Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(1)

KEWENANGAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN TINDAK

PIDANA KORUPSI

TESIS

Oleh

RUMIDA SIANTURI 077005105/HK

SE

K O L A

H

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

KEWENANGAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN TINDAK

PIDANA KORUPSI

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

RUMIDA SIANTURI 077005105/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : KEWENANGAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Nama Mahasiswa : Rumida Sianturi Nomor Pokok : 077005105 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr.Bismar Nasution, SH, MH) Ketua

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D i r e k t u r

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 10 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Anggota : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin , SH, MS

2. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH


(5)

ABSTRAK

Upaya yang dilakukan guna memperteguh pemberantasan tindak pidana Korupsi diantaranya membuat, memperbaiki dan merevisi peraturan-peraturan mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi guna menjerat koruptor dari jeratan hukum. Keberhasilan menjerat pelaku Tindak Pidana sangat bergantung pada aparat penegak hukum. Polri berwenang melakukan tugas Penyidikan kasus-kasus Korupsi Selain Polri, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki wewenang menyidik kasus Tindak pidana Korupsi.. Polri melakukan tugas Penyidikan kasus-kasus Korupsi senantiasa berkordinasi dengan Jaksa Penuntut Umum, untuk menghindari bolak-balik perkara secara berulang. untuk percepatan penyidikan kasus tindak pidana korupsi.

Penelitian tesis ini bersifat Deskriptif-analitis, maksudnya menggambarkan/menelaah permasalahan Kewenangan Polri, Jaksa dan KPK dalam memberantas Tindak Pidana Korupsi dan hambatan yuridis yang dihadapi Polri dalam melakukan penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Jajaran Polda Sumatera Utara, khususnya Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara di Medan. Kemudian dianalisis dan diuraikan secara cermat Kewenangan Polri dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Metode pendekatan yang dipergunakan adalah penelitian yuridis normatif yaitu yang menganalisis hukum secara tertulis, bahan kepustakaan dan studi dokumen dijadikan sebagai bahan utama sementara data lapangan melalui wawancara dijadikan data pendukung/pelengkap. Analisis Data, setelah semua data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan (library research), serta data pendukung dari hasil wawancara, dilakukan pemeriksaan dan evaluasi untuk mengetahui validitasnya, kemudian data dikelompokkan atas data sejenis. Data kualitatif ditafsirkan secara yuridis, logis, sistematis menggunakan metode deduktif dan induktif. Induktif maksudnya dari generalisasi berkembang dalam Kewenangan Polri sebagai penyidik Tindak Pidana Korupsi. Metode deduktif maksudnya peraturan-peraturan yang berlaku secara umum walaupun tidak pasti mutlak, namun dijadikan dasar hukum penyelesaian kasus Tindak Pidana Korupsi. Dengan menggunakan metode deduktif dan induktif, diperoleh persesuaian tentang bagaimana sebenarnya Kewenangan Polri sebagai penyidik Tindak Pidana Korupsi

Hasil penelitian menunjukan Wewenang Polri sebagai Penyidik memberantas Tindak Pidana korupsi diberi tugas dan wewenang oleh undang-undang melakukan Penyelidikan/Penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan peraturan perundangan lainnya. Dalam melakukan Penyelidikan/Penyidikan Polri mengumpulkan bukti-bukti dan menemukan tersangka Tindak Pidana Korupsi sesuai Pasal 5 dan Pasal 7 undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, undang undang nomor 2 tahun 2002 tentang Polri, dan Inpres No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Sedangkan Wewenang Jaksa adalah bertindak sebagai penuntut umum, Penyidik terhadap Tindak Pidana tertentu berdasarkan undang-undang sesuai Pasal 30 Undang undang nomor 16 tahun 2004. Dibandingkan dengan KPK wewenangnya sangat luas melakukan


(6)

Penyelidikan, Penyidikan dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi dan kasus-kasus yang ditangani menyangkut kerugian Negara paling sedikit Rp. 1000.000.000,- (satu milyar rupiah). Polda Sumut dan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumut membuat kesepakatan atas Peraturan Bersama Kepolisian Daerah Sumatra Utara dan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Nomor Pol: PB/99/III/2007, Nomor : B-64/N.2/FD.1/03/2007 dan KEP-019/A/JA/03/2006 tentang Optimalisasi Koordinasi Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Antara Kepala Kepolisian Daerah Sumatra Utara dan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, untuk meminimalisir tumpang tindih (overlapping) Tindak Pidana Korupsi. Hambatan-hambatan yuridis yang dihadapi Polri melakukan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Jajaran Polda Sumut, adanya peraturan perundang-undangan tentang ijin/persetujuan yang harus dimohonkan oleh Polri dan Kejaksaan terhadap Pejabat/Instansi tertentu dalam pemanggilan/pemeriksaan saksi/tersangka tertentu dan keterangan ahli dimaksudkan Pasal 184 KUHAP. Penggeledahan atau penyitaan barang bukti, serta dalam perhitungan kerugian keuangan negara, sehingga terjadi keterlambatan dalam proses penyidikan dan juga alat bukti dapat dihilangkan pelaku/atau tersangka.


(7)

ABSTRACT

The effort made to confirm the eradication of corruption crime such as legislating, correcting and revising the regulations of eradication of corruption crime is to trap the corruptors by statutory rules. The success of trapping the criminal actors is significantly relied on the apparatus of the legal practitioners. The Police has authority to make investigations of corruption cases. In spite of the Police, the Prosecutor and Corruption Controlling Commission also make investigations related to the corruption criminal cases. The Police makes investigation of the corruption cases always coordinates with the Prosecutor to avoid the repeated return of the uncompleted documents of corruption and to accelerate the investigation of the corruption criminal cases.

The present study of thesis is a descriptive analysis intended to describe /assess the problem of authority of the Police, Prosecutor and KPK (Corruption Controlling Commission) in eradicating any corruption criminal case and juridical challenges faced by the Police in making an investigation of any corruption criminal cases in the juridical territory of Provincial Police of North Sumatra especially the Criminal Detective Directorate of North Sumatra in Medan. And the authority of the Police in eradicating the corruption criminal cases is then analyzed and described accurately. The approach included normative juridical method intended to analysis the law in written, library research and documentary study were used as the temporarily materials and the field data through interview were used to be supplemental one. The data either the secondary collected by library research and the supportive data collected by interview were then analyzed to test and evaluate the validity and then the data were classified in terms of the types. The qualitative data were interpreted juridically, logically and systematically using deductive and inductive methods. The inductive method means the generalization of the authority of the Police as the investigator of the corruption criminal cases. The deductive method means the regulations prevailing generally although they are not absolutely but used as the legal principles of resolution of the corruption criminal cases. Using both deductive and inductive methods, an agreement is found of how actually the authority of the Police as the investigator of corruption criminal cases.

The result of the study showed that the police as the investigator of the corruption criminal cases is provided with the duty and authority by the Laws to make investigation of all the criminal cases according to the Criminal Procedure Law and other regulations. In making any investigation, the Police collects the evidence and find the indicted of any corruption criminal case according to the Article 5 and 7 of the Laws No. 8 of 1981 regarding the Criminal Law, the Laws No. 2 of 2002 regarding the Police, and the Inpres (Presidential instruction) No. 5 of 2004 regarding the Acceleration in Eradicating the Corruption. Whereas the authority of the Prosecutor is to act as the prosecutor and investigator of a certain criminal case based on the Laws in compliance with the Article 30 off the Laws No.


(8)

16 of 2004. Compared to the KPK, the authority is more comprehensive in investigation, and prosecution of any corruption case and other criminal cases related to the imposition of the nation at least of p. 10000.000.000 ( one billion rupiah). The Provincial Police of North Sumatra and The Head of Provincial Prosecutor of North Sumatra made an agreement pm the Joint Regulation of the Provincial Police of North Sumatra and the Provincial Prosecutor of North Sumatra No. Pol. PB/99/III/2007, No. B.64 / N. 2 / FD. 1 / 03/2007 and KEP-019/A/JA/03/2006 regarding the Optimalization in coordination of Eradicating the Criminal Cases between The Provincial Police of North Sumatra and the Provincial Prosecutor of North Sumatra to minimize a possible overlapping in eradicating the corruption criminal cases. The juridical challenges faced by the Police in investigating the corruption criminal cases in the juridical territory of Provincial Police of North Sumatra included the existence of the regulation for application of acceptance that should be applied by the Police and the Prosecutor to certain authority /institution to subpoena /investigate the indicted / witness and statement of an expert as stipulated in the Article 184 of the Criminal Code. Seizure of the evidences, and calculation of financial lost of the nation that inhibit the investigation process and even the possibility of disposing the evidences by the actor / the indicted.

Key words : Authority of Police, in Eradicating Corruption Criminal Cases


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya berupa kemampuan, kesabaran, kesehatan, kekuatan dan kesempatan kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Adapun topik penelitian yang penulis pilih yaitu: “Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” Penulis menyadari bahwa penyelesaian tesis ini tidak akan terlaksana tanpa saran maupun petunjuk yang diberikan oleh pembimbing maupun penguji baik pada saat pengajuan judul, seminar proposal, seminar hasil penelitian sampai pada akhir penyusunan tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. A (K), selaku Rektor atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu, Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang telah diberikan untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, Pembimbing Utama sekaligus Ketua Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan bimbingan sampai akhirnya


(10)

penulis dapat menyelesaikan perkuliahan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Kelas Hukum Pidana Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 4. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, M.S, sebagai Anggota Pembimbing yang telah

banyak memberikan bantuan petunjuk dan masukan kepada penulis.

5. Ibu Dr. Sunarmi, SH. M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum juga sebagai Anggota Pembimbing yang telah banyak memberikan petunjuk dan masukan kepada penulis.

6. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H, selaku penguji yang telah banyak memberikan arahan, pendapat dan petunjuk guna penyempurnaan tesis ini.

7. Bapak, Syafruddin S, Hasibuan, SH, M.H, selaku penguji yang telah banyak memberikan arahan, saran, pendapat dan petunjuk guna penyempurnaan tesis ini.

Kepada seluruh Guru Besar serta Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Penulis mengucapkan terimakasih atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama mengikuti Studi di Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara semoga ilmu yang diberikan bermanfaat bagi penulis di dalam mengembangkan pelaksanaan tugas sehari-hari,

Kepada Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara dan jajaran, yang telah memberikan izin mengikuti studi pendidikan Sekolah Pascasarjana Magister Hukum Universitas Sumatera Utara, izin Penelitian dan dukungan serta motivasi selama menjalankan studi dan dalam penyelesaian tesis ini.


(11)

Kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dan staf yang telah memberikan izin penelitian, baik wawancara maupun diskusi yang telah memberikan dukungan untuk penyelesaian tesis ini.

Kepada Ibu ku Theodora Simanjuntak dan mertua G. Siahaan dan R Br. Manurung, yang saya hormati, mengucapkan terima kasih atas dukungannya

dan do’a penulis untuk mereka, semoga Tuhan membalas semua kebaikan-kebaikannya dan memberikan umur yang panjang.

Khusus kepada suamiku J. Siahaan, SE dan anak-anakku tercinta dan tersayang Josua Eprandi Siahaan dan Grace Mandasari Siahaan, yang telah banyak berkorban dan bersabar dengan selalu memberikan semangat kepada penulis untuk tetap giat belajar dan menyelesaikan Studi ini.

Kepada seluruh saudara, sahabat, kerabat yang telah mendukung penulis untuk cepat menyelesaikan tesis ini.

Dan beserta seluruh staf Sekolah Pascasarjana Magister Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah membantu penulis dan tidak mungkin disebutkan satu persatu penulis banyak mengucapkan banyak terimakasih atas segala bantuan dan perhatiannya. Penulis juga berharap bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan, untuk itu penulis memohon saran dan masukan kepada kalangan-kalangan peneliti selanjutnya agar penelitian ini menjadi sempurna dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.


(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Rumida Sianturi.

Tempat/Tanggal Lahir : Bah Jambi/ 03 Maret 1959. Jenis Kelamin : Perempuan.

Agama : Kristen Protestan.

Instansi : Polda Sumatera Utara. Pendidikan Sekolah :

- SD Negeri I di Pekan Kerasaan Kab. Simalungun Tahun 1970. - SMP YPUPB di Bah Jambi Kab. Simalungun Tahun 1973 - SMA Negeri Perdagangan Kab.Simalungun Tahun 1976. - Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 1984 Pendidikan Polri :

- SEPA MILSUKWAN III Tahun 1985-1986. Riwayat Jabatan :

- Kasubsi Anevluh Silukum Diskum Polda Sumut Tahun 1986-1991 - Kaurbin Set Diskum Polda Sumut Tahun 1991-1996.

- Kanit Perda Dit.Reskrim polda Sumut Tahun 1996-1999. - Kasubbag Bin Polwan Dit Pers Polda Sumut Tahun 1999 -2000. - Ses Diskum Polda Sumut Tahun 2000-2002.

- Anggota DPRD Kota Tebing Tinggi Tahun 2002-2004.


(13)

- Kasat Tipikor Dit.Reskrim Polda Sumut Tahun 2007.

- Kasubbid Dokliput Bid Humas Polda Sumut Tahun 2007-2009. - Irbid Bin Itwasda Polda Sumut (Februari 2009 sampai Sekarang).


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ...……… 1

B. Permasalahan ..………... 8

C. Tujuan Penelitian ..………. 8

D. Manfaat Penelitian ..………..………. 9

E. Keaslian Penelitian ..………..……….... 9

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 9

1. Kerangka Teori ………... 9

2. Konsepsi ……….…. 16

G. Metode Penelitian ..………... 18

BAB II WEWENANG POLRI DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA ... 23

A. Susunan dan Kedudukan Polri ..………..…….. 23


(15)

1. Tugas dan Wewenang Polri ....………... 37

2. Tugas dan Wewenang Polri dengan Jaksa dalam Pemberantasan Tindak Pidana korupsi ..……….…… 56

3. Tugas dan Wewenang Polri dengan KPK dalam Pemberantasan Tindak Pidana korupsi ...……….… 61

C. Kewenangan Polri Dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi di Indonesia ...………... 77

BAB III HAMBATAN YURIDIS YANG DIHADAPI POLRI DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI JAJARAN POLDA SUMUT ... 84

A. Faktor-faktor Penyebab Tindak Pidana Korupsi ....……… 84

B. Hambatan-hambatan Yuridis yang Dihadapi Polri Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi ... 99

1. Hambatan-hambatan yang dihadapi Polri dalam Penyidikan .…. 99 2. Faktor-faktor penghambat dalam penyidikan yang Dihadapi Polri dan Jaksa .……….... 105

C. Kasus Korupsi Dijajaran Polda Sumatera Utara .……….. 107

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 113

A. Kesimpulan……….. 113

B. Saran……… 114


(16)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman 1 Perbandingan kewenangan dan tugas Polri, Jaksa dan KPK ... 80 2 Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Dijajaran Polda Sumatera Utara

Tahun 2004... ……….. 107 3 Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Dijajaran Polda Sumatera Utara

Tahun 2005 ...…….. 108 4 Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Dijajaran Polda Sumatera Utara

Tahun 2006 ...………. 109 5 Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Dijajaran Polda Sumatera Utara

Tahun 2007 ………. 110

6 Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Dijajaran Polisi Daerah (Polda)

Sumatera Utara Tahun 2008 ..………. 111 7 Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Dijajaran Polda Sumatera Utara


(17)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Krisis multi dimensi yang melanda Negara Republik Indonesia dipenghujung tahun 1998, ditandai dengan kebangkrutan perekonomian negara seiring dengan lengsernya Presiden Soeharto. Krisis mental termasuk kejujuran1 dan juga salah satunya Korupsi. Apabila Korupsi itu dilakukan berjamaah dalam skala besar dan dibiarkan berlarut-larut, seperti yang terjadi selama ini, negaralah yang secara langsung menanggung akibatnya. Terbukti hingga saat ini bila diamati bahwa pemberantasan Korupsi belum menunjukkan arah perubahaan dan hasil seperti yang diinginkan.2

Keuangan yang digerogoti terus menerus dan perekonomian yang tidak di kelola menurut prinsip-prinsip ekonomi yang benar, pasti akan goyah juga. Konon pula fundamen dari perekonomian negara Indonesia yang rapuh.3

Era baru, era Reformasi, ditandai bangkrutnya hampir seluruh Bank yang ada. Untuk mengatasi keadaan ini, Pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Melalui badan ini, Pemerintah menyalurkan dana Badan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI) yang amat besar yakni lebih dari Rp. 165 triliun dengan maksud untuk merekapitalisasi bank-bank tersebut sehingga kekurangan modal (car

1

Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi: Pemberantasan dan Pencegahan, (Jakarta : Djambatan, 2007), hal. 11.

2

Bismar Nasution (selanjut disingkat Bismar Nasution I), Hukum Kegiatan Ekonomi, (Bandung: Books Terrace and Library, 2007), hal. 251.

3

www.hukumonline.com, Transparasi Internasional: Indonesia Masih Menjadi Salah Satu Negara Terkorup, diakses pada tanggal 8 Maret 2009.


(18)

capital adequasi Ratio). Siapa yang membayar bunga dana yang dipakai oleh para

pemilik bank ini?, ternyata pemerintah membebankannya kepada (Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).4

Gerakan reformasi yang menumbangkan pemerintahan Soeharto dimasa Orde Baru menuntut, antara lain ditegakkannya supremasi hukum dan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (selanjutnya disingkat dengan KKN). Masalah Korupsi adalah masalah yang paling aktual dan menarik sebagai persoalan hukum yang menyangkut jenis kejahatan yang rumit penanggulangannya.5 Salah satu penyebab sulitnya pemberantasan Korupsi adalah sulitnya pembuktian, karena para pelaku tindak pidana ini melakukan kejahatannya dengan sangat rapi.6

Banyak upaya yang dilakukan guna memperteguh pemberantasan tindak pidana Korupsi dengan cara membuat, memperbaiki dan merevisi peraturan-peraturan mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga seolah-olah tidak ada celah untuk terbebasnya koruptor dari jeratan hukum. Namun keberhasilan dari suatu Undang-undang untuk menjerat pelaku Tindak Pidana juga sangat bergantung pada aparat penegak hukum sebagai pelaksananya.7

Perkembangan sejarah Pemberantasan KKN telah berlangsung sejak tahun 1950, dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor

4

Krisna Harahap, Pemberantasan Korupsi: Jalan Tiada Ujung, (Bandung: Grafitri, 2006 ), hal. 59.

5

Leden Marpaung, Loc. Cit, hal. 11. 6

www.hukumonline.com, Transparansi International: Indonesia masih negara

terkorup,diakses tanggal 11 Maret 2009. 7

www.digilib.unila.ac.id/go, Kompetensi Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Antara Polisi dan Jaksa, diakses tanggal 8 Maret 2009.


(19)

24 Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat Perppu No. 24 Tahun 1960). Beberapa upaya untuk pemberantasan Korupsi berdasarkan Undang-undang tersebut dilakukan antara lain :

a. Operasi Budhi.

b. Pembentukan tim pemberantasan Korupsi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967, yang dipimpin oleh Jaksa Agung.8

Meskipun pada kenyataannya kurang berhasil dengan mempergunakan Perppu No. 24 Tahun 1960, dijumpai hal-hal yang tidak sesuai, antara lain sebagai berikut :

1. Adanya perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan/perekonomian negara menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana, tidak dapat dipidana karena rumusan Tindak Pidana Korupsi yang berdasarkan kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan.

2. Pelaku Tindak Pidana Korupsi hanya ditujukan kepada Pegawai Negeri sedang kenyataan, orang-orang yang bukan Pegawai Negeri yang menerima tugas/bantuan tercela seperti yang dilakukan Pegawai Negeri.

3. Perlu diadakan ketentuan-ketentuan yang mempermudah pembuktian dan mempercepat proses dari hukum acara yang berlaku tanpa tidak memperhatikan hak asasi tersangka/terdakwa.9

8

Leden Marpaung, Op.Cit, hal. 3. 9


(20)

Ternyata keberadaan Perppu No. 24Tahun 1960 tidak berhasil membendung merajalelanya Korupsi, sehingga Pemerintah pada tanggal 29 Maret 1971 menganggap perlu mengganti Perppu No. 24 Tahun 1960 dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971, yang dapat mempercepat upaya pemberantasan Korupsi, antara lain :

a. Korupsi ditetapkan sebagai Tindak Pidana yang berdiri sendiri, tidak lagi sebagai salah satu jenis kejahatan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP).

b. Diperkenalkannya peradilan koneksitas yang dapat mengadili anggota Tentara Nasional Indonesia dan Sipil sekaligus dalam Peradilan Umum atau Militer.10

Kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 (selanjutnya disingkat UU Tipikor), mengatur hukum pidana materiil (seperti perumusan tindak pidana korupsi dan jenis-jenis hukumannya), dan hukum pidana formilnya (seperti pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana korupsi di muka pengadilan), dan disempurnakan kembali dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan maksud menambahkan ketentuan tentang pembalikkan beban pembuktian.11

Meningkatnya Tindak Pidana Korupsi baik dari segi kualitas maupun kuantitas yang begitu rapi telah menyebabkan terpuruknya perekonomian Indonesia. Untuk itu

10

Ibid. hal. 13 11

Andi Hamzah (Selanjutnya disebut Andi Hamzah I), Pemberantasan Korupsi: Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 73.


(21)

diperlukan upaya penegakan hukum secara sungguh-sungguh dan bersifat luar biasa. Mengingat Peran Polri dalam struktur kehidupan masyarakat sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, pengayom masyarakat, penegak hukum dan pelayanan masyarakat menjalankan perannya agar mempunyai tanggung jawab khusus menjalankan peranannya agar terpelihara ketertiban masyarakat.12

Sehingga dalam menangani kejahatan baik dalam bentuk tindakan terhadap kejahatan maupun dalam bentuk pencegahan kejahatan agar para anggota masyarakat dapat hidup sejahtera, aman dan tenteram.

Polri sebagai salah satu sub sistem dari sistem Peradilan Pidana (criminal

justice system), berwenang melakukan tugas Penyelidikan, Penyidikan terhadap

semua tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya termasuk kasus Korupsi,13 selain lembaga-lembaga hukum seperti Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disingkat KPK).

Dalam hal Polri melakukan tugas penyidikan,14 terhadap kasus-kasus Korupsi, sejak awal penyidikan kasus senantiasa berkordinasi dengan Jaksa Penuntut Umum (Selanjutnya disingkat JPU), untuk menghindari bolak-balik perkara secara berulang.

12

Lihat Pasal 2 dan Pasal 4 UU Polri. 13

Sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) huruf (g) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002, tentang POLRI, bahwa Polri bertugas untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua Tindak Pidana, termasuk Tindak Pidana Korupsi; dan Instruksi Presiden No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

14

Pasal 1 KUHAP, Penyidik adalah Pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan. Untuk dapat menjalankan tugasnya Penyidik mempunyai wewenang untuk :

a. Menerima laporan atau pengaduan adanya tindakan pidana.

b. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal badan. c. Mengambil sidik jari dan identitas orang.


(22)

Jaksa sebagai penuntut saling kordinasi dengan Polri untuk memberantas Korupsi, Pasal 30, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Undang-undang Kejaksaan Republik Indonesia (selanjutnya disingkat UUKJ).

Tugas dan wewenang jaksa dalam bidang pidana adalah: melakukan penuntutan; melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan Pidana bersyarat, putusan Pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; melakukan penyidikan terhadap Tindak Pidana tertentu berdasarkan undang-undang; melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan kepengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik Polri.15

Kejaksaan, sebagai instansi/lembaga peradilan yang juga berperan dalam menanggulangi Korupsi, merupakan salah satu lembaga yang menjadi tulang punggung untuk menanggulangi Korupsi yang selanjutnya disebut core unit.16

Sebagai instansi/lembaga yang menanggulangi Korupsi, dalam menjalankan tugasnya harus sesuai dengan tugas-tugas pokok yang dilaksanakan, yaitu: Menangani Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional; Memantau Kekayaan Pemegang Jabatan dan Fungsi Publik; Melaksanakan Fungsi Intelejen &

e. Menangkap orang. f. Menahan orang sementara.

g. Memanggil orang untuk didengan dan diperiksa. h. Mendatangkan ahli.

i. Menggeledahkan halaman rumah, gedung, alat pengangkutan darat, laut dan udara. 15

www.digilib.unila.ac.id/go, Kompetensi Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Antara Polisi dan Jaksa, diakses tanggal 8 Maret 2009.

16 Ibid.


(23)

Mengembangkan Sistem Pengamanan Transaksi Nasional; Melaksanakan Sebagian dari Fungsi Penegakkan Hukum (Sistem Peradilan Pidana); Memantau dan mengevaluasi.17

Peranan KPK tidak terlepas juga dengan Polri dan Kejaksaan yang merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. 18

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terjadi sekarang ini belum dapat dilaksanakan secara optimal, oleh karena itu pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif dan berkesinambungan. Asumsinya, meningkatnya Tindak Pidana Korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. 19

Polri dalam menyidik kasus terkesan sangat lambat, mengingat kewenangan Polri sebagai Penyidik, untuk menyelidiki pelaku/tersangka tindak pidana korupsi, dimana masyarakat sebagai penilai/monitoring kurang percayanya kepada Polri untuk menyelesaikan kasus-kasus tindak pidana korupsi.

17

www.digilib.unila.ac.id/go, Kompetensi Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Antara Polisi dan Jaksa, diakses tanggal 8 Maret 2009.

18

Pasal 6, Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disingkat UUKPK) mempunyai tugas :

a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana Korupsi;

b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana Korupsi;

c. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana Korupsi; d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana Korupsi ; dan

e. Melakukan monitor terhadap penyelegaraan pemerintahan negara. 19


(24)

Dalam hal ini masih diperlukan untuk penguatan sistem manajemen di Polri sendiri, sehingga penilaian masyarakat terhadap Polri dapat berkurang. Terutama dalam kewenangan dan tugas Polri dilapangan kerja.

Berdasarkan uraian-uraian diatas, penulis tertarik untuk membahas kewenangan Polri dalam menyelesaikan kasus-kasus Tindak Pidana Korupsi sebagai suatu karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul ”Kewenangan Polri dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kewenangan Polri, Jaksa dan KPK dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Hambatan yuridis yang dihadapi Polri dalam melakukan penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Polda Sumut.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui kewenangan Polri, Jaksa dan KPK dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Untuk mengetahui Hambatan yuridis yang dihadapi Polri dalam melakukan penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Jajaran Polda Sumut.


(25)

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat melalui sumbangsih pemikiran dibidang hukum pidana mengenai kewenangan Polri, serta penyelesaian pembuktian kasus-kasus Tindak Pidana Korupsi.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dalam pemahaman pengaturan dan mekanisme, Kewenangan Polri, Jaksa dan KPK sebagai Penyidik dan hambatan yuridis apa sajakah yang dihadapi Polri dalam melakukan penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Jajaran Polda Sumut.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai “Kewenangan Polri dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, belum pernah dilakukan penelitian pada topik dan permasalahan yang sama.

Dengan demikian penelitan ini dapat dikatakan penelitian yang pertama kali dilakukan, sehingga keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Didalam melakukan suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro, bahwa untuk memberikan


(26)

landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian harus selalu disertai dengan pemikiran teoritis.20

Menurut Lawrence M. Fridman, yang dikutip oleh Ahmad Ali, “Pemberantasan korupsi dapat berjalan, manakala terdapat 3 (tiga) unsur yang merupakan sistem hukum sudah berfungsi.21 Tiga unsur hukum tersebut adalah :

a. Subtansi yang mencakup aturan-aturan hukum, baik tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk peraturan-peraturan pengadilan.

b. Struktur, yang mencakup instansi penegak hukum.

c. Kultur hukum, yang mencakup opini-opini, kebiasaan-kebiasaan, cara berfikir dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat biasa.

Penyelenggaraan fungsi kepolisian secara universal yang di Indonesia menganut 3 unsur hukum menurut Lawrence M.Fridman, yang secara keseluruhan dapat dilihat dalam bentuk sistem kepolisian yang dianut, sebagai manifestasi dari nilai-nilai yang terkandung dalam konsitusi dan konvensi yang dikembangkan oleh suatu Negara, mencakup segala hal ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga Polri, yang terdiri dari: landasan ideal/filsafati, fungsi kepolisian, tujuan kepolisian, tugas kepolisian, susunan dan kedudukan kepolisian, asas-asas kepolisian, wewenang dan tanggung jawab kepolisian, pembinaan fungsi kepolisian dan hubungan-hubungan kepolisian.

20

Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Ghali, 1982), hal. 37. 21

Ahmad Ali tentang Trend Baru Pemberantasan Korupsi, Kompas Tanggal 13 September 2001.


(27)

Untuk menjalankan suatu pemerintahan yang bebas dari Korupsi,22 Kolusi dan Nepotisme, Polri mempunyai tugas pokok memelihara keamanan dan menciptakan suatu ketertiban didalam masyarakat, sebab ketertiban merupakan suatu syarat dari adanya masyarakat yang teratur. Hal ini berlaku bagi manusia, masyarakat dan hukum yang tidak akan mungkin dipisah-pisahkan.23 Selanjutnya ketertiban dalam masyarakat, diusahakanlah untuk mengadakan kepastian. Kepastian disini diartikan sebagai kepastian dalam hukum dan kepastian oleh karena hukum. Hal ini disebabkan karena pengertian hukum yang pasti bagi peristiwa yang kongkret dan adanya suatu perlindungan hukum terhadap kesewenang-wenangan.24

Dalam mengimbangi perubahan sosial yang terjadi sebagai akibat keberhasilan pembangunan nasional yang telah direncanakan dalam rangka meniadakan atau mengurangi kesenjangan-kesenjangan peraturan perundang-undangan yang belum dapat mengimbangi perubahaan sosial yang sangat pesat. Untuk dapat mewujudkan terciptanya ketertiban dan perasaan aman dalam masyarakat, maka dalam menegakkan hukum dilapangan, selain tindakan upaya paksa menurut prosedur hukum yang ditetapkan dalam KUHAP, juga diperlukan wewenang tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab sebagai kebijakan penegakan hukum dalam pencegahan kejahatan perlu didayagunakan oleh Polri.

22

Krisna Harahap, Op.Cit, hal. 6. Dari definisinya dapat diketahui bahwa yang dinamakan Korupsi adalah sesuatu yang buruk, rusak dan busuk. Keadaan tersebut lahir dari tindakan seseorang yang menguasai sesuatu tanpa hak dan melawan hukum dengan atau tanpa menyalahgunakan wewenang atau kekuasaan yang ada padanya

23

Soerjono Soekanto (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I), Penguasa Penegakkan Hukum, (Jakarta : Binacipta, 1983), hal.42.

24 Ibid.


(28)

Selain KUHAP diperlukan Undang-undang bermaksud mengantisipasi atas penyimpangan keuangan atau perekonomian negara25 yang dirasa semakin canggih dan rumit. Oleh karenanya Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam Undang-undang ini dirumuskan seluas-luasnya26 sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum.27

25

Di dalam Undang-Undang Tidak Pidana Korupsi terdapat 3 istilah hukum yang penting, yaitu istilah:

1. Tindak Pidana Korupsi. 2. Keuangan Negara. 3. Perekonomian Negara.

Ad. 1. Tindak Pidana Korupsi adalah: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Ad. 2. Keuangan Negara adalah Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun baik yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karenanya :

1. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah.

2. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan Perusahaan yang menyertakan Modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.

Ad. 3. Perekonomian Negara adalah : kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan atau usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.

26

Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi, (Jakarta: LP3S, 1983), hal. 20. Ciri-ciri Korupsi adalah sebagai berikut:

a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama dengan kasus pencurian atau penipuan. Seorang operator yang Korupsi sesungguhnya tidak ada dan kasus itu biasanya termasuk dalam pengertian penggelapan (fraud). Contohnya adalah pernyataan tentang belanja perjalanan atau rekening hotel. Namun, disini seringkali ada pengertian diam-diam diantara pejabat yang mempraktikkan berbagai penipuan agar situasi ini terjadi. Salah satu cara penipuan adalah permintaan uang saku yang berlebihan, hal ini biasanya dilakukan dengan meningkatkan frekuendi perjalanan dalam pelaksanaan tugas. Kasus seperti inilah yang dilakukan oleh para elit politik sekarang yang kemudian mengakibatkan polemik di masyarakat.

b. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali Korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam, sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada didalam


(29)

Mengenai kebijakan Hukum Pidana atas Tindak Pidana Korupsi, Barda Nawawi Arief menyatakan: bahwa usaha pergaulan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu sering pula dikatakan, bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (Law enforcement policy).28

Hal ini merupakan perbuatan melawan hukum, yaitu: 1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; 2. Melanggar hak subjektif orang lain;

3. Melanggar kaidah tata susila ; dan

4. Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain. 29

lingkungannnya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya. Namun, walaupun demikian motif Korupsi tetap dijaga kerahasiannya.

c. Korupsi mengakibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik, kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang.

d. Mereka yang mempraktekan cara-cara Korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum.

e. Mereka yang terlibat Korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.

f. Setiap perbuatan Korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum.

g. Setiap bentuk Korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan. 27

www. Ketentuan%20tindak%20pidana%20korupsi.htm, Perihal Ketentuan Tindak Pidana Korupsi, diakses tanggal 31 Maret 2009.

28

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), haL 29.

29 Ibid.


(30)

Lebih lanjut pendapat Donald Black tersebut dikembangkan oleh Ediwarman dengan mengemukakan:

Prilaku yang menyimpang adalah suatu tingkah laku yang tunduk kepada kontrol sosial. Dengan kata lain kontrol sosial mendefinisikan apa yang dimaksud dengan yang menyimpang, dan semangkin banyak kontrol sosial kemana tingkah laku itu harus tunduk, semangkin banyak tingkah laku itu. Dalam pengertian ini. Keseriusan dari prilaku yang menyimpang itu dibatasi oleh kuantitas kontrol sosial kemana tingkah laku itu tunduk. Kuantitas dari kontrol sosial juga mendefinisikan kadar dari prilaku yang menyimpang itu. Gaya dari kontrol sosial bahkan mendefinisikan gaya dari prilaku yang menyimpang, apakah itu suatu kejahatan yang harus dihukum, suatu hutang yang harus dibayar, suatu keadaan yang membutuhkan perlakuan, atau suatu perselisishan yang memerlukan penyesuaian. Dengan singkat, perilaku yang menyimpang adalah suatu segi dari kontrol sosial. 30

Adanya peranan pengawasan didalam masyarakat dapat dilihat dari Pasal 8 UUKKN yang mengatur:

1. Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam penyelenggara negara yang bersih.

2. Hubungan antara Penyelenggara Negara dan masyarakat dilaksanakan dengan berpegang pada asas-asas penyelenggaraan negara yang baik.

Dengan adanya hak dan tanggung jawab yang dimiliki masyarakat sebagai pengawas publik, diharapkan akan dapat terciptanya suatu kontrol sosial secara optimal terhadap para pengguna uang negara dengan tetap menanti rambu-rambu hukum yang berlaku. Namun, peran masyarakat tersebut tidak hanya berhenti sampai disitu, masyarakat juga harus tetap melakukan pengawasan terhadap jalannya proses

30

Ediwarman, Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-Kasus Pertanahan (Legal Protection For The Victim of Land Cases), (Pustaka Bina Bangsa,2003), hal.9.


(31)

penyidikan sampai pada saat persidangan di pengadilan agar proses hukum tersebut dapat di tegakkan secara objektif.31

Pembentuk Undang-undang telah memberikan pada masyarakat guna berpartisipasi dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bentuk dan peran serta masyarakat adalah sebagai berikut:

1. Hak, mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan terjadi delik Korupsi.

2. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam butir 1 diatas kepada penegak hukum yang menangani perkara delik Korupsi.

3. Hak untuk menyampaikan saran, pendapat, serta tanggung jawab kepada penegak hukum pada butir 2.

4. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan pada penegak hukum pada laporannya yang diberikan kepada penegak hukum pada butir 2 dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. 5. Hak dalam perlindungan hukum, antara lain dalam hal:

a. Melaksanakan haknya sebagaimana diuraikan dalam butir 1) dan 2); b. Diminta hadir dalam proses penyidikan-penyidikan dan persidangan

sebagai saksi pelapor, saksi dan ahli.32

31

Edi Yunara, Op.Cit, hal. 63. 32

Martiman Prodjohanidjojo, Penerapan, Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999), (Bandung: Mandar Maju, 2001), hal. 97.


(32)

2. Konsepsi

Bagian landasan konsepsional ini, akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan oleh penulis. Konsep dasar yang digunakan oleh penulis dalam tesis ini antara lain :

a. Polri merupakan salah satu pejabat yang mempunyai tugas dan wewenang sebagai Penyidik33 untuk mencari, menemukan dan mengumpulkan bukti suatu tindak kejahatan untuk menemukan tersangka pelaku tindak pidana. b. Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum

melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.34

c. Wewenang merupakan hak dan atau kekuasaan dan mempunyai tanggungjawab, yang terletak dibidang publik Polri. Untuk bertindak dan menentukan keabsahan dari tindakan yang diberikan oleh hukum dalam bentuk undang-undang No.2 tahun 2002 mengenai UUPolri .

d. Keuangan Negara adalah Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun baik yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya

33

Lihat Pasal 1 ayat 1 UUTipikor jouncto Pasal 1 ayat 1 dan ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Penyidik adalah Pejabat Polri atau Pejabat Pegawai Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan, sedangkan penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan cara menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat tentang Tindak Pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

34


(33)

segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karenanya : 35

1. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah.

2. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan Perusahaan yang menyertakan Modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.

e. Perekonomian Negara adalah : kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan atau usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.36

f. Jaksa merupakan pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan

35

Penjelasan atas UU No.31 Tahun 1991 tentang Tipikor. 36


(34)

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.37

g. KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.38

G. Metode Penelitian

Untuk keberhasilan suatu penelitian yang baik dalam memberikan gambaran dan jawaban terhadap permasalahan yang diangkat, tujuan serta manfaat penelitian sangat ditentukan oleh metode yang digunakan dalam penelitian. Dapat dikutip pendapat Soerjono Soekanto mengenai Penelitian hukum, sebagai berikut: Penelitian hukum padanya dasar merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian yang ditimbulkan dalam gejala yang bersangkutan.39

37

Lihat Pasal Pasal 1 ayat 1 tentang UUKejaksaan. 38

Lihat Pasal 3 jouncto Pasal 9. Pengambil alihan penyidikan dan penuntutan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh KPK dengan alasan :

a. Laporan masyarakat mengenai Tindak Pidana Korupsi tidak ditindak lanjuti;

b. Proses penanganan Tindak Pidana Korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;

c. Penanganan Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur Korupsi;

d. Hambatan penangan Tindak Pidana Korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif dan legeslatif;

e. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau Kejaksaan penanganan Tindak Pidana Korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

39

Soerjono Soekanto (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II), Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1981), hal. 43.


(35)

1. Spesifikasi Penelitian

Sifat penelitian ini adalah Deskriptif-analitis, deskritif maksudnya menggambarkan atau menelaah permasalahan terhadap Kewenangan Polri, Jaksa dan KPK dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi dan hambatan yuridis yang dihadapi Polri dalam melakukan penyidikan Tindak Pidana Korupsi yang terjadi di Jajaran Polda Sumatera Utara, khususnya Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara di Medan. Sedangkan analitis maksudnya data hasil penelitian diolah lebih dahulu, lalu dianalisis dan kemudian baru diuraikan secara cermat mengenai Kewenangan Polri dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Seperti dikemukakan oleh Soerjono Soekanto, penelitian deskriptif analisis adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistematik, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, serta hubungan fenomena yang diselidiki.40

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Mengambil istilah Ronald Dworkin, penelitian semacam ini juga disebut dengan istilah penelitian doktrinal (doctrinal research),41 yaitu penelitian yang menganalisis hukum dan yang tertulis didalam buku (law as it is writen in the

book).42 Dalam penelitian ini bahan kepustakaan dan studi dokumen dijadikan

40

Soerjono Soekanto (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto III), Metedologi Reserarch, (Yogyakarta: Andi Offset, 1998) hal.3.

41

Penelitian sejenis ini disebut juga penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang mempergunakan data skunder, Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Juri Mentri, (Jakarta: Ghalia indonesia, 1988).hal.10.

42

Bismar Nasution. Metode penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, (Medan: Makalah, disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 februari 2003), hal.1.


(36)

sebagai bahan utama sementara data lapangan yang diperoleh melalui wawancara akan dijadikan sebagai data pendukung atau pelengkap.

2. Sumber Data Penelitian

Data pokok dalam penelitian ini adalah data skunder, yang meliputi: 43 a. Bahan hukum primer, yaitu:

1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 2. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

3. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.

4. Peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan pakar hukum serta bahan dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder,

43

Penelitian Normatif dan sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum skunder, dan bahan hukum tertier, Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek , (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal.14.


(37)

seperti kamus umum, kamus hukum, majalah /jurnal atau surat kabar sepanjang memuat informasi yang relevan dengan materi penelitian.44

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui: b. Studi kepustakaan (library research).

Sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini pengumpulan data akan dilakukan melalui studi kepustakaan, dikumpulkan melalui studi literatur, dokumen dan dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan tentang Tindak Pidana Korupsi dan peraturan perundang-undangan lain yang relevan dengan materi penelitian.

c. Wawancara.

Disamping studi kepustakaan, data pendukung juga diharapkan diperoleh dengan melakukan wawancara dengan Pejabat Ditrektorat Reskrim Polda Sumatera utara dan Kasi. Penyidikan pada AS PIDSUS KEJATISU.

4. Analisis Data

Setelah semua data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan (library

research), serta data pendukung yang diperoleh dari hasil wawancara, maka

dilakukan pemeriksaan dan evaluasi untuk mengetahui validitasnya, kemudian data dikelompokkan atas data yang sejenis. Terhadap data yang sifatnya kualitatif

44

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1985), hal.23.


(38)

ditafsirkan secara yuridis, logis, sistematis dengan menggunakan metode deduktif dan induktif.

Metode induktif maksudnya menarik dari generalisasi yang berkembang dalam Kewenangan Polri dalam bertugas sebagai penyidik untuk memberantas Tidak Pidana Korupsi. Metode deduktif maksudnya melihat suatu peraturan-peraturan yang berlaku secara umum walaupun tidak pasti mutlak, namun dijadikan dasar hukum dalam penyelesaian kasus-kasus Tindak Pidana Korupsi.

Dengan menggunakan metode deduktif dan induktif ini, maka akan diperoleh persesuaian tentang bagaimana sebenarnya Kewenangan Polri dalam bertugas sebagai penyidik untuk memberantas Tidak Pidana Korupsi

Dari hasil pembahasan dan analisis ini diharapkan akan diperoleh kesimpulan yang memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.


(39)

BAB II

WEWENANG POLRI DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

A. Susunan dan Kedudukan Polri

Susunan dan kedudukan Kepolisian diberbagai negara di dunia selalu berkaitan dengan sistem pemerintahan dan sistem peradilan pidana yang dianut, bahkan sistem administrasi Kepolisian merupakan subsistem dari kedua sistem tersebut. Sistem pemerintahan negara atau sistem administrasi negara berkaiatan dengan penyelenggaraan fungsi Kepolisian pada tataran Preventif dan Preemptif, sehingga mempunyai ciri-ciri fungsi utama administrasi negara yang meliputi : fungsi pengaturan, perijinan, pelaksaan sendiri tugas pokok, pengolahan, pengawasan dan fungsi penyelesaian perselisihan.45

Sistem peradilan pidana berkait dengan penyelenggaraan fungsi Kepolisian pada tataran represif sehingga akan mempunyai ciri-ciri dari sistem peradilan pidana (Criminal justice system) antara lain mengenai asas yang dianutnya. Richard J. Terrill dalam bukunya “World criminal justice system" memperbandingkan criminal justice

system diberbagai negara antara lain Inggeris, Perancis, Swedia, Jepang, dan Uni

Soviet hanya berdasarkan komponen-komponen yang terdiri dari : The government,

The police, The judiciary, The law, Corrections and juvenilie justice dan tidak

mengkaitkannya dengan komponen Angkatan Perang atau Militer oleh karena secara universal memang diakui tidak menunjukan adanya kaitan. Selanjutnya dapat

45

Momo Kelana, Konsep-konsep Hukum Kepolisian Indonesia, (Jakarta: PTIK Press, 2007), hal. 130.


(40)

disimpulkan bahwa susunan dan kedudukan Kepolisian tidak ada dengan institusi Militer atau Angkatan Perang.46

Pada dasarnya susunan dan kedudukan Polri ditiap negara menggambarkan konsepsi kepolisian yang dianut oleh negara yang bersangkutan dapat dikembalikan kepada dua aliran besar yaitu konsepsi Anglo Saxon dan konsepsi Eropa

Kontinental.47

Konsepsi Anglo Saxon ditemukan dalam sistem kepolisian di Inggris dan negara-negara persemakmurannya termasuk juga Amerika Serikat yang mempunyai sejarah perkembangan kepolisian yang disusun dari bawah berdasarkan keluarga

(kin-police) sejalan dengan perkembangan “local autonomy system” yang berakar dari

sejarah dimana rakyat membentuk kota kecil dan mengangkat ”mayor” dan ”sheriff” nya sendiri. Hal tersebut kemudian berkembang keatas menjadi negara bagian sampai kepada negara federal dan mengakibatkan susunan organisasi kepolisian di Amerika Serikat sangat banyak dan beragam yang jumlahnya mencapai lebih dari 1000.

Di Amerika Serikat selain Sheriff, terdapat City Police, Cauntry Police, State

Police dan diangkat federal terdapat Federal Bureau of Investigation (FBI), Norcotic

dan Secret Service.48

Pengaruh dari Amerika Serikat dengan local autonomy system diterapkan pula dinegara jajahannya Filipina yang ternyata setelah kemerdekaan membawa banyak

46 Ibid. 47

Adam Thomas F, Law Enforcement, An Introduction to the Police Role in the Comunnity, (Renice-Hall Inc. Englewood Cliffs N.J, 1968), hal. 71.

48

Djamin Awaloedin, Menuju Polri Mandiri yang Profesional, Pengayom, Pelindung, Pelayan Masyarakat, (Jakarta: Yayasana Tenaga Kerja Indonesia, 2001), hal. 57-58.


(41)

masalah. Maka pada akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an diciptakan “Intergrated

National Police” dipimpin oleh Jendral Ramos, kemudian pada masa kepresidenan

Cory Aquino dengan konstitusi baru dibentuk Philippine National Police.

Demikian pula halnya di Jepang, sebelum perang dunia memiliki kepolisian nasional model Kepolisian yang diterapkan di Prancis dan Rusia tahun 1874 sebagai bagian dari Program Restorasi pemerintahan Meiji yang memperkenalkan budaya dan teknologi Eropa ke Jepang. Setelah Jepang kalah perang, dipaksa Amerika Serikat menganut “local police system” yang ternyata tidak cocok buat Jepang sehingga Jepang kembali menganut “National Police System”.

Semenjak tahun 1960-an kepolisian dunia mengarah ke National Police System atau National coordinated police system. Malaysia, negara federal menganut national

police system, Jerman, Australia, negara-negara federal memiliki kepolisian yang

koordinir baik secara nasional. 49

Konsepsi Eropa Kontinental ditemukan di negara Perancis, Belanda dan Jerman yang lebih memperlihatkan ciri-ciri pengembangan kepolisian yang di susun dari atas (Ruler appointed police) dan tersusun sebagai Kepolisian Nasional.

Sistem peradilan pidana yang dominan di Indonesia adalah sistem Eropa Kontinental sebagai pengaruh dari sejarah penjajahan Belanda walaupun sempat pula menerima pengaruh Inggris melalui “Regulation” dari Raffles yang meletakan dasar dan peraturan tentang tata usaha Kehakiman dan Pengadilan-Pengadilan daerah di Jawa dan tata usaha Keplisian.

49 Ibid.


(42)

Susunan dan kedudukan Polri sepanjang sejarah Indonesia selalu mengikuti kebijaksaan pemerintah kolonial (colonial police) sejak tahun V.O.C (1602) sampai kepada pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1800 sampai 1942, dengan penerapan “indirect rule system” yang membedakan jabatan bagi bangsa Eropa dan pribumi serta membagi wewenang antara Hoofd van den diens algemene politie yang berkantor di Departemen Dalam Negeri, Rechts politie pada procureur general pada

hooggrechtsshof (Mahkamah Agung Hindia Belanda) dan Resident atau Asistant Resident yang memiliki wewenang operasional agar lebih mudah untuk meminta

bantuan KNIL untuk menumpas kerusuhan dan lain-lain. Istilah “politie” baru di kenal pada jaman Hindia Belanda setelah berkembangnya “modern police” di Inggris pada tahun 1829.

Bentuk-bentuk kepolisian pada jaman Hindia Belanda adalah : Algemene

politie, stadspolitie, gewapende politie, veld politie, cultuur politie dan bestuurs politie.50 Pada jaman penduduk Jepang pada tahun 1942 sampai dengan 1945, hanya ada satu bentuk kepolisian yaitu “Keisatsutan” yang susun dan kedudukan disesuaikan dengan kepentingan pendudukan militer guna pembagian daerah pertahanan militer Jepang. Kepolisian dibagi dalam empat regional :

a. Jawa dan Madura, dengan pusat di Jakarta dibawah Rikugun (Angkatan Darat).

b. Sumatera, dengan pusat di Bukit tinggi di bawah Rikugun.

50


(43)

c. Timur Barat (Sulawesi, Maluku, Irian Barat) berpusat di Makasar dibawah Kaigun (Angkatan Laut).

d. Kalimantan berpusat di Banjarmasin dibawah Kaigun.

Pada jaman kemerdekaan sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 secara spontan kepolisian di daerah menyatakan diri sebagai Kepolisian Republik Indonesia dan pada tanggal 19 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sesuai dengan jaman Hindia Belanda menetapkan organisasi kepolisian dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri, namun dalam kenyataan tidak pernah terlaksana.51

Pada tanggal 1 Juli 1946, dengan penetapan pemerintah No. 11/SD dibentuk di Jawatan Kepolisian Negara dan bertanggung jawab langsung kepada Perdana Mentri. Maka secara resmi lahirlah Kepolisian Nasional Indonesia (Indonesian National

Police) yang melaksanakan seluruh tugas kepolisian dan mencakupi seluruh wilayah

Republik Indonesia.

Mulai saat itu struktur organisasi Kepolisian ditingkat pusat berada dibawah perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan Negara membawahi secara hierarkhis Penilik Kepolisian, Kepala Kepolisian karesidenan, Kepala Kepolisian Kabupaten, Kepala Kepolisian Distrik (kawadanan) dan Kepala Kepolisian Onder Distrik (Kecamatan). Penilik Kepolisian yang berada ditingkat Provinsi mengkoordinir kepolisian di daerah.

51 Ibid


(44)

Pada tahun 1946, organisasi kepolisian disesuaikan dengan Undang-Undang No. 22 tahun 1946 sehingga secara hirarkis kewenangan kepolisian berada pada Perdana Menteri, Kepala Kepolisian Karesidenan, Kepala Polisi Kabupaten, Kepala Polisi Wilayah, dan Kepala Polisi Sub wilayah. Susunan dan kedudukan kepolisian terus disesuaikan dengan dinamika dan tututan perjuangan pada revolusi fisik.

Karena keadaan Ibu Kota Jakarta yang tidak memungkinkan, maka bulan Juni 1946 Kantor Pusat Kepolisian dipindahkan ke Purwokerto. Konsolidasi Kepolisian menghasilkan dibentuknya Mobile Brigade (Mobbrig) pada tanggal 14 Nopember 1946 dan tanggal 17 Juni 1946 didirikan Akademi Polisi yang kemudian pada tahun 1950 ditingkatkan menjadi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.

Pada periode 1946 sampai Agustus 1950 Kepolisian Negara berada dibawah Pemerintahan Republik Indonesia Serikat. Kepala Kepolisian Negara berada dibawah Perdana Menteri, namun keadaan itu berlangsung hanya selama 7 (tujuh) bulan. Pada tanggal 17 Agustus 1950, Indonesia kembali ke Negara Kesatuan tetapi dengan Undang-Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950 Pasal 130 dinyatakan bahwa : “untuk memelihara ketertiban dan keamanan yang diatur dengan undang-undang”. Kepala Kepolisian Negara tetap membawah kepada perdana Menteri dan bertanggung jawab atas kepolisian diseluruh tanah air dengan organisasi yang utuh dari pusat sampai kedaerah. Perdana Menteri dibantu oleh satu Biro Keamanan dikantor (Kabinet) Perdana Menteri yang dipimpin oleh Komisaris Besar Polisi R Soeprapto.


(45)

Konsolidasi Kepolisian Negara terus dilaksanakan dan membangun secara sistematis menjadi kepolisian yang modern dan profesional. Berbagai keberhasilan operasional dan fungsi represif dan preventif seperti mengungkap kasus spionase Juengslager dan Schmidt peristiwa Cikini, dan lain-lain ditanda tangani Kepolisian Negara RI dengan berhasil tanpa campur tangan dari instansi lain.

Ditingkat internasional, Kepala Kepolisian Negara Indonesia ditunjuk sebagai

Kepala National Central Bureu Interpol, mewakili Pemerintah RI dalam International Criminal Police Commission (ICPC) yang kemudian menjadi ICPO

(Intemational Criminal Police Organization).

Susunan dan kedudukan kepolisian di Indonesia selanjutnya lebih diharapkan dinyatakan dalam Undang-Undang. Panitia Wongsonegoro bekerja cukup lama untuk membuat Undang-Undang, namun tidak membawa hasil. Di samping itu, Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI) pada tahun 1957 mengadakan kongres yang menghasilkan sebuah keputusan agar kepolisian memiliki Kementerian tersendiri yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri (Sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959). Pada tahun 1961 lahirlah Undang-Undang No. 13 Tahun 1961 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian Negara yang mengatur tentang pimpinan dan Susunan Negara dimana dinyatakan bahwa:

a. Pasal 5 (1) Penyelenggaraan tugas Kepolisian Negara dilakukan oleh Departemen Kepolisian.

b. Pasal 6 Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Kepolisian Negara. c. Pasal 7 angka :


(46)

1. Menteri yang menguasai Kepolisian Negara, selanjutnya disebut Menteri, memegang pimpinan penyelenggaraan tugas Kepolisian Negara, baik pencegahan (prefentif) maupun pemberantasan (represip).

2. Menteri menetapkan kebijakan Kepolisian, sesuai dengan politik Pemerintah umumnya dan politik keamanan nasional khususnya, serta bertanggung jawab atas pelaksaan tugas memelihara keamanan didalam negeri.

3. Menteri memegang pimpinan Departemen Kepolisian.

4. Menteri memegang pimpinan dan penguasaan umum Kepolisian Negara. d. Pasal 8 Kepala Kepolisian Negara memegang pimpinan tehnis dan Komando

Angkatan Kepolisian Negara.

Dengan demikian menurut Undang-Undang Kepolisian No. 13 Tahun 1961 pengembanan kekuasan kepolisian secara hirarki terdiri dari Presiden, Menteri Kepolisian Negara, dan Kepala Kepolisian Negara serta disamping itu terdapat Kepala Daerah yang memegang pimpinan kebijakan politik polisionil dan koordinasi dinas vertikal di daerahnya.

Oleh karena itu Kepala Daerah dapat mempergunakan Kepolisian Negara yang ada dalam daerahnya untuk melaksakan wewenangnya dengan memperhatikan hirarki dalam Kepolisian Negara. (Pasal 10 Undang-undang No. 13 tahun 1961).

Mengenai susunan kepolisian, Undang-Undang Kepolisian menganut Kepolisian Nasional sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 9 Ayat (1) “Kepolisian Negara merupakan satu kesatuan”. Wilayah Republik Indonesia dibagi dalam daerah


(47)

wewenang Kepolisian disusun menurut keperluan pelaksaan tugas Kepolisian Negara dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pimpinan Kepolisian di daerah bertanggung jawab atas pimpinan serta pelaksaan kebijaksaan keamanan dan lain-lain tugas Kepolisian di daerahnya masing-masing dan langsung bertanggung jawab kepada pejabat Kepolisian yang menurut hirarki ada diatasnya. Di bidang proses pidana kedudukan Kepolisian di atur dalam Het herziene inlandsche reglemen (HIR) sebagai pembantu jaksa (hulp magistraat) sampai keluarnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP. Dalam Undang-Undang Kepolisian No. 13 Tahun 1961 juga dinyatakan kedudukan Kepolisian Negara sebagai Angkatan Bersenjata, namun demikian tidak ada pengintegrasian Kepolisian Negara kedalam Angkatan Bersenjata.

Polri tetap dipimpin oleh Menteri atau Kepala Staf Angkatan Polri, kemudian Menteri atau Panglima Angkatan Kepolisian. Kepolisian tetap membawa pada Presiden. Dengan demikian dalam kenyataannya semenjak 1 juli 1946 sampai dengan tahun 1969, Polri tetap mandiri, otonom dibidang operasional dan pembinaan, langsung dibawah Presiden sebagai Kepala Pemerintahan Negara.

Pada tahun 1969 dilaksanakan integrasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dengan demikian kemandirian dan kedudukan Polri semenjak 1 Juli 1946 berada dibawah Perdana Menteri dan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan Negara menjadi terhenti.

Awaloedin Djamin menyatakan bahwa: “Dalam pelaksaan integrasi yang keliru inilah, kemandirian Polri dibidang operasional dan pembinaan merosot. Dengan


(48)

adanya lembaga Kopkamtib yang dalam praktek mempunyai kekuasaan yang luas, juga dalam penegakan hukum dan penyidikan, maka intervensi terhadap pelaksanaan tugas kepolisian tidak dapat dihindarkan.52

Pada Tahun 1981 keluar Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang memuat perubahan kebijakan proses pidana serta merubah kedudukan Polisi sebagai penyidik dalam proses pidana yang setara dengan Jaksa selaku penuntut umum. Kedudukan Polisi tidak lagi sebagai hulp magistraat. Perubahan tersebut dengan sendirinya membawa implikasi perubahan pula dalam penyelenggaraan fungi Polri / pemolisian.

Undang-Undang No. 20 Tahun 1982 Tentang Ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara Pasal 45 ayat (3) mengamanatkan perlunya disusun undang tersendiri bagi Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang No. 28 Tahun 1997 tidak profesionalisme Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Hal tersebut dapat disimak dalam rumusan berbagai Pasal antara lain dalan rumusan tujuan kepolisian dalam Pasal 2 masih terkait dengan terselenggaranya fungsi pertahanan keamanan negara. Dalam Pasal-pasal lainya juga dapat disimak susunan dan kedudukan kepolisian sebagaimana ditemukan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 1982 antara lain:

52


(49)

a. Pasal 5 angka :

1. Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah unsur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang terutama berperan memelihara keamanan dalam negeri.

2. Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan fungsi kepolisian.

b. Pasal 6 (1) Kepolisian Negara Indonesia dalam melaksanakan fungsi Kepolisian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.

Dari rumusan Pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa Kepolisian Negara Indonesia sebagai satu kesatuan berada dibawah komando Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) karena merupakan unsur ABRI.

Selanjutnya dari rumusan Pasal 6 ayat (1) dapat disimpulkan bahwa model yang dianut adalah Kepolisian Nasional, walaupun tidak secara eksplisit ditegaskan dalam pasal.

Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1997 masih ditemukan berbagai bentuk

intervensi antara lain dalam menyelenggarakan fungsi Kepolisian Presiden dibantu

oleh Menteri Pertahanan Keamanan dan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pasal 16 ayat (1) dan (2)).

Terdapat juga ketentuan tentang pertanggung jawaban pelaksaan tugas Kepala Kepolisian Republik Indonesia baik di bidang penyelenggaraan operasional Kepolisian dalam rangka pelaksanaan tugas Polri yang mesti dipertanggung jawabkan


(50)

kepada Menteri Pertahanan Keamanan maupun dibidang penyelenggaraan pembinaan kemampuan Kepolisian Negara Indonesia, Indonesia yang harus dipertanggung jawabkan kepada Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia seperti dinyatakan dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang No. 28 Tahun 1997 yaitu:

“Kepala Kepolisian Republik Indonesia dalam, melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada.

a. ayat (2) huruf a bertanggung jawab kepada Menteri. b. ayat 2 huruf b bertanggung jawab kepada Panglima”.

Mengenai kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam hubungan dan kerjasama dengan instansi lain, dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1997. Pada dasarnya hubungan dan kerjasama Kepolisian Negara Indonesia, dengan badan, lembaga, serta instansi didalam dan diluar negeri didasarkan atas sendi-sendi hubungan fungsional saling menghormati, saling membantu, mengutamakan kepentingan umum serta memperhatikan hirarki dengan mengembangkan asas partisipasi dan asas subsidiaritas. Hubungan dan kerjasama dengan Pemerintah Daerah dikembangkan berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Kepolisian dan Undang-Undang Tentang Pemerintah Daerah No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dengan mengikat bahwa Kepala Daerah tidak lagi secara tegas dinyatakan memegang pimpinan kebijaksanaan politik polisionil di daerahnya. Selain itu kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku Koordinator, pengawas dan pembina teknis kepolisian. Kepolisian Khusus dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa tetap


(51)

melakukan “melakukan koordinasi pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap alat-alat Kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk pengamanan

swakarsa yang memiliki kewenangan Kepolisian terbatas”.53

Bergulirnya era reformasi telah mengakibatkan perubahan besar dalam ketatanegaraan dan pemerintahan antara lain pengunduran diri Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 dan berdasarkan pasal 8 UUD 1945, Wakil Presiden BJ.Habibie menggantikan Presiden Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia.

Perubahan tersebut telah menimbulkan pula perubahan paradigma dalam sistem ketatanegaraan yang menegaskan pemisahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. Beberapa perubahan paradigma ketatanegaraan tersebut antaralain Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratanan Rakyat No. VI/MPR/2000 dan No. VII/MPR/2000 serta Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 dan undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menggantikan Undang-Undang Kepolisian No. 28 Tahun 1997. Dalam Undang-Undang Kepolisian No. 2 Tahun 2002, Pasal 5 ayat (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia dinyatakan sebagai Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran dan fungsi kepolisian meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.

53


(52)

Kedudukan Polri berada dibawah Presiden dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undang (pasal 8 ayat (1) dan (2). Namun demikian dalam rangka mewujudkan balance of power dalam negara demokrasi terdapat ketentuan tentang pengangkatan dan pemberhentian Kapolri oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 11 ayat (1)).

Selain itu kekuasaan Presiden dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian, masih dibatasi oleh Komisi Kepolisian Nasional yang berkedudukan dan bertanggung jawab kepada Presiden yang tugasnya sebagaiberikut :

a. Membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan.

b. Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.54

Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 selain diatur tentang kedudukan55 instansi Polri, diatur pula kedudukan Anggota Polri dalam rangka administrasi

54

Pasal 38, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri. 55

Susunan dan kedudukan Polri dapat dilihat pada Pasal 6 :

(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan peranan fungsi kepolisian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan 5 meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.

(2) Dalam rangka pelaksanaan peran dan fungsi kepolisian, wilayah negara Republik Indonesia dibagi dalam daerah hukum menurut kepentingan pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.


(53)

kepegawaian yang dalam Pasal 20 dinyatakan bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Pegawai Negeri disamping Pegawai Negeri Sipil dilingkungan Polri.

Sebelumnya mengenai personil atau kepegawaian, Polri mengacu kepada Undang-Undang No. 2 Tahun 1988 Tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, karena Polri merupakan bagian integral ABRI.

B. Tugas dan Wewenang Aparat Penegak Hukum di Indonesia 1. Tugas dan Wewenang Polri

Dalam rumusan wewenang yang diberikan oleh undang-undang melekat pula pertanggung jawaban sehingga bila wewenang tersebut digunakan secara salah satu melampaui kewenangan yang diberikan, maka ada prosedur pemberian sanksi-sanksi dan pertanggung jawabannya. wewenang juga menunjuk kepada sumber serta latar belakang pemberian wewenang dimaksud. Sebagai contoh asas legalitas menunjuk kepada Undang-undang sebagai sumber wewenang, sedangkan asas kewajiban menunjukan kepada kewajiban umum Polri untuk memelihara ketertiban dan keamanan umum sebagai sumber wewenang.56

Susunan organisasi dan tata kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia disesuaikan dengan kepentingan pelaksanaan tugas dan wewenangnya yang diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

Pasal 8 :

(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden.

(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

56


(54)

Sehingga wewenang Polri dibatasi oleh lingkungan kuasa yang terdiri dari lingkungan kuasa soal-soal (zaken gebied), lingkungan kuasa orang (personen

gebien), lingkungan kuasa tempat atau ruangan (ruemte gebied/territoir gebied) dan

lingkungan kuasa waktu (tijds gebied).

Dalam Undang-undang Polri No. 2 Tahun 2002 mengenai Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Dalam Pasal 13 disebutkan ada 3 (tiga) tugas Pokok Polri yaitu :

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum; dan

c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.57 Bentuk-bentuk wewenang Polri dalam proses pidana dinyatakan lebih rinci dalam Undang-undang Polri No. 2 Tahun 2002 Pasal 16 ayat (1) dan (2). Sedangkan dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, bentuk-bentuk wewenang Polri tersebut dinyatakan dalam wewenang Penyidikan Pasal 5 ayat (1) dan wewenang Penyidik Pasal 7 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3).

Dalam KUHAP Pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa: Penyidikan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam

57


(55)

pelaksanaan tugasnya berada di bahwa koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam pasal 6 ayat (1) huruf a.

Kelompok wewenang kepolisian dapat dikenali berdasarkan pengelompokan tugas-tugasnya yang bersumber dari kewajiban umum kepolisian, perundang-undangan lainnya dan dalam proses pidana. Oleh karena itu dapat ditemukan pengelompokan wewenang Polri.

Wewenang Kepolisian dapat dibagi menjadi 4 (empat) yakni : 1. Wewenang Kepolisian Secara Umum

Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:

a. menerima laporan dan/atau pengaduan;

b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;

c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;

d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;


(56)

Peraturan kepolisian adalah segala peraturan yang dikeluarkan oleh kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 58

Jadi jelas bahwa “Peraturan Kepolisian” tetap bersifat mengikat warga masyarakat karena peraturan tersebut dikeluarkan untuk kepentingan warga masyarakat dalam kaitannya dengan tugas kepolisian.

f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;

g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

Kewenangan ini merupakan legitimasi dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Polri ditempat kejadian perkara (TKP) guna pengamanan tempat kejadian dan barang bukti. Rumusan kewenangan ini memberikan dasar dan kekuatan hukum bagi “tanda garis polisi” (police line) yang dipasang pada tempat kejadian sehingga terhadap mereka yang melewatinya tanpa ijin dari Kepolisian dapat dikenakan sanksi hukum dan tindakan kepolisian.

h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;

Bagi pelaksana tugas Polri, identitas merupakan faktor yang sangat penting agar tidak terjadi kesalahan dalam mengambil tindakan terhadap seseorang. Selain itu,

58

Pasal 15 ayat (1) huruf e Juncto Pasal 13 UU No.2 tahun 2002 tentang UUPolri, menegaskan kewenangan umum Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menjamin ketertiban dan keamanan umum, khususnya dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan. Kewenangan umum untuk bantuan pengamanan juga dapat dimanfaatkan dalam kegiatan instansi lain serta kegiatan masyarakat. Namun demikian penggunaan kewenangan ini hanya atas permintaan masyarakat.


(1)

Pidana Antara Kepala Kepolisian Daerah Sumatra Utara dan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, maka tumpang tindih (overlapping) Tindak Pidana Korupsi dapat diminimalisir, sedangkan dengan KPK tidak ditemukan tumpang tindih penanganan perkara.

2. Hambatan yuridis yang dihadapi Polri dalam pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sulitnya pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi, dan alat bukti yang dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP. Demikian pula adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ijin/persetujuan yang harus dimohonkan/diajukan baik oleh Polri maupun oleh Kejaksaan terlebih dahulu kepada Pejabat/Instansi tertentu dalam tindakan pemanggilan/pemeriksaan saksi/tersangka tertentu.

B. Saran

1. Hendaknya Polri dalam menyidik kasus korupsi mempercepat proses penyidikan, mengingat kewenangan yang diberikan oleh undang undang terhadap Polri sebagai Penyidik kasus korupsi sesuai Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Instrusksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, sehingga masyarakat/lembaga swadaya masyarakat sebagai penilai/monitoring dapat yakin dan percaya terhadap kinerja Polri untuk menyelesaikan kasus-kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di jajaran Polda Sumut. Selain itu juga hendaknya


(2)

Polri, Jaksa dan KPK sejak awak penyelidikan saling berkoordinasi secara optimal, sehingga tidak terjadi penanganan perkara yang tumpang tindah (overlapping), atas laporan/pengaduan tindak pidana korupsi oleh masyarakat maupun Lembaga swadaya Masyarakat kepada ketiga lembaga tersebut.

2. Hendaknya dilakukan revisi terhadap peraturan perundang-undangan khususnya menyangkut masalah pembuktian, karena salah satu tujuan undang-undang korupsi adalah disamping menghukum sipelaku juga untuk menyelamatkan keuangan negara.


(3)

DAFTAR PUSTAKA 1. Buku-buku

Alatas, Syed Hussein, Sosiologi Korupsi, Jakarta: LP3S, 1983.

Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.

Djamin, Awaloedin, Menuju Polri Mandiri yang Profesional, Pengayom, Pelindung, Pelayan Masyarakat, (Jakarta: Yayasana Tenaga Kerja Indonesia, 2001). Ediwarman, Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-Kasus Pertanahan (Legal

Protection For The Victim of Land Cases), Pustaka Bina Bangsa, 2003.

Hamzah, Andi , Pemberantasan Korupsi : Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.

---, Korupsi Di Indonesia : Masalah dan Pemecahannya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991.

Hartanti, Evi, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Hanitijo, Ronny, metode Penelitian Hukum dan Juri Mentri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.

Harahap, Krisna, Pemberantasan Korupsi: Jalan Tiada Ujung, Bandung: Grafitri, 2006.

Kelana, Momo Konsep-konsep Hukum Kepolisian Indonesia, (Jakarta: PTIK Press, 2007).

Marpaung, Leden, Tindak Pidana Korupsi : Pemberantasan dan Pencegahan, Jakarta: Djambatan, 2007.

Myrdal, Gurnar, Asia Drama, Volume II New York : Pantheon, 1986.

Nasution, Bismar, Hukum Kegiatan Ekonomi, Books Terrace and Library, 2007. Prodjohanidjojo, Martiman, Penerapan, Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi

(Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999), Bandung: Mandar Maju, 2001. Soemitro, Ronny.H. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Ghali, 1982.


(4)

Soekanto, Soerjono, Metedologi Reserarch, Yogyakarta: Andi Offset, 1998. ---, Penguasa Penegakan Hukum, Jakarta : Binaciptaa, 1983. ---, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1981).

Soesilo, Karjadi, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar, (Bogor: Politeia, 1997).

Sri Mamudji dan, Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1985.

Thomas F, Adam, Law Enforcement, An Introduction to the Police Role in the Comunnity, (Renice-Hall Inc. Englewood Cliffs N.J, 1968), hal. 71.

Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek , Jakarta: Sinar Grafika, 2002. Yunara, Edi, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi : Berikut Studi

Kasus, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995. 2. Makalah

Bismar Nasution. Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Medan, Makalah, disampaikan pada dialog interaktif tentang peneltian hukum dan hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 februari 2003.

Muladi, Fungsionalisasi Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Korporasi, Semarang, Makalah Seminar Kejahatan Korporasi, 1989.

3. Internet

www.antikorupsi_org.htm, Tahap Perkembangan Korupsi, diakses tanggal 13 Maret 2009.

www.armanpasaribu.wordpress.com, Pengalaman Seorang Polisi Indonesia, diakses tanggal 16 Juni 2009.

www.detikhot.com, Eks Kapolri: Berikan Wewenang Sidik Korupsi Hanya pada Polri, diakses pada tanggal 21 Juni 2009.

www.digilib.unila.ac.id/go, Kompetensi Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Antara Polisi dan Jaksa, diakses tanggal 8 Maret 2009.


(5)

www.hukumonline.com, Transparasi Internasional: Indonesia Masih Menjadi Salah Satu Negara Terkorup, diakses pada tanggal 8 Maret 2009.

www.Ketentuan%20tindak%20pidana%20korupsi.htm, Perihal Ketentuan Tindak Pidana Korupsi, diakses tanggal 31 Maret 2009.

www.transparansi.or.id, Sebab-sebab Korupsi, diakses tanggal 18 Mei 2009.

4. Perundang-undangan

Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004, tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang No. 20 Tahun 1982, Tentang Ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara.

Undang-undang No. 28 Tahun 1997, Tentang kepolisian.

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Negara yang

Bersih Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999, tentang Pokok-pokok Kepegawaian.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002, tentang POLRI,

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


(6)

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004, tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000, tentang tata Cara Pelaksanaan Peran

serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.