ANALISIS PERBANDINGAN KEBERADAAN EXTENDED SPECTRUM BETA LACTAMASE (ESBL) PADA KLEBSIELLA PNEUMONIAE DARI FESES PERAWAT DI RUANG RAWAT INAP DEWASA DAN RUANG RAWAT INAP ANAK RSUD. Dr. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG

(1)

ABSTRACT

COMPARATIVE ANALYSIS OF THE PRESENCE OF THE EXTENDED SPECTRUM BETA LACTAMASE (ESBL) IN KLEBSIELLA PNEUMONIAE

FROM FAECES SAMPLES OF NURSES IN INPATIENT CHILD AND ADULT INPATIENT RSUD. Dr. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI

LAMPUNG

By

Vina Zulfiani

Background: Nosocomial infections are infections in patients who are in the process treatment in hospital. Klebsiella pneumoniae is one of the important bacterial pathogens in nosocomial infections. Class of beta-lactam antibiotics are the most commonly used antibiotics in the treatment of infections Klebsiella pneumonia. As the running time, antibiotics are becoming less sensitive due to improper usage, so it appears resistant bacteria that have mutated and produce enzymes Extended Spectrum Beta lactamase

(ESBL). The aim of this study was to compare the presence of Extended-spectrum β -lactamase (ESBL) produced by Klebsiella pneumoniae in faeces samples of nurses in inpatient adult and children's inpatient hospital Abdul Moeloek Bandar Lampung. Methods: This research was conducted with cross sectional approach. Klebsiella pneumoniae examination conducted by the bacteria identification test of stool samples of nurses in inpatient children and adults. The resistance test by Kirby bauer method and test for the presence of ESBL by Double Diffusion Test (DDT) methods.

Results: Results of this study showed that Klebsiella pneumoniae was found 5,9% in inpatient children, 8,8% in the adult inpatient unit and besides Klebsiella pneumoniae are found as much as 85,3%. ESBL is not found in DDT test, so it could not analyzed statistically.

Conclusions: There is no comparison of the presence of Extended-Spectrum β-lactamase

(ESBL) produced by bacteria Klebsiella pneumoniae in faeces samples of nurses in inpatient adult and children's inpatient hospital Abdul Moeloek Bandar Lampung.


(2)

ABSTRAK

ANALISIS PERBANDINGAN KEBERADAAN EXTENDED SPECTRUM BETA LACTAMASE (ESBL) PADA KLEBSIELLA PNEUMONIAE DARI

FESES PERAWAT DI RUANG RAWAT INAP DEWASA DAN RUANG RAWAT INAP ANAK RSUD. Dr. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI

LAMPUNG

Oleh

Vina Zulfiani

Latar Belakang: Infeksi nosokomial adalah infeksi pada pasien yang sedang dalam proses perawatan di rumah sakit. Klebsiella pneumoniae merupakan salah satu bakteri patogen penting dalam infeksi nosokomial. Antibiotik golongan betalaktam merupakan antibiotik yang paling sering digunakan dalam penanganan infeksi Klebsiella pneumonia. Seiring berjalan waktu, antibiotik ini menjadi kurang sensitif akibat penggunaan yang tidak sesuai, sehingga munculah bakteri resisten yang telah bermutasi dan menghasilkan enzim

Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan keberadaan Extended spectrum β-lactamase (ESBL) yang dihasilkan bakteri Klebsiella pneumoniae sampel feses perawat di ruang rawat inap dewasa dan ruang rawat inap anak RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung.

Metode: Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan cross sectional. Pemeriksaan

Klebsiella pneumoniae dilakukan dengan uji identifikasi bakteri dari sampel feses perawat diruang rawat inap anak dan dewasa. Uji resistensi dengan metode kirby bauer

dan uji keberadaan ESBL dengan metode Double Diffusion Test (DDT).

Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ditemukan Bakteri Klebsiella pneumoniae

5,9% % di ruang rawat inap anak, sebanyak 8,8% diruang rawat inap dewasa dan bakteri selain Klebsiella pneumoniae yang ditemukan sebanyak 85,3%. Tidak ditemukan ESBL pada uji DDT sehingga tidak dapat diuji analisis secara statistik.

Simpulan: Tidak terdapat perbandingan keberadaan Extended Spectrum β-lactamase

(ESBL) yang dihasilkan bakteri Klebsiella pneumoniae sampel feses perawat di ruang rawat inap dewasa dan ruang rawat inap anak RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung. Kata kunci: ESBL, feses, Klebsiella pneumoniae, perawat.


(3)

FESES PERAWAT DI RUANG RAWAT INAP DEWASA DAN RUANG RAWAT INAP ANAK RSUD. Dr. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI

LAMPUNG

Oleh VINA ZULFIANI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Jurusan Pendidikan Dokter

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2016


(4)

ANALISIS PERBANDINGAN KEBERADAAN EXTENDED SPECTRUM BETA LACTAMASE (ESBL) PADA KLEBSIELLA PNEUMONIAE DARI FESES PERAWAT DI RUANG RAWAT INAP DEWASA DAN RUANG RAWAT INAP ANAK RSUD. Dr. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI

LAMPUNG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

2016 Oleh

VINA ZULFIANI (Skripsi)


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Mikroskopis Klebsiella pneumoniae... 13

2. Koloni Klebsiella pneumoniae... 14

3. Peningkatan zona hambat ke arah amoksiklav... 31

4. Prosedur Uji Double Diffusion Test... 32

5. Kerangka Teori ………... 36

6. Kerangka Konsep... 36

7. Alur Penelitian... 53

8. Distribusi Bakteri Yang Ditemukan di Feses... 57


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

DAFTAR ISI ……….... ii

DAFTAR TABEL ………...…... iv

DAFTAR GAMBAR ………. . v

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ………... 1

1.2.Rumusan Masalah... 5

1.3.Tujuan Penelitian ……….. 5

1.4.Manfaat Penelitian ……….... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Infeksi Nosokomial... 8

2.2. Klebsiella pneumoniae... 11

2.1.1. Taksonomi... 12

2.1.2. Morfologi Klebsiella pneumoniae... 13

2.1.3. Struktur Antigen... 14

2.3.Antibiotik 2.3.1. Aktivitas dan Spektrum Antibiotik... 15

2.3.2. Mekanisme Kerja... 16

2.3.3. Golongan Antibiotik... 17

2.3.4. Cefotaxim, Ceftazidim dan Asam Klavulanat... 21

2.3.5. Mekanisme Resistensi Antibiotik... 23

2.4.Uji Sensitivitas Antibiotik... 25

2.5.Enzim B- Laktamase dab Extended Spectrum B- Lactamase (ESBL) 2.5.1. Definisi... 26

2.5.2. Klasifikasi... 27

2.5.3. Identifikasi ESBL... 30

2.6.Tenaga Medis dan Paramedis... 32

2.6.1. Personal Hygiene Pada Perawat... 33

2.7.Kerangka Teori ... 34


(7)

2.9.Hipotesis ... 37

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian ………..……...……… 38

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ………...……... 38

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi... 38

3.3.2. Kriteria Inklusi... 39

3.3.3. Kriteria Eksklusi... 39

3.3.4. Sampel... 39

3.4. Alat Dan Bahan Penelitian 3.4.1. Alat Penelitian... 40

3.4.2. Bahan Penelitian... 40

3.5. Definisi Operasional 3.5.1. Variabel Penelitian... 41

3.5.2. Definisi Operasional... 41

3.6. Prosedur Penelitian 3.6.1. Sterilisasi Alat... 42

3.6.2. Penyiapan dan Pembuatan Media... 43

3.6.3. Pengambilan dan transpor sampel tinja... 44

3.6.4. Prosedur untuk mengumpulkan bahan tinja... 45

3.6.5. Pemeriksaan visual spesimen tinja... 45

3.6.6. Isolasi Bakteri dari Sampel Feses... 46

3.6.7. Identifikasi bakteri/Uji biokimia... 46

3.6.8. Uji Resistensi... 49

3.6.9. Uji konfirmasi dengan Metode difusi Kirby Bauer menggunakan Disc Diffusion Test (DDT)... 51

3.7. Alur Penelitian ………...……….. 53

3.8. Pengolahan Data... 54

3.9. Aspek Etika... 54

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian... 55

4.2 Pembahasan... 61

4.3 Keterbatasan Penelitian... 67

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan... 68

5.2 Saran... 69

DAFTAR PUSTAKA... 70


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Definisi Operasional ……...………...………....……….…... 42

2. Kriteria penilaian diameter zona hambatan beberapa antibiotik untuk bakteri Enterobacteriaceae berdasarkan CSLI (Clinical Laboratory Standards Institude)... 51

3. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... 55

4. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Kerja... 56

5. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... 56

6. Distribusi Pembagian Klebsiella pneumoniae... 58

7. Distribusi Kepekaan Antibiotik... 59


(9)

(10)

Sebuah persembahan untuk Orang tua dan

Keluarga

Menuntut Ilmu adalah Taqwa Menyampaikan Ilmu adalah Ibadah Mengulang Ilmu adalah Zikir Mencari Ilmu adalah Jihad (Imam Al Ghazali)


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Metro pada 17 Maret 1995, sebagai anak pertama dari dua bersaudara, dari Bapak Zulkifli S dan Ibu Sri Hardiyani.

Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) diselesaikan di TK Al-qur’an Metro pada tahun 2000, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di Al-qur’an Metro pada tahun 2006, Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan SMP Kartikatama Metro pada tahun 2009, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Islamic Village Karawaci, Tangerang diselesaikan pada tahun 2012.

Pada tahun 2012, penulis terdaftar sebagai mahasiswa pada Fakultas Kedokteran Universitas Lampung (FK Unila) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Tertulis. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah aktif aktif sebagai staff ahli akademik pada organisasi Forum Studi Islam (FSI) Ibnu Sina tahun 2012-2014.


(12)

(13)

SANWACANA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu. Shalawat beserta salam semoga senantiasa tercurah kepada suri tauladan dan nabi akhir zaman Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarganya, para sahabatnya, dan kita selaku umatnya sampai akhir zaman.

Skripsi dengan judul “Analisis perbandingan keberadaan Extended spectrum β -lactamase (ESBL) yang dihasilkan bakteri oleh Klebsiella pneumoniae pada sampel feses tenaga medis di ruang rawat inap dewasa dan ruang rawat inap anak RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung”

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. dr. Muhartono, M.Kes, Sp.PA, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

2. Prof. Dr. dr. Efrida Warganegara, M.Kes, Sp.MK, selaku Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dan Selaku Pembimbing Utama atas


(14)

kesediaannya memberikan bimbingan, motivasi, saran, kritik, dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

3. dr. Tri Umiana Soleha, M.Kes, selaku Pembimbing Kedua atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran, kritik, dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

4. dr. Ety Apriliana, M.Biomed, selaku Penguji Utama pada ujian skripsi; terima kasih atas masukan dan saran-saran dalam proses penyelesaian skripsi ini. 5. dr. Khairun Nisa Berawi, M.Kes., AIFO selaku Pembimbing Akademik yang

telah memberikan arahan dan motivasi selama masa perkuliahan dan dalam penyusunan skripsi ini.

6. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Mbah Putri, Papa, Mama, Mami dan Adikku Aldi yang selama ini mendoakan, mendukung dan memberi semangat walaupun dari jauh.

7. Seluruh dokter dan staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, terima kasih telah banyak memberikan pemahaman dan tambahan wawasan ilmu pengetahuan serta pengalaman untuk mencapai cita-cita. Bapak dan Ibu Staf pegawai dan karyawan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya selama ini.

8. Eva Nur Lizar, Jose Adelina dan Widyastuti Ayu yang selalu menemani, berbagi tangis dan tawa selama kuliah dan selamanya.

9. Hera Julia Garamina yang selalu ada dan bersama saat melakukan penelitian ini, serta keluarga FK Unila 2012 terima kasih atas segala bantuan dan kesertaannya yang secara langsung berada disekitarku dalam menjalani proses pendidikanku.


(15)

Penulis berdoa semoga segala bantuan yang diberikan mendapat balasan baik dari Allah SWT. Aamiin. Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Bandar Lampung, Februari 2016. Penulis


(16)

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rumah sakit merupakan tempat dimana orang yang sakit dirawat dan ditempatkan dalam jarak yang sangat dekat. Di tempat ini pasien mendapatkan terapi dan perawatan untuk dapat sembuh. Tetapi, rumah sakit selain untuk mencari kesembuhan, juga merupakan tempat berbagai macam penyakit terutama penyakit yang disebabkan oleh bakteri, yang merupakan penyebab utama penyakit infeksi (Noer, 2012).

Cara penularan bakteri dapat melalui udara, pengunjung, kontak langsung dengan pasien yang terinfeksi atau melalui perantara petugas medis yaitu dokter, paramedis yaitu perawat, bidan dan petugas lainnya (Noer, 2012). Salah satu penyakit infeksi yang merupakan penyebab meningkatnya angka kesakitan dan angka kematian di rumah sakit adalah infeksi nosokomial (Purnomo, Andaru dan Prabowo 2012).

Infeksi nosokomial adalah infeksi pada pasien yang sedang dalam proses perawatan di rumah sakit dan didapatkan setelah 72 jam sejak mulai perawatan. Sumber infeksi nosokomial dapat hidup dan berkembang dilingkungan rumah sakit, seperti udara, air, lantai, makanan, serta


(18)

benda-2

benda medis maupun non medis. Infeksi dapat melalui tangan petugas kesehatan atau peralatan yang digunakan pada pasien serta personal hygiene yang kurang baik (Hapsari dan Kurniawan, 2007)

Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial adalah bakteri (Novelni, 2011). Bakteri patogen penyebab infeksi nosokomial yang paling umum adalah Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter spp, dan Klebsiella pneumoniae (Tennant dan Harding, 2005; Prabhu et al, 2006). Klebsiella pneumoniae merupakan salah satu anggota famili Enterobacteriaceae dan merupakan salah satu bakteri patogen penting dalam infeksi nosokomial. Bakteri ini berada dalam sistem pernafasan dan pencernaan kurang lebih 5% pada individu normal (Jawetz et al, 2008).

Infeksi pada bakteri Gram negatif, seperti P.aeruginosa, E.coli, Enterobacter spp, dan Klebsiella pneumoniae biasa diobati dengan golongan antibiotika tertentu, seperti antibiotika golongan penicilin (amoksisilin klavulanat, amoksisilin dan ampisilin), aminoglikosida (gentamicin dan tobramicin), sefalosporin (ceftazidime, cefotaxime, cefadroxil dan cefuroxime), kotrimoksazol (Sulfametoxazol /trimetropin), dan kuinolons ( ciprofloxacin dan norfloxacin) (Jawetz et al, 2008).

Antibiotik golongan betalaktam merupakan antibiotik yang paling sering digunakan dalam penanganan infeksi Klebsiella pneumonia. Namun, dengan berjalannya waktu, antibiotik ini menjadi kurang sensitif akibat


(19)

dihasilkannya enzim betalaktamase oleh bakteri. Produksi enzim betalaktamase ini merupakan mekanisme utama terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik betalaktam dengan cara menghidrolisis cincin betalaktam pada antibiotik (Al-Jasser, 2006).

Seiring penggunaan antibiotik yang meluas, timbul permasalahan baru dengan munculnya bakteri resisten yang telah bermutasi menghasilkan enzim Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL). Enzim ESBL ini dapat menghidrolisis penisilin, sefalosporin generasi pertama, kedua, ketiga, dan aztreonam (kecuali sefamisin dan karbapenem). Aktivitas enzim ESBL dapat dihambat oleh inhibitor betalaktamase seperti asam klavulanat. Gen pengkode enzim ESBL berada di plasmid yang mudah dipindahkan ke bakteri lain sehingga terjadi penyebaran resistensi (Winarto, 2009). Bakteri yang paling banyak memproduksi enzim ESBL adalah bakteri famili Enterobacteriaceae, terutama Klebsiella pneumonia dan Escherichia coli (Afunwa et al., 2011).

Studi yang dilakukan oleh PEARLS (The Pan European Antimicrobial Resisstance using Local Surveillance) tahun 2001-2002 didapatkan persentase bakteri Klebsiella pneumonia penghasil enzim ESBL sebesar 18,2 %. Hasil tertinggi didapatkan di Mesir sebesar 38,5 % dan tingkat terendah didapatkan di Belanda yang hanya 2 % (Al-Jasser, 2006). Sedangkan di Indonesia, Prevalensi Enterobacteriaceae penghasil ESBL di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita mencapai 16% dengan penyebab utama di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) Klebsiella


(20)

4

pneumoniae (45%), diikuti oleh E. coli (19%). Di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang, selama kurun waktu 2004-2005 didapatkan proporsi bakteri penghasil ESBL sebesar 50,6% berdasarkan tes skrining awal (Winarto, 2009).

Bakteri yang memproduksi ESBL perlu diwaspadai karena ESBL diproduksi oleh gen yang berlokasi pada plasmid, yang dengan mudahnya dapat berpindah ke bakteri lain. (Wahyono, 2007). Bakteri lain yang telah mendapatkan gen resisten tersebut dapat menginfeksi pasien melalui feses yang dapat menyebar akibat higenitas yang buruk dari perawat. Misalnya seperti mencuci tangan yang kurang baik atau tidak memotong kuku.

Di Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek sendiri belum dilakukan pengujian untuk mengetahui keberadaan enzim ESBL dari feses perawat. Pengujian ini perlu dilakukan mengingat dampak klinis yang ditimbulkan oleh infeksi bakteri penghasil enzim ESBL menimbulkan tantangan yang besar dalam penanganan terhadap infeksi nosokomial yang bisa terjadi pada perawat.

Berdasarkan penjelasan dan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang perbandingan keberadaan Extended spectrum β-lactamase (ESBL) yang dihasilkan bakteri Klebsiella pneumoniae sampel feses perawat di ruang rawat inap dewasa dan ruang rawat inap anak RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung.


(21)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan keberadaan Extended Spectrum β-lactamase (ESBL) yang dihasilkan bakteri oleh Klebsiella pneumoniae pada sampel feses perawat di ruang rawat inap dewasa dan ruang rawat inap anak RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbandingan keberadaan Extended Spectrum β-lactamase (ESBL) yang dihasilkan bakteri Klebsiella pneumoniae sampel feses perawat di ruang rawat inap dewasa dan ruang rawat inap anak RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi bakteri apa saja yang terdapat pada feses Perawat di RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung.

2. Mengetahui sensitivitas dari Klebsiella pneumoniae terhadap antibiotik seperti seperti amoksisilin klavulanat, cefotaxim, ceftazidim, amoksisilin, tobramicin, gentamicin, ampisilin, cefadroxil, cefuraxime, sulfametoxazol, ciprofloxacin, dan norfloxacin.


(22)

6

3. Mengetahui hasil dari pemeriksaan uji konfirmasi Double Diffusion Test (DDT) terhadap keberadaan ESBL pada Klebsiella pneumoniae.

4. Mengetahui Perbandingan jumlah ESBL pada Klebsiella pneumoniae yang terdapat pada feses perawat antara Ruang rawat inap dewasa dan ruang rawat inap anak.

1.4 Manfaat Penelitian

Dari penelitian yang dilakukan diharapkan hasil yang diperoleh dapat bermanfaat. Adapun manfaat penelitian ini :

1. Bagi peneliti

dapat menerapkan ilmu yang sudah didapatkan selama perkuliahan di kampus dan menambah wawasan serta pengetahuan dibidang ilmu mikrobiologi khususnya mengenai perbandingan keberadaan Extended spectrum β-lactamase (ESBL) yang dihasilkan bakteri Klebsiella pneumoniae sampel feses perawat di ruang rawat inap dewasa dan ruang rawat inap anak RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung.

2. Bagi Instansi terkait (petugas kesehatan)

Memberikan informasi tambahan mengenai sensitivitas bakteri terhadap antibiotik seperti golongan penicilin, aminoglikosida, kuinolon, sefalosporin, dan kotrimoksazol terhadap bakteri Klebsiella pneumoniae.

3. Bagi peneliti lain

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai gambaran untuk penelitian lebih lanjut.


(23)

4. Bagi Universitas lampung

Menambah sumber pengetahuan dalam kepustakaan Universitas Lampung mengenai Ilmu Mikrobiologi.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Nosokomial

Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terdapat pada pasien selama berada di rumah sakit maupun di fasilitas kesehatan yang lain. Infeksi nosokomial juga dikenal sebagai Hospital-acquired infection atau sekarang lebih dikenal sebagai Healthcare Acquired Infection (HAI) karena infeksi ini bisa didapat sebagai konsekuensi dari pengasuhan tenaga kerja medis dalam menjalankan tugas mereka. HAI juga sering dikaitkan dengan lingkungan rumah sakit, tetapi bisa juga dikaitkan dengan tenaga yang memberi asuhan medis kepada komunitas seperti dari rumah ke rumah (Frost dan Sullivan, 2010).

Ciri-ciri infeksi nosokomial antara lain : Saat masuk rumah sakit tidak ada tanda gejala atau tidak dalam masa inkubasi infeksi tersebut, Infeksi terjadi minimal 3 x 24 jam setelah pasien di rumah sakit. Dan Infeksi pada lokasi yang sama tetapi disebabkan oleh mikroorganisme yang berbeda (Sabarguna, 2007).


(25)

Mekanisme penularan infeksi nosokomial dapat melalui : a. Melalui Kontak

1. Transmisi kontak langsung dapat terjadi pada kontak kulit dengan kulit dan berpindahnya organisme selama kegiatan perawatan pasien. Transmisi kontak langsung juga bisa terjadi antar dua pasien.

2. Transmisi kontak tidak langsung dapat terjadi bila ada kontak seseorang yang rentan dengan obyek tercemar yang berada di lingkungan pasien.

b. Melalui Percikan (droplet)

Transmisi droplet terjadi melalui kontak dengan konjungtiva, membran mukosa hidung atau mulut individu yang rentan oleh percikan partikel besar yang mengandung mikroorganisme. berbicara, batuk bersin dan tindakan sperti penghisapan lendir dan broknkoskopi dapat menyebarkan organisme.

c. Melalui Udara (airborne) transmisi airborne terjadi melalui penyebaran partikel partikel kecil ke udara, baik secara langsung atau melalui partikel debu yang mengandung mikroorganisme infeksius. Partikel infeksius dapat menetap di udara selama beberapa jam dan dapat disebarkan secara luas dalam suatu ruangan atau dalam jarak yang lebih jauh.

d. Melalui perantara organisme yang ditularkan oleh benda benda terkontaminasi seperti makanan, air dan peralatan.

e. Melalui vektor terjadi ketika vektor seperti nyamuk, lalat, tikus dan binatang pengerat lain menularkan mikroorganisme (Depkes RI, 2007).


(26)

10

Menurut (Darmadi, 2008), beberapa faktor yang berperan dalam terjadinya infeksi nosokomial, adalah :

1. Faktor-faktor yang ada di dalam diri pasien (faktor intrinsik) seperti umur, jenis kelamin, kondisi umum penderita, risiko terapi, atau adanya penyakit lain yang menyertai penyakit dasar (multipatologi) beserta komplikasinya. Faktor ini merupakan faktor predisposisi.

2. Faktor-faktor yang ada diluar diri pasien (faktor ekstrinsik) seperti pasien lain, lingkungan, makanan dan minuman, pengunjung atau keluarga, peralatan medis, petugas kesehatan.

3. Faktor keperawatan seperti lamanya hari perawatan, menurunnya standar pelayanan perawatan, serta padatnya penderita dalam satu ruangan.

4. Faktor mikroba patogen seperti tingkat kemampuan invasi serta tingkat kemampuan merusak jaringan, lamanya pemaparan antara sumber penularan dengan penderita.

Angka prevalensi bakteri patogen yang resisten terhadap lebih dari satu antibiotik cenderung meningkat, hal ini menjadi masalah kesehatan yang serius. Umumnya resistensi ini disebabkan oleh infeksi yang terjadi di rumah sakit (infeksi nosokomial). Banyak terdapat bakteri yang menyebabkan infeksi, salah satunya Klebsiella sp yang merupakan bakteri patogen penting dalam infeksi nosokomial. Umumnya infeksi Klebsiella sp menyebabkan penyakit pneumonia, infeksi saluran kemih, meningitis, dan septikimia. Peningkatan resistensi bakteri Klebsiella sp banyak


(27)

dilaporkan karena adanya Enzim Extended Spectrum Beta Lactamases (ESBL) dan juga Klebsiella neumoniae carbapenemase (KCP). Klebsiella pneumoniae juga merupakan patogen nosokomial yang dapat menimbulkan konsolidasi hemorrhagic intensif pada paru-paru (Jawetz et al, 2008).

2.2 Klebsiella pneumoniae

Klebsiella adalah bakteri Gram negatif yang termasuk dalam genus non-motil, berbentuk batang dengan kapsul polisakarida. Genus Klebsiella termasuk dalam famili Enterobacteriaceae yang meliputi bakteri patogen manusia penting lainnya seperti Salmonella dan Escherichia coli. Organisme ini dinamai oleh Edwin Klebs, salah satu peneliti mikrobiologi Jerman abad ke-19 (Umeh, 2011).

Klebsiella pneumonia dapat menyebabkan berbagai infeksi, terutama, infeksi saluran kemih, septikemia, dan infeksi jaringan lunak. Bakteri ini merupakan flora normal di mulut, kulit dan usus, namun dapat menjadi bakteri patogen oportunistik dan dapat menginfeksi individu immunocompromised yang dirawat inap dan menderita penyakit yang berat (Jawetz et al, 2008). Pasien yang membutuhkan alat ventilator, kateter intravena dan pasien dengan pemakaian antibiotik tertentu dalam waktu yang lama adalah yang paling berisiko (Kramer, Schwebke dan Gunahow, 2006). Klebsiella pneumoniae (K. pneumoniae) terdapat dalam saluran nafas dan feses pada sekitar 5% individu normal dan orang sehat biasanya tidak mengalami infeksi (Jawetz et al, 2008).


(28)

12

Diperkirakan Klebsiella pneumoniae menjadi penyebab 8% dari semua infeksi bakteri nosokomial di Amerika Serikat dan Eropa dan merupakan salah satu bakteri patogen menular yang paling penting di rumah sakit. Organisme ini menjadi penyebab 6-17% kasus infeksi saluran kemih, 7-14% kasus pneumonia, 4-15% kasus septikemia dan 2-4% kasus infeksi luka (Hidron et al., 2008). Tingkat kematian dilaporkan karena infeksi bakteri ini adalah sekitar 24-35%. Angka ini dapat meningkat secara dramatis dalam kasus-kasus infeksi dengan strain yang resistan terhadap obat dengan tingkat kematian hingga 52-72% (Kang, 2006).

2.2.1 Taksonomi

Menurut buku Bergey's Manual of Systematic Bacteriology 2nd Edition (2005), taksonomi Klebsiella pneumoniae adalah sebagai berikut:

Kingdom : Bacteriae Filum : Proteobacteria

Kelas : Gamma Proteobacteria Ordo : Enterobacteriales Famili : Enterobacteriaceae Genus : Klebsiella


(29)

Gambar 1 Klebsiella pneumoniae (Wulandari, 2013)

2.2.2 Morfologi Koloni dan Sifat Biakan Klebsiella pneumoniae

Bakteri Klebsiella pneumoniae merupakan golongan bakteri Gram negatif, berbentuk batang pendek, dan memiliki ukuran 0,5-1,5 x 1,2µ. Bakteri ini memiliki kapsul, tetapi tidak membentuk spora. Klebsiella tidak mampu bergerak karena tidak memiliki flagel tetapi mampu memfermentasikan karbohidrat membentuk asam dan gas. Spesies Klebsiella menunjukan pertumbuhan mukoid, dan kapsul polisakarida yang besar (Jawetz et al, 2008).

Sifat biakan atau kultur dari Klebsiella pada media Mac Conkey koloni menjadi merah. Pada media padat tumbuh koloni mukoid dalam waktu 24 jam. Bakteri ini mudah dibiakan di media sederhana (Bouillon agar) dengan koloni putih keabuan dan permukaan mengkilap, seperti yang terlihat pada Gambar 2 (Jawetz et al, 2008).


(30)

14

Gambar 2 Koloni Klebsiella pneumonia (Wulandari, 2013).

2.2.3 Struktur Antigen

Klebsiella memiliki struktur antigen. Anggota dari genus Klebsiella biasanya mengungkapkan 2 jenis antigen pada permukaan sel mereka, yaitu:

 Antigen O merupakan bagian terluar dinding sel lipopolisakarida dan terdiri dari unit berulang polisakarida. Beberapa polisakarida spesifik O mengandung gula unik. Antigen O tahan terhadap panas dan alkohol dan biasanya dideteksi dengan cara aglutinasi bakteri. Antibodi terhadap antigen O adalah IgM.

 Antigen K merupakan bagian terluar dari antigen O pada beberapa bakteri, tetapi tidak pada Enterobacteriaceae. Beberapa antigen K adalah polisakarida dan yang lainnya protein.

Keragaman struktur antigen ini membentuk dasar untuk klasifikasi dalam berbagai serotipe. Virulensi dari semua serotipe hampir mirip. Klebsiella pneumoniae terdiri atas beberapa strain berbeda, yaitu :


(31)

 Bentuk S : mukoid, virulen, berkapsul, mempunyai Ag spesifik dalam badan bakteri dan mempunyai tipe Ag spesifik polisakarida yang terdapat pada kapsul

 Bentuk R : tidak ganas, tidak berkapsul, mempunyai Ag dalam badan bakteri

Strain Klebsiella pneumoniae dibagi menjadi 4 tipe: A, B, C dan X dengan menggunakan antiserum pada uji aglutinasi dan uji presipitasi (Sujudi, 2002).

2.3 Antibiotik

Antibiotika adalah zat-zat kimia oleh yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan ataumenghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat-zat ini, yang dibuat secara semi-sintesis, juga termasuk kelompok ini, begitu pula senyawa sintesis dengan khasiat antibakteri (Tjay dan Rahardja, 2007).

2.3.1 Aktivitas dan spektrum Antibiotik

Aktivitas dan spektrum Antibiotik mempunyai aktivitas spektrum sempit dan luas. Antibiotik spektrum yang luas aktif terhadap banyak spesies bakteri manakala antibiotik spektrum sempit hanya aktif terhadap satu atau beberapa bakteri. Antibiotik spektrum sempit seperti penisilin-G, eritromisin dan klindamisin hanya bekerja terhadap bakteri gram positif manakala streptomisin, gentamisin dan asam nalidiksat khusus aktif terhadap bakteri gram negatif.


(32)

16

Antibiotik spektrum luas seperti sulfonamida, ampisilin dan sefalosporin bekerja terhadap lebih banyak bakteri gram positif maupun gram negatif (Tjay dan Rahardja, 2007).

2.3.2 Mekanisme Kerja

Mekanisme kerja antimikroba diklasifikasikan berdasarkan struktur kimia dan mekanisme kerjanya, sebagai berikut:

1. Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel bakteri,

termasuk golongan β-laktam misalnya, penisilin, sefalosporin, dan carbapenem dan bahan lainnya seperti cycloserine, vankomisin, dan bacitracin.

2. Antibiotik yang bekerja langsung pada membran sel mikroorganisme, meningkatkan permeabilitas dan menyebabkan kebocoran senyawa intraseluler, termasuk deterjen seperti polimiksin, anti jamur poliena misalnya, nistatin dan amfoterisin B yang mengikat sterol dinding sel, dan daptomycin lipopeptide. 3. Antibiotik yang mengganggu fungsi subunit ribosom 30S atau

50S untuk menghambat sintesis protein secara reversibel, yang pada umumnya merupakan bakteriostatik misalnya, kloramfenikol, tetrasiklin,eritromisin, klindamisin, streptogramin, dan linezolid.

4. Antibiotik berikatan pada subunit ribosom 30S dan mengganggu sintesis protein, yang pada umumnya adalah bakterisida Misalnya, aminoglikosida.


(33)

5. Antibiotik yang mempengaruhi metabolisme asam nukleat bakteri, seperti rifamycin misalnya, rifampisin dan rifabutin yang menghambat enzim RNA polimerase dan kuinolon yang menghambat enzim topoisomerase.

6. Antimetabolit, seperti trimetoprim dan sulfonamid, yang menahan enzim - enzim penting dari metabolisme folat (Goodman dan Gillman, 2007).

2.3.3 Golongan Antibiotik

Ada beberapa golongan – golongan besar antibiotik, yaitu (Katzung, 2012):

1. Golongan Penisilin

Penisilin diklasifikasikan sebagai obat β-laktam karena cincin laktam mereka yang unik. Mereka memiliki ciri-ciri kimiawi, mekanisme kerja, farmakologi, efek klinis, dan karakteristik imunologi yang mirip dengan sefalosporin, monobactam, carbapenem, dan β-laktamase inhibitor, yang juga merupakan senyawa β-laktam.

2. Golongan Sefalosporin dan Sefamisin

Sefalosporin mirip dengan penisilin secara kimiawi, cara kerja, dan toksisitas. Hanya saja sefalosporin lebih stabil terhadap banyak beta-laktamase bakteri sehingga memiliki spektrum yang lebih lebar. Sefalosporin tidak aktif terhadap bakteri enterokokus dan L.monocytogenes.


(34)

18

Sefalosporin terbagi dalam beberapa generasi, yaitu:

a. Sefalosporin generasi pertama meliputi cefadroxil, cephazolin, cephalexin, cephalothin, cephapirine, dan cephadrine. Obat ini sangat aktif terhadap kokus gram positif, termasuk pneumokokus, streptokokus, dan stafilokokus (Katzung, 2012).

b. Sefalosporin generasi kedua meliputi cefaclor, cefamandole, cefonicid, cefuroxime, dan cephamycin. Obat ini punya aktifitas yang tinggi terhadap mikroorganisme H. Influenxa, N. Meningitides dan N. Cattarhallis. Obat ini juga digunakan secara luas untuk pengobatan infeksi saluran pernapasan bagian atas dan bagian bawah (Carol, 2007).

c. Sefalosporin generasi ketiga memiliki rentang paparan gram negatif lebih luas dan kemampuan beberapa dari agen ini untuk melintasi sawar darah otak. Sefalosporin generasi ketiga dapat dihidrolisasi oleh β-laktamase kromosomal yang diproduksi oleh enterobacter. Karena agen ini memproduksi cephalosporinase yang dikode secara kromosomal, sehingga secara konstitusif menunjukkan resistensi terhadap sefalosporin generasi ketiga (Jawetz et al, 2008).

d. Antibiotika golongan ini (misalnya sefepim, sefpirom) mempunyai spektrum aktivitas lebih luas dari generasi


(35)

ketiga dan lebih stabil terhadap hidrolisis oleh β-laktamase. Antibiotika tersebut dapat berguna untuk mengatasi infeksi kuman yang resisten terhadap generasi ketiga.

3. Golongan Kloramfenikol

Kloramfenikol merupakan inhibitor yang poten terhadap sintesis protein mikroba. Kloramfenikol bersifat bakteriostatik dan memiliki spektrum luas dan aktif terhadap masing – masing bakteri gram positif dan negatif baik yang aerob maupun anaerob (Katzung, 2012)

4. Golongan Tetrasiklin

Golongan tetrasiklin merupakan obat pilihan utama untuk mengobati infeksi dari M.pneumonia, klamidia, riketsia, dan beberapa infeksi dari spirokaeta. Tetrasiklin juga digunakan untuk mengobati ulkus peptikum yang disebabkan oleh H.pylori. Tetrasiklin menembus plasenta dan juga diekskresi melalui ASI dan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan tulang dan gigi pada anak akibat ikatan tetrasiklin dengan kalsium. Tetrasiklin diekskresi melalui urin dan cairan empedu.

5. Golongan Makrolida

Golongan makrolida hampir sama dengan penisilin dalam hal spektrum antikuman, sehingga merupakan alternatif untuk pasien-pasien yang alergi penisilin. Bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Antara obat dalam


(36)

20

golongan ini adalah eritromisin. Eritromisin efektif terhadap bakteri gram positif .

6. Golongan Aminoglikosida

Yang termasuk golongan aminoglikosida, antara lain: streptomisin, neomisin, kanamisin, tobramisin, sisomisin, netilmisin, dan lain – lain. Golongan aminoglikosida pada umumnya digunakan untuk mengobati infeksi akibat bakteri gram negatif enterik, terutama pada bakteremia dan sepsis, dalam kombinasi dengan vankomisin atau penisilin untuk mengobati endokarditis, dan pengobatan tuberkulosis (Katzung, 2012).

7. Golongan Sulfonamida dan Trimetoprim

Sulfonamida menghambat bakteri gram positif dan gram negatif. Trimetropim menghambat asam dihidrofolik reduktase bakteri. Kombinasi sulfamektoksazol dan trimetoprim untuk infeksi saluran kencing, salmonelosis dan prostatitis.

8. Golongan Fluorokuinolon

Golongan fluorokuinolon termasuk di dalamnya asam nalidixat, siprofloxasin, norfloxasin, ofloxasin, levofloxasin, dan lain– lain. Golongan fluorokuinolon aktif terhadap bakteri gram negatif. Golongan fluorokuinolon efektif mengobati infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh pseudomonas. Golongan ini juga aktif mengobati diare yang disebabkan oleh shigella, salmonella, E.coli, dan Campilobacter (Katzung, 2012).


(37)

2.3.4 Cefotaxim, Ceftazidim dan Asam Klavulanat.

Cefotaxim merupakan sefalosporin generasi ketiga berspektrum luas. Cara kerjanya adalah dengan menghambat sintesa dinding sel mikroba pada proses transpeptidase tahap keetiga dalam reaksi pembentukan dinding sel. Obat ini sangatefektif terhadap bakteri gram negatif dan kurang untuk bakteri gram positif. Obat ini dapat melintasi daerah sawar darah otak. Obat ini dapat dihidrolisa oleh

enzimβ-laktamase yang diproduksi oleh enterobakter sehingga obat ini tidak efektif tehadap infeksi yang disebabkan oleh enterobakter (Tarigan, 2008).

Ceftazidim merupakan golongan sefalosforin yang bersifat bakteriasidal. Ceftazidim dapat bekerja langsung pada sel bakteri dan sangat stabil terhadap sebagian besar betalactam plasmid dan kromosoma yang secara klinis dihasilkan oleh Bakteri Gram negatif dan aktif terhadap beberapa stain resisten terhadap ampisilin dan sefalosporin. Waktu paruhnya di plasma adalah 1.5 jam. Obat ini tidak dimetabolisme di dalam tubuh dan terutama diekskresi melalui saluran kemih. Dosis bagi orang dewasa adalah 1-2 gram sehari IM atau IV setiap 8-12 jam. Dosis obat perlu disesuaikan dengan kondisi gagal ginjal (Katzung, 2012).

Cefotaxim dan ceftazidim merupakan antibiotik golongan sefalosporin ketiga. Sefalosporin termasuk golongan antibiotika β -laktam yang berasal dari fungus Cephalosporium acremonium yang


(38)

22

diisolasi pada tahun 1948 oleh Brotzu. Fungus ini menghasilkan tiga macam antibiotik, yaitu sefalosporin P, N, dan C (Jawetz et al, 2008).

Penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri patogen merupakan permasalahan kesehatan yang pernah dihadapi oleh hampir setiap orang. Hingga saat ini, cara yang dilakukan untuk pengobatan berbagai jenis penyakit infeksi adalah dengan pemberian antibiotik. Jenis antibiotik yang paling banyak digunakan adalah betalaktam. Antibiotik ini dipilih karena tingkat selektivitasnya tinggi, mudah diperoleh, dan analog sintetiknya tersedia dalam jumlah banyak. Meningkatnya penggunaan antibiotik betalaktam, memacu meningkatnya resistensi bakteri terhadap antibiotik tersebut (Kusuma, 2010).

Mekanisme utama resistensi bakteri Gram-positif dan Gram-negatif terhadap antibiotik betalaktam yakni dengan menghasilkan enzim betalaktamase, yang berperan memotong cincin betalaktam, sehingga aktivitas antibakterinya hilang. Enzim betalaktamase merupakan enzim perusak penisilin yang dihasilkan oleh sejumlah bakteri gram negatif. Enzim ini membuka cincin betalaktam dari pensilin dan sefalosporin serta menghilangkan daya antimikrobanya. Klasifikasi betalaktamase sangat kompleks, didasarkan atas sifat genetik, sifat-sifat biokimia, dan substrat yang berafinitas terhadap inhibitor betalaktamase (Jawetz et al, 2008).


(39)

Inhibitor betalaktamase adalah suatu zat yang dapat menghambat kerja enzim betalaktamase. Inhibitor betalaktamase dalam keadaan tunggal tidak memberikan aktivitas antibakteri sehingga perlu adanya kombinasi dengan antibiotik betalaktam. Inhibitor betalaktamase yang telah digunakan dalam pengobatan adalah asam klavulanat, tazobaktam dan sulbaktam. Inhibitor tersebut tidak memperlihatkan aktivitas antibakteri, sehingga tidak dapat digunakan sebagai obat tunggal untuk menanggulangi penyakit infeksi (Kusuma, 2010).

Bila dikombinasi dengan antibiotik betalaktam, inhibitor ini akan mengikat enzim betalaktamase, sehingga antibiotika pasangannya bebas dari pengrusakan oleh enzim betalaktamase dan dapat menghambat sintesis dinding sel bakteri yang dituju. Sifat ikatan betalaktamase dengan penghambatnya umumnya menetap, penghambatnya seringkali bekerja sebagai suicide inhibitor, karena ikut hancur di dalam betalaktamase yang diikatnya (Kusuma, 2010).

2.3.5 Mekanisme Resistensi Antibiotik

Mekanisme resistensi bakteri terhadap antibiotik dapat bersifat intrinsik atau didapat. Resistensi intrinsik disebabkan bakteri tidak memiliki atau dapat juga mengubah struktur yang menjadi sasaran kerja antibiotik yaitu sintesis dinding sel bakteri, sintesis protein bakteri dan replikasi DNA bakteri. Sebagian besar resistensi yang


(40)

24

bersifat dapatan terjadi akibat perubahan genetis kuman (Chambers, 2006 ; Jawetz et al, 2008).

Ada beberapa mekanisme resistensi bakteri terhadap antiobiotik, antara lain :

1. Mengurangi Permeabilitas, yaitu dengan mencegah antiobiotik masuk ke dalam sel. Dapat dilakukan dengan mengubah struktur membran. Contohnya adalah resistensi Pseudomonas aeruginosa terhadap penicillin

2. Inaktivasi antibiotik, yaitu dengan memiliki enzim khusus yang akan memodifikasi antibiotik, sehingga antibiotik tidak berbahaya lagi bagi si bakteri. Contohnya adalah resistensi Staphylococcus aureus terhadap kloramfenikol.

3. Mengubah tempat antibiotik menempel (berikatan), yaitu dengan mengubah tempat dimana biasanya antibiotik akan membentuk ikatan kimia lalu merusak bakteri. Dengan mengubah binding site ini, antibiotik tidak bisa menempel, dan tidak memiliki efek pada bakteri. Contohnya adalah Staphylococcus aureus mengubah PBP (penicillin binding protein).

4. Mengubah jalur metabolisme, yaitu dengan mengganti atau tidak memakai lagi suatu bahan intermediate dalam reaksi metabolisme yang diganggu oleh antibiotik. Contohnya beberapa bakteri sulfoamida-resisten tidak memakai lagi PABA (Para amino benzoat acid) dalam jalur sintesis asam folatnya, karena PABA


(41)

dapat dihambat oleh antibiotik. Bakteri ini menggunakan preformed-folic-acid sebagai gantinya.

5. Memompa (efflux), yaitu dengan mengembangkan protein pump khusus pada membrannya untuk memompa antibiotik keluar sel. Contohnya resistensi Bacillus subtilis dan Staphylococcus aureus terhadap tetrasiklin (Kasper et al, 2005 ; Billater, 2006).

2.4 Uji Sensitivitas Antibiotik

Uji sensitivitas antibiotik merupakan tes yang digunakan untuk menguji kepekaan suatu bakteri terhadap antibiotik. Uji kepekaan/sensitivitas bertujuan untuk mengetahui daya kerja/efektifitas dari suatu antibiotik. dalam membunuh bakteri. Metode Kirby Bauer adalah uji sensitivitas dengan metode difusi agar menggunakan teknik disc diffusion, dalam uji sensitivitas metode Kirby Bauer menggunakan media selektif, yaitu media Muller Hinton Agar (Kuncoro, 2010).

Mekanisme kerja metode Kirby Bauer cukup sederhana, pertama transfer koloni bakteri uji pada media BHI cair, inkubasi 370C selama 18 jam. Pada umur 18 jam bakteri uji mengalami fase eksponensial atau logaritma (dimana bakteri dalam fase aktif, metabolisme dan enzim yang terbentuk maksimal serta berada pada fase patogenitas). Pisahkan beberapa tetes suspensi ke dalam tabung reaksi yang berbeda, tambahkan NaCl Fisiologis. Masukkan lidi kapas steril ke dalam suspensi tersebut dan tekan lidi kapas pada dinding tabung, ratakan lidi kapas yang diolesi suspensi ke seluruh permukaan media MHA dengan ketebalan standar 0,6 cm. Diamkan ± 5


(42)

26

menit. Tempatkan disc antibiotik, inkubasi 370C selama 18 jam, amati zona pertumbuhan bakteri di sekitar disc dan ukur diameter zona hambatannya, tentukan bakteri uji sensitive atau resisten terhadap antibiotik dengan menggunakan tabel interpretative standar. (Kuncoro, 2010).

Bakteri uji resisten apabila pada zona hambatan yang terbentuk < tabel interpretative standar (bakteri uji tahan terhadap daya kerja antibiotik), Bakteri uji sensitive apabila pada zona hambatan yang terbentuk > tabel interpretative standar (bakteri uji peka terhadap daya kerja antibiotik). (Kuncoro, 2010).

2.5 Enzim β-Lactamase dan Extended Spectrum β-Lactamase (ESBL) 2.5.1 Definisi

β-lactamase merupakan enzim yang dihasilkan oleh beberapa bakteri yang berfungsi untuk melawan / mempertahankan diri terhadap serangan antibiotik β-lactam seperti penicillin, sefamisin dan karbapenem (entapenem), dan sefalosporin. Antibiotik golongan ini memiliki unsur yang sama dalam struktur molekul mereka yaitu 4 cincin atom dan disebut sebagai β-laktam. Enzim β -Laktamase bekerja merusak cincin ini dan nonaktifkan molekul ini (Paterson, David dan Bonomo 2010).

ESBL merupakan β-laktamase yang mampu menyebabkan resistensi bakteri terhadap penisilin, sefalosporin generasi pertama, kedua, dan ketiga, dan aztreonam (namun sefamisin dan karbapenem tidak)


(43)

dengan cara hidrolisis dari antibiotika-antibiotika tersebut, dimana

aktivitas enzim dapat dihambat oleh inhibitor β-laktamase seperti asam klavulanat. Gen pengkode ESBL berada di plasmid yang mudah dipindahkan ke kuman lain sehingga terjadi penyebaran resistensi (Paterson, David dan Bonomo 2010).

Kuman yang paling banyak memproduksi ESBL adalah kuman famili Enterobacteriaceae, terutama Klebsiella pneumonia dan Escherichia coli. Sefalosporin generasi ketiga yang dipasarkan tahun 1980-an semula ditujukan untuk mengatasi kuman resisten penghasil β -laktamase, mempunyai efek nefrotoksik yang lebih kecil dibandingkan dengan aminoglikosida dan polimiksin sehingga lebih disenangi dan banyak digunakan. Penggunaan sefalosporin generasi ketiga dan aztreonam secara luas diduga menjadi penyebab utama terjadinya mutasi sehingga muncul kuman ESBL. Dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa kuman ESBL menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan kuman non-ESBL (Blomberg , 2005; Nathisuwan, Burgerss dan Lewis, 2005; Paterson, David dan Bonomo 2010).

2.5.2 Klasifikasi Enzim β-Lactamase

Anggota famili Enterobacteriaceae sering mengekspresikan plasmid-encoded β–lactamase (misalnya, TEM-1, TEM-2, dan SHV-1) yang resisten terhadap pencillin namuntidak terhadap sefalosporin. Namun


(44)

28

akhir – akhir ini sudah banyak ditemukan bakteri penghasil β– lactamase yang resisten terhadap golongan antibiotik sefalosporin.

Jenis ESBL yang sering ditemukan adalah sebagai berikut : 1. TEM-β Lactamase

Klasifikasi TEM berdasarkan perbedaan perubahan kombinasi asam amino. TEM-1 dihasilkan oleh bakteri gram negatif dan umumnya resisten terhadap ampicillin serta memiliki daya hidrolisis yang sangat kuat terhadap ampicillin, namun lemah terhadap carbenicillin, oxacilin, cephalotin atau cephalosporin. Kemampuan hidrolisis enzim ini dihambat oleh asam klavulanat. Tem-2 memiliki profil hidrolitik yang sama dengan TEM-1 (Paterson, David dan Bonomo 2010).

2. SHV β-lactamases

ESBL SHV adalah tipe yang sering ditemukan di isolat klinis dibanding jenis lainnya. SHV-1 dan TEM-1 memiliki struktur yang mirip dan sering ditemukan pada k. pneumoniae yang merupakan chromosomally encoded-enzyme yang menimbulkan resistensi pada penisilin dan generasi pertama sefalosporin (Livermore, 2005). 3. OXA β Lactamase

Diberi nama OXA β-Lactamases karena golongan ini mampu menghidrolisis antibiotik golongan oxacillin. OXA sering ditemukan pada pseudomonas aeruginosa, namun telah dilaporkan bahwa ESBL golongan ini juga terdeteksi pada bakteri negatif


(45)

lainnya. Saat ini telah dilaporkan bahwa sekitar 10% dari E. Coli dapat menghasilkan ESBL golongan ini.

4. CTX-M β Lactamase

Pada awalnya ESBL merupakan enzim β- laktamase golongan TEM, tetapi akhir-akhir ini dilaporkan timbul tipe baru yaitu tipe CTX-M yang frekuensinya makin meningkat. Bakteri yang memproduksi ESBL perlu diwaspadai karena ESBL diproduksi oleh gen yang berlokasi pada plasmid, yang dengan mudahnya dapat berpindah ke bakteri lain, dan sering kali juga membawa gen resisten terhadap antibiotika lain termasuk aminoglikosida, kuinolon dan co-trimoxazole, sehingga sulit mencari alternatif terapi (Jensen et al, 2006; Wahyono, 2007). Enzim ini diberi nama karena mampu menghidrolisis cefotaxime dibandingkan terhadap substrat oxyimino β- lactam lainnya seperti ceftazidime, ceftriazone atau cefepime. Organisme penghasil CTX-M tipe β -lactamase memiliki MIC (Minimum Inhibitory Concentration)

cefotaxime dalam rentang resisten > 64 μg/ml, sedangkan MIC ceftazidime dalam rentang sensitif 2-8 μg/ml, namun CTX-M yang membentuk ESBL dapat menghidrolisis ceftazidime dan resisten terhadap sefalosporin (MIC ≥ 256 μg/ml). Enzim ini banyak ditemukan di Salmonella enterica serovar typhimurium dan E. coli, juga dapat ditemukan di spesies lain golongan enterobacteriaceae. CTX-M tipe β- lactamase memiliki kesamaan dengan ESBL TEM dan SHV, namun kesamaan ini biasanya < 40. Enzim ini banyak


(46)

30

ditemukan di Salmonella enterica serovar typhimurium dan E. coli, K. pneumoniae juga dapat ditemukan di spesies lain golongan enterobacteriaceae. CTX-M tipe β- lactamase memiliki kesamaan dengan ESBL TEM dan SHV, namun kesamaan ini biasanya < 40%. Enzim ini terdiri dari 1, 2 sampai CTX-M-10

(

Paterson, David dan Bonomo 2010).

2.5.3 Identifikasi ESBL

Metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kuman penghasil enzim Extended-Spectrum Beta-Lactamases menurut Clinical Laboratory Standard Institute ialah Double Disk Synergy Test (DDST). Uji double disk synergy dilakukan dengan menggunakan cakram augmentin (20 µg) amoxicillin dan 10 µg asam klavulanat) dan cakram cefotaxim (30 µg), ceftazidime (30 µg) serta cefpodoxime (30 µg) yang diletakkan di sekitar cakram augmentin sekitar 16-20 mm. Seperti yang diketahui, ESBL adalah enzim yang mampu menghidrolisis antibiotik golongan pencillin, cephalosporin golongan I,II,III serta aztreonam. Dengan pemberian asam klavulanat sebagai inhibitor beta laktamase maka enzim beta laktamase dapat dihambat. Oleh karena itu, interpretasi hasil yang positif ESBL dari metode uji Double Disk Synergy adalah dengan adanya peningkatan zona hambat dari cephalosporin ke arah cakram asam klavulanat. Dikarenakan hasil positif dari uji Double Disk Synergy ini tidak memakai satuan angka yang pasti sebagai batasan hasil positif dan


(47)

negatif, tingkat subjektivitas dalam menginterpretasikan hasil merupakan kelemahan dalam metode ini (Rupp dan Fey, 2003).

Gambar 3 Peningkatan zona hambat ke arah amoksiklav Keterangan : a) disk antibiotik, b) diameter zona hambat,

c) peningkatan zona hambat akibat sinergi antibiotik d) Klebsiella pneumonia (Saragih, 2012).

Metode lain untuk mengidentifikasi kuman penghasil Extended-Spectrum Beta-Lactamase ialah dengan menggunakan metode Disc Diffusion Test (DDT). Metode ini menggunakan cefotaxim (30 μg) serta ceftazidim (30 μg) dengan atau tanpa klavulanat (30 μg) diletakkan ditengah dan ceftazidim dan cefotaxim dikiri kanan dengan berjarak 15/20 mm dari disk amoksicillin-clavulanat 20/10 μg.. Dengan menggunakan media Mueller-Hinton agar apabila terjadi

perbedaan sebesar ≥ 5 mm antara diameter disk cephalosporin dan disk kombinasi sefalosporin-klavulanat menyatakan kuman tersebut positif memproduksi ESBL (Sharma, 2013; National Committee for Clinical Laboratory Standards, 2005).


(48)

32

Gambar 4 Prosedur Uji Double Diffusion Test (DDT) (D’Azevedo et al, 2004)

2.6 Tenaga Medis dan Paramedis

Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 028/MENKES/PER/I/2011 Tentang Klinik yang dimaksud dengan tenaga medis adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi atau dokter gigi spesialis, sedangkan tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

Menurut Permenkes No.262/1979 yang dimaksud dengan tenaga medis adalah lulusan Fakultas Kedokteran atau Kedokteran Gigi dan Pascasarjana yang memberikan pelayanan medik dan penunjang medik. Sedangkan

Ceftazidime 30µg, cefotaxime 30µg Amoksisilin klavulanat 20/10µg

Peningkatan zona hambat kearah amok-klav > 5 mm ESBL (+)


(49)

menurut PP No.32 Tahun 1996 Tenaga Medis termasuk tenaga kesehatan. Berdasarkan peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan tersebut, yang dimaksud dengan tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi. Tenaga medis adalah mereka yang profesinya dalam bidang medis yaitu dokter maupun dokter gigi.

Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan RI No.262/Menkes/Per/III/1979 tentang ketenagaan Rumah Sakit Pemerintah, paramedis perawatan adalah pinata rawat, perawat kesehatan, bidan, perawat khusus, dan lain-lain. Tenaga paramedis non perawatan yaitu asisten apoteker, fisioterapi, penata rontgen dan lain-lain (Mahmudah,2013).

2.6.1 Personal Hygiene Pada Perawat

Personal Hygiene adalah kebersihan Perorangan. Yang dimaksud adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis. Personal Hygiene merupakan tindakan keperawatan diri yang biasanya rutin dilakukan Petugas Kesehatan dirumah sakit (Tarwoto dan Martonah 2006).

Petugas medis dan paramedis di rumah sakit merupakan objek yang memiliki faktor resiko tinggi terkontaminasi bakteri. Perawat merupakan salah satu Tenaga Paramedis yang sering bersinggungan langsung dengan pasien dirumah sakit, sehingga dapat menjadi salah satu faktor resiko penyebaran Infeksi


(50)

34

Nosokomial (Noer, 2012). Tangan merupakan bagian tubuh yang paling sering kontak dengan dunia luar dan digunakan sehari-hari untuk melakukan aktivitas. Hal ini sangat memudahkan terjadinya kontak dengan mikroorganisme dan mentransfernya ke objek lain. Berbagai prosedur penangan pasien memungkinkan petugas terpajan dengan kuman yang berasal dari pasien.

Penularan melalui tangan perawat dapat secara langsung melalui peralatan yang invasif. Salah satu pencegahan tranmisi penyakit melalui tangan yaitu dengan menjaga higenitas dari tangan perawat itu sendiri. Salah satunya ialah dengan pemakaiaan sarung tangan ketika menyentuh darah, cairan tubuh, feses maupun urine. Darah, cairan tubuh, feses maupun urine merupakan faktor yang mempengaruhi transmisi penyakit (Hidayat, 2006).

2.7 Kerangka Teori

Infeksi nosokomial adalah infeksi pada pasien yang sedang dalam proses perawatan di rumah sakit dan didapatkan setelah 72 jam sejak mulai perawatan. Penularan infeksi nosokomial dapat melalui kontak, baik secara langsung maupun tak langsung. Contohnya seperti seperti udara, air, lantai, makanan, serta benda-benda medis maupun non medis. Infeksi juga dapat melalui tangan petugas kesehatan atau peralatan yang digunakan pada pasien. Perawat merupakan salah satu tenaga medis yang paling sering bersinggungan langsung dengan pasien, sehingga diperlukan pengambilan


(51)

sampel feses pada perawat untuk mengidentifikasi bakteri apasaja yang terdapat pada perawat.

Pada penelitian ini, difokuskan pada bakteri Klebsiella pneumoniae. Klebsiella pneumoniae merupakan salah satu anggota famili Enterobacteriaceae dan merupakan salah satu bakteri patogen penting dalam infeksi nosokomial. Bakteri ini ada di saluran pencernaan sekitar 5% pada individu normal. Antibiotik yang paling sering digunakan dalam penanganan infeksi Klebsiella pneumonia adalah Antibiotik Golongan Betalaktam. Namun, belakangan ini bakteri tersebut mengalami resistensi akibat dihasilkannya enzim betalaktamase oleh bakteri itu sendiri.

Akibat penggunaan antibiotik yang kuang tepat, akhirnya muncul bakteri resisten yang telah bermutasi menghasilkan enzim Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL). Gen pengkode enzim ESBL berada di plasmid yang mudah dipindahkan ke bakteri lain sehingga terjadi penyebaran resistensi. Bakteri lain yang telah mendapatkan gen resisten tersebut dapat menginfeksi pasien melalui feses yang dapat menyebar akibat higenitas perawat yang kurang baik seperti mencuci tangan yang tidak bersih, lupa memotong kuku, tidak memakai sarung tangan saat merawat pasien dan lain sebagainya.


(52)

36 Dirawat merawat Identifikasi Bakteri

Terjadi penularan atau Penyebaran Gen Resisten Yang dipengaruhi faktor faktor Yang mempengaruhi

gen resisten dibawa plasmid ke Bakteri lain

Gambar 5 Kerangka Teori (Hapsari dan kurniawan, 2013; Hidayat, 2006; winarto 2009) dengan modifikasi

2.8 Kerangka konsep

Variabel Independen Variabel dependen

Gambar 6 Kerangka Konsep

Klebsiella pneumoniae

pada perawat di ruang rawat inap dan dewasa

Diameter zona hambat melebar >5mm (ESBL(+)) Resistensi Terhadap

Antibiotik Infeksi nosokomial

Perawat di RSAM

Ditemukan bakteri

Klebsiella pneumoniae

Memproduksi β-laktamase

Pasien di rawat ESBL(+) Keberadaan Enzim ESBL ESBL(-)

Bakteri Flora Normal atau Patogen Feses

Penularan : 1. Kontak a) Langsung b) Tidak langsung c) Droplet 2. Udara 3. Makanan dan Vektor


(53)

2.9 Hipotesis

Tidak terdapat perbandingan keberadaan Extended spectrum β-lactamase (ESBL) yang dihasilkan bakteri Klebsiella pneumoniae sampel feses tenaga medis di ruang rawat inap dewasa dan ruang rawat inap anak RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung..


(54)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik komparatif dan dengan pendekatan cross sectional. Dengan melakukan analisis keberadaan ESBL terhadap bakteri Klebsiella pneumoniae yang diambil dari feses tenaga medis lalu dibandingkan dengan keberadaan ESBL pada Klebsiella pneumoniae yang terdapat di dalam feses perawat di ruang rawat inap dewasa dan ruang rawat inap anak.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Abdul Moelek, di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dan di Laboratorium Kesehatan Daerah Lampung. Selama 3 bulan, yaitu terhitung dari bulan September hingga November 2015.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi dari penelitian ini adalah perawat yang berkerja diruang rawat inap dewasa dan anak Rumah Sakit Abdul yang berjumlah 77 orang.


(55)

3.3.2 Kriteria Inklusi

Adapun Kriteria Inklusi sebagai berikut :

1. Perawat yang bekerja diruang rawat inap anak dan dewasa di RSUD Abdul Moeloek.

2. Responden Bersedia Untuk Mengikuti penelitian dan menandatangani Inform consent.

3.3.3 Kriteria Ekslusi

Adapun Kriteria Inklusi sebagai berikut : 1. Perawat yang sedang sakit

2. Responden mengkonsumsi antibiotik dan imunosupresan 3. Responden tidak hadir saat pengambilan sampel atau

pengumpulan sampel.

3.3.4 Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih secara tertentu dan dianggap mewakili populasinya. Pada uji ini rancangan acak lengkap, besar sampel penelitian yang digunakan ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin :

Keterangan :

n : Jumlah Sampel N : Jumlah Populasi

d : Tingkat Kepercayaan/Ketepatan (0,05)


(56)

40

Teknik pengambilan sampling yaitu Stratified disproportionate sampling, masing-masing diambil 32 sampel dari ruang rawat inap dewasa dan ruang rawat inap anak.

3.4 Alat dan Bahan Penelitian 3.4.1 Alat Penelitian

Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah tabung reaksi, jarum Ose, cawan petri, l-glass, bekaer glass, jangka sorong, bunsen, pinset steril, kapas lidi steril, handscoon, masker, rak tabung reaksi, gelas ukur (PyrexR), labu erlenmeyer (PyrexR), batang pengaduk (PyrexR), pipet mikro (TranferpetteR), kertas perkamen, timbangan analitik, spatel, mikroskop, penggaris, inkubator (GallenkampR), autoklaf (All AmericanR), lemari aseptis, laminar air flow (EscoR), lemari pendingin, hot plate (IECR), penggaris, vortex.

3.4.2 Bahan Penelitian

Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah isolat bakteri dari feses perawat diruang rawat inap dewasa dan anak RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung, biakan bakteri, antibiotik (amoksisilin klavulanat, cefotaxim, ceftazidim, amoksisilin, tobramicin, gentamicin, ampisilin, cefadroxil,


(57)

cefuraxime, sulfametoxazol, ciprofloxacin, dan norfloxacin), NaCl fisiologis, aquades steril, Paper disk/cakram antibiotik, spiritus, media agar Muller Hinton, untuk menguji pola resistensi antibiotik pada isolat bakteri, larutan standar Mc Farland, nutrient Broth.

3.5 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional 3.5.1 Variabel Penelitian

Variabel independen dari penelitian ini yaitu, Klebsiella pneumonia yang berasal dari ruang rawat inap anak dan dewasa di RSUD Abdul Moeloek.

Variabel dependen dari penelitian ini yaitu, ESBL (+)

3.5.2 Definisi Operasional

Untuk memudahkan pelaksanaan penelitian agar penelitian tidak menjadi terlalu luas maka dibuat definisi operasional pada Tabel 1 sebagai berikut:


(58)

42

Tabel 1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat ukur Cara ukur Hasil Skala Variabel

Independen:

Klebsiella pneumoniae

Makhluk hidup yang merupakan flora normal usus, yang biasanya ditemukan di feses (sekitar 5%) Media kultur Uji biokimia Observasi Test Resistensi

1 : Klebsiella pneumoniae

pada perawat di rawat inap dewasa 0 : Klebsiella

pneumoniae

pada perawat di rawat inap anak

Nominal

Variabel dependen: ESBL

enzim yang mempunyai kemampuan

menghidrolisis antibiotik golongan penicillin, cephalosporin generasi I, II, III serta golongan aztreonam.

Apabila diameter zona hambat > 5 mm DDT dikatakan ESBL (+) sedangakan diameter zona hambat < 5 mm DDT dikatakan ESBL (-)

Uji DDT menggunakan cefotaxim (30 μg) serta ceftazidim(30 μg) dengan atau tanpa klavulanat (30 μg) diletakkan ditengah dan ceftazidim dan cefotaxim dikiri kanan dengan berjarak 15/20 mm dari disk amoksicillin-clavulanat 20/10 μg, dengan menggunakan media Mueller-Hinton agar

1 :ESBL (+) 0 : ESBL(-)

Nominal

3.6 Prosedur Penelitian 3.6.1 Sterilisasi Alat

Alat-alat yang akan dipakai disterilkan terlebih dahulu dengan cara dicuci bersih dan dikeringkan, cawan petri dibungkus dengan kertas perkamen. Alat-alat gelas seperti tabung reaksi, gelas ukur dan labu Erlenmeyer yang ditutup mulutnya dengan kapas steril yang dibalut dengan kain kasa steril lalu dibungkus dengan kertas


(59)

perkamen, kemudian disterilkan semuanya dalam autoklaf pada suhu 1210 C, tekanan 15 lbs selama 15 menit. Pinset, jarum ose, dan kaca objek disterilkan dengan cara flambir. Laminar air flow disterilkan dengan menyalakan lampu UV selama 5 menit. Lemari aseptis dibersihkan dari debu lalu disemprot dengan alkohol 70%, dibiarkan selama 15 menit (Bonang, Gerard dan Koeswardono, 2002).

3.6.2 Penyiapan dan Pembuatan Media

1. Media Triple Sugar Iron Agar (TSIA)

65 g serbuk media Triple Sugar Iron Agar dilarutkan dalam 1 L aquadest, lalu dipanaskan hingga mendidih, setelah itu dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 10 mL, kemudian disterilkan dengan autoklaf selama 15 menit pada 121⁰ C tekanan 15 lbs, dibiarkan membeku pada posisi miring.

2. Media Sulfite Indol Motility (SIM)

30 g serbuk media SIM dilarutkan dalam 1 L aquadest, lalu dipanaskan hingga melarut, setelah itu dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 10 mL, kemudian disterilkan dengan autoklaf selama 15 menit pada suhu 121oC tekanan 15 lbs. 3. Media Urea Agar (UA)

24,02 g serbuk media Urea Christensen Agar dilarutkan dalam 1 L aquadest, lalu dipanaskan hingga mendidih, setelah itu disterilkan selama 20 menit pada 121oC tekanan 15 lbs. Pada tempat terpisah, dilarutkan 400 g Urea dalam 1 L aquadest,


(60)

44

disterilkan dengan penyaringan, setelah itu secara aseptik dicampurkan 50 mL larutan urea ke dalam 95 mL larutan urea agar, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 10 mL dan dibiarkan membeku dalam posisi miring.

4. Media Simmons Citrate Agar (SC)

24,2 g serbuk Simmons Citrate dilarutkan dalam 1 L aquadest, lalu dipanaskan hingga mendidih, setelah itu dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 10 mL, kemudian disterilkan dengan autoklaf selama 15 menit pada suhu 1210 C tekanan 15 lbs.

5. Mueller Hinton Agar (MHA)

38 g serbuk Mueller Hinton Agar dilarutkan dalam 1 L aquadest, dipanaskan sampai homogen, kemudian disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121oC tekanan 15 lbs selama 15 menit, setelah steril dituang ke dalam cawan petri sebanyak 15 mL (Bonang, Gerard dan Koeswardono, 2002).

3.6.3 Pengambilan dan transpor sampel tinja

1. Sampel diambil dari perawat RSUD Abdul Moeloek sebaiknya diambil pagi hari supaya tiba di laboratorium sebelum tengah hari, sehingga dapat diperiksa pada hari itu juga.

2. Spesimen tinja yang segar lebih baik dibandingkan apusan rektum, tetapi apusan rektum dapat diterima jika pengambilan spesimen tidak dapat dilakukan segera atau jika transpor tinja ke laboratorium tetunda (Bonang, Gerard dan Koeswardono, 2002)


(61)

3.6.4 Prosedur untuk mengumpulkan bahan tinja

1. Berikan kepada perawat Pot penampung Feses yang telah disediakan.

2. Cara pengambilan sampel (feses) dijelaskan oleh peneliti kepada responden (perawat).

3. Spesimen harus mengandung sedikitnya 5 g tinja dan jika ada bagian yang mengandung darah, lendir, pus. Hindari tinja tercemar urine. Begitu spesimen telah ditempatkan pada penampung tutupnya harus segera disegel.

4. Jika spesimen tidak memungkinkan untuk dikirim ke laboratorium dalam waktu 2 jam setelah pengumpulan, sejumlah kecil spesimen harus diambil dengan dua atau tiga lidi kapas dan dimasukkan kedalam penampung dengan media transpor ( Cary-Blair, Stuart, atau Amies) atau 33mmol/l buffer gliserol fosfat. (Bonang, Gerard dan Koeswardono, 2002)..

3.6.5 Pemeriksaan visual spesimen tinja

1. Periksalah sampel tinja secara visual dan catat yang berikut ini : a. Konsistensinya (berbentuk, tidak berbentuk (lembek), atau cair).

b. Warnanya ( putih, kuning, coklat, hitam).


(62)

46

2. Tempatkan sedikit spesimen tinja atau apusan rektum dalam setetes larutan metilen biru 0,05% pada kaca objek bersih dan campur secara merata.

3. Letakkan kaca penutup pada suspensi yang telah diwarnai, jangan sampai terbentuk gelembung udara. Tunggu 2-3 menit. Periksalah sediaan dibawah mikroskop menggunakan lensa objektif pembesaran 100 x. (Bonang, Gerard dan Koeswardono, 2002).

3.6.6 Isolasi Bakteri dari Sampel Feses

Sampel feses yang berasal dari perawat sebanyak ±1 gram feses, kemudian dilarutkan ke dalam 10 ml larutan penyubur BHI inkubasi 37ºC selama 6 jam. Feses yang telah disuburkan dengan media BHI diinokulasikan pada Mac Conkey diinkubasi pada suhu 37°C slama 24 jam di dalam inkubator, hari berikutnya diamati koloni yang tumbuh. (Sulfur Indole Motility) (Steven et al, 2004)

3.6.7 Identifikasi bakteri/Uji biokimia 1. Identifikasi Bakteri

Pembiakan bakteri Gram positif menggunakan media selektif lempeng agar darah dan Gram negatif menggunakan lempeng agar Mac Conkey. Setelah ditemukan koloni tertentu dari media selektif maka untuk Gram negatif koloni terduga bakteri dari Mac Conkey agar dapat dilakukan uji biokimia dengan


(63)

menanamnya pada TSIA (Triple Sugar Iron Agar), Simmon’s citrate Agar, dan Media SIM.

2. Uji Katalase

Uji katalase berguna dalam mengidentifikasi kelompok bakteri yang dapat menghasilkan enzim katalase sehingga dapat dibedakan antara bakteri aerob dan anaerob. Uji katalase dilakukan dengan cara, di atas kaca objek ditetesi satu tetes H2O2 3%, kemudian ditambahkan koloni bakteri dan langsung diamati terjadinya penguraian hidrogen peroksida. Hasil dinyatakan positif apabila menghasilkan enzim katalase yang ditandai dengan terbentuknya gelembung udara. Hasil dinyatakan negatif apabila tidak ada gelembung udara.

3. Uji Fermentasi Glukosa pada medium TSIA

Uji fermentasi glukosa pada medium TSIA digunakan untuk membedakan organisme enterik berdasarkan kemampuannya memfermentasi glukosa, sukrosa dan laktosa pada medium. Uji reaksi TSI Agar dilakukan dengan cara, koloni yang diuji dipindahkan ke agar miring TSIA dengan cara menggores bagian miringnya dan menusuk bagian tegaknya. Diinkubasi pada suhu 37⁰C selama 24-48 jam. Diamati perubahanperubahan sebagai berikut: Pada bagian tegak, jika bakteri dapat memfermentasi glukosa, warna media berubah dari ungu menjadi kuning. Tidak memfermentasi sukrosa, media tetap ungu. Dapat membentuk gas H2S, warna media berubah


(64)

48

dari ungu menjadi hitam, karena bakteri mampu mendesulfurasi asam amino dan metion yang akan menghasilkan H2S, dan H2S akan bereaksi dengan Fe2+ yang terdapat pada media yang menghasilkan endapan hitam. Pada bagian miring, jika bakteri dapat memfermentasi laktosa dan sukrosa, warna media berubah jadi kuning, tidak dapat memfermentasi laktosa atau sukrosa, warna media tetap merah atau tidak berubah.

4. Hidrolisis Tryptophan dan Motilitas Bakteri pada Medium SIM

Uji hidrolisis tryptophan digunakan untuk melihat kemampuan bakteri dalam menghidrolisis tryptophan menjadi indol. Uji ini dilakukan dengan cara, diino-kulasikan 1 ose bakteri pada medium SIM kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Setelah itu diteteskan reagen Ko-vacks (terdiri dari dimetil amino benzaldehid, namyl alkohol & HClp), jika terbentuk cincin merah berarti indol positif dan jika terbentuk cincin kuning berarti indol negatif. Terbentuknya cincin merah menandakan positif karena bakteri mem-bentuk indol dari tryptopan sebagai sumber karbon. Uji motilitas digunakan untuk melihat pergerakan dari bakteri. Uji motilitas dilakukan dengan cara, satu ose bakteri ditanam secara tegak lurus di tengah-tengah Medium SIM dengan cara ditusukkan, diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Bila timbul kekeruhan seperti kabut menandakan bakteri bergerak.


(65)

5. Uji Penggunaan Sitrat pada Medium SC

Uji ini digunakan untuk melihat kemampuan bakteri menggunakan sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon. Uji sitrat dilakukan dengan cara, diambil 1 ose bakteri dan diinokulasikan ke dalam medium Simmon Citrate Agar, diinkubasi pada suhu 35⁰C selama 48-96 jam, warna biru me-nunjukkan reaksi positif, warna hijau meme-nunjukkan reaksi negatif.

6. Uji Hidrolisis Urea

Uji hidrolisis urea dilakukan untuk melihat bakteri yang mampu menghasilkan enzim urease. Uji hidrolisis urea dilakukan dengan cara, digoreskan 1 ose biakan pada permukaan Urea Agar miring, setelah itu diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Timbulnya warna merah muda berarti reaksi positif dan negatif warna tidak berubah (Bonang, Gerard dan Koeswardono, 2002).

3.6.8 Uji Resistensi

Media difusi menggunakan kertas disk yang berisi antibiotik dan telah diketahui konsentrasinya. Pada metode difusi, media yang dipakai adalah agar Mueller Hinton. Cara Kirby-Bauer merupakan suatu metode uji sensitivitas bakteri yang dilakukan dengan membuat suspensi bakteri pada media Brain Heart Infusion (BHI) cair dari koloni pertumbuhan kuman 24 jam, selanjutnya disuspensikan dalam 0,5 ml BHI cair (diinkubasi 4-8 jam pada


(1)

69

c. Hasil yang didapatkan dari pemeriksaan uji konfirmasi ESBL (DDT) dari 10 sampel Klebsiella pneumoniae yang diambil dari

feses perawat adalah keseluruhan ESBL negatif. Sehingga tidak dapat dihitung dengan menggunakan uji statistika.

5.2 Saran

1. Bagi Institusi Kesehatan Sebaiknya dilakukan pengawasan dari RSUD.Dr.H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada penggunaan antibiotika, agar antibiotika yang diberikan dapat diberikan dengan indikasi yang lebih tepat,terutama untuk antibiotik golongan penicillin pada penatalaksanaan infeksi oleh bakteri Klebsiella

pneumoniae. Mengatur Standard Operating Procedure (SOP) yang

sesuai agar tidak merugikan pasien dan tenaga medis maupun paramedis.

2. Bagi perawat untuk meningkatkan personal hygiene dan bekerja sesuai dengan SOP sehingga meminimalisir risiko penularan infeksi nosokomial.

3. Bagi penelitian selanjutnya , dapat dilakukan penelitian .yang

diambil dari feses perawat di Rumah Sakit lainnya di Bandar Lampung serta menguji pola kepekaannya terhadap antibiotika yang sering digunakan dengan uji lainnya.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Afunwa, Ruth A., Damian C. Odimegwu., Romanus I. Iroha., Charles O. Esimone. 2011. Antimicrobial Resistance status and prevalence rates of Extended Spectrum Beta-Lactamase (ESBL) producers isolated from a mixed human population. Bosnian Journal of Basic Medical Sciences. 11 (2): 92-96.

Al-Jasser, Asma M. 2006. Extended-Spectrum Beta-Lactamases (ESBLs): A Global Problem. Kuwait Medical Journal. 38 (3): 171-185.

Anggriawan, F., Endriani, R., Pribadi, L., Sembiring. 2014. Identifikasi Bakteri Gram negatif penghasil ESBL dari ulkus diabetikum derajat I dan II waigner dibangsal penyakit dalam RSUD Arifin Ahmad Provinsi Riau. Repository Universitas Riau.

Billater M. 2006. Bacterial Resistance. Pharmacotherapy Self-Assessment Program; 4:169-189. http://www.accp.com/p4b4m2samples.pdf. Diakses 6 september 2015.

Bisht, R., Katiyar, A., Singh, R., Mittal, P. 2009. Antibiotic Resistance-A Global Issue of Concern. Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical Research. 2(2)

Blomberg, B. 2005. High rate of fatal cases of pediatric septicemia caused by gram negative bacteria with extended-spectrum beta-lactamase in Dar es Salam, Tanzania. J ClinMicrobiol. 3(2):745-9.

Bonang, Gerard dan Koeswardono, Enggar S. 2002. Mikrobiologi Kedokteran untuk Laboratorium dan Klinik. Jakarta : Gramedia.

Brenner, D.J., Krieg, N.R. dan Staley, J.T. 2005. Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology Second Edition, Volume Two the Proteobacteria. Springer: USA.

Brooks, Geo F., Janet, S., Butel Stephen, A., Morse. 2007. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg, ed 23. Jakarta; EGC. pp: 251-254.

Carol. A .2007. First Generation of Cephalosporine: summary of the first international symposium. J Antimicrob Chemother. Clin Microbiol Rev; 14:933-951.


(3)

71

Chambers, Henry F. 2006. Beta-Laktam Antibiotics & Other Inhibitors of Cell Wall Synthesis. In : Katzung, Bertram G, et al. Basic and Clinical Pharmacology. 10th ed. New York : McGraw Hills; p754- 773.

Christian Nicole, Roye-Green, K., Monica. 2010. Molicular Epidemiology of Multidrugs Resistent Esbl producing Klebsiella pneumoniae at Jamaican Hospital 200 – 2004. BMC microbial. 10(27).

Clinical and Laboratory Standards Institute, 2013. M100-S23 Performance Standard of Antimicrobial Suscpetibility Testing. Clinical and Laboratory Standards Institute.

Darmadi. 2008. Infeksi Nosokomial : Problematika Dan Pengendaliannya. Jakarta : Salemba Medika

D’Azevedo PA, Goncalves, ALS, Musskopf MI, Ramos CG, Dias , CAG .2004.

Laboratory tests in the detection of extended spectrum β-Lactamase production: National Committee for Clinical Laboratory Standards (NCCLS) screening test, the Etest, the double disk confirmatory list,. Braz. J. Infect. Dis. 8(5): 372-377.

Depkes RI. 2007. Pedoman Pencegahan Dan Penanggulangan Infeksi Di Rumah Sakit Dan Fasilitas Kesehatan Lainnya. Jakarta.

Firizki, F. 2013. Pattern Sensitivity of E.Coli And K.Pneumoniae sp. To Antibiotic Sefalosporin periode of year 2008 – 2013 in Bandar lampung. Medical Faculty University of Lampung. ISSN 2337 – 3776.

Frost dan Sullivan 2010. Hospital-acquired Infection – Trends Across Europe. Availablefrom:http://www.sicherheitimop.at/documents/FrostSullivanHospi talInfectionsT rendsacrossEuropeJuni2010.pdf. diakses 6 september 2015. Goodman, A., dan Gilman, H. (2007). Dasar Farmakologi Terapi , Edisi

kesepuluh. Jakarta: EGC. 1. 682-684.

Hapsari dan Kurniawan. 2007. Kesehatan Masyarakat Indonesia. Jurnal of the Indonesia Public Health Association .1:68

Hidayat, A. A. A. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika

Ikeda, Y., Mamiya. T., Nishimaya, H., Koseki, T., Mouri, A., Nabeshima, T. 2012. Nagoya J Med, Sci. 74 ; 105 – 14.

Jawetz, Melnick, Adelberg, Geo F, Brooks., Janet S. B., dan Stephen A. M. 2008. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 23. EGC. Jakarta. 225-28


(4)

Jensen L.B, Hasman H, Agerso Y, Emborg H.D, Aurestrup, Frank M. 2006. First Description of an Oxyimono Cephalosporine-resistant, ESBL Carrying Escherichia coli Isolated from Meat Sold in Denmark. Journal Antimicrobial Chemotherapy. Diakses 9 September 2015.

Kang, C. 2006. Community-Acquired versus Nosocomial Klebsiella Pneumoniae Bacteremia: Clinical Features, Treatment Outcomes, and Clinical Implication of Antimicrobial Resistance. J Korean Medical Science. 1: 816-22.

Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson J.L. 2005.

Harrison’s Manual of Medicine (16th

). The McGraw-Hill, New York

Katzung, Bertram G. 2012. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 10. Jakarta : EGC.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Buku Panduan Hari Kesehatan Sedunia. Keputusan Menteri Kesehatan Tentang Standard Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit. 2004. No 1197/MENKES/SK/X/2004.

Kramer, A, Schwebke, I dan Günhow. 2006. Nosocomial Pathogens Persist on Inanimate Surfaces: A Systematic Review. BMC Infectious Disease. 6:130. Kuncoro, P. 2010. Uji Sensitivitas Strain Bakteri Salmonella typhi Isolat Jawa

Terhadap Lima Jenis Antibiotik. Thesis. Universitas Muhammadiyah Semarang.

Kusuma, Sri A.F. 2010. Escherichia coli. Makalah. Universitas Padjajaran Fakultas Farmasi. Bandung.

Livermore DM. 2005. β-lactamases in laboratory and clinical resistance. Clin Microbiol Rev; 8: 557-84.

Mahmudah, R. 2013. Identifikasi Metichillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) pada tenaga medis dan paramedic ruang Intensive Care Unit (ICU) dan ruang perawatan bedah Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek. Skripsi. Universitas Lampung.

Mycek, 2006. Farmakologi Ulasan bergambar, : 304-29. Jakarta : Widya Medika Nathisuwan S., Burgess D.S., Lewis II J.S. 2005. ESBLs : Epidemiology,

Detection and Treatment. Pharmacotherapy. 21(8): 921-928.

National Committee for Clinical Laboratory Standards. 2005. Performance standards for antimicrobial susceptibility testing; 15th informational supplement (M100-S15). National Committee for Clinical Laboratory Standards, Wayne, Pa


(5)

73

Noer, Siti F. 2012. Pola Bakteri dan resistensinya Terhadap Antibiotik yang ditemukan pada Air dan Udara Ruang Iinstalasi Rawat Kkhusus RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Majalah Farmasi dan Farmakologi. 16. 73 – 78

Novelni, Ratna. 2011. Identifikasi dan Uji Resistensi Bakteri Penyebab Infeksi Nosokomial Pada Pasien Rawat Inap Pengguna Kateter Pada Bangsal RSUP DR. M. Djamil Padang. Skripsi. Universitas Andalas

Paterson, David L., Bonomo, Robert A. 2010. Extended-Spectrum β-Lactamases :a Clinical Update. Clinical Microbiology Review vol 18. pp:657-686 (http://cmr.asm.org/cgi/content/full/18/4/657, diakses tanggal 4 September 2015)

.

Prabhu, N. 2006. A Rapid Method of Evaluating Microbial Load in Health Care Industry and Application of Alcohol to Reduce Nosocomial Infection. Journal of the Academy of Hospital Administration. 18(1) , P. 1-12

Purnomo, Andaru dan Prabowo. 2012. Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Tentang Universal Precaution Dengan Pelaksanaan Universal Precaution Di Instalasi Rawat Inap RSUD Majenang. Yogyakarta: Universitas Respati Yogyakarta

Purwono, A. 2012. Kejadian Infeksi Enterobacteriaceae penghasil Esbl dan Hubungannya dengan pengguna Antibiotika pada pasien ICU RS CiptoMangun Kusumo pada 2011. Skripsi. Fakultas kedokteran Universitas Indonesia.

Refdanita, Maksum R, Nurgani A, Endang P. 2004. Pola Kepekaan Kuman Terhadap Antibiotika di Ruang Rawat Intensif Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Tahun 2001-2002. Makara Kesehatan. 8(2):41-48.

Rishi, H., Dhillon, Clark, J. 2012. ESBLs: A clear and present danger. Critical care reasearch and practice : Hindawi Publishing Corperatiaon. Vol.2000.

Rupp, M.E dan Fey, P.D., 2003. Extended spectrum β-lactamase (ESBL)-producing Enterobacteriaceae. Drugs, 63(4): 353-365

Sabarguna, B.S. 2007. Sistem Bantu Keputusan Untuk Fasilitas Rumah Sakit. Jakarta : Sagung Seto.

Saragih, Iwan. 2012. Uji Keberadaan Enzim ESBL pada Klebsiella pneumonia dari isolat klinik Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek dan Laboratorium Kesehatan Daerah Provinsi Lampung Periode 2010 – 2011. Skripsi. Universitas Lampung.


(6)

Sharma, Meeta. 2013. Prevalence and antibiogram of Extended Spectrum β -Lactamase (ESBL) producing Gram negative bacilli and further molecular characterization of ESBL producing Escherichia coli and Klebsiella spp. Journal of Clinical and Diagnostic Research. Vol-7(10): 2173-2177

Sujudi. 2002. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Bina Rupa Aksara. p. 155-6. Steven K, Alexander, Dennis, Strere, Mary Jane, Niles et al. 2004. Laboratory

Exercises in Organismal and Molecular Microbiology. Mc Graw Hill. USA. Tarigan, Jamuda J.W. 2008. Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker Di Rumah

Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. USU e-Repository. Fakultas Farmasi.Universitas Sumatra Utara

Tarwoto dan Wartonah. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan Edisi ketiga. Jakarta : Salemba Medika.

Tennant dan Harding. 2005. Microbial Isolates from Patients in An Intensive Care Unit, and Associated Risk Factors. West Indian Medical Journal. 54(4). Tjay, T. H., dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan

Efek-Efek Sampingnya. Edisi ke VI. Jakarta: PT Elex Media Komputindo: hal. 193

Tripathi, K.D. 2003. Antimicrobial Drugs: General Consideration. Essential of Medical Pharmacology. 5th ed. Jaypee Brothers Medical Publishers. New Delhi.

Umeh, O. 2011. Klebsiella Infections. Emedicine Web Site. [online]. http:// emedicine.medscape.com/article/219907-overview. diakses 5 september 2015.

Wahyono, H. 2007. Peran Mikrobiologi Klinik pada Penanganan Penyakit Infeksi. Pidato Pengukuhan Guru Besar Mikrobiologi. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

Wulandari, P. 2013. Pengaruh Ekstrak Etanol Daun Kembang Sepatu (Hibiscus rosa-sinensis L.) Terhadap Pertumbuhan Klebsiella pneumoniae dari Isolat Sputum Penderita Ppneumonia di RUDZA. Skripsi. Aceh : Universitas Syiah Kuala.

Winarto. 2009. Prevalensi Kuman ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamase) dari Material Darah di RSUP Dr. Kariadi Tahun 2004-2005. Media Medika Indonesia. 43(5): 260-268.

Yuwono. 2011. Pervalensi Gen TEM in ESBL producing Enterobacteriaceae. Jurnal Kedokteran dan kesehatan. 43(1) ; 3098-102.