ANALISIS PENERAPAN KETENTUAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DARI HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

ABSTRAK

ANALISIS PENERAPAN KETENTUAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN
UANG DARI HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

Korupsi berakar pada kebudayaan lama dan berasal dari birokrasipatrimonial dari masa feodal di masa lalu. Beberapa kali perubahan dalam
undang-undang Tipikor tidak serta merta membuat pelaku korupsi jera dengan
hukuman yang dijatuhkan. Korupsi bagi para pelaku yang telah berhasil itu akan
menjadi sia-sia kecuali mereka dapat menyembunyikan atau menyamarkan
hasilnya (harta kekayaan), yaitu melalui penyedia jasa keuangan (bank atau non
bank) atau menggunakan sarana lainnya, sehingga uang hasil tindak pidana yang
telah berhasil berhasil dipindahkan itu seolah-olah bersumber pada sesuatu yang
dianggap sah. Mereka melakukan praktik pencucian uang (money laundering)
untuk menjauhkan diri mereka dari tindak kejahatan yang dilakukan dan hasilhasil kejahatan yang mereka peroleh, sehingga penegak hukum sulit membuktikan
adanya hubungan yang sangat erat antara hasil-hasil kejahatan dengan perbuatan
pidana dan pelakunya.Penelitian ini akan membahas bagaimana proses penerapan
ketentuan tindak pidana pencucian uang dari hasil suatu tindak pidana korupsi
dari proses penyelidikan, pemeriksaan, penuntutan, hingga penjatuhan hukuman
serta juga akan membahas bagaimana hambatan dalam proses penerapan tersebut.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (normative law research)
dengan tipe penelitian deskriptif dan pendekatan masalah yuridis normatif. Data

yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Pengumpulan data dilakukan
melalui studi pustaka dan studi dokumen. Setelah data terkumpul, selanjutnya
diolah dengan cara seleksi data, klasifikasi data, dan sistematisasi data serta

Muhammad Hafiz Alfarizi
dilakukan analisis data secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan mengenai analisis penerapan ketentuan
tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi yaitu menjelaskan
mengenai proses persidangan dalam penerapan ketentuan tindak pidana pencucian
uang dari hasil tindak pidana korupsi dari proses penyidikan, penuntutan,
pemeriksaaan, hingga proses penyitaan. Adapun dijelaskan mengenai pemberian
hukuman menurut seseorang yang melakukan tindak pidana gabungan seperti ini
dibagi menjadi 4 teori yaitu, absorbsi stelsel, absorbsi stelsel yang dipertajam,
cumulatie stelsel, dan cumulatie yang diperlunak. Adapun faktor hambatan Dalam
Penerapan Tindak Pidana Pencucian Uang Berkaitan Dengan Tindak Pidana Asal
(korupsi) ini berdasarkan Soerjono soekanto adalah dari faktor hukum, faktor
penegak hukum, faktor sarana dan prasarana, faktor masyarakat, serta faktor dari
kebudayaan.
Adapun saran yang dapat diberikan peneliti antara lain: Perlu adanya

penambahan wewenang dari PPATK dalam menyelidiki suatu perkara yang
memiliki unsur pencucian uang, serta perlu adanya keberanian bagi para penegak
hukum dalam mencari pembuktian dalam kasus tindak pidana pencucian uang
yang berasal dari tindak pidana korupsi serta keyakinan hakim dalam
pengambilan putusan yang dapat memutuskan hasil yang memberatkan koruptor.
Kata Kunci : Penerapan, Pencucian uang, Korupsi

DAFTAR ISI

Halaman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................................

1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup......................................................

8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................................


8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual .....................................................

9

E. Sistimatika Penulisan ..........................................................................

19

II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Korupsi .....................................................
1. Definisi Korupsi ..........................................................................
2. Sebab dan Akibat Tindak Pidana Korupsi ..................................
3. Pemetaan Bentuk Korupsi dan Modusnya...................................
4. Pola Korupsi ................................................................................

21
21

22
23
28

B. Tinjauan Umum Tentang Pencucian Uang........................................

29

1. Definisi Tindak Pidana Pencucian Uang .....................................
2. Tahapan Pencucian Uang ............................................................
3. Pengaturan Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang ...................

29
32
33

III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah ..........................................................................

34


B. Jenis dan Sumber Data ......................................................................

34

C. Penentuan Narasumber ......................................................................

36

D. Pengumpulan dan Pengolahan Data .................................................

36

E. Analisis Data ....................................................................................

37

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden....................................................................


38

B. Analisis penerapan ketentuan tindak pidana pencucian uang
Dari hasil tindak pidana korupsi . .....................................................

38

C. Hambatan dalam penerapan ketentuan tindak pidana pencucian
Uang dari hasil tindak pidana korupsi ...............................................

53

V.PENUTUP
A. Simpulan ............................................................................................

60

B. Saran ..................................................................................................

63


DAFTAR PUSTAKA

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi belum dikenal dalam sistem kerajaan di Indonesia. Sistem kerajaaan di
nusantara tidak ada perbedaan antara milik raja dan milik publik, karena itu
tidak ada pengertian mengenai penyimpangan atas milik publik, dan tidak ada
keharusan yang menuntut transparansi dan pertanggungjawaban publik1.

Kondisi demikian dibiarkan sampai ke tingkat itu maka akan sulit untuk
memberantasnya, karena hampir seluruh anggota masyarakat telah terlibat di
dalamnya, baik sebagai penyogok maupun sebagai penerima atau peminta
sogokan. Untuk membasmi korupsi dalam masyarakat kita sekarang ini,
dimana korupsi berakar pada kebudayaan lama dan berasal dari birokrasipatrimonial dari masa feodal di masa lalu, maka hanya dengan melakukan
transformasi budaya yang tuntas, barulah kita memiliki harapan yang baik

untuk dapat berhasil memberantas korupsi di Indonesia.

Perlu ditumbuh kembangkan nilai-nilai budaya baru (transformasi budaya),
antara lain pemisahaan secara tegas antara private goods dan public goods dan

1

Ajip Rosidi,Korupsi dan Kebudayaan,Pustaka Jaya,Jakarta,2009, hlm. 191

2

kepentingan pekerjaan (kedinasan) dengan kepentingan keluarga, atau dalam
kata lain profesionalisme dan penerapan good governance2.

Tindak pidana korupsi sendiri merupakan tindak pidana khusus yang berdiri
sendiri dan memiliki peraturan khusus yang mengaturnya yaitu Undangundang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-undang No. 31 Tahun
1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Korupsi memiliki beberapa bentuk dan modus dalam pemetaannya seperti,
korupsi politik, korupsi hukum, korupsi Anggaran Pendapatan Belanja Negara

dan Daerah (APBN/APBD), korupsi pengadaan barang, korupsi perbankan,
korupsi perpajakan, manipulasi, penggelapan, penyuapan, pungutan liar,
pemerasan, penjarahan harta kekayaan negara, dan pencucian uang (money
laundering).

Upaya penanggulangan tindak pidana korupsi telah dilakukan pemerintah
secara bertahap. Berdasarkan sejarah, selain Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) yang terbentuk di tahun 2003, terdapat 6 lembaga pemberantasan
korupsi yang sudah dibentuk di negara ini yakni;
1. Operasi Militer di tahun 1957,
2. Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967,
3. Operasi Tertib pada tahun 1977,
4. Tahun 1987 dengan Tim Optimalisasi Penerimaan Negara dari sektor pajak,
dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TKPTPK)
pada tahun 1999,
5. Tahun 2005 dibentuk Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas
Tipikor)3.

2


Fitriadi Muslim, Edi Nasution Menjerat koruptor dengan Undang-undang Tindak Pidana
Pencucian Uang, http://www.ppatk.go.id/app/webroot/files/96a_FithriadiMuslim0.pdf, 3 April
2013, 22:15 WIB.

3

Undang-undang tindak pidana korupsi yang dipakai KPK dalam menjerat
pelaku tipikor pun sebelumnya telah mengalami beberapa perubahan,antara
lain :
1. Undang-undang No. 24/Prp/1960 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi.
2. Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi.
3. Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi.
4. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-undang
No.31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Beberapa kali perubahan dalam undang-undang tindak pidana korupsi tidak
serta merta membuat pelaku korupsi jera dengan hukuman yang dijatuhkan.

Korupsi bagi para pelaku yang telah berhasil itu akan menjadi sia-sia kecuali
mereka dapat menyembunyikan atau menyamarkan hasilnya (harta kekayaan),
yaitu melalui penyedia jasa keuangan (bank atau non bank) atau menggunakan
sarana lainnya, sehingga uang hasil tindak pidana yang telah berhasil berhasil
dipindahkan itu seolah-olah bersumber pada sesuatu yang dianggap sah.

Mereka melakukan praktik pencucian uang (money laundering) untuk
menjauhkan diri mereka dari tindak kejahatan yang dilakukan dan hasil-hasil
kejahatan yang mereka peroleh, sehingga penegak hukum sulit membuktikan
adanya hubungan yang sangat erat antara hasil-hasil kejahatan dengan
perbuatan pidana dan pelakunya.

Kenyataan bahwa sekarang tindak pidana korupsi (Tipikor) tidak saja telah
menjadi ketakutan bagi bangsa Indonesia, bahkan telah dianggap musuh

3

Sejarah pemberantasan korupsi,
http://www.setneg.go.id/index.php?Itemid=219&id=2259&option=com_content&task=view
,3 April 2013,20:40 WIB

4

bersama oleh masyarakat dan lembaga/organisasi internasional. Salah satu
buktinya adalah dengan ditandatanganinya United Nations Convention Against
Corruption of 2003 (UNCAC-Konvensi PBB tentang Anti Korupsi) untuk
pertama kalinya di Merida, Meksiko, oleh 133 negara pada tanggal 9 Desember
2003.

Tiga tahun kemudian, tepatnya tanggal 20 Maret 2006, Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against
Corruption (UNCAC) 2003 disahkan dalam Rapat Paripurna DPR. Walaupun
Konvensi PBB Anti Korupsi itu telah ditandatangi sejak 2003 dan kemudian
diratifikasi Indonesia pada awal 2006, namun masih banyak kalangan yang
belum mengetahui apa sesungguhnya isi dari United Nations Convention
Against Corruption (UNCAC) 2003, terutama bila dikaitkan dengan UndangUndang Tindak pidana korupsi yang dipunyai Indonesia4.

Adapun tujuan utama United Nations Convention Against Corruption of 2003
(UNCAC-Konvensi PBB tentang Anti Korupsi) adalah untuk5:

a. mempromosikan dan memperkuat langkah langkah guna mencegah dan
memerangi korupsi secara lebih efisien dan efektif,
b. mempromosikan bantuan dan dukungan kerjasama internasional dan bantuan
teknis dalam pencegahan dan perang melawan korupsi, termasuk dalam
pemulihan aset,

4

Fitriadi Muslim, Menjerat koruptor dengan undang-undang tindak pidana pencucian uang,
Jakarta.
5
Ibid.

5

c. mempromosikan integritas, akuntabilitas dan manajemen urusan publik dan
properti publik dengan baik.

Berbagai cara yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut
antara lain dengan:

1. Langkah-langkah preventif,
2. Kriminalisasi dan penegakan hukum,
3. Kerjasama internasional,
4. Pemulihan aset,
5. Bantuan teknis dan pertukaran informasi.

Pasal 14 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)
menetapkan, bahwa;
“The return of assets is a fundamental principle of anti-money
laundering regime, and States Parties shall afford one another the widest
measure of cooperation and assistance in this regard”.
Substansi pasal ini berkaitan dengan strategi memerangi tindak pidana
pencucian uang yang mengandung 3 elemen pokok6. Pertama, adanya institusi
yang mengatur kebijakan domestik dan mengawasi pemerintah dalam hal
perbankan dan institusi-institusi lain di bidang keuangan. Kedua, pertukaran
intelijen baik ditingkat nasional maupun internasional melalui suatu badan
pusat

intelijen

keuangan

(Finance

Intellegence

Unit/FIU).

Ketiga,

pengembangan kerjasama antar perbatasan wilayah dalam memberantas
praktek pencucian uang. Sedangkan dalam Pasal 23 dan 24 United Nations
6

Ibid.

6

Convention Against Corruption of 2003 (UNCAC-Konvensi PBB tentang Anti
Korupsi) mengandung saran atau anjuran mengenai pengadopsian bentukbentuk penanganan yang pernah diterapkan untuk melarang tindakan tertentu
yang berhubungan dengan kriminalisasi pencucian uang. Bahkan sifat
independensi tindak pidana pencucian uang juga ditegaskan, sehingga hasilhasil kejahatan (proceeds of crime) tidak perlu dibuktikan berasal dari tindak
pidana lain, termasuk hasil-hasil kejahatan yang diperoleh dari praktek korupsi,
dimana praktek korupsi itu sendiri adalah predicate crime dari money
laundering.

Menurut Yunus husein, terkait pasal dalam pencucian uang, tak harus
membuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Hal itu tercantum dalam
pasal 69 Undang-undang No.8 Tahun 2010 yang berbunyi untuk dapat
dilakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan
terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu
tindak pidana asalnya7.

Semua yang terlibat dalam perkara korupsi bisa ditelusuri hanya jika penegak
hukum menggunakan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Undang-undang ini memiliki prinsip yaitu follow the money. Siapa pun yang
terlibat dalam aliran dana hasil korupsi bisa ditindak apabila terbukti
didalamnya terdapat transaksi yang mencurigakan8.

7

. Erat hubungan korupsi dan pencucian uang,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt510a46a7325da/erat-hubungan-korupsi-danpencucian -uang, 17 Juli 2013, 21:45 WIB
8
S, Anwary, Perang Melawan Korupsi di Indonesia, Institut Pengkajian Masalah Politik dan
Sosial Ekonomi,Jakarta,2012,hlm.149.

7

Melalui prinsip follow the money, penegak hukum akan tahu berapa dan
dimana duit hasil korupsi ditanam. Dengan begitu, penegak hukum bisa
menyitanya untuk negara sekaligus memiskinkan koruptor9.

Kasus korupsi dengan terdakwa Wa Ode Nurhayati yang pertama kali dijerat
dengan undang-undang tindak pidana pencucian uang bersamaan dengan
undang-undang tindak pidana korupsi (tipikor). Dalam putusan Nomor
30/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst dicantumkan bahwa Wa Ode Nurhayati dijerat
dengan dakwaan berlapis, yakni tindak pidana korupsi dan tindak pidana
pencucian uang. Untuk kasus korupsi, jaksa penuntut umum mengajukan
tuntutan 4 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan.
Sedangkan untuk pencucian uangnya, dituntut dengan 10 tahun penjara dan
denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan. Dengan lain kata, bukanlah
sesuatu yang tidak mungkin untuk menyandingkan undang-undang antikorupsi
dan undang-undang pencucian uang secara bersamaan dalam menuntut
terdakwa korupsi10.

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti memiliki ketertarikan untuk
melakukan penelitian dengan judul “Analisis Penerapan Ketentuan Tindak
Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi

9

Ibid.
Menjerat Harta Korupsi, http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/1807/menjerat-hartakorupsi.kr, 3 April 2013, 22:35 WIB

10

8

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti membatasi masalah
yang menyangkut Studi Analisis Penerapan Ketentuan Tindak Pidana
Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi, yaitu sebagai
berikut:
a. Bagaimana proses penerapan ketentuan tindak pidana pencucian uang
dari hasil tindak pidana korupsi ?
b. Apakah hambatan dari penerapan ketentuan dalam tindak pidana
pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi ?

2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini meliputi ruang lingkup bidang ilmu dan
ruang lingkup pembahasan. Adapun yang menjadi ruang lingkup
pembahasan dalam penelitian ini hanya terbatas pada Studi analisis
penerapan ketentuan tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak
pidana korupsi. Sedangkan lingkup bidang ilmu adalah bidang hukum
pidana.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada pokok bahasan diatas maka tujuan dari penelitian ini
adalah:

9

a. Untuk mengetahui proses penerapan ketentuan tindak pidana pencucian
uang dari hasil tindak pidana korupsi.
b. Untuk mengetahui hambatan dari penerapan ketentuan dalam tindak
pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi.

2. Kegunaan Penelitian
a.

Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan
hukum pidana khususnya Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak
Pidana Korupsi.

b.

Kegunaan Praktis

1. Sumbangan pemikiran dalam bidang ilmu hukum dan pemecahan
suatu masalah hukum khususnya mengenai proses penerapan
ketentuan tindak pidana pencucian uang pada suatu kasus korupsi.
2. Sumber acuan/referensi bagi praktisi hukum dalam mengemban tugas
profesi hukum, pengusaha dan masyarakat.
3. Sebagai referensi untuk penelitian mahasiswa selanjutnya.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil
pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk
mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap
relevan oleh peneliti.

10

a. Proses penerapan ketentuan tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak
pidana korupsi.

Membahas mengenai penerapan dua ketentuan tindak pidana yang berdiri
sendiri harus diketahui perihal pengaturan yang mengatur beberapa perbuatan
sekaligus. Kejadian yang sekaligus atau serentak tersebut disebut perbarengan
yang dalam bahasa Belanda juga disebut samenloop van straafbar feit atau
disebut juga dengan concursus.
Ada tiga bentuk concursus yang dikenal dalam ilmu hukum pidana, yang biasa
juga disebut dengan ajaran, yaitu11 :
1. Concursus idealis (eendaadsche samenloop): apabila seseorang melakukan
satu perbuatan tetapi masuk dalam beberapa peraturan hukum pidana,
sehingga orang itu dianggap melakukan beberapa tindak pidana dimana
diatur dalam pasal 63 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
2. Concursus realis (meerdaadsche samenloop) yaitu apabila seseorang
melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan perbuatan
berdiri sendiri (kejahatan atau pelanggaran), tetapi tidak perlu perbuatan itu
berhubungan satu sama lain atau tidak perlu sejenis dimana diatur dalam
pasal 65, 66, 70, dan 70 bis kitab undang-undang hukum pidana.
3. Perbuatan lanjutan (voortgezette handeling), yaitu apabila seseorang
melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan perbuatan
berdiri sendiri (kejahatan atau pelanggaran), tetapi diantara perbuatan itu
ada hubungannya satu sama lain yang harus dianggap sebagai satu

11

Tri Andrisman, Hukum pidana (asas-asas dan dasar aturan umum hukum pidana Indonesia)
,Universitas Lampung, 2009, hlm188.

11

perbuatan berlanjut dimana diatur dalam pasal 64 kitab undang-undang
hukum pidana.

Pembuktian merupakan titik sentral dalam pemeriksaan perkara dalam sidang
pengadilan, karena dalam tahap pembuktian ditentukan nasib terdakwa.
Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undangundang kesalahan terdakwa tidak cukup terbukti maka terdakwa dibebaskan,
sedangkan apabila yang terjadi sebaliknya yaitu kesalahan terdakwa berhasil
terbukti dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang maka
terdakwa dinyatakan bersalah12.

Martiman Prodjohamidjojo menjelaskan, dalam pembuktian tindak pidana
korupsi dianut dua teori pembuktian 13, yakni :

1. Teori bebas, yang diturut oleh terdakwa
Teori bebas sebagaimana tercermin dan tersirat dalam penjelasan umum, serta
berwujud dalam, hal-hal sebagai tercantum dalam pasal 37 UU No. 31 Tahun
1999, sebagai berikut:
a. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak

melakukan

tindak pidana korupsi.
b. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak
pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang
menguntungkan baginya.

12

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm.273.
13
Martiman Prodjohamidjojo Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No.31,
Tahun 1999), Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm.108

12

c. Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan
harta benda isteri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
bersangkutan.
d. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak
seimbang dengan penghasilan atau sumber panambahan kekayaannya, maka
keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang
sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
e. Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan
ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan
dakwaaannya.
2. Teori negatif menurut undang-undang, yang diturut oleh penuntut umum.
Sedangkan teori negatif menurut undang-undang tersirat dalam pasal 183
KUHAP, yaitu : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang,
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Asas Pembalikan Beban Pembuktian merupakan suatu sistem pembuktian yang
berada di luar kelaziman teoritis pembuktian dalam Hukum (Acara) Pidana
yang universal. Dalam Hukum Pidana (Formal), baik sistem Eropa Kontinental
maupun Anglo-Saxon, mengenal pembuktian dengan tetap membebankan
kewajibannya pada Jaksa Penuntut Umum. Hanya saja, dalam “certain cases”
(kasus-kasus tertentu) diperkenankan penerapan dengan mekanisme yang
diferensial, yaitu Sistem Pembalikan Beban Pembuktian atau dikenal sebagai
“Reversal of Burden Proof” (Omkering van Bewijslast). Itu pun tidak
dilakukan secara overall, tetapi memiliki batas-batas yang seminimal mungkin

13

tidak melakukan suatu destruksi terhadap perlindungan dan penghargaan Hak
Asasi Manusia, khususnya Hak Tersangka/ Terdakwa.

Asas lain yang juga diingkari dalam beban pembuktian terbalik ini adalah
prinsip Non-self Incrimination sebagai asas umum terhadap penghargaan
adanya prinsip praduga tidak bersalah (Presumption of Innocent). Hal ini
disebabkan dalam beban pembuktian terbalik seorang terdakwa telah dianggap
bersalah kecuali dia dapat membuktikan dirinya tidak bersalah14.

Pemeriksaan tindak pidana pencucian uang terhadap harta kekayaan yang
diduga merupakan hasil dari tindak pidana tidak perlu dibuktikan terlebih
dahulu tindak pidana asalnya. Pencucian uang merupakan independent crime,
artinya kejahatan yang berdiri sendiri. Walaupun merupakan kejahatan yang
lahir dari kejahatan asalnya, misalnya korupsi, namun rezim anti pencucian
uang di hampir seluruh negara menempatkan pencucian uang sebagai suatu
kejahatan yang tidak bergantung pada kejahatan asalnya dalam hal akan
dilakukannya proses penyidikan pencucian uang. Di sidang pengadilan,
terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaanya bukan merupakan hasil
dari suatu tindak pidana (asas pembuktian terbalik). Dan untuk kelancaran
pemeriksaan di pengadilan, dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan
patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat
diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.

Pembuktian terbalik diatur dalam Pasal 77 dan 78 Undang-undang Nomor 8
tahun 2010 yang berbunyi:
14

Yunus Husein, Negeri Sang Pencuci Uang, Pustaka Juanda Tiga lima, Jakarta, 2008, hlm 196.

14

Pasal 77
“Untuk Kepentingan pemeriksaan di sidang Pengadilan terdakwa wajib
membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak
pidana.”
Pasal 78
1. Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa Harta
Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
2. Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara
bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup.

Pasal 77 dan 78 undang-undang no.8 Tahun 2010 tersebut berisi ketentuan
bahwa terdakwa diberi kesempatan untuk membuktikan harta kekayaannya
bukan berasal dari tindak pidana. Ketentuan ini dikenal sebagai asas
pembuktian terbalik. Dimana sifatnya sangat terbatas, yaitu hanya berlaku pada
sidang di pengadilan, tidak pada tahap penyidikan. Selain itu tidak pada semua
tindak pidana, hanya pada serious crime atau tindak pidana berat seperti
korupsi, penyelundupan, narkotika, psikotropika atau tindak pidana perbankan.
Dengan sistem ini, justru terdakwa yang harus membuktikan, bahwa harta yang
didapatnya bukan hasil tindak pidana. Sesuatu yang harus dilakukan adalah

15

mengetahui apa saja bentuk aset korupsi, dimana disimpan dan atas nama
siapa15.

b. Teori penegakan hukum pidana

Soerjono soekanto membagi 5 faktor yang mempengaruhi proses penegakan
hukum yaitu16:

1. Faktor Hukum

Praktiknya penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi
pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh
konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan
kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara
normatif.

Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar
hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau
tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada hakikatnya
penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup law enforcement saja, namun
juga peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya
merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang
bertujuan untuk mencapai kedamaian.

Sutan Remy Sjahdeini, Memburu Aset Koruptor Dengan Menebar Jerat Pencucian Uang,”
Hukum Online: http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol12317/%20memburu-aset-koruptordenganmenebar jerat-pencucian-uang , 26 Juni 2013, 17:45 WIB.
16
Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas suatu penerapan hukum,
http://sarmyendrahendy.blogspot.com/2012/06/dalamrealita-kehidupan-bermasyarakat.html, 23
Juli 2013, 23:35 WIB.
15

16

2. Faktor Penegakan Hukum

Kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting dalam
berfungsinya hukum, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas
kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam
penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum dengan
mengutip pendapat J. E. Sahetapy yang mengatakan :
“Dalam rangka penegakan hukum dan implementasi penegakan
hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu
kebijakan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu
kemunafikan. Dalam kerangka penegakan hukum oleh setiap
lembaga penegakan hukum (inklusif manusianya) keadilan dan
kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat, harus
diaktualisasikan”.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung
Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan
perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan.
Pendidikan yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang
praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan
di dalam tujuannya, diantaranya adalah pengetahuan tentang kejahatan
computer, dalam tindak pidana khusus yang selama ini masih diberikan
wewenang kepada jaksa, hal tersebut karena secara teknis yuridis polisi
dianggap belum mampu dan belum siap.

17

4. Faktor Masyarakat
Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai
kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok
sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah
taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau
kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum,
merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.
5. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar
bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti
bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau
mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah
suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai
apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.
Kelima faktor yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut, tidaklah disebutkan
faktor mana yang sangat dominan berpengaruh atau mutlaklah semua faktor
tersebut harus mendukung untuk membentuk efektifitas hukum. Namun
sistematika dari kelima faktor ini jika bisa optimal, setidaknya hukum dinilai
dapat efektif.

Sistematika tersebut artinya untuk membangun efektifitas hukum harus diawali
untuk mempertanyakan bagaimana hukumnya, kemudian disusul bagaimana
penegak hukumnya, lalu bagaimana sarana dan fasilitas yang menunjang,
kemudian bagaimana masyarakat merespon serta kebudayaan yang terbangun.

18

2. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan
dengan istilah yang akan diteliti atau ingin diketahui baik penelitian normatif
maupun empiris.

Supaya tidak ada kesalahan terhadap permasalahan maka penulis memberikan
konsep yang bertujuan untuk menjelaskan dari istilah yang digunakan dalam
judul ini, adapun istilah yang dimaksud adalah :

1. Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan)
untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya17.
2. Penerapan yaitu pengenaan; perihal mempraktekkan18.
3. Pencucian uang menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 25 Tahun
2003, Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer,
membayar, menghibahkan, dan membawa keluar negeri atas harta yang
patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk
menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga
seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
4. Tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 Undang-undang No. 31 Tahun 1999,
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau merugikan sistem perekonomian negara.

17

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka. Hlm
37.
18
Ibid.

19

E. Sistematika Penulisan
Agar dapat memudahkan pemahaman terhadap penulisan skripsi ini secara
keseluruhan, maka Penulis membuat Sistimatika Penulisan sebagai berikut:

1. PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan secara garis besar mengenai latar belakang pemilihan
judul, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, dan
sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi telaah kepustakaan yang berupa pengertian-pengertian umum
dari pokok-pokok bahasan analisis penerapan tindak pidana pencucian uang
pada pemberantasan tindak pidana korupsi.

III. METODE PENELITIAN
Merupakan bab yang membahas metode penelitian yang dimulai dari
kegiatan pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan populasi
dan sampel, prosedur pengumpulan dan pengolahan data dan analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini menyajikan pembahasan dari hasil penelitian yang akan
memberikan

penjelasan secara rinci mengenai bagaimana proses

penerapan ketentuan tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana
korupsi serta hambatan dalam penerapan tersebut.

20

V. PENUTUP
Bab ini berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian serta memuat saransaran mengenai analisis penerapan tindak pidana pencucian uang pada
pemberantasan tindak pidana korupsi.

21

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Tinjauan Umum Tentang Korupsi
1. Definisi Korupsi
Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin “corruption” atau “corruptus” yang
berarti kerusakan atau kebobrokan1. Pada mulanya pemahaman masyarakat
tentang korupsi dengan menggunakan bahasa kamus, yang berasal dari bahasa
Yunani Latin “corruption” yang berarti perbuatan yang tidak baik, buruk,
curang, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar
norma-norma agama, mental dan hukum.

Pengertian tersebut merupakan pengertian yang sangat sederhana, yang tidak
dapat dijadikan tolak ukur atau standar perbuatan korupsi sebagai suatu tindak
pidana, yang oleh Lubis dan Scott dalam pandanganya bahwa dalam arti
hukum korupsi adalah tingkah laku yang menguntungkan diri sendiri dengan
merugikan orang lain, oleh pejabat pemerintah yang langsung melanggar batasbatas hukum atas tingkah laku tersebut; sedangkan menurut norma-norma
pemerintahan dapat dianggap korupsi apabila ada pelanggaran hukum atau
tidak, namun dalam bisnis tindakan tersebut adalah tercela2.

9.Nashriana, asset recovery dalam tindak pidana korupsi : upaya pengembalian kerugian
keuangan negara, fakultas hukum Universitas Sriwijaya. Hlm 8.
2
Ibid.

22

Menurut Hermien HK, istilah korupsi yang berasal dari kata “corrupteia” yang
dalam bahasa Latin berarti seduction atau bribery3. Bribery adalah memberikan
atau menyerahkan kepada seseorang untuk agar orang tadi memperoleh
keuntungan. Sedangkan seduction berarti sesuatu yang menarik yang membuat
seseorang menjadi menyeleweng.

2. Sebab, dan Akibat Tindak Pidana Korupsi

Menurut Andi Hamzah, tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia
disebabkan karena faktor-faktor, yaitu4 :
1. Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan
kebutuhan yang makin hari makin meningkat. Faktor ini adalah faktor
yang paling menonjol, dalam arti merata dan meluasnya korupsi di
Indonesia;
2. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia. Dari sejarah berlakunya
KUHP di Indonesia, menyalahgunakan kekuasaan oleh pejabat untuk
menguntungkan diri sendiri memang telah diperhitungkan secara khusus
oleh Pemerintah Belanda sewaktu disusun WvS untuk Indonesia. Hal ini
nyata dengan disisipkan Pasal 423 dan Pasal 425 KUHP Indonesia;
3. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan kurang
efisien sering dipandang pula sebagai penyebab korupsi, khususnya dalam
arti bahwa hal yang demikian itu akan memberi peluang untuk melakukan

3

Ibid., Hlm 8.
Andi Hamzah dan Djoko Prakoso dkk, Kejahatan-Kejahatan yang membahayakan dan
Merugikan Negara, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 392
4

23

korupsi. Sering dikatakan, makin besar anggaran pembangunan semakin
besar pula kemungkinan terjadinya kebocoran-kebocoran;
4. Modernisasi mengembangkan korupsi karena membawa perubahan nilai
yang dasar dalam masyarakat , membuka sumber-sumber kekayaan dan
kekuasaan baru, membawa perubahan-perubahan yang diakibatkannya
dalam bidang kegiatan politik, memperbesar kekuasaan pemerintah dan
melipat-gandakan

kegiatan-kegiatan

yang

diatur

oleh

Peraturan

Pemerintah.

3. Pemetaan bentuk korupsi dan modusnya
Beberapa bentuk dan modus tindak pidana korupsi serta modusnya yaitu5 ;
a. Korupsi politik
Pembuatan/perumusan suatu undang-undang kadang-kadang memerlukan
konsensus antar fraksi di DPR RI. Khususnya undang-undang yang
berkaitan dengan tindak pidana korupsi cenderung melahirkan undangundang yang memberikan celah-celah hukum yang memungkinkan pelaku
tindak pidana korupsi berkelit untuk melepaskan diri dari jeratan hukum.
Disamping itu juga dapat melahirkan undang-undang yang cenderung
melemahkan usaha-usaha pemberantasan korupsi. Karenanya setiap ada
rancangan perubahan undang-undang yang berkaitan dengan pemberantasan
korupsi perlu diawasi pemerintah bersama-sama dengan lembaga swadaya
masyarakat yang bergerak di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi.
5

S.Anwary, Perang Melawan Korupsi di Indonesia, Institut Pengkajian Masalah Politik dan Sosial
Ekonomi,Jakarta,2012,hlm.77.

24

Rancangan perubahan undang-undang yang sering dipelintir (karenanya
harus diwaspadai) antara lain: Undang-undang Komisi Pemberantasan
Korupsi, Undang-undang Pajak, Undang-undang APBN/APBD, Undangundang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Mahkamah Konstitusi dan
lain-lain.

b. Korupsi Hukum
Menurut Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menilai di
era reformasi justru yang harus dikawal ialah implementasi aturan karena
penegak hukum masih sering memanipulasi aturan dan sistem. Mahfud juga
berpesan agar lebih waspada melihat korupsi di bidang hukum. Korupsi
bukan hanya pada permainan pasal, yang lebih berbahaya ialah proses
pembentukan aturan hukum.

c. Korupsi Anggaran Pendapatan Belanja Negara

dan Korupsi Anggaran

Pendapatan Belanja Daerah (APBN/APBD).
Bentuk tindak pidana korupsi pencurian uang negara melalui APBN dan
APBD dilakukan dengan melakukan pemborosan keuangan negara dengan
menggunakan APBN dan APBD antara lain berkedok studi banding
perjalanan dinas fiktif, uang respresentasi, uang penunjang operasi pejabat,
uang penerimaan tamu pejabat negara, uang penunjang jabatan,tunjangan
pendidikan anak anggota DPRD dan lain-lain.

25

d. Korupsi proyek pembangunan sarana fisik atau infrastruktur dan pengadaan
barang
Korupsi proyek pembangunan sarana fisik atau infrastruktur baik yang
dibiayai pinjaman uang negeri, APBN dan APBD. Bentuk tindak pidana
korupsi pembangunan sarana fisik atau infrastruktur antara lain dilakukan
dengan penunjukan langsung tanpa tender seperti yang terjadi pada
pembelian helikopter bekas yang dilakukan oleh Gubernur Nanggroe Aceh
Darusalam Abdullah Puteh. Untuk menghindari agar tidak terjadi permainan
antaara si pemegang anggaran (eksekutif) dengan para kontraktor
penunjukan langsung kontraktor pembangunan proyek-proyek Pemerintah
Pusat dan Daerah atau pengadaan barang pada batas nilai tertentu dengan
alasan apapun dilarang melakukan penunjukan langsung tanpa pengecualina
harus melalui tender secara terbuka

e. Korupsi Perbankan
Bentuk perampokan tindak pidana korupsi di perbankan antara lain:
1 .Kecurangan (fraud) yaitu pemalsuan, penipuan, atau pemberian gambaran
atau keterangan yang tidak sebenranya dengan tujuan memperoleh
keuntungan dengan menimbulkan kerugian material bagi pihak lain.
2. Menyangkut pengajuan kredit dengan agunan fiktif, penanganan kasus
seperti ini biasanya dengan menggunakan pasal 78 atau 372 KUHP.
3. Pemalsuan kartu kredit. Penanganan kasus ini biasanya menggunakan
Pasal 263 dan Pasal 264 KUHP.

26

4. Penggelapan dana masyarakat seperti kasus Bank Dwimanda, dan Bank
Gunung Palasari, dimana kedua kasus tersebut dana masyarakat yang
terkumpul digelapkan oleh pengelola bank tersebut dengan dibawa
kaburnya dana tersebut ke luar negeri.
5. Mark up adalah penggelembungan jumlah kebutuhan investasi suatu
proyek untuk mendapatkan kredit yang lebih besar dari semestinya.

f. Korupsi perpajakan
Penggelapan uang penerimaan pajak negara dilakukan oknum pegawai
Ditjen

Pajak

bekerjasama

dengan

wajib

pajak

untuk

meringankan/membebaskan wajib pajak dari kewajibannya membayar pajak
ke kas negara dengan mendapatkan imbalan.

g. Manipulasi
Bentuk tindak pidana/manipulasi antara lain ditandai dengan adanya para
pelaku yang melakukan mark up proyek-proyek pembangunan pemerintah
seperti proyek-proyek pembangunan prasarana pemerintah, proyek-proyek
reboisasi hutan, pengeluaran anggaran belanja negara fiktif, jaminan fiktif
di perbankan dan lain-lain.

h. Penggelapan
Tindak pidana korupsi penggelapan antara lain ditandai dengan adanya para
pelaku seperti menggelapkan asset harta kekayaan negara atau keuangan
negara untuk memperkaya dirinya atau memperkaya orang lain.

27

i. Penyuapan
Bentuk tindak pidana penyuapan antara lain ditandai dengan adanya para
pelaku seperti memberikan suap kepada oknum-oknum pegawai negeri agar
si penerima suap memberikan kemudahan dalam pemberian izin, kredit
bank dan lain-lain yang pada umumnya bertentangan dengan ketentuan
peraturan yang berlaku.

j. Pemerasan
Bentuk tindak pidana korupsi pemerasan antara lain ditandai dengan adanya
para pelaku seperti memaksa seseorang secara melawan hukum agar
memberikan sesuatu barang atau uang kepada yang bersangkutan.

k. Pungutan liar
Bentuk tindak pidana korupsi pungutan liar antara lain ditandai dengan
adanya para pelaku melakukan pungutan liar atas sesuatu biaya di luar
ketentuan peraturan. Umumnya pungutan liar ini dilakukan terhadap
seseorang atau korporasi apabila ada kepentingan berurusan dengan instansi
pemerintah.

l. Penjarahan Harta Kekayaan Negara
Bentuk tindak pidana korupsi penjarahan atas harta kekayaan negara
biasanya dikemas dalam peraturan perundang-undangan atau kebijaksanaan
penguasa sebagai legalitasnya, contoh tukar guling (ruilslag).

28

m. Pencucian Uang (Money Laundering)
Pencucian uang (Money Laundering) adalah suatu tindakan dari seseorang
pemilik guna membersihkan uangnya dengan cara menginvestasikan atau
menyimpan di lembaga keuangan, tindakan tersebut dikarenakan uangnya
merupakan hasil dari suatu tindakan yang melanggar hukum. Untuk
menjerat dan pemberian hukuman yang setimpal, pemerintahan SBY
menerbitkan Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan
pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Komisi Pemberantasan
Korupsi hendaknya menerapkan ketentuan dalam Undang-undang No. 8
Tahun 2010 ini dalam mengusut kasus korupsi. Salah satu target
pemberantasan korupsi adalah pengembalian kerugian negara dengan
penelusuran, pemblokiran, dan penyitaan asset dari tindak pidana asal yaitu
korupsi dengan memanfaatkan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian
Uang dan lain-lain bentuk/modus tindak pidana korupsi.

4. Pola Korupsi
Secara typology korupsi dapat dibedakan atas 2 tipe yaitu penguasaan oleh
negara (state capture) dan korupsi administrasi (administrative corruption).
Penguasaan oleh negara (state capture) mengacu kepada tindakan yang
dilakukan

oleh

individu-individu,

kelompok-kelompok,

atau

bahkan

perusahaan-perusahaan baik dalam sektor publik maupun privat untuk
mempengaruhi formasi undang-undang, peraturan, keputusan, dan kebijakankebijakan

pemerintah

lainnya

untuk

kepentingan

mereka

dengan

mempergunakan keuntungan privat yang tidak transparan yang ditujukan

29

kepada pejabat-pejabat publik6. Penguasaan oleh negara (state capture) dapat
dibedakan atas tiga bentuk, yaitu7 ;
1. Berdasarkan institusi yang dikuasai oleh negara, seperti misalnya legislatif,
eksekutif, Judikatif atau badan-badan pembentuk peraturan.
2. Berdasarkan objek yang dikuasai, termasuk dalam kategori ini adalah
korporasi,

pemimpin-pemimpin

politik

atau

kelompok-kelompok

kepentingan.
3. Berdasarkan jenis pemberian kepada pejabat publik untuk melakukan
sesuatu misalnya penyuapan secara langsung, penggelapan, pengawasan,
informal.
Penguasaan oleh negara lebih ditujukan kepada keuntungan individu-individu
atau kelompok yang ada dalam peraturan dasar korupsi administrasi mengacu
penyalahgunaan

peraturan

perundang-undangnan

yang

berlaku

untuk

keuntungan tidak hanya tetapi juga diluar aktor-aktor negara hal ini terjadi
akibat tidak transparannya pembagian perolehan pejabat publik.

B. Tinjauan Umum Tentang Pencucian Uang

1. Definisi Tindak Pidana Pencucian Uang
Pencucian uang dimasukkan dalam kategori kejahatan, pertama kali dikenal di
Amerika Serikat pada tahun 1930-an. Istilah “money laundering” ditujukan
pertama kali pada tindakan mafia yang mempergunakan uang hasil kejahatan
yang berasal dari pemerasan, penjualan ilegal minuman keras dan perjudian
6

Tunggul, Tinjauan Konseptual Yuridis Terhadap Korupsi, Universitas Sisingamangaraja XII
Medan
7
Ibid.

30

serta pelacuran, membeli

perusahaan pencucian pakaian (laundramat).

Pembelian ini bertujuan mencampur uang hasil kejahatan dengan bisnis yang
bersih, untuk menyamarkannya. Al Capone melakukannya pada tahun 1930-an,
yang pada waktu itu hanya dianggap sebagai perbuatan penyalahan pajak (tax
evasion). Baru pada tahun 1986 di AS pencucian uang menjadi suatu perbuatan
kriminal yang kemudian diikuti oleh berbagai negara8.

Pencucian uang pada dasarnya merupakan upaya memproses uang hasilk
kejahatan dengan bisnis yang sah sehingga uang tersebut bersih atau tampak
sebagai uang halal. Dengan demikian asal usul uang itu pun ditutupi9.

Pencucian uang secara umum dapat diartikan sebagai suatu tindakan atau
perbuatan memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas
hasil dari satu tindak pidana yang kerap dilakukan oleh organisasi kejahatan
(crime organization) maupun individu yang melakukan tindakan korupsi,
perdagangan narkotika, dan tindak pidana lainnya. Tujuannya adalah
menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang haram tersebut sehingga
dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah10.

Beberapa pakar memberikan definisi antara lain: Sutan Reni Sjahdeni
menyebutkan “Money Laundering suatu proses atau kegiatan yang dilakukan
oleh orang atau organisasi kejahatan terhadap uang yang berasal dari tindak
kejahatan, dengan maksud menyembunyikan asal-usul tersebut dari pemerintah

8

Erman Rajagukguk, Rezim Anti Pencucian Uang dan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian
Uang, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, 15 September 2005.
9
Philips Darwin, Money Laundering: Cara Dengan Tepat dan Benar Soal Pencucian Uang. Sinar
Ilmu, Surbaya, 2012, hlm.9.
10
Ibid, hlm 10.

31

atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak kejahatan
dengan cara terutama memasukan uang tersebut kedalam sistem keuangan,
sehingga uang haram tersebut apabila dikeluarkan dari sistem keuangan
menjadi uang yang sah11.

Definisi pencucian uang terus berkembang sejalan dengan perkembangan
kasusnya di dunia internasional. Salah satu definisi yang menjadi acuan di
seluruh dunia termuat dalam the united nations convention against llicit traffic
in narcoticas, drugs, and psycotropic substance of 1988 yang kemudian
diratifikasi di Indonesia dengan Undang-undang No.7 199712
“The Convention of Transfer of Property, Knoeing That Such Property
Derived from The Pupose or Concelling or of Assisting Any Person Who
is Involved in The Commision of Such an Offence or Offences to Evade
The Legal Consequenses of The True nature, Source, Location,
Disposition, Monument, Rights with Respect to, or Ownership of
Property, Knowing that such Property is Derived from a Serious
(Indictable) offence or offences or from an act of Participation in Such
an Offence of Offences.”
(Konvensi atau perpindahan dari properti yang diketahui berasal
dari/diindikasikan kegiatan terlarang, untuk tujuan menyembunyikan atau
mengaburkan hal-hal yang terlarang dari properti tersebut, atau membantu
setiap orang yang terkait dalam persekutuan jahat dalam menghindari segala
konsekuensi

hukum

dari tindakannya, atau

menyembunyikan dan

mengaburkan dari sumber asli, lokasi, grup terkait, pergerakan, hak,
kepemilikan properti dimana diketahui properti-properti tersebut berasal
dari konspirasi jahat atau dari partisipasi dalam perbuatan jahat.)
11

Nurmalawaty, Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang (Money
Laundering) dan Upaya Pencegahannya, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Jurnal
Equality Vol.1 No.1, Febuari 2006.
12
Darwin, Op.Cit.

32

2. Tahapan Pencucian Uang

Tindak pidana pencucian uang adalah kejahatan yang bersifat ganda dan
lanjutan (follow up crime). Sedangkan kejahatan utamanya atau kejahatan
asalnya disebut sebagai predicate offense, core crime, atau unlawful activity,
yaitu kejahatan asal yang menghasilkan uang untuk kemudian diproses melalui
pencucian. Adapun tahap-tahap prosesnya diterangkan berikut ini13.
a. Tahap penempatan (placement), merupakan tahap pengumpulan dan
penempatan uang hasil kejahatan pada suatu bank atau tempat tertentu yang
diperkirakan aman guna mengubah bentuk uang tersebut agar tidak
teridentifikasi, biasanya sejumlah uang tunai dalam jumlah besar dibagi
dalam jumlah yang lebih kecil dan ditempatkan pada beberapa rekening di
beberapa tempat;
b. Tahap pelapisan (layering), merupakan upaya untuk mengurangi jejak asal
muasal uang tersebut diperoleh atau ciri-ciri asli dari uang hasil kejahatan
tersebut atau nama pemilik uang hasil tindak pidana, dengan melibatkan
tempat-tempat atau bank di negara-negara dimana kerahasiaan bank akan
menyulitkan pelacakan jejak uang. Tindakan ini dapat berupa : mentransfer
ke negara lain dalam bentuk mata uang asing, pembelian properti,
pembelian saham pada bursa efek menggunakan deposit yang ada di Bank A
untuk meminjam uang di Bank B dan sebagainya.
c. Tahap penggabungan (integration), merupakan tahap mengumpulkan dan
menyatukan kembali uang hasil kejahatan yang telah melalui tahap
pelapisan dalam suatu proses arus keuangan yang sah. Pada tahap ini uang
13

Darwin, Op.Cit. hlm 41.

33

hasil kejahatan benar-benar telah bersih dan sulit untuk dikenali sebagai
hasil tindak pidana, muncul kembali sebagai asset atau investasi yang
tampak legal.

3. Pengaturan Hukum Pencucian Uang di Indonesia
Penanganan tindak pidana pencucian uang di Indonesia yang dimulai sejak
disahkannya Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25
Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian uang, telah menunjukkan arah yang positif.
Hal itu tercermin dari meningkatnya kesadaran dari pelaksana Undang-undang
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, seperti penyedia jasa keuangan dalam
melaksanakan kewajiban pelaporan, Lembaga Pengawas dan Pengatur dalam
pembuatan peraturan, Pusar Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) dalam kegiatan analisis, dan penegak hukum dalam menindaklanjuti
hasil analisis hingg