PELAJARAN DARI EKSEKUSI MATI REFORMASI D

PELAJARAN DARI EKSEKUSI MATI: REFORMASI DIPLOMASI
Jakarta, banyak isu mewarnai pemerintahan kita. Setelah sebelumnya kisruh
KPK-Polri hangat diperbincangkan selama 1 bulan, kali ini eksekusi mati gelombang
ke-dua menjadi perhatian publik. Apalagi, mayoritas terpidana mati gelombang kedua ini adalah warga negara asing. Beberapa diantaranya yang fenomenal adalah duo
Bali Nine, yaitu Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Dengan pernyataan
penyesalan yang diberikan oleh duo Bali Nine dan sikap berkelakuan baik saat di
penjara Krobokan Bali, Australia menilai hal tersebut bisa menjadi pertimbangan agar
mereka tidak dieksekusi mati. Bahkan pemerintah Australia sempat menawarkan
‘barter’ terpidana demi menyelamatkan Chan dan Sukumaran dari hukuman mati.
Meski Presiden Joko Widodo tetap tegas mengatakan bahwa hukuman harus
ditegakkan dan eksekusi mati akan terus berjalan, Perdana Menteri Australia Tony
Abbott terus menerus bermanuver hingga rakyat Indonesia bereaksi atas pernyataanpernyataannya yang dinilai kontroversial. Pengamat politik sekaligus pendiri Populi
Center, Dr. Nico Harjanto melihat reaksi Abbott seagai perpanjangan dari politik di
dalam negeri. “Tony Abbott kayaknya keras menawarkan ini itu, tampil heroik,
namun di dalam negeri dia kurang bisa begitu tegas,” ujarnya pada diskusi Perspektif
Indonesia bertema “Diplomasi dan Hukuman Mati”, Sabtu 7 Maret 2015.
Sementara itu, koordinator Koin untuk Australia, Andi Haryanto Sinulingga
menegaskan pernyataan Tony Abbott mengundang reaksi dari sejumlah masyarakat.
Terlebih saat dia mengungkit bantuan untuk korban Tsunami di Aceh. “Kehormatan
sebuah bangsa yang diancam-ancam, setiap aksi yang berlebihan akan muncul
reaksi-reaksi apalagi mengkaitkan bantuan kemanusiaan dengan problem sensitif,”

tegasnya.
Sebagai gambaran, gerakan Koin untuk Australia adalah bentuk dari kanalisasi
suara dan partisipasi rakyat. Gerakan ini sudah ada di Balikpapan, Kedutaan Besar
Indonesia di Arab Saudi, HMI PII, dan hampir relatif dari seluruh Indonesia. Gerakan
ini sebagai aksi menjaga kedaulatan harkat dan martabat bangsa sekaligus reaksi dari
pernyataan Perdana Menteri Abbott yang melukai hati warga Indonesia, tidak hanya
di level elit melainkan sudah merambah ke level akar rumput. Andi pun
membandingkan sikap Indonesia saat warga negara Indonesia dihukum mati di luar
negeri. “Kita proses dengan hukum juga, gak ancam-ancam seperti itu,” tutur Andi.
Ketua departemen hubungan internasional Universitas Bina Nusantara, Dr.
Tirta Mursitama menganggap langkah tegas Presiden Jokowi secara nyata
mengirimkan pesan ke dunia internasional bahwa Indonesia juga memiliki keteguhan.
“Saya tidak terlalu khawatir dengan efek yang muncul. Kalau kita lemah, kita bisa
digerogoti,” jelasnya. Lebih lanjut, Dr. Tirta juga menilai politik luar negeri itu
hanyalah persepsi dan memiliki seni. Mereka bisa menggempur dengan berbagai cara
supaya Indonesia tunduk. Tentunya, ini menjadi pekerjaan rumah bagi para diplomat
kita supaya mereka kreatif dan inovatif menciptakan gaya diplomasi yang baru
khususnya dalam menindaklanjuti diplomasi secara teknis (diplomacy in action).
Direktur pascasarjana bidang diplomasi Universitas Paramadina, Dr. Dinna
Wisnu pun mengungkap bahwa sebenarnya di dalam Kementerian Luar Negeri pun

juga terbelah karena banyak yang kecewa dengan sikap Presiden Jokowi. “Di dunia
internasional, terakhir International Crime Tribunal untuk Ruwanda dan Yugoslavia,
hukuman mati sama sekali tidak ada di atas meja. Ini menunjukkan negara lain
berhasrat untuk menghapuskan hukuman mati,” tuturnya. Menurut Dr. Dinna, apabila
Indonesia masih memberlakukan hukuman mati, maka dalam jangka pendek, poin

negosiasi menjadi lemah ketika warga negara Indonesia mau dihukum mati di negara
lain.
Menanggapi hal ini, Dr. Nico pun menganalisa lebih jauh, bahwa sebenarnya
bukan keputusan eksekusi matinya melainkan caranya yang kemudian menjadi
kontroversial. Eksekusi mati dapat diterapkan pada kasus selektif yang sifatnya
extraordinary crime. Namun metode tembak yang digunakan dalam eksekusi mati
kurang bisa diterima. “Metode ini penting karena mempengaruhi perspektif seberapa
baik sistem penegak hukum,” ucapnya.
Sementara itu, apabila kita berbicara mengenai politik luar negri, wajah politik
luar negri kita, menurut Dr. Tirta, adalah hasil dari proses historis yang panjang.
“Diplomasi sopan santun. Indonesia dikenal dengan diplomasi yang sopan (zero
enemy),” paparnya. Padahal, dalam berdiplomasi, tidak mungkin suatu negara tidak
punya musuh. Sebagai bangsa yang santun, tidak berarti bangsa Indonesia menjadi
bangsa yang lemah dan minder. Ketegasan Jokowi menjadi momentum tersendiri bagi

Dr. Tirta karena dapat digunakan sebagai kesempatan untuk merevitalisasi wajah
diplomasi. Terlebih, dengan adanya gerakan Koin untuk Australia, dapat dilihat
sebagai bagian perlawanan yang tidak konfrontatif melainkan santun.
Dr. Nico pun mengamini pernyataan Dr. Tirta. Dirinya menilai Jokowi lebih
ekspansif dan agresif dibanding pemerintahan sebelumnya. Dengan pemerintahan
yang tidak mau banyak berkompromi, identitas baru ini tentunya dapat mempengaruhi
pola diplomasi day to day.
Bahkan Dr. Nico pun menyatakan bahwa posisi eksekusi mati bisa dianggap
sebagai signalling dari program kerja Jokowi-JK yang berskala internasional. Dr.
Nico menginterpretasikan Jokowi melakukan eksekusi di timing sekarang, untuk
mengantisipasi pertemuan pemimpin negara lain di forum internasional lainnya. Para
diplomat juga diharapkan mampu mengkonversikan putusan ini agar menjadi nilai
tambah untuk Indonesia kedepannya dalam bernegosiasi. (ne)*