3
2.2 Struktur Naratif GWCPM
Struktur naratif GWCPM terdiri atas tiga bagian, yaitu bagian pembuka manggala eksordium, bagian corpus inti, dan bagian epilog penutup.
Bagian  pembuka  manggala  dalam  GWCPM  disampaikan  pengarang  dengan  cukup  panjang
yaitu  melalui  pupuh  I  dan  sebagian  pupuh  II.  Pada  pupuh  I  pengarang  melukiskan  tentang  rasa hormatnya  kepada  para  pujangga  zaman  dulu  yang  berhasil  membuahkan  karya-karya  agung  tentang
kepahlawanan.  Kewajiban  swadarma  para  ksatria  yang  gagah  perkasa  melakukan  korban  suci  di medan  perang  karena  setia  membela  Negara  pupuh  I  bait  1.  Keberanian  para  pejuang  kemerdekaan
amat luar biasa. Jiwa dan raganya diumpamakan sebagai daksina Ikang jiwa lawan sarira daksina I.2 atau  tempat  bersemayam  para  dewa,  semboyan  tidak  kenal  menyerah  diumpamakan  sebagai  genta
gentan ika waksutindih,I.2, tetesan darah musuh yang gugur di medan perang yang ditorehkan sebagai sebuah  titik  di  tengag-tengah  dahinya  diumpamakan  sebagai  bhasma  paka  Bhasma  ika,  aswanitaning
sastru brasta,  I.2.    Kerelaan  hati  berkorban  dan  tidak  kenal  mundur  dalam  peperangan  diumpamakan sebagai dupa dan api suci dhupa lawan dhipa suci, nirmalang manah, tan surud ring rana bumi I. 2
Selanjutnya,  pada  bait  terakhir  5  pupuh  I,  pengarang  melukiskan  angka  tahun  ditulisnya GWCPM,  dengan  menggunakan  tahun  candrasangkala  yang  meliputi  hari,  tanggal,  bulan,  tahun,  dan
tempat. Untuk angka tahun, pengarang menggunakan tahun candrasangkala. Geguritan ini ditulis pada hari Rabu tahun 1975 di Desa Tunjuk, Marga, Tabanan I.5.
Bagian pembuka manggala pada pupuh II, pengarang menyampaikan puja puji kepada Tuhan dalam  manifestasinya  sebagai  Dewi  Saraswati,  menyatakan  kerendahan  hatinya,  mohon  petunjuk  agar
bisa menyelesaikan geguritan yang disusunnya itu, dan menyampaikan permohonan maaf kepada Hyang Mahakuasa  agar  tidak  terkena  kutuk  atas  kedurhakaannya  berani  menulis  dan  menyebut-nyebut  nama
para  pahlawan  yang  telah  gugur  sebagai  kusuma  bangsa  dan  sekarang  sudah  sebagai  bhatara-bhatari. Hal itu terlukis jelas dalam kutipan berikut. Om Sang Hyang Jagat Karana, Hyang Rumaga Saraswati,
cingak sembahnya inista, alpa guna tan pahbudi, mughi sredha maweh trepti, lantur ledang ica nuntun, mangda sidhi nyurat, nartayang Pahlawan gumi, kala dangu, duk nindih kamahardhikan II. 1.
Selain  puja  puji  kepada  Tuhan  dan  permohonan  maaf    kepada  para  pahlawan  yang  sudah menjadi  bhatara  bhatari,  pengarang  juga  mengingatkan  kepada  para  generasi  muda  untuk
mendengarkan,  menghayati,  dan  menghargai  para  pahlawan  yang  telah  gugur  sebagai  kusuma  bangsa mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia khususnya di daerah II.2.
Bagian  corpus  inti  cerita    GWCPM    terdiri  atas  13  pupuh,  yaitu  mulai  dari  pupuh  III  sampai dengan  pupuh  XV.  Cerita  diawali  oleh  keinginan  Belanda  untuk  tetap  ingin  menjajah  Indonesia
khususnya Bali karena Belanda masih menganut faham Pax Neerlandica. Belanda  melalui utusan Tuan Termeulen mengirim surat kepada Pak Rai untuk diajak berunding. Pak Rai sudah tahu bahwa surat itu
hanyalah  akal-akalan  Belanda  untuk  menjajah  kembali  Pulau  Bali.  Oleh  karena  itu,  Pak  Rai  menolak dengan  tegas.  Sejak  itu  terjadilah  salah  paham  lalu  menimbulkan  konflik  berkepanjangan  sehingga
terjadi  pertempuran  sengit,  yang  puncaknya  terjadi  pada  tanggal  2o  November  1946  di  Desa  Marga, Tabanan, yang dikenal dengan Puputan Margarana.
Bagian  penutup  epilog  GWCPM  dilukiskan  pada  pupuh  XVI  sebanyak  5  bait.  Isinya menceritakan  tentang  kolofon,  yaitu  tempat  dan  waktu  terjadinya  pertempuran  dahsyat,  yaitu  di  Desa
Umakahang  pada  tanggal  20  November  1946.  Di  situlah  para  pahlawan  bangsa  gugur,  membuktikan dharma  baktinya  kepada  Nusa  dan  Bangsa.  Bagian  ini  juga  berisi  pesan  pengarang,  bahwa  peristiwa
bersejarah itu dapat dijadikan cermin  dan seri tauladan oleh para putra-putri yang  merupakan generasi penerus bangsa dan negara ini. Uraian epilog itu terlihat jelas dalam kutipan berikut.
Puput  yudha  sangang  dasa  nem  diri,  kweh  pasukan  lina  ringpayudhan,  tanggal  rong  dasa nemonin,  Nopember  bulanya  tuhu,  petang  dasa  nemeng  warsi,  yudhane  ring  umakahang,  pahlawan
wangsane mantuk, mintenang susrameng laga, weh darsana tiniraning putra-putri, satyeng wangsa lan negara.  XVI.  1 Selesailah  pertempuran,  96  orang,  jumlah  pasukan  Ciung  Wanara  yang  gugur  dalam
pertempuran, tanggal 20 bertepatan dengan, bulan November, 1946, pertempuran  di subak Umakahang
4
Marga,  di  situlah  para  pahlawan  bangsa    gugur,  membuktikan  dharma  baktinya  kepada    Nusa  dan Bangsa, sebagai cermin yang harus dipakai seri tauladan oleh para putra-putri, yang merupakan generasi
penerus yang setia kepada bangsa dan negara. Selain  itu,  dalam  epilog  juga  dijelaskan  jumlah  pahlawan  yang  gugur,  yaitu  sebanyak  1.371
orang yang diabadikan dalam bentuk tugu. Rinciannya adalah 11 orang bekas tentara Jepang, 64 orang ALARI,  644  orang  pejuang  taruna,  652  orang  pejuang  yang  telah  berkeluarga.  Terakhir,  berisi
penjelasan  tentang  tinggi  bangunan  candi  17  meter,  sebagai  lambang  tanggal  17,  bertingkat  8  sebagai lambang bulan Agustus, tangganya 4 dan sudutnya 5 sebagai lambang tahun 1945. Pada tiap-tiap sudut
terpancang  lukisan  padi  kapas,  rantai,  bintang,  kepala  banteng,  pohon  beringin  sebagai  lambang Pancasila.  XVI.  2  -  3.  Bait  terakhir  dari  epilog  itu  berisi  permakluman  kepada  pemuda  dan  pemudi
tentang kegagahperkasaan para pahlawan pejuang kemerdekaan membela Nusa dan Bangsa. Selain itu, pengarang juga menyarankan kepada kita agar giat bekerja  membangun Negara, mengisi kemerdekaan
dan melanjutkan cita-cita kejayaan bangsa dan Negara. XVI. 5.
2.3 Nilai Patriotisme dalam GWCPM: Perspektif Pembangunan Karakter Bangsa