ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TURUT SERTA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DARI HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

(1)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TURUT SERTA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DARI HASIL

TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

(Skripsi)

Oleh : Fadlin Hasibuan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(2)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TURUT SERTA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DARI HASIL

TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

Oleh : Fadlin Hasibuan

Salah satu semangat diundangkannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang adalah untuk mempersulit para koruptor untuk menyembunyikan uang hasil kejahatannya dengan melakukan pencucian uang (money laundering). Pencucian uang dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan menggunakan sarana lembaga bank, dengan cara ini pelaku pencucian uang dapat dengan mudah menyamarkan uang hasil kejahatannya. Banyak kasus pencucian uang yang terjadi di Indonesia,diantaranya kasus No. 665/Pid.B/2006/PN.TK dan kasus No. 114/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel. permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku turut serta tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia dan apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia.

Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah suatu pendekatan yang dilakukan dimana pengumpulan dan penyajian data dilakukan dengan mempelajari dan menelaah konsep-konsep dan teori-teori serta peraturan-peraturan secara kepustakaan yang berkaitan dengan pokok bahasan penulisan skripsi ini. Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan yang ada.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa pertanggungjawaban pidana tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi dapat dimintakan kepada pelaku apabila telah terbukti melakukan perbuatan tindak pidana pencucian uang dan korupsi yang sesuai dengan rumusan tindak pidana dalam UU No. 15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi, dengan mengandung unsur perbuatan yang


(3)

Fadlin Hasibuan bertentangan dengan ketentuan yuridis, dilakukan oleh setiap orang yang mampu bertanggungjawab dalam diri pelaku sebab dalam tindak pidana pencucian uang setiap orang dianggap mampu bertanggungjawab, serta diberikan sanksi bagi pelakunya tindak pidana pencucian uang pasal 3 ayat (1) UU No. 15 tahun 2002 tentang pencucian uang. Dasar pertimbangan Hakim untuk menjatuhkan pidana terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana korupsi didasarkan Undang-Undang No. 15 tahun 2002 tentang Pencucian Uang, Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan pertimbangan dari fakta-fakta dipersidangan dari pemeriksaan alat bukti berupa keterangan para saksi, keterangan terdakwa serta barang bukti.

Selain itu Hakim dalam melakukan penilaian atau pertimbangan-pertimbangannya melihat dari unsur-unsur atau teori-teori dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan, seperti teori keseimbangan, teori pendekatan seni dan intuisi, teori pendekatan keilmuwan, pengalaman hakim serta segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan kemudian mencari undang- undang yang relevan sebagai dasar hukum.


(4)

Oleh Fadlin Hasibuan

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(5)

Judul Skripsi :ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TURUT SERTA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DARI HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

Nama Mahasiswa :Fadlin Hasibuan No. Pokok Mahasiswa : 0852011086

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Diah Gustiniati, S.H., M.H. Maya Shafira, S.H., M.H. NIP 19620817 198703 2 003 NIP 19770601 200501 2 002

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati, S.H., M.H. NIP 19620817 198703 2 003


(6)

1. Tim Penguji

Ketua :Diah Gustiniati, S.H., M.H.

...

Sekretaris/Anggota :Maya Shafira, S.H., M.H.

...

Penguji Utama :Tri Andrisman, S.H., M.H.

...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H. M.S. NIP 19621109 198703 1 003


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lubuk Pakam 01 Desember 1988, yang merupakan anak kedua dari 2 bersaudara dari pasangan Ayahanda (alm) Ruslan Abdul Gani Hasibuan dan Ibunda Nita Rosilawati.

Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak YWKA, Purwodadi Grobogan pada tahun 1995, Sekolah Dasar Negeri 2 Tanjung Gading, Bandar Lampung pada tahun 2001, kemudian penulis melanjutkan studinya di Sekolah Menengah Pertama Negeri 23 Bandar Lampung pada tahun 2004 dan Sekolah Menengah Atas Arjuna Bandar Lampung pada tahun 2007. Dengan mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa akhirnya penulis diterima di Fakultas Hukum Universitas Lampung pada Tahun 2008.

Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif mengikuti beberapa kegiatan. Selain itu, pada Tahun 2011 penulis mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) tanggal 30 Juni sampai 9 Agustus 2011 yang dilaksanakan di Desa Adi Mulyo Kecamatan Panca Jaya Kabupaten Mesuji.


(8)

Tidak Ada Kekayaan yang Melebihi Akal dan Tidak Ada Kemelaratan yang Melebihi Kebodohan

Sabar Dalam Mengatasi Kesulitan dan Bertindak Bijaksana Dalam Mengatasinya Adalah Sesuatu yang Utama

Kebaikan Tidak Bernilai Selama Diucapkan Akan Tetapi Bernilai Sesudah Dikerjakan


(9)

PERSEMBAHAN

Dengan Mengucapkan Puji Syukur Kepada Allah SWT, Atas Rahmat dan HidayahNYA, Maka Dengan Ketulusan dan Kerendahan Hati Serta Setiap Perjuangan

dan Jerih Payahku,

Aku Persembahkan Sebuah Karya ini Kepada :

Ayah (alm) Ruslan Abdul Gani Hasibuan dan Ibu Nita Rosilawati yang kuhormati, kusayangi, dan kucintai

Terima kasih untuk setiap pengorbanan kesabaran, kasih sayang yang tulus serta do’a demi keberhasilanku

Kakakku Ardian Hasibuan serta seluruh keluargaku tersayang, terima kasih atas kasih sayang, do’a dan dukunganya.

Guru-guruku

Semoga ilmu yang telah kalian berikan dapat berguna bagiku dan menjadi ladang amal bagimu.

Sahabat-sahabatku tercinta yang selama ini selalu menemani, memberikan dukungan dan do’anya untuk keberhasilanku, terimakasih atas persahabatan yang indah dan

waktu-waktu yang kita lalui bersama.


(10)

Assalamualaikum, Wr. Wb.

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi dengan judul “ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TURUT SERTA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DARI HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA” adalah salah satu

syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Lampung.

Penulis menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi, bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(11)

3. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan saran dan masukan-masukan sehingga proses penyelesaian skripsi dapat berjalan dengan baik.

4. Ibu Maya Shafira, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis selama penyelesaian skripsi ini.

5. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas I yang telah banyak memberikan saran, masukan dan kritik membangunnya dalam penyempurnaan skripsi ini.

6. Bapak Ahmad Irzal, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas II yang telah banyak memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Ibu Ria Wierma Putri, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing Akademik selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung. 8. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa disebutkan

satu persatu, atas bimbingan dan pengajarannya selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

9. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah membantu penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan atas bantuannya selama penyusunan skripsi.

10. Terima Kasih Kepada Kedua Orang Tuaku, Kakakku, Sepupu-sepupuku serta sanak saudara lainnya yang selama ini telah banyak mendukung serta menyemangati dan membantu dalam hidupku.


(12)

13. Kepada teman-teman, sahabat-sahabat yang dimanapun berada tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih atas dukungan, do’a, kebersamaan, kekompakan serta persahabatannya.

14. Teman-temanku di Fakultas Hukum Universitas Lampung angkatan 2008 yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas motivasi dan bantuanya.

15. Serta kupersembahkan untuk calon pendampingku kelak.

16. Almamaterku tercinta yang sudah memberi banyak wawasan dan pengalaman berharga.

Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa dan negara, para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi penulis. Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 22 Mei 2012 Penulis


(13)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang……… 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup………. 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian………. 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ………. 8

E. Sistematika Penulisan ………. 18

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Pertanggungjawaban Pidana ... 20

B. Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana……… 21

C. Penyertaan dalam Tindak Pidana ... 24

D. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ………... 31

E. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang ……….... ... 33

F. Pertimbangan Dalam Putusan Hakim………... 36

III.METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah……….…………..……….. 39

B. Sumber dan Jenis Data……….…………..……….. 39

C. Penentuan Populasi dan Sampel…...……….…………..………… 41

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data….…..……..……….. 41

E. Analisis Data……….…..………. 43

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden……….………..……… 44


(14)

D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang dari Hasil Tindak Pidana Korupsi

Di Indonesia ...……….. 68

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ………..………. 76

B. Saran ……….……… 77

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemajuan teknologi informasi dan globalisasi keuangan mengakibatkan makin mendunianya perdagangan barang dan jasa arus finansial yang mengikutinya. Pada masa sekarang hampir semua negara saling mengadakan hubungan dagang untuk menunjang pembangunan ekonominya. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi jelas akan sangat meningkatkan bisnis internasional. Peningkatan bisnis internasional, pasti pula akan meningkatkan intensitas lalu lintas pembayaran ekspor impor antar negara di dunia di abad ke-21 mendatang. Kegiatan perdagangan tersebut dapat terbagi menjadi dua, yaitu:

a) kegiatan menjual barang (ekspor); dan

b) kegiatan membeli hasil produksi negara lain (impor). (Munir Fuady, 2003 : 35).

Setiap kegiatan tersebut pada dasarnya ada 2 pihak yang berperan, yaitu pihak eksportir dan pihak importir. Perlu diingat dalam kegiatan ini, kedua belah pihak terpisah satu sama lain baik secara geografis maupun oleh batas kenegaraan yang dapat dipastikan akan mengalami kesulitan dalam pembayaran bila pihak pembeli tidak memiliki devisa (alat pembayaran yang diterima dalam lalu lintas pembayaran


(16)

internasional atau suatu mata uang internasional). Untuk menjembatani keinginan, baik pihak pembeli (importir) maupun pihak penjual (eksportir) maka perlu digunakan sarana pembayaran yang saling menguntungkan. Sarana pembayaran ini akan menjamin pembayaran yang diinginkan penjual dengan mengirim barangnya. Jaminan diberikan pula kepada pihak pembeli bahwa akan menerima jumlah dan kualitas barang yang diinginkan. Sarana pembayaran semacam ini dibuat melalui jaminan bank sebagai lembaga pembayar yang dikenal dengan nama Letter of Credit atau L/C.

PengertianLetter of Credit(L/C) adalah jasa bank yang diberikan kepada masyarakat untuk memperlancar pelayanan arus barang, baik arus barang dalam negeri atau arus barang ke luar negeri (Fockema Andreae, 1983 : 167). Kegunaan Letter of Credit adalah untuk menampung dan menyelesaikan kesulitan-kesulitan dari pihak pembeli (importir) maupun penjual (atau eksportir) dalam transaksi perdagangannya. Penggunaan L/C ini sejak Perang Dunia I sampai sekarang masih terus dipertahankan dan digunakan sebagai instrumen yang tradisional dalam transaksi-transaksi perdagangan luar negeri.

Selain sebagai sistem pembayaran yang paling aman dipandang dari sudut kepentingan eksportir dan importir, Letter of Credit yang secara prinsip menganut Uniform Customs and Practice for Documentary Credit (UCP 500) adalah suatu sarana yang paling efektif, yang ditawarkan oleh bank-bank devisa, dalam penyelesaian pembayaran transaksi bisnis internasional. Walaupun demikian risiko dalam transaksi L/C dapat saja timbul bilamana negosiasi tidak mematuhi norma dan


(17)

3

ketentuan internasional tersebut. Umumnya risiko disebabkan adanya penyimpangan, sehingga berdampak bagi opening bank maupun bagi advising bank dengan tidak dapat menerima pembayaran atau keterlambatan pembayaran dari mitra bisnisnya di luar negeri. Perbedaan manajemen, tata hubungan individu, dan kebijakan treasury memiliki pengaruh signifikan terhadap negosiasi L/C yang dapat dijadikan faktor utama mengukur besar kecilnya risiko (www.bisnisindonesia.com diakses 5/11/2011).

Kemajuan di bidang ekonomi tidak selamanya memberikan dampak yang positif bagi suatu negara, karena terkadang justru sarana yang subur, bagi perkembangan kejahatan, khusunya kejahatan kerah putih (white collar crime). Kejahatan kerah putih sudah berkembang pada taraf transnational yang tidak lagi mengenal batas-batas teritorial negara. Bentuk kejahatannya pun semakin canggih dan terorganisir secara rapih, sehingga sulit untuk dideteksi. Pelaku kejahatan selalu berusaha menyelamatkan uang hasil kejahatannya melalui berbagai cara, salah satunya dengan melakukan pencucian uang (money laundering). Dengan cara ini mereka mencoba untuk mencuci sesuatu yang didapat secara illegal menjadi suatu bentuk yang telihat legal. Dengan pencucian ini, pelaku kejahatan dapat menyembunyikan asal usul yang sebenarnya dana atau uang hasil kejahatan yang dilakukannya. Melalui kegiatan ini pula para pelaku kejahatan dapat menikmati hasil kejahatan secara bebas seolah-olah tampak sebagai hasil dari suatu kegiatan yang legal.

Paling tidak ada tiga motivasi mengapa pelaku kejahatan melakukan pencucian uang hasil kejahatan yang dilakukannya, yaitu kekhawatiran para pelaku akan berhadapan


(18)

dengan petugas pajak, penuntutan oleh aparat penegak hukum, dan kekhawatiran hasil kejahatan tersebut disita. Untuk memberantas praktek pencucian uang, maka pada Tahun 2002 Indonesia telah menkriminalisasi pencucian uang, yaitu dengan diundangkannya. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana yang telah dirubah dengan Undang-Undang nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Tahun 2005 PERC mengemukakan bahwa Indonesia masih menjadi negara terkorup di dunia. Transparansi International menempatkan Indonesia sebagai negara sepuluh besar yang terkorup didunia dalam hasil surveinya (info.worldbank.org diakses 4/11/2011). Salah satu semangat diundangkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang adalah untuk mempersulit para koruptor untuk menyembunyikan uang hasil Kejahatannya, dengan demikian dalam jangka panjang diharapkan tindak pidana korupsi dapat berkurang. Latar belakang tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian terhadap penanganan dan penegakan hukum tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia.

Contoh Kasus I

Kasus tindak pidana pencucian ini diawali dari Terdakwa Hendri Satria pada hari Rabu Tanggal 8 Maret 2006 di Kantor Cabang Utama (KCU) PT Bank Lampung bandar Lampung, terdakwa dengan sengaja menempatkan harta berupa uang tunai sejumlah Rp. 1.950.000.000,- yang diketahuinya merupakan hasil tindak pidana ke dalam penyedia jasa keuangan, baik atas namanya sendiri atau orang lain yang dilakukan dengan cara terdakwa sebagai nasabah Bank Lampung Unit II Tulang


(19)

5

bawang. Antara terdakwa dengan saksi Sofyan, terdakwa meminta kepada saksi Sofyan untuk dapat memasukkan uang setoran fiktif sebesar Rp. 1.950.000.000,- ke tabungan Siger Mas. Setelah masuk ke dalam tabungan terdakwa, lalu ditarik oleh terdakwa melalui KCU Bank Lampung di Bandar Lampung dan digunakan terdakwa untuk membayar hutang-hutangnya kepada Hermansyah dengan cara disetorkan ke Bank Mandiri Teluk Betung yaitu ke rekening atas nama Hermansyah.

Contoh Kasus II

Kasus L/C fiktif di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk memiliki potential loss setara Rp1,7 triliun menarik perhatian publik, mengingat reputasi bank merupakan BUMN. Menurut data Kepolisian, kasus ini diduga melibatkan sedikitnya tujuh perusahaan swasta yang bergerak di bidang ekspor pasir ke negara di Afrika. Peristiwanya berlangsung selama kurun waktu lebih dari setahun (Juli 2002 hingga Agustus 2003). Pengawasan internal Bank Negara Indonesia (Bank BNI) tak berjalan. Sistem pengawasan Bank Indonesia (BI) juga ternyata tidak efektif. Lembaga yang berkewajiban mengawasi perbankan ini baru mengetahui permasalahan sudah meluas. Para analis perbankan saja tidak mengerti bagaimana mungkin Bank Negara Indonesia bisa kebobolan Rp 1,7 triliun melalui ratusan transaksi sejenis, dengan modus surat kredit (Letter of Creditatau L/C) fiktif. Skandal L/C fiktif Bank BNI ini sangat mengusik rasa keadilan masyarakat (info.worldbank.org/governance/wgi diakses 4/11/2011).

Para pelaku dengan mudah mengambil dana triliunan rupiah dari perbankan tanpa usaha yang jelas. Modus operandinya dengan memalsukan sejumlah dokumen dan


(20)

memanipulasinya dengan seolah-olah mereka telah mengekspor barang hingga ke Afrika yang ternyata ekspor fiktif saja. Terjadinya kasus L/C fiktif BNI telah membuka masyarakat bahwa fasilitas bank sebagai satu sarana yang banyak dipakai dalam memperlancar transaksi perdagangan internasional sangat perlu dipelajari secara mendalam oleh semua yang terlibat dalam perdagangan internasional.

Bertolak dari uraian di atas, maka penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai penegakan hukum tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia dan menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul :

“Analisis Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Turut Serta dalam Tindak Pidana Pencucian Uang dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Sehubungan dengan latar belakang di atas, maka terdapat beberapa permasalahan yang akan dikemukakan penulis antara lain:

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku turut serta tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia?

b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia?


(21)

7

2. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini, penulis mengambil lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang. Sedangkan lingkup pembahasan dalam penelitian ini hanya terbatas pada pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi serta dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia. Sedangkan dalam lingkup bidang ilmu adalah bidang hukum pidana khususnya mengenai tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana korupsi pada putusan No. 665/PID.B/2006/PN.TK dan No. 114/PID.B/2006/PN.Jak. Sel.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan dan ruang lingkup penelitian, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :

a. Pertanggungjawaban pidana pelaku turut serta tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia.

b. Dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia.

2. Kegunaan Penelitian


(22)

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum pidana yang menyangkut penanganan dan penegakan hukum tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia.

b. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada praktisi hukum dan masyarakat mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto, 1986 : 125).

Berbagai kejahatan, baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun oleh korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun yang dilakukan melintas batas wilayan negara lain makin meningkat. Kejahatan tersebut antara lain berupa tindak pidana korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, perbankan, perdagangan gelap narkotika dan psikotropika, terorisme, penggelapan, penipuan dan berbagai kejahatan kerah putih lainnya. Harta kekayaan yang berasal dari berbagai kejahatan atau tindak


(23)

9

pidana tersebut, pada umumnya tidak langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatan, karena apabila langsung digunakan akan mudah dilacak oleh aparat penegak hukum mengenai sumber diperolehnya harta kekayaan tersebut. Biasanya para pelaku kejahatan terlebih dahulu mengupayakan agar harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut masuk ke dalam sistem keuangan (financial system), terutama ke dalam sistem perbankan (banking system). (Penjelasan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang)

Asal usul harta kekayaan tersebut diharapkan tidak dapat dilacak oleh aparat penegak hukum. Upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan inilah yang dikenal dengan pencucian uang (money laundering). Sutan Remy Sjahdeini (2007 : 64) mengartikan pencucian uang sebagai:

“Kegiatan-kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi kejahatan terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan asal usulnya dari pihak yang berwenang agar tidak dilakukan penindakan terhadap tindak pidana tersebut dengan cara memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga apabila akhirnya uang tersebut dikeluarkan dari sistem keuangan itu maka uang itu telah berubah menjadi uang sah”.

Melalui proses pencucian uang, maka pelaku kejahatan dapat mempergunakan uang hasil kejahatannya seolah-olah uang tersebut didapatkan dari suatu hasil yang sah. Hal ini merupakan salah satu pemicu tumbuh berkembangnya tindak pidana korupsi di Indonesia, karena pada koruptor dapat dengan mudahnya memasukkan uang hasil tindak pidana korupsi yang dilakukanya kedalam sistem keuangan dan kemudian mempergunakannya kembali seolah-olah didapat dari hasil yang sah.


(24)

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 disebutkan bahwa hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, tindak pidana di bidang perbankan, tindak pidana di bidang pasar modal, tindak pidana di bidang asuransi. Tindak pidana narkotika, psikotropika, perdagangan manusia, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, Penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, Prostitusi, tindak pidana dibidang perpajakan, tindak pidana dibidang kehutanan, tindak pidana di bidang lingkungan hidup, tindak pidana di bidang kelautan, atau tindak pidana lainnya yang diancam dengan penjara 4 (empat) tahun atau lebih. Dari rumusan Pasal l2 ayat (1) Undang-Undang No. 25 tahun 2003 tersebut maka jelaslah bahwa korupsi dipandang sebagai salah satu asal kejahatan dari tindak pidana pencucian uang.

Memberantas tindak pidana korupsi, indonesia melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan korupsi melalui Undang-Undang No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi. Meskipun demikian tindak pidana korupsi tetap terjadi, Undang-undang no. 15 tahun 2002 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 25 tahun 2003 tentang tindak pidana pencucian uang diharapkan dapat membatasi ruang gerak para koruptor untuk menyembunyikan uang hasil kejahatannya.

Membahas permasalahan mengenai pertanggungjawaban pidana, sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata, melainkan juga menyangkut soal nilai-nilai moral atau kesusilaan umum yang dianut oleh masyarakat atau


(25)

kelompok-11

kelompok dalam masyarakat. Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi walaupun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (S.R. Sianturi, 1996 : 164).

Seperti diketahui mengenai kesalahan ini dulu orang berpandangan psichologish. Demikian misalnya pandangan dari pembentuk Wvs. Tetapi kemudian pandangan ini ditinggalkan orang dan orang lalu berpandangan normatif. Ada atau tidaknya kesalahan tidaklah ditentukan bagaimana dalam keadaan senyatanya bathin dari pada terdakwa, tetapi bergantung pada bagaimanakah penilaian hukum mmengenai keadaan bathinnya itu, apakah dipernilai ada ataukah tidak ada kesalahannya. Kemudian dapat disimpulkan bahwa unsur kesalahan itu, mempunyai unsur-unsur pula (S.R. Sianturi, 1996 : 164-166), yaitu:

1. Kemampuan bertanggungjawab;

2. Kesengajaan atau kealpaan, (sebagai bentuk kesalahan, dan pula sebagai penilaian dari hubungan bathin dengan perbuatannya pelaku);

3. Tidak adanya alasan pemaaf

Menurut Romli Atmasasmita (1989 : 79), pertanggungjawaban atauliabilitydiartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dan seseorang yang dirugikan. Menurut Roeslan Saleh (1982 : 33), berpendapat bahwa


(26)

tanggung jawab atas sesuatu perbuatan pidana yang bersangkutan secara sah dapat dikenai pidana karena perbuatan itu.

Membahas mengenai pertanggungjawaban korporasi, dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP), belum dikenal adanya ketentuan pidana yang menetapkan subjek hukum buatan (rechtpersoon) atau korporasi, sebagai subjek yang dapat dikenakan pidana. Hal ini terlihat dalam ketentuan umum KUHP yang menyebutkan berlakunya peraturan perundang-undangan Indonesia bagi setiap orang. Syarat - syarat pertnggungjawaban pidana pelaku turut serta antara lain:

1.Medepleger(Turut Serta)

Orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan sesuatu yang dilarang menurut undang-undang.

Turut mengerjakan sesuatu:

a. Mereka memenuhi semua rumusan delik b. Salah satu memenuhi semua rumusan delik

c. Masing-masing hanya memenuhi sebagian rumusan delik Syarat

a. Adanya kerjasama secara sadar (bewuste samenwerking)

b. Adanya kerjasama secara fisik (gezamenlijke uitvoering/physieke samenwerking)

Kerjasama secara sadar :

a. Adanya pengertian antara peserta atas suatu perbuatan yang dilakukan b. Untuk bekerjasama


(27)

13

Kerjasama/pelaksanaan bersama secara fisik:

Kerjasama yang erat dan langsung atas suatu perbuatan yang langsung menimbulkan selesainya delik yang bersangkutan.

Terdapat beberapa teori-teori tentang pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek hukum pidana (Prosiding Seminar, 2010: 79):

1. Berdasarkan doktrin pertanggungjawaban pidana langsung atau teori identifikasi : a. Perbuatan/kesalahan ”pejabat” senior (senior officer) di identifikasikan

sebagai perbuatan/kesalahan korporasi

b. Disebutjuga teori/doktrin ”alter ego” atau teori organ:

1. Dalam arti sempit (Inggris) hanya perbuatan pejabat senior (otak korporasi) yang dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi.

2. Arti luas (Amerika Serikat) tidak hanya pejabat senior/direktur, tetapi juga agen dibawahnya.

2. Doktrin pertanggungjawaban Pengganti (vicarious liability): 1. Bertolak dari doktrinrespondent superior

2. Didasarkan pada employment principle, bahwa majikan (employer) adalah penanggung jawab utama dari para buruh/karyawan

3. Juga bisa didasarkanthe delegation principle. 3. Doktrin Pertanggungjawaban yang ketat menurut UU

Terminologi lain yang dipakai dalam KUHP, adalah “warga negara” sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 5 KUHP, yang pada intinya menetapkan berlakunya peraturan perundang-undangan Indonesia bagi warga Negara Indonesia yang melakukan kejahatan tertentu, di luar wilayah Indonesia. Namun demikian, dalam


(28)

perkembangannya, korporasi kemudian menjadi subjek hukum dalam rumusan ketentuan pidana.

Ketetapan untuk meminta pertanggungjawaban korporasi dalam bentuk pertanggungjawaban pengurusnya juga dapat dilihat pada ketentuan Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan:

“Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang

bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap keduanya”.

Berdasarkan rumusan pasal tersebut, jelas bahwa para pengurus yang berwenang untuk memberikan perintah kepada bawahannya dalam korporasi perbankan tersebut, yang nantinya dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.

Membahas permasalahan yang kedua, Hakim menjatuhkan pidana harus dalam rangka menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seorang. Jadi bukan hanya balas dendam, rutinitas pekerjaan ataupun bersifat formalitas. Memang apabila kita kembali pada tujuan hukum acara pidana, secara sederhana adalah untuk menemukan kebenaran materiil. Bahkan sebenarnya tujuannya lebih luas yaitu tujuan hukum acara pidana adalah mencari dan menemukan kebenaran materiil itu hanya merupakan tujuan antara. Artinya ada tujuan akhir yaitu yang menjadi tujuan seluruh tertib hukum Indonesia, dalam hal itu mencapai suatu masyarakat yang tertib, tentram, damai, adil, dan sejahtera.

Praktek sehari-hari, baik oleh Penuntut Umum maupun Hakim, faktor-faktor yang dikemukakan dalam tuntutan dan penjatuhan pidana adalah dua hal pokok yaitu


(29)

hal-15

hal yang meringankan dan yang memberatkan. Faktor-faktor yang memberatkan misalnya memberikan keterangan yang rumit, tidak mengakui perbuatannya, meresahkan masyarakat, merugikan negara, dan sebagainya. Faktor-faktor yang meringankan merupakan refleksi sifat yang baik dari terdakwa dan faktor yang memberatkan dinilai sebagai sifat yang jahat dari terdakwa. Pertimbangan Hakim yang demikian acuannya terutama Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa dalam mempertimbangankan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari terdakwa.

Menjatuhkan putusan tersebut hakim harus memiliki pertimbangan, dimana pertimbangan tersebut merupakan bagian dari setiap putusan, ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan merupakan dasar atau landasan bagi hakim untuk menentukan keyakinan hakim itu sendiri dalam menentukan kesalahan terdakwa dan pembuktian dalam proses persidangan, pembuktian memiliki asas minimum pembuktian yang dipergunakan sebagai pedoman dalam menilai cukup tidaknya alat bukti untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa, dipertegas dengan Pasal 183 KUHAP yang mengatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah


(30)

ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya. Pidana baru dapat dijatuhkan kepada seseorang apabila terdakwa terbukti bersalah dengan dua alat bukti yang sah.

Ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut : 1. Teori keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan disini adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban.

2. Teori pendekatan keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.


(31)

17

3. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti (Soerjono Soekanto,1986 : 132).

Agar tidak terjadi kesalahpahaman pada pokok permasalahan, maka dibawah ini penulis memberikan beberapa konsep yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami tulisan ini. Berdasarkan judul akan diuraikan berbagai istilah sebagai berikut :

a. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan (Sudarto, 1986 : 25).

b. Pencucian uang (money laundering) adalah suatu tindakan dari seseorang pemilik guna menghasilkan uangnya dengan cara menginvestasikan atau menyimpannya di lembaga keuangan, tindakan tersebut dikarenakan uangnya merupakan hasil dari suatu tindakan yang melanggar hukum (Subekti, 1987 : 75).


(32)

c. Letter of Credit (L/C) adalah jasa bank yang diberikan kepada masyarakat untuk memperlancar pelayanan arus barang, baik arus barang dalam negeri (antar pulau) atau arus barang ke luar negeri (ekspor-impor) (Fockema Andreae, 1983 : 167). d. Pertanggungjawaban adalah suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang

akan diterima pelaku dan seseorang yang dirugikan (Romli Atmasasmita, 1989 : 79).

e. Korporasi adalah suatu kesatuan menurut hukum atau satu badan susila yang diciptakan menurut undang-undang sesuatu Negara untuk menjalankan usaha atau aktivitas dan kegiatan lainnya yang sah (Prosiding Seminar, 2010: 77)

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pemahaman terhadap tulisan ini secara keseluruhan dan mudah dipahami, maka disajikan sistematika penulisan sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Pada bab ini berisikan tentang latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini merupakan penghantar pemahaman terhadap dasar hukum, pengertian-pengertian umum mengenai pokok bahasan tentang penegakan hukum tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana korupsi.


(33)

19

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini memuat metode yang digunakan dalam penulisan yang menjelaskan mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah, yaitu dalam memperoleh dan megklasifikasikan sumber dan jenis data, serta prosedur pengumpulan data dan pengolahan data, kemudian dari data yang telah terkumpul dilakukan analisis data dengan bentuk uraian.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan pembahasan terhadap permasalahan yang terdapat dalam tulisan ini melalui data primer dan sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan. Menjelaskan permasalahan permasalahan dalam skripsi ini.

V. PENUTUP

Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dan saran yang berkaitan dengan permasalahan yang ada dalam penulisan karya ilmiah skripsi ini.


(34)

A. Teori Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata, melainkan juga menyangkut soal nilai-nilai moral atau kesusilaan umum yang dianut oleh masyarakat atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi walaupun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt).

Menurut Romli Atmasasmita (1989 : 79), pertanggungjawaban atauliabilitydiartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dan seseorang yang dirugikan. Sedangkan menurut Roeslan Saleh (1982 : 33), berpendapat bahwa tanggung jawab atas sesuatu perbuatan pidana yang bersangkutan secara sah dapat dikenai pidana karena perbuatan itu.


(35)

21

B. Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana

Pengertian subjek hukum yang dalam istilah Belanda meliputi “Persoon” dan “Rechtpersoon”. “Persoon” adalah manusia atau orang yang memiliki kewenangan untuk bertindak dalam lapangan hukum, khususnya hukum perdata. “Rechtpersoon

ialah badan hukum yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang untuk dapat bertindak sebagaimana orang yang masuk dalam golongan “persoon”. Di Indonesia, badan hukum dapat berupa: Perum, Persero, Perseroan Terbatas, Yayasan dan Koperasi, serta Maskapai Andil Indonesia yang telah dihapus sejak tanggal 7 Maret 1998. Di antara organisasi-organisasi tersebut, Perseroan Terbatas (PT) adalah yang paling populer dan yang paling banyak digunakan sebagai alat oleh para pengusaha untuk melakukan kegiatan di bidang ekonomi (Dwidja Priyatno, 2004 : 23).

Landasan hukum bagi berdirinya sebuah PT, sebelumnya diatur oleh UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, dimana Pasal 1 angka 1 menyebutkan :

"Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya."

Suatu PT kemudian disebut Perseroan Terbuka apabila modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu, atau perseroan yang telah melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Menurut Pasal 2 Undang-undang UU PT, kegiatan yang dilakukan oleh


(36)

perseroan harus sesuai dengan maksud dan tujuannya serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan atau kesusilaan.

Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas untuk menggantikan UU No. 1 Tahun 1995, dimana pada Pasal 1 angka 1 disebutkan: "Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.”

Pengertian korporasi diambil dari istilah dalam bahasa Inggris "Corporation" yang berarti badan hukum atau sekelompok orang yang oleh Undang-undang diperbolehkan untuk melakukan perbuatan sebagaimana seorang individu sebagai subjek hukum, berbeda dengan para pemegang sahamnya. Istilah dalam kamus Belanda untuk korporasi ialah “corpora’tie” yang berarti perhimpunan, perkumpulan

atau persatuan. Dalam Kamus World Book 1999, disebutkan bahwa korporasi adalah sekelompok orang yang mendapat kewenangan untuk bertindak sebagai orang pribadi. Selain itu, korporasi dapat pula diberi pengertian sebagai sekelompok orang yang diberi kewenangan untuk bertindak sebagai individu dalam kaitan dengan tujuan-tujuan bisnis.

Sasarannya adalah mencari keuntungan bagi pemegang saham dan perusahaan itu sendiri, maka korporasi, baik itu dalam bentuk PT. Persero maupun Perseroan Terbuka, selalu bersifat ekspansif dan penuh dinamika dalam mengikuti perkembangan ekonomi yang demikian cepat. Salah satu ciri dari korporasi yang demikian adalah selalu memerlukan investasi untuk menunjang ekspansi bisnis yang


(37)

23

ditargetkan. Seringkali investasi ini berupa dana dari pemerintah yang diambilkan dari kas negara, melalu Bank Indonesia, bank-bank pemerintah serta dari BUMN yang lain.

Roeslan Saleh (dalam Muladi dan Barda Nawawi Arif, 1998 : 140) menyatakan bahwa khususnya untuk pertanggungjawaban pidana dari badan hukum, asas kesalahan tidak mutlak berlaku. Di beberapa negara, untuk tindak pidana tertentu, seperti tindak pidana lingkungan, dikenal doktrin yang mengecualikan syarat umum adanya unsur kesalahan dalam tindak pidana. Doktrin tersebut dikenal dengan nama Strict LiabilitydanVicarious Liability.

Menurut Curzon (dalam Muladi dan Barda Nawawi Arif, 1998 : 141), adanya doktrin strict liabilitydidasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut :

1) adalah sangat esensiil untuk menjamin dipatuhinya peraturan-peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat.

2) Pembuktian akan adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk pelanggaran– pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat itu.

3) Tingginya tingkat “bahaya sosial” yang ditimbulkan oleh perbuatan yang

bersangkutan.

Pengertian bahwa korporasi adalah kesatuan dalam pencapaian tujuan, membuatnya kriminogen secara inhern. Sebab utamanya adalah karena upaya mencapai tujuan tersebut dilaksanakan dalam lingkungan yang tidak pasti dan tidak dapat diperkirakan dengan akurat, sementara kesempatan yang diberikan oleh hukum seringkali terbatas


(38)

dan mengikat. Konsekuensi dari itu, para eksekutif melihat pada alternatif lain, termasuk penghindaran dan pelanggaran hukum, serta berusaha mencapai alternatif tersebut karena dinilai lebih unggul dibanding alternatif lain yang jelas sah menurut hukum dan sebenarnya dapat digunakan.

C. Penyertaan dalam Tindak Pidana

Penyertaan (deelneming) terjadi apabila dalam suatu tindak pidana terlibat lebih dari satu orang. Sehingga harus dicari pertanggungjawaban masing-masing orang yang tersangkut dalam tindak pidana tersebut (Loebby Loqman, 1995 : 59).

1. Pelaku

Keterlibatan seseorang dalam suatu tindak pidana dapat dikategorikan sebagai: a. Yang melakukan

b. Yang menyuruh melakukan c. Yang turut melakukan

d. Yang menggerakkan/ menganjurkan untuk melakukan e. Yang membantu melakukan

Penyertaan diatur didalam Pasal 55, 56, dan 57 KUHP. Dalam Pasal 55 KUHP bahwa klasifikasi pelaku adalah : a. Mereka yang melakukan

Yaitu pelaku tindak pidana yang pada hakekatnya memenuhi semua unsur dari tindak pidana. Dalam arti sempit, pelaku adalah mereka yang melakukan tindak pidana. Sedangkan dalam arti luas meliputi keempat klasifikasi pelaku diatas yaitu mereka


(39)

25

yang melakukan perbuatan, mereka yang menyuruh melakukan, mereka yang turut serta melakukan dan mereka yang menganjurkan.

b. Mereka yang menyuruh melakukan

Yaitu seseorang ingin melakukan suatu tundak pidana, akan tetapi ia tidak melaksanakannya sendiri. Dia menyuruh orang lain untuk melaksanakannya. dalam penyertaan ini orang yang disuruh tidak akan dipidana, sedang orang yang menyuruhnya dianggap sebagai pelakunya. Dialah yang bertanggungjawab atas peristiwa pidana karena perintahnyalah terjadi suatu tindak pidana.

c. Mereka yang turut serta

Yaitu mereka yang ikut serta dalam suatu tindak pidana. Terdapat syarat dalam bentuk mereka yang turut serta, antara lain:

a) Adanya kerjasama secara sadar dari setiap peserta tanpa perlu ada kesepakatan, tapi harus ada kesengajaan untuk mencapai hasil berupa tindak pidana.

b) Ada kerja sama pelaksanaan secara fisik untuk melakukan tindak pidana. c) Setiap peserta pada turut melakukan diancam dengan pidana yang sama. d. Mereka yang menggerakkan/ menganjurkan/ membujuk

Yaitu seseorang yang mempunyai kehendak untuk melakukan tindak pidana, tetapi tidak melakukannya sendiri, melainkan menggerakkan orang lain untuk melaksanakan niatnya itu.

Syarat-syarat penggerakkan yang dapat dipidana:


(40)

b) Menggerakkan dengan upaya-upaya yang ada dalam Pasal 55 ayat (1) butir ke-2 KUHP : pemberian, janji, penyalahgunaan kekuasaan atau pengaruh kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, memberi kesempatan, alat, keterangan.

c) Ada yang tergerak untuk melakukan tindak pidana akibat sengaja digerakkan dengan upaya-upaya dalam Pasal 55 ayat (1) butir ke-2 KUHP.

d) Yang digerakkan melakukan delik yang dianjurkan atau percobaannya. e) Yang digerakkan dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana.

(Loebby Loqman, 1995 : 61)

Klasifikasi menurut Pasal 56 dan 57 KUHP yaitu membantu melakukan yaitu dengan adanya pembantuan akan terlibat lebih dari satu orang didalam suatu tindak pidana. Ada orang yang melakukan yaitu pelaku tindak pidana dan ada orang lain yang membantu terlaksananya tindak pidana itu.

2. Pembantuan

Dalam pembantuan akan terlibat lebih dari satu orang di dalam suatu tindak pidana. Ada orang yang melakukan tindak pidana yakni pelaku tindak pidana itu dan ada orang lain yang lagi membantu terlaksananya tindak pidana itu. Hal ini diatur dalam Pasal 56 KUHP, yang menyebutkan:

Dipidana sebagai pembantu kejahatan kejahatan:

1) Mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada saat kejahatan yang dilakukan.


(41)

27

2) Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Mengenai hal membantu dalam delik pelanggaran tidak dipidana. Hal ini dipertegas dalam Pasal 60 KUHP. Membantu dalam delik pelanggaran tidak dipidana karena dianggap demikian kecil kepentingan hukum yang dilanggar.

Melihat Pasal 56 diatas, pembantuan dapat dibedakan berdasarkan waktu diberikannya suatu bantuan terhadap kejahatan, antara lain:

a. Apabila bantuan diberikan pada saat kejahatan dilakukan, tidak dibatasi jenis bantuannya. Berarti jenis bantuan apapun yang diberikan oleh orang yang membantu dalam suatu kejahatan dapat dipidana.

b. Apabila bantuan diberikan sebelum kejahatan dilakukan, jenis bantuan dibatasi yaitu kesempatan, sarana, dan keterangan.

Tentang pertanggungjawaban pembantu termasuk ancaman pidananya termuat dalam Pasal 57 KUHP yang menyatakan:

1) Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dikurangi sepertiga.

2) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.


(42)

4) Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya.

Pertanggungjawaban pembantu dibatasi hanya terhadap tindak pidana yang dibantunya saja. Apabila dalam suatu peristiwa ternyata terjadi tindak pidana yang berlebih, maka tindak pidana yang lebih tersebut bukan merupakan tanggung jawab pembantu. Kecuali tindak pidana yang timbul tersebut merupakan akibat logis dari perbuatan yang dibantunya.

Perbedaan antara pembantuan dan turut serta, terdapat tiga teori, antara lain: a. Teori Obyektif (de obyectieve deelnenings theorie)

Untuk membedakan antara turut serta dengan pembantuan dilihat dari sifat perbuatan yang merupakan obyek tindak pidana. Apabila seseorang melakukan perbuatan yang menurut sifatnya adalah merupakan perbuatan yang dilarang undang-undang, maka orang tersebut melakukan dalam bentuk “turut serta”. Sedangkan apabila orang

tersebut perbuatannya tidak bersifat tindak pidana, dia dianggap melakukan

“pembantuan”(Loebby Loqman, 1995 : 70).

b. Teori Subyektif (de subyectieve deelnemings theorie)

Dasar teori ini adalah niat dari para peserta dalam suatu penyertaan. Di dalam “turut serta” pelaku memang mempunyai kehendak terhadap terjadinya tindak pidana. Sedangkan dalam “pembantuan” kehendak ditujukan kearah “memberi bantuan”


(43)

29

Disamping perbedaan kehendak, dalam “turut serta” pelaku mempunyai tujuan yang

berdiri sendiri. Apakah ia dibantu atau tidak tetap dia mempunyai tujuan melakukan

tindak pidana. Sedangkan dalam “pembantuan” tidak mempunyai tujuan yang berdiri

sendiri. Artinya tujuan disandarkan kepada tujuan sipelaku utama. Artinya

“pembantu” hanya memberikan bantuan apabila ia mengetahui ada orang lain yang

akan melakukan tindak pidana.

Dalam hal kepentingan, peserta dalam “turut serta” mempunyai kepentingan dalam

tindak pidana, sedangkan “pembantuan” kepentingannya tidak langsung terhadap

terjadinya tindak pidana itu, tetapi terbatas atas bantuan yang diberikan.

c. Teori Gabungan (verenigings theorie)

Artinya dalam hal penerapan delik digunakan teori obyektif. Karena delik formil melarang perbuatan seseorang. Sehingga tepat apabila digunakan teori obyektif. Dalam delik materil digunakan teori subyektif. Karena lebih melihat akibat yang dilarang undang-undang. Dengan digunakannya teori subyektif dapat dilihat kehendak, tujuan serta kepentingan masing-masing peserta (Loebby Loqman, 1995 : 70).

Dalam membedakan antara “turut serta” dengan “pembantuan” di dalam praktek sering dilihat apakah seseorang memenuhi syarat dari bentuk “turut serta” yakni

terdapat kesadaran kerja sama dan kerja sama itu secara fisik. Apabila memang memenuhi syarat tersebut maka peserta itu diklasifikasikan sebagai “turut serta”.


(44)

Sedangkan apabila tidak memenuhi syarat diatas, peserta diklasifikasikan sebagai

“pembantuan”.

Perbedaan antara “pembantuan” dengan “menggerakkan”, dapat dibedakan melalui kehendak dari pelaku. Dalam bentuk “penggerakkan” kehendak untuk melakukan tindak pidana baru timbul setelah ada daya upaya dari orang yang menggerakkan. Jadi dimulai oleh penggerak dengan memberi daya upaya, barulah orang yang dapat digerakkan mempunyai kehendak untuk melakukan tindak pidana. Dalam hal

“pembantuan”, dimana dari semula dalam diri pelaku sudah ada kehendak untuk

melakukan tindak pidana. Pembantuan baru kemudian diberikan yang dapat berupa sarana, kesempatan dan keterangan.

Pembantuan pasif (passieve medeplichttigheid) bahwa terjadinya delik disebabkan atas kewajiban yang terdapat dalam peristiwa tersebut. Artinya orang yang dianggap membantu terdapat kewajiban, dan kewajiban itu diabaikannya sehingga timbul tindak pidana. Terdapat pula pembantuan pasif yang dianggap sebagai delik yang berdiri sendiri, misalnya terdapat dalam Pasal 110 ayat (2) KUHP yang menyatakan

“pidana yang sama dijatuhkan terhadap orang yang dengan maksud hendak

menyediakan atau memudahkan salah satu kejahatan yang disebut dalam Pasal 104,

106, dan 108,…. dst”. Dengan mempermudah terjadinya tindak pidana yang

disebutkan diatas, berarti telah dianggap membantu meskipun secara pasif. Dan menurut Pasal 110 KUHP diatas dianggap sebagai delik yang berdiri sendiri dan diancam dengan pelaku pokoknya.


(45)

31

Saksi mahkota juga erat kaitannya dengan penyertaan. Hal ini disebabkan “saksi mahkota” adalah kesaksian seseorang yang sama-sama terdakwa. Dengan kata lain, saksi mahkota terjadi apabila terdapat beberapa orang terdakwa dalam suatu peristiwa tindak pidana. Dimana terdakwa akan menjadi saksi terhadap teman pesertanya, sebalikanya, gilirannya terdakwa yang lain menjadi saksi untuk teman peserta lainnya (Loebby Loqman, 1995 : 72).

D. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Kamus Umum Bahasa Indonesia, mendefinisikan kata korupsi sebagai perbuatan yang buruk, seperti penggelapan uang penerimaan uang suap dan sebagainya (Poerwadarminta, 1984 : 524). Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin, yaitu corruptio atau corruptus yang berarti menyuap. Dan selanjutnya dikatakan bahwa corruptio itu berasal dari kata asal corrumpere yang berarti merusak (Fockema Andreae, 2007 : 4). Dari bahasa latin ini kemudian turun ke banyak bahasa Eropa lainnya seperti Inggris, Perancis dan Belanda. Menurut Jur Andi Hamzah, kata korupsi dalam bahasa Indonesia adalah turunan dari Bahasa Belanda yaitu corruptie (korruptie) yang berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau menfitnah (Andi Hamzah, 2007 : 4).

Istilah korupsi pada awalnya bersifat umum, namun kemudian menjadi istilah hukum sejak dirumuskannya Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Dalam konsiderans peraturan tersebut dikatakan antara lain


(46)

bahwa berhubung tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas dalam perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan negara dan perekonomian negara yang oleh khalayak dinamakan korupsi perlu segera menetapkan sesuatu tata cara kerja untuk dapat menerobos kemacetan usaha memberantas korupsi dan seterusnya (Sudarto, 1986 : 33).

Berdasarkan konsideran peraturan tersebut, korupsi memiliki dua unsur: pertama, perbuatan yang berakibat pada kerugian perekonomian negara. Kedua, perbuatan yang berbentuk penyalahgunaan wewenang untuk memperoleh keuntungan tertentu (Koeswadji, 1994 : 33).

Kajian ilmu pengetahuan, korupsi merupakan objek hukum yang pada konteks di Indonesia dikategorikan sebagai salah satu delik kasus di luar KUHP dan pada saat ini telah diatur dalam UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK). Dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, disebutkan bahwa: Setiap orang baik penjabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memeperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).


(47)

33

Pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, menghendaki agar yang disebut sebagai pelaku tindak pidana korupsi adalah ”setiap orang”. Istilah ”setiap orang” dalam konteks hukum pidana harus dipahami sebagai orang perorangan (Persoonlijkheid) dan badan hukum (Rechtspersoon) untuk konteks UU No. 20 Tahun 2001, para koruptor itu bisa juga korporasi (lembaga yang berbadan hukum maupun lembaga yang bukan berbadan hukum) atau siapa saja, entah itu pegawai negeri, tentara, masyarakat, pengusaha dan sebagainya asal memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam pasal ini.

E. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang

Money laudering sering juga diterjemahkan dengan istilah “pemutihan uang” atau “pencucian uang”. Hal ini adalah terjemahan yang wajar mengingat kata “launder

yang berarti cucian. Uang yang diputihkan atau dicuci tersebut adalah uang dari hasil kejahatan, sehingga diharapkan setelah pemutihan atau pencucian tersebut, uang tadi tidak terdeteksi lagi sebagai uang hasil kejahatan dan telah menjadi uang seperti uang-uang bersih lainnya. Untuk itu, yang utama dilakukan dalam kejahatan money laundering adalah menghilangkan atau menghapuskan jejak dan asal-usul uang tersebut. Dengan proses kegiatanmoney launderingini, uang yang semula merupakan uang haram diproses, sehingga menghasilkan uang bersih atau uang halal. Dalam proses ini, uang tersebut disalurkan melalui jalan “penyesatan” (M. Arif Amirullah, 2003 : 6).


(48)

Pencucian uang adalah suatu tindakan dari seseorang pemilik guna menghasilkan uangnya dengan cara menginvestasikan atau menyimpannya di lembaga keuangan, tindakan tersebut dikarenakan uangnya merupakan hasil dari suatu tindakan yang melanggar hukum. Definisi lain yang pernah diberikan terhadap money laundering adalah sebagai suatu investasi uang atau transaksi uang yang berasal dari kejahatan terorganisasi, transaksi tidak sah di bidang narkotika, dan sumber-sumber tidak sah lainnya, dengan tujuan agar uang tersebut berjalan melalui saluran-saluran yang sah, sehingga sumber aslinya tidak dapat dilacak kembali. Jadi, merupakan penghapusan jejak jika ada yang menelusuri sumber asal uang yang tidak sah tersebut (M. Arif Amirullah, 2003 : 10). Pencucian uang adalah suatu proses atau perbuatan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang atau harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah.

Sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003, tindak pidana yang menjadi pemicu terjadinya tindak pidana pemcucian uang, meliputi korupsi, penyuapan, penyelundupan barang atau tenaga kerja atau imigran, perbankan, narkotika, psikotropika, perdagangan budak atau wanita atau anak atau senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, dan penipuan.

Kegiatan pencucian uang mempunyai dampak yang serius terhadap stabilitas sistem keuangan maupun perekonomian secara keseluruan. Tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana multi dimensi dan bersifat transnasional yang seringkali melibatkan jumlah uang yang cukup besar. Sementara itu dari segi hukum pidana,


(49)

35

maka yang dimaksud dengan tindak pidana money laundering adalah usaha untuk menyimpan uang di tempat lain, mengalihkan uang atau menitipkannya, menghadiahkan, menginvestasikan atau menarik keuntungan dari hasil yang sepatutnya harus diketahui atau patut diduga diperoleh dari tindak pidana narkotika atau tindak pidana lainnya.

Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 memberikan pengertian tentang pencucian uang, yaitu sebagai berikut :

“Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan,menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olahmenjadi harta kekayaan yang sah.”

Berdasarkan beberapa penjabaran pengertian uang, yaitu Sutan Remy Syahdeini (2004 : 97), pengertian pencucian uang adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan tindakan terhadap tindak pidana dengan cara terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang halal.


(50)

F. Pertimbangan Dalam Putusan Hakim

Hakim diberi kebebasan untuk menjatuhkan putusan dalam setiap pengadilan perkara tindak pidana, hal tersebut sesuai dengan bunyi UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Penjatuhan putusan tersebut hakim harus memiliki pertimbangan, dimana pertimbangan tersebut merupakan bagian dari setiap putusan, ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (4) UU No. 48 tahun 2009 yang menyatakan bahwa dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan merupakan dasar atau landasan bagi hakim untuk menentukan keyakinan hakim itu sendiri dalam menentukan kesalahan terdakwa dan pembuktian dalam proses persidangan, pembuktian memiliki asas minimum pembuktian yang dipergunakan sebagai pedoman dalam menilai cukup tidaknya alat bukti untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa, dipertegas dengan Pasal 183 KUHAP yang mengatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa


(51)

37

terdakwalah yang melakukannya. Dapat disimpulkan pidana baru dapat dijatuhkan kepada seseorang apabila terdakwa terbukti bersalah dengan dua alat bukti yang sah.

Berdasarkan Pasal 172 ayat (1) UU No. 31 tahun 1997 yang termasuk alat bukti yang sah antara lain :

1) Keterangan saksi. 2) Keterangan ahli. 3) Surat.

4) Petunjuk.

5) Keterangan terdakwa.

Pertimbangan hakim sangat berpengaruh terhadap putusan hakim tentang berat ringannya penjatuhan hukuman atau sentencing (straftoemeting), dalam istilah Indonesia disebut “ pemidanaan ”. Di beberapa negara seperti Inggris dan Amerika Serikat, yang sistem pemerintahannya telah maju atau berkembang pesat telah dikembangkan beberapa dasar alasan pemidanaan. Berat ringannya pidana yang dijatuhkan tidak semata-mata didasarkan pada penilaian subjektif hakim, tetapi dilandasi keadaan objektif yang diperdapat dan dikumpul di sekitar kehidupan sosial terdakwa, ditinjau dari segi sosiologis dan psikologis. Misalnya, dengan jalan menelusuri latar belakang budaya kehidupan sosial, rumah tangga, dan tingkat pendidikan terdakwa atau terpidana. Data-data tersebut dapat diperoleh dari hasil penelusuran riwayat hidup terdakwa, yayasan tempat terdakwa pernah dirawat, teman dekat terdakwa, lingkungan pendidikan, dan lain sebagainya.


(52)

Tidak kalah penting perlu diketahuinya sebab-sebab yang mendorong dan motivasi melakukan tindak pidana, apakah semata-mata didorong untuk melakukan kejahatan, misalnya benar-benar didorong untuk balas dendam atau memperoleh kepuasan batin dan sebagainya. Atau apakah karena dorongan sosial ekonomis maupun karena keadaan yang berada di luar kemauan kesadaran terdakwa. Juga perlu diperhatikan laporan pejabat tempat terdakwa ditahan tentang sikap dan perilakunya selama berada dalam tahanan. Semua hal-hal dan keadaan tersebut ikut dipertimbangkan sebagai faktor menentukan pemidanaan. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 28 UU No. 48 tahun 2009 yang menyatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.


(53)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Proses pengumpulan dan penyajian sehubungan dengan penelitian ini maka digunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan Yuridis Normatif adalah suatu pendekatan yang dilakukan dimana pengumpulan dan penyajian data dilakukan dengan mempelajari dan menelaah konsep-konsep dan teori-teori serta peraturan-peraturan secara kepustakaan yang berkaitan dengan pokok bahasan penulisan skripsi ini. Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan yang ada dalam penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana pencucian uang.

B. Sumber dan Jenis data

Sumber dan jenis data dalam penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder, yaitu :

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber pada dua jenis, yaitu: 1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari observasi di lapangan.

Dalam rangka penelitian lapangan terutama yang menyangkut pokok bahasan skripsi ini. Dalam hal ini data diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap beberapa penegak hukum dari Kehakiman, dan juga Dosen yang


(54)

terkait dengan analisis terhadap pembuktian yang menggunakan alat bukti petunjuk dalam perkara pidana.

2. Data sekender adalah data yang diperoleh dari bahan literatur kepustakaan dengan melakukan studi dokumen, arsip yang bersifat teoritis, konsep-konsep, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok cara membaca, mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan permasalahan yang akan di bahas (Soerjono Soekanto, 1986 : 57), yang terdiri antara lain:

a. Bahan Hukum Primer, antara lain:

a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(KUHAP).

c) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dalam hal ini teori-teori yang dikemukakan para ahli dan peraturan-peraturan pelaksana dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Kepres, dan Perda.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari:


(55)

41

a) Literatur b) Kamus

c) Internet, surat kabar dan lain-lain

C. Penentuan Populasi dan Sampel

1. Populasi yaitu jumlah keseluruhan dari unit analisa yang dapat diduga-duga. Populasi adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri dan karakteristik yang sama (Soerjono Soekanto, 1986 : 72).

2. Sampel merupakan sejumlah objek yang jumlahnya kurang dari populasi. Pada sampel penelitiannya diambil dari beberapa orang populasi secara

purposive sampling” ataupenarikan sample yang bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subjek berdasarkan pada tujuan tertentu (Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, 1987 : 152).

Adapun Responden dalam penelitian ini sebanyak 4 (tiga) orang, yaitu: 1. Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang = 1 orang 2. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang = 1 orang 3. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung = 1 orang +

Jumlah = 3 orang

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan, dengan studi pustaka dan studi literatur.


(56)

a. Studi Pustaka

Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mempelajari undang-undang, peraturan pemerintah dan literatur hukum yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang. Hal ini dilakukan dengan cara membaca, mengutip dan mengidentifikasi data yang sesuai dengan pokok bahasan dan ruang lingkup penelitian ini

b. Studi lapangan

Studi lapangan dilakukan melalui wawancara dengan responden yang telah direncanakan sebelumnya. Metode yang dipakai adalah pengamatan langsung dilapangan serta mengajukan pertanyaan yang disusun secara teratur dan mengarah pada terjawabnya permasalahan dalam penulisan skripsi ini.

2. Pengolahan Data

Tahapan pengolahan data dalam penelitian ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

1. Identifikasi data, yaitu mencari data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pembahasan yang akan dilakukan dengan menelaah peraturan, buku atau artikel yang berkaitan dengan judul dan permasalahan.

2. Klasifikasi data, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya diklasifikasi atau dikelompokkan sehingga diperoleh data yang benar-benar objektif.

3. Penyusunan data, yaitu menyusun data menurut sistematika yang telah ditetapkan dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam menginterprestasikan data.


(57)

43

E. Analisis Data

Analisis terhadap data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis kualitatif yaitu analisis yang dilakukan secara deskriftif yakni penggambaran argumentasi dari data yang diperoleh di dalam penelitian. Dari hasil analisis tersebut dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara deduktif yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada realitas yang bersifat umum yang kemudian disimpulkan secara khusus.


(58)

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Pertanggungjawaban pidana tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana korupsi dapat dimintakan kepada pelaku apabila apabila pelaku telah terbukti melakukan perbuatan tindak pidana pencucian uang yang sesuai dengan rumusan tindak pidana dalam UU No. 15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi tanpa harus membuktikan unsur mampu bertanggungjawab dalam diri pelaku sebab dalam tindak pidana pencucian uang dan korupsi setiap orang dianggap mampu bertanggungjawab. Pada kasus No.114/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel dengan terdakwa Ahmad Sidik Mauladi Iskandardinata terbukti telah melakukan tindak pidana korupsi dan kasus 665/Pid.B/2006/PN.TK dengan terdakwa Hendri Satria terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang dan dapat dikategorikan perbuatan pidana karena telah memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam UU No. 15 Tahun 2002 dan UU No. 20 Tahun 2001, yakni secara melawan hukum telah melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara yang dilakukan secara bersama - sama dan secara


(59)

78

berlanjut dan secara melawan hukum menempatkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana. Memiliki kemampuan bertanggungjawab atas perbuatan pidana yang dilakukan karena tidak ditemukan alasan pemaaf dan pembenar sesuai ketentuan yang berlaku, serta diberikan sanksi-sanksi berdasarkan pasal-pasal dalam Undang-undang terkait.

2. Dasar pertimbangan Hakim untuk menjatuhkan pidana terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana korupsi didasarkan atas pertimbangan yuridis sesuai UU Pencucian Uang dan UU Korupsi, serta pertimbangan dari fakta-fakta dipersidangan dari pemeriksaan alat bukti berupa keterangan para saksi, keterangan terdakwa serta barang bukti. Selain itu Hakim dalam melakukan penilaian atau pertimbangan-pertimbangannya melihat dari unsur-unsur atau teori-teori dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan, seperti teori keseimbangan, teori pendekatan seni dan intuisi, teori pendekatan keilmuwan, pengalaman hakim serta segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan kemudian mencari undang- undang yang relevan sebagai dasar hukum.

B. Saran

1. Penegak hukum termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian dinilai masih enggan dan tidak berani menggunakan pasal tindak pidana pencucian uang pada kasus kasus korupsi. Pemanfaatan UU Tindak Pidana Pencucian Uang, yang disahkan sejak tahun 2002 belum efektif, akibatnya hukuman atas pelaku korupsi dinilai masih rendah. Dengan digunakannya UU


(60)

Tindak Pencucian Uang dan UU Korupsi dapat memberikan efek jera bagi koruptor.

2. Pemberantasan tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi harus dilakukan secara sistemik dengan cara melakukan perubahan pada struktur dan pelaku yang dualitas hubungan keduanya menentukan wajah sistem. Upaya memerangi tindak pidana ini harus digerakkan serta didukung sepenuhnya oleh presiden dan penjabat yang menduduki posisi-posisi kunci seperti menteri, kepala kepolisian, kepala kejaksaan, Ketua Mahkamah Agung, dan Ketua-ketua Pengadilan, selain tentunya, ketua dan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka harus mengedepankan supremasi hukum di atas kekuasaan dan kepentingan lainnya.


(61)

DAFTAR PUSTAKA

Andreae, Fockema, 1983,Kamus Hukum, Bina Cipta, Bandung.

Atmasasmita, Romli, 1989, Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan I, Jakarta.

Amirullah, M. Arif, 2003. Reorientasi Kebijakan Penanggulangan Dan Kerjasama Internasional Money Laundering Tindak Pidana Pencucian Uang. Bayu Media, Malang.

Arif, Barda Nawawi, dan Muladi, 1998, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung.

Atmasasmita, Romli, 1989, Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan I, Jakarta.

Fuady, Munir, 2003,Hukum Perbankan Modern,Citra Aditya Bakti, Bandung. Hamzah, Andi, 2007, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional

dan Internasional, Edisi Revisi, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Koeswadji, 1994, Korupsi di Indonesia; dari Delik Jabatan ke Tindak Pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Loqman, Loebby, 1995, Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, Jakarta.

Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, 1987, Metode Penelitian dan Survey, Jakarta.

Moeljatno, 1993,Asas-Asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. Yogyakarta. Moeljatno, 2005,Asas-asas Hukum Pidana, Binacipta, Jakarta.

Remi Sjahdeini, Sutan, 2007,Money Laundering, UI Press, Jakarta.

Saleh, Roeslan, 1982, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta.


(62)

Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Subekti, 1987,Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta. Sudarto,1986,Hukum Pidana I, Alumni, Bandung.

Priyatno, Dwidja, 2004, Kebijakan legislasi tentang sistem pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia,Utomo, Bandung.

Remy Sahdeini, Sutan, 2004, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Pembiayaan Terorisme. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.

Saleh, Roeslan, 1982, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta.

Sudarto, 1986,Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.

Universitas Lampung, 2008, Format Penulisan Karya Ilmiah, Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Korupsi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Korupsi

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

http://bisnisindonesia.com http://info.worldbank.org


(63)

(1)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Pertanggungjawaban pidana tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana korupsi dapat dimintakan kepada pelaku apabila apabila pelaku telah terbukti melakukan perbuatan tindak pidana pencucian uang yang sesuai dengan rumusan tindak pidana dalam UU No. 15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi tanpa harus membuktikan unsur mampu bertanggungjawab dalam diri pelaku sebab dalam tindak pidana pencucian uang dan korupsi setiap orang dianggap mampu bertanggungjawab. Pada kasus No.114/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel dengan terdakwa Ahmad Sidik Mauladi Iskandardinata terbukti telah melakukan tindak pidana korupsi dan kasus 665/Pid.B/2006/PN.TK dengan terdakwa Hendri Satria terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang dan dapat dikategorikan perbuatan pidana karena telah memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam UU No. 15 Tahun 2002 dan UU No. 20 Tahun 2001, yakni secara melawan hukum telah melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara yang dilakukan secara bersama - sama dan secara


(2)

78

berlanjut dan secara melawan hukum menempatkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana. Memiliki kemampuan bertanggungjawab atas perbuatan pidana yang dilakukan karena tidak ditemukan alasan pemaaf dan pembenar sesuai ketentuan yang berlaku, serta diberikan sanksi-sanksi berdasarkan pasal-pasal dalam Undang-undang terkait.

2. Dasar pertimbangan Hakim untuk menjatuhkan pidana terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana korupsi didasarkan atas pertimbangan yuridis sesuai UU Pencucian Uang dan UU Korupsi, serta pertimbangan dari fakta-fakta dipersidangan dari pemeriksaan alat bukti berupa keterangan para saksi, keterangan terdakwa serta barang bukti. Selain itu Hakim dalam melakukan penilaian atau pertimbangan-pertimbangannya melihat dari unsur-unsur atau teori-teori dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan, seperti teori keseimbangan, teori pendekatan seni dan intuisi, teori pendekatan keilmuwan, pengalaman hakim serta segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan kemudian mencari undang- undang yang relevan sebagai dasar hukum.

B. Saran

1. Penegak hukum termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian dinilai masih enggan dan tidak berani menggunakan pasal tindak pidana pencucian uang pada kasus kasus korupsi. Pemanfaatan UU Tindak Pidana Pencucian Uang, yang disahkan sejak tahun 2002 belum efektif, akibatnya hukuman atas pelaku korupsi dinilai masih rendah. Dengan digunakannya UU


(3)

78

Tindak Pencucian Uang dan UU Korupsi dapat memberikan efek jera bagi koruptor.

2. Pemberantasan tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi harus dilakukan secara sistemik dengan cara melakukan perubahan pada struktur dan pelaku yang dualitas hubungan keduanya menentukan wajah sistem. Upaya memerangi tindak pidana ini harus digerakkan serta didukung sepenuhnya oleh presiden dan penjabat yang menduduki posisi-posisi kunci seperti menteri, kepala kepolisian, kepala kejaksaan, Ketua Mahkamah Agung, dan Ketua-ketua Pengadilan, selain tentunya, ketua dan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka harus mengedepankan supremasi hukum di atas kekuasaan dan kepentingan lainnya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Andreae, Fockema, 1983,Kamus Hukum, Bina Cipta, Bandung.

Atmasasmita, Romli, 1989, Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan I, Jakarta.

Amirullah, M. Arif, 2003. Reorientasi Kebijakan Penanggulangan Dan Kerjasama Internasional Money Laundering Tindak Pidana Pencucian Uang. Bayu Media, Malang.

Arif, Barda Nawawi, dan Muladi, 1998, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung.

Atmasasmita, Romli, 1989, Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan I, Jakarta.

Fuady, Munir, 2003,Hukum Perbankan Modern,Citra Aditya Bakti, Bandung. Hamzah, Andi, 2007, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional

dan Internasional, Edisi Revisi, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Koeswadji, 1994, Korupsi di Indonesia; dari Delik Jabatan ke Tindak Pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Loqman, Loebby, 1995, Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, Jakarta.

Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, 1987, Metode Penelitian dan Survey, Jakarta.

Moeljatno, 1993,Asas-Asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. Yogyakarta. Moeljatno, 2005,Asas-asas Hukum Pidana, Binacipta, Jakarta.

Remi Sjahdeini, Sutan, 2007,Money Laundering, UI Press, Jakarta.

Saleh, Roeslan, 1982, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta.


(5)

Sianturi, S.R., 1996, Tindak Pidana Di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni, Jakarata.

Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Subekti, 1987,Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta. Sudarto,1986,Hukum Pidana I, Alumni, Bandung.

Priyatno, Dwidja, 2004, Kebijakan legislasi tentang sistem pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia,Utomo, Bandung.

Remy Sahdeini, Sutan, 2004, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Pembiayaan Terorisme. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.

Saleh, Roeslan, 1982, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta.

Sudarto, 1986,Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.

Universitas Lampung, 2008, Format Penulisan Karya Ilmiah, Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Korupsi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Korupsi

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

http://bisnisindonesia.com http://info.worldbank.org


(6)