B. Kerangka Teori Dekubitus Pencegahan Manajemen Luka Tekan Pengkajian Perawatan Dukungan Permukaan Nutrisi

(1)

1 A. Latar Belakang

Dekubitus atau luka tekan adalah kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit normal akibat dari tekanan dari luar yang berhubungan dengan penonjolan tulang dan tidak sembuh dengan urutan dan waktu yang biasa. Gangguan ini terjadi pada individu yang berada di atas kursi atau di atas tempat tidur, seringkali pada inkontinensia, malnutrisi, ataupun individu yang mengalami kesulitan makan sendiri, serta mengalami gangguan tingkat kesadaran (Potter dan Perry, 2005). Luka tekan telah lama dikenal di kalangan perawatan kesehatan dan ini merupakan masalah cukup sulit diatasi bagi para praktisi perawatan karena memang banyak faktor yang terkait dengan upaya penyembuhan luka tekan (Fatmawati, 2007).

Epidemiologi luka tekan bervariasi di beberapa tempat. Di Amerika Serikat insiden berkisar antara 0,4% - 38% di unit perawatan akut, 2,2% - 23,9% di unit long term care (perawatan jangka panjang), 0% - 7% di home care (perawatan di rumah). Fasilitas perawatan akut di Amerika Serikat memperkirakan 2,5 juta luka tekan ditangani setiap tahunnya (Reddy et al., dalam Handayani, 2010). Prevalensi luka tekan di Indonesia dilaporkan di RS Dr. Sardjito Yogyakarta sebesar 40% . Di RS Dr. Moewardi Surakarta pada bulan Oktober 2002 ditemukan kejadian luka tekan sebesar 38,18% (Handayani, 2010).


(2)

Data yang di ambil dari bagian rekam medik RS. Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto, angka kejadian luka tekan bervariasi setiap waktunya. Pada tahun 2009 tercatat 16 pasien rawat inap dan 1 pasien rawat jalan, tahun 2010 ada 25 pasien rawat inap dan 5 pasien rawat jalan, tahun 2011 ada 28 pasien rawat inap dan 16 pasien rawat jalan, 2012 18 rawat inap dan 7 rawat jalan. Pada di tahun 2013 sampai tanggal 1 april 2013 tercatat ada 2 pasien rawat jalan dan 4 pasien rawat inap.

Luka tekan mengganggu proses pemulihan pasien, mungkin juga diikuti komplikasi dengan nyeri dan infeksi sehingga menambah panjang lama perawatan, bahkan adanya luka tekan menjadi penanda buruk prognosis secara keseluruhan dan mungkin berkontribusi terhadap mortalitas pasien. Secara finansial, penanganan luka tekan meningkatkan biaya perawatan. Dutch Study Found mencatat biaya perawatan untuk luka tekan tertinggi ketiga setelah biaya perawatan kanker dan penyakit kardiovaskuler (Reddy et al., dalam Handayani 2010).

Bryant (2007) menyatakan patofisiologi terbentuknya luka tekan disebabkan oleh mekanisme tekanan konstan yang cukup lama dari luar (tekanan eksternal). Tekanan tersebut lebih tinggi dari tekanan intrakapiler arterial dan tekanan kapiler vena sehingga merusak aliran darah lokal jaringan lunak. Akibatnya jaringan mengalami iskemi dan hipoksia dan jika tekanan tersebut menetap selama 2 jam atau lebih akan menimbulkan destruksi dan perubahan irreversibel dari jaringan. Selain itu faktor mekanik lain yang turut berperan adalah faktor regangan kulit akibat daya luncur ke bawah pada


(3)

pasien dengan posisi setengah duduk dengan alas tempat tidurnya dan faktor lipatan kulit dengan alas tempat tidur pada pasien yang kurus, regenerasi sel yang lambat pada lansia, menurunnya kolagen sehingga elastisitas kulit berkurang, perfusi kulit yang menurun karena penurunan fungsi sistem kardiovaskuler dan arteriovena, anemia, status hidrasi yang buruk, alat tenun yang kotor dan kusut, status gizi (kurang atau lebih), kulit kering, kulit lembab oleh keringat, urine atau feses. Mekanisme kompensasi awal kondisi diatas ditandai dengan adanya area hyperemia lokal akibat dilatasi kapiler dan vena, edema dan kerusakan endotel. Jika tidak teratasi maka akan terjadi kerusakan pada otot, subkutan dan epidermis.

Penatalaksanaan klien luka tekan memerlukan pendekatan holistik yang menggunakan keahlian pelaksana yang berasal dari beberapa disiplin ilmu kesehatan. Selain perawat, keahlian pelaksana termasuk dokter, ahli fisiotrapi, ahli terapi okupasi, ahli gizi, dan ahli farmasi. Beberapa aspek dalam penatalaksanaan luka tekan antara lain perawatan luka secara lokal dan tindakan pendukung seperti gizi yang adekuat dan cara penghilang tekanan (Potter & Perry, 2005).

Dalam penatalaksanaan luka tekan, maka luka harus dikaji untuk lokasi, tahap, ukuran, traktusinus, kerusakan luka, luka menembus, eksudat, jaringan nekrotik, dan keberadaan atau tidak adanya jaringan granulasi maupun epitelialisasi. Luka tekan harus monitor ulang minimal 1 kali per hari. Pada perawatan rumah banyak monitoring dimodifikasi karena monitoring mingguan tidak mungkin dilakukan oleh pemberi perawatan.


(4)

Penatalaksanaan luka tekan yang baik harus menunjukkan proses penyembuhan dalam waktu 2 sampai 4 minggu (Potter & Perry, 2005).

Memonitor perkembangan luka tekan adalah merupakan salah satu sentral dari managemen luka tekan. Dengan memonitor perkembangan luka tekan, perawat dapat mengetahui status dari luka pasien, apakah terjadi deteriorasi ( menjadi lebih parah ) ke stadium selanjutnya ataukah luka telah membaik. Untuk memonitor luka ini perawat perlu menggunakan skala - skala yang mempunyai tingkat reliabilitas dan validitas yang tinggi (Sari et al., 2007).

DESIGN merupakan sebuah skala yang digunakan untuk mengkaji perkembangan penyembuhan luka tekan. Skala ini sangat mudah digunakan karena hanya menganalisis sebuah foto luka tekan. Skala ini merupakan satu kriteria alat yang dapat digunakan sebagai pengontrol klinik yang bersifat telemedicine ( pengontrol jarak jauh) (Sanada et al., 2004).

Di Jepang, skala DESIGN sudah dikembangkan dan telah diuji validitas dan reliabilitasnya, skala ini yang sangat cocok dan sangat mudah digunakan di seting klinik dan sudah digunakan di rumah sakit atau klinik kesehatan di Jepang. Indonesia dan Jepang masih masuk dalam satu wilayah benua Asia, kemungkinan skala DESIGN ini juga cocok dan dapat digunakan di Indonesia. Tetapi di Indonesia skala ini belum digunakan di rumah sakit atau klinik-klinik kesehatan, karena skala ini belum diuji validitas dan reliabilitasnya.


(5)

B. Rumusan Masalah

Di Indonesia pasien yang dirawat di rumah sakit terutama di bangsal penyakit bedah, dan bangsal penyakit dalam banyak yang mengalami luka tekan. Untuk deteksi dini terhadap adanya luka tekan dan memonitor perkembangan penyembuhan lukanya diperlukan suatu alat pengkajian yang dapat menilai derajat luka tekan (Widodo, 2007).

Survei yang dilakukan oleh Widodo (2007) di Rumah Sakit Islam Surakarta, menyimpulkan bahwa semua perawat belum pernah menggunakan model skala untuk mengkaji resiko atau memonitor penyembuhan luka tekan, padahal penggunaan skala sangat penting. Skala digunakan sebagai parameter ukuran tingkat keparahan luka. Dengan menggunakan skala, perawat akan tahu apakah luka lebih membaik atau menjadi lebih parah.

Skala “DESIGN” merupakan skala yang diciptakan di Jepang sebagai parameter dalam memonitor penyembuhan luka tekan. Akan tetapi skala ini belum bisa digunakan di Indonesia karena belum teruji validitas dan reliabilitasnya. Maka dari itu peneliti ingin meneliti apakah skala “DESIGN” ini valid dan reliabel digunakan di Rumah sakit atau klinik di Indonesia dalam memonitor penyembuhan luka tekan?.

C. Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui validitas dan reliabilitas skala DESIGN dalam memonitor penyembuhan luka tekan di Indonesia.


(6)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat untuk pelayanan keperawatan.

Pelayanan keperawatan di rumah sakit dapat mengembangkan hasil penelitian ini untuk melakukan monitoring terhadap proses perawatan dan penyembuhan luka tekan.

2. Manfaat untuk keilmuan keperawatan medikal bedah

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam pengembangan ilmu keperawatan khususnya dalam melakukan manajemen perawatan luka tekan.

3. Manfaat untuk peneliti

Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui validitas dan reliabilitas salah satu jenis skala dalam memonitoring penyembuhan luka tekan sebagai intervensi mandiri keperawatan dalam proses penyembuhan luka tekan. Penelitian ini juga dapat menjadi awal bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan manajemen perawatan luka tekan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengetahuan peneliti, belum pernah dilakukan penelitian yang serupa dengan penelitian yang akan dilakukan. Penelitian lain yang berkaitan yaitu:

1. Penelitian dengan judul “Reliability and validity of DESIGN, a tool that classifies pressure ulcer severity and monitors healing” oleh Sanada et al.,(2004). Penelitian ini bertujuan untuk menguji validitas dan reliabilitas dari alat pengkajian DESIGN untuk mengkaji luka tekan. Penelitian ini


(7)

dilakukan pada 8 foto yang dikaji menggunakan instrumen DESIGN yang hasilnya dibandingkan dengan desain PSST. Hasilnya adalah untuk reliabilitasnya terdapat hubungan yang bermakna pada foto dan pada luka pasien asli. Untuk validitasnya ada korelasi lebih tinggi dari r = 0,91 untuk desain DESIGN dan PSST. Kesimpulannya adalah DESIGN tool memiliki nilai validitas dan reliabilitas yang lebih tinggi dengan 7 item didalamnya untuk mengkaji proses penyembuhan luka.

Persamaan penelitian dengan peneliti yang peneliti lakukan adalah pada variabel bebas yaitu menggunakan DESIGN tool dan variabel terikatnya sama, yaitu luka tekan. Sedangkan perbedaannya pada uji yang dilakukan yaitu ada pada lokasi dan subjek penelitiannya.

2. Pamela (2000) dengan judul “Photograpic Assessment of the Appearance of Chronic Pressure and Leg Ulcers”. Penelitian ini bertujuan menguji validitas dan reliabilitas menggunakan pengkajian foto untuk mengkaji status luka. Hasil dari pengkajian mmenggunakan foto dibandingkan dengan menggunakan metode pengkjian PSST. Metode PWAT diujikan pada 56 pasien luka tekan dan 81 leg ulcer. Design PWAT memiliki nilai kemaknaan lebih baik dari PSST dan reliabilitas. Kesimpulannya desain foto ini valid dan reliabel untuk menganalisis penyembuhan luka.

Persamaan penelitian di atas dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah sama-sama menguji validitas suatu desain untuk luka tekan. Variabel bebasnya sama menggunakan pasien luka tekan.


(8)

Sedangkan perbedaanya adalah pada skala yang digunakan yaitu PWAT dan DESIGN.

3. Matsui et al., (2010) dengan judul penelitian “Development of the DESIGN-R with an observational study: An absolute evaluation tool for monitoring pressure ulcer wound healing”. Penelitian ini bertujuan untuk menguji validitas dan reliabilitas alat DESIGN-R. alat ini terdiri dari 7 item yang dilakukan untuk mengkaji proses penyembuhan luka. Desain ini merupakan perkembangan dari desain DESIGN. Hasil dari penelitian yang dilakukan pada 3601 pasien ini adalah kantung luka (2.289), ukuran (1573), infeksi (0,778), granulasi jaringan (0.682), eksudat (0,543), dan jaringan nekrosis (0,529) berdasarkan hasil yang didapat dapat disimpulkan bahwa alat DESIGN-R valid dan dapat digunanakan untuk mengkaji perawatan luka tekan.

Persamaan penelitian diatas adalah terletak pada variabel terikatnya yaitu luka tekan. Sedangkan perbedaan penelitian ini adalah pada variabel bebas yaitu DESIGN-R dan peneliti menggunakan alat DESIGN. Selain itu perbedaan juga terletak pada lokasi dan subjek penelitian.


(9)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori 1. Luka Tekan

a. Definisi Luka tekan

Pressure Ulcure (diketahui sebagai luka tekan, luka ranjang atau luka dekubitus) adalah kerusakan jaringan yang terlokasi karena tekanan yang berlebihan yang terjadi pada area tertentu yang tidak mengalami reposisi (Moore & Cowman, 2009).

National pressure Ulcer Advisory panel (NPUAP), (dalam Potter & Perry, 2005) mengatakan luka tekan merupakan nekrosis jaringan lokal yang cenderung terjadi ketika jaringan lunak tertekan di antara tonjolan tulang dengan permukaan eksternal dalam jangka waktu lama.

b. Etiologi dan Patofisiologi luka tekan

Bryant (2007) menyatakan ada dua hal utama yang berhubungan dengan risiko terjadinya luka tekan yaitu faktor tekanan dan faktor toleransi jaringan. Faktor tekanan dipengaruhi oleh intensitas dan durasi tekanan, sedangkan faktor toleransi jaringan dipengaruhi oleh shear, gesekan, kelembaban, gangguan nutrisi, usia lanjut, tekanan darah rendah (hypotensi), status psikososial, merokok dan peningkatan


(10)

suhu tubuh. Potter dan Perry (2005), juga menyatakan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kejadian luka tekan terdiri dari faktor internal yaitu nutrisi, infeksi dan usia dan faktor eksternal yaitu shear, gesekan dan kelembaban. Penjelasan faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko terjadinya luka tekan dari Braden dan Bergstrom (dalam Bryant, 2007) dan Potter & Perry (2005) diuraikan sebagi berikut :

1) Faktor tekanan

Efek patologis tekanan yang berlebihan dihubungkan dengan intensitas tekanan dan durasi tekanan.

a. Intensitas tekanan.

Intensitas tekanan menggambarkan besarnya tekanan antar muka kulit bagian luar dengan permukaan matras. Jika tekanan antar muka melebihi tekanan kapiler maka pembuluh kapiler akan kolaps dan selanjutnya jaringan akan hipoksia dan iskemi. Tekanan kapiler rata-rata diperkirakan 32 mmHg di arteriol, 30-40 mmHg di akhir arteri, 25 mmHg di pertengahan arteri, 12 mmHg di vena, dan 10 – 14 mmHg di bagian akhir vena. Lindan (dalam Bryant, 2007) mengukur tekanan antar muka laki-laki dewasa sehat dalam posisi supine, prone, sidelying dan duduk di atas bed percobaan mendapatkan data tekanan antar muka antara 10 – 100 mmHg. Tekanan antar muka 300 mmHg ditemukan pada posisi duduk tanpa alas kursi. Pada individu sehat, tekanan antar muka


(11)

tidak selalu akan mengakibatkan hipoksia karena individu sehat mempunyai kemampuan mengenali sensasi dengan baik sehingga mampu berpindah posisi ketika merasa tidak nyaman, tapi pada individu yang tidak mampu mengenali sensasi ataupun tidak mampu pindah posisi dengan sendirinya tekanan antar muka akan berisiko mengakibatkan hipoksia. b. Faktor durasi tekanan

Durasi tekanan digambarkan sebagai lama periode waktu tekanan yang diterima oleh jaringan. Bryant (2007), menyatakan bahwa ada hubungan antara intensitas dan durasi tekanan dengan terbentuknya iskemi jaringan. Secara lebih spesifik dinyatakan intensitas tekanan yang rendah dalam waktu yang lama dapat membuat kerusakan jaringan dan sebaliknya intensitas tekanan tinggi dalam waktu singkat juga akan mengakibatkan kerusakan jaringan.

Iskemia jaringan adalah tidak adanya darah secara lokal atau penurunan aliran darah akibat obstruksi. Penurunan aliran darah menyebabkan daerah tubuh menjadi pucat. Pucat terlihat ketika adanya warna kemerahan pada pasien berkulit terang. Pucat tidak terjadi pada pasien yang berkulit pigmen gelap (Potter & Perry, 2005).

Potter and Perry (2005) menyatakan bahwa luka tekan terjadi sebagai hubungan antara waktu dan tekanan. Semakin


(12)

besar tekanan dan durasinya, maka semakin besar insiden terbentuknya luka. Kulit dan jaringan sub kutan dapat mentoleransi beberapa tekanan, namun pada tekanan eksternal yang besar dan melebihi dari tekanan kapiler akan menurunkan aliran darah ke jaringan sekitarnya, jika tekanan dihilangkan pada saat sebelum titik kritis maka sirkulasi ke jaringan tersebut akan pulih kembali.

2) Faktor Toleransi Jaringan

Faktor toleransi jaringan dideskripsikan sebagai kemampuan kulit dan struktur pendukungnya untuk menahan tekanan tanpa akibat yang merugikan. Kemampuan tersebut dilakukan dengan cara mendistribusikan tekanan yang diterima ke seluruh permukaan jaringan sehingga tidak bertumpu pada satu lokasi. Integritas kulit yang baik, jaringan kolagen, kelembaban, pembuluh limfe, pembuluh darah, jaringan lemak dan jeringan penyambung berperan dalam baik atau tidaknya toleransi jaringan seorang individu. Konsep toleransi jaringan ini pertama kali didiskusikan oleh Trumble dan selanjutnya Husain membuktikan dengan sensitisasi otot tikus dengan 100 mmHg tekanan selama 2 jam, 72 jam selanjutnya disensitisasi dengan 50 mmHg ternyata dalam waktu 1 jam terjadi degenerasi jaringan (dalam Bryant, 2007). Implikasinya, pada jaringan yang toleransinya kurang baik akan lebih mudah mengalami luka tekan dibanding jaringan yang


(13)

toleransinya baik jika diberi intensitas tekanan yang sama. Faktor toleransi jaringan dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik yaitu :

a) Faktor Ekstrinsik (1) Shear

Shear petama kali digambarkan sebagai elem Shear disebabkan oleh saling mempengaruhi antara gravitasi dengan gesekan dan merupakan kekuatan mekanis yang meregangkan dan merobek jaringan, pembuluh darah serta struktur jaringan yang lebih dalam yang berdekatan dengan tulang yang menonjol. Gravitasi membuat tubuh senantiasa tertarik ke bawah sehingga menimbulkan gerakan merosot sementara gesekan adalah resistensi antara permukaan jaringan dengan permukaan matras. Sehingga ketika tubuh diposisikan setengah duduk melebihi 30º maka gravitasi akan menarik tubuh kebawah sementara permukaan jaringan tubuh dan permukaan matras berupaya mempertahankan tubuh pada posisinya akibatnya karena kulit tidak bisa bergerak bebas maka akan terjadi penurunan toleransi jaringan dan ketika hal tersebut dikombinasikan dengan tekanan yang terus menerus akan timbul luka tekan. Shear akan diperparah oleh kondisi permukaan matras yang keras dan kasar, linen yang kusut


(14)

dan lembab atau pakaian yang dikenakan pasien yang berkontribusi terhadap terbentuknya luka tekan.

Potter & Perry (2005), menyatakan bahwa shear adalah kekuatan yang mempertahankan kulit ketika kulit tetap pada tempatnya sementara tulang bergerak. Contohnya ketika pada posisi elevasi kepala tempat tidur maka tulang akan tertarik oleh gravitasi ke arah kaki tempat tidur sementara kulit tetap pada tempatnya. Akibat dari peristiwa ini adalah pembuluh darah dibawah jaringan meregang dan angulasi sehingga aliran darah terhambat. (2) Gesekan

Gaya gesek merupakan tekanan yang dberikan pada kulit dengan arah pararel terhadap permukaan tubuh (AHPCR, dalam Potter & Perry 2005). Hasil dari gesekan adalah abrasi epidermis dan atau dermis. Kerusakan seperti ini lebih sering terjadi pada pasien yang istirahat baring. Pasien dengan kondisi seperti ini sebaiknya menggunakan bantuan tangan atau lengan ketika berpindah posisi utamanya kearah atas atau dibantu oleh 2 orang ketika menaikkan posisi tidurnya. Gesekan mengakibatkan cidera kulit dengan penampilan seperti abrasi. Kulit yang mengalami gesekan akan mengalami luka abrasi atau laserasi superfisial (Potter & Perry, 2005)


(15)

(3) Kelembaban

Kelembaban kulit yang berlebihan umumnya disebabkan oleh keringat, urine, feces atau drainase luka. Penyebab menurunnya toleransi jaringan paling sering adalah kelembaban oleh urine dan feses pada pasien inkontinensia. Urine dan feses bersifat iritatif sehingga mudah menyebabkan kerusakan jaringan, jika dikombinasi dengan tekanan dan faktor lain maka kondisi kelembaban yang berlebihan mempercepat terbentuknya luka tekan. Kelembaban akan menurunkan resistensi kulit terhadap faktor fisik lain semisal tekanan. Kelembaban yang berasal dari drainase luka, keringat, dan atau inkontinensia feses atau urine dapat menyebabkan kerusakan kulit (Potter & Perry, 2005).

Secara histologis tanda-tanda kerusakan awal terbentuknya luka tekan terjadi di dermis antara lain berupa dilatasi kapiler dan vena serta edem dan kerusakan sel-sel endotel. Selanjutnya akan terbentuk perivaskuler infiltrat, agregat platelet yang kemudian berkembang menjadi hemoragik perivaskuler. Pada tahap awal ini, di epidermis tidak didapatkan tanda-tanda nekrosis oleh karena sel-sel epidermis memiliki kemampuan untuk bertahan hidup pada keadaan tanpa oksigen dalam jangka waktu yang cukup


(16)

lama, namun gambaran kerusakan lebih berat justru tampak pada lapisan otot daripada pada lapisan kulit dan subkutaneus (Potter & Perry, 2005)

b) Faktor Intrinsik (1) Gangguan Nutrisi

Peranan nutrisi amat penting dalam penyembuhan luka dan perkembangan pembentukan luka tekan. Nutrien yang dianggap berperan dalam menjaga toleransi jaringan adalah protein, vitamin A, C , E dan zinc. Bryant (2007) menyatakan pada fasilitas perawatan jangka panjang gangguan intake nutrisi, intake rendah protein ketidakmampuan makan sendiri, dan penurunan berat badan berperan sebagai prediktor independen untuk terjadinya luka tekan.

Protein berperan untuk regenerasi jaringan, sistem imunitas dan reakasi inflamasi. Kurang protein meningkatkan kecenderungan edema yang mengganggu transportasi oksigen dan nutrien lain ke jaringan. Vitamin A diketahui berperan dalam menjaga keutuhan epitel, sintesis kolagen, dan mekanisme perlindungan infeksi. Vitamin C berperan dalam sintesis kolagen dan fungsi sistem imun sehingga kekurangan vitamin C dapat mengakibatkan pembuluh darah mudah rusak. Vitamin E


(17)

berperan dalam memperkuat imunitas sel dan menghambat radikal bebas. Melihat pentingnya peran nutrisi maka suplementasi nutrisi dianggap penting diberikan untuk pasien yang berisiko mengalami luka tekan.

Nutrisi yang buruk khususnya kekurangan protein mengakibatkan jaringan lunak mudah sekali rusak. Nutrisi yang buruk juga berhubungan dengan keseimbangan cairan dan elektrolit. Mechanick (dalam Potter & Perry, 2005) menyatakan kekurangan protein akan mengakibatkan edema atau sembab sehingga menggangu distribusi oksigen dan transportasi nutrien. Mathus-Vliegen (dalam Potter dan Perry, 2005), juga menyatakan kehilangan protein yang parah hingga hypoalbuminemia (kadar albumin serum < 3 g/100 ml) menyebabkan perpindahan cairan dari ekstraseluler ke jaringan sehingga mengakibatkan edema. Edema ini akan menurunkan sirkulasi darah ke jaringan, meningkatkan akumulasi sampah merabolik sehingga meningkatkan risiko luka tekan.

(2) Pengkajian status nutrisi pada pasien digunakan ukuran anthropometri yaitu berat badan dan Body Mass Index (BMI), dan nilai biokimia seperti serum albumin, serum transferrin, total lymfosit, keseimbangan nitrogen, serum prealbumin serum dan serum retinol binding-protein, data


(18)

klinis dan riwayat nutrisi (Flannigan, Strauss dan Margoliss, dalam Bryant,2007).

(a) Usia

Usia lanjut (lebih dari 60 tahun) dihubungkan dengan perubahan-perubahan seperti menipisnya kulit, kehilangan jaringan lemak, menurunnya fungsi persepsi sensori, meningkatnya fargilitas pembuluh darah, dan lain sebagainya. Perubahan - perubahan ini menurut Bergstorm & Bradden, Krouskop (dalam Bryant, 2007) mengakibatkan kerusakan kemampuan jaringan lunak untuk mendistribusikan beban mekanis. Kombinasi perubahan karena proses menua dan faktor lain menyebabkan kulit mudah rusak jika mengalami tekanan, shear, dan gesekan.

Usia mempengaruhi perubahan-perubahan pada kulit. Proses menua mengakibatkan perubahan struktur kulit menjadi lebih tipis dan mudah rusak. Boynton et all., (dalam Potter & Perry, 2005) melaporkan 60% - 90% luka tekan dialami oleh usia 65 tahun ke atas. Quicgley & Curley, WOCN (dalam Bryant, 2007) melaporkan neonatus dan anak-anak usia < 5 tahun juga berisiko tinggi mengalami luka tekan.


(19)

(b) Tekanan Darah Rendah

Tekanan darah sistolik dibawah 100 mmHg dan diastolik dibawah 60 mmHg dihubungkan dengan perkembangan luka tekan. Kondisi hypotensi mengakibatkan aliran darah diutamakan ke organ vital tubuh sehingga toleransi kulit untuk menerima tekanan semakin menurun. Tekanan antar muka yang rendah mampu melampaui tekanan kapiler sehingga meningkatkan risiko hipoksia jaringan. (Bryant, 2007). (c) Status psikososial

Status psikososial yang dianggap mempengaruhi adalah kondisi motivasi, stress emosional dan energi emosional. Stress dihubungkan dengan kondisi perubahan hormonal. Peningkatan hormon kortisol karena stress dihubungkan dengan ketidak seimbangan degradasi kolagen dengan pembentukan kolagen dan selanjutnya kehilangan kolagen dihubungkan dengan perkembangan luka tekan pada pasien cidera tulang belakang. Efek lain dari meningkatnya sekresi glukokortikoid pada kondisi stress dihubungkan dengan peranan hormon tersebut dalam metabolisme beberapa zat seperti karbohidrat, protein dan lemak


(20)

yang menjadi penyokong integritas kulit dan jaringan pendukungnya (Bryant, 2007).

(d) Merokok

Merokok mungkin sebuah prediktor terbentuknya luka tekan. Insiden luka tekan lebih tinggi pada perokok dibandingkan dengan yang bukan perokok. Afinitas hemoglobin dengan nikotin dan meningkatnya radikal bebas diduga sebagai penyebab risiko terbentuknya luka tekan pada perokok (Bryant, 2007)

(e) Peningkatan Suhu Tubuh

Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan terbentuknya luka tekan. Namun, mekanisme bagaimana hubungan tersebut dapat terjadi belum dapat dibuktikan, kemungkinan karena peningkatan suhu tubuh meningkatkan kebutuhan oksigen pada jaringan yang sedang anoksia. Selain faktor-faktor tersebut, pada beberapa kondisi seperti anemia, meningkatnya volume cairan tubuh, perfusi oksigen yang buruk mungkin juga berpengaruh sebagai faktor intrinsik. Namun pada lansia kadar albumin, kemandirian untuk berubah posisi, inkontinensia feses, riwayat perbaikan atau penyembuhan luka tekan, ada


(21)

tidaknya alzheimer adalah faktor yang berpengaruh paling kuat (Bryant, 2007).

(f) Infeksi

Infeksi ditandai dengan adanya patogen dalam tubuh. Infeksi biasanya diikuti oleh demam dan peningkatan laju metabolisme sehingga jaringan-jaringan yang mengalami hipoksia akan berisiko menuju iskemik. Selain itu demam juga meningkatkan perspirasi sehingga kondisi kulit lebih lembab oleh keringat dan ini akan menjadi predisposisi kerusakan kulit (Pooter & Perry, 2005)

c. Lokasi Luka Tekan

Lokasi luka tekan sebenarnya bisa terjadi diseluruh permukaan tubuh bila mendapat penekanan keras secara terus menerus. Namun paling sering terbentuk pada daerah kulit diatas tulang yang menonjol. Lokasi tersebut diantaranya adalah: tuberositas ischii (frekuensinya mencapai 30%) dari lokasi tersering, trochanter mayor frekuensinya mencapai 20% dari lokasi tersering, sacrum (frekuensinya mencapai 15%) dari lokasi tersering, tumit (frekuensinya mencapai 10%) dari lokasi tersering, maleolous, genu, lainnya meliputi cubiti, scapula dan processus spinosus vertebrae (Handayani, 2010).


(22)

Gambar 2.2 Lokasi luka tekan

(MOH Nanyang University dalam Handayani, 2010) d. Grade Luka Tekan

National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP) pada Tahun 2007 membagi stage luka tekan menjadi empat dengan karakteristik sebagai berikut:

Stage I : Kulit berwarna kemerahan, pucat pada kulit putih, biru, merah atau ungu pada kulit hitam. Temperatur kulit berubah hangat atau dingin, bentuk perubahan menetap dan ada sensasi gatal atau nyeri.

Stage II : Hilangnya sebagian lapisan kulit namun tidak lebih dalam dari dermis, terjadi abrasi, lepuhan, luka dangkal dan superfisial.

Stage III : Kehilangan lapisan kulit secara lengkap meliputi subkutis, termasuk jaringan lemak dibawahnya atau lebih dalam lagi namun tidak sampai fascia. Luka mungkin membentuk lubang yang dalam.


(23)

Stage IV : Kehilangan lapisan kulit secara lengkap hingga tampak tendon, tulang, ruang sendi. Berpotensi untuk terjadi destruksi dan risiko osteomyelitis.

Gambaran karakteristik masing-masing stage tersebut dapat dilihat dengan jelas pada gambar:


(24)

Gambar 2.3 Stage luka tekan

(MOH Nanyang University dalam Handayani, 2010) e. Manajemen Luka Tekan

1) Pencegahan Luka Tekan

Banyak tinjauan literatur mengindikasikan bahwa luka tekan dapat dicegah. Meskipun kewaspadaan perawat dalam memberikan perawatan tidak dapat sepenuhnya mencegah terjadinya luka tekan dan perburukannya pada beberapa individu yang sangat berisiko tinggi. Dalam kasus seperti ini, tindakan intensif yang dilakukan harus ditujukan untuk mengurangi faktor


(25)

risiko, melaksanakan langkah-langkah pencegahan dan mengatasi luka tekan (Handayani, 2010).

2) Pengkajian risiko dengan menggunakan tool

Beberapa tool pengkajian telah dikembangkan seperti Braden’s Scale , Norton’s, Waterlow’s, clinical judgment.dan lain-lain. Namun menurut AHCPR (2008) hanya Braden’s Scale dan Norton’s (asli maupun telah dimodifikasi) yang telah dan sedang di uji secara ekstensif. Braden’s Scale telah diuji penggunaannya pada setting perawatan medikal bedah, perawatan intensif dan nursing home. Sedangkan Norton’s telah diuji pemakaiannya pada unit perawatan usia lanjut di rumah sakit (Handayani, 2010).

Penggunaan Braden’s Scale untuk pengkajian risiko luka tekan telah diteliti reliabilitas dan validitasnya oleh beberapa peneliti. Inter-rater reliability tool ini dilaporkan berkisar antara 88% - 99%, dengan spesifitas 64% - 90% dan sensitifitas 83 – 100%. Scoonhoven et al., (dalam Handayani, 2010), melalui penelitian dengan desain cohort prospective menyatakan Braden’s Scale instrumen terbaik untuk prediksi luka tekan di unit bedah, interne, neurologi dan geriatri jika dibandingkan Norton’s Scale dan Waterlow dengan nilai prediksi 7,8%. Review oleh Brown (dalam Handayani, 2010), menyatakan Braden’s Scale memiliki overprediction tinggi dan underprediction rendah. Penelitian instrumen Braden’s Scale di Indonesia khususnya di Bangsal


(26)

Penyakit Dalam RS Yohanes Kupang oleh Era (dalam Handayani, 2010), dengan desain cohort prospektif menunjukkan sensitifitas 88,2% dan spesifitas 72% (Yasa, 2010). Uji coba penggunaan Braden Scale di Ruang Neurologi RS. Dr. Cipto Mangukusumo oleh Yasa (2010) menunjukkan hasil yang sangat efektif untuk mengkaji dan menganalisis prediksi luka tekan dan hasilnya dikombinasikan dengan intervensi keperawatan untuk pencegahan sangat efektif dalam mencegah dan mengatasi luka tekan. Penggunaan tool tersebut sebaiknya dilakukan setiap 48 jam di unit perawatan akut, setiap 24 jam di unit perawatan kritis, setiap minggu saat 4 minggu pertama di unit perawataan jangka panjang (long term care) kemudian setiap bulan hingga setiap 3 bulan. dan setiap kali kunjungan rumah pada unit home care (Handayani, 2010).

3) Perawatan

Menurut Handayani (2010), perawatan kulit bertujuan untuk mencegah terjadinya luka tekan melalui upaya-upaya mempertahankan dan memperbaiki toleransi kulit terhadap tekanan :

a) Pengkajian kulit dan risiko luka tekan

Pengkajian risiko luka tekan dapat dilakukan dengan menggunakan Skala Braden. Inspeksi kulit dilakukan secara teratur dengan frekuensi sesuai kebutuhan masing-masing


(27)

pasien. Inspeksi dilakukan untuk melihat apakah ada kondisi-kondisi seperti kulit kering, sangat basah, kemerahan, pucat dan indurasi. Pemeriksaan lain seperti apakah ada tanda hangat yang terlokalisir, perubahan warna dan pembengkakan. b) Massage

Massage yang kuat pada area tonjolan tulang atau kulit yang kemerahan dihindarkan. Penggunaan massage untuk mencegah luka tekan masih kontroversial, mengingat tidak semua jenis massage bisa digunakan. Namun massage di area tulang menonjol atau bagian kulit yang telah menunjukkan kemerahan atau discolorisation patut dihindari karena hasil biopsi post mortem pada jaringan yang di lakukan massage menunjukkan adanya degenerasi jaringan, dan maserasi. Teknik Massage yang diperbolehkan hanya Efflurage namun tidak untuk jaringan di atas tulang yang menonjol maupun yang telah menunjukkan kemerahan ataupun pucat. Lama waktu massage yang digunakan masih bervariasi antara 15 menit dan 4 – 5 menit. Massage umumnya dilakukan 2 kali sehari setelah mandi.

c) Manajemen kulit kering

Penanganan kulit kering pada sakrum secara khusus dengan menggunakan pelembab sederhana. Penting untuk memberikan pelembab secara teratur untuk mendapatkan


(28)

keuntungan yang maksimal. Mengurangi lingkungan yang menyebabkan kulit kering dan berkurangnya kelembaban kulit seperti suhu dingin, dan hidrasi tidak adekuat. Kulit kering meningkatkan risiko terbentuknya fissura dan rekahan stratum korneum. Penggunaan pelembab topikal diduga bermanfaat untuk mempertahankan kelembaban kulit dan keutuhan stratum corneum namun belum ada ketetapan jenis pelembab apa yang memberikan manfaat terbaik dan memberi evidence secara langsung pengaruhnya terhadap pencegahan luka tekan, mempertahankan kelembaban stratum corneum dan mencegah kulit kering. Penelitian membuktikan penggunaan mephentol (suatu agent topikal terbuat dari campuran asam lemak hyperoksigenasi dan herbal (Equisetum arvense and Hypericum perforatum) efektif mencegah timbulnya luka tekan derajat I pada pasien dengan risiko menengah hingga risiko tinggi mengalami luka tekan.

d) Manajemen kulit lembab yang berlebihan

Sumber kelembaban yang berlebihan harus diidentifikasi misalnya keringat, urine atau yang lainnya. Upaya selanjutnya adalah dengan 1) membersihkan kulit dengan mandi menggunakan air hangat dan sabun dengan pH seimbang. Aktifitas mandi mungkin mengurangi sedikit pelindung kulit normal sehingga membuat kulit kering dan


(29)

mudah iritasi oleh karena itu jenis sabun yang digunakan harus diperhatikan dengan baik. 2) memberikan pelembab karena aktifitas membersihkan kulit yang berulang kali membuat kulit menjadi kering, namun jika sabun atau bahan pembersih yang digunakan sudah dilengkapi dengan pelembab yang cukup mungkin pemberian pelembab tidak begitu dibutuhkan. 3) proteksi dengan bahan-bahan pelindung seperti film, krem, ointment, atau pasta yang biasanya terbuat dari zink oxide, asam laktat, petrolatum atau dimeticone dan kombinasinya. Penggunaan pelindung kulit seperti underpad dan celana dapat meminimalkan ekspose kulit dengan bahan-bahan lembab yang iritan tersebut asal segera diganti ketika mulai basah atau lembab.

4) Dukungan permukaan

Dukungan permukaan termasuk pelapisan (ditempatkan di atas tempat tidur standar) atau kasur khusus. Ada 2 jenis dukungan permukaan: statis tanpa bergerak dan dinamis dengan bagian yang bergerak yang dijalankan oleh energi. Matras udara dan air efektif tetapi mungkin bocor, jadi mereka perlu terusmenerus dirawat. Kadang-kadang digunakan glove yang diisi air atau bantalan donat. Namun bantalan donat kini mulai ditinggalkan karena terbukti menimbulkan efek tekanan baru pada area pinggir donat. Termasuk upaya memperbaiki dukungan permukaan adalah


(30)

menjaga alat tenun tetap licin dan kencang, kasur yang rata dan tebal serta pemberian bantal pada area-area berisiko tekanan seperti tumit, siku, bahu dan sakrum.

5) Nutrisi

Nutrisi adalah faktor pendukung yang penting untuk mempertahankan kulit yang sehat dan elastis. Pemberian secara oral, parenteral maupun melalui sonde feeding sama efektifnya asalkan jumlah yang diberikan cukup sesuai kebutuhan. Suplemen nutrisi dapat diberikan jika diperlukan. Beberapa penelitian menunjukkan nutrien yang penting untuk pencegahan dan proses penyembuhan luka tekan adalah protein, vitamin C, kalori, zat besi dan zink (Potter & Perry, 2005).

6) Posisi dan reposisi

Karena penyebab utama luka tekan adalah tekanan yang terus menerus di suatu tempat maka menghindari penekanan terus menerus di satu tempat dengan cara reposisi menjadi penting. Hasil penelitian Defloor et al., (dalam Reddy et al., 2006) menyatakan perubahan posisi setiap 4 jam di atas matras busa khusus mampu menurunkan insiden luka tekan dibandingkan dengan resposisi setiap 4 jam di atas kasur standar. Beberapa penelitian juga menganjurkan penggunaan posisi miring 30º dengan cara mengganjal bantal dibagian bokong dan salah satu kaki.


(31)

7) Edukasi

Pendidikan kesehatan kepada keluarga dilakukan secara terprogram dan komprehensif sehingga keluarga diharapkan berperan serta secara aktif dalam perawatan pasien. pasien dan keluarga adalah bagian integral dalam perawatan pasien khususnya upaya pencegahan luka tekan. Topik pendididkan kesehatan yang dianjurkan adalah sebagai berikut etiologi dan faktor risiko luka tekan, aplikasi penggunaan tool pengkajian risiko, pengkajian kulit, memilih dan atau gunakan dukungan permukaan, perawatan kulit individual, demonstrasi posisi yang tepat untuk mengurangi risiko luka tekan dan dokumentasi data yang berhubungan (Handayani, 2010).

Potter dan Perry (2005) menyatakan intervensi pencegahan perawatan kulit meliputi pengkajian kulit secara teratur minimal satu kali sehari, untuk yang risiko tinggi lebih baik setiap shift, menjaga kulit tetap bersih dan tidak basah. Ketika membersihkan kulit sebaiknya menggunakan air hangat dengan sabun yang tidak mengandung alkohol. Setelah kulit dibersihkan gunakan pelembab untuk melindungi epidermis dan sebagai pelumas tapi tidak boleh terlalu pekat. Jika pasien mengalami inkontinensia atau mendapat makanan melalui sonde agar diperhatikan kelembaban yang berlebihan akibat terpapar urine, feses atau cairan enteral.


(32)

Sebaiknya pasien selalu dibersihkan dan area yang terpapar cairan diberi lapisan pelembab sebagai pelindung. Seluruh upaya pencegahan luka tekan dilaksanakan secara multidisiplin karena pencegahan luka tekan menjadi tanggung jawab tidak hanya perawat, dokter tetapi juga dietisien, keluarga pasien dan semua orang yang terlibat dalam perawatan pasien.

8) Monitoring penyembuhan luka

Memonitor perkembangan luka tekan merupakan salah satu sentral dari managemen luka tekan. Dengan memonitor perkembangan luka tekan, perawat dapat mengetahui status dari luka pasien, apakah terjadi deteriorasi ( menjadi lebih parah ) ke stadium selanjutnya ataukah luka telah membaik. Untuk memonitor luka ini perawat perlu menggunakan skala - skala yang mempunyai tingkat reliabilitas dan validitas yang tinggi. Contohnya : 1.PSST ( Pressure Sore Status Tool ) 2.SWHT ( Sussman Wound Healing Tool ) 3.PUSH ( Pressure Ulcer Scale for Healing ) 4.PUHP (The Japanese Pressure Ulcer Healing Process ) dan 4.DESIGN (Sari et al., 2007).

2. DESIGN (Depth, Eksudate, Size, Inflamation/infection, Granulation tissue, dan Necrotic Tissue)

a. Pengertian DESIGN

DESIGN adalah penyingkatan atau akronim dari 6 item sebagai alat pengukuran atau pengkajian (kedalaman luka, eksudate,


(33)

luas luka, inflamasi atau infeksi, granulasi jaringan, dan jaringan yang mati). P di tambahkan ketika terdapat kantung luka pada luka tekan. Setiap item pengukuran pada alat pengukuran DESIGN memiliki 3 – 7 tingkat dan rentan jumlah score dari 0 – 28 dengan score yang lebih tinggi mengindikasikan tingkat atau derajat luka tekan yang lebih parah.

DESIGN merupakan alat yang sangat berguna untuk memonitor perkembangan luka tekan, tetapi keterbatasan dari alat ini adalah ketidak mampuan alat untuk membandingkan antara luka tekan lain pada pasien lain (Sanada et al., 2004).

b. Penilaian Instrumen DESIGN

Tabel 2.1 Scoring instrumen DESIGN Depth (Kedalaman luka)

d: hilangnya sebagian lapisan kulit (sampai ke dermis)

D: hilangnya seluruh lapisan kulit (dari lapisan subkutan ke bawah)

Exudate (eksudat) : frekuensi dari pergantian bautan

e: paling sedikit satu kali setiap hari

E: lebih dari dua kali sehari Size : Ukuran luka

s: kurang dari 100cm²

S : 100cm² atau lebih Infection

i: tidak ada tanda dari infeksi lokal

I : ada tanda dari infeksi lokal

jaringan granuasi : Presentasi jaringan yang sehat

g: 50% atau lebih

G : Kurang dari 50% Jaringan nekrotik

n: tidak ada

N: Jaringan nekrotik ada Pocket : ada tidaknya kantung luka

(pocket/ undermining)

P: adanya pocket (kantung luka)


(34)

Depth (Kedalaman luka)

d

0 Tidak ada lesi dan kemerahan pada kulit

D

3 Lesi sampai lapisan subkutan 1 Kemerahan yang menetap 4 Lesi sampai tendon, otot, atau

tulang. 2 Lesi sampai pada lapisan

dermis 5

Lesi sampai kavitas, atau sangat sulit diukur

kedalamnya Exudate (eksudat)

e

0 Tidak ada eksudat

E 3 Banyak : Memerlukan pergantian balutan setiap hari 1 Ringan : Tidak memerlukan

pergantian balutan setiap hari 2 Menengah : memerlukan

pergantian balutan setiap hari

Size (ukuran)

s

0 Tidak ada

S 6 100cm² atau lebih besar 1 Lebih kecil dari 4cm²

2

4cm² atau lebih besar, namun lebih kecil dari

6cm²

3 16cm² atau lebih, tetapi lebih kecil dari 16cm² 4 36cm² atau lebih, tetapi

lebih kecil dari 64cm² 5 64cm² atau lebih, tetapi

lebih kecil dari 100cm²

Infection/ inflamation (infeksi/ inflamasi)

i

0 Tidak ada infeksi

I

2

Tanda – tanda yang jelas dari infeksi lokal (contohnya inflamasi, pus,

dan bau) 1

Ada tanda dari inflamasi, (demam, kemerahan,

bengkak, dan nyeri disekitar luka).

3 Adanya pengaruh sistemik, seperti demam


(35)

Granulation tissue (jaringan granulasi)

g 0

Jaringan granulasi tidak dapat dikaji karena luka

sembuh atau terlalu dangkal

G

3

10% atau lebih (namum kurang dari 50%) dari luka

telah terisi oleh jaringan granulasi

1 90% dari luka telah diisi

oleh jaringan granulasi 4

Kurang dari 10% luka tertutup oleh jaringan

granulasi 2

50% lebih (namum kurang dari 90%) dari

luka telah terisi oleh jaringan granulasi

5 Tidak ada jaringan granulasi

n 0 Tidak ada N

1 Ada jaringan nekrotik yang lembut 2

Terdapat jaringan nekrotik yang keras dan tebal

melekat pada luka Pocket/ Undermining ( Kantong Luka)

+P

1 Lebih kecil dari 4 cm² 2 4 cm² atau lebih, tetapi lebih kecil dari 16 cm² 3 16 cm² atau lebih, tetapi

lebih kecil dari 36 cm²


(36)

c. Gambaran penilaian DESIGN 1) Depth (kedalaman luka)

Kedalaman luka seharusnya diukur pada titik terdalam luka, gambar di bawah ini menunjukkan tingkat kedalaman luka yang berbeda.

Gambar 2.4 Contoh luka tekan dengan kedalaman yang berbeda

2) Size (besar luka)

Pengukuran besar luka dilakukan dengan cara mengalikan panjang dan lebar. Bagian yang terpanjang dari luka adalah merupakan panjang, sedangkan lebar adalah pengukuran terpanjang tegak lurus terhadap axis tersebut.


(37)

3) Inflamasi / infeksi

Gambar 2.6 Contoh luka tekan yang mengalami inflamasi/infeksi

4) Granulation tissue

Merupakan persentase dari jaringan granulasi pada luka.

Gambar 2.7 Contoh luka tekan dengan jaringan granulasi yang berbeda

5) Jaringan nekrotik.

Ketika jaringan nekrotik dan jaringan non nekrotik bercampur, jaringan yang mendominasi (antara jaringan nekrotik dan jaringan nekrotik) seharusnya digunakan untuk indikator pengkajian.


(38)

Gambar 2.8 Contoh luka yang tertutup dengan jaringan nekrotik.

6) Pocket area/undermining (kantong luka)

Kantong luka (undermining/pocket) adalah merupakan perluasan dari daerah luka tekan yang terjadi dibawah kulit. Jadi kadang kadang luka tekan dipemukaannya tidak lebar, namun ternyata dibawah kulit lukanya melebar. Luka yang melebar dibawah kulit inilah yang disebut kantong luka/ undermining. Undermining penting sekali untuk dikaji karena terkadang luka tekan dipermukaan kulit terlihat ukuranya kecil, namun ternyata setelah di kaji, daerah kantong dibawah permukaan dari luka sudah luas.

Luas daerah kantong luka dapat dihitung dengan cara seperti yang tertera pada gambar dibawah ini. Perawat di luar negeri biasanya menggunakan P - light (semacam pena yang ujungnya bercahaya untuk mengetahui sejauh mana daerah kantong luka). Apabila P-light tidak ada, perawat dapat menggunakan cotton bud untuk mengetahui batas batas dari


(39)

daerah kantong. Caranya dengan memasukan cotton bud steril ke dalam luka lalu tentukan batas batas kantong luka, lalu tandai batas batas daerah kantong dengan menggunakan spidol/pena. Dari sini luas keseluruhan dari daerah kantong luka dapat dihitung dengan melakukan perhitungan seperti ada digambar. Perhatikan gambar berikut ini :

Gambar 2.9 Contoh pengukuran kantung luka

Contoh penggunaan skala “DESIGN”


(40)

3. BWAT (BATES-JENSEN WOUND ASSESSMENT TOOL) a. Pengertian BWAT

BWAT (Bates-Jensen Wound Assesment Tool) atau pada asalnya dikenal dengan nama PSST (Pressure Sore Status Tool) merupakan skala yang dikembangkan dan digunakan untuk mengkaji kondisi luka tekan. Skala ini sudah teruji validitas dan reliabilitasnya, sehingga alat ini sudah biasa digunakan di rumah sakit atau klinik kesehatan. Nilai yang dihasilkan dari skala ini menggambarkan status keparahan luka. Semakin tinggi nilai yang dihasilkan maka menggambarkan pula status luka pasien yang semakin parah (Pillen et al., 2009).

BWAT terdiri dari 13 item pengkajian di dalamnya, yaitu : Size, Depth, Edges, Undermining, Necrotic Tissue Type, Necrotic Tissue Amount, Exudate Type, Exudate Amount, Skin Color Surrounding Wound, Peripheral Tissue Edema, Pheriperal Tissue Induration, Granulation Tissue, dan Epithelialisation. Ke 13 item tersebut digunakan sebagai pengkajian luka tekan pada pasien. Setiap item di atas mempunyai nilai yang menggambarkan status luka tekan pasien (Pillen et al., 2009).


(41)

b. Penilaian Instrumen BWAT

Tabel 2.2 Penilaian Instrumen BWAT

Item Assesment Date

Score

Date Score

Date Score 1. Size 1 = panjang x lebar

<4 cm²

2 = panjang x lebar 4 cm² sampai < 16 cm²

3 = panjang x lebar 16,1 cm² sampai < 36 cm²

4 = panjang x lebar 36,1 cm² sampai < 80 cm²

5 = panjang x lebar > 80 cm²

2. Depth 1 = tidak ada eritama atau kemerahan pada kulit yang terluka.

2 = Sebagian

jaringan hilang, termasuk epidermis hingga sampai dermis.

3 = kerusakan kulit penuh, termasuk kerusakan jaringan subkutan/bawah dermis, adanya jaringan granulasi. 4 = terjadi nekrosis

jaringan

5 = Kerusakan yang sangat parah pada seluruh bagian hongga ke otot dan tulang. 3. Edges 1 = kabur, bias ,


(42)

tidak jelas 2 = jelas, ada tepi,

bisa dibedakan dasar luka. 3 = dapat

diidentifikasi dengan mudah, tidak rata sama dasar.

4 = dapat

diidentifikasi dengan mudah, luka

menggelembung 5 = mudah

diidentifikasi, ada jaringan scar/fibrotik 4. Undermining 1 = tidak ada

2 = kerusakan < 2 cm di area manapun 3 = 2 – 4 cm < 50%

batas luka. 4 = 2 – 4 cm,

termasuk > 50% batas luka. 5 = > 4 cm, terdapat

diseluruh area. 5. Tipe jaringan

nekrosis

1 = Tidak kelihatan 2 = putih atau abu –

abu

3 = jaringan pengikat hilang, warna kuning 4 = ada jaringan

pengikat, halus, warna hitam. 5 = ada banyak

jaringan ikat, kasar, hitam. 6. Jumlah

jaringan mati

1 = tidak ada atau tidak terlihat 2 = luas kurang dari

25%

3 = 25 – 50% dari seluruh luka


(43)

4 = lebih dari 50% dan < 75% dari seluruh luka. 5 = 75% - 100% dari

seluruh luka 7. Tipe nanah 1 = tidak ada

2 = Berdarah 3 = merah pucat

(pink) 4 = tipis, berair,

keras 5 = tipis / kebal,

sebagian

berwarna kuning dengan atau tanpa nyeri 8. Jumah nanah 1 = tidak ada

2 = ada, kecil, tidak dapat dihitung 3 = kecil 4 = sedang 5 = luas 9. Warna kulit

disekitar luka

1 = pink/ normal untuk kulit normal, bukan kulit hitam 2 = merah terang 3 = putih atau abu –

abu

4 = merah gelap sampai ungu 5 = hitam

10.Edema jaringan perifer

1 = tidak ada edema 2 = tidak ada piting

edema kurang dari 4cm 3 = tidak ada piting

di jarak > 4cm 4 = ada piting, jarak

kurang dari 4 cm 5 = piting edema

berjarak 4cm disekitar luka; 11.Undurasi

jaringan tepi

1 = tidak ada 2 = indurasi < 2cm


(44)

3 = indurasi 2 – 4cm, < 50% disekitar luka.

4 = 2 - 4cm, > 50% disekitar luka 5 = undurasi > 4 cm

diseluruh area luka

12.Jaringan granulasi

1 = luka dikulit atau sebagian

2 = jelas, kemerahan, 75% - 100% terisi oleh jaringan granulasi. 3 = jelas,

kemerahan,< 75% dan > 25% terisi oleh jaringan granulasi. 4 = merah muda,

terisi < 25% jaringan granulasi 5 = tidak ada jaringan granulasi 13.Pembentukan

jaringan epitel

1 = 100% luka tertutup

2 = 75% - 100% luka tertutup, jaringan epitelnya > 0,5 cm.

3 = 50% sampai < 75%, luka

tertutup, jaringan epitel < 0,5cm 4 = 25% - < 50%

luka tertutup. 5 = kurang dari 25%

luka tertutup Total score :


(45)

4. Karakteristik Responden a) Pengalaman Kerja

Pengalaman kerja adalah sesuatu yang telah dialami/dihayati berkenaan dengan memperoleh hasil. Pengalaman kerja tidak diperoleh dengan waktu singkat, pada umumnya semakin banyak/lama masa kerja seseorang pada pekerjaan tertentu maka pengalaman yang didapatkannya semakin banyak, sehingga tingkat kecakapan atas pekerjaan yang menjadi tugasnya akan semakin tinggi karena didukung dengan kemampuan kerja dan pengalaman kerja yang memadai akan membuahkan hasil/kinerja yang tinggi bagi tenaga kerja itu sendiri, juga menunjukkan kualitas pekerjaan yang dilaksanakan (Prabandari, 2003).

Wiranata et al., (2012), membagi pengalaman kerja pada beberapa tingkat , yaitu pengalaman kerja kurang dari 1 tahun, 1 sampai 5 tahun, 6 sampai 10 tahun, dan lebih dari 10 tahun.

b) Tingkat Pendidikan

Menurut Kemendiknas (2013), dalam Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan di Indonesia dibagi menjadi 2 tingkat yaitu tingkat tingkat pendidikan dasar 9 tahun (SD, SMP) dan tingkat pendidikan tinggi (SMA, PT).

Pendidikan berperan penting dalam bidang keperawatan. Tingkat pendidikan menentukan kinerja perawat dalam melakukan rencana


(46)

asuhan keperawatan dan implementasi keperawatan (Faizin dan Winarsih, 2008)

c) Pelatihan Perawatan Luka

Pelatihan merupakan suatu kegiatan untuk memperbaiki kemampuan kerja seseorang dalam memahami suatu pengetahuan praktis dan penerapannya, guna meningkatkan keterampilan, kecakapan dan sikap yang diperlukan oleh organisasi dalam mencapai tujuannya (Prabandari, 2003).


(47)

B. Kerangka Teori

Gambar 2.11 Kerangka Teori

Dukungan Permukaan Perawatan

Nutrisi Dekubitus

Manajemen Luka Tekan

Pengkajian Pencegahan

Monitoring

DESIGN Posisi dan Reposisi

Edukasi

1. Pengalaman Kerja 2. Tingkat Pendidikan 3. Pelatihan Perawatan Luka


(48)

C. Kerangka Konsep

Keterangan :

: Diteliti

: Tidak diteliti

Gambar 2.12 Kerangka Konsep. DESIGN

Reliabilitas Validitas

BWAT

Luka Dekubitus Responden

1. Pengalaman Kerja 2. Tingkat Pendidikan 3. Pelatihan Perawatan Luka


(49)

D. Hipotesis

Hipotesis penelitian merupakan prediksi hasil penelitian yang didasarkan pada pemikiran logis dan ilmiah mengenai hubungan yang diharapkan antar variabel (Saryono, 2011). Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

 Skala DESIGN mempunyai korelasi dan kesesuaian yang baik dengan skala BWAT dalam memonitor penyembuhan luka tekan.


(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional. Penelitian cross sectional merupakan rancangan penelitian analitik observasional yang dilakukan pada satu waktu tertentu (Saryono, 2011). Dalam penelitian ini peneliti mengobservasi perkembangan penyembuhan luka tekan dengan menggunakan instrumen DESIGN yang dibandingkan dengan instrument BWAT.

B. Tempat dan waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - Oktober 2013 di Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas.

C. Populasi dan sampel 1. Populasi

Populasi merupakan keseluruhan sumber data yang diperlukan dalam suatu penelitian (Saryono, 2011). Populasi dapat berupa orang, benda, gejala, atau wilayah yang ingin diketahui oleh peneliti (Danim, 2003). Populasi dalam penelitian ini adalah Sarjana Keperawatan dan perawat dengan tingkatan pendidikan, pengalaman dan keahlian tentang perawatan luka yang berbeda-beda.


(51)

Sampel adalah sebagian dari populasi yang mewakili suatu populasi. Pengambilan sampel harus sedemikian rupa sehingga dapat mewakili populasi. Supaya hasil penelitian sesuai dengan tujuan, maka penentuan sampel yang dikehendaki harus sesuai dengan kriteria tertentu yang ditetapkan (Saryono, 2011).

Tekhnik Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara purposife sampling, yaitu mengambil beberapa populasi yang masuk di kriteria inklusi sebagai sampel sebagai responden penelitian. Penentuan sampel menjadi responden harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi (Saryono, 2011). Kriteria inklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian mewakili dalam sampel penelitian dan memenuhi syarat sebagai sampel penelitian sedangkan kriteria eksklusi adalah keadaan sebaliknya (Hidayat, 2003).

Kriteria Inklusi

1) Kelas 1 perawat ahli luka 2) Kelas 2 S1 perawat klinik 3) Kelas 3 D3 perawat klinik 4) Kelas 4 Sarjana Keperawatan Kriteria Eksklusi

Tidak bersedia menjadi responden


(52)

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel

No Variabel Definisi

Variabel

Cara Ukur

Hasil Ukur Skala

Data

1 Validitas Suatu indeks yang

menunjukkan alat ukur itu benar – benar mengukur apa yang diukur

(sensitivitas) dan tidak terukur hal lain yang selain yang akan diukur

(spesifitas)

Uji pearson Numerik

2 Reliabilitas kesamaan hasil pengukuran atau pengamatan bila fakta atau kenyataan hidup diukur atau diamati berkali-kali dalam waktu yang berlainan

Intraclass Corelation Coefficient

Numerik

3 BWAT skala yang dikembangkan

dan digunakan untuk mengkaji kondisi luka tekan, terdiri dari 13 item pengkajian di dalamnya, yaitu : Size, Depth, Edges, Undermining, Necrotic Tissue Type, Necrotic Tissue Amount, Exudate Type, Exudate Amount, Skin Color Surrounding Wound, Peripheral Tissue Edema, Pheriperal Tissue Induration, Granulation Tissue, dan

Epithelialisation. Ke 13 item tersebut digunakan sebagai pengkajian luka tekan pada pasien.

Uji pearson Numerik

4 DESIGN Alat pengkajian luka

dekubitus, terdiri dari 7 komponen item

(Kedalaman luka, Jumlah eksudat, ukuran luka, infeksi, jaringan granulasi, jaringan mati, dan kantung luka.

- Numerik

5 Luka

Dekubitus

kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit normal akibat dari tekanan

Instrumen DESIGN


(53)

eksternal yang berhubungan dengan penonjolan tulang dan tidak sembuh dengan urutan dan waktu yang biasa

6 Pengalaman

Kerja

sesuatu yang telah dialami/dihayati berkenaan dengan memperoleh hasil.

Wawancara - Interval

7 Tingkat

Pendidikan

Jenjang pendidikan atau sekolah yang telah dicapai seseorang.

Wawancara - Ordinal

8 Pelatihan dibidang Luka

kegiatan untuk

memperbaiki kemampuan kerja seseorang dalam memahami suatu pengetahuan praktis dan penerapannya, guna meningkatkan

keterampilan, kecakapan dan sikap.

Wawancara “Ya” untuk

yang pernah mengikuti pelatihan dan “tidak” untuk yang belum pernah mengikuti pelatihan. Nominal

E. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu skala DESIGN. DESIGN merupakan alat pengkajian luka dekubitus, terdiri dari 7 komponen item (Kedalaman luka, jumlah eksudat, ukuran luka, infeksi, jaringan granulasi, jaringan mati, dan kantung luka).

Instrumen berikutnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah BWAT (Bates-Jensen Wound Assesment Tool). BWAT adalah instrumen pengkajian luka dekubitus. BWAT terdiri dari 13 item pengkajian di dalamnya, yaitu : Size, Depth, Edges, Undermining, Necrotic Tissue Type, Necrotic Tissue Amount, Exudate Type, Exudate Amount, Skin Color Surrounding Wound, Peripheral Tissue Edema, Pheriperal Tissue Induration, Granulation Tissue, dan Epithelialisation. Ke 13 item


(54)

tersebut digunakan sebagai pengkajian luka tekan pada pasien. Setiap item di atas mempunyai nilai yang menggambarkan status luka tekan pasien (Pillen et al., 2009). Dalam penelitian ini BWAT digunakan sebagai pembanding atau gold standard untuk menguji kevaliditasan instrumen DESIGN.

F. Validitas dan Reliabilitas Instrument 1. Validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar – benar mengukur apa yang diukur (sensitivitas) dan tidak terukur hal lain yang selain yang diukur (spesifitas) (Saryono, 2011). Uji validitas instrumen “DESIGN” ini menggunakan uji korelasi pearson terhadap instrumen BWAT (Bates-Jensen Wound Assessment tool) sebagai gold standard dengan nilai signifikansi p < 0,05 dan nilai korelasi r = 0,80 – 1,000.

2. Reliabilitas

Reliabilitas adalah kesamaan hasil pengukuran atau pengamatan bila fakta atau kenyataan hidup diukur atau diamati berkali-kali dalam waktu yang berlainan dan hasilnya sama (Nursalam, 2008). Pada penelitian ini menggunakan intraclass correlation coeficient, yaitu uji reliabilitas yang mengacu pada score dari 7 orang responden yang menganalisis keadaan luka dengan menggunakan instrumen DESIGN. Mereka adalah orang – orang yang dipilih berdasarkan kriteria inklusi penelitian, yaitu pengalaman perawatan luka, Doktor ahli luka, perawat yang berpengalaman, dan sarjana keperawatan (Sanada et al., 2004).

Alat ukur memiliki stabilitas yang memadai jika nilai ICC (Intraclass Corelation Coefficient) antar pengukuran >0.50, dan stabilitas tinggi jika nilai ICC antar pengukuran ≥ 0.80 (Streiner dan Norman, 2000; Polgar dan Thomas, 2000).


(55)

G. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian dilaksanakan selama tiga bulan yaitu pada bulan juni sampai dengan bulan Oktober 2013. Tahapan pengumpulan data selama penelitian adalah sebagai berikut :

1. Instrument foto diambil dari data rekam medik pasien luka tekan yang dirawat di rumah sakit Tokyo.

2. Memilih responden yang sesuai dengan kriteria penelitian.

3. Memberikan penjelasan kepada calon responden mengenai maksud dan tujuan penelitian yang dilakukan.

4. Memberikan penjelasan kepada calon responden mengenai cara penilaian instrument DESIGN dan BWAT.

5. Mengajukan lembar instrument DESIGN dan BWAT untuk dinilai oleh responden.

H. Jalannya Penelitian

Langkah-langkah dalam penelitian ini dilaksanakan melalui tahapan sebagai berikut:

1. Tahap persiapan penelitian a. Penentuan subyek penelitian

b. Permohonan ijin penelitian kepada pihak yang berwenang c. Penelusuran sumber pustaka

d. Penelusuran data penunjang di lapangan e. Konsultasi dengan dosen pembimbing 2. Tahap pelaksanaan

a. Membagikan informed consent kepada responden yang sudah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.


(56)

b. Mempresentasikan instrument DESIGN dan BWAT, serta menjelaskan tentang isi dan cara penilaian foto luka dengan menggunakan instrument tersebut.

c. Membagikan foto luka tekan dan mempersilahkan responden untuk mengisi instrument DESIGN dan BWAT.

3. Tahap penyelesaian laporan

a. Penyusunan data, analisa data dan pembahasan hasil penelitian b. Konsultasi dengan dosen pembimbing

c. Melakukan penyempurnaan hasil penelitian. I. Metode Analisis

1. Pengolahan Data

Analisis data dilakukan untuk memberikan kemudahan dalam menginterpretasikan hasil penelitian. Untuk itu data diolah terlebih dahulu dengan tujuan mengubah data menjadi informasi. Data yang diperoleh diolah dengan komputer menggunakan program SPSS. Langkah-langkah dalam memproses data menurut Saryono (2011) adalah sebagai berikut :

a. Editing

Data yang terkumpul selanjutnya disusun. Editing adalah memeriksa daftar pertanyaan yang telah diserahkan oleh para pengumpul data. Tujuannya adalah mengurangi kesalahan atau kekurangan yang ada di daftar pertanyaan. b. Coding

Coding adalah mengklasifikasikan jawaban dari para responden ke dalam kategori. Klasifikasi data merupakan usaha untuk menggolongkan, mengelompokan dan memilah data berdasarkan klasifikasi tertentu. Kegiatan ini akan memudahkan dalam menguji hipotesis.


(57)

c. Encoding, scoring, dan membuat isian data.

Scoring adalah memberikan penilaian terhadap item-item yang perlu diberi penilaian atau skor.

d. Tabulating

Tabulating adalah pekerjaan membuat tabel. Jawaban-jawaban yang telah diberi kode kemudian dimasukkan ke dalam tabel. Langkah terakhir dari penelitian adalah melakukan analisa data. Selanjutnya data dimasukkan ke komputer dan dianalisis secara statistik. Pengolahan data dilakukan untuk menguji hipotesis yang telah dilakukan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan.

2. Analisis Data

Setelah data terkumpul, data tersebut kemudian diproses dan dianalisis secara sistematis supaya trends dan relationship bisa dideteksi. Data dianalisis menggunakan prosedur statistik, memungkinkan peneliti untuk mengurangi, menyimpulkan, mengorganisasi, mengevaluasi, menginterpretasi dan menyajikan informasi yang jelas dengan angka-angka yang bermakna (Nursalam, 2008). a. Analisis Univariat

Analisis univariat merupakan analisis yang dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian. Pada umumnya dalam analisa ini hanya menghasilkan distribusi dan presentase dari tiap variabel (Notoattmodjo, 2005). Tujuan dari analisis ini adalah untuk menjelaskan karakteristik masing-masing variabel yang diteliti, data ditampilkan dalam proporsi atau presentase


(58)

dan table yaitu karakteristik responden meliputi pengalaman pekerjaan, tingkat pendidikan, dan sertifikat perawatan luka.

b. Analisis Bivariat

Analisis bivariat merupakan analisis untuk mengetahui interaksi dua variabel, baik berupa komparatif, asosiatif maupun korelatif (Saryono, 2011). Pada penelitian ini analisis bivariat di lakukan untuk mengetahui validitas instrumen DESIGN yang dibandingkan dengan instrumen BWAT sebagai gold standard.

J. Etika Penelitian

Menurut Nursalam (2008), masalah etika pada penelitian yang menggunakan subyek manusia menjadi isu sentral yang saat ini sedang berkembang. Secara umum prinsip etika dalam penelitian atau pengumpulan data dapat dibedakan menjadi prinsip manfaat, prinsip menghargai hak-hak subyek, dan prinsip keadilan.

Penelitian ini tidak melanggar etika karena aman dan tidak menimbulkan efek yang berbahaya bagi pasien yang menderita luka tekan. Penelitian ini telah dirancang sesuai dengan petunjuk dan aturan yang telah ditetapkan serta telah mendapatkan rekomendasi dari Tim Komisi Skripsi Jurusan Keperawatan FKIK Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Peneliti mengajukan permohonan ijin kepada Direktur utama RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo dan RSUD Banyumas untuk mendapatkan persetujuan. Kemudian dalam penelitian menekankan pada masalah etika yang meliputi: 1. Informed concent


(59)

Informed concent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan sebelum dilakukan penelitian. Tujuannya agar subyek mengerti maksud dan tujuan penelitian dan tidak ada resiko untuk menjadi responden.

Responden mempunyai hak untuk bebas berpartisipasi atau menolak. Peneliti memberikan lembar persetujuan pada responden, apabila responden bersedia maka responden menandatangani persetujuan menjadi peserta penelitian. Apabila responden menolak untuk menjadi peserta penelitian maka peneliti tidak memaksakan dan tetap menghormati hak-hak subyek penelitian.

2. Anonymity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak mencantumkan nama responden, tetapi lembar responden tersebut diberi kode. Peneliti dalam mengisi lebar instrumen tidak menggunakan nama tetapi menggunakan kode tertentu.

3. Confidentiality (kerahasiaan)

Responden mendapatkan jaminan kerahasiaan tentang data yang diambil dengan cara tidak mencatumkan nama. Hal ini dilakukan untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, apabila responden menghendaki untuk dirahasiakan maka peneliti tidak mencantumkan nama responden.


(60)

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian validitas dan reliabilitas skala DESIGN dalam memonitor penyembuhan luka tekan ini dilakukan pada bulan Juni – Oktober 2013. Responden dalam penelitian ini sebanyak 7 orang perawat, terdiri dari 5 orang perawat yang sudah bekerja di klinik dan 2 orang sarjana keperawatan yang belum pernah bekerja di klinik. Penelitian ini dilakukan dengan cara memperkenalkan instrumen skala DESIGN dan BWAT kepada ketujuh responden dan digunakan untuk menilai dokumentasi foto pasien luka tekan di rumah sakit yang sudah disediakan oleh peneliti. Instrumen BWAT digunakan sebagai standar emas karena instrumen ini sudah teruji validitasnya.

Nilai kedua instrumen tersebut dikorelasikan menggunakan uji Pearson untuk mencari adanya hubungan antara nilai kedua instrumen tersebut, kemudian nilai dari ketujuh responden tersebut diuji lagi menggunakan Intraclass Correlation Coefficient untuk mengetahui nilai reliabilitas dari instrumen tersebut dan uji Spearmen untuk mengetahui nilai reliabilitas antar kelas responden dari instrumen tersebut.


(61)

1. Karakteristik Responden

Tabel 4.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Pengalaman Kerja, Pendidikan, dan Sertifikat Perawatan Luka.

Karakteristik Kategori (tahun)

Frekuensi (n) Persentase (%) Pengalaman

Kerja

< 1 1– 5

6 – 10 2 1 3 28.6% 14.3% 42.9%

>10 1 14.3%

Pendidikan S3

S2 S1 D3 1 1 4 1 14.3% 14.3% 57.1% 14.3% Sertifikat Perawatan Luka Ya Tidak 4 3 57.1% 42.9%

Berdasarkan tabel di atas didapatkan hasil karakteristik responden sebagai berikut :

a. Karakteristik Responden Berdasarkan Pengalaman Kerja

Pengalaman kerja dibagi menjadi empat kategori, yaitu : Pengalaman kerja kurang dari 1 tahun sebanyak 2 responden (28.6%). Responden dengan pengalaman kerja 1-5 tahun sebanyak 1 responden (14.3%). Responden dengan pengalaman kerja 6-10 tahun sebanyak 3 responden (57.1%), dan responden dengan pengalaman kerja lebih dari 10 tahun sebanyak 1 responden (14.3%).


(62)

b. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan

Berdasarkan tabel 4.1 didapatkan responden dengan tingkat pendidikan Diploma 3 (D3) sebanyak 1 responden (14.3%). Responden dengan tingkat pendidikan Strata 1 (S1) keperawatan sebanyak 4 responden (57.1%). Sedangkan responden dengan tingkat pendidikan Strata 2 (S2) dan Strata 3 (S3) masing-masing 1 responden (14.23%).

c. Karakteristik Responden Berdasarkan Sertifikat Perawatan Luka Berdasarkan tabel 4.1 didapatkan hasil penelitian responden yang memiliki sertifikat perawatan luka sebanyak 4 responden (57.1%), sedangkan responden yang tidak memiliki sertifikat perawatan luka sebanyak 3 responden (42.9%).

2. Validitas Instrumen DESIGN

Tabel 4.2 Hasil Uji Validitas Instrumen Responden

n Normalitas Nilai p value

Nilai r hitung DESIGN BWAT

Perawat yang

dijadikan referensi 1 0.759 0,717 0,001 0,872 Perawat ahli 1 0,259 0,364 0,000 0,978 S1 perawat klinik 2 0,251 0,168 0,000 0,971 0,598 0,384 0,000 0,963 D3 perawat klinik 1 0,135 0,078 0,000 0,997 Sarjana keperawatan 2 0,113 0,626 0,001 0,862 0,179 0,972 0,000 0,907 Tabel 4.2 di atas menunjukkan nilai r hitung pada semua kelas responden. Nilai r hitung kelas perawat yang dijadikan referensi sebesar 0.872. Pada kelas perawat ahli nilai r hitung


(63)

sebesar 0.978. Pada kelas S1 perawat klinik masing-masing nilai r hitung sebesar 0.971 dan 0.963. Pada kelas D3 perawat klinik nilai r hitung sebesar 0.997. Dan pada kelas Sarjana keperawatan didapatkan nilai r hitung masing-masing sebesar 0.862 dan 0.907. Dari ketujuh responden didapatkan nilai r hitung ≥ 0.80.

Dari tabel 4.2 di atas juga menunjukkan korelasi antara instrument DESIGN dan BWAT. Pada kelas responden perawat yang dijadikan referensi didapatkan nilai p value sebesar 0.001. Pada kelas perawat ahli didapatkan p value 0.000. Pada kelas S1 perawat klinik didapatkan p value masing-masing 0,000. Pada kelas D3 perawat klinik didapatkan nilai p value 0.000. Sedangkan pada kelas Sarjana keperawatan didapatkan nilai p value masing-masing sebesar 0.001 dan 0.000. Hal ini menunjukkan korelasi yang bermakna antara instrument DESIGN dan BWAT dan dapat disimpulkan bahwa instrument DESIGN valid.

3. Reliabilitas Instrumen DESIGN

Tabel 4.3 Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Antar Kelas Responden

Kelas D E S I G N P

Perawat ahli

luka 0.674 0.924 0.773 0.645 0.714 0.773 1.00 S1 Perawat

klinik 0.795 0.851 0.771 0.745 0.617 0.671 1.00 0.795 0.675 0.901 0.745 0.745 0.745 1.00 D3 Perawat

Klinik 0.606 0.852 0.898 0.745 0.578 0.578 1.00 Sarjana

Keperawatan 0.725 0.866 0.950 0.745 0.745 0.745 1.00 0.315 0.924 0.878 1.00 0.559 0.559 1.00


(64)

Dari tabel 4.3 di atas menunjukkan perbandingan nilai antara responden yang dibandingkan dengan hasil penilaian perawat yang dijadikan referensi. Nilai item Depth (D) paling rendah 0.315 pada kelas sarjana keperawatan dan tertinggi 0.795 pada kelas perawat ahli. Nilai item Exudate (E) paling rendah 0.851 pada kelas S1 perawat klinik dan paling tinggi 0.924 pada kelas perawat ahli. Nilai item Size (S) paling rendah pada kelas S1 perawat klinik dengan nilai 0.771 dan paling tinggi 0.950 pada kelas Sarjana keperawatan. Nilai item Inflamation (I) paling rendah 0.645 pada kelas perawat ahli dan paling tinggi 1,00 pada kelas Sarjana keperawatan. Nilai item Granulation (G) paling rendah pada kelas D3 perawat klinik dengan nilai 0.578 dan paling tinggi sebesar 0.745 pada kelas S1 perawat klinik. Nilai item Necrotic (N) paling rendah pada kelas Sarjana keperawatan dengan nilai 0.559 dan paling tinggi pada kelas perawat ahli dengan nilai 0.773. Dan pada item Pocket (P) memiliki nilai yang sama pada semua kelas, yaitu 1,00.

Tabel 4.4 Hasil Reliabilitas Antar Kelas Dari Semua Responden

D E S I G N P

0.674 0.804 0.801 0.852 0.461 0.590 0.978 Dari tabel 4.4 diatas menunjukkan nilai reliabilitas Depth (D) 0.674, nilai Exudate (E) 0.804, nilai Size (S) 0.801, nilai Inflamation (I) 0,852, nilai Granulation (G) 0.461, nilai Necrotic


(65)

(N) 0,590, dan nilai Pocket (P) sebesar 0.978. Hal ini menunjukkan bahwa instrument DESIGN reliabel.

B. Pembahasan

1. Karakteristik Responden a. Pengalaman kerja (tahun)

Pada penelitian ini responden penelitian terbagi atas 4 kategori pengalaman kerja, kurang dari 1 tahun, 1-5 tahun, dan 6-10 tahun, dan lebih dari 10 tahun. Dalam hal ini perawat yang memiliki pengalaman kerja 6-10 tahun lebih banyak. Hal ini dikarenakan karakteristik perseorangan tentang pengalaman kerja menyangkut senioritas dan yunioritas. Asumsi yang sering berlaku dan diyakini adalah pegawai yang cukup senior dipandang telah memiliki kinerja, pengalaman, dan pengetahuan yang tinggi sedangkan yang yunior masih perlu dikembangkan dan dibina lagi (Faizin dan Winarsih, 2008).

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Faizin dan Winarsih (2008), lama kerja perawat di bidang kesehatan berhubungan dengan kinerja perawat dalam melakukan implementasi rencana asuhan keperawatan, salah satunya melakukan tindakan perawatan luka pada pasien luka tekan.

Hasil serupa ditunjukkan dari penelitian yang dilakukan oleh Sanada et al., (2004), dimana sebagian besar responden mempunyai pengalaman kerja tentang perawatan luka tekan lebih dari 5 tahun.


(66)

b. Pendidikan

Hasil analisis karakteristik responden berdasarkan pendidikan menunjukkan mayoritas responden berpendidikan Sarjana keperawatan. Pendidikan dalam hal ini berperan penting dalam bidang keperawatan khususnya perawatan luka. Tingkat pendidikan menentukan kinerja perawat dalam melakukan rencana asuhan keperawatan, implementasi keperawatan dan dokumentasi keperawatan (Faizin dan Winarsih, 2008).

Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sanada et al., (2004), dimana sebagian besar responden mempunyai riwayat tingkat pendidikan Sarjana Keperawatan yang memahami berbagai penyakit di bidang kesehatan, salah satunya luka tekan. Hal itu diperkuat dengan sebagian dari responden memiliki pengalaman yang lebih di bidang perawatan luka.

c. Sertifikat perawatan luka

Dalam penelitian ini didapatkan sebagian besar responden pernah mengikuti pelatihan dalam bidang perawatan luka. Pengalaman mengikuti pelatihan perawatan luka yang diikuti oleh responden tentunya akan mempengaruhi persepsi bagaimana cara melakukanan perawatan luka yang baik dan benar. Pelatihan merupakan suatu proses belajar mengajar terhadap pengetahuan dan keterampilan tertentu serta sikap agar peserta pelatihan semakin terampil dan mampu


(67)

melaksanakan tanggung jawabnya dengan semakin baik (Soemarko, 2004).

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Soemarko (2004), bahwa perawat yang mengikuti pelatihan terdapat perbedaan dan kemajuan yang berkesinambungan terhadap kinerjanya dibandingkan dengan perawat yang tidak mengikuti pelatihan.

2. Validitas Instrumen

Pada penelitian ini instrument DESIGN teruji validitasnya. Hal ini dikarenakan instrumen DESIGN mudah digunakan untuk mengkaji perkembangan penyembuhan luka tekan. Skala ini sangat mudah digunakan karena hanya menganalisis sebuah foto luka tekan. Skala ini merupakan satu kriteria alat yang dapat digunakan sebagai pengontrol klinik yang bersifat telemedicine (pengontrol jarak jauh) (Sanada et al., 2004).

Dalam penelitian ini nilai validitas dari ketujuh responden menunjukkan hasil yang bermakna. Hal ini berarti instrument DESIGN dapat digunakan untuk memonitor penyembuhan luka tekan. Penelitian yang sama dilakukan oleh Sanada et al., (2004), dengan hasil yang menunjukkan angka korelasi dalam uji validitas antara instrument DESIGN dan BWAT yang dilakukan oleh 7 responden keseluruhannya menunjukkan korelasi diatas 0.9. Hasil tersebut menjadi dasar bahwa penilaian luka tekan dengan menggunakan instrument DESIGN dapat disetarakan dengan instrument BWAT yang sudah valid. Sehingga dapat


(68)

disimpulkan bahwa instrument DESIGN juga sudah valid untuk digunakan di Indonesia.

3. Reliabilitas Instrumen

a. Reliabilitas Antar Kelas Responden

Hasil penelitian ini menunjukkan kelas responden perawat ahli memiliki korelasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas responden lain. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh tingkat pendidikan pada interpretasi penggunaan instrument DESIGN. Item yang banyak perbedaannya adalah pada item Granulation (G), item ini memang sedikit sulit diinterpretasikan oleh responden yang belum berpengalaman terhadap perawatan luka (Sanada et al., 2004).

Hal ini sesuai dengan penelitian Faizin dan Winarsih (2008), bahwa pengalaman kerja (senioritas) dan tingkat pendidikan seorang perawat berpengaruh terhadap implementasi keperawatannya. Nilai terendah pada analisis tersebut dihasilkan dari responden kelas Sarjana keperawatan dan kelas D3 perawat klinik yang pengalaman kerjanya kurang dan tingkat pendidikannya yang lebih rendah (yunior) dibandingkan dengan responden kelas lain yang pengalaman kerja dan tingkat pendidikannya lebih tinggi (senior).

Hasil ini juga sesuai dengan penelitian Soemarko (2004), tentang kegiatan pelatihan keperawatan. Pengetahuan tentang interfensi keperawatan perawat yang mengikuti pelatihan lebih baik


(69)

dibandingkan dengan perawat yang tidak pernah mengikuti kegiatan kepelatihan.

b. Reliabilitas skala DESIGN a) Depth (kedalaman luka)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa item Depth (D) memiliki nilai stabilitas memadai dengan nilai ICC 0.674. Hal ini membuktikan bahwa item Depth dapat digunakan untuk menilai tingkat kedalaman luka. Di dalam item Depth juga terdapat kategori-kategori pembagian kedalaman luka, sehingga identifikasi pada kedalaman luka menjadi lebih mudah. Hal ini sesuai dengan penelitian Julia et al., (2012), bahwa kedalaman luka dapat dilihat dengan melihat kedalaman lesi di lapisan kulit, epidermis, dermis, subkutan bahkan kedalaman luka sampai otot atau tulang. Jadi item ini dapat digunakan sebagai pengukur tingkat kedalaman luka pasien walaupun hanya dengan menggunakan foto lukanya saja. b)Exudate (eksudat)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa item Exudate (E) memiliki nilai stabilitas tinggi dengan nilai ICC 0.804. Hal ini menunjukkan bahwa item ini dapat digunakan untuk menilai tingkat keparahan luka pasien. Didalam instrument DESIGN pada item Exudate ada indikator penghitungan jumlah eksudat dengan pengantian balutan. Hal ini tentu memberikan data yang lebih objektif dibandingkan dengan interpretasi eksudat secara langsung.


(1)

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rahaju (2003), yang menyatakan bahwa eksudat terjadi oleh karena adanya infeksi atau keganasan pada luka. Semakin parah luka maka semakin banyak eksudat yang dihasilkan. Sehingga item Exudate ini dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk menilai tingkat keparahan luka.

c) Size (Ukuran Luka)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa item Size (S) memiliki nilai stabilitas tinggi dengan nilai ICC 0.801. Hal ini menunjukkan bahwa item ini dapat digunakan untuk menilai luas luka. Penilaian pada item ini merupakan penilaian obyektif yang didasari pengukuran luka pada foto luka pasien yang sudah diukur oleh peneliti dan hasil pengukuran tersebut disesuaikan dengan pengkategorian luas luka menurut item Size (S) ini.

d)Inflamation (inflamasi)

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa item Inflamation (I) memiliki nilai stabilitas tinggi dengan nilai ICC 0.852. Jadi item ini dapat digunakan untuk mengukur adanya inflamasi pada luka. Hal ini dikarenakan pengkategorian pada item ini didasarkan pada tanda-tanda inflamasi pada umumnya. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryadi et al., (2008), bahwa reaksi inflamasi umumnya ditandai oleh rubor (kemerahan), tumor (pembengkakan), calor (hangat) dan dolor (nyeri). Beberapa tanda


(2)

dari inflamasi tersebut salah satunya dapat dinilai dengan hanya melihat foto lukanya saja dan tanda tersebut dapat menunjukkan adanya inflamasi. Jadi item ini dapat digunakan untuk menilai inflamasi pada foto pasien.

e) Granulation tissue (jaringan granulasi)

Pada penelitian ini item Granulation (G) memiliki nilai yang dianggap tidak reliabel dengan nilai ICC 0.461. Nilai ICC pada item Granulation (G) ini merupakan nilai yang terendah dibandingkan dengan nilai item yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa item ini sulit untuk menilai jaringan granulasi pada foto luka. Hal ini sesuai dengan penelitian Sanada et al., (2004), bahwa item Granulation sulit untuk mengidentifikasi antara luka yang bergranulasi baik atau buruk sehingga sulit untuk melihat presentase jaringan granulasi pada foto luka. Untuk mengatasi kesulitan tersebut disarankan untuk menambahkan instrument yang dapat menjelaskan tentang karakteristik luka seperti warna, kelembaban, dan tipe granulasi yang meliputi batas dan perubahan warnanya.

f) Necrotic tissue (jaringan nekrosis)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa item Necrotic tissue (N) memiliki nilai stabilitas memadai dengan nilai ICC 0.590. Nilai ICC pada item Necrotic (I) ini lebih rendah jika dibandingkan dengan item-item yang lainnya. Hal ini menunjukkan


(3)

bahwa item ini sulit untuk menilai jaringan nekrosis pada foto luka. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sanada et al., (2004), bahwa item ini memang sulit untuk menjelaskan batas dari jaringan nekrosis pada foto luka dan item ini sulit untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya jaringan nekrosis hanya dengan menggunakan foto luka pasien.

g)Pocket (kantong luka)

Pada penelitian ini item Pocket / Undermining (P) memiliki nilai yang dikategorikan stabilitas tinggi dengan nilai ICC 0.978. Hal ini menunjukkan bahwa item ini bisa digunakan untuk menilai kantong luka pada foto luka pasien. Pengukuran pada item ini sangat obyektif karena melihat dari luas kantong luka yang sudah diukur oleh peneliti dan dikategorikan sesuai dengan isi item Pocket / Undermining tersebut.


(4)

C. Keterbatasan Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh peneliti masih memiliki keterbatasan. Adapun beberapa keterbatasan dalam penelitian ini yaitu:

1. Pengkajian luka tekan pada pasien tirah baring tidak dapat dilakukan langsung oleh peneliti dikarenakan penelitiannya mengkaji pasien tirah baring yang sudah didiagnosa luka tekan oleh perawat.

2. Jumlah pasien luka tekan yang sangat jarang ditemukan di beberapa rumah sakit tempa penelitian dilaksanakan, sehingga penelitian yang dilakukan menggunakan foto yang diambil dari rekam medik pasien luka tekan yang dirawat di rumah sakit Tokyo.

3. Instrumen foto luka yang diteliti oleh responden bukan berasal dari pengkajian langsung oleh peneliti ke pasien luka tekan di klinik, melainkan foto yang diambil dari data rekam medik Rumah sakit Tokyo, sehingga ada kekurangan data penunjang untuk memenuhi penilaian instrument DESIGN.


(5)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian dan pembahasan mengenai uji validitas dan reliabilitas skala DESIGN dalam memonitor penyembuhan luka tekan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Instrumen DESIGN valid dan reliabel sebagai alat untuk memonitor penyembuhan luka tekan.

2. Instrumen DESIGN dapat digunakan untuk memonitor luka tekan di klinik dan rumah sakit.

B. Saran

1. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan

Memberikan wawasan tambahan bahwa insrumen skala DESIGN merupakan alat yang digunakan untuk memonitor perkembangan penyembuhan luka tekan yang diidentifikasi dengan menggunakan foto luka tekan pasien.

2. Bagi institusi pendidikan

Sumber informasi yang bermanfaat untuk mengembangkan literatur dalam ilmu keperawatan medikal bedah khususnya dibidang keperawatan luka. Instrumen skala DESIGN ini dapat dimasukan dalam proses pembelajaran untuk memperkaya evidence based nursing.


(6)

3. Bagi pelayanan kesehatan

Penelitian ini dapat dimanfaatkan bagi pelayanan kesehatan khususnya pada perawatan luka, alat ini sudah dapat digunakan di klinik atau rumah sakit di Indonesia karena validitas dan reliabilitas instrumen ini sudah diujikan.

4. Bagi peneliti lain

Penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi bagi peneliti yang akan melakukan penelitian selanjutnya. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat meneliti lebih lanjut tentang karakteristik luka.