LEGALITAS PENJATUHAN EKSEKUSI MATI DALAM KASUS BALI NINE DARI PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL.

(1)

SKRIPSI

LEGALITAS PENJATUHAN EKSEKUSI MATI

DALAM KASUS BALI NINE DARI PERSPEKTIF

HUKUM INTERNASIONAL

I GEDE BAGUS WICAKSANA NIM. 1203005027

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

SKRIPSI

LEGALITAS PENJATUHAN EKSEKUSI MATI

DALAM KASUS BALI NINE DARI PERSPEKTIF

HUKUM INTERNASIONAL

I GEDE BAGUS WICAKSANA NIM. 1203005027

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

SKRIPSI

LEGALITAS PENJATUHAN EKSEKUSI MATI

DALAM KASUS BALI NINE DARI PERSPEKTIF

HUKUM INTERNASIONAL

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

I GEDE BAGUS WICAKSANA NIM. 1203005027

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(4)

(5)

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan karunia-Nya skripsi yang berjudul “LEGALITAS PENJATUHAN EKSEKUSI MATI DALAM KASUS BALI NINE DARI PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL” ini, dapat diselesaikandengan baik dan tepat pada waktunya.

Skripsi ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi kewajiban terakhir mahasiswa dalam menyelesaikan perkuliahan pada Fakultas Hukum Universitas Udayana sehingga dapat dinyatakan selesai menempuh program Sarjana (S1) untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena terbatasnya kemampuan dan pengalaman penulis, baik teori maupun praktek. Penulis berharap semoga skripsi ini memenuhi kriteria salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Dalam menyusun skripsi ini, penulis mendapatkan arahan dan dukungan dari berbagai pihak baik secara materiil maupun immateriil. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H., M.H., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak Dr. Gde Made Swardhana, S.H., M.H., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.


(7)

3. Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari, S.H., M.H., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

5. Bapak Ida Bagus Erwin Ranawijaya SH., MH, Ketua Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, saran, dukungan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan ini.

6. Bapak I Gede Pasek Eka Wisanjaya, SH., MH, Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, saran, semangat dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan ini.

7. Bapak I Made Budi Arsika, SH., LLM, Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, saran, semangat, dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan ini.

8. Ibu Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, SH.,M.H., Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis dari awal kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah menuntun dan memberikan ilmu pengetahuan selama kuliah sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.

10. Bapak dan Ibu Staff Laboratorium, perpustakaan, dan tata usaha yang telah memberikan bantuan selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana.


(8)

11. Dewan Penguji Skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk menguji skripsi ini.

12. Kepada keluarga penulis Ayah tercinta I Kadek Suparma, Ibu tercinta Ni Kadek Sri Yundari dan adik tersayang I Kadek Parma Astawa terimakasih atas doa, kasih sayang serta dorongan morilnya selama penulis mengikuti pendidikan. Terimakasih atas kesabaran, pengorbanan, dukungan, perhatian, dan terus menemani serta memberikan semangat kepada penulis selama mengikuti pendidikan dasar sampai dalam menyelesaikan studi Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Udayana.

13. Kepada sahabat-sahabat seperjuangan penulis Gusti Made Triantaka, A.A Ngurah Ari Dwiatmika, A.A. Gde Bayu Putra Pemayun, Sulbianti, Gekin Damayanti, Dewi Lestari, Arista Wirdiantara, Putri Purnama Santhi, Ema Wulandari, Maria Margaretha, Yudi Gabriel, Dayu, Leona, Nia, Intan, Yupit, Alit, Yeyen, Gung Ari, Nita, Ayu Purnama, Tebo, Mita, Kevin, Tutik, Ayu Pasek, Gung Gus, Tamy, Baruna, Gung Dalem, Gek Mas, Ayu Kapal, Dedek, Lepok, Rony, Made, Gung Andi, Surya (Sincan), Gung Arik dan teman-teman lainnya yang tidak bisa saya sebutkan namannya satu persatu serta rekan-rekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Angkatan 2012 yang telah menemani mulai dari awal kuliah hingga menyelesaikan jenjang pendidikan sarjana ini.


(9)

14. Kepada keluarga besar Student Community For International Law (SCIL) yang senantiasa memberikan pengalaman berharga dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, Kak Aldo, Gung Gus, Dewi Lestari, Taka, dan Dwi.

15. Kepada teman-teman Anggota BPM Periode 2014//2015 yang senantiasa memberikan pengalaman yang berharga, Kak Gus Eka, Kak Ella, Kak Trisna, Kak Sisca, Kak Rahma, Kak Santhi, Kak Putri, Adel, Alex, Ayu Pande, Dalem, Dedik, Elsye, Paramarta, Sumiasih, Krisna Adhi, Nara, Oka, Renatha, Gunadi, dan Yolanda

16. Kepada teman-teman Bidikmisi, Asri, Dede Sannyasa, Ema Wulandari, Gek Mas Widiasih, Hendra, Paramarta, Jerry, Mitharosa, Najib, Surya, Srigati, Tami, Titin, Janitri, Permana Putra, dan Abo yang telah menemani dan membantu selama perkuliahan hingga menyelesaikan jenjang pendidikan sarjana ini.

17. Kepada keluarga KKN-PPM 2016 di Desa Gubug, Abi, Maha, Alit, Eca, Billy, Gek Erni, Gita, Oming, Jengit, Joddy, Reni, Raka, Resa, dan Ugra yang senantiasa memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Semoga mereka yang telah mendoakan, memberikan arahan, bantuan dan dukungan kepada penulis, mendapatkan imbalan dan kemudahan dalam setiap langkah dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan dalam penulisan hasil penelitian ini. Dengan kerendahan hati, penulis menghargai dan menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.


(10)

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat, baik sebagai bahan bacaan maupun untuk pengetahuan bagi yang memerlukan.

Denpasar, 16 Mei 2016


(11)

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN ... i

HALAMAN SAMPUL DALAM ... ii

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING/PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PENETAPAN PENGUJI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... xi

DAFTAR ISI ... xii

ABSTRAK ... xvi

ABSTRACT ...xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Rumusan masalah ... 7

1.3 Ruang Lingkup Masalah... 7

1.4 Tujuan Penelitian... 7

A. Tujuan Umum ... 7

B. Tujuan Khusus ... 8

1.5 Manfaat Penelitian ... 8

A. Manfaat Teoritis ... 8

B. Manfaat Praktis ... 8

1.6 Landasan Teoritis ... 9


(13)

A. Jenis Penelitian ... 14

B. Jenis Pendekatan ... 15

C. Bahan Hukum ... 15

D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 17

E. Teknik Analisis Bahan Hukum ... 18

BAB II TINJAUAN UMUM HAK ASASI MANUSIA DAN HUKUMAN MATI 2.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Hak Asasi Manusia ... 19

2.1.1. Pengertian... 19

2.1.2. Sejarah Perkembangan ... 20

2.1.3. Jenis-Jenis ... 22

2.2. Tinjauan Tentang Hukuman Mati ... 24

2.2.1. Sejarah Perkembangan Hukuman Mati di Dunia ... 24

2.2.2. Sejarah Perkembangan Hukuman Mati di Indonesia ... 25

2.2.3. Kontroversi Penjatuhan Hukuman Mati ... 28

2.2.3.1 Pandangan yang Pro Hukuman Mati ... 29

2.2.3.2 Pandangan yang Kontra Hukuman Mati ... 30

BAB III DASAR HUKUM PENJATUHAN HUKUMAN MATI DALAM KASUS BALI NINE 3.1. Posisi Kasus Bali Nine ... 38

3.2. Dasar Hukum Penjatuhan Eksekusi Mati Dalam Kasus Bali Nine .... 41


(14)

3.2.2 Putusan Pengadilan Terkait Penjatuhan Hukuman Dalam Kasus Bali Nine ... 45 3.3. Tinjauan Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 ... 46 3.4. Tinjauan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

Tentang Hak Asasi Manusia... 50

BAB IV LEGALITAS PENJATUHAN HUKUMAN MATI DALAM KASUS

BALI NINE DILIHAT DARI PERSPEKTIF HUKUM

INTERNASIONAL

4.1. Tinjauan BerdasarkanThe Universal Declaration of Human Rights. 56 4.1.1 Pengaturan Hak untuk Hidup Dalam The Universal

Declaration of Human Rights Terkait Penjatuhan Hukuman Mati ... 57 4.1.2 Legalitas Penjatuhan Eksekusi Mati Dalam Kasus Bali Nine

MenurutThe Universal Declaration Of Human Rights ... 59 4.2. Tinjauan Berdasarkan International Covenant on Civil and

Political Rights... 60 4.2.1 Analisis Pasal 6 International Covenant On Civil And

Political Rights dan Second Optional Protocol Terkait Penjatuhan Hukuman Mati ... 61 4.2.2 Legalitas Penjatuhan Eksekusi Mati dalam Kasus Bali Nine

Menurut International Covenant on Civil and Political Rights... 66


(15)

4.3. Tinjauan Berdasarkan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances... 68

4.3.1 Penerapan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika... 69 4.3.2 Legalitas Penjatuhan Eksekusi Mati dalam Kasus Bali Nine

Menurut United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances... 72

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 76 5.2 Saran ... 78


(16)

ABSTRAK

Hukuman mati adalah suatu bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan pengadilan kepada seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya. Bali Nine merupakan salah satu kasus yang dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan karena berkaitan dengan narkotika. Bali Nine adalah sebutan yang diberikan media massa kepada sembilan orang Australia yang ditangkap pada tanggal 17 April 2005 di Bali, Indonesia dalam usaha menyelundupkan heroin seberat 8,2 kg dari Indonesia ke Australia. Permasalahan dalam penulisan ini adalah bagaimana legalitas penjatuhan eksekusi mati dalam kasus Bali Nine dari perspektif hukum internasional. Penelitian ini penting dilakukan untuk memberikan kontribusi keilmuan secara ilmiah terkait pengembangan hukum internasional dan juga terkait dengan legalitas penjatuhan hukuman mati di masa yang akan datang.

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini termasuk dalam kategori atau jenis penelitian hukum normatif. Perlunya penelitian hukum normatif ini adalah beranjak dari adanya kekaburan norma hukum yang berkaitan dalam permasalahan penelitian, sehingga di dalam mengkajinya mempergunakan sumber-sumber bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.

Penjatuhan hukuman mati merupakan sebuah kontroversi yang terjadi di dalam masyarakat. Kontroversi pidana mati juga sering dikaitkan dengan persoalan hak asasi manusia (HAM). Pelaksanaan hukuman mati dituding sebagai tindakan pelanggaran HAM, khususnya hak untuk hidup yang tidak bisa dicabut oleh siapa pun kecuali Tuhan, sedangkan pihak lain mengatakan hukuman mati patut dilakukan bagi mereka yang melakukan kejahatan besar. Penjatuhan hukuman mati dalam kasus Bali Nine adalah sah (legal) dari perspektif hukum internasional, baik menurut Universal Declaration of Human Rights (UDHR), International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), maupun United Nation Convention Agains the Illicit Traffic in Narcotics Drugs and Psychotropic Substantives (Konvensi Narkotika dan Psikotropika) selama masih adanya aturan yang membatasi hak dan kewajiban setiap orang. Hal tersebut juga merupakan salah satu konsekuensi dari keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Narkotika dan Psikotropika.


(17)

ABSTRACT

The death penalty is a form of punishment that is imposed by a court to a person over the deeds he had done. Bali Nine is one case penalty to death by a court because it is associated with narcotics. Bali Nine is the name given to the mass media of nine Australians arrested on April 17, 2005 in Bali, Indonesia in an attempt to smuggle 8.2 kg of heroin from Indonesia to Australia. The main issues which will observed are about how the legality of the imposition of execution in the case of the Bali Nine from the perspective of international law. This research is important as a science contribution related to international law advance and legality of the imposition of the death penalty in the future.

Normative legal method was apply in this research. The need of this normative legal method is arising from the vage normen which related in research issues, therefore in its study use primary, secondary, and tertiary legal materials.

Imposition of the death penalty is a controversy going in community. Controversy death penalty is also relation with human rights issue. The death penalty is being accused of human rights violations, particularly the right to life which can not be revoked by anyone except God, while others say the death penalty is appropriate for those who commit major crimes. Imposition of the death penalty in the case of the Bali Nine legal from perspective of international law, according to both the Universal Declaration of Human Rights (UDHR), International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), and United Nations Convention agains the Illicit Traffic in Narcotics Drugs and Psychotropic Substantives (Convention on Narcotic Drugs and Psychotropic Substances) as long as the rules that restrict the rights and obligations of each person. It is also a consequence of participation Indonesia in the Convention on Narcotic Drugs and Psychotropic Substances.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sembilan warga Australia ditangkap pada tanggal 17 April 2005 di bandar udara (bandara) Internasional I Gusti Ngurah Rai Bali, Indonesia dengan tuduhan berupaya menyelundupkan lebih dari 8 kilogram heroin ke luar dari Indonesia, yakni dari Bali menuju Australia.1 Martin Eric Stephens, Renae Lawrence, Scott Anthony Rush, dan Michael William Czuga ditangkap di bandara tersebut dengan mengikat sejumlah paket heroin ke tubuh mereka.2

Scott Anthony Rush membawa heroin seberat 888 gram yang dililitkan dengan plester warna cokelat dan stagen warna cokelat muda yang berlapiskan kain warna biru merek Futoro yang ditempelkan pada pinggang bagian belakang, heroin seberat 414,37 gram pada paha kaki kanan dan heroin seberat 389,90 gram pada paha kaki kiri.3 Pelaku lainnya, Renae Lawrence membawa heroin seberat 809,84 gram yang dibungkus plastik bening dililit perban putih dan heroin seberat 1450,90 gram yang dibungkus dalam empat bungkus plastik bening bertuliskan Food Saver Rolls By Tillia ditaburi serbuk merica dililit isolasi warna bening.4 Selanjutnya, Martin Eric Stephens membawa heroin seberat 956,59 gram yang dibungkus plastik bening dililit perban putih dan heroin seberat 798,09 gram yang

1

Kompas TV, “Ini Kronologi Kasus Narkoba Kelompok Bali Nine”, URL: http://regional.kompas.com/read/2015/04/29/06330021/Ini.Kronologi.Kasus.Narkoba.Kelompok.B ali.Nine. Diakses Tanggal 16 Januari 2016

2

Ibid.

3

Putusan Mahkamah Agung No. 37 PK/Pid.Sus/2011 Mengenai Peninjauan Kembali Perkara Pidana Atas Nama Terpidana Andrew Chan.

4

Putusan Mahkamah Agung Nomor : 28 PK/Pid.Sus/2011 Mengenai Peninjauan Kembali Perkara Pidana Atas Nama Terpidana Scott Anthony Rush.


(19)

2

dibungkus dalam dua bungkus plastik bening bertuliskan Food Saver Rolls By Tillia, pelaku lainnya bernama Michael William Czuga saat tertangkap membawa dua kantong plastik heroin seberat 334, 26 gram yang dimasukkan di dalam tas gendong miliknya.5

Sementara itu, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran ditangkap di bandara yang sama karena dianggap terkait dengan tujuh warga yang ditangkap.6 Andrew Chan membawa heroin seberat 807,27 gram yang dibungkus plastik bening dililit perban putih dan heroin seberat 1361,70 gram yang dibungkus dalam empat bungkus plastik bening bertuliskan Food Saver Rolls by Tillia ditaburi serbuk merica dililit isolasi warna bening, sedangkan Myuran Sukumaran membawa tiga bungkus plastik yang berisi heroin seberat 888 gram dililit plester warna coklat dan stagen warna coklat berlapis kain biru merk Futoro dan heroin seberat 804,27 gram yang dililit plester warna coklat.7

Tiga pelaku lainnya, Si Yi Chen, Tan Duc Thanh Nguyen, dan Matthew James Norman ditangkap di Hotel Melasti dekat Pantai Kuta, atas kepemilikan 334,26 gram heroin yang ditemukan di dalam tas koper warna cokelat.8 Tas tersebut berisi satu tas gendong warna biru kombinasi hitam yang di dalamnya berisi satu bungkus kertas koran yang berisi 2 buah kantong plastik heroin tersebut dan satu kantong plastik berisi serbuk merica warna cokelat.9

Pada tanggal 13 Februari 2006, berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Denpasar, Renae Lawrence dan Scott Anthony Rush dijatuhi hukuman penjara

5

Ibid.

6

Kompas TV,Loc.cit.

7

Putusan Mahkamah Agung Nomor: 28 PK/Pid.Sus/2011 Mengenai Peninjauan Kembali Perkara Pidana Atas Nama Terpidana Scott Anthony Rush.

8

Kompas TV,Loc.cit.

9


(20)

3

seumur hidup. Hakim mengatakan, tidak ada bukti untuk mendukung klaim bahwa mereka telah dipaksa membawa obat-obatan dengan ancaman anggota keluarga mereka akan dibunuh.10 Pada tanggal 14 Februari 2006, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran dinyatakan bersalah dengan ancaman hukuman mati karena mereka dianggap telah menyediakan uang, tiket pesawat, dan hotel kepada para penyelundup. 11 Sementara itu, Michael William Czugaj dan Martin Eric Stephens dihukum penjara seumur hidup. Keesokan harinya, pada tanggal 15 Februari 2006, Matthew James Norman, Si Yi Chen, dan Tan Duc Thanh Nguyen diputuskan bersalah dengan hukuman penjara seumur hidup.12

Pada tanggal 6 September 2006, hukuman bagi Scott Anthony Rush, Tan Duc Thanh Nguyen, Si Yi Chen, dan Matthew James Norman diperberat menjadi hukuman mati setelah sebelumnya mereka mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi untuk mendapat hukuman yang lebih ringan.13 Sementara itu, hukuman bagi Michael William Czugaj, Renae Lawrence, dan Martin Eric Stephens tetap mendapat hukuman penjara seumur hidup dan hukuman mati bagi Andrew Chan dan Myuran Sukumaran tidak berubah setelah Pengadilan Tinggi Denpasar menolak permohonan banding keduanya.14 Mereka juga sempat mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung RI, namun permohonan kasasi mereka ditolak. Merasa tidak puas dengan penolakan permohonan kasasi yang mereka

10

Lihat Republika.co.id, 2015,”Jalan Panjang Dua Anggota Bali Nine Menuju Eksekusi Mati”, URL: http://m.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/02/23/nk88ri-jalan-panjang-dua-anggota-embali-nineem-menuju-eksekusi-mati. Diakses tanggal 22 Januari 2016

11

Ibid.

12

Ibid.

13

Lihat CNN Indonesia, 2015, “Kronologi Kasus Narkotika yang Menjerat Duo Bali Nine”, URL: http://m.cnnindonesia.com/nasional/2015428185400-kronologi-kasus-narkotik-uang-menjerat-duo-bali-nine/. Diakses tanggal 22 Januari 2016.

14


(21)

4

ajukan, maka mereka mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung RI sekitar bulan Januari 2008. Sehingga, pada tanggal 6 Maret 2008 Mahkamah Agung memutuskan untuk mengurangi hukuman mati bagi Tan Duc Thanh Nguyen, Si Yi Chen, Matthew James Norman dan Scott Anthony Rush menjadi penjara seumur hidup, Sedangkan Andrew Chan dan Myuran Sukumaran tetap dijatuhi hukuman mati.15

Bali Nine adalah sebutan yang diberikan media massa kepada sembilan orang Australia yang ditangkap pada tanggal 17 April 2005 di Bali, Indonesia dalam usaha menyelundupkan heroin seberat 8,2 kg dari Indonesia ke Australia.16 Dua diantara sembilan orang pelaku kasus narkoba tersebut yaitu Andrew Chan dan Myuran Sukumaran dijatuhi hukuman mati.17 Penjatuhan hukuman mati terhadap dua terdakwa kasus Bali Nine ternyata menimbulkan reaksi dari masyarakat internasional khususnya pemerintah dan rakyat Australia. Pemerintah Australia melalui Perdana Menteri (PM) Jhon Howard ketika itu menentang keras pidana mati dan berkali-kali meminta tidak diterapkannya hukuman mati pada sembilan terdakwa Warga Negara Australia tersebut.18 Sayangnya permintaan pemerintah Australia tak mempengaruhi hakim Indonesia yang memutuskan untuk tetap menjatuhkan hukuman mati kepada dua orang terdakwa tersebut, yakni Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.19

15

Ibid.

16

Lihat CNN Indonesia,Loc.Cit.

17

Ibid.

18

Kompasiana, 2015, “Mengungkap Ulang Kasus Bali Nine”, URL: http://m.kompasiana.com/rushanovaly/mengungkap-ulang-kasus-bali-nine. Diakses tanggal 22 Januari 2016

19


(22)

5

Pada tanggal 29 April 2015, eksekusi mati dilakukan terhadap dua terpidana mati kasus Bali Nine yakni Andrew Chan dan Myuran Sukumaran beserta 7 terpidana kasus narkoba lainnya di Lapangan Limus Buntu Nusa Kambangan.20 Setelah penjatuhan hukuman mati tersebut, masyarakat Australia merasa marah dengan sikap keras kepala Presiden Joko Widodo menghukum mati terpidana narkoba, namun tetap menolak memberi pengampunan meski terpidana sudah memohon berulang kali.21 Kemarahan publik Australia diwujudkan dengan menggulirkan wacana menghentikan pemberian dana bantuan kepada Indonesia.22 Di samping itu, Perdana Menteri Australia Tony Abbott juga memastikan Australia segera menarik Duta Besar (Dubes) Australia untuk Indonesia di Jakarta.23 Tony Abbott juga mengatakan bahwa Australia menganggap hubungan bilateral Indonesia-Australia sebagai hal yang sangat penting, namun peristiwa ini telah merusak hubungan itu.24

Penjatuhan hukuman mati merupakan sebuah kontroversi yang terjadi di dalam masyarakat. Kontroversi pidana mati juga sering dikaitkan dengan persoalan hak asasi manusia (HAM).25 Pelaksanaan hukuman mati dituding sebagai tindakan pelanggaran HAM, khususnya hak untuk hidup yang tidak bisa

20

Republika.co.id, 2015, “Suasana Haru Iringi Proses Eksekusi Mati Terpidana Kasus Narkoba”, URL: http://m.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/04/29/nnj5hd-suasana-haru-iringi-proses-eksekusi-mati-terpidana-kasus-narkoba. Diakses tanggal 22 Januari 2016

21

Angga Yudha Pratomo, ”Australia ancam setop dana bantuan, Indonesia tidak miskin banget”, URL: http://m.merdeka.com/uang/australia-ancam-setop-dana-bantuan-Indonesia-tidak-miskin-banget.html. Diakses Tanggal 16 Januari 2016

22

Ibid.

23

Pamela Sarnia, “Bali Nine Dieksekusi, Australia Tarik Dubes”, URL: http://m.okezone.com/read/2015/04/29/18/1141703/Bali-Nine-Dieksekusi-Australia-Tarik-Dubes. Diakses Tanggal 16 Januari 2016

24

Ibid.

25

Abdurrasyid Ridha, ”Kontroversi Hukuman Mati di Indonesia”, URL: http://www.academia.edu/14745606/Kontroversi_Hukuman_Mati_Di_Indonesia/. Diakses Tanggal 12 Januari 2016, h. 1.


(23)

6

dicabut oleh siapa pun kecuali Tuhan, sedangkan pihak lain mengatakan hukuman mati patut dilakukan bagi mereka yang melakukan kejahatan besar.26 Menurut mereka, pemberian sanksi hukum bertujuan untuk membalaskan kesalahan yang dilakukan oleh seseorang.27 Amnesty International mencatat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, jumlah negara yang menggunakan hukuman mati menurun dari 37 negara di tahun 1994 menjadi 22 negara di tahun 2013.28

Indonesia merupakan salah satu negara yang saat ini masih mempergunakan hukuman mati baik yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun ketentuan-ketentuan di luar KUHP. Berdasarkan KUHP, ada sembilan jenis kejahatan yang diancam pidana mati, yaitu Pasal 104, Pasal 111 ayat (2), Pasal 124 ayat (3), Pasal 124 bis, Pasal 140 ayat (3), Pasal 340, Pasal 365 ayat (4), Pasal 444, dan Pasal 149 K ayat (2) & Pasal 149 O ayat (2).29 Sementara itu, ketentuan-ketentuan di luar KUHP yang juga mengatur tentang kejahatan yang diancam dengan tindak pidana mati, di antaranya adalah tindak pidana narkotika, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana terorisme.

Oleh karena itu penulis tertarik untuk membahas legalitas penjatuhan suatu hukuman mati terhadap tindak pidana narkotika dilihat dari perspektif Hukum Internasional dalam karya ilmiah berupa skripsi yang berjudul

LEGALITAS PENJATUHAN EKSEKUSI MATI DALAM KASUS BALI

NINE DARI PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL”

26

Lihat Sekapur Sirih, 2007, Praktek Hukuman Mati Di Indonesia, Badan Pekerja Kontras, Jakarta,h. 34.

27

Ibid.

28

ANTARA News, 2015, ”Negara-Negara Penganut Hukuman Mati”, URL: http://m.antaranews.com.berita/474796/negara-negara-penganut-hukuman-mati. Diakses tanggal 22 Januari 2016.

29


(24)

7

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penulis mengangkat dua permasalahan yang penting untuk dibahas secara lebih lanjut. Adapun permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Apakah yang menjadi dasar hukum penjatuhan hukuman mati dalam kasus Bali Nine?

2. Bagaimanakah legalitas penjatuhan hukuman mati dalam kasus Bali Nine dilihat dari perspektif Hukum Internasional?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :

1. Secara umum akan diuraikan mengenai sejarah penjatuhan eksekusi mati dan perbuatan-perbuatan yang dapat dijatuhi hukuman mati.

2. Secara umum akan diuraikan mengenai kasus Bali Nine dan pengaturan hukum internasional tehadap penjatuhan eksekusi mati serta legalitas penjatuhan eksekusi mati dalam kasus Bali Nine dari perspektif Hukum Internasional.

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini antara lain:

a. Tujuan Umum


(25)

8

1. Melatih kemampuan berpikir dengan membuat karya ilmiah berupa skripsi.

2. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum. 3. Mengembangkan keilmuan hukum khususnya dalam bidang Hukum

Internasional

b. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus yang diharapkan dapat tercapai dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Menganalisis dasar hukum penjatuhan hukuman mati dalam kasus Bali Nine.

2. Menganalisis legalitas penjatuhan eksekusi mati dalam kasus Bali Nine dari perspektif Hukum Internasional.

1.5 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

Dari segi teoritis, penelitian ini diharapkan dapat sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan konsep ilmiah yang dapat memberikan manfaat bagi perkembangan hukum internasional terutama mengenai legalitas penjatuhan suatu hukuman mati terutama terhadap warga negara asing.

b. Manfaat Praktis


(26)

9

1. Bagi Kementerian Luar Negeri, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat ilmiah mengenai isu batasan perlindungan yang dapat diberikan kepada warga negara asing.

2. Bagi Kementerian Hukum dan HAM, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tambahan mengenai legalitas daripada penjatuhan hukuman mati dikaitkan dengan HAM dari perspektif Hukum Internasional.

3. Bagi praktisi-praktisi hukum baik hakim maupun jaksa, dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman terkait pemberian penjatuhan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan narkotika terutama bagi warga negara asing.

1.6 Landasan Teoritis

a. Teori Mengikatnya Hukum Internasional 1. PrinsipPacta Sunt Servanda

Pacta Sunt Servanda merupakan asas yang pertama kali diperkenalkan oleh Grotius yang menekankan pada kewajiban para pihak untuk menaati isi perjanjian.30 Pasal 26 Konvensi Wina 1969 secara eksplisit menegaskan asas pacta sunt servanda dengan rumusan sebagai berikut: “Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith”.31

Secara lebih konkrit, asas ini sesungguhnya diwujudkan dalam praktek pelaksanaan perjanjian tersebut, antara lain para pihak harus melaksanakan

30

I Wayan Parthiana, 2005,Hukum Perjanjian Internasional Bagian 2, Penerbit Bandar Maju, Bandung, h. 262

31


(27)

10

ketetuan perjanjian sesuai dengan isi, jiwa, maksud, dan tujuan perjanjian itu sendiri; menghormati hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari masing-masing pihak maupun pihak ketiga yang mungkin diberikan hak dan/atau dibebani kewajiban (kalau ada) dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat menghambat usaha-usaha mencapai maksud dan tujuan perjanjian itu sendiri, baik sebelum perjanjian itu mulai berlaku atau ketika para pihak masih dalam proses penantian akan mulai berlakunya perjanjian (sebelum perjanjian itu mulai berlaku sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 Konvensi Wina 1969) maupun setelah mulai berlakunya.32

2. TeoriCommon Consent

Teori positivisme dari Hans Kelsen menyebutkan adanya persetujuan negara-negara yang berdaulat untuk mengikatkan diri pada kaidah-kaidah atau norma hukum internasional yang terdiri dari teori common consent.33 Menurut teori tersebut dasar mengikat hukum internasional adalah persetujuan bersama dari negara-negara yang berdaulat untuk mengikatkan diri pada kaidah-kaidah hukum internasional.34 Jika pada suatu waktu ada satu atau beberapa negara tidak lagi bersedia untuk tunduk dan terikat pada hukum internasional, dan bermaksud untuk menarik diri, maka negara itu tidak dapat menarik diri secara sepihak, melainkan harus mendapat persetujuan bersama dari negara-negara lainnya.35

32

Ibid.,h. 263.

33

Negara Hukum.com, 2012, Daya Mengikat Hukum Internasional, URL: http://www.negarahukum.com/hukum/daya-mengikat-hukum-internasional-2.html, diakses pada tanggal 20 September 2015.

34

Ibid.

35


(28)

11

b. Teori Kedaulatan Negara

Kedaulatan (sovereignty), sering diartikan sebagai “kekuasaan tertinggi”,

merupakan kekuasaan penuh dan tertinggi dalam suatu negara untuk mengatur seluruh wilayahnya tanpa campur tangan dari pemerintah negara lain. 36 Teori kedaulatan ini, pertama kali dikemukakan oleh Jean Bodin (1530-1596) yang

mendefinisikan bahwa “kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi terhadap para warganegara dan rakyat tanpa suatu pembatasan undang-undang”.37 Grotius (1583-1645) juga berpendapat bahwa kedaulatan merupakan salah satu unsur yang penting dari suatu negara.38

Kedua pelopor kedaulatan tersebut, pada akhirnya melahirkan kedaulatan ke dalam dan kedaulatan ke luar.39 Kedaulatan ke dalam (interne souverniteit) adalah kekuasaan negara itu ditaati dan dapat memaksakan untuk ditaati oleh rakyatnya, sedangkan kedaulatan ke luar (externe souverniteit) adalah kekuasaan negara itu mampu mempertahankan diri terhadap serangan yang datang dari luar dan sanggup mengadakan hubungan dengan luar negeri.40

Kedaulatan dalam hubungannya dengan hukum internasional, sesungguhnya tidak akan lepas dari yang namanya yurisdiksi. Yurisdiksi merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, kedaulatan negara tidak

36

Moh Kusnardi dan Bintan R. Saragih, 2000,Ilmu Negara (Edisi Revisi), Penerbit Gaya Media Pratama, Jakarta, h. 122

37

Ibid.

38

Ibid.

39

Negara Hukum.com, 2011, “Teori Kedaulatan”, URL: http://www.negarahukum.com/hukum/teori-kedaulatan.html, diakses pada tanggal 20 November 2015

40


(29)

12

akan diakui apabila negara tersebut tidak memiliki yurisdiksi.41 Menurut Huala Adolf, yurisdiksi adalah kewenangan atau kekuasaan hukum negara terhadap orang, benda, atau peristiwa (hukum).42 Yurisdiksi menyebabkan suatu negara mempunyai hak terhadap seseorang, benda, maupun peristiwa hukum yang ada dalam suatu negara ataupun yang ada di luar negara tersebut.43

c. Teori Transformasi

Pengikut ajaran positivisme mengakui bahwa peraturan ketentuan-ketentuan hukum internasional untuk dapat berlaku sebagai norma hukum nasional harus melalui proses transformasi atau alih bentuk baik secara formal ataupun substansial.44 Secara formal artinya mengikuti bentuk peraturan yang sesuai dengan perundang-undangan nasional negara yang bersangkutan, sedangkan secara substansial artinya materi dari peraturan hukum Internasional itu harus sesuai dengan materi peraturan hukum nasional yang bersangkutan.45

Pengikut ajaran ini menyatakan tanpa tranformasi tidak mungkin hukum perjanjian internasional dapat diberlakukan dalam hukum Nasional. Hal ini disebabkan perbedaan karakter dimana Hukum Internasional didasarkan pada persetujuan negara sedangkan hukum Nasional bukan didasarkan pada persetujuan negara.46 Oleh karena itu, suatu negara yang telah meratifikasi suatu

41

Mirza Satria Buana, 2007, Hukum Internasional Teori dan Praktek, Penerbit: Nusamedia, Bandung, h. 56

42

Ibid, h. 57

43

LihatIbid.

44

Lihat Dwi Arianto Rukmana, 2012, “Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional”, URL: http://dwiariantorukmana.blogspot.co.id/2012/10/hubungan-hukum-internasional-dan-hukum_29.html. diakses tanggal 20 November 2015

45

Ibid.

46


(30)

13

perjanjian internasional dan juga telah mengundangkan ke dalam hukum nasionalnya, serta dalam beberapa hal juga telah menjabarkan atau mentransformasikan ke dalam hukum nasionalnya sendiri, maka dalam pelaksanaannya di dalam wilayahnya juga akan berhadapan dengan hukum atau peraturan perundang-undangan nasionalnya yang lain.47

d. Teori Universalitas Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada martabat manusia yang melekat padanya sebagai insan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang berarti HAM merupakan hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya.48 Teori universalitas HAM adalah teori yang berpegang pada teori radikal universalitas HAM, yaitu bahwa perbedaan kebudayaan bukan berarti membenarkan perbedaan konsepsi HAM, perbedaan pengalaman historis dan sistem nilai tidak menghapuskan HAM dipahami secara berbeda dan diterapkan secara berbeda pula dari suatu kelompok ke kelompok lain.

Menurut teori universalitas semua nilai temasuk nilai-nilai HAM adalah bersifat universal dan tidak dapat dimodifikasi untuk menyesuaikan perbedaan budaya dan sejarah suatu negara.49 Teori ini menganggap hanya ada satu pemahaman mengenai HAM, bahwa nilai-nilai HAM sama dimanapun dan kapanpun serta dapat diterapkan pada masyarakat yang mempunyai latar belakang

47

I Wayan Parthiana, 2005,Op.Cit, h. 275

48

Ramdlon Naning, 1983,Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia Penunjang Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, h. 7

49

Subhan Sofhian dan Asep Sahid Gantara, dikutip dari Aldo Rico Geraldi, 2014, “Penyiksaan Falun Gong Oleh Pemerintah Republik Rakyat China Terkait Ketentuan Konvensi Anti Penyiksaan Tahun 1984”Skripsi Fakultas Hukum Universitas Udayana, h. 13.


(31)

14

budaya dan sejarah yang berbeda. Dengan demikian, pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai HAM berlaku secara universal.50

1.7 Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

a. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini termasuk ke dalam penelitian hukum normatif. Peter Mahmud Marzuki menyatakan pendapatnya mengenai penelitian hukum normatif, adalah:51

“… suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip- prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum

yang dihadapi. … Penelitian hukum normatif dilakukan untuk menghasilkan

argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan

masalah yang dihadapi….”52

Soerjono Soekanto juga menyatakan, bahwa penelitian hukum normatif terdiri dari penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.53 Maka dari itu, penulis menggunakan pendekatan-pendekatan tertentu dari sejumlah pendekatan yang dikenal dalam penelitian hukum normatif.

50

Muhamad, Abdul Kadir, 2004,Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 15

51

Amirudin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 18.

52

Peter Mahmud Marzuki dalam Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normative & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 34, dikutip dari Aldo Rico Geraldi,Op.Cit, h. 16.

53

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 14, dikutip dari Aldo Rico Geraldi,


(32)

15

b. Jenis pendekatan

Adapun pendekatan yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) yang dalam hal ini menganalisis keberlakuan instrumen internasional yang terkait, pendekatan sejarah (historical approach), pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan fakta (fact Approach).

Pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) adalah metode penelitian dengan menelaah semua undang-undang, memahami hirarki dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan.54 Dalam penulisan ini, penulis mengkaji baik peraturan perundang-undangan Indonesia maupun perjanjian internasional yang relevan. Pendekatan kasus (case approach) adalah pengkajian yang penulis lakukan dari melihat peristiwa hukum dari kasus yang terjadi, yang dalam hal ini penulis mengkaji kasus Bali Nine yang diadili oleh Pengadilan Negeri Denpasar, Pengadilan Tinggi Denpasar dan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pendekatan fakta (fact Approach) adalah pengkajian yang dilakukan oleh penulis terkait suatu peristiwa hukum yang berkaitan dengan kasus yang diangkat, sedangkan pendekatan sejarah digunakan berhubungan dengan sejarah penjatuhan hukuman mati di Indonesia.55

c. Bahan Hukum

Dalam tulisan ini, penulis menggunakan sumber-sumber hukum yang terdiri dari:

54

Lihat Abdul Kadir Muhamad,Op.Cit, h. 67

55


(33)

16

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat umum, terdiri atas asas peraturan perundang-undangan, yurisprudensi atau putusan pengadilan, peraturan dasar dan perjanjian internasional.56 Menurut Peter Mahmud Marzuki bahan hukum primer ini bersifat otoritatif, artinya mempunyai otoritas, yaitu merupakan hasil tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu.57 Adapun sejumlah bahan hukum primer, yang berasal dari peraturan perundang-undangan serta instrumen internasional yang berkaitan dan digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain :

- The Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 1948

- International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966

- United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988

- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 - Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia 2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang dapat memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti rancangan peraturan perundang-undangan, hasil penelitian, buku-buku teks, jurnal ilmiah, surat kabar, pamflet, brosur, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat di media massa dan berita di internet.58 Terkait skripsi ini maka digunakan sumber dari kepustakaan seperti buku-buku, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa maupun berita di

56

Peter Mahmud Marzuki,Op.Cit,h. 144.

57

Ibid.

58


(34)

17

internet yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, yaitu mengenai penjatuhan suatu hukuman mati dalam kasus Bali Nine.

3. Bahan hukum tersier menurut Peter Mahmud Marzuki merupakan bahan non hukum yang digunakan untuk menjelaskan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedi, dan lain-lain.59 Terkait penulisan skripsi ini, penulis menggunakan kamus hukum di dalam menerjemahkan kalimat-kalimat hukum yang susah dimengerti.

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan-bahan hukum yang dipergunakan adalah teknik studi dokumen, yaitu dalam pengumpulan bahan hukum terhadap sumber kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dengan cara membaca dan mencatat kembali bahan hukum tersebut yang kemudian dikelompokkan secara sistematis yang berhubungan dengan masalah dalam penulisan skripsi ini.60 Untuk menunjang penulisan skripsi ini pengumpulan bahan-bahan hukum diperoleh melalui :

1. Pengumpulan bahan hukum primer dilakukan dengan cara mengumpulkan peraturan perundang-undangan nasional Indonesia dan instrumen internasional yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.

2. Pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan yang bertujuan untuk mendapatkan bahan hukum yang bersumber dari buku-buku, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum

59

Ibid.

60


(35)

18

yang termuat dalam media massa maupun berita di internet yang terkait dengan permasalahan yang hendak dibahas dalam skripsi ini.

3. Pengumpulan bahan hukum tersier dilakukan dengan menggunakan kamus hukum.

e. Teknik Analisis

Teknik analisis adalah pemaparan secara mendetail dari keterangan-keterangan yang didapat pada tahap sebelumnya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini sehingga keseluruhannya membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan secara logis.61 Dalam penulisan ini, penulis menganalisis legalitas penjatuhan hukuman mati dari perspektif Hukum Internasional.

61


(36)

BAB II

TINJAUAN UMUM HAK ASASI MANUSIA DAN HUKUMAN MATI

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak asasi yang melekat pada manusia sejak mereka dilahirkan di dunia dan hukuman mati adalah hukuman paling berat yang diberikan kepada pelaku kejahatan dengan cara menghilangkan nyawa mereka. Hukuman mati selalu dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia terutama pada hak untuk hidup. Sering timbul berbagai perdebatan mengenai hal tersebut, baik perdebatan yang terjadi di dunia maupun perdebatan yang terjadi di lingkup nasional.

Dari segi HAM, hukuman mati merupakan jenis pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang paling penting, yaitu hak untuk hidup. Hak fundamental ini merupakan jenis hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi dalam keadaan apapun, baik itu dalam keadaan darurat, perang, termasuk bila seseorang menjadi narapidana.62 Oleh karena itu, maka uraian berikut akan membahas definisi HAM beserta ruang lingkupnya dan hukuman mati tersebut.

2.1 Pengertian dan Ruang Lingkup Hak Asasi Manusia 2.1.1 Pengertian Hak Asasi Manusia

Istilah HAM merupakan terjemahan dari istilah droits de I’homme dalam

bahasa Perancis yang berarti “hak manusia”, atau dalam bahasa Inggrisnyahuman

62

Haryomataram, KGPH, 2007, Pengantar Hukum Humaniter, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 5.


(37)

20

rights, yang dalam bahasa Belanda disebut menselijke rechten.63 Di Indonesia

umumnya dipergunakan istilah: “hak-hak asasi”, yang merupakan terjemahan dari

basic rights dalam bahasa Inggris dan grondrecten dalam bahasa Belanda.64 Sebagian orang menyebutkannya dengan istilah hak-hak fundamental, sebagai terjemahan dari fundamental rights dalam bahasa Inggris dan fundamentele rechtendalam bahasa Belanda.65

Sehingga, HAM adalah hak-hak yang melekat pada diri manusia, dan tanpa hak-hak itu manusia tidak dapat hidup sebagai manusia.66HAM adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran di dalam kehidupan masyarakat.67 Selain itu, Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa:

“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat

dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum , pemerintah dan setiap otang demi kehormatan serta perlindungan harkat

dan martabat manusia”

2.1.2 Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia

Sejak Nabi Musa dibangkitkan untuk memerdekakan umat Yahudi dari perbudakan di Mesir, manusia telah menyadari tentang pentingnya penegakan hak-haknya dalam membela kemerdekaan, kebenaran dan keadilan.68 Di Babylonia, dikenal hukum Hammurabi pada 2000 tahun Sebelum Masehi (SM) yang menetapkan hukum untuk menjamin keadilan bagi warganya sebagai

63

Ramdlon Naning, 1983,Op.Cit, h. 7.

64

Ibid.

65

Ibid.

66

Lihat Pendidikan Kewarganegaraan, “Sejarah HAM di Dunia dan Indonesia”, URL: http://www. terpelajar.com/sejarah-ham-di-dunia-dan-indonesia/. Diakses tanggal 24 Januari 2016

67

Ibid.

68


(38)

21

jaminan bagi hak-hak asasi manusia.69

Demikian pula di Solon, Athena, 600 tahun SM, mengadakan pembaharuan dengan menyusun perundang-undangan yang memberikan perlindungan keadilan.70 Sejarah juga mencatat, tonggak pertama bagi kemenangan hak asasi manusia di Inggris, terjadi pada tanggal 15 Juni 1215 setelahnya Piagam Magna Charta.71 Prinsip dasar piagam yang dicetuskan bangsawan-bangsawan Inggris itu antara lain memuat bahwa kekuasaan Raja harus dibatasi dan bahwa hak asasi manusia lebih penting dari kedaulatan Raja72

Mekanisme-mekanisme perintis lainnya dalam perkembangan sejarah hak-hak asasi manusia dengan berturut-turut lahirnya Habeas Conpus Act tahun 1879 di Britania Raya.73Seperti judul penjelasannya yang menyatakan sebuah undang-undang untuk lebih melindungi kebebasan warganegara dan untuk mencegah pemenjaran yang sewenang-wenang.74 Selanjutnya, Bill of Rights (Piagam hak-hak) di Britania Raya tahun 1689 adalah sebuah undang-undang yang menyatakan hak-hak dan kebebasan-kebeasan warganegara dan menentukan pergantian raja.75

Perkembangan pesat terjadi usai Perang Dunia II, ketika rancangan Piagam Hak-hak Asasi Manusia disusun oleh Organisasi Kerjasama untuk Sosial Ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terdiri dari 18 anggota. Sidangnya

69

Ibid

70

Ibid.

71

Zona Siswa, “Sejarah Hak Asasi Manusia”, URL: http://www.zonasiswa.com/2014/07/sejarah-hak-asasi-manusia-ham.html?m=1. Diakses tanggal 24 Januari 2016.

72

Lihat Pendidikan Kewarganegaraan,Loc.Cit.

73

Ramdlon Naning,Op.Cit, h. 9.

74

Ibid.

75

Berbagaireviews.com, 2015, “Sejarah Dan Perkembangan Hak Asasi Manusia di Dunia, History Of Human Rights In The World”, URL: http://www.berbagaireviews.com/2015/03/sejarah-dan-perkembangan-hak-asasi-.html?m=1. Diakses tanggal 24 Januari 2016


(39)

22

dimulai bulan Januari 1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor Roosevelt.76Baru dua tahun kemudian, tanggal 10 Desember 1948 Sidang Umum PBB yang diselenggarakan di Istana Chaillot, Paris menerima baik hasil kerja panitia tersebut. Karya itu berupa The Universal Declaration of Human Rights yang terdiri dari 30 pasal. Dari 58 Negara yang terwakili dalam sidang umum tersebut, 48 negara menyatakan persetujuannya, 8 tidak setuju dan 2 negara lainnya abstain.77

Setelah 21 tahun berdirinya PBB yang dicetuskan pada tanggal 24 Oktober 1945 itu, hak-hak manusia telah memperoleh jaminan perlindungan dalam dua perjanjian internasional di tahun 1966.78 Perjanjian internasional yang dimaksud ialah Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR), dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR). Selain itu ditetapkan protokol Opsional pada Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik.79

2.1.3 Jenis-Jenis Hak Asasi Manusia

Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara (Declaration des droits

de I’homme et du Citoyen) merupakan salah satu dokumen fundamental dari Revolusi Perancis yang menetapkan sekumpulan hak-hak individu dan hak-hak kolektif manusia.80 Menurut deklarasi ini, hak asasi itu merupakan dasar hukum umum dan dasar kemerdekaan manusia sebagai konsekuensi dari pengakuan

76

Ibid.

77

Ibid.

78

Ramdlon Naning,Op.Cit,h. 10

79

Ibid.

80


(40)

23

kemerdekaan dan hak persamaan yang berbunyi “bahwa manusia itu dilahirkan

merdeka dan tetap tinggal merdeka, serta mempunyai hak yang sama.81 Hak-hak asasi yang tersimpul dalam deklarasi ini antara lain:82

1. Makhluk dilahirkan merdeka dan tetap merdeka 2. Manusia mempunyai hak yang sama

3. Manusia merdeka berbuat sesuatu tanpa merugikan pihak lain

4. Warganegara mempunyai hak yang sama dan mempunyai kedudukan dan pekerjaan umum

5. Manusia tidak boleh dituduh dan ditangkap selain menurut undang-undang 6. Manusia mempunyai kemerdekaan agama dan kepercayaan

7. Manusia merdeka mengeluarkan pikiran 8. Adanya kemerdekaan surat kabar

9. Adanya kemerdekaan bersatu dan berapat 10. Adanya kemerdekaan berserikat dan berkumpul

11. Adanya kemerdekaan bekerja, berdagang dan mlekasanakan kerajinan 12. Adanya kemerdekaan rumah tangga

13. Adanya kemerdekaan hak milik 14. Adanya kemerdekaan lalu lintas 15. Adanya hak hidup dan nafkah

Secara garis besar HAM itu dapat dibedakan menjadi:83

1. Hak-hak asasi pribadi (personal right), yang meliputi kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, kebebasan bergerak, dan sebagainya. 2. Hak-hak asasi ekonomi (property right), yaitu: hak untuk memiliki sesuatu,

membeli dan menjual serta memanfaatkan.

3. Hak-hak asasi politik (political rights) yaitu: hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam suatu pemilihan umum), hak untuk mendirikan partai politik dan sebagainya.

4. Hak-hak asasi untuk mendapat perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan (rights of legal equality)

81

Ibid.

82

Ibid.

83


(41)

24

5. Hak-hak asasi sosial dan kebudayaan (social and cultural rights). Umpamanya hak untuk memilih pendidikan, hak untuk mengembangkan kebudayaan dan sebagainya.

6. Hak asasi untuk mendapat perlakuan tata-cara peradilan dan perlindungan (procedural rights). Misalnya peraturan dalam hal penahanan, penengkapan, penggeledahan, peradilan dan sebagainya.

2.2 Tinjauan Tentang Hukuman Mati

2.2.1 Sejarah Perkembangan Hukuman Mati di Dunia

Menurut beberapa penelitian sejarah menemukan bahwa pidana mati telah digunakan pada abad 18 Sebelum Masehi (SM) dalam hukum yang diberlakukan oleh Raja Hammurabi dari Babilonia, terdapat 25 kasus kejahatan yang dijatuhi pidana mati.84 Pada abad 14 SM hingga 5 SM, pidana mati juga diberlakukan di Athnea (Dracodian Code) dan Kerajaan Romawi (Twelve Tablet).85 Pidana mati tersebut dilakukan dengan berbagai cara yang cukup keji dalam pandangan modern seperti; penyaliban, penenggelaman, penyiksaan hingga tewas, dibakar, dan lain-lain.86

Pada perkembangan di abad-abad selanjutnya di jaman Romawi Kuno, pidana mati ini mengalami perkembangan yang luar biasa dalam bentuk pelaksanaannya, mulai dengan cara dipenggal, disalibkan, ditenggelamkam,

84

Ayub Torry Satriyo Kusumo, “Hukuman Mati Ditinjau Dari Persepektif Hukum Dan

Hak Asasi Manusia Internasional”, URL: http://ayub.staff.hukum.uns.ac.id/artikel-artikel/hukuman-mati-menurut-perspektif-ham-nasional/. Diakses tanggal 10 September 2015

85

Ibid.

86


(42)

25

digergaji.87 Bahkan pada sekitar abad ke-4 di semua daerah jajahan Romawi, pidana mati ini tidak lagi harus dilakukan dengan cara yang sama yang telah diatur pada peraturan yang ada, sehingga ada yang sampai digantung hidup-hidup di pinggir jalan dan kemudian dibakar sebagai penerangan jalan.88 Seperti

dijabarkan oleh seorang ahli sejarah yang menyatakan, “kita ketahui jalannya

acara-acara peradilan itu, hukuman itu adalah dipancung kepalanya, dibuang ke salah satu pulau yang sangat jauh, dipekerjakan selaku budak, dibakar hidup-hidup ataupun diterkam binatang buas di dalam gelanggang arena yang ditonton oleh beribu-ribu orang.”89

Pada abad berikutnya, Raja William tidak mengizinkan hukuman mati kecuali dalam kondisi perang, namun pada abad ke-16 kondisi ini kemudian berbalik.90Di bawah rezim Raja Henry ke-16, diperkirakan sekitar 72 ribu orang dihukum dengan cara direbus (dimasak), dibakar, digantung, dipenggal, dipisahkan anggota tubuhnya dengan cara ditarik dan lain-lain.91 Pada abad-abad selanjutnya, pidana mati ini kemudian telah menjadi satu “alat” yang paling

efisien dan dipandang paling kuat gereja untuk menyingkirkan lawan-lawannya, ataupun untuk membuat rakyat tetap tunduk pada para penguasa yang ada.92

2.2.2 Sejarah Perkembangan Hukuman Mati di Indonesia

Di Indonesia, pidana mati telah dikenal pada jaman Kerajaan Hindu yaitu

87

Asrini, 2009,“HUKUMAN MATI : Sebuah Dilema Antar penegak HAM dan Supremasi

Hukum Di Indonesia”, Makalah Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES), h. 5.

88

Ibid.

89

Ibid.

90

Ayub Torry Satriyo Kusumo, loc.cit.

91

Ibid.

92


(43)

26

pada masa Kerajaan Majapahit, pada jaman Kerajaan Islam, bahkan menurut hukum adat.93 Hukuman mati pada masa Kerajaan Majapahit dilakukan dengan banyak cara, salah satunya adalah menusuk dada (jantung) si terpidana dengan keris yang sangat tajam.94 Adapun bentuk hukuman mati lainnya yakni melemparkan terpidana ke laut yang sebelumnya telah diberi pemberat.95 Berbeda halnya pada jaman Kerajaan Islam, yakni pada masa Kerajaan Mataram Islam, eksekusi hukuman mati dilaksanakan melalui dua opsi yang dapat dipilih, yaitu diadu dengan harimau jawa atau hukuman picis yaitu hukuman di mana tubuhnya disayat-sayat dengan pisau dan lukanya diolesi air garam atau cairan asam secara berulangkali hingga terpidana mati menahan sakit yang luar biasa.96

Secara perlahan-lahan hukum pidana mulai menggeser kekuatan hukum adat yang telah ada di kerajaan-kerajaan tersebut dan kemudian berhasil mencapai puncaknya yakni pada saat Wetboek v. strafrecht itu mulai diberlakukan secara nasional (menyeluruh) di Indonesia pada tahun 1918, baik bagi golongan bumi putera, timur asing maupun golongan penduduk Eropa.97 Hal tersebut kemudian lebih dipertegas lagi setelah kemerdekaan Indonesia melalui keberadaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP/WvS).98 Hingga akhirnya pidana mati kita kenal dalam Pasal 10 huruf a Angka (1) KUHP jo Pasal 11 KUHP. Oleh karena itulah, penjatuhan pidana mati menjadi sah (legal act) bagi pemerintah

93

Julianto Wibowo, 2015, “Hukuman mati Di Indonesia, Pelaksanaan Pidana Mati di

Indonesia”, http://juliantowibowo25.co.id/2015/03/hukuman-mati-di-indonesia.html. Diakses pada tanggal 16November 2015.

94

Kompasiana, 2015, “Seperti Apa Hukuman Mati Pada Jaman Dahulu”, URL: http://m.kompasiana.com/rikazprabowo/seperti-apa-hukuman-mati-pada-zaman-dahulu_

54f340d0745513932b6c6dc3. Diakses pada tanggal 2 Februari 2016.

95

Ibid.

96

Ibid.

97

Julianto Wibowo,Op.Cit.

98


(44)

27

Indonesia di dalam melakukan pemidanaan terhadap orang yang melakukan perbuatan-perbuatan tertentu.99

Pada masa pemerintahan presiden Soekarno hukuman mati tetap diatur di dalam wetboek van strafrecht atau yang disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).100Pada saat itu ada beberapa kasus yang dijatuhi hukuman mati seperti kasus Kartosuwirjo, Kusni Kasdut, dan tragedi Cikini.101 Berlanjut pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, banyak pula kasus hukuman mati yang dilakukan oleh pemerintah.102 Pada masa itu tidak pemerintah sangat represif karena sebagian besar yang dieksekusi mati adalah lawan politik Soeharto.103 Fenomena pembunuh misterius “petrus” yang menebar

teror dengan menembak mati siapa saja yang “dianggap” mengganggu

ketertiban.104Hal seperti itu adalah bentuk hukuman mati secara terselubung. Pasca orde baru pemerintahan tiga presiden juga banyak menjatuhkan hukuman mati.105 Presiden Megawati menolak tiga permohonan grasi terpidana mati. Pada masa pemeritahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tercatat beberapa kasus yang dijatuhi vonis hukuman mati seperti terpidana mati kasus terorisme antara lain: Amrozi, Ali Ghufron, Imam Samudera, dan Fabianus Tibo.106

99

Asriani,Op.Cit,h. 6

100

Wongbanyumas, “Pro-Kontra Pidana Mati di Indonesia”, URL: http://fatahilla.blogspot.co.id/2008/09/pro-kontra-pidana-mati-di-indonesia.html?m=1. Diakses pada tanggal 4 Februari 2016

101

Ibid.

102

Ibid.

103

Kompasiana.Op.Cit.

104

LihatIbid.

105

Ibid.

106


(45)

28

2.2.3 Kontroversi Penjatuhan Hukuman Mati

Perdebatan tentang pidana mati di dunia khususnya di Indonesia telah menjadi bagian dari diskursus sosial, terutama di bidang ilmu hukum. Sesungguhnya perdebatan tersebut telah lama ada sebagai bagian dari perkembangan peradaban umat manusia, bersamaan dengan dipraktikkannya pidana mati itu sendiri. Di era modern, gerakan menghapus pidana mati menguat pada abad ke-18.107 Gerakan ini mengkritik pidana mati sebagai bentuk pidana yang tidak manusiawi dan tidak efektif.108

Perdebatan mengenai pidana mati juga terkait dengan hak hidup yang dalam instrumen hukum internasional maupun dalam UUD 1945 masuk dalam kategori hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights). Instrumen hukum internasional khususnya ICCPR tidak sama sekali melarang penjatuhan hukuman mati melainkan hanya membatasi penerapannya, seperti yang tercantum di dalam Pasal 6 ayat (2) ICCPR. Dalam konteks hukum Indonesia, hal tersebut dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No 2-3/PUU-V/2007 yang menyatakan bahwa di masa yang akan datang perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati hendaknya memerhatikan empat hal penting yakni:109

1. Pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan pidana yang bersifat khusus dan alternatif

2. Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup

3. Pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa

107

Ayub Torry Satriyo Kusumo, loc.cit.

108

Ibid.

109

Todung Mulya Lubis Dan Alexander Lay, 2009, Kontroversi Hukuman Mati, Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, h. xi


(46)

29

4. Eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh

Walaupun banyak gerakan penghapusan pidana mati telah dilakukan, namun masih banyak negara-negara yang mengakui dan menerapkan pidana mati.110 Hingga tahun 2013, ada 22 negara yang masih menerapkan hukuman mati.111 Dengan demikian, perdebatan mengenai hukuman mati, walaupun telah berlangsung lama, masih tetap akan ada dan berlanjut di masa yang akan datang.

2.2.3.1 Pandangan yang Pro Hukuman Mati

Dalam hukum positif Indonesia, masih terdapat banyak peraturan perundang-undangan yang mencantumkan ancaman pidana mati. Beberapa peraturan di luar KUHP juga mengancamkan pidana mati bagi pelanggarnya.112 Bahkan Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tidak melarang hukuman mati. Dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang HAM tersebut dinyatakan:

“Setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan melekat pada bayi yang baru lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dibatasi.”113

Dari rumusan ketentuan di atas, kita bisa menggarisbawahi kalimat:

“...berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan

110

Ibid.

111

ANTARA News,Op.Cit.

112

Abdurrasyid Ridha,Op.Cit, h. 1.

113


(47)

30

aborsi atau pidana mati dalam hal atau kondisi tersebut, masihdapat diizinkan....”. Dari kalimat itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam keadaan tersebut, hak untuk hidup dapat dihilangkan.114 Dengan demikian, bisa dikatakan pelaksanaan hukuman mati tidaklah dianggap melanggar HAM.

Muhammad Asrun merupakan salah satu sarjana yang setuju dengan pemberlakuan hukuman mati. Beliau menyatakan pemahaman yang benar terhadap pemberlakuan hukuman mati apabila hal tersebut terkait dengan kejahatan yang sangat serius(the most serious crimes)seperti kejahatan narkotika harus dilihat sebagai upaya perlindungan terhadap hak hidup (the right to life) banyak orang.115 Sejalan dengan pendapat Muhammad Asrun, menurut Didik Endro Purwo Laksono, fungsi khusus dari hukum pidana adalah melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan, tindakan atau aktivitas atau kegiatan yang membahayakan nyawa manusia seperti narkotika.116

2.2.3.2 Pandangan yang Kontra Hukuman Mati

Dilihat dari sudut pandang moral, hukuman mati harus ditolak karena beberapa hal:117

1. Keadilan harus ditegakkan dengan tidak mengakhiri hidup seseorang. Pelaksanaan hukuman mati berarti mengakhiri hidup seseorang sehingga tidak ada kesempatan bagi penjahat untuk memperbaiki perilakunya.

2. Pelaksanaan hukuman mati bisa diartikan melindungi penjahat yang lain.

114

Abdurrasyid Ridha,Op.Cit,h. 13

115

Hukumpedia, 2015, Pro Kontra Pidana Mati di Indonesia, URL: http://www.hukumpedia.com/keluarga/pro-kontra-pidana-mati-di-indonesia. diakses pada tanggal 4 Februari 2016.

116

Ibid.

117


(48)

31

3. Pelaksanaan hukuman mati sangat bertentangan dengan hakikat manusia sebagai makhluk bermoral.

4. Hukuman mati melukai rasa keadilan masyarakat. Terhadap korban hukuman mati yang tidak sangat jelas kesalahannya, pelaksanaan hukuman mati bertentangan dengan moralitas masyarakat.

Pidana mati di Indonesia memang masih dilaksanakan, walaupun di dalam pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) ditegaskan bahwa “ Setiap

orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan

kehidupannya”.118 Jelas UUD 1945 merupakan ketentuan tertinggi dalam suatu negara hukum di Indonesia dan tidak ada ketentuan lain yang dapat mengesampingkannya, tetapi pada kenyataannya negara melalui pemerintah tetap

melakukan “pembangkangan dengan jalan menafsirkan Pasal 28 J UUD 1945.119 Selain itu, Ada juga yang menyatakan jika pidana mati sudah tidak relevan dan ketinggalan zaman.120 Sejumlah studi ilmiah terhadap hukuman-hukuman mati yang dilakukan beberapa lembaga di dunia pun menunjukkan bahwa hukuman mati gagal membuat jera dan tidak efektif dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya.121

Roeslan Saleh merupakan salah satu sarjana yang tidak setuju dengan adanya pidana mati. Beliau berpendapat tidak setuju adanya pidana mati di Indonesia karena beberapa alasan, yaitu:122

1. Putusan hakim tidak dapat diperbaiki lagi kalau ada kekeliruan

118

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

119

Ibid.

120

Abdurrasyid Ridha,Op.Cit, h. 15

121

Ibid.

122


(49)

32

2. Mendasarkan landasan falsafah Negara Pancasila, maka pidana mati itu bertentangan dengan perikemanusiaan.

Sebagaimana Roeslan Saleh, Sahetapy juga mempunyai pendapat yang sama. Beliau menyatakan, hukuman mati bertentangan dengan Pancasila.123 Sejalan dengan pendapatnya Roeslan Saleh tersebut, Arief Sidharta juga menolak pemberlakuan hukuman mati di Indonesia.124 Beliau menegaskan “hak untuk hidup” masuk ke dalam kelompok hak non derogable berdasarkan asas lex superior derogate legi inferior.125 Beliau mendasarkan pendapatnya terhadap Pasal 28I UUD 1945 yang menyatakan bahwa:

“hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan

hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan

apa pun”

Melihat pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 terkait pengujian konstitusionalitas hukuman mati yang dijatuhkan pada tanggal 30 Oktober 2007, empat orang Hakim Konstitusi mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinions). Hakim Konstitusi Harjono memiliki pendapat khusus yang berdeda dengan hakim lainnya mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon Warga Negara Asing.126 Achmad Roestandi mempunyai pendapat berbeda mengenai Pokok Permohonan, sedangkan Hakim Laica Marzuki dan Maruarar Siahaan mempunyai pendapat berbeda baik mengenai kedudukan

123

Ibid.

124

Hukumpedia,Op.Cit.

125

Ibid.

126

Pan Mohamad Faiz, 2015, “Pendekatan MK Terhadap Konstitusionalitas Hukuman Mati”, URL: http://panmohamadfaiz.com/2015/02/22/pendekatan-mk-terhadap-konstitusionalitas-hukuman-mati/. Diakses pada tanggal 17 Februari 2016.


(50)

33

hukum(legal standing)maupun pokok permohonan.127

Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Mahkamah Konstitusi, pemohon yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang memang dibatasi bagi warga negara Indonesia. Oleh karenanya, Mahkamah Konstitusi menolak untuk memberikan kedudukan hukum bagi para pemohon berkewarganegaraan asing.128 Walaupun pendapat berbeda yang disampaikan oleh Hakim Harjono, Hakim Laica, dan Hakim Maruarar, mereka tidak secara tegas menyatakan warga negara asing dapat diberikan kedudukan hukum untuk menguji konstitusionalitas setiap undang-undang, namun para Hakim Konstitusi tersebut sepakat bahwa ketiga warga negara Australia yang menjadi para Pemohon telah memenuhi syarat kedudukan hukum untuk menguji konstitusionalitas hukuman mati yang termuat di dalam Undang-Undang Narkotika.129

Hakim Harjono beralasan bahwa menolak warga asing untuk menguji pasal tersebut akan menimbulkan tertundanya kepastian hukum sebab Mahkamah Konstitusi perlu menunggu adanya warga negara Indonesia yang mengujinya terlebih dahulu.130 Sementara itu, Hakim Laica dan Maruarar lebih mempertimbangkan pendekatan hukum dan instrumen internasional tentang hak asasi manusia dengan mengedepankan prinsip equal rights bagi sertiap orang terlepas dari kewarganegaraannya.131 Walaupun Mahkamah Konstitusi menyatakan ketiga warga negara asing tersebut tidak memiliki kedudukan hukum,

127

Ibid.(analisis lebih lanjut mengenai putusan ini akan disajikan pada sub pokok bahasan 3.3).

128

Lihat Tudong Mulya Lubis,Op.Cit, h. 384

129

Ibid.

130

Pan Mohamad Faiz,Op.Cit.

131


(51)

34

namun Mahkamah Konstitusi tetap memeriksa dan memutuskan substansi permasalahan konstitusional yang sedang diuji.132

Dengan mempertimbangkan maksud dari pembuat UUD 1945 dan berbagai aspek hukum internasional, Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa

“hak untuk hidup” yang termuat di dalam UUD 1945 tidak melarang hukuman

mati yang diatur berdasarkan undang-undang dan setelah menjalani proses hukum yang adil serta hanya untuk kejahatan serius.133 Sementara itu, tiga Hakim Konstitusi yang berpendapat berbeda menyandarkan argumentasinya juga pada hukum internasional dan praktik bahwa hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun(non-derogable).134

132

Ibid.

133

Lihat Todung Mulya Lubis,Op.Cit, h. 419

134


(1)

4. Eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh

Walaupun banyak gerakan penghapusan pidana mati telah dilakukan, namun masih banyak negara-negara yang mengakui dan menerapkan pidana mati.110 Hingga tahun 2013, ada 22 negara yang masih menerapkan hukuman mati.111 Dengan demikian, perdebatan mengenai hukuman mati, walaupun telah berlangsung lama, masih tetap akan ada dan berlanjut di masa yang akan datang.

2.2.3.1 Pandangan yang Pro Hukuman Mati

Dalam hukum positif Indonesia, masih terdapat banyak peraturan perundang-undangan yang mencantumkan ancaman pidana mati. Beberapa peraturan di luar KUHP juga mengancamkan pidana mati bagi pelanggarnya.112 Bahkan Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tidak melarang hukuman mati. Dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang HAM tersebut dinyatakan:

“Setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan melekat pada bayi yang baru lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dibatasi.”113

Dari rumusan ketentuan di atas, kita bisa menggarisbawahi kalimat: “...berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan

110 Ibid. 111

ANTARA News,Op.Cit. 112

Abdurrasyid Ridha,Op.Cit, h. 1.

113


(2)

aborsi atau pidana mati dalam hal atau kondisi tersebut, masihdapat diizinkan....”.

Dari kalimat itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam keadaan tersebut, hak untuk hidup dapat dihilangkan.114 Dengan demikian, bisa dikatakan pelaksanaan hukuman mati tidaklah dianggap melanggar HAM.

Muhammad Asrun merupakan salah satu sarjana yang setuju dengan pemberlakuan hukuman mati. Beliau menyatakan pemahaman yang benar terhadap pemberlakuan hukuman mati apabila hal tersebut terkait dengan kejahatan yang sangat serius(the most serious crimes)seperti kejahatan narkotika harus dilihat sebagai upaya perlindungan terhadap hak hidup (the right to life)

banyak orang.115 Sejalan dengan pendapat Muhammad Asrun, menurut Didik Endro Purwo Laksono, fungsi khusus dari hukum pidana adalah melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan, tindakan atau aktivitas atau kegiatan yang membahayakan nyawa manusia seperti narkotika.116

2.2.3.2 Pandangan yang Kontra Hukuman Mati

Dilihat dari sudut pandang moral, hukuman mati harus ditolak karena beberapa hal:117

1. Keadilan harus ditegakkan dengan tidak mengakhiri hidup seseorang. Pelaksanaan hukuman mati berarti mengakhiri hidup seseorang sehingga tidak ada kesempatan bagi penjahat untuk memperbaiki perilakunya.

2. Pelaksanaan hukuman mati bisa diartikan melindungi penjahat yang lain.

114

Abdurrasyid Ridha,Op.Cit,h. 13

115

Hukumpedia, 2015, Pro Kontra Pidana Mati di Indonesia, URL:

http://www.hukumpedia.com/keluarga/pro-kontra-pidana-mati-di-indonesia. diakses pada tanggal 4 Februari 2016.

116 Ibid. 117


(3)

3. Pelaksanaan hukuman mati sangat bertentangan dengan hakikat manusia sebagai makhluk bermoral.

4. Hukuman mati melukai rasa keadilan masyarakat. Terhadap korban hukuman mati yang tidak sangat jelas kesalahannya, pelaksanaan hukuman mati bertentangan dengan moralitas masyarakat.

Pidana mati di Indonesia memang masih dilaksanakan, walaupun di dalam pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) ditegaskan bahwa “ Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.118 Jelas UUD 1945 merupakan ketentuan tertinggi dalam suatu negara hukum di Indonesia dan tidak ada ketentuan lain yang dapat mengesampingkannya, tetapi pada kenyataannya negara melalui pemerintah tetap melakukan “pembangkangan dengan jalan menafsirkan Pasal 28 J UUD 1945.119 Selain itu, Ada juga yang menyatakan jika pidana mati sudah tidak relevan dan ketinggalan zaman.120 Sejumlah studi ilmiah terhadap hukuman-hukuman mati yang dilakukan beberapa lembaga di dunia pun menunjukkan bahwa hukuman mati gagal membuat jera dan tidak efektif dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya.121

Roeslan Saleh merupakan salah satu sarjana yang tidak setuju dengan adanya pidana mati. Beliau berpendapat tidak setuju adanya pidana mati di Indonesia karena beberapa alasan, yaitu:122

1. Putusan hakim tidak dapat diperbaiki lagi kalau ada kekeliruan

118

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

119 Ibid. 120

Abdurrasyid Ridha,Op.Cit, h. 15

121 Ibid. 122


(4)

2. Mendasarkan landasan falsafah Negara Pancasila, maka pidana mati itu bertentangan dengan perikemanusiaan.

Sebagaimana Roeslan Saleh, Sahetapy juga mempunyai pendapat yang sama. Beliau menyatakan, hukuman mati bertentangan dengan Pancasila.123 Sejalan dengan pendapatnya Roeslan Saleh tersebut, Arief Sidharta juga menolak pemberlakuan hukuman mati di Indonesia.124 Beliau menegaskan “hak untuk hidup” masuk ke dalam kelompok hak non derogable berdasarkan asas lex superior derogate legi inferior.125 Beliau mendasarkan pendapatnya terhadap Pasal 28I UUD 1945 yang menyatakan bahwa:

“hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”

Melihat pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 terkait pengujian konstitusionalitas hukuman mati yang dijatuhkan pada tanggal 30 Oktober 2007, empat orang Hakim Konstitusi mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinions). Hakim Konstitusi Harjono memiliki pendapat khusus yang berdeda dengan hakim lainnya mengenai kedudukan hukum (legal standing)

Pemohon Warga Negara Asing.126 Achmad Roestandi mempunyai pendapat berbeda mengenai Pokok Permohonan, sedangkan Hakim Laica Marzuki dan Maruarar Siahaan mempunyai pendapat berbeda baik mengenai kedudukan

123 Ibid. 124

Hukumpedia,Op.Cit. 125

Ibid. 126

Pan Mohamad Faiz, 2015, “Pendekatan MK Terhadap Konstitusionalitas Hukuman Mati”, URL: http://panmohamadfaiz.com/2015/02/22/pendekatan-mk-terhadap-konstitusionalitas-hukuman-mati/. Diakses pada tanggal 17 Februari 2016.


(5)

hukum(legal standing)maupun pokok permohonan.127

Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Mahkamah Konstitusi, pemohon yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang memang dibatasi bagi warga negara Indonesia. Oleh karenanya, Mahkamah Konstitusi menolak untuk memberikan kedudukan hukum bagi para pemohon berkewarganegaraan asing.128 Walaupun pendapat berbeda yang disampaikan oleh Hakim Harjono, Hakim Laica, dan Hakim Maruarar, mereka tidak secara tegas menyatakan warga negara asing dapat diberikan kedudukan hukum untuk menguji konstitusionalitas setiap undang-undang, namun para Hakim Konstitusi tersebut sepakat bahwa ketiga warga negara Australia yang menjadi para Pemohon telah memenuhi syarat kedudukan hukum untuk menguji konstitusionalitas hukuman mati yang termuat di dalam Undang-Undang Narkotika.129

Hakim Harjono beralasan bahwa menolak warga asing untuk menguji pasal tersebut akan menimbulkan tertundanya kepastian hukum sebab Mahkamah Konstitusi perlu menunggu adanya warga negara Indonesia yang mengujinya terlebih dahulu.130 Sementara itu, Hakim Laica dan Maruarar lebih mempertimbangkan pendekatan hukum dan instrumen internasional tentang hak asasi manusia dengan mengedepankan prinsip equal rights bagi sertiap orang terlepas dari kewarganegaraannya.131 Walaupun Mahkamah Konstitusi menyatakan ketiga warga negara asing tersebut tidak memiliki kedudukan hukum,

127

Ibid.(analisis lebih lanjut mengenai putusan ini akan disajikan pada sub pokok bahasan 3.3).

128

Lihat Tudong Mulya Lubis,Op.Cit, h. 384

129 Ibid. 130

Pan Mohamad Faiz,Op.Cit. 131


(6)

namun Mahkamah Konstitusi tetap memeriksa dan memutuskan substansi permasalahan konstitusional yang sedang diuji.132

Dengan mempertimbangkan maksud dari pembuat UUD 1945 dan berbagai aspek hukum internasional, Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa “hak untuk hidup” yang termuat di dalam UUD 1945 tidak melarang hukuman mati yang diatur berdasarkan undang-undang dan setelah menjalani proses hukum yang adil serta hanya untuk kejahatan serius.133 Sementara itu, tiga Hakim Konstitusi yang berpendapat berbeda menyandarkan argumentasinya juga pada hukum internasional dan praktik bahwa hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun(non-derogable).134

132 Ibid. 133

Lihat Todung Mulya Lubis,Op.Cit, h. 419

134