MENGGAPAI KEUTAMAAN HIDUP DENGAN: “KEJUJURAN”

Menggapai Keutamaan Hidup dengan:
“Kejujuran”
Kejujuran adalah sesuatu yang teramat mahal di negeri ini, dan mungkin
juga di seputar kita, di lingkungan kita yang paling dekat. Bahkan, terlalu sulit
mencari ‘orang-orang’ jujur yang bisa bersikap istiqamah dalam kejujurannya di
tengah ‘rimba kebohongan’ yang mengitari diri kita, termasuk di dalamnya: ‘di
dunia pendidikan’ yang seharusnya selalu memberikan contoh kepada semua
orang untuk menawarkan ‘kejujuran prima’. Oleh karenya, Allah Subhânahu Wa
Ta’âlâ memberi ‘warning’ (peringatan dini) kepada diri kita, kalau ‘kita’ masih
merasa dan mengaku sebagai orang yang beriman, dengan firmanNya:

َ َ ‫يَا َأ ُّ َ ا ذاَي‬
َ‫اّ َو ُك نُ ا َم َع ا ذّاد ي‬
َ ‫آم ُ ا ذاّ ُ ا ذ‬
ِ
ِِ

“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu
bersama orang-orang yang benar.” (QS at-Taubah/9: 119)

Kini, dan mungkin juga di sini, banyak orang mengejar kebahagiaan di

balik kemegahan materi. Padahal, semua itu hanyalah fatamorgana, kesemuan
belaka. Kalau kita ingin berbahagia, maka bersikap jujurlah. Jujurlah kepada Allah
Subhânahu Wa Ta’âlâ sebagai hamba-Nya, jangan berbasa-basi dan jangan
setengah-setengah dalam beribadah. Seorang suami yang jujur akan selalu
menjauhi dosa, dan memberikan nafkah secara halal dan maksimal kepada
isterinya. Isteri yang jujur akan selalu menjaga kehormatan diri dan harta suami
dan benar-benar menjadi tempat berteduh bagi suami. Pemimpin yang jujur akan
selalu menjunjung tinggi asas musyawarah dan bekerja keras untuk menegakkan
keadilan dan memastikan kesejahtraan rakyatnya.
Bila kejujuran seperti tersebut di atas terwujud, banyak hikmah yang akan
dipetik.

Pertama, jujur akan mengantarkan diri kita ke surga.
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ
َ َ
َ ‫ِ َ ذ ذ‬
‫َ َذ َ ذ‬
‫ذ‬

‫ِإن ا ِّدق ّ ِدي ِإل ال ِِ وإِن ال ِِ ّ ِدي ِإل اْ ِة وإِن‬
َ َ َ ‫ِ ً َ ذ‬
َ ُ َ ‫ذ ُ َ ََ ُ ُ َ ذ‬
‫ا ّج َّدق حّ يك ن ِصدي ا وإِن ال ِذب ّ ِدي‬
1

َ
َ
َُ ‫ذ َ ذ ذ‬
َ َ ُ ُ ‫َ ذ‬
ُ
ُ
‫ار وإِن ا ّج‬
ِ ّ‫ِإل ال ج ِر و ِإن ال ج ر ّ ِدي ِإل ا‬
َ
‫َ ذ‬
َ
َ
ُ
َ

‫ذ‬
ً‫اّ َك ذذابا‬
ُ
َ
ِ ‫َ ِذب حّ يكتب ِع د‬

“Sesungguhnya kejujuran akan membimbing pada kebaikan, dan kebaikan itu
akan membimbing ke surga, sesungguhnya jika seseorang yang senantiasa berlaku
jujur hingga ia akan dicatat sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya
kedustaan itu akan mengantarkan pada kejahatan, dan sesungguhnya kejahatan
itu akan menggiring ke neraka. Dan sesungguhnya jika seseorang yang selalu
berdusta sehingga akan dicatat baginya sebagai seorang pendusta.” (Hadis Riwayat
Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, juz VIII, halaman 30, hadits nomor 6094 dan
Muslim, Shahîh Muslim, juz VIII, halaman 29, hadits nomor 6803, dari ‘Abdullâh
ibn Mas'ûd ibn Ghâfil ibn Habîb radhiyallâhu ‘anhu).

Berdasarkan hadits ini, jelas bahwa tidak mungkin kebaikan akan datang
jika manusia yang berkumpul di dalamnya adalah para pembohong dan pendusta.
Bila di tengah mereka menyebar kebohongan maka otomatis dosa akan semakin
merajalela. Bila dosa merajalela maka jaminannya adalah neraka.


Kedua, jujur akan melahirkan ketenangan.
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ‫فَإ ذن ا ِّد َق ُط َ أني َة َوإ ذن ال َ ذ َب ريبة‬
ِ
ِ
ِ ِ
ِ

“…maka sesungguhnya kejujuran adalah ketenangan dan kebohongan adalah
keraguan…” (Hadits Riwayat At-Tirmidzi dari Al-Hasan ibn ‘Aliy ibn Abî Thâlib
radhiyallâhu anhumâ, Sunan at-Tirmidziy, juz IV, halaman 668, hadits nomor
2518).
Orang yang selalu jujur akan selalu tenang, sebab ia selalu membawa
kebenaran. Sebaliknya, para pembohong selalu membawa kebusukan dan
kebusukan itu membawa kegelisahan akibat kebusukannya. Ia akan selalu
dihantui dengan kebohongannya dan takut hal itu akan terbongkar. Dan, bila
seorang pembohong seperti ini menjadi pemimpin maka ia tidak akan sempat
mengurus rakyatnya, karena ia sibuk menyembunyikan kebusukan dalam dirinya.


Ketiga, jujur disukai semua manusia.
Abu Sufyan radhiyallâhu ‘anhu pernah ditanya oleh Heraklius (Kaisar
Romawi yang kala itu berkedudukan di Syam) mengenai dakwah Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Abu Sufyan radhiyallâhu ‘anhu pernah
2

menjelaskannya, bahwa di antara dakwah beliau adalah: “mengajak bersikap
jujur”. Sebagaimana riwayat berikut,

ُ ُ ُ َ َ َ َ ُ َ َ َُ َ َ َ َ ‫َ ََ َُ ُ َ َ َ ذ‬
‫أخِ ِن أب س يان أن ِهّق قال ل سأْ ماذا يأ ّ م‬
َ ‫ذ‬
َََُ ُ‫ََ َ َ َذ‬
ََ َ
ََ َ
ِ
َ
‫اف وا فا ِء‬
ِ ‫فزع ت أن أ ّكم بِا َّ ِة وا ّد ِق والع‬

َ
َ
َ
ُ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
ّ ‫بال َع ِد َوأدا ِء اْمان ِة قال وه ِذ ِه ِص ة ن‬
ِ
ِ
ِ

“Telah mengabarkan kepada kami Abu Sufyan bahwa Raja Heraklius berkata
kepadanya: "Aku telah bertanya kepadamu apa yang dia perintahkan kepada
kalian, lalu kamu menjawab bahwa dia memerintahkan kalian untuk shalat,

bersikap jujur, menjauhkan diri dari berbuat sesuatu yang ‘buruk’, menunaikan
janji dan melaksanakan amanah". Lalu dia berkata; "Ini adalah di antara sifat-sifat
seorang Nabi." (Hadits [Mauqûf] Riwayat Al-Bukhari dari ‘Abdullâh ibn ‘Abbâs
radhiyallâhu ‘anhumâ, Shahîh al-Bukhâriy, juz III, halalam 336, hadits nomor
2681)

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam terkenal sebagai manusia yang
paling jujur. Bahkan, sebelum kedatangan Islam, beliau sudah masyhur sebagai
orang yang jujur. Orang-orang kafir Makkah pun mengakui kejujuran Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wa sallam , sekalipun mereka tidak beriman. Bahkan, mereka
memberi gelar al-Amîn (orang yang tepercaya) kepada Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa sallam . Selain itu, mereka juga selalu menitipkan barang berharga
kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam .

Keempat, jujur akan mengantarkan pelakunya pada derajat tertinggi.
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ َ ََ ُ‫ُ ذ‬
َ
َ

َ
‫ازل ا ّ دا ِء وإِن‬
ِ ‫اّ م‬

َ‫َذ‬
ََ َ ‫َ َ ََ ذَ ذ‬
‫م سأل اّ ا ّ ادة بِ ِّدق بّغ‬
ََ َ َ
َ
ِ ‫اش‬
ِ ِّ‫مات َ ف‬

“Barangsiapa yang mengharapkan mati syahid dengan jujur sungguh-sungguh
(jujur), maka Allah akan mengangkatnya sampai ke derajat para syuhada',
meskipun ia meninggal dunia di atas tempat tidurnya.” (Hadis Riwayat Muslim
dari Sahal bin Hunaif bin Wahib radhiyallâhu ‘anhu, Shahîh Muslim, juz VI,
halaman 48, hadits nomor 5039).

Dan kelima, jujur akan mengantarkan pada keberkahan.


3

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ َ ُ َ‫َ َ َ َََ ذ َ َ َ َ َ ََذ‬
ُ
َ ِ‫اْي‬
َ
َ
‫ي‬
ْ‫ا‬
‫ب‬
‫ار ما م ّت ّقا ف ِإن صدقا وبي ا ب ِرك ا ِف‬
‫ان‬
‫ع‬
ِ
ِ
ِ
ِ
َ‫َبيع َ ا َوإن َك َذبَا َو َكتَ َ ا ُم َ بَ َّ َك ُة َبيع ا‬

ِ
ِِ
ِ ِِ

“Orang yang bertransaksi jual beli berhak khiyar (memilih) selama keduanya
belum berpisah. Jika keduanya jujur dan terbuka, maka keduanya akan
mendapatkan keberkahan dalam jual beli, tapi jika keduanya berdusta dan tidak
terbuka, maka keberkahan jual beli antara keduanya akan hilang." (Hadits Riwayat
Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, juz III, halaman 76, hadits nomor 2079; juz III,
halaman 84, hadits nomor 2110, dan Muslim, Shahîh Muslim, juz V, halaman 10,
hadits nomor 3937, dari Hakim bin Hizam bin Khuwailid radhiyallâhu ‘anhu).

Pertanyaan pentingnya adalah: “mau dan beranikah kita – sebagai orang
yang sering merasa dan mengaku beriman -- memulai untuk bersikap jujur
dengan beragam risikonya?”
Wallâhu A’lam bi ash-Shawâb.

UNIRES – Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Senin – 3 Oktober 2016

4