NILAI PATRIOTISME DALAM GEGURITAN WIRA CARITA PUPUTAN MARGARANA PERSPEKTIF PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA.

(1)

NILAI PATRIOTISME

DALAM GEGURITAN WIRA CARITA PUPUTAN MARGARANA

PERSPEKTIF PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA

I Wayan Cika dan I Made Soreyana

Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana

Jalan Nias 13 Denpasar. Kode Post:80114

Telp/Fax: (0361) 2224121, E-mail : cika.wayan@yahoo.com

(Kode Makalah: P-PNL-163)

ABSTRAK

Salah satu karya sastra geguritan yang dijadikan objek dalam penelitian ini adalah Geguritan Wira Carita Puputan Margarana (GWCPM). GWCPM sangat menarik untuk dikaji karena GWCPM berada antara fakta dan fiksi, artinya GWCPM ditulis dalam bentuk karya sastra geguritan dan isinya menceritakan fakta sejarah yang benar-benar terjadi, yaitu peristiwa perang antara pasukan I Gusti Ngurah Rai (Pasukan Ciung Wanara) melawan Belanda pada tanggal 20 November 1946.

Penelitian ini adalah sebuah penelitian kualitatif yang dianalisis dengan menggunakan teori semiotika sebagai landasan, dibantu dengan teori objektif, dan ditunjang dengan metode hermeutika. Pengumpulan data dilakukan dengan metode studi pustaka untuk mendapatkan naskah dan teks GWCPM.

Hasil analisis menunjukkan bahwa GWCPM dibentuk oleh 9 pupuh dengan 15 pergantian. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Bali, Jawa Kuna, Sansekerta, dan bahasa Belanda. Tema yang diangkat adalah tentang patriotisme, yaitu kegigihan para pejuang untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan bangsa. Para pejuang tidak gentar mengorbankan jiwa dan raganya, demi kepentingan nusa dan bangsa. Selain itu, ditemukan juga nilai kejujuran, kesetiakawanan, nilai religius, nilai persatuan, dan nilai sejarah. Nilai-nilai tersebut dapat dijadikan pedoman dalam membangun karakter bangsa. Amanat yang dapat dipetik adalah agar generasi muda dapat mengetahui, memahami dan meneladani nilai-nilai luhur yang tercermin dalam GWCPM dan bisa menghargai para pejuang yang telah gugur sebagai kusuma bangsa.

Kata kunci: nilai patriotisme, geguritan, karakter bangsa. ABSTRACT

One of the literary works on geguritan as the research object in the current study is Geguritan Wira Carita Puputan Margarana (GWCPM). GWCPM is very interesting to study because GWCPM lies between the fact and the fiction meaning it is written in the form of literary work of geguritan and it contains the story of historical facts that really happen in this case the war between I Gusti Ngurah Rai's troop called Ciung Wanara Troop and the Dutch Colonial Troop on the 20th of November 1946.

The current study is the qualitative one using semiotic theory as the frame of analysis and supported by the objective theory and hermeneutic theory. The data collection was made by the library research in order to obtain the manuscripts and the text of GWCPM.

The findings reveal that GWCPM is formulated into nine rhythmic styles or Pupuhs. The language used is Balinese, Old Javanese, Sanskrit and Dutch. The theme proposed in this geguritan is heroism in struggling and keeping the national independence. The heroes never retreat sacrifice their soul and bodies for the sake of nation. In addition it is also found the values of honesty, solidarity, religion, unity and history. The values could be used as principles in character building of nation. The message adopted is that the young generation know, understand and realize the great values in this geguritan and could appreciate the strugglers of independence who passed away as heroes of nation.

Keywords: heroic value, gaguritan, character building. 1. PENDAHULUAN

Geguritan yang dipilih dalam penelitian ini adalah Geguritan Wira Carita Puputan

Margarana (selanjutnya disingkat GWCPM). Alasannya adalah (1) GWCPM berada antara fiksi dan

fakta. (2) GWCPM benar-benar sebuah geguritan yang mengandung fakta sejarah, yaitu peristiwa perang antara pasukan I Gusti Ngurah Rai melawan Belanda pada tahun 1946. Peristiwa itu terjadi di


(2)

Margarana Tabanan yang dikenal dengan “Puputan Margarana”. (3) GWCPM banyak mengandung nilai patriotisme yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk pembangunan karakter bangsa.

Dalam penelitian ini digunakan teori semiotik sebagai landas pijak. Teori tersebut digunakan untuk mengungap makna nilai-nilai patriotisme yang terkandung di dalam GWCPM. Namun, sebelumnya digunakan teori objektif (struktural) untuk mengungkap struktur formal GWCPM. Penerapan teori itu dibantu dengan metode studi pustaka, metode sejarah dan metode hermeneutik.

Tujuan yang ingin dicapai dalam tulisan ini adalah untuk mengetahui struktur GWCPM, baik mengenai struktur formal maupun struktur naratifnya. Selain itu, juga bertujuan untuk menggali nilai-nilai yang membangun geguritan tersebut dan untuk mengungkapkan maknanya bagi pembangunan karakter bangsa.

2. Hasil dan Pembahasan 2.1 Struktur formal GWCPM

Pengarang menggunakan 9 jenis pupuh untuk membangun GWCPM. Kesembilan jenis pupuh itu adalah pupuh Durma, Sinom, Pangkur, Semarandana, Ginada, Pucung, Maskumambang, Ginanti,

dan Dandang Gula. Pupuh Durma digunakan dua kali yaitu pada pupuh I dan IV; Sinom digunakan tiga

kali, yaitu pada pupuh II, V, dan X; Pupuh Pangkur digunakan dua kali, yaitu pada pupuh III dan XIII; Pupuh Semarandana digunakan dua kali, yaitu pada pupuh VI dn XIV; pupuh Ginada digunakan tiga kali, yaitu pada pupuh VII, XI, dan XIII; pupuh Pucung digunakan satu kali, yaitu pada pupuh VIII; pupuh Maskumambang digunakan satu kali, yaitu pada pupuh IX; pupuh Ginanti digunakan satu kali, yaitu pada pupuh XV; dan pupuh Dandang Gula digunakan satu kali, yaitu pada pupuh XVI. Kesembilan jenis pupuh itu memiliki struktur (formula) yang berbeda satu sama lainnya, tergantung jenis pupuh, karena tiap-tiap pupuh itu mempunyai persyaratan masing-masing yang disebut padalingsa.

Bahasa yag digunakan untuk menggubah GWCPM adalah bahasa Bali ditambah dengan unsur-unsur kosa kata serapan dari bahasa Belanda, seperti NICA (manggalaning NICA, III. 8). NICA adalah istilah lain untuk menyebut Belanda. Termiulen (Termiulen ngaturang surat, III.8). Kata Termiulen adalah nama seorang utusan dari pihak Belanda yang ditugasi untuk mengantarkan surat kepada Pak Rai. Dan, kata Welanda (welandane katah lampus, XIII. 13) untuk menggantikan istilah Belanda, dan apabila terletak di bagian akhir larik atau baris maka kata Welanda itu diganti dengan kata Welandi (III. 1). Hal itu dimaksudkan untuk menyesuaikan bunyi akhir pada larik yang bersangkutan.

Gaya bahasa yang digunakan dalam GWCPM, bertujuan untuk menghadirkan atau membangkitkan rasa keindahan (estetik), baik dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa sebagai sistem model pertama, dalam ruang lingkup linguistik maupun sebagai sistem model kedua dalam lingkup kreativitas sastra. Kualitas keindahan (estetik) itu menjadi pokok permasalahan pada tataran bahasa tingkat kedua (sastra), sebab dalam sastralah, diungkapkan secara rinci ciri-ciri bahasa yang disebut estetis (Wellek & Warren dalam Ratna, 2009: 67).

Dalam GWCPM ditemukan sejumlah gaya bahasa yang dapat membangkitkan rasa estetis. Gaya bahasa itu adalah sebagai berikut. (1) Gaya bahasa personifikasi adalah suatu corak khusus dari metafora yang mengiaskan benda-benda mati bertindak, berbuat, dan berbicara seperti layaknya manusia. Misalnya suara burung seolah-olah memberi isyarat akan kedatangan bahaya, dan seolah-olah memberitahu kepada anggota pasukan agar segera bangun karena musuh akan datang dan siap untuk bertempur (… swaraning paksi, kadi majarang pakewuh, miwah sarat ngawangsitang, ring Pasukan

mangda digelis mawungu, dening wenten satruprapta, misadhya angadu jurit (XI. 1). (2) Gaya bahasa

persamaan atau simile adalah gaya bahasa perbandingan yang bersifat eksplisit. Maksudnya, dengan perbandingan yang bersifat eksplisit, ia langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu, ia memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu denga kata-kata: seperti,

bagaikan, laksana, sebagai, dan lain-lain. Jumlah tentara Belanda yang jumlahnya ratusan itu

diibaratkan sebagai laron yang berkeliaran (berseliweran). Pasukan Ciung Wanara yang gagah berani diibaratkan sebagai api yang berkobar-kobar. Setiap tentara Belanda yang berani mendekati benteng pertahanan pasti dibinasakan (XIII.1).


(3)

2.2 Struktur Naratif GWCPM

Struktur naratif GWCPM terdiri atas tiga bagian, yaitu bagian pembuka (manggala/ eksordium), bagian corpus (inti), dan bagian epilog (penutup).

Bagian pembuka (manggala) dalam GWCPM disampaikan pengarang dengan cukup panjang yaitu melalui pupuh I dan sebagian pupuh II. Pada pupuh I pengarang melukiskan tentang rasa hormatnya kepada para pujangga zaman dulu yang berhasil membuahkan karya-karya agung tentang kepahlawanan. Kewajiban (swadarma) para ksatria yang gagah perkasa melakukan korban suci di medan perang karena setia membela Negara (pupuh I bait 1). Keberanian para pejuang kemerdekaan amat luar biasa. Jiwa dan raganya diumpamakan sebagai daksina (Ikang jiwa lawan sarira daksina( I.2) atau tempat bersemayam para dewa), semboyan tidak kenal menyerah diumpamakan sebagai genta (gentan ika waksutindih,I.2), tetesan darah musuh yang gugur di medan perang yang ditorehkan sebagai sebuah titik di tengag-tengah dahinya diumpamakan sebagai bhasma (paka Bhasma ika, aswanitaning

sastru brasta, I.2). Kerelaan hati berkorban dan tidak kenal mundur dalam peperangan diumpamakan

sebagai dupa dan api suci (dhupa lawan dhipa suci, nirmalang manah, tan surud ring rana bumi (I. 2) Selanjutnya, pada bait terakhir (5) pupuh I, pengarang melukiskan angka tahun ditulisnya

GWCPM, dengan menggunakan tahun candrasangkala yang meliputi hari, tanggal, bulan, tahun, dan

tempat. Untuk angka tahun, pengarang menggunakan tahun candrasangkala. Geguritan ini ditulis pada hari Rabu tahun 1975 di Desa Tunjuk, Marga, Tabanan (I.5).

Bagian pembuka (manggala) pada pupuh II, pengarang menyampaikan puja puji kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewi Saraswati, menyatakan kerendahan hatinya, mohon petunjuk agar bisa menyelesaikan geguritan yang disusunnya itu, dan menyampaikan permohonan maaf kepada Hyang Mahakuasa agar tidak terkena kutuk atas kedurhakaannya berani menulis dan menyebut-nyebut nama para pahlawan yang telah gugur sebagai kusuma bangsa dan sekarang sudah sebagai bhatara-bhatari. Hal itu terlukis jelas dalam kutipan berikut. (Om Sang Hyang Jagat Karana, Hyang Rumaga Saraswati,

cingak sembahnya inista, alpa guna tan pahbudi, mughi sredha maweh trepti, lantur ledang ica nuntun, mangda sidhi nyurat, nartayang Pahlawan gumi, kala dangu, duk nindih kamahardhikan (II. 1).

Selain puja puji kepada Tuhan dan permohonan maaf kepada para pahlawan yang sudah menjadi bhatara bhatari, pengarang juga mengingatkan kepada para generasi muda untuk mendengarkan, menghayati, dan menghargai para pahlawan yang telah gugur sebagai kusuma bangsa mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia khususnya di daerah (II.2).

Bagian corpus (inti cerita) GWCPM terdiri atas 13 pupuh, yaitu mulai dari pupuh III sampai dengan pupuh XV. Cerita diawali oleh keinginan Belanda untuk tetap ingin menjajah Indonesia khususnya Bali karena Belanda masih menganut faham Pax Neerlandica. Belanda melalui utusan Tuan Termeulen mengirim surat kepada Pak Rai untuk diajak berunding. Pak Rai sudah tahu bahwa surat itu hanyalah akal-akalan Belanda untuk menjajah kembali Pulau Bali. Oleh karena itu, Pak Rai menolak dengan tegas. Sejak itu terjadilah salah paham lalu menimbulkan konflik berkepanjangan sehingga terjadi pertempuran sengit, yang puncaknya terjadi pada tanggal 2o November 1946 di Desa Marga, Tabanan, yang dikenal dengan Puputan Margarana.

Bagian penutup (epilog) GWCPM dilukiskan pada pupuh XVI sebanyak 5 bait. Isinya menceritakan tentang kolofon, yaitu tempat dan waktu terjadinya pertempuran dahsyat, yaitu di Desa Umakahang pada tanggal 20 November 1946. Di situlah para pahlawan bangsa gugur, membuktikan dharma baktinya kepada Nusa dan Bangsa. Bagian ini juga berisi pesan pengarang, bahwa peristiwa bersejarah itu dapat dijadikan cermin dan seri tauladan oleh para putra-putri yang merupakan generasi penerus bangsa dan negara ini. Uraian epilog itu terlihat jelas dalam kutipan berikut.

Puput yudha sangang dasa nem diri, kweh pasukan lina ringpayudhan, tanggal rong dasa nemonin, Nopember bulanya tuhu, petang dasa nemeng warsi, yudhane ring umakahang, pahlawan wangsane mantuk, mintenang susrameng laga, weh darsana tiniraning putra-putri, satyeng wangsa lan negara. (XVI. 1) Selesailah pertempuran, 96 orang, jumlah pasukan Ciung Wanara yang gugur dalam


(4)

(Marga), di situlah para pahlawan bangsa gugur, membuktikan dharma baktinya kepada Nusa dan Bangsa, sebagai cermin yang harus dipakai seri tauladan oleh para putra-putri, yang merupakan generasi penerus yang setia kepada bangsa dan negara.

Selain itu, dalam epilog juga dijelaskan jumlah pahlawan yang gugur, yaitu sebanyak 1.371 orang yang diabadikan dalam bentuk tugu. Rinciannya adalah 11 orang bekas tentara Jepang, 64 orang ALARI, 644 orang pejuang taruna, 652 orang pejuang yang telah berkeluarga. Terakhir, berisi penjelasan tentang tinggi bangunan candi 17 meter, sebagai lambang tanggal 17, bertingkat 8 sebagai lambang bulan Agustus, tangganya 4 dan sudutnya 5 sebagai lambang tahun 1945. Pada tiap-tiap sudut terpancang lukisan padi kapas, rantai, bintang, kepala banteng, pohon beringin sebagai lambang Pancasila. (XVI. 2 - 3). Bait terakhir dari epilog itu berisi permakluman kepada pemuda dan pemudi tentang kegagahperkasaan para pahlawan pejuang kemerdekaan membela Nusa dan Bangsa. Selain itu, pengarang juga menyarankan kepada kita agar giat bekerja membangun Negara, mengisi kemerdekaan dan melanjutkan cita-cita kejayaan bangsa dan Negara. (XVI. 5).

2.3 Nilai Patriotisme dalam GWCPM: Perspektif Pembangunan Karakter Bangsa

Patriotisme berasal dari kata “patriot” dan “isme”. “Patriot” artinya pencinta

(pembela) tanah air; dan, “isme” artinya faham, semangat. Patriotisme, artinya semangat cinta tanah air, semangat membela tanah air, yakni sikap seseorang yang sudi mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah airnya (Tim Penyususn Kamus, 1988:654). Nilai yang dapat digolongkan sebagai semangat cinta atau pembela tanah air dalam GWCPM, antara lain nilai kepahlawanan, nilai keberanian, nilai kesetiaan, nilai perjuangan, niai religius, dan nilai bela negara. Nilai-nilai tersebut akan diuraikan secara singkat, sebagai berikut (Bdk. Sudarta, 2014:112; Ki Supriyoko, 2015:183).

1) Nilai Kepahlawanan

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk memuliakan pahlawan, antara lain: (1) derajatnya dapat disejajarkan derajat dewa, dibuatkan altar pemujaan atau monumen supaya diingat oleh generasi demi generasi, dan (2) digubah riwayatnya menjadi c erita, mit e dan legenda, dan akhirnya disususun menjadi syair atau cerita pahlawan (Tim Penyusun Laporan, 1982:23).

Berdasarkan uraian di atas, Pak Rai layak diakui sebagai pahlawan nasional karena memenuhi syarat-syarat sesuai dengan arti pahlawan terutama poin 2,3, dan 4 di atas. Dilihat dari segi cara-cara memuliakan pahlawan, Bapak I Gusti Ngurah Rai memenuhi semua ciri-ciri seperti dipaparkan di atas. Pertama, Pak Rai dibuatkan altar pemujaan atau monumen yang diberi nama “Taman Pujaan Bangsa Candi Pahlawan Mergarana”, karena riwayat perjuangannya digubah ke dalam sebuah bentuk karya sastra sejarah (historigrafi tradisional)

GWCPM.

Bagi para ksatria, perjuangan adalah pengorbanan suci, pengorbanan jiwa dan raga (ikang jiwa lan sarira daksina) (I.2), jiwa dan raga sebagai persembahan. Pengorbanan adalah kesenangan dan keikhlasan (nirmalang manah) (I.2) dan tidak mundur dalam setiap langkah di peperangan (tan surud ring rana bumi) (I.2). Demikianlah bagi para pejuang bangsa, karenanya akan mendapatkan pahala dari Tuhan yang Maha Kuasa. Selain kenikmatan surgawi, para pejuang bangsa yang gugur dalam pertempuran akan memperoleh kenikmatan fisik, seperti, nahan tuwi winuwus pahlawan wangsa, dijuluki pahlawan negara, lana

sinembah pinuji, selalu dihormati dan di puja-puja, muwang sinurateng pustaka, dicatatat

namanya dengan tinta emas, dan liningga stahneng candi (I.4) dibuatkan tugu peringatan. Seorang pahlawan (Pak Rai), di samping cinta pada bangsa dan negara, juga mempunyai keterampilan memimpin anak buahnya, khususnya dalam membuat strategi perang. Keterampilan ini tampak ketika pejuang dari Jawa ingin datang dan membantu para pejuang Bali. Dengan cekatan Pak Rai membuat tipu daya (strategi), dengan memindahkan


(5)

seluruh pasukan ke Bali bagian Timur (Gunung Agung), (Nanging sang wibhuhing naya,tan

kirang upaya sandhi,raris ida manitahang, bala wadwane magingsir,matedah ke Bali kangin,ngungsi pucak Gunung Agung, pinaka pangindrajala (V.2). Dengan begitu, Bali Barat

akan kosong sehingga memudahkan bagi bala bantuan dari Jawa mendaratkan pasukannya. Pak Rai berulang-ulang menegaskan dan menekankan, bahwa perjuangan harus ditegakkan, tidak ada satu pun yang mengingkari perjuangan bangsa ini sampai ajal menjemput (mangda tan ngawedar rusia, yadin pacang nandang lampus) (VI.14). Semangat spririt seperti dilakukan oleh Pak Rai ini harus dimaknai sebagi semangat pantang menyerah dari generasi penerus bangsa untuk mengisi cita-cita kemerdekaan yang telah dicapai oleh pahlawan terdahulu.

2) Nilai Keberanaian

Berani artinya mempunyai hati yang mantap dan rasa percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya, kesulitan dan tidak takut (gentar) (Tim Penyusun Kamus, 1988:105).

Pak Rai dalam geguritan ini adalah tokoh utama, pemuda perkasa, pejuang bangsa . Pak Rai adalah tokoh fiksi (dalam geguritan) sekaligus tokoh aktual yang benar -benar ada dalam kenyataan. Beliau adalah tokoh yang memperjuangkan haknya sebagai anak bangsa dalam rangka mempertahankan kemerdekaan yang telah dicapai oleh para pejuang yang mendahuluinya. Pak Rai bersama teman-temanya yang memiliki ide, gagasan yang sama bersatu padu mengusir Belanda dari Bumi Pertiwi Bali. Pak Rai merupakan simbol pemuda perkasa yang berani menantang Belanda untuk berperang

Bagi seorang pejuang, di samping ide, gagasan, kekuatan, strategi perang (keterampilan mengadu taktik), juga yang amat penting ialah keberanian. Pak Rai adalah tokoh pemberani yang patut diteladani. Sikap keberanian itu ditunjukkan antara lain dalam sikap penolakannya diajak berunding yang disampaikan dalam bentuk surat kepada Belanda (IV.2). Bagi Pak Rai, merdeka merupakan harga mati walaupupun Beliau menyadari bahwa yang dihadapinya adalah bangsa Belanda yang kuat, mempunyai kemampuan perang yang modern. Pak Rai adalah pejuang tegas “teges bawos ida”, pemuda yang bertanggung jawab dengan segala resiko yang dihadapinya. Bagi beliau, keamanan di Bali menjadi urusan orang Bali (IV.3).

Keberanian dalam konteks kekinian dapat dimaknai sebagai ketidak raguan (tidak ragu-ragu) melaksanakan tugas mulia. Mempertahankan kedaulatan negara adalah tugas mulia bagi setiap manusia. Lakukan tugas itu dengan keberanian dan keikhlasan berkorban, perjuangan pasti berhasil.

3) Nilai Kesetiaan

Sebagai komandan perang, Pak Rai sejak awal telah memperlihatkan kesetiaannya, tidak akan pernah ingkar janji, bersumpah setia membela negera. Sifat -sifat Pak Rai menyebabkan semua anggota pasukan menjadi hormat kepadanya. Hal ini tampak ketika Pak Rai membalas surat ajakan Belanda (Sapunika daginging sewalapatra, surat pangwales Pak

Rai, kesatria purusa, pageh satyam ring ubaya,larapan wadwane bakti… (IV.8)

Kesetiaan, ketaatan, kepatuhan dan keteguhan memegang janji sangat pentin g dalam

perjuangan. Pak Rai menyadari betul bahwa rakyat teramat setia mengikuti segala perintah Pak Rai. Ketika Pak Rai memerintahkan agar rakyat membuat perlindungan, dengan serempak rakyat mengikutinya. Begitu juga Pak Rai dengan bahasa yang lembut, sop an santun, bersedagurau (taler ida mengandika, mabawas masilakrama, dagingnya sakadi guyu,

sapunika bawos ida) (VI.9).

Bersama teman-teman seperjuangan, Pak Rai senantiasa mengajak anak buahnya berlaku setia, patuh dan teguh memegang janji. Menurut Pak Rai dengan sifat-sifat itu


(6)

perjuangan pasti aman dan sentosa. Pak Debes (Pak Putih), Pak Kwasa, Pak Dewa Made Kaler dengan lantang meneriakkan kesetiaan untuk membela negaranya (VI. 11).

Kesetiaan adalah sikap patuh, taat, teguh memegang janji perjuangan antarkomponen bangsa. Sikap teguh, dan konsisten tidak hanya terjadi antarpejuang, tetapi juga antara pejuang dan rakyat. Sikap patuh seperti tersuratkan diatas mengisyaratkan kita harus taat kepada azas perjuangan bangsa untuk mencapai kemerdekaan. Setelah kemerdekaan itu dapat direngkuh, kita harus sepakat, teguh hati untuk mempertahankannya dari segala rongrongan, baik yang berasal dari bangsa sendiri maupun dari bangsa luar. Jangan terjadi pengkhianatan terhadap bangsa di muka bumi ini, karena pengkhianatan terhadap bangsa berarti merendahkan martabat bangsa sendiri.

Tatan abah, rakyate yadin katitig, tan pisan kawedar,kancane patut kapingit, ngardi pejuang santosa (IX.2)…. Kala ika, para pejuange sami,yadin ipun kasiksa, tan pisan nyelsel ring diri, sayaga tindih ring wangsa (IX.3). (Rakyate tetap teguh imannya, meskipun mereka

disiksa, tidak mau membuka rahasia (perjuangan), semuanya dirahasiakan, agar pejuang aman sentosa. Pada saat itu, semua para pejuang, meskipun mereka disiksa, tetapi sedikit pun tidak ada rasa penyesalan, rela berkorban demi bangsa.

4) Nilai Perjuangan

Perjuangan adalah sebuah pertempuran sebagai reaksi atas kedatangan Belanda dengan menyamar ingin merebut kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Tanggal 17 Agustus 1945 adalah hari Proklamasi Kemerdekaan Repulik Indonesia. Sejak tanggal itulah bangsa Indonesia telah menjadi bangsa yang merdeka, terbebas dari penjajahan negara manapun termasuk Belanda. Nampaknya Belanda tidak menyetujui, dan menolak kemerdekaan Indonesia. Dengan menyamar bersama sekutunya, Belanda kembali ingin menjajah Indonesia. Rakyat mengetahui, (rakyate rungu), bersatu padu dan kompak (tumuli nunggalang paksa, sagulute nindih Negara) (III.2). Rakyat, terutama para pemuda membangun kekuatan yang diberi nama Pasukan Banteng, sedangkan kaum wanitanya membangun dan menggalang kekuatan dengan pasukannya yang berjuluk Pasukan Srikandi (III.3).

Peristiwa-peristiwa selanjutnya semakin memuncak dan dilukiskan secara kronologis, seperti tampak dalam uraian berikut.

a) Pada tanggal 18 November 1946 kira-kira pukul 22.00 pasukan pejuang dipimpin Pak Suweta berangkat menuju tangsi NICA dengan berpegangan seutas tali supaya tidak terlepas satu sama lain di perjalanan. Pada pukul 24.00 pasukan tiba di tangsi. Senjata NICA dapat dirampas. Pada pukul 05.00 keesokan harinya, pasukan pejuang kembali ke markasnya.

b) Pada tanggal 19 November 1946 pasukan pejuang mengadakan hiburan Janger, setelah itu, mereka bersembahyang berdoa kepada Tuhan, agar mendapat berkah.

c) Tentara NICA bersenjata lengkap telah siap dan berkumpul di sebelah selatan Desa Marga. d) Pasukan pejuang telah siap dengan benteng-benteng pertempuran.

e) Kira-kira pukul 09.00 tentara NICA berjumlah 40 orang mendekati benteng pejuang. f) Pukul 12.00 tentara NICA terpukul mundur dan lari tunggang langgang.

g) Tentara NICA mencari bantuan.

h) Tidak lama kemudian datang pesawat NICA membombardir para pejuang. Pasukan pejuang di bawah pimpinan Pak Sugyanyar gugur.

i) Selanjutnya, Pak Rai sebagai pimpinan tertinggi pasukan pejuang memerintahkan semua anggota pasukan menuntut balas sampai titik darah penghabisan dengan mengucapkan kata-kata “puputan -- puputan – puputan”.

j) Terjadilah perang habis-habisan (puputan) dan berakhir senja hari. Inilah yang disebut Perang


(7)

5) Nilai Agama

Agama berarti kepercayaan kepada Tuhan dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan keyakinan (Tim Penyusun Kamus, 1988: 9). Definisi tersebut menyiratkan bahwa agama dipandang sebagai pendangan hidup, baik bagi perseorangan (individu) maupun kelompok. Agama berisi ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang keberadaan manusia. Bahasan yang mengarah kepada nilai agama akan disajikan dalam kutipan berikut.

… nanging sadurung lumaku, mangda mabakti ke pura, Dalem Basa masasengi, pacang nahur, guling bawi piodalan, lantas ida miteketang (X.9). (tetapi sebelum berangkat,

agar bersembahyang ke pura, pura Dalem Basa dan berkaul, akan menghaturkan, babi guling pada saat upacara tiba, lanjut Pak Rai memperingatkan).

Kutipan di atas mengamanatkan tentang keyakinan yang terdapat dalam ajaran agama Hindu. Bagi penganut agama Hindu, diyakini bahwa apapun yang akan dikerjakan selalu memohon kekuatan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, memohon kehadiran-Nya. Apalagi dalam konteks perjuangan, berperang melalawan musuh yang sangat kuat, seperti Belanda. Sebelum berangkat ke medan tempur mereka menyempatkan diri untuk bersembahyang ke Pura Dalem Basa sambil berkaul. Mereka (umat Hindu) juga meyakini bahwa Pura Dalem merupakan Pura Kahyangan Tiga, selain Pura Desa dan Pura Puseh. Di Pura Dalem bersthana Bhatara Siwa dan Dewi Durga. Kematian (pralina) bagi seseorang (manusia) hanya kehendak Bhatara Dalem.

Kaul itu diucapkan dalam suasana yang magis, baik berkenaan dengan waktu (kala) maupun tempat (ruang). Tujuannya adalah untuk memohon dan mendapatkan kesuksesan dalam segala penyelenggaraan upacara, perjuangan atau kegiatan lainnya. Oleh karena diucapkan dalam suasana yang magis, baik menyangkut waktu maupun tempat maka kaul menjadi janji yang sakral dalam arti harus ditepati. Kalau tidak ditepati akan menjadi bahaya dan selalu diingat-ingat oleh orang yang berkaul. Demikian pula halnya pasukan Ciung Wanara yang berhasil mengalahkan NICA lalu membayar kaulnya. Hal itu dilukiskan dalam kutipan berikut. …pasukane raris tangkil, ke Pura Dalem Basa, nahuring punagi lantur,

masaputining sanjata, teleb bakti, pamuput majaya jaya (XI.11).

Ada beberapa makna yang dapat dipetik dari uraian di atas. Pertama pengarang atau siapa saja yang akan melakukan pekerjaan besar atau kecil pasti memohon ridho Tuhan Yang Mahakuasa, agar pekerjaannya berhasil. Ada sebuah keyakinan, bahwa Tuha n menentukan segalanya, manusia hanya bisa merencanakan.

Kaul adalah janji yang sakral, dalam arti kaul itu diucapkan dalam situasi yang sangat magis, baik segi waktu atau ruang. Oleh karena itu disarankan, hendaknya kaul itu dibayar lunas, kalau tidak, kaul yang tidak terbayar akan dihantui oleh pikiran terus menerus. Banyak dijumpai orang hidupnya sengsara, sakit-sakitan karena kaul yang belum dibayar.

6) Nilai Bela Negara

Kata bela negara berasal dari kata “bela” dan “negara. Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia, kata “bela” berarti membela, menolong, melepaskan dari bahaya, melindungi,

mempertahankan (perkara, pendapat, Negara, dan sebagainya) (Tim Penyusun Kamus, 1988:93). Dalam pembahasan ini, nilai bela negara mengacu pada makna melindungi, mempertahankan negara dari ancaman negara lain, yaitu NICA (Belanda).

Pergerakan perlawanan rakyat di bawah pimpinan I Gusti Ngurah Rai adalah aksi dalam rangka melindungi, mempertahankan kedaulatan Negara, khususnya daerah Bali dari kekuatan tentara NICA (Belanda) (III.1-2). Rakyat Bali tidak rela daerahnya dijajah (dikuasai) oleh kekuatan asing. Rakyat rela untuk berkorban membela Negara (rakyat Baline

tan sudya, yan tan tinut tindih melanin, negara mawastu ingkup saguluk (III.3). Terutama


(8)

Semua lapisan masyarakat, laki-perempuan, tua-muda, ikut bersama berjuang membela negara. Ada yang membuat perlindungan, mematai-matai datangnya musuh, dan membantu mencari keperluan lainya (III.4-5; VI.1-2).

Rakyat setia melakukan perlawanan demi membela dan mempertahankan tanah airnya. Rakyat sama sekali tidak menyesal walaupun mereka disiksa oleh bangsanya sendiri, apalagi takut, demi bangsa dan negaranya sendiri (Kala ika, para pejuange sami, yadin ipun

kasiksa, tan pisan nyelsel ring diri, sayaga tindih ring wangsa (IX.3) (Pada saat itu, semua

para pejuang, meskipun mereka disiksa, tetapi sedikitpun tidak menyesali diri, rela berkorban demi mempertahankan kemerdekaan). Rakyat tahu betul akan meregang nyawa, tetapi tetap setia membela kepentingan nusa dan bangsa (yadin mati, yan sampun satyeng Negara) (XIII.8). Hanya dengan tekad setia membela negara, NICA terdesak dan mundur( welanda

tandang kuciwa) (XIII.9)

Makna yang dapat ditangkap dari uraian di atas ialah kewajiban bagi setiap warga negara bangsa Indonesia untuk melindungi dan menjaga kedaulatan negaranya dari segala ancaman, baik dari luar seperti dilakukan oleh penjajah Belanda maupun ancapan dari dala m bangsa sendiri, seperti yang dilakukan oleh NICA Gandek.

3. Simpulan

Berdasarkan pembahasan di atas dapat dibuat simpulan , sebagai berikut.

GWCPM adalah sebuah historiografi tradisional yang berada antara fiksi dan fakta. Sebagai

fiksi, GWCPM terikat oleh syarat-syarat tetentu, yang disebut padalingsa ebagai fakta, GWCPM menceritakan fakta sejarah yang benar-benar terjadi. pada tanggal 20 November 1946.

Struktur naratif GWCPM terdiri atas tiga bagian, yaitu bagian pembuka (manggala), bagian corpus (inti cerita), dan bagian epilog (penutup). Bagian pembuka mengungkapkan: (1) puja puji kepada Tuhan, dalam manifestasinya

Dalam Perspektif pembangunan karakter bangsa, nilai patriotisme mengandung makna semangat cinta dan membela tanah air, sikap seseorang yang sudi mengorbankan segala-galanya demi kejayaan dan kemakmuran tanah airnya. Pengorbanan tidak hanya berupa harta benda, tetapi juga jiwa dan raga yang tak ternilai harganya.

DAFTAR PUSTAKA

Atmazaki. 1990. Ilmu Sastra Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya.

Ki Supriyoko. 2015. “Pendidikan Karakter Bangsa sebagai Strategi Kebudayaan”, dimuat dalam

Revolusi Mental sebagai Strategi Kebudayaan. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan

Kebudayaan.

Ratna, N. Kutha. 2004. Teori, Metode, & Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suhardana, K.M. 2006. Pengantar Etika & Moralitas Hindu: Bahan kajian untuk Memperbaiki Tingkah

Laku. Surabaya: Paramita.

Tim Penyusun Laporan Penelitian. 1982. Pahlawan dalam Kesusastraan Panji di Nusantara. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Tim Penyusun Kamus. 1993. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.2014.

Sudarta, Wayan. 2014. Puputan Margarana: Pertempuran Terdahsyat pada Masa Revolusi Fisik di


(1)

2.2 Struktur Naratif GWCPM

Struktur naratif GWCPM terdiri atas tiga bagian, yaitu bagian pembuka (manggala/ eksordium), bagian corpus (inti), dan bagian epilog (penutup).

Bagian pembuka (manggala) dalam GWCPM disampaikan pengarang dengan cukup panjang yaitu melalui pupuh I dan sebagian pupuh II. Pada pupuh I pengarang melukiskan tentang rasa hormatnya kepada para pujangga zaman dulu yang berhasil membuahkan karya-karya agung tentang kepahlawanan. Kewajiban (swadarma) para ksatria yang gagah perkasa melakukan korban suci di medan perang karena setia membela Negara (pupuh I bait 1). Keberanian para pejuang kemerdekaan amat luar biasa. Jiwa dan raganya diumpamakan sebagai daksina (Ikang jiwa lawan sarira daksina( I.2) atau tempat bersemayam para dewa), semboyan tidak kenal menyerah diumpamakan sebagai genta (gentan ika waksutindih,I.2), tetesan darah musuh yang gugur di medan perang yang ditorehkan sebagai sebuah titik di tengag-tengah dahinya diumpamakan sebagai bhasma (paka Bhasma ika, aswanitaning sastru brasta, I.2). Kerelaan hati berkorban dan tidak kenal mundur dalam peperangan diumpamakan sebagai dupa dan api suci (dhupa lawan dhipa suci, nirmalang manah, tan surud ring rana bumi (I. 2)

Selanjutnya, pada bait terakhir (5) pupuh I, pengarang melukiskan angka tahun ditulisnya GWCPM, dengan menggunakan tahun candrasangkala yang meliputi hari, tanggal, bulan, tahun, dan tempat. Untuk angka tahun, pengarang menggunakan tahun candrasangkala. Geguritan ini ditulis pada hari Rabu tahun 1975 di Desa Tunjuk, Marga, Tabanan (I.5).

Bagian pembuka (manggala) pada pupuh II, pengarang menyampaikan puja puji kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewi Saraswati, menyatakan kerendahan hatinya, mohon petunjuk agar bisa menyelesaikan geguritan yang disusunnya itu, dan menyampaikan permohonan maaf kepada Hyang Mahakuasa agar tidak terkena kutuk atas kedurhakaannya berani menulis dan menyebut-nyebut nama para pahlawan yang telah gugur sebagai kusuma bangsa dan sekarang sudah sebagai bhatara-bhatari. Hal itu terlukis jelas dalam kutipan berikut. (Om Sang Hyang Jagat Karana, Hyang Rumaga Saraswati, cingak sembahnya inista, alpa guna tan pahbudi, mughi sredha maweh trepti, lantur ledang ica nuntun, mangda sidhi nyurat, nartayang Pahlawan gumi, kala dangu, duk nindih kamahardhikan (II. 1).

Selain puja puji kepada Tuhan dan permohonan maaf kepada para pahlawan yang sudah menjadi bhatara bhatari, pengarang juga mengingatkan kepada para generasi muda untuk mendengarkan, menghayati, dan menghargai para pahlawan yang telah gugur sebagai kusuma bangsa mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia khususnya di daerah (II.2).

Bagian corpus (inti cerita) GWCPM terdiri atas 13 pupuh, yaitu mulai dari pupuh III sampai dengan pupuh XV. Cerita diawali oleh keinginan Belanda untuk tetap ingin menjajah Indonesia khususnya Bali karena Belanda masih menganut faham Pax Neerlandica. Belanda melalui utusan Tuan Termeulen mengirim surat kepada Pak Rai untuk diajak berunding. Pak Rai sudah tahu bahwa surat itu hanyalah akal-akalan Belanda untuk menjajah kembali Pulau Bali. Oleh karena itu, Pak Rai menolak dengan tegas. Sejak itu terjadilah salah paham lalu menimbulkan konflik berkepanjangan sehingga terjadi pertempuran sengit, yang puncaknya terjadi pada tanggal 2o November 1946 di Desa Marga, Tabanan, yang dikenal dengan Puputan Margarana.

Bagian penutup (epilog) GWCPM dilukiskan pada pupuh XVI sebanyak 5 bait. Isinya menceritakan tentang kolofon, yaitu tempat dan waktu terjadinya pertempuran dahsyat, yaitu di Desa Umakahang pada tanggal 20 November 1946. Di situlah para pahlawan bangsa gugur, membuktikan dharma baktinya kepada Nusa dan Bangsa. Bagian ini juga berisi pesan pengarang, bahwa peristiwa bersejarah itu dapat dijadikan cermin dan seri tauladan oleh para putra-putri yang merupakan generasi penerus bangsa dan negara ini. Uraian epilog itu terlihat jelas dalam kutipan berikut.

Puput yudha sangang dasa nem diri, kweh pasukan lina ringpayudhan, tanggal rong dasa nemonin, Nopember bulanya tuhu, petang dasa nemeng warsi, yudhane ring umakahang, pahlawan wangsane mantuk, mintenang susrameng laga, weh darsana tiniraning putra-putri, satyeng wangsa lan negara. (XVI. 1) Selesailah pertempuran, 96 orang, jumlah pasukan Ciung Wanara yang gugur dalam pertempuran, tanggal 20 bertepatan dengan, bulan November, 1946, pertempuran di subak Umakahang


(2)

(Marga), di situlah para pahlawan bangsa gugur, membuktikan dharma baktinya kepada Nusa dan Bangsa, sebagai cermin yang harus dipakai seri tauladan oleh para putra-putri, yang merupakan generasi penerus yang setia kepada bangsa dan negara.

Selain itu, dalam epilog juga dijelaskan jumlah pahlawan yang gugur, yaitu sebanyak 1.371 orang yang diabadikan dalam bentuk tugu. Rinciannya adalah 11 orang bekas tentara Jepang, 64 orang ALARI, 644 orang pejuang taruna, 652 orang pejuang yang telah berkeluarga. Terakhir, berisi penjelasan tentang tinggi bangunan candi 17 meter, sebagai lambang tanggal 17, bertingkat 8 sebagai lambang bulan Agustus, tangganya 4 dan sudutnya 5 sebagai lambang tahun 1945. Pada tiap-tiap sudut terpancang lukisan padi kapas, rantai, bintang, kepala banteng, pohon beringin sebagai lambang Pancasila. (XVI. 2 - 3). Bait terakhir dari epilog itu berisi permakluman kepada pemuda dan pemudi tentang kegagahperkasaan para pahlawan pejuang kemerdekaan membela Nusa dan Bangsa. Selain itu, pengarang juga menyarankan kepada kita agar giat bekerja membangun Negara, mengisi kemerdekaan dan melanjutkan cita-cita kejayaan bangsa dan Negara. (XVI. 5).

2.3 Nilai Patriotisme dalam GWCPM: Perspektif Pembangunan Karakter Bangsa

Patriotisme berasal dari kata “patriot” dan “isme”. “Patriot” artinya pencinta (pembela) tanah air; dan, “isme” artinya faham, semangat. Patriotisme, artinya semangat cinta tanah air, semangat membela tanah air, yakni sikap seseorang yang sudi mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah airnya (Tim Penyususn Kamus, 1988:654). Nilai yang dapat digolongkan sebagai semangat cinta atau pembela tanah air dalam GWCPM, antara lain nilai kepahlawanan, nilai keberanian, nilai kesetiaan, nilai perjuangan, niai religius, dan nilai bela negara. Nilai-nilai tersebut akan diuraikan secara singkat, sebagai berikut (Bdk. Sudarta, 2014:112; Ki Supriyoko, 2015:183).

1) Nilai Kepahlawanan

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk memuliakan pahlawan, antara lain: (1) derajatnya dapat disejajarkan derajat dewa, dibuatkan altar pemujaan atau monumen supaya diingat oleh generasi demi generasi, dan (2) digubah riwayatnya menjadi c erita, mit e dan legenda, dan akhirnya disususun menjadi syair atau cerita pahlawan (Tim Penyusun Laporan, 1982:23).

Berdasarkan uraian di atas, Pak Rai layak diakui sebagai pahlawan nasional karena memenuhi syarat-syarat sesuai dengan arti pahlawan terutama poin 2,3, dan 4 di atas. Dilihat dari segi cara-cara memuliakan pahlawan, Bapak I Gusti Ngurah Rai memenuhi semua ciri-ciri seperti dipaparkan di atas. Pertama, Pak Rai dibuatkan altar pemujaan atau monumen yang diberi nama “Taman Pujaan Bangsa Candi Pahlawan Mergarana”, karena riwayat perjuangannya digubah ke dalam sebuah bentuk karya sastra sejarah (historigrafi tradisional) GWCPM.

Bagi para ksatria, perjuangan adalah pengorbanan suci, pengorbanan jiwa dan raga (ikang jiwa lan sarira daksina) (I.2), jiwa dan raga sebagai persembahan. Pengorbanan adalah kesenangan dan keikhlasan (nirmalang manah) (I.2) dan tidak mundur dalam setiap langkah di peperangan (tan surud ring rana bumi) (I.2). Demikianlah bagi para pejuang bangsa, karenanya akan mendapatkan pahala dari Tuhan yang Maha Kuasa. Selain kenikmatan surgawi, para pejuang bangsa yang gugur dalam pertempuran akan memperoleh kenikmatan fisik, seperti, nahan tuwi winuwus pahlawan wangsa, dijuluki pahlawan negara, lana sinembah pinuji, selalu dihormati dan di puja-puja, muwang sinurateng pustaka, dicatatat namanya dengan tinta emas, dan liningga stahneng candi (I.4) dibuatkan tugu peringatan.

Seorang pahlawan (Pak Rai), di samping cinta pada bangsa dan negara, juga mempunyai keterampilan memimpin anak buahnya, khususnya dalam membuat strategi perang. Keterampilan ini tampak ketika pejuang dari Jawa ingin datang dan membantu para pejuang Bali. Dengan cekatan Pak Rai membuat tipu daya (strategi), dengan memindahkan


(3)

seluruh pasukan ke Bali bagian Timur (Gunung Agung), (Nanging sang wibhuhing naya,tan kirang upaya sandhi,raris ida manitahang, bala wadwane magingsir,matedah ke Bali kangin,ngungsi pucak Gunung Agung, pinaka pangindrajala (V.2). Dengan begitu, Bali Barat akan kosong sehingga memudahkan bagi bala bantuan dari Jawa mendaratkan pasukannya.

Pak Rai berulang-ulang menegaskan dan menekankan, bahwa perjuangan harus ditegakkan, tidak ada satu pun yang mengingkari perjuangan bangsa ini sampai ajal menjemput (mangda tan ngawedar rusia, yadin pacang nandang lampus) (VI.14). Semangat spririt seperti dilakukan oleh Pak Rai ini harus dimaknai sebagi semangat pantang menyerah dari generasi penerus bangsa untuk mengisi cita-cita kemerdekaan yang telah dicapai oleh pahlawan terdahulu.

2) Nilai Keberanaian

Berani artinya mempunyai hati yang mantap dan rasa percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya, kesulitan dan tidak takut (gentar) (Tim Penyusun Kamus, 1988:105).

Pak Rai dalam geguritan ini adalah tokoh utama, pemuda perkasa, pejuang bangsa . Pak Rai adalah tokoh fiksi (dalam geguritan) sekaligus tokoh aktual yang benar -benar ada dalam kenyataan. Beliau adalah tokoh yang memperjuangkan haknya sebagai anak bangsa dalam rangka mempertahankan kemerdekaan yang telah dicapai oleh para pejuang yang mendahuluinya. Pak Rai bersama teman-temanya yang memiliki ide, gagasan yang sama bersatu padu mengusir Belanda dari Bumi Pertiwi Bali. Pak Rai merupakan simbol pemuda perkasa yang berani menantang Belanda untuk berperang

Bagi seorang pejuang, di samping ide, gagasan, kekuatan, strategi perang (keterampilan mengadu taktik), juga yang amat penting ialah keberanian. Pak Rai adalah tokoh pemberani yang patut diteladani. Sikap keberanian itu ditunjukkan antara lain dalam sikap penolakannya diajak berunding yang disampaikan dalam bentuk surat kepada Belanda (IV.2). Bagi Pak Rai, merdeka merupakan harga mati walaupupun Beliau menyadari bahwa yang dihadapinya adalah bangsa Belanda yang kuat, mempunyai kemampuan perang yang modern. Pak Rai adalah pejuang tegas “teges bawos ida”, pemuda yang bertanggung jawab dengan segala resiko yang dihadapinya. Bagi beliau, keamanan di Bali menjadi urusan orang Bali (IV.3).

Keberanian dalam konteks kekinian dapat dimaknai sebagai ketidak raguan (tidak ragu-ragu) melaksanakan tugas mulia. Mempertahankan kedaulatan negara adalah tugas mulia bagi setiap manusia. Lakukan tugas itu dengan keberanian dan keikhlasan berkorban, perjuangan pasti berhasil.

3) Nilai Kesetiaan

Sebagai komandan perang, Pak Rai sejak awal telah memperlihatkan kesetiaannya, tidak akan pernah ingkar janji, bersumpah setia membela negera. Sifat -sifat Pak Rai menyebabkan semua anggota pasukan menjadi hormat kepadanya. Hal ini tampak ketika Pak Rai membalas surat ajakan Belanda (Sapunika daginging sewalapatra, surat pangwales Pak Rai, kesatria purusa, pageh satyam ring ubaya,larapan wadwane bakti… (IV.8)

Kesetiaan, ketaatan, kepatuhan dan keteguhan memegang janji sangat pentin g dalam perjuangan. Pak Rai menyadari betul bahwa rakyat teramat setia mengikuti segala perintah Pak Rai. Ketika Pak Rai memerintahkan agar rakyat membuat perlindungan, dengan serempak rakyat mengikutinya. Begitu juga Pak Rai dengan bahasa yang lembut, sop an santun, bersedagurau (taler ida mengandika, mabawas masilakrama, dagingnya sakadi guyu, sapunika bawos ida) (VI.9).

Bersama teman-teman seperjuangan, Pak Rai senantiasa mengajak anak buahnya berlaku setia, patuh dan teguh memegang janji. Menurut Pak Rai dengan sifat-sifat itu


(4)

perjuangan pasti aman dan sentosa. Pak Debes (Pak Putih), Pak Kwasa, Pak Dewa Made Kaler dengan lantang meneriakkan kesetiaan untuk membela negaranya (VI. 11).

Kesetiaan adalah sikap patuh, taat, teguh memegang janji perjuangan antarkomponen bangsa. Sikap teguh, dan konsisten tidak hanya terjadi antarpejuang, tetapi juga antara pejuang dan rakyat. Sikap patuh seperti tersuratkan diatas mengisyaratkan kita harus taat kepada azas perjuangan bangsa untuk mencapai kemerdekaan. Setelah kemerdekaan itu dapat direngkuh, kita harus sepakat, teguh hati untuk mempertahankannya dari segala rongrongan, baik yang berasal dari bangsa sendiri maupun dari bangsa luar. Jangan terjadi pengkhianatan terhadap bangsa di muka bumi ini, karena pengkhianatan terhadap bangsa berarti merendahkan martabat bangsa sendiri.

Tatan abah, rakyate yadin katitig, tan pisan kawedar,kancane patut kapingit, ngardi pejuang santosa (IX.2)…. Kala ika, para pejuange sami,yadin ipun kasiksa, tan pisan nyelsel ring diri, sayaga tindih ring wangsa (IX.3). (Rakyate tetap teguh imannya, meskipun mereka disiksa, tidak mau membuka rahasia (perjuangan), semuanya dirahasiakan, agar pejuang aman sentosa. Pada saat itu, semua para pejuang, meskipun mereka disiksa, tetapi sedikit pun tidak ada rasa penyesalan, rela berkorban demi bangsa.

4) Nilai Perjuangan

Perjuangan adalah sebuah pertempuran sebagai reaksi atas kedatangan Belanda dengan menyamar ingin merebut kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Tanggal 17 Agustus 1945 adalah hari Proklamasi Kemerdekaan Repulik Indonesia. Sejak tanggal itulah bangsa Indonesia telah menjadi bangsa yang merdeka, terbebas dari penjajahan negara manapun termasuk Belanda. Nampaknya Belanda tidak menyetujui, dan menolak kemerdekaan Indonesia. Dengan menyamar bersama sekutunya, Belanda kembali ingin menjajah Indonesia. Rakyat mengetahui, (rakyate rungu), bersatu padu dan kompak (tumuli nunggalang paksa, sagulute nindih Negara) (III.2). Rakyat, terutama para pemuda membangun kekuatan yang diberi nama Pasukan Banteng, sedangkan kaum wanitanya membangun dan menggalang kekuatan dengan pasukannya yang berjuluk Pasukan Srikandi (III.3).

Peristiwa-peristiwa selanjutnya semakin memuncak dan dilukiskan secara kronologis, seperti tampak dalam uraian berikut.

a) Pada tanggal 18 November 1946 kira-kira pukul 22.00 pasukan pejuang dipimpin Pak Suweta berangkat menuju tangsi NICA dengan berpegangan seutas tali supaya tidak terlepas satu sama lain di perjalanan. Pada pukul 24.00 pasukan tiba di tangsi. Senjata NICA dapat dirampas. Pada pukul 05.00 keesokan harinya, pasukan pejuang kembali ke markasnya.

b) Pada tanggal 19 November 1946 pasukan pejuang mengadakan hiburan Janger, setelah itu, mereka bersembahyang berdoa kepada Tuhan, agar mendapat berkah.

c) Tentara NICA bersenjata lengkap telah siap dan berkumpul di sebelah selatan Desa Marga. d) Pasukan pejuang telah siap dengan benteng-benteng pertempuran.

e) Kira-kira pukul 09.00 tentara NICA berjumlah 40 orang mendekati benteng pejuang. f) Pukul 12.00 tentara NICA terpukul mundur dan lari tunggang langgang.

g) Tentara NICA mencari bantuan.

h) Tidak lama kemudian datang pesawat NICA membombardir para pejuang. Pasukan pejuang di bawah pimpinan Pak Sugyanyar gugur.

i) Selanjutnya, Pak Rai sebagai pimpinan tertinggi pasukan pejuang memerintahkan semua anggota pasukan menuntut balas sampai titik darah penghabisan dengan mengucapkan kata-kata “puputan -- puputan – puputan”.

j) Terjadilah perang habis-habisan (puputan) dan berakhir senja hari. Inilah yang disebut Perang Puputan Margarana, yang terjadi pada tanggal 20 November 1946.


(5)

5) Nilai Agama

Agama berarti kepercayaan kepada Tuhan dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan keyakinan (Tim Penyusun Kamus, 1988: 9). Definisi tersebut menyiratkan bahwa agama dipandang sebagai pendangan hidup, baik bagi perseorangan (individu) maupun kelompok. Agama berisi ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang keberadaan manusia. Bahasan yang mengarah kepada nilai agama akan disajikan dalam kutipan berikut.

… nanging sadurung lumaku, mangda mabakti ke pura, Dalem Basa masasengi, pacang nahur, guling bawi piodalan, lantas ida miteketang (X.9). (tetapi sebelum berangkat, agar bersembahyang ke pura, pura Dalem Basa dan berkaul, akan menghaturkan, babi guling pada saat upacara tiba, lanjut Pak Rai memperingatkan).

Kutipan di atas mengamanatkan tentang keyakinan yang terdapat dalam ajaran agama Hindu. Bagi penganut agama Hindu, diyakini bahwa apapun yang akan dikerjakan selalu memohon kekuatan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, memohon kehadiran-Nya. Apalagi dalam konteks perjuangan, berperang melalawan musuh yang sangat kuat, seperti Belanda. Sebelum berangkat ke medan tempur mereka menyempatkan diri untuk bersembahyang ke Pura Dalem Basa sambil berkaul. Mereka (umat Hindu) juga meyakini bahwa Pura Dalem merupakan Pura Kahyangan Tiga, selain Pura Desa dan Pura Puseh. Di Pura Dalem bersthana Bhatara Siwa dan Dewi Durga. Kematian (pralina) bagi seseorang (manusia) hanya kehendak Bhatara Dalem.

Kaul itu diucapkan dalam suasana yang magis, baik berkenaan dengan waktu (kala) maupun tempat (ruang). Tujuannya adalah untuk memohon dan mendapatkan kesuksesan dalam segala penyelenggaraan upacara, perjuangan atau kegiatan lainnya. Oleh karena diucapkan dalam suasana yang magis, baik menyangkut waktu maupun tempat maka kaul menjadi janji yang sakral dalam arti harus ditepati. Kalau tidak ditepati akan menjadi bahaya dan selalu diingat-ingat oleh orang yang berkaul. Demikian pula halnya pasukan Ciung Wanara yang berhasil mengalahkan NICA lalu membayar kaulnya. Hal itu dilukiskan dalam kutipan berikut. …pasukane raris tangkil, ke Pura Dalem Basa, nahuring punagi lantur, masaputining sanjata, teleb bakti, pamuput majaya jaya (XI.11).

Ada beberapa makna yang dapat dipetik dari uraian di atas. Pertama pengarang atau siapa saja yang akan melakukan pekerjaan besar atau kecil pasti memohon ridho Tuhan Yang Mahakuasa, agar pekerjaannya berhasil. Ada sebuah keyakinan, bahwa Tuha n menentukan segalanya, manusia hanya bisa merencanakan.

Kaul adalah janji yang sakral, dalam arti kaul itu diucapkan dalam situasi yang sangat magis, baik segi waktu atau ruang. Oleh karena itu disarankan, hendaknya kaul itu dibayar lunas, kalau tidak, kaul yang tidak terbayar akan dihantui oleh pikiran terus menerus. Banyak dijumpai orang hidupnya sengsara, sakit-sakitan karena kaul yang belum dibayar.

6) Nilai Bela Negara

Kata bela negara berasal dari kata “bela” dan “negara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “bela” berarti membela, menolong, melepaskan dari bahaya, melindungi, mempertahankan (perkara, pendapat, Negara, dan sebagainya) (Tim Penyusun Kamus, 1988:93). Dalam pembahasan ini, nilai bela negara mengacu pada makna melindungi, mempertahankan negara dari ancaman negara lain, yaitu NICA (Belanda).

Pergerakan perlawanan rakyat di bawah pimpinan I Gusti Ngurah Rai adalah aksi dalam rangka melindungi, mempertahankan kedaulatan Negara, khususnya daerah Bali dari kekuatan tentara NICA (Belanda) (III.1-2). Rakyat Bali tidak rela daerahnya dijajah (dikuasai) oleh kekuatan asing. Rakyat rela untuk berkorban membela Negara (rakyat Baline tan sudya, yan tan tinut tindih melanin, negara mawastu ingkup saguluk (III.3). Terutama rakyat Bali tida k rela, bila tidak ikut membela negara, akhirnya rakyat kompak bersatu.


(6)

Semua lapisan masyarakat, laki-perempuan, tua-muda, ikut bersama berjuang membela negara. Ada yang membuat perlindungan, mematai-matai datangnya musuh, dan membantu mencari keperluan lainya (III.4-5; VI.1-2).

Rakyat setia melakukan perlawanan demi membela dan mempertahankan tanah airnya. Rakyat sama sekali tidak menyesal walaupun mereka disiksa oleh bangsanya sendiri, apalagi takut, demi bangsa dan negaranya sendiri (Kala ika, para pejuange sami, yadin ipun kasiksa, tan pisan nyelsel ring diri, sayaga tindih ring wangsa (IX.3) (Pada saat itu, semua para pejuang, meskipun mereka disiksa, tetapi sedikitpun tidak menyesali diri, rela berkorban demi mempertahankan kemerdekaan). Rakyat tahu betul akan meregang nyawa, tetapi tetap setia membela kepentingan nusa dan bangsa (yadin mati, yan sampun satyeng Negara) (XIII.8). Hanya dengan tekad setia membela negara, NICA terdesak dan mundur( welanda tandang kuciwa) (XIII.9)

Makna yang dapat ditangkap dari uraian di atas ialah kewajiban bagi setiap warga negara bangsa Indonesia untuk melindungi dan menjaga kedaulatan negaranya dari segala ancaman, baik dari luar seperti dilakukan oleh penjajah Belanda maupun ancapan dari dala m bangsa sendiri, seperti yang dilakukan oleh NICA Gandek.

3. Simpulan

Berdasarkan pembahasan di atas dapat dibuat simpulan , sebagai berikut.

GWCPM adalah sebuah historiografi tradisional yang berada antara fiksi dan fakta. Sebagai fiksi, GWCPM terikat oleh syarat-syarat tetentu, yang disebut padalingsa ebagai fakta, GWCPM menceritakan fakta sejarah yang benar-benar terjadi. pada tanggal 20 November 1946.

Struktur naratif GWCPM terdiri atas tiga bagian, yaitu bagian pembuka (manggala), bagian corpus (inti cerita), dan bagian epilog (penutup). Bagian pembuka mengungkapkan: (1) puja puji kepada Tuhan, dalam manifestasinya

Dalam Perspektif pembangunan karakter bangsa, nilai patriotisme mengandung makna semangat cinta dan membela tanah air, sikap seseorang yang sudi mengorbankan segala-galanya demi kejayaan dan kemakmuran tanah airnya. Pengorbanan tidak hanya berupa harta benda, tetapi juga jiwa dan raga yang tak ternilai harganya.

DAFTAR PUSTAKA

Atmazaki. 1990. Ilmu Sastra Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya.

Ki Supriyoko. 2015. “Pendidikan Karakter Bangsa sebagai Strategi Kebudayaan”, dimuat dalam Revolusi Mental sebagai Strategi Kebudayaan. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan.

Ratna, N. Kutha. 2004. Teori, Metode, & Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suhardana, K.M. 2006. Pengantar Etika & Moralitas Hindu: Bahan kajian untuk Memperbaiki Tingkah Laku. Surabaya: Paramita.

Tim Penyusun Laporan Penelitian. 1982. Pahlawan dalam Kesusastraan Panji di Nusantara. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Tim Penyusun Kamus. 1993. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.2014.

Sudarta, Wayan. 2014. Puputan Margarana: Pertempuran Terdahsyat pada Masa Revolusi Fisik di Bali. Denpasar: University Press.