Segi-Segi Positif Dalam Prinsip Bagi Hasil Pada Perbankan Syariah Serta Perbedaannya Dengan Bank Konvensional

T. Rusydi: Segi-Segi Positif dalam Prinsip Bagi Hasil…
SEGI-SEGI POSITIF DALAM PRINSIP BAGI HASIL PADA PERBANKAN SYARIAH SERTA PERBEDAANNYA DENGAN BANK
KONVENSIONAL
T. Rusydi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Abstract: Syariah bank or bank with a profit sharing principle, is different with a conventional bank which always uses an interest system. All various principles which are managed by the bank products except a profit saharing principle, are free in interest. Some other activities which are included in the scope of syariah bank constitute as a plus to this bank and also constitute as the distinction with the conventional bank. An Islamic bank is not only managed by Islamic countries, but it is also spread in some non Islamic countries. In our country, the acts banking and some other regulations enable this bank to exits.
Kata kunci: Prinsip Syariah, Perbankan, Bagi Hasil
Sebelum eksistensi perbankan dengan prinsip syariah di Negara RI, diberbagai belahan dunia termasuk dibeberapa negara Asean, lembaga keuangan itu telah tersebar luas dan mengalami kemajuan yang cukup pesat. Diantara bank dengan prinsip syariah atau bank Islam terbesar, adalah Islamic Development Bank (IDB). Keanggotannya terbuka bagi semua anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI). Salah satu fungsi dan kekuatan (functions and powers) IDB adalah melaksanakan penelitian untuk kegiatan ekonomi, keuangan dan perbankan di negara-negara muslim agar sejalan dengan syariat (hukyum Islam). Melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank-bank Islam di dunia serta memberikan bantuan kepada berbagai negara termasuk Indonesia. Bank syariah tersebar, tidak hanya di negara-negara muslim tetapi juga di negara-negara non muslim, seperti Swiss, Inggeris, Luxemburg, Denmark, Afrika Selatan, dan di beberapa negara lainnya.
Keberadaan perbankan itu, jika dibandingkan Indonesia dengan negara Asean lainnya seperti Malaysia, telah mengalami perkembangan dan kemajuan yang pesat. Bank Muamalat Indonesia atau BMI berdiri di Jakarta 1 Mei 1992, bank Islam Malaysia Berhad berdiri di Malaysia 1 Maret 1983. Dinegara RI, dengan adanya ketentuan tentang perbankan dan norma-norma perangkat peraturan lainnya, sebagaimana yang akan kita kemukakan memungkinkan berdirinya bank dengan prinsip syariah. Bank ini sama sekali berbeda prinsipnya dengan bank konvensional atau bank umum.
Pada bank konvensional, senantiasa mempergunakan instrumen bunga atau jasa, dimana sistem itu selalu menjadi problem di kalangan para ulama cendekiawan. Tetapi dewasa ini, keadaan tersebut telah mengalami perobahan yang cukup drastis. Para pakar Islam yang mengharamkan bunga bank jumlahnya semakin dominan (Al Iqtisad:2000). Berbeda dengan instrumen bagi hasil yang dilaksanakan oleh perbankan syariah. Sistem ini identik dengan ketentuan Hukum Islam dan tanpa adanya beda pendapat mengenai keabsahan dan kehalallannya. Bank syariah juga mempunyai beberapa prinsip selain bagi hasil, keseluruhannya tanpa adanya unsur bunga. Demikian pula, berbagai problem lainnya yang akan kita ketengahkan seperti persoalan sistem bunga bank, adanya dewan pengawas syariah, prinsip bagi hasil, dan sebagainya. Semua keadaan itu, merupakan keunggulan bank dengan prinsip syariah sekaligus merupakan perbedaannya dengan bank konvensional.
Dari gambaran tersebut dapat dirumuskan permasalahan pertama, apakah bunga bank konvesional identik dengan jenis riba yang diharamkan. Kedua, apakah letak perbedaan antara instrumen bunga bank konvensional dengan prinsip bagi hasil yang merupakan nilai tambah bagi bank syariah.
PROBLEM INSTRUMEN BUNGA BANK Mahmoud Syalthout, mengemukakan empat jenis riba, yaitu riba fadli, riba jard, riba qardhi dan riba
nasi’ah. Mengenai pembagian riba di atas, hanya riba nasi’ah yang telah ijma’ (sepakat) para mujtahid tentang keharamannya (Jafizham, 2001).
Walau adanya perbedaan persepsi, namun sebagin besar para pakar dewasa ini berpandangfan bahwa bunga bank konvensional adalah riba yang diharamkan (Al-Iqtisad: 2000).
Beberapa Ayat tentang larangan riba, antara lain: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba yang berlipat ganda” (QS, 3:130). Dan masih banyak lagi Ayat-ayat Al-Qur’an tentang larangan tersebut, lihat QS, 30:39, QS, 4:29, dan lain-lain. Demikian pula beberapa Hadits yang menyimggung tentang
24

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 1 Februari 2006
larangan riba, diantaranya, Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim, yang mengidentikkan riba dengan tujuh dosa besar lainnya. Identik dengan hal itu, penetapan dewan syariah nasional MUI, No. 03/DSN-MUI/IV 2000, tanggal 1 April 2000, telah mengharamkan baik bunga deposito maupun bunga tabungan.
Dalam fatwa tersebut, MUI selain berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadits, juga mengambil perbandingan dari berbagai lembaga maupun pusat kajian Islam dan perkumpulan ulama di berbagai negara maupun tingkatb dunia, yang terlebih dahulu telah mengharamkan bunga bank. Demikian pula, semua agama samawi (revealed religion) melarang kegiatan tersebut, karena menimbulkan berbagai dampak.
Melihat bahaya besar atau dampak negatif dari praktek riba itulah, maka Nabi Muhammad SAW membuat perjanjian dengan kelompok Jahudi, bahwa mereka tidak dibenarkan menjalankan praktek riba. Seirama dengan ketentuan itu maka perbankan syariah telah menarik garis pembatas secara tegas untuk tidak mempergunakan sistem yang identik dengan unsur yang dilarang tersebut.

DEWAN PENGAWAS SYARIAH Setiap kegiatan teknis operasional perbankan syariah, mesti memenuhi ketentuan prosedur yang berlaku
termasuk prinsip-prinsip syariah. Sehubungan dengan hal itu, demi kelancaran kegiatan opersionalnya diperlukan eksistensi Dewan Pengawas Syariah (DPS), untuk mengawasi jalannya mekanisme produk bank. Hal pengawasan ini adalah suatu hal yang baru yang tidak terdapat pada bank konvensional.
Karena kedudukannya demikian penting dan strategis dalam mengawasi produk-produk perbankan, maka pembentukan dewan ini dilakukan oleh berdasarkan hasil konsultasi dengan MUI. Dewan pengawas syariah memiliki kompetensi mendiskusikan masalah-masalah dan transaksi bisnis yang dihadapkan kepadanya sehingga dapat ditetapkan kesesuaian atau ketidaksesuaiannya dengan prinsip syariat.
Memberikan pedoman atau advis, baik pada pengerahan maupun penyaluran dana serta kegiatan-kegiatan perbankan lainnya. Mengadakan perbaikan sekiranya suatu produk yang dilaksanakan bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Sehubungan hal itu, maka diperlukan sekali kebebasan bagi setiap anggota DPS baik dalam bertindak maupun dalam mengeluarkan pendapat. Diupayakan agar DPS tetap independen, dalam pengetian bebas tanpa turut campur tangan pihak lain, baik dari luar maupun dalam lingkungan perbankan sendiri. Untuk mengantisipasi hal itu, diperlukan berbagai syarat. Di antaranya bagi setiap anggota DPS, tidak boleh merangkap sebagai staf dari bank yang bersangkutan. Dipilih oleh rapat umum pemegang saham. Demikian pula tentang penetapan Honorarium, ditentukan oleh RUPS, serta mempunyai tugas dan kinerja seperti badan-badan pengawas lainnya. Dengan demikian dewan ini dapat melaksanakan fungsinya sebagaimana yang diharapkan.
Di samping DPS, diperlukan oknum sebagai penghubung antara DPS dengan Dewan Direksi. Karena DPS bukan staf bank dalam arti mereka tidak tunduk dibawah kekuasaan administratif, maka diperlukan seorang “Liason Syariah” yang menghubungkan dengan Dewan Direksi. Oknum selaku penghubung ini, mestinya menguasai Fiqih Muamalah secara mendalam sekaligus mendalami operasional perbankan baik yang menyangkut kontrak-kontrak perjanjian maupun penyerahan dan penyaluran dana. Dengan adanya berbagai kewenangan dan fungsi DPS maupun Liason Syariah, nyatalah bahwa institusi itu merupakan suatu hal yang positif bagi perkembangan dan kegiatan perbankan tersebut.
PERATURAN DAN PRINSIP PERBANKAN SYARIAH Ketentuan operasional perbankan dengan prinsip mengacu pada UU perbankan UU No. 7 Tahun 1992
yang telah disempurnakan oleh UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan dan UU No. 23 tahun 1999 jo tentang Bank Indonesia, UU No. 3 Tahun 2004.
Sebagai Peraturan Pelaksana UU No. 7 Tahun 1992 yaitu PP No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil sebagaimana telah dihapus oleh PP No. 30 Tahun 1999.
Penghapusan peraturan tersebut sebagai konsekwensi diberlakukannya UU tentang Perbankan yakni UU No. 10 Tahun 1998. UU yang baru ini, telah memusatkan ketentuan perbankan kedalam satu wadah yaitu Bank Indonesia selaku Bank Sentral. Didalam ketentuannya, mengenai eksistensi bank dengan prinsip syariah, dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, diatur dalam pasal-pasal berikut: Pasal 37 Ayat 1, Pasal 29 Ayat 3, Pasal 13 huruf C, Pasal 11 Ayat 1 jo Ayat 4 a, Pasal 8 Ayat 1 jo Ayat 2, PAsal 6 huruf M dan Pasal 7 point C.
Kegiatan operasional perbankan syariah dalam memberikan fasilitas kepada nasabah bank, tidak hanya memperhatikan teknis operasional perbankan pada umumnya tetapi juga mesti memperhatikan ketentuan syariah. Dalam UU perbankan, UU No. 10 Tahun 1998 telah memberi ketegasan tentang pengertian prinsip syariah. Mengacu pada Pasal 1 Ayat 13, menyatakan: Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (Mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (Musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (Murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (Ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilihan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (Ijarah Wa Iqtina).
25

T. Rusydi: Segi-Segi Positif dalam Prinsip Bagi Hasil…
Selain ketentuan-ketentuan itu Bank Islam atau perbankan syariah, juga mendasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut: a) Larangan riba;Riba dalam Islam sebagian telah dinyatakan bahwa hukumnya haram, dengan dasar sebagai berikut: QS, 2:275, QS, 2:179, QS, 3:130, QS, 30:39. Diantara ayat-ayat tersebut, artinya seperti berikut: “Orang-orang yang makan (mengambil riba) tidak dapat berdri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaithan lantaran (tekanan) penyakit gila”. (QS, 2:275). Nabi SAW sangat melarang pada oknum pemakan riba. Hadits yang menyatakan larangan itu, antara lain: Dan dari Abu Harairah, ra, Nabi SAW, bersabda: “Ada empat golongan yang pasti Allah SWT tidak memasukkan mereka kedalam syurga, dan tidak merasakan mereka akan nikmatnya; pemabuk khamar, pemakan riba, pemakan harta anak yatim tanpa hak, dan pendurhaka terhadap ibu bapak. (Al Hakim). b) Mengutamakan dan mempromosikan perdagangan dan jual beli. Dalam Al-Qur’an, beberapa ayat yang mengutamakan perbuatan tersebut, antara lain: QS, 35;29-30, QS, 61:1011, QS, 9:111, QS, 4:29, QS, 2:275. Diantaranya, Allah SWT berfirman, artinya:”Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS, 2:275). Di samping itu, beberapa Hadits, antara lain: “Allah mengasihi orang yang longgar/toleran apabila menjual dan apabila membeli dan menagih hutang”. (HR. Bukhari). c) Keadilan. Dasar hukum sebagai dali-dalil dari prinsip diatur, beberapa ayat, yaitu: QS, 4:145, QS, 11:84-87, QS, 16:90 dan QS, 6:152. Diantara ayat-ayat diatas, menyatakan: Artinya: “Dan janganlah kamu hampiri harta anak yatim, kecuali dengan jalan yang terbaik, hingga iasampai dewasa;dan sempurnakanlah sukatan dan timbangan dengan keadilan. Tiadalah kami berarti diri, melainkan sekedar tenaganya, dan apabila kamu berkata hendaklah berlaku adil, walaupun terhadap karib-karibmu sendiri;dan tepatilah janji Allah. Demikianlah Allah berwasiat kepadamu, mudah-mudahan kamu mendapat peringatan”. (QS, 6:152).
Problem keadilan adalah suatu hal yang multi komplek. Di samping menginstruksikan berbuat adil, sebagaimana ayat diatas (QS, 6:152), juga kriteria adil lebih dekap pada takwa (QS, 5:8). Dalam Hadits, diriwayatkan bahwa ada tiga amalan yang paling utama, yaitu: diantaranya, berlaku adil. (Mhd Zakariya: 2003). d). Kebersamaan dan tolong menolong. Prinsip yang mengutamakan berbuat demikian, perhatikan, QS, 66:4-6, QS, 5:2, dan beberapa Hadits yang berhubungan dengan hal itu. Diantaranya ayat itu, antara lain: “Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (QS, 5:2).
Salah satu keagungan Islam adalah diakuinya prinsip persamaan hak bagi seluruh ummat manusia. Hal ini juga membuktikan adanya keadilan hakiki dalam Islam. Para ulama sepakat menjadikan surah AN-Nisa ayat 123124 sebagai dasar adanya ajaran persamaan hak (An Warul Haq: 2005).
Selain diatas, juga adanya asas atau prinsip pada perjanjian akad, antara lain: 1) Asas saling rela dalam akad, sebagai dalil, antara lain, lihat QS, 4:29. 2) Asas keadilan, pada asas ini sama dengan prinsip yang telah dikemukakan, berdasar dalil, diantaranya lihat QS, 5:8. 3) Asas persamaan ataupun kesetaraan pada asas ini para pihak dalam membuat perjanjian mempunyai kedudukan yang setara. Sebagai dalil, Vide, QS, 49:13. 4) Asas saling menguntungkan dan memberi manfaat. Setiap kegiatan perbankan, seperti bernegosiasi, dll mesti memberi manfaat atau keuntungan bagi para pihak. Dalil-dalil, antara lain, Vide, QS, 13:17. (Utomo: 2002).
Perkataan manfaat dari asas diatas, manfaat lawannya mudharat, adlah kata-kata yang berlawanan arti (antonim). Suatu hal yang menakjubkan, ditemukan berbagai jenis kata-kata yang sangat serasi dan dalam jumlah yang seimbang dalam Al-Quran. Baik kata yang sepadan (sinonim) maupun yang berlawanan artinya, dsb. Contoh: manfaat dan mudharat masing-masing ditemukan dalam kitab suci itu sebanyak 50 kali. (Agustian, 2002). Perikatan adalah bagian dari Muamalat, juga mempunyai prinsip-prinsip yang perlu dipedomani, antara lain: prinsip tanggung jawab, prinsip kemudahan, prinsip kewirausahaan, prinsip kehati-hatian, dan prinsip lainnya (Djazuli, 2003: 2). Prinsip-prinsip inilah yang merupakan cermin (acuan) pada perbankan syariah. Pengabaian dari asas-asas diatas, oleh para pihak dapat berakibat setiap transaksi yang dilakukan batal dan tidak syah.
PRODUK-PRODUK PERBANKAN SYARIAH Dalam rangka membantu masyarakat melakukan kegiatan Muamalahnya, bank menawarkan berbagai
jenis produk, antara lain dalam bentuk simpanan, deposito dan tabungan. Bank juga menawarkan jasa-jasa, seperti: pembiayaan Al Mudharabah dan Al Musyarakah, prinsip ini untuk kegiatan yang menyangkut investasi. Produk lainnya adalah, pembiayaan untuk kegiatan perdagangan, yaitu: Al Murabahah dan Al Baiu Bithaman Ajil, dalam hal ini bank memperoleh margin keuntungan (mark up). Suatu hal paling istimewa, dengan keberadaan produk characteristic perbankan, yakni produk kebajikan Al Qardhul Hasan. Suatu pemberian pinjaman tanpa kelebihan pembayaran kecuali menyangkut biaya-niaya administrasi. Bank sama sekali tidak memperoleh keuntungan. Kegiatan ini agar terbina kelancaran produknya perlu berhubungan dengan mitra lain seperti lembaga zakat, bank hanya sebagai penyalur dana. Disamping adanya penitipan dana (giro wadiah) pada produk ini nasabah diberi bonus atau jasa lainnya (fee), serta beberapa fasilitas lainnya yang tidak bertentangan dengan prosedur yang telah ditetapkan.

Pada kegiatan usaha pembiayaan Mudharabah melibatkan berbagai pihak yaitu adanya penyedia dana (shahibul mal) dan pengelola dana (mudharib). Mereka telah sepakat melakukan bagi hasil secara adil, sesuai tingkat resiko yang dhadapi. Persyaratan-persyaratan yang mesti dilaksanakan, yaitu: shahibul mal membiayai
26

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 1 Februari 2006
proyek usaha, pengelolannya adalah mudharib tanpa campur tangan pihak lain. Sebelum proyek dilaksanakan mereka telah menghitung pembagian laba masing-masing, dengan cara negosiasi. Jikalau terjadi kerugian, resiko ditanggung bersama. Dimana satu pihak menenaggung kerugian dana dan pihak lainnya menanggung resiko tenaga dan pikiran. Kecuali kerugian itu, nyata-nyata atas kesalahan mudharib, maka resiko ditanggung sendiri olehnya.
Dengan adanya beberapa persyaratan ini, terlihat bahwa kegiatan bank dengan prinsip syariah bertujuan sebagai penghubung para pihak, yakni antara shahibul mal dengan mudharib. Jika ditinjau dari aspek-fungsiproduk perbankan, lembaga keuangan tersebut mempunyai tiga fungsi. Bank sebagai lembaga pengumpul dana, pengelola dan sebagai penyedia dana.
Bank sebagai pengelola dana, dana sendiri maupun dana titipan, dalam hal ini bank bertindak sebagai pemegang amanah sekaligus mudharib.
Dalam hal bank sebagai penyedia dana, menyediakan fasilitas berbagai model pembiayaan terhadap proyek usaha, aman dan dapat memberikan hasil yang optimal. Dengan berbagai acuan diatas, kita mempersaksikan bahwa pada produk-produk perbankan menerapkan prinsip-prinsip tertentu, seperti prinsip simpanan, prinsip pengambil keuntungan, perinsip sewa, prinsip pengabilan jasa (fee) dan prinsip biaya administrasi (produk Al QardhulHasan).
Pada model pembiayaan Mudharabah, sebagaimana telah disinggung diatas, memerlukan dana sebagai modal dengan syarat-syarat sebagai berikut: Jika modal itu, dalam bentuk dana tunai, mesti dinyatakan dengan jelas jumlahnya. Modal dalam bentuk aset, maka aset itu dinilai pada waktu pelaksanaan akad (kontrak). Modal tak dapat berbentuk piutang, harus diserahkan kepada mudharib untuk melakukankegiatan usahanya, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam prosentase dari keuntungan yang mungkin akan dihasilkan. Demikian pula, kesepakatan ratio prosentase harus dicapai dengan melalui negosiasi dan dituangkan dalam kontak. Berikut ini, kita lihat pembagian keuntungan baik pada deposito maupun tabungan Al Mudharabah. Pada deposito instrumen bagi hasil itu, 70 % bagian laba untuk deposan, bank menerima sebesar 30 %. Pada jenis tabungan, pembagian keuntungan antara deposan dan pihak bank, masing-masing memperoleh bagian fifty-fifty, yaitu kedua pihak mendapat bagian yang sama sebesar 50 %. Cara pembagian yang dilakukan oleh bank tersebut, dengan prosentase tertentu adalah merupakan perjanjian baku. Identik dengan tingkat resiko yang dihadapi oleh para pihak. Tabungan Al Mudharabah, memiliki nilai-nilai keuntungan yang merupakan keunggulan perbankan syariah.
Di samping tabungan, pada deposito Al Mudharabah juga memiliki berbagai keunggulan, yaitu; penyimpan dana (depositor) bertindak sebagai pemilik modal, bank sebagai pengelola dana (Mudharib). Depositor dapat memilih lamanya waktu mengendapkan dana. Keuntungan lainnya yaitu disamping keamanan pemanfaatan dana, juga turut membantu masyarakat, sekaligus telah dikeluarkan zakatnya dan membagibagikannya kepada mereka yang berhak menerimanya dengan perantaraan bank.
Tidak kurang pentingnya adalah masalah pinjaman pada produk perbankan itu, yang perlu menjadi perhatian, adalah: a) Pinjaman sebaiknya diambil oleh masyarakat atau pengusaha yang benar-benar membutuhkan dana sebagai modal usaha, b) Terlebih dahulu debitur hendaknya merencanakan tentang bidang usaha, tempat, lokasi, pasar, jumlah biaya yang dibutuhkan, dan sebagainya, c) Dana yang dipinjam diusahakan dan dimanfaatkan dengan benar, karena perlu disadari objek pembiayaan adalah milik masyarakat, d) Perlu bagi debitur menguasai administrasi praktis tentang pengelolaan usahanya, sehingga kejujuran dapat terbaca oleh bank. Masalah administrasi keuangan, memang berhubungan erat dengan kejujuran. Suatu adagium menyataan bahwa; orang jujur dianggap tidak jujur apabila administrasinya tidak beres, tetapi orang yang tidak jujur sekalipun dianggap jujur jika administrasinya tidak baik (Jafizham: 2001), e) bagi debitur, mencicil pinjaman dan bagi hasil harus tepat waktu sesuai perjanjian. Dibawah ini, kita kemukakan contoh, seperi berikut: A, seorang pedagang, meminjam dana pada bank dengan prinsip bagi hasil, untuk berdagang sayur-sayuran, sebesar Rp. 1.000.000,-. Dengan Nisbah bagi hasil, A 70% dan bank memperoleh 30 % dari hasil keuntungan, dengan masa pengembalian satu bulan. Setelah persetujuan (kontrak) kedua belah pihak ditandatangani, maka pedagang itu menerima dana tersebut dari bank. Pada hari pertama A, memperoleh keuntungan bersih sebesar Rp. 50.000,A mencatat keuntungan tersebut pada buku catatan khusus. Kemudian, pada minggu pertama, A telah mengumpulkan keuntungan bersih sebanyak Rp. 30.000,- Setiap seminggu A menyetor uangnya pada bank melalui tabungan Mudharabah. Pada akhir bulan keuntungan bersih diperoleh A sebanyak Rp. 1.200.000,setelah pembagian hasil keuntungan dengan bank, A memperoleh Rp. 840.000.000,- (70%) dan bank mendapat keuntungan sebesar Rp. 360.000,- atau (30 %). Tepat pada saat jatuh tempo, A mengembalikn pinjaman plus keuntungan sebesar 1.360.000,-
Pada bulan kedua, A meneruskan pinjaman dengan pola yang sama. Insya Allah, pada bulan ke-3, A tidak perlu meminjam lagi dana bank untuk modal usaha selanjutnya, karena A telah mendapatkan hasil keuntungan yang memadai untuk melanjutkan usahanya.
27

T. Rusydi: Segi-Segi Positif dalam Prinsip Bagi Hasil…

Perbedaan Bank dengan Prinsip Syariah dengan Bank Konvensional

Bank Konvensional - Penentuan bunga dibuat pada waktu akad
tanpa berpedoman pada untung rugi

- Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.
- Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat, sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang booming
- Eksistensi bunga diragukan oleh semua agama termasuk Islam
- Investasi yang halal dan haram - Tidak terdapat dewan pengawas syariah

Bank Syariah - Penentuan besarnya ratio bagi hasil
dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untungrugi. - Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Sekiranya rugi akan ditanggung bersama oleh kedua pihak. - Jumlah pembayaran laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan
- Tidak ada yang meragukan kebasahan keuntungan bagi hasil.
- Melaksanakan investasi yang halal saja. - Pengerahan dan penyaluran dana sesuai
pendapat melalui dewan pengawas syariah.

Demikian pula, jika dilihat dari segi operasional administrasinya, sistem akunting (pembukuan) berbeda antara kedua jenis bank. Di samping adanya rasa nyaman dan kepuasan bathin, karena setiap pembagian modal bagi hasil pada perbankan syariah langsung dikeluarkan zakatnya. Hal ini tidak terdapat pada bank konvensional. Keadaan diatas merupakan fakta bahwa, perbankan syariah memiliki nilai dan prinsip yang berbeda dengan perbankan konvensional. Pada tingkat paradigmatik, perbankan syariah memiliki seperangkat nilai dan aturan moral yang baku yang tentunya berbeda secara diametral dengan perbankan umum (Djamil, 2001).
Umumnya, setiap persoalan tidak hanya memiliki perbedaan-perbedaan tertentu tetapi juga adanya suatu persamaan. Hal ini sudah merupakan Sunnatullah atau hukum alam (Natural law). Demikian pula pada sistem perbankan, selain perbedan-perbedaan diatas jika ditinjau dari segi service atau pelayanan terhadap masyarakat, maka kedua jenis lembaga keuangan itu, memiliki adanya problem yang sama. Seperti pada bank umum, bank dengan prinsip syariah, juga melayani nasabah yang bukan beragama Islam. Sebab menurut hukum Islam, Nabi Muhammad SAW diutus adalah untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Oleh karena itu, tidak ada halangan untuk melayani nasabah yang bukan beragama Islam, selama hal itu tidak merugikan kedua belah pihak. Disamping itu, malah bagi masyarakat non muslim juga boleh memiliki saham bank syariah. Karena dalam ketentuan hukum Islam, tidak ada halangan bagi masyarakat non muslim untuk ikut memiliki sebagian usaha yang dilaksanakan oleh masyarakat Islam. Walau kenyataannya tidak ada larangan, namun dalam hal kepemilikan saham tergantung sepenuhnya kepada akte pendirian dan anggaran dasar dari bank yang bersangkutan. Disamping boleh memiliki saham, bahkan bagi non muslim, boleh juga sebagai pengelola bank syariah. Karena dalam ketentuan hukum Islam, tidak ada larangan bagi non muslim ikut mengelola suatu usaha yang dikelola oleh orang-orang Islam. Dengan demikian, dalam hal pengelolaan bank syariah tidak ada halangannya untuk mempekerjakan staf atau manajer yang bukan beragama Islam, sepanjang mereka yang bersangkutan memenuhi syarat professionalisme yang diperlukan dan bersedia tunduk kepada ketentuanketentuan tentang pengelolaan bank dengan prinsip bagi hasil, sesuai peraturan hukum Islam.
Pada negara-negara tertentu, tampak adanya kerjasama dalam hal pengelolaan bank syariah, antara muslim dengan non muslim. Seperti, di Denmark dan beberapa negara lainnya, bank syariah dipimpin oleh non muslim. Disini terlihat adanya toleransi dalam ketentuan hukum Islam. Tidak membedakan suku, bangsa, warna kulit (ras) maupun agama, dalam bermuamalah. Asalkan adanya keinginan untuk dapat saling bekerja sama dalam hal-hal yang makruf (baik), saling menguntungkan bagi para pihak. Berbagai problem diatas, adalah merupakan keunggulan bagi bank dengan prinsip syariah. Sebagai sarana untuk memperoleh penghasilan rezeki yang halal, juga baik dan berkat (halalan, toyyiban, mubaraqan). Semoga tercapai!

KESIMPULAN Bank syariah meruapakan suatu lembaga keuangan yang berasaskan, antara lain keadilan, kemitraan,
transparansi dan universal serta melakukan kegiatan usaha perbankan berdasarkan prinsip perekonomian Islam. Kegiatan usaha perbankan ini, mempunyai ciri khas antara lain mengharamkan riba, konsep uang sebagai alat

28


JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 1 Februari 2006
tukar bukan sebagai komoditas dan tidak dipekenankan melakukan kegiatan spekulasi dalam berbagai bentuknya.
Disamping adanya berbagai keunggulan yang diadopsi oleh bank konvensional. Hal ini ditandai dimana bank dengan prinsip syariah dapat bertahan ditengah gejolaknya nilai tukar dan tingkat suku bunga yang tinggi. Keadaan ini didukung oleh prinsip-prinsip syariah dalam transaksi. Terutama unsur-unsur moralitas menjadi faktor penting dalam seluruh tindakan bank. Sebagai fakta dari kenyataan itu telah terbukti bahwa krisis sejak hampir selama satu daSAWarsa yang lalu, sistem perbankan berdasarkan prinsip syariah mampu bertahan dan memiliki kinerja lebih baik. Keadaan ini terlihat pada angka Non Performing Financings (NPFS) yang lebih rendah dibandingkan dengan bank konvensional. Bagaimanapun juga keadaan ini menjadikan kinerja perbankan syariah memiliki andil cukup signifikan bagi perkembangan perekonomian di Indonesia.
SARAN Dengan perkembangan dan kemajuan yang telah dicapai oleh bank dengan prinsip syariah, perlu lebih
ditingkatkan, baik tentang keberadaan, perkembangan maupun keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh lembaga keuangan tersebut. Paling tidak mesti ada disetiap tingkat kecamatan. Sehingga dapat terjangkau oleh segenap lapisan masyarakat. Di samping itu, diharapkan agar bank syariah memberi pelayanan yang terbaik kepada masyarakat/nasabah. Dengan demikian, perbankan ini tidak kalah dalam melakukan persaingan dengan lembaga keuangan lainnya.
Dengan perkataan lain, sangat diperlukan peningkatan baik dari segi kualitas maupun kuantitas perbankan. Untuk mengantisipasi berbagai krisis ditengah masyarakat seperti saat sekarang. Maka diperlukan perbankan yang dapat mengayomi kebutuhan masyarakat. Sesuai ketentuan norma-norma hukum maupun prinsip syariah.
DAFTAR PUSTAKA Agustian, Ary Ginanjar. 2002. Emotional Spiritual Quotient (ESQ). Arga. Jakarta.
Al-Iqtisad. 2000. Buletin: Forum Kajian Ekonomi & Perbankan Islam. IAIN SU. Medan
Antonio, M Syafii. 2001. Bank Syariah bagi Bankir dan Praktisi Keuangan. Gema Insani. Jakarta
Ash-shidiqi, Hasbi.2002.Mutiara Hadits. Bulan Bintang. Jakarta.
Departemen Agama RI. 2002. Alqur’an dan Terjemahannya. Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al Qur’an/Lajnah Pentasbih Mushab Al Qur’an. CV.Karya Insan Indonesia (Karindo).Jakarta.
Djazuli, HA. 2003. Fikih Siyasah (Implementasi) Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-rambu Syariah. Pranata Media. Jakarta.
Djumhana, Mhd.2000. Hukum Perbankan di Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Haq, Anwarul, S. 2005. Manajemen Qolbu untuk Remaja MQS Publishing. Bandung.
Heri, Sudarsono. 2003. Bank & Lembaga Keuangan Syariah. Ekonosia. Yogyakarta.
Jafizham, T. 2001. Pengantar Hukum Islam. FH USU. Medan.
Rochmadi, Usman. 2002. Aspek-aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia. Citra Aditya. Bandung.
Suprapto, HM. 2003. Fiqih. PT. Karya Toha Putra. Semarang.
Utomo, Budi Setiawan. 2002. Fikih Kontemporer. Pustaka Saksi. Jakarta.
Zakariyya, Muhammad. 2003. Himpunan Fadillah Amal. Ash-Shaff. Yogyakarta.

29