitromisin (Zithromax® 250 mg) 5
mg/kg BB, albendazol (Albendazole® 400 mg) 10 mg/kg BB, dan metronidazol
(Flagyl® 500 mg) 10 mg/kg BB. Anastesi yang digunakan untuk euthanasia adalah
ketamin 10% (Ketamil®) 100 mg/kg BB dan xylazine 2% (Ilium Xylazil-20®) 10
mg/kg BB. Bahan yang digunakan untuk fiksasi adalah Buffered Neutral Formalin
(BNF) 10 %. Bahan yang diperlukan untuk pembuatan preparat histopatologi
adalah larutan Mayer’s Hematoksilin, larutan Eosin, lithium karbonat, alkohol
teknis dengan konsentrasi bertingkat (70 %, 80 %, 90 %, 100 %), alkohol absolut
(pa), xylol (pa), eter (pa), parafin granul,larutan albumin, perekat permount, dan
methanol.

Alat
Alat yang digunakan untuk pemeliharaan adalah kotak plastik untuk kandang,
penutup kandang dari kawat, botol minum, timbangan digital, kain bahan kaos dan
serbuk gergaji sebagai bedding, dan cawan petri plastik sebagai tempat makan. Alat
untuk pemberian pretreatment adalah spoit 1 ml dan 10 ml, wadah sediaan
antiinfeksi yang telah diencerkan, gelas ukur, serta sonde lambung. Alat uji apung
adalah kamar hitung McMaster, gelas plastik, saringan, dan sendok. Alat untuk
nekropsi dan koleksi organ adalah label, kapas, peralatan bedah minor, sarung
tangan, masker, jas laboratorium, sterofoam, aluminium foil, pot organ, serta jarum
pentul. Peralatan yang digunakan untuk pembuatan preparat histopatologi adalah
tissue cassete, automatic tissue processor, mikrotom, pencetak parafin, Paraffin
Embedding Console, gelas objek, inkubator, dan gelas penutup. Preparat
histopatologi akan disimpan di dalam kotak preparat. Alat yang digunakan untuk
pengamatan adalah eyepiece camera dan mikroskop.

Prosedur Penelitian
Deteksi dan Evaluasi Kecacingan
Mencit indukan yang diperoleh dari pemasok menjalani uji apung untuk
mengetahui kecacingan. Perkawinan akan dilakukan jika seluruh mencit indukan
telah bebas dari kecacingan, ditandai dengan nol telur cacing cestoda maupun
nematoda. Penghitungan jumlah telur dilakukan dengan metode Telur dalam tiap
Gram Tinja (TTGT). Seluruh mencit sampel, baik anakan maupun yang diperoleh
dari pemasok, juga menjalani uji apung untuk mengetahui kecacingan.
Sampel feses diambil pada pagi hari secara acak per kandang sebanyak 2-4
gram, kemudian dimasukkan ke dalam plastik transparan dan diberi label berisi
keterangan kandang serta waktu pengambilan. Sampel feses per kandang
dihancurkan dengan sendok, lalu tambahkan 58-56 ml larutan pengapung. Tinja
diaduk hingga homogen dengan larutan, lalu disaring, dan destilat ditampung
dengan gelas lainnya. Destilat kemudian dihomogenkan sebelum dimasukkan ke
dalam kamar hitung McMaster dengan menggunakan pipet Pasteur. Campuran
didiamkan selama 3-5 menit, kemudian dilakukan penghitungan dengan bantuan

5
mikroskop. Telur cestoda dan nematoda dihitung dengan persamaan berikut
(Kosasih 2001):
TTGT =

Total telur kedua kamar Volume cairan pengapung + tinja
×
Volume kedua kamar
Berat tinja yang diuji

Adaptasi
Adaptasi mencit sampel dilakukan selama 7 hari. Pakan berupa pelet ayam
diberikan 2 kali sehari sebanyak 5 gram/ekor/pemberian dan air mineral secara ad
libitum. Tempat pakan dan kandang dicuci setiap hari, sedangkan tempat minum
dicuci 3 hari sekali. Bedding serutan kayu diganti jika sudah kotor, sedangkan kain
kaos direbus, dicuci menggunakan desinfektan, kemudian dikeringkan setiap hari.
Tabel 1 Pembagian kandang kelompok adaptasi
Kelompok
A betina
A jantan
B betina
B jantan

Jumlah (ekor)
3
3
3
3

Bedding
Kain kaos
Kain kaos
Serutan kayu
Serutan kayu

Perlakuan
Tanpa pemberian pretreatment
Tanpa pemberian pretreatment
Tanpa pemberian pretreatment
Tanpa pemberian pretreatment

Jumlah mencit sampel yang digunakan dalam setiap kandang dihitung
dengan formula Federer, yaitu maksimal 3 mencit. Proses penghitungan dapat
diamati di bawah ini. T merupakan jumlah kelompok perlakuan dan N merupakan
jumlah mencit dalam setiap kelompok.
Formula Federer:
Proses penghitungan:

T−1 N−1 > 1
−1 N−1 >1
N−1
>1
N
<

Pretreatment
Mencit yang memperoleh pretreatment dibagi ke dalam 4 kelompok dengan
kombinasi pemberian sediaan antiinfeksi yang berbeda-beda. Seluruh kelompok
dipelihara dengan menggunakan bedding kain kaos. Pembagian tersebut dapat
diamati pada Tabel 2.

6
Tabel 2 Pembagian kandang kelompok pretreatment
Kelompok
A betina
A jantan
C betina
C jantan
D betina
D jantan
E betina
E jantan
F betina
F jantan

Jumlah (ekor)
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3

Perlakuan
Tanpa pemberian pretreatment)
Tanpa pemberian pretreatment)
Albendazol
Albendazol
Albendazol dan azitromisin
Albendazol dan azitromisin
Albendazol dan metronidazol
Albendazol dan metronidazol
Albendazol, metronidazol, dan azitromisin
Albendazol, metronidazol, dan azitromisin

Pretreatment dilakukan sesuai dengan jadwal di dalam Tabel 2. Sonde
lambung digunakan untuk membantu pemberian sediaan.
Tabel 3 Jadwal kegiatan penelitian dan pemberian pretreatment
Perlakuan hari ke1, 2, 3
4
5, 6, 7

11, 12, 13
11
15, 16, 17
18
19, 20, 21
25
25
32

Kegiatan
Pengumpulan sampel feses per kandang
Pemberian albendazol I
Pengumpulan sampel feses per kandang
Pemberian azithromisin
Uji apung I
Pengumpulan sampel feses per kandang
Pemberian albendazol II
Pengumpulan sampel feses per kandang
Pemberian metronidazol
Uji apung II
Nekropsi dan pengambilan organ

Kandang
Semua
3-6 ♀♂
Semua
4 dan 6 ♀♂
Semua
Semua
3-6 ♀♂
Semua
4 dan 6 ♀♂
Semua
Semua

Nekropsi dan Koleksi Organ
Metode euthanasia yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
kombinasi fisik dan kimia. Mencit diinjeksi dengan ketamin (Ketamil®) dan
xylazin (Ilium Xylazil-20®) secara intraperitoneal. Sistem pernapasan mencit akan
terdepres ditandai dengan sesak napas akibat asphyxia (Longley 2008). Dislokasi
atlanto-occipitale dilakukan untuk memastikan mencit benar-benar mati sebelum
koleksi organ dilaksanakan.
Mencit diposisikan dorsoventral diatas sterofoam yang telah dilapisi
aluminium foil dan setiap ekstremitasnya difiksasi menggunakan jarum pentul.
Insisi dimulai dari area abdominal bagian hipogastrikum tepat di kranial organ
reproduksi. Insisi lapisan kulit dilakukan pada linea alba kearah kranial hingga
submandibula. Insisi dilanjutkan ke distal setiap ekstremitas, lalu kulit difiksasi
dengan jarum pentul. Limfonodus axilaris dapat ditemukan tepat di bagian axila,
baik kanan maupun kiri, sebagai suatu bulatan lunak, kenyal, berwarna krem
kecoklatan, serta berada diantara pembuluh darah dan saraf. Insisi dilakukan pada
rongga abdomen untuk mengambil limpa yang menempel pada curvatura mayor

7
lambung. Limpa normal akan terlihat merah tua, tidak terdapat nodul maupun
pembesaran, dan tepi lancip. Insisi pada rongga thorak dilakukan untuk mengambil
timus yang terletak pada mediastinum, tepatnya menempel pada kranial jantung dan
terlihat seperti lemak (Linden et al. 2012). Perubahan pada organ diamati dan
dicatat sebelum dimasukkan ke dalam larutan BNF 10%. Seluruh organ yang
berasal dari satu mencit diletakkan pada pot yang sama, kemudian diberi label yang
berisi identitas sampel dan tanggal koleksi.

Pembuatan Sediaan Histopatologi
Organ dari mencit yang telah diawetkan dalam larutan BNF 10% selama tujuh
hari, diambil dan dilakukan grossing, yaitu pemotongan setebal kurang lebih 0.5
cm. Potongan organ dimasukkan ke dalam tissue cassete untuk proses dehidrasi.
Dehidrasi dilakukan dengan merendam organ-organ tersebut secara berturut-turut
ke dalam alkohol 70%, 80%, 90%, alkohol absolut (pa) I, alkohol absolut (pa) II,
xylol (pa) I, xylol (pa) II, parafin I, dan parafin II masing-masing selama dua jam.
Proses tersebut berjalan secara otomatis dalam alat tissue processor. Parafin
dimasukkan ke alat pencetak sebagai dasar untuk melekatkan organ. Potongan
organ selanjutnya dimasukkan ke dalam alat pencetak berisi parafin cair dan diatur
letaknya agar tetap berada di tengah blok parafin. Parafin ditambahkan kembali
setelah mulai mengeras sampai alat pencetak penuh, lalu didiamkan hingga
mengeras kembali dan disimpan hingga pemotongan. Jaringan dipotong dengan
ketebalan 5 µm menggunakan mikrotom. Hasil pemotongan yang berbentuk pita
(ribbon) diletakkan di atas permukaan air bersuhu 45°C untuk menghilangkan
lipatan akibat pemotongan. Sediaan kemudian diangkat dari permukaan air dengan
gelas objek yang telah dilapisi larutan albumin yang berfungsi sebagai perekat.
Sediaan dikeringkan dalam inkubator bersuhu 60°C selama satu malam. Sediaan,
ketika proses pewarnaan, dimasukkan ke dalam xylol (pa) untuk proses
deparafinisasi sebanyak dua kali masing-masing selama dua menit, dilanjutkan
proses rehidrasi. Proses tersebut diawali dengan pencelupan ke alkohol absolut (pa),
alkohol 90% hingga alkohol 80% masing-masing selama dua menit. Sediaan dicuci
dengan air kran mengalir lalu dikeringkan untuk diwarnai.
Proses pewarnaan diawali dengan aplikasi reagen pewarnaan Mayer’s
Hematoksilin selama delapan menit, dibilas dengan air mengalir, dicuci dengan
lithium karbonat selama 15-30 detik, dibilas kembali dengan air mengalir. Preparat
dicelupkan ke dalam pewarna Eosin selama dua menit, dicuci dengan air mengalir,
dan akhirnya dikeringkan. Sediaan dicel/upkan ke dalam alkohol 90% sebanyak
sepuluh kali celupan, alkohol absolut (pa) I sebanyak 10 kali celupan, alkohol
absolut (pa) II selama 2 menit, xylol (pa) I selama satu menit dan xylol (pa) II
selama dua menit setelah kering. Perekat permount diteteskan pada sediaan, ditutup
dengan gelas penutup, dan dibiarkan kering. Sediaan siap diamati dan dianalisis
menggunakan mikroskop setelah perekat kering (Sari 2012).

8
Variabel Pengamatan
Sediaan histopatologi dari organ limfoid mencit diamati dengan bantuan
mikroskop. Variabel yang diamati pada ketiga organ limfoid tersebut berbeda,
disesuaikan dengan struktur histologinya. Variabel yang diamati pada timus adalah
perbandingan relatif korteks dan medula pada perbesaran 4x. Variabel kedua adalah
densitas atau kepadatan populasi sel limfosit pada bagian korteks yang dirata-rata
dari sepuluh lapang pandang dengan perbesaran 100x. Variabel pengamatan pada
organ limpa adalah jumlah dan diameter rata-rata pulpa putih pada perbesaran 4x
serta kepadatan populasi sel limfosit pada perbesaran 100x. Variabel pengamatan
pada organ limfonodus adalah jumlah dan diameter rata-rata folikel limfoid pada
perbesaran 4x serta kepadatan populasi sel limfosit pada perbesaran 100x.

Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft
Excel dan SPSS metode One-Way ANOVA dengan uji Duncan. Data dianalisis
dengan tingkat kepercayaan (P) 95% atau tingkat signifikansi (α) 5%. Hasil beda
nyata ditandai dengan P0.05).
Berdasarkan hasil tersebut, kelompok A dapat dianggap memiliki reaktifitas lebih
baik. Hiperplasia folikel limfoid pada limpa merupakan hal normal yang terjadi
pada usia muda sebagai upaya pembentukan sistem kekebalan tubuh (Mansouri
2013). Usia 63 hari atau 9 minggu tergolong muda bagi mencit jika dibandingkan
dengan harapan hidupnya yang mencapai 1.5-3 tahun (Orr 2002). Kecacingan pada

10

Tabel 5 Jumlah pulpa putih (I), diameter rata-rata pulpa putih (II), serta kepadatan populasi sel limfosit (III) pada organ limpa mencit
dengan penggunaan bedding kain kaos (A) dan serutan kayu (B)
I

II [µm]

III [sel/(1280x1024) µm2]













A

30.67±6.77a

23.67±3.48a

247.52±66.71a

202.85±38.24a

306.03±10.74a

262.40±19.35a

B

26.00±2.08a

30.00±3.61a

202.65±7.00a

192.22±20.90a

282.63±6.86b

257.80±9.81a

Kelompok

Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan bahwa pemberian perlakuan tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata.

Tabel 6 Jumlah folikel limfoid (I), diameter rata-rata folikel limfoid (II), serta kepadatan populasi sel limfosit (III) pada organ limfonodus
mencit dengan penggunaan bedding kain kaos (A) dan serutan kayu (B)
I

II [µm]

III [sel/(1280x1024) µm2]













A

5.67±0.67a

2.33±1.86a

317.75±58.89a

130.50±92.27a

281.00±13.74a

123.26±69.73a

B

3.67±1.76a

1.00±1.00a

344.30±31.71a

115.80±115.97a

283.43±24.42a

97.13±97.13a

Kelompok

Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan bahwa pemberian perlakuan tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata.

11
kelompok B betina dan jantan diduga sudah berlangsung lama, sehingga lonjakan
nilai ketiga variabel tidak terjadi. Zachary dan McGavin (2012) menyatakan bahwa
organ limfoid akan sangat reaktif ketika infeksi oleh patogen berada pada tahap
awal. Reaktifitas tersebut akan menurun seiring berjalannya infeksi dari akut
menuju kronis. Infeksi kecacingan akan tetap mengundang kehadiran sel limfosit
dari limpa sebagai bentuk perlawanan (Harris dan Gause 2011).
Tabel 6 menunjukkan bahwa jumlah folikel limfoid kelompok A baik betina
maupun jantan lebih tinggi daripada kelompok B. Hiperplasia folikel limfoid pada
limfonodus sama halnya dengan limpa. Hal tersebut normal terjadi pada mencit
muda sebagai upaya pembentukan sistem kekebalan tubuh (Katakai et al. 2004).
Tingginya diameter folikel limfoid berbanding lurus dengan nilai kepadatan sel
limfosit didalamnya, seperti pada timus. Hal tersebut ditunjukkan oleh kelompok A
dan B baik betina maupun jantan. Rendahnya nilai kepadatan sel limfosit kelompok
B diduga akibat penggunaan bedding serutan kayu, seperti yang telah disebutkan
sebelumnya pada pembahasan timus. Linden et al. (2012) menyatakan bahwa
limfonodus axilaris bertanggung jawab terhadap reaksi kekebalan disekitar axila,
bekerja sama dengan limfonodus mediastinalis untuk area thoraks, serta bekerja
sama dengan limfonodus submandibularis dan tonsil untuk area kepala.

Pengaruh Pretreatment terhadap Organ Limfoid
Timus
Hasil pengamatan preparat histopatologi pada perbesaran 4x menunjukkan
bahwa timus mencit jantan dan betina tidak menunjukkan adanya perubahan
struktur histologi. Hasil analisis statistik pengamatan pada timus betina dan jantan
dapat diamati pada Tabel 7.
200 µm

Gambar 1 Fotografi mikro timus mencit jantan kelompok C (albendazol) pada perbesaran 4x.
Medula ditunjukkan dengan M dan korteks ditunjukkan dengan K.

II [sel/(1280x1024) µm2]

I
Kelompok









A

1.05±0.57a

0.99±0.19a

309.43±6.72a

388.93±16.95a

C

1.47±0.78a

0.38±0.16a

212.90±1.06a

312.37±6.15a

D

0.54±0.27a

0.52±0.37a

231.30±1.16a

235.57±1.18b

E

0.28±0.20a

0.91±0.08a

214.80±1.07a

396.13±16.27a

F

0.25±0.25a

0.87±0.20a

104.47±1.04b

326.03±28.44a

Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan bahwa pemberian perlakuan tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Kelompok C memperoleh
pretreatment dengan sediaan albendazol, kelompok D memperoleh albendazol dan azitromisin, kelompok E memperoleh albendazol dan metronidazol, serta kelompok
F memperoleh albendazol, azitromisin, dan metronidazol.

12

Tabel 7 Perbandingan relatif korteks dengan medula (I) dan kepadatan populasi sel limfosit (II) pada organ timus mencit

13
Perbandingan relatif antara korteks dengan medula timus pada betina dan
jantan tidak menunjukkan adanya beda nyata. Rendahnya kepadatan sel limfosit
kelompok C dan E betina tidak sejalan dengan nilai perbandingan relatif. Demikian
juga dengan kelompok C dan D jantan. Keberadaan tipe sel lain, yaitu sel makrofag,
sel retikulosit, dan sel epitel pada korteks juga harus diperhatikan (Linden et al.
2012). Keberadaan ketiganya dapat menurunkan nilai kepadatan sel limfosit
korteks, meskipun perbandingan relatifnya tinggi. Area perivaskular dan lemak di
dalam korteks timus juga akan meningkat seiring pertambahan usia serta involusi,
sehingga ruang untuk sel limfosit akan semakin berkurang (Linden et al. 2012).
Kelompok C, D, serta F betina dan jantan memiliki nilai kepadatan sel
limfosit yang lebih rendah dibandingkan kelompok A. Azitromisin dapat
menyebabkan perubahan pH tubuh dan diare. Perubahan pH diakibatkan oleh
kemampuan azitromisin sebagai antibiotik spektrum luas yang dapat membasmi
sebagian besar bakteri positif maupun negatif Gram di dalam tubuh mencit. Hal
tersebut dapat mengakibatkan terganggunya keseimbangan mikroflora di dalam
tubuh mencit, sehingga memicu pertumbuhan berlebih dari patogen alami lain yang
tidak terbasmi. Metronidazol mampu memperkuat kerja azitromisin sebagai
antibiotik (Wanamaker dan Massey 2009). Penggunaan keduanya dalam suatu
kombinasi dikhawatirkan mampu meningkatkan penurunan pH tubuh mencit. Diare
yang terjadi dapat mengakibatkan peradangan pada saluran pencernaan, sehingga
sel limfosit bersirkulasi ke area tersebut (Zachary dan McGavin 2012). Pengamatan
tidak mencatat adanya kejadian diare yang parah pada mencit yang diberi
azitromisin, hanya saja konsistensi feses sedikit lebih lunak. Penggunaan
albendazol dapat menimbulkan gangguan saluran cerna dan nyeri abdomen
(Wanamaker dan Massey 2009). Hal tersebut diduga akibat adanya gangguan pada
saluran pencernaan, seperti peradangan yang mengakibatkan terlepasnya sitokin
dan mengundang kehadiran sel limfosit (Chokkalingam et al. 2013). Sel makrofag
yang membawa sel debris apoptotik dari area infeksi akan menempati korteks
timus, sehingga ruang untuk sel limfosit akan berkurang (Linden et al. 2012).
Supresi sumsum tulang dapat terjadi akibat penggunaan azitromisin, sehingga
memicu anemia aplastik. Baik darah merah maupun progenitor darah putih,
produksi keduanya akan menurun pada penderita anemia aplastik (Maluf et al.
2009). Penggunaan albendazol juga dapat mengakibatkan efek serupa (Fernandez
et al. 1996). Ketiga sediaan antiinfeksi memang disebutkan tidak memiliki interaksi
(Plumb 2015). Namun, kesamaan efek samping yang ditimbulkan oleh masingmasing sediaan, seperti yang telah disebutkan, akan mengakibatkan meningkatnya
keparahan efek. Prevalensi supresi sumsum tulang dan penurunan pH tentunya
dipengaruhi oleh respon yang berbeda-beda dari setiap individu terhadap sediaan,
sehingga tidak semua mencit akan mengalaminya. Hal tersebut ditunjukkan dengan
nilai kepadatan sel limfosit kelompok D betina dan kelompok E jantan yang paling
mendekati kelompok A dibandingkan kelompok lain.
Hormon memiliki peranan penting dalam dinamika timus. Aktivitas timus
paling tinggi terjadi sebelum hingga awal pubertas. Peningkatan hormon steroid di
dalam tubuh akan menurunkan aktivitas timus dan memicu involusi (Sutherland
2005). Mencit betina mengalami pubertas lebih cepat, yaitu pada usia 25-40 hari,
sedangkan jantan pada usia 50 hari (Pritchett dan Taft 2007). Tingkat involusi
mencit betina tentunya akan lebih tinggi dibandingkan jantan ketika timus di
koleksi pada usia 63 hari. Hormon steroid yang fluktuatif dan tingkat involusi

14
mengakibatkan kepadatan sel limfosit pada mencit betina secara umum lebih
rendah daripada jantan.

Limpa
Pulpa putih limpa dapat diamati dengan perbesaran 4x seperti pada Gambar
2. Perubahan struktur histologi tidak terjadi pada mencit jantan maupun betina.
Hasil analisis statistik limpa mencit dapat diamati pada Tabel 8.
200 µm

Gambar 2 Fotografi mikro limpa mencit jantan kelompok C (albendazol) pada perbesaran 4x. PP
merupakan pulpa putih dan PM merupakan pulpa merah.

Tingkat reaktifitas limpa dapat ditentukan dengan mengetahui jumlah sel
limfosit dan jumlah folikel limfoid di dalam pulpa putih dengan berbagai ukuran
(Colovai et al. 2004). Kelompok C dan D memiliki rata-rata diameter melebihi
kelompok A, namun kepadatan sel limfositnya rendah. Linden et al. (2012)
menyatakan bahwa, selain sel limfosit, di dalam pulpa putih terdapat sel dendritik
dan sinus marginal. Keberadaan keduanya dapat meningkatkan nilai rata-rata
diameter, namun tidak diiringi peningkatan kepadatan sel limfosit.
Seluruh kelompok betina yang mendapat pretreatment memiliki nilai
kepadatan sel limfosit lebih rendah daripada kelompok A. Kelompok D jantan
merupakan satu-satunya yang memiliki nilai kepadatan sel limfosit di bawah
kelompok A. Hasil analisis statistik kepadatan sel limfosit jantan menunjukkan
beda nyata pada kelompok E karena nilai kepadatan melebihi kelompok A. Hal
tersebut dapat diakibatkan oleh rendahnya distribusi sel limfosit dari timus mencit
betina akibat adanya involusi. Distribusi sel limfosit pada mencit jantan tidak begitu
terganggu karena involusi belum terjadi. Spoor et al. (2008) menyatakan bahwa
hormon steroid tidak mempengaruhi keutuhan limpa, seperti hormon tersebut
memicu involusi pada timus. Efek dari sediaan antiinfeksi yang telah disebutkan
pada pembahasan bagian timus juga dapat mengakibatkan meningkatnya sel

Tabel 8 Jumlah pulpa putih (I), diameter rata-rata pulpa putih (II), dan kepadatan populasi sel limfosit (III) pada organ limpa mencit
I
Kelompok

III [sel/(1280x1024) µm2]

II [µm]













A

30.67±6.77a

23.67±3.48a

247.52±66.71a

202.85±38.24a

306.03±10.74a

262.40±19.35a

C

16.00±3.06a

33.00±2.65a

282.94±18.43a

281.71±73.65a

268.07±15.21b

275.97±6.07a

D

20.00±2.65a

15.00±3.61a

320.07±82.93a

144.93±33.10a

272.63±25.87b

255.53±12.71a

E

20.67±2.91a

27.00±2.52a

205.87±25.15a

224.09±62.47a

291.13±12.47a

290.60±11.04b

F

19.33±4.63a

29.67±7.62a

202.09±34.08a

295.98±61.85a

277.23±10.11b

283.53±22.60b

Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan bahwa pemberian perlakuan tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Kelompok C memperoleh
pretreatment dengan sediaan albendazol, kelompok D memperoleh albendazol dan azitromisin, kelompok E memperoleh albendazol dan metronidazol, serta kelompok
F memperoleh albendazol, azitromisin, dan metronidazol.

15

16
makrofag di dalam pulpa putih limpa, sehingga ruang untuk sel limfosit semakin
berkurang. Kelompok D baik betina maupun jantan memiliki nilai kepadatan sel
limfosit yang paling mendekati kelompok A masing-masing.
Kelompok-kelompok jantan secara umum memiliki nilai kepadatan sel
limfosit yang lebih rendah daripada betina. Perkelahian lebih sering terjadi pada
mencit jantan daripada betina untuk menentukan dominasi dan teritorial (Orr 2002).
Perkelahian tersebut tentunya dapat menimbulkan luka-luka pada tubuh mencit,
sehingga menarik sel limfosit ke situs luka. Beberapa mencit jantan terlihat
memiliki luka selama pemeliharaan yang diduga akibat perkelahian. Orr (2002)
menyatakan bahwa perkelahian tersebut dapat diminimalisir dengan menggunakan
mencit yang berasal dari satu induk dalam 1 kandang perlakuan penelitian.

Limfonodus
Pembengkakan dan pengerasan limfonodus axilaris tidak terjadi pada seluruh
mencit ketika pengamatan selama nekropsi dilakukan. Perubahan struktur
limfonodus mencit secara histologi juga tidak terjadi ketika preparat histopatologi
diamati. Tabel 9 merupakan hasil analisis statistik terhadap variabel limfonodus
yang telah ditentukan.

200 µm
Gambar 3 Fotografi mikro limfonodus mencit jantan kelompok C (albendazol) pada perbesaran 4x.
Folikel limfoid ditandai dengan FL dan terketak pada korteks.

Pusat germinativum pada folikel limfoid dapat diamati di bawah mikroskop,
namun tidak menunjukkan warna ungu tegas. Katakai et al. (2004) menyatakan
bahwa pusat germinativum mudah diamati dalam keadaan normal pada folikel
korteks luar. Pusat germinativum akan membesar dan terlihat semakin jelas akibat
kehadiran sejumlah sel T, makrofag, serta sel dendrit mengelilingi setiap pusat
germinativum pada folikel akibat kehadiran patogen. Proliferasi serta diferensiasi
sel B menjadi sel plasma dan sel memori akan terjadi, sehingga pusat germinativum

Tabel 9 Jumlah folikel limfoid (I), diameter rata-rata folikel limfoid (II), dan kepadatan populasi sel limfosit (III) pada organ limfonodus
mencit
I
Kelompok

III [sel/(1280x1024) µm2]

II [µm]













A

5.67±0.67a

2.33±1.86a

317.75±58.89a

130.50±92.27a

281.00±13.74a

123.26±69.73a

C

4.33±1.86a

9.33±0.33a

189.22±31.65a

277.66±56.64a

280.83±28.06a

268.27±55.29b

D

15.33±6.49a

4.67±2.60a

278.18±98.18a

199.53±100.55a

275.10±14.34a

180.53±90.63a

E

8.67±0.33a

2.67±2.67a

292.52±57.27a

69.63±69.63a

292.63±21.58a

83.70±83.70a

F

2.33±2.33a

5.00±1.53a

119.67±119.66a

251.56±14.39a

76.03±76.03b

300.47±20.45b

Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan bahwa pemberian perlakuan tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Kelompok C memperoleh
pretreatment dengan sediaan albendazol, kelompok D memperoleh albendazol dan azitromisin, kelompok E memperoleh albendazol dan metronidazol, serta kelompok
F memperoleh albendazol, azitromisin, dan metronidazol.

17

18
semakin jelas terlihat (Messika 1998).
Hasil analisis statistik tidak berbeda nyata ditunjukkan oleh nilai variabel
jumlah folikel limfoid dan diameter rata-ratanya. Kelompok E betina dan kelompok
D jantan menunjukkan nilai kepadatan sel limfosit paling mendekati kelompok A
masing-masing. Kelompok C, D, dan F betina memiliki nilai kepadatan sel limfosit
di bawah kelompok A. Seluruh kelompok mencit jantan yang mendapat
pretreatment justru memiliki nilai kepadatan sel limfosit lebih tinggi daripada
kelompok A. Sama seperti limpa, hal tersebut dapat diakibatkan oleh rendahnya
distribusi sel limfosit dari timus mencit betina akibat adanya involusi. Jumlah
folikel limfoid kelompok F betina tidak berbanding lurus dengan nilai kepadatan
sel limfosit dan diameter folikel limfoidnya. Keberadaan sel darah putih lain, sel
dendritik folikuler, dan sel retikulosit fibroblast pada folikel limfoid limfonodus
kelompok tersebut dapat menurunkan nilai kepadatan sel limfositnya (Linden et al.
2012). Efek penggunaan sediaan antiinfeksi juga berperan dalam penurunan nilai
tersebut, karena sel makrofag akan mengurangi ruang sel limfosit di dalam korteks
maupun parakorteks limfonodus.
Kelompok-kelompok jantan menunjukkan jumlah sel limfosit yang lebih
stabil daripada kelompok betina. Perkelahian yang terjadi antar jantan tentunya
akan menimbulkan luka, sehingga menarik sel limfosit keluar dari limfonodus. Efek
sediaan antiinfeksi yang telah disebutkan, tentunya juga akan menarik sel limfosit
keluar dari limfonodus. Meskipun demikian, jumlah sel limfosit di dalam
limfonodus masih tetap mencukupi. Keberadaan hormon yang fluktuatif pada
betina yang telah dewasa kelamin juga berpengaruh terhadap kekebalan tubuh,
seperti yang telah disebutkan. Rendi et al. (2012) menyatakan bahwa tubuh mencit
betina akan mempersiapkan diri untuk menerima sperma, yang merupakan benda
asing, sehingga produksi sel limfosit akan turun. Hal tersebut merupakan salah satu
penyebab distribusi sel limfosit pada limfonodus mencit betina lebih rendah
daripada mencit jantan.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Penggunaan bedding kain kaos mampu mencegah re-infeksi patogen
lingkungan seperti kecacingan dan meminimalisir infeksi patogen alami yang
berada di dalam tubuh mencit. Bedding kain kaos juga mampu mencegah dan
mengurangi gangguan kesehatan akibat penggunaan bedding serutan kayu seperti
iritasi saluran pernapasan atas. Pemberian sediaan antiinfeksi dapat menyebabkan
perubahan nilai kepadatan sel limfosit pada pusat-pusat folikel organ limfoid.
Kelompok mencit jantan memberikan respon morfologi dan fungsi organ limfoid
lebih baik terhadap pemberian sediaan antiinfeksi dibandingkan mencit betina.
Mencit kelompok D (memperoleh sediaan antihelmintik dan antibiotik)
menunjukkan nilai kepadatan sel limfosit paling mendekati kelompok A (tidak
memperoleh pretreatment). Oleh karena itu, pretreatment dengan kedua sediaan
tersebut dinilai paling ideal untuk digunakan dalam penelitian biomedis dengan
acuan perubahan mikroskopis pada organ limfoid.

19
Saran
Mencit jantan lebih direkomendasikan dalam penelitian yang bertujuan
untuk mengamati morfologi dan fungsi organ limfoid. Sediaan antiinfeksi
sebaiknya tidak diberikan secara kombinasi dalam satu waktu yang berdekatan agar
jumlah sel limfosit tidak semakin terganggu. Hal tersebut berkaitan dengan efek
samping yang dapat ditimbulkan masing-masing sediaan, karena tidak ada interaksi
antara ketiganya. Penelitian mengenai prosedur pemberian pretreatment perlu
dilakukan untuk menghasilkan hewan percobaan yang berkualitas baik.

DAFTAR PUSTAKA
Baker DG. 1998. Natural pathogens of laboratory mice, rats, and rabbits and their
effects on research. Clin Microbiol Rev 11(2): 231–266.
Blom HJM, Van Tintelen G, Van Vorstenbosch CJAHV, Baumans V, Beynen AC.
1996. Preferences of mice and rats for types of bedding material. Lab Anim 30:
234-244.
Carlson JR, Heyworth MF, Owen RL. 1987. T-lymphocyte subsets in nude mice
with giardia muris infection. Thymus 9(3): 189-196.
Colovai AI, Giatzikis C, Ho EK, Far