Keutamaan- Keutamaan Al Qur’an
Keutamaan- Keutamaan Al Qur’an [1] al- Qur’an adalah Cahaya
Cahaya yang akan menerangi perjalanan hidup seorang hamba dan menuntunnya menuju keselamatan adalah cahaya al- Qur’an dan cahaya iman. Keduanya dipadukan oleh Allah ta’ala di dalam firman-Nya (yang artinya),“Dahulu kamu -Muhammad- tidak
mengetahui apa itu al-Kitab dan apa pula iman, akan tetapi kemudian Kami jadikan hal itu sebagai cahaya yang dengannya Kami
akan memberikan petunjuk siapa saja di antara hamba- hamba Kami yang Kami kehendaki.” (QS. asy-Syura: 52)Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata,
“…Dan sesungguhnya kedua hal itu -yaitu al-Qur’an dan iman- merupakan sumber segala
kebaikan di dunia dan di akherat. Ilmu tentang keduanya adalah ilmu yang paling agung dan paling utama. Bahkan pada
hakekat nya tidak ada ilmu yang bermanfaat bagi pemiliknya selain ilmu tentang keduanya.” (lihat al-’Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu,hal. 38) Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia, sungguh telah datang kepada kalian keterangan yang jelas dari Rabb kalian, dan Kami turunkan kepada kalian cahaya yang terang- benderang.” (QS. an-Nisaa’: 174)
Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah adalah penolong bagi orang-orang yang beriman, Allah mengeluarkan mereka dari
kegelapan-kegelapan menuju cahaya, adapun orang-orang kafir itu penolong mereka adalah thoghut yang mengeluarkan mereka
dari cahaya menuju kegelapan- kegelapan.”(QS. al-Baqarah: 257)Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan Kami beri dia cahaya yang
membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia
tidak dapat keluar darinya? Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang - orang kafir terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS.al- An’aam: 122)
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata mengenai tafsiran ayat ini,
“Orang itu -yaitu yang berada dalam kegelapan- adalah dulunya mati
akibat kebodohan yang meliputi hatinya, maka Allah menghidupkannya kembali dengan ilmu dan Allah berikan cah aya keimanan
yang dengan itu dia bisa berjalan di tengah- tengah orang banyak.” (lihat al-’Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 35) [2] al- Qur’an adalah PetunjukAllah ta’ala berfirman (yang artinya), “Alif lam lim. Inilah Kitab yang tidak ada sedikit pun keraguan padanya. Petunjuk bagi orang-
orang yang bertakwa.”(QS. al-Baqarah: 1-2). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya al-Qur’an ini menunjukkan
kepada urusan yang lurus dan memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman yang mengerjakan amal salih
bahwasanya mereka akan mendapatkan pahala yang sangat besar.” (QS. al-Israa’: 9).Oleh sebab itu merenungkan ayat-ayat al- Qur’an merupakan pintu gerbang hidayah bagi kaum yang beriman. Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, agar mereka merenungi ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang- orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shaad: 29).
Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah mereka tidak merenungi al-Qur’an, ataukah pada hati mereka itu ada gembok-
gemboknya?” (QS. Muhammad: 24). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah mereka tidak merenungi al-Qur’an, seandainya
ia datang bukan dari sisi Allah pastilah mereka akan menemukan di dalamnya banyak sekal i perselisihan.” (QS. an-Nisaa’: 82)Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan sesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 123).
Ibnu Abbas
radhiyallahu’anhuma berkata, “Allah memberikan jaminan kepada siapa saja yang membaca al-Qur’an dan
mengamalkan ajaran yang terkandung di dalamnya, bahwa dia tidak akan tersesat di dunia dan tidak celaka di akherat.” Kemudian
beliau membaca ayat di atas (lihat Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah karya Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, hal. 49).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as - Sa’di rahimahullah menerangkan, bahwa maksud dari mengikuti petunjuk Allah ialah:
1. Membenarkan berita yang datang dari-Nya,
2. Tidak menentangnya dengan segala bentuk syubhat/kerancuan pemahaman,
3. Mematuhi perintah, 4. Tidak melawan perintah itu dengan memperturutkan kemauan hawa nafsu (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 515 cet.
Mu’assasah ar-Risalah)
[3] al- Qur’an Rahmat dan Obat
Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia! Sungguh telah datang kepada kalian nasehat dari Rabb kalian (yaitu al- Qur’an), obat bagi penyakit yang ada di dalam dada, hidayah, dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus: 57).
Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami turunkan dari al-Qur’an itu obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Akan tetapi ia tidaklah menambah bagi orang- orang yang zalim selain kerugian.” (QS. al-Israa’: 82)
Syaikh as- Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnyaitu mengandung ilmu yang sangat meyakinkan yang dengannya
akan lenyap segala kerancuan dan kebodohan. Ia juga mengandung nasehat dan peringatan yang dengannya akan lenyap segala
keinginan untuk menyelisihi perintah Allah. Ia juga mengandung obat bagi tubuh atas derita dan penyakit yang
menimpanya.” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 465 cet. Mu’assasah ar-Risalah)Dari Abu Hurairah
radhiyallahu’anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah berkumpul suatu kaum di dalam
salah satu rumah Allah, mereka membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan pasti akan turun kepada
mereka ketenangan, kasih sayang akan meliputi mereka, para malaikat pun akan mengelilingi mereka, dan Allah pun akan
menyebut nama-nama mereka diantara para malaikat yang ada di sisi-Nya.” (HR. Muslim dalam Kitab adz-Dzikr wa ad-Du’a’ wa at- Taubah wa al-Istighfar [2699])
[4] al- Qur’an dan Perniagaan Yang Tidak Akan Merugi
Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang membaca Kitab Allah dan mendirikan sholat serta
menginfakkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi -sembunyi maupun terang-terangan, mereka
berharap akan suatu perniagaan yang tidak akan merugi. Supaya Allah sempurnakan balasan untuk mereka dan Allah tambahkan
keutamaan-
Nya kepada mereka. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Berterima kasih.” (QS. Fathir: 29-30)
Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman maukah Aku tunjukkan kepada kalian suatu perniagaan
yang akan menyelamatkan kalian dari siksaan yang sangat pedih. Yaitu kalian beriman kepada Allah dan Rasul -Nya, dan kalian
pun berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian. Hal itu lebih baik bagi kali an jika kalian mengetahui. Maka niscaya Allah
akan mengampuni dosa-dosa kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan
tempat tinggal yang baik di surga- surga ‘and. Itulah kemenangan yang sangat besar. Dan juga balasan lain yang kalian cintai berupa pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat. Maka berikanlah kabar gembira bagi orang - orang yang beriman.” (QS.ash-Shaff: 10-13) Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang yang beriman, jiwa dan harta mereka,
bahwasanya mereka kelak akan mendapatkan surga. Mereka berperang di jalan Allah sehingga mereka berhasil membunuh
(musuh) atau justru dibunuh. Itulah janji atas-Nya yang telah ditetapkan di dalam Taurat, Injil, dan al- Qur’an. Dan siapakah yanglebih memenuhi janji selain daripada Allah, maka bergembiralah dengan perjanjian jual -beli yang kalian terikat dengannya. Itulah
kemenangan yang sangat besar.” (QS. at-Taubah: 111) [5] al- Qur’an dan Kemuliaan Sebuah UmatDari ‘Amir bin Watsilah, dia menuturkan bahwa suatu ketika Nafi’ bin Abdul Harits bertemu dengan ‘Umar di ‘Usfan (sebuah wilayah diantara Mekah dan Madinah, pent). Pada waktu itu ‘Umar mengangkatnya sebagai gubernur Mekah. Maka ‘Umar pun bertanya kepadanya,
“Siapakah yang kamu angkat sebagai pemimpin bagi para penduduk lembah?”. Nafi’ menjawab, “Ibnu
Abza.” ‘Umar kembali bertanya, “Siapa itu Ibnu Abza?”. Dia menjawab, “Salah seorang bekas budak yang tinggal bersama
kami.” ‘Umar bertanya, “Apakah kamu mengangkat seorang bekas budak untuk memimpin mereka?”. Maka Nafi’ menjawab, “Dia
adalah seorang yang menghafal Kitab Allah ‘azza wa jalla dan ahli di bidang fara’idh/waris.” ‘Umar pun berkata, “Adapun Nabi
kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam memang telah bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat dengan Kitab ini sebagian
kaum dan dengannya pula Dia akan menghinakan sebagian kaum yang lain.”.” (HR. Muslim dalam Kitab Sholat al-Musafirin [817])
Dari Utsman bin Affan
radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al- Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari dalam Kitab Fadha’il al-Qur’an [5027]) [6] al- Qur’an dan Hasad Yang Diperbolehkan
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada hasad kecuali dalam dua perkara: seorang lelaki yang diberikan ilmu oleh Allah tentang al - Qur’an sehingga dia pun membacanya sepanjang malam dan
siang maka ada tetangganya yang mendengar hal itu lalu dia berkata, “Seandainya aku diberikan sebagaimana apa yang diberikan
kepada si fulan niscaya aku akan beramal sebagaimana apa yang dia lakukan.” Dan seorang lelaki yang Allah berikan harta
kepadanya maka dia pun menghabiskan harta itu di jalan yang benar kemudian ada ora ng yang berkata, “Seandainya akudiberikan sebagaimana apa yang diberikan kepada si fulan niscaya aku akan beramal sebagaimana apa yang dia lakukan.”.”(HR.
Bukhari dalam
Kitab Fadha’il al-Qur’an [5026]) [7] al- Qur’an dan Syafa’at
Dari Abu Umamah al-Bahili
radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bacalah al-Qur’an!
Sesungguhnya kelak ia akan datang pada hari kiamat untuk memberikan syafa’at bagi penganutnya.” (HR. Muslim dalam Kitab
Sholat al-Musafirin [804]) [8] al- Qur’an dan Pahala Yang Berlipat-LipatDari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membaca satu
huruf dalam Kitabullah maka dia akan mendapatkan satu kebaikan. Satu kebaikan itu akan dibalas dengan sepuluh kali lipatnya.
Aku tidak mengatakan bahwa Alif Lam Mim satu huruf. Akan tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf, dan Mim satu huruf.” (HR.
Tirmidzi dalam Kitab Tsawab al-
Qur’an [2910], disahihkan oleh Syaikh al-Albani) [9] al- Qur’an Menentramkan Hati
Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan hati mereka bisa merasa tentram dengan mengingat Allah,
ketahuilah bahwa hanya dengan mengingat Allah maka hati akan merasa tentram.” (QS. ar-Ra’d: 28). Ibnul
Qayyim rahimahullah menye butkan bahwa pendapat terpilih mengenai makna ‘mengingat Allah’ di sini adalah mengingat/merenungkan al-
Qur’an. Hal itu disebabkan hati manusia tidak akan bisa merasakan ketentraman kecuali dengan iman dan keyakinan yang tertanam di dalam hatinya. Sementara iman dan keyakinan tidak bisa diperoleh kecuali dengan menyerap bimbingan al-
Qur’an (lihat Tafsir al-Qayyim, hal. 324)
[10] al- Qur’an dan as-Sunnah Rujukan Umat
Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul, dan juga ulil amri di antara
kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan rasul, jika kalian benar -benar
beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. an-Nisaa’: 59)Maimun bin Mihran berkata,
“Kembali kepada Allah adalah kembali kepada Kitab-Nya. Adapun kembali kepada rasul adalah
kembali kepada beliau di saat beliau masih hidup, atau kembali kepada Sunnahnya setelah beliau wafat.” (lihat ad-Difa’ ‘anis
Sunnah, hal. 14) [11] al- Qur’an Dijelaskan oleh as-SunnahAllah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami turunkan kepadamu adz-Dzikr/al-Qur’an supaya kamu menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka itu, dan mudah- mudahan mereka mau berpikir.” (QS. an-Nahl: 44).
Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa menaati rasul itu maka sesungguhnya dia telah menaati Allah.” (QS. an-Nisaa’:
80). Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada bagi kalian teladan yang baik pada diri Rasulullah, yaitu bagi orang yang m engharapkan Allah dan hari akhir.” (QS. al-Ahzab: 21)
Mak-hul berkata,
“al-Qur’an lebih membutuhkan kepada as-Sunnah dibandingkan kebutuhan as-Sunnah kepada al-
Qur’an.” (lihat ad-Difa’ ‘anis Sunnah, hal. 13). Imam Ahmad berkata, “Sesungguhnya as-Sunnah itu menafsirkan al-Qur’an dan
menjelaskannya.” (lihat ad-Difa’ ‘anis Sunnah, hal. 13)
Adab Membaca Al-Quran
Al Qur’anul Karim adalah firman Alloh yang tidak mengandung kebatilan sedikitpun.memberi petunjuk jalan yang lurus dan memberi bimbingan kepada umat manusia di dalam menempuh perjalanan hidupnya, agar selamat di dunia dan di akhirat, dan dimasukkan dalam golongan orang- orang yang mendapatkan rahmat dari Alloh Ta’ala. Untuk itulah tiada ilmu yang lebih utama dipelajari oleh seorang muslim melebihi keutamaan mempelajari Al-
Qur’an. Sebagaimana sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa
sallam, “Sebaik-baik kamu adalah orang yg mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
Ketika membaca Al- Qur’an, maka seorang muslim perlu memperhatikan adab-adab berikut ini untuk mendapatkan kesempurnaan pahala dalam membaca Al- Qur’an:
Dalam membaca Al- Qur’an seseorang dianjurkan dalam keadaan suci. Namun, diperbolehkan apabila dia membaca dalam keadaan terkena najis. Imam Haromain berkata,
“Orang yang membaca Al-Qur’an dalam keadaan najis, dia tidak dikatakan mengerjakan hal yang makruh, akan tetapi dia meninggalkan sesuatu yang utama.” (At-Tibyan, hal. 58-59)
2. Membacanya dengan pelan (tartil) dan tidak cepat, agar dapat menghayati ayat yang dibaca.
Rosululloh bersabda, “Siapa saja yang membaca Al-Qur’an (khatam) kurang dari tiga hari, berarti dia tidak memahami.” (HR. Ahmad dan para penyusun kitab-kitab Sunan) Sebagian sahabat membenci pengkhataman Al- Qur’an sehari semalam, dengan dasar hadits di atas. Rosululloh telah memerintahkan Abdullah Ibnu Umar untuk mengkhatam kan Al- Qur’an setiap satu minggu (7 hari) (HR. Bukhori, Muslim).
Sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin Mas’ud, Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit, mereka mengkhatamkan Al-Qur’an sekali dalam seminggu.
3. Membaca Al- Qur’an dengan khusyu’, dengan menangis, karena sentuhan pengaruh ayat yang dibaca bisa menyentuh jiwa dan perasaan.
Alloh Ta’ala menjelaskan sebagian dari sifat-sifat hamba-Nya yang shalih, “Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil
menangis dan mere ka bertambah khusyu’.” (QS. Al-Isra’: 109). Namun demikian tidaklah disyariatkan bagi seseorang untuk pura-
pura menangis dengan tangisan yang dibuat-buat.
4. Membaguskan suara ketika membacanya.
Sebagaimana sabda Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Hiasilah Al-Qur’an dengan suaramu.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan
Al-Hakim). Di dalam hadits lain dijelaskan,
“Tidak termasuk umatku orang yang tidak melagukan Al-Qur’an.” (HR. Bukhari dan
Muslim). Maksud hadits ini adalah membaca Al- Qur’an dengan susunan bacaan yang jelas dan terang makhroj hurufnya, panjang pendeknya bacaan, tidak sampai keluar dari ketentuan kaidah tajwid. Dan seseorang tidak perlu melenggok -lenggokkan suara di luar kemampuannya.
5. Membaca Al- Qur’an dimulai dengan isti’adzah.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan bila kamu akan membaca Al-Qur’an, maka mintalah perlindungan kepada
Alloh dari (godaan- godaan) syaithan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl: 98)
Membaca Al- Qur’an dengan tidak mengganggu orang yang sedang shalat, dan tidak perlu membacanya dengan suara yang terlalu keras atau di tempat yang banyak orang. Bacalah dengan suara yang lirih secara
khusyu’.
Rosululloh
shollallohu ‘alaihiwasallam bersabda, “Ingatlah bahwasanya setiap dari kalian bermunajat kepada Rabbnya, maka
janganlah salah satu dari kamu mengganggu yang lain, dan salah satu dari kamu tidak boleh bersuara lebih keras daripada yang
lain pada saat membaca (Al- Qur’an).” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Baihaqi dan Hakim).
Kaedah Penting dalam Memahami Al Qur’an dan Hadits
Umat Islam memiliki modal yang sangat besar untuk bersatu, karena mereka beribadah kepada ilaah (Tuhan) yang satu, mengikuti nabi yang satu, berpedoman kepada kitab suci yang satu, berkiblat kepada kiblat yang satu. Selain itu, ada jaminan dari Allah dan Rasul-Nya, bahwa mereka tidak akan sesat selama mengikuti petunjuk Allah
Subhanahu wa Ta’ala, berpegang-teguh kepada
Alquran dan al Hadits. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang
mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan -Ku, maka
sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan
buta.” (Q.S Thaha: 123, 124).
Dalam menjelaskan kedua ayat ini, Abdullah bin Abbas berkata, “Allah menjamin kepada siapa saja yang membaca Alquran dan mengikuti apa- apa yang ada di dalamnya, bahwa dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.” [Tafsir ath
Thabari, 16/225].
Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul -Nya.
” (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim,
al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam
At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).
Inilah yang menimbulkan keprihatinan, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa umat Islam telah berpecah-belah menjadi banyak golongan. Antara satu dengan lainnya memiliki prinsip-prinsip yang berbeda, bahkan kadang-kadang saling bertentangan. Kenyataan seperti ini menjadi bukti kebenaran nubuwwah (kenabian) Rasulullah Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau
telah memberitakan iftiraqul ummah (perpecahan umat Islam) ini semenjak hidup beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Walaupun
demikian, kita tidak boleh pasrah terhadap kenyataan yang ada, bahkan kita diperintahkan untuk mengikuti syar iat dalam keadaan apa saja. Sedangkan syariat telah memerintahkan agar kita bersatu di atas al-haq, di atas Sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya radhiallahu ‘anhum.
Salah satu hal terpenting untuk menyatukan umat ini ialah, umat harus mengikuti kaidah yang benar dalam memahami al-Kitab dan as-Sunnah.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata, “Pada zaman ini, kita hidup bersama kelompok-kelompok orang yang semua mengaku bergabung dengan Islam. Mereka meyakini bahwa Islam adalah Alquran dan as-Sunnah, tetapi kebanyakan mereka tidak ridha berpegang dengan perkara ketiga yang telah dijelaskan, yaitu sabilul mukminin (jalan kaum mukminin), jalan para sahabat yang dimuliakan dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan sebaik- baiknya dari kalangan tabi’in dan para pengikut mereka, sebagaimana telah kami jelaskan di dalam hadits “Sebaik-baik manusia adalah generasiku”, dan seterusnya. Oleh karena itu, tidak merujuk kepada Salafush Shalih dalam pemahaman, pemikiran dan pe ndapat, merupakan penyebab utama yang menjadikan umat Islam berpecah-belah menuju jalan-jalan yang banyak. Maka, barangsiapa benar-benar menghendaki, kembalilah kepada al-Kitab dan as-Sunnah, yaitu wajib kembali kepada apa yang ada pada para sahabat Nabi s
hallallahu ‘alaihi
wa sallam
, para tabi’in dan para pengikut mereka setelah mereka.” [Manhaj as Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin al Albani, hlm. 27, karya Syaikh ‘Amr Abdul Mun’im Saliim].
Syaikh Dr. Nashir bin Abdul Karim al ‘Aql hafizhahullah menjelaskan kaidah-kaidah dan rujukan dalam memahami nash-nash (teks- teks) Alquran dan al-Hadits di kitab kecil beliau, Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah. Beliau menyatakan, rujukan di dalam memahami al-Kitab dan as-Sunnah adalah nash-nash yang menjelaskannya, juga pemahaman Salafush Shalih dan imam- imam yang mengikuti jalan mereka. Dan apa yang telah pasti dari hal itu, tidak dipertentangkan dengan kemungkinan- kemungkinan (makna) bahasa [ Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hlm. 7, Penerbit Darul Wathan]. Alquran dan as-Sunnah, keduanya merupakan wahyu Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga, di antara keduanya sama sekali tidak
terdapat pertentangan di dalamnya. Oleh karena itul, cara memahami al-Kitab dan as-Sunnah ialah dengan nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah itu sendiri. Karena yang paling mengetahui maksud suatu perkataan, hanyalah pemilik perkataan tersebut. Para ulama menyebutkan kaidah di dalam memahami dan menafsirkan Alquran sebagai berikut:
Menafsirkan Alquran dengan Alquran
Menafsirkan Alquran dengan as-Sunnah
Menafsirkan Alquran dengan perkataan-perkataan para sahabat Menafsirkan Alquran dengan perkataan- perkataan para tabi’in
Menafsirkan Alquran dengan bahasa Alquran dan as-Sunnah, atau keumumam bahasa Arab
Al-Hafizh Ibnu Katsir menyatakan, jalan yang paling benar dalam menafsirkan Al Quran ialah:
Alquran ditafsirkan dengan Alquran. Karena apa yang disebutkan oleh Alquran secara global di satu tempat, terkadang telah dijelaskan pula dalam Alquran secara luas di tempat yang lain.
Jika hal itu menyusahkanmu [yakni Anda tidak mendapatkan penjelasan ayat dari ayat lainnya, Pen.], maka engkau wajib me-ruju` kepada as-Sunnah, karena ia merupakan penjelas bagi Alquran.
Jika tidak mendapatkan tafsir di dalam Alquran dan as-Sunnah, dalam hal ini kita me-ruju` kepada perkataan para sahabat. Mereka lebih mengetahui tentang hal itu, karena mereka menyaksikan alamat -alamat dan keadaan-keadaan yang mereka mendapatkan keistimewaan tentangnya [yaitu hanya generasi sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu dan yang menjadi penyebab turunnya. Demikian juga Rasulullah bersama mereka, sehingga para sahabat dapat menanyakan ayat -ayat yang susah difahami. Adapun generasi setelah sahabat tidak mendapatkan hal-hal seperti di atas, Pen.]. Juga karena para sahabat memiliki pemahaman yang sempurna, ilmu yang benar, dan amal yang shalih. Terlebih para ulama sahabat dan para pembesar mereka, seperti imam empat, yaitu khulafaur rasyidin, para imam yang mengikuti petunjuk dan mendapatkan petunjuk, Abdullah bin Mas’ud, juga al-habrul al-bahr (seorang ‘alim dan banyak ilmunya) Abdullah bin Abbas.
Jika engkau tidak mendapatkan tafsir di dalam Alquran dan as-Sunnah, dan engkau tidak mendapatinya dari para sahabat, maka dalam hal ini banyak para imam me-ruju` kepada perkataan- perkataan tabi’in, seperti Mujahid bin Jabr, karena beliau merupakan ayat (tanda kebesaran Allah) dalam bidang tafsir. Juga seperti Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah maula Ibnu Abbas, ‘Atha bin Abi Rabah, al-Hasan al-Bashr i, Masruq bin al Ajda’, Sa’id bin al-Musayyib, Abul ‘Aliyah, Rabii’ bin Anas, Qatadah, adh- Dhahhak bin Muzahim, dan lainnya dari kalangan tabi’in (generasi setelah sahabat), dan tabi’ut tabi’in (generasi setelah tabi’in). (Perkataan-perkataan tabi’in bukanlah hujjah jika mereka berselisih), namun jika mereka sepakat terhadap sesuatu, maka tidak diragukan bahwa itu merupakan hujjah.
Jika mereka berselisih, maka perkataan sebagian mereka bukanlah hujjah terhadap perkataan sebagian yang lain, dan bukan hujjah atas orang-orang setelah mereka. Dalam masalah itu, maka tempat kembali ialah kepada bahasa Alquran dan as-Sunnah, atau keumumam bahasa Arab, atau perkataan para sahabat dalam masalah tersebut. Adapun menafsirkan Alquran semata-mata hanya dengan pikiran (a kal), maka (hukumnya) haram.” (Tafsir al-Qur`anul Azhim, Muqaddimah, 4-5). Adapun kewajiban berpegang sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih, yaitu para sahabat, tabi’in, dan para imam yang mengikuti jalan mereka, maka dalil-dalilnya sangat banyak, antara lain: Firman Allah
Ta’ala, “Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. ” (Q.S an-Nisaa` : 115).Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya, keduanya itu (yaitu menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan ora ng-orang mukmin, Pen.) saling berkaitan. Semua orang yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, berarti dia mengikuti jalan yang bukan jalan orang -orang mukmin. Dan semua orang yang mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, berarti dia menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya.” (Majmu’ Fatawa, 7/38).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang mengiringi mereka (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringi mereka (yaitu generasi tabi’ut tabi’in). (Hadits mutawatir, Bukhari, no. 2652, 3651, 6429; Muslim, no. 2533; dan lainnya).
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Sesungguhnya, Bani Israil telah berpecah-belah menjadi 72 agama. Dan
sesungguhnya umatku akan berpecah-belah menjadi 73 agama. Mereka semua di dalam neraka kecuali satu agama. Mereka
(para sahabat) bertanya, “Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab , “Siapa saja yang
mengikutiku dan sahabatku.” (H.R Tirmidzi, no. 2565; al-Hakim, Ibnu Wadhdhah; dan lainnya; dari Abdullah bin ’Amr. Dihasankan
oleh Syaikh Salim al Hilali di dalam Nash-hul Ummah, hlm. 24). Berpegang teguh kepada Sunnah (ajaran) Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah (ajaran) para khulafaur rasyidin dan
para sahabat inilah solusi di saat umat menghadapi perselisihan, tidak ada jalan lain!
Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan
taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun (ia) seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup
setelahku, ia akan melihat perselishan yang banyak. Maka wajib bagi kamu berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khalifah
yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah, dan giggitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam
agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat. ” (H.R Abu Dawud, no. 4607;
Tirmidzi, 2676; ad-Darimi; Ahmad; dan lainnya dari al- ‘Irbadh bin Sariyah).Jika suatu istilah telah jelas maknanya menurut al-Kitab, as-Sunnah, sesuai dengan pemahaman para ulama Salaf, atau telah terjadi ijma`, maka seorang pun tidak boleh menyelisihinya dengan alasan makna bahasa.
Sebagai contoh, istilah rasul, secara bahasa artinya orang yang diutus. Sedangkan menurut istilah syara ’ -menurut al-Kitab dan as-
Sunnah sesuai dengan pemahaman ulama- rasul adalah seorang manusia, laki-laki, diberi wahyu syariat (yang baru), dan diperintah untuk menyampaikan kepada umatnya (orang-orang kafir). Dan rasul yang terakhir adalah Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam [lihat: ar-Rusul war-Risalat, hlm. 14, 15, Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar; Al-Irsyad ila Shahihil Itiqad, hlm. 203,
Syaikh Shalih al Fauzan].Namun, ada sebagian orang yang menyimpang memiliki anggapan bahwa setiap mubaligh adalah rasul, dan rasul tetap diutus sampai hari Kiamat. Alasan yang dikemukakan ialah, karena secara bahasa, rasul artinya orang yang diutus. Pemahaman seperti ini adalah bid’ah, sesat dan menyesatkan [penulis pernah ikut membantah seorang mubaligh dari Gemolong, Sragen, Jawa Tengah, yang mengaku sebagai rasul. Dia beralasan, rasul artinya ialah orang yang diutus. Sedangkan orang i ni mengaku sendiri, bila ia tidak mengerti bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya! Lihat juga Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, hlm. 32, Hartono Ahmad Jaiz].
Contoh lainnya, seperti istilah qurban, secara bahasa artinya mendekat, atau semua yang digunakan untuk mendekatkan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala [lihat Mu’jamul Wasith, Bab ق ر ب]. Sedangkan menurut istilah syara’, menurut al-Kitab dan as-Sunnah
- sesuai dengan pemahaman ulama - qurban adalah binatang ternak yang disembelih pada hari raya qurban (10 Dzulhijjah) dan hari-hari tasyrik untuk mendekatkan diri kepada Allah [Al-Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz , hlm. 405, Syaikh Abdul ‘Azhim al Badawi, Penerbit Dar Ibnu Rajab, Cet. 3, Th. 1421H/2001M]. Tetapi, Kelompok al-Zaitun, dengan alasan arti qurban secara bahasa, kemudian mengusulkan dan mempraktekkan qurban dengan bentuk uang untuk membangun sarana pendidikan, dan manganggapnya sebagai qurban yang optimis dan berwawasan masa depan. Pemahaman seperti ini adalah bid’ah, sesat dan menyesatkan [lihat Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, hlm. 48, Hartono Ahmad Jaiz]. Ini sebagian contoh kasus tentang kesalahan memahami istilah agama Islam, karena semata -mata me-ruju` kepada arti bahasa. Kasus seperti ini sangat banyak. Semua ini menyadarkan kita tentang perlunya memahami al-Kitab dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih. Tentu pemahaman tersebut melalui para ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah, atau para ustadz yang dikenal kelurusan aqidah dan manhaj mereka, serta amanah mereka dalam menyampaikan Hal itu dapat secara langsung berguru kepada mereka, atau lewat tulisan, kaset, dan semacamnya. Semoga Allah selalu membimbing kita di atas jalan kebenaran.
Tafsir Surat Al-Fatihah
Keutamaan Surat Al-Fatihah Pertama: Membaca Al-Fatihah Adalah Rukun ShalatNabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al Fatihah).” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu)
Dalam sabda yang lain beliau mengatakan yang artinya,
“Barangsiapa yang shalat tidak membaca Ummul Qur’an (surat Al Fatihah) maka shalatnya pincang (khidaaj).” (HR. Muslim)
Makna dari khidaaj adalah kurang, sebagaimana dijelaskan dalam hadits tersebut,
“Tidak lengkap”. Berdasarkan hadits ini dan
hadits sebelumnya para imam seperti imam Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan para sahabatnya, serta mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum membaca Al Fatihah di dalam shalat adalah wajib, tidak sah shalat tanpanya.
Kedua: Al Fatihah Adalah Surat Paling Agung Dalam Al Quran
Dari Abu Sa’id Rafi’ Ibnul Mu’alla radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku,
“Maukah kamu aku ajari sebuah surat paling agung dalam Al Quran sebelum kamu keluar dari masjid nanti?” Maka
beliau pun berjalan sembari menggandeng tanganku. Tatkala kami sudah hampir keluar maka aku pun berkata; Wahai Rasulullah,
Anda tadi telah bersabda, “Aku akan mengajarimu sebuah surat paling agung dalam Al Quran?” Maka beliau bersabda, “(surat itu
adalah) Alhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin (surat Al Fatihah), itulah As Sab’ul Matsaani (tujuh ayat yang sering diulang -ulang dalam
shalat) serta Al Quran Al ‘Azhim yang dikaruniakan kepadaku.” (HR. Bukhari, dinukil dari Riyadhush Shalihin cet. Darus Salam, hal.
270)
Penjelasan Tentang Bacaan Ta’awwudz dan Basmalah
Makna bacaan Ta’awwudz Artinya:
“Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.”
Maknanya:
“Aku berlindung kepada Allah dari kejelekan godaan syaitan agar dia tidak menimpakan bahaya kepadaku dalam
urusan agama maupun duniaku.” Syaitan selalu menempatkan dirinya sebagai musuh bagi kalian. Oleh sebab itu maka jadikanlah
diri kalian sebagai musuh baginya. Syaitan bersumpah di hadapan Allah untuk menyesatkan umat manusia. Allah menceritakan sumpah syaitan ini di dalam Al Quran,
“Demi kemuliaan-Mu sungguh aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba- hamba-Mu yang terpilih (yang diberi a nugerah keikhlasan).” (QS. Shaad: 82-83) Dengan demikian tidak ada yang bisa selamat dari jerat -jerat syaitan kecuali orang-orang yang ikhlas.
Isti’adzah/ta’awwudz (meminta perlindungan) adalah ibadah. Oleh sebab itu ia tidak boleh ditujukan kepada selain Allah. Karena menujukan ibadah kepada selain Allah adalah kesyirikan. Orang yang baik tauhidnya akan senantiasa merasa khawatir kalau- kalau dirinya terjerumus dalam kesyirikan. Sebagaimana Nabi Ibrahim
‘alaihis salam yang demikian takut kepada syirik sampai-
sampai beliau berdoa kepada Allah,
“Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan berhala.” (QS. Ibrahim: 35)
Ini menunjukkan bahwasanya tauhid yang kokoh akan menyisakan kelezatan di dalam hati kaum yang beriman. Yang bisa merasakan kelezatannya hanyalah orang-orang yang benar-benar memahaminya. Syaitan yang berusaha menyesatkan umat manusia ini terdiri dari golongan jin dan manusia. Hal itu sebagaimana disebutkan oleh Allah di dalam ayat yang artinya,
“Dan
demikianlah Kami jadikan musuh bagi setiap Nabi yaitu (musuh yang berupa) syaithan dari golongan manusia dan jin. Sebagian
mereka mewahyukan kepada sebagian yang lain ucapan- ucapan yang indah untuk memperdaya (manusia).” (QS. Al An’aam: 112)(Diringkas dari Syarhu Ma’aani Suuratil Faatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).
Makna bacaan Basmalah
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”Maknanya;
“Aku memulai bacaanku ini seraya meminta barokah dengan menyebut seluruh nama Allah.” Meminta barokah kepada
Allah artinya meminta tambahan dan peningkatan amal kebaikan dan pahalanya. Barokah adalah milik Allah. Allah memberikannya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Jadi barokah bukanlah milik manusia, yang bisa mereka berikan kepada siapa saja yang mereka kehendaki ( Syarhu Ma’aani Suratil Fatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah). Allah adalah satu-satunya sesembahan yang berhak diibadahi dengan disertai rasa cinta, takut dan harap. Segala bentuk ibadah hanya boleh ditujukan kepada-Nya. Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah dua nama Allah di antara sekian banyak
Asma’ul
Husna yang dimiliki-Nya. Maknanya adalah Allah memiliki kasih sayang yang begitu luas dan agung. Rahmat Allah me liputi segala
sesuatu. Akan tetapi Allah hanya melimpahkan rahmat-Nya yang sempurna kepada hamba-hamba yang bertakwa dan mengikuti ajaran para Nabi dan Rasul. Mereka inilah orang-orang yang akan mendapatkan rahmat yang mutlak yaitu rahmat yang akan mengantarkan mereka menuju kebahagiaan abadi. Adapun orang yang tidak bertakwa dan tidak mengikuti ajaran Nabi maka dia akan terhalangi mendapatkan rahmat yang sempurna ini (lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 19).
Penjelasan Kandungan Surat
Makna Ayat Pertama
Artinya:“Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.”
Makna Alhamdu adalah pujian kepada Allah karena sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dan juga karena perbuatan-perbuatanNya yang tidak pernah lepas dari sifat memberikan karunia atau menegakkan keadilan. Perbuatan Allah senantiasa mengandung hikmah yang sempurna. Pujian yang diberikan oleh seorang hamba akan semakin bertambah sempurna apabila diiringi dengan rasa cinta dan ketundukkan dalam dirinya kepada Allah. Karena pujian semata yang tidak disertai dengan rasa cinta dan ketundukkan bukanlah pujian yang sempurna.
Makna dari kata Rabb adalah Murabbi (yang mentarbiyah; pembimbing dan pemelihara). Allahlah Zat yang memelihara seluruh alam dengan berbagai macam bentuk tarbiyah. Allahlah yang menciptakan mereka, memberikan rezeki kepada mereka, memberikan nikmat kepada mereka, baik nikmat lahir maupun batin. Inilah bentuk tarbiyah umum yang meliputi seluruh makhluk, yang baik maupun yang jahat. Adapun tarbiyah yang khusus hanya diberikan Allah kepada para Nabi dan pengikut-pengikut mereka. Di samping tarbiyah yang umum itu Allah juga memberikan kepada mereka tarbiyah yang khusus yaitu dengan membimbing keimanan mereka dan menyempurnakannya. Selain itu, Allah juga menolong mereka dengan menyingkirkan segala macam penghalang dan rintangan yang akan menjauhkan mereka dari kebaikan dan kebahagiaan mereka yang abadi. Allah memberikan kepada mereka berbagai kemudahan dan menjaga mereka dari hal-hal yang dibenci oleh syariat.
Da ri sini kita mengetahui betapa besar kebutuhan alam semesta ini kepada Rabbul ‘alamiin karena hanya Dialah yang menguasai itu semua. Allah satu-satunya pengatur, pemberi hidayah dan Allah lah Yang Maha kaya. Oleh sebab itu semua makhluk yang ada di langit dan di bumi ini meminta kepada-Nya. Mereka semua meminta kepada-Nya, baik dengan ucapan lisannya maupun dengan ekspresi dirinya. Kepada-Nya lah mereka mengadu dan meminta tolong di saat-saat genting yang mereka alami (lihat Taisir Lathiifil Mannaan, hal. 20).
Makna Ayat Kedua
Artinya: “Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”Ar-Rahman dan Ar-Rahiim
adalah nama Allah. Sebagaimana diyakini oleh Ahlusunnah wal Jama’ah bahwa Allah memiliki nama - nama yang terindah. Allah ta’ala berfirman, “Milik Allah nama-nama yang terindah, maka berdo’alah kepada Allah dengan
menyebutnya.” (QS. Al A’raaf: 180)
Setiap nama Allah mengandung sifat. Oleh sebab itu beriman kepada nama -nama dan sifat-sifat Allah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keimanan kepada Allah. Dalam mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah ini kaum muslimin terbagi menjadi 3 golongan yaitu: (1) Musyabbihah, (2) Mu’aththilah dan (3) Ahlusunnah wal Jama’ah.