Aplikasi strach based plastics (Bioplastik) sebagai bahan kemasan produk hortikultura (tomat dan paprika)
APLIKASI STARCH-BASED PLASTICS (BIOPLASTIK)
SEBAGAI BAHAN KEMASAN PRODUK HORTIKULTURA
(TOMAT DAN PAPRIKA)
TAJUL IFLAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Aplikasi Starch-Based
Plastics (Bioplastik) sebagai Bahan Kemasan Produk Hortikultura (Tomat dan
Paprika) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2013
Tajul Iflah
F153100021
RINGKASAN
TAJUL IFLAH. Aplikasi Starch-Based Plastics (Bioplastik) Sebagai Bahan
Kemasan Produk Hortikultura (Tomat Dan Paprika). Di bawah Bimbingan
SUTRISNO dan TITI CANDRA SUNARTI
Salah satu tindakan pascapanen yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi
terjadinya susut produk hortikultura adalah dengan memperhatikan suhu
penyimpanan dan pemilihan teknik pengemasan yang tepat. Saat ini plastik
banyak digunakan sebagai bahan kemasan yang populer karena memiliki banyak
kelebihan. Akan tetapi diantara kelebihannya, plastik juga memiliki kelemahan
yaitu adanya zat monomer dan molekul kecil dari plastik yang dapat bermigrasi
ke dalam produk yang dikemas dan plastik yang memiliki sifat tidak mudah
terurai (non-degradable) sehingga menimbulkan masalah pencemaran lingkungan.
Untuk memanfaatkan kelebihan plastik sebagai bahan kemasan, dan mengurangi
efek yang tidak baik karena penggunaannya, telah dikembangkan plastik yang
dapat terurai yang dikenal dengan sebutan bioplastik. Bioplastik mulai banyak
digunakan dalam berbagai bentuk kemasan, salah satunya adalah fruit bag.
Penggunaan fruit bag telah banyak diaplikasikan untuk mengemas produk
hortikultura pada supermarket. Agar dapat memperpanjang masa simpan dan
mempertahankan mutu, buah dan sayuran harus disimpan dalam kondisi suhu
dingin. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji karakteristik penyimpanan dingin
terhadap produk hortikultura dari golongan klimakterik (tomat) dan golongan nonklimakterik (paprika) yang dikemas dengan kemasan berbentuk fruit bag dari
jenis bioplastik yang dibandingkan dengan kemasan HDPE.
Hasil dari penelitian menunjukkan kemasan bioplastik dapat menunda fase
klimaterik tomat hingga hari penyimpanan ke-21, lebih lama daripada yang
dikemas dengan HDPE. Namun paprika yang dikemas dengan bioplastik mulai
memasuki fase senescence pada hari penyimpanan ke-12, lebih cepat daripada
yang dikemas dengan HDPE. Tomat dan paprika yang dikemas dengan bioplastik
pada suhu penyimpanan 10 oC menghasilkan pengaruh yang lebih baik terhadap
perubahan warna daripada yang dikemas dengan HDPE pada suhu yang sama.
Penggunaan kemasan bioplastik tidak sesuai pada penyimpanan suhu
rendah. Penyimpanan tomat pada suhu 15 oC yang dikemas dengan bioplastik
memiliki umur simpan lebih lama (29 hari) daripada tomat yang dikemas dengan
HDPE (25 hari). Berbeda dengan tomat, paprika yang dikemas dengan bioplastik
pada ketiga suhu penyimpanan memiliki umur simpan yang lebih singkat daripada
paprika yang dikemas dengan HDPE.
Kata kunci: bioplastik, paprika, pengemasan, penyimpanan dingin, tomat
ABSTRACT
TAJUL IFLAH. Application of Starch-Based Plastics (Bioplastics) as Packaging
Material for Horticultural Products (Tomato and Bell pepper). Supervised by
SUTRISNO and TITI CANDRA SUNARTI
One of the post-harvest handling for minimize the losses of horticultural
product was regulating the storage temperature and packaging technique. The
objective of this research was to determine the cold storage’s characteristic of
agricultural product from the climacteric products (tomato) and non-climacteric
products (bell pepper) that were packed by the fruit bag packaging from bioplastic compared with the HDPE. The packed product stored on three levels of
storage temperature (5, 10 and 15oC) for 21 days and every three days the product
was for respiration rate, weight losses, hardness, the changing of fruit color, total
soluble solids and vitamin C content. The result of the research showed that bioplastic packaging could delay the climacteric phase of tomato until the 21st day of
storage, longer than packed by the HDPE. However the bell pepper packed by the
bio-plastic started the senescence phase since the 12th days of storage, faster than
packed by HDPE. Bio-plastic packaging was un-appropriate for low temperature
(5-10 oC) storage. Tomato and bell pepper packed by the bio-plastic were giving
better color change and hardness during the storage temperature of 15 oC. Based
on the ratio changing a*/b*, the tomato shelf life stored on the temperature of 15
o
C with using the bio-plastic (29 days) was longer than using HDPE (25 days).
The bell pepper with using the bio-plastic had lower shelf life than bell pepper
using HDPE on all temperature levels.
Key words : bell pepper, bio-plastic, cold storage, packaging, tomato
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
APLIKASI STARCH-BASED PLASTICS (BIOPLASTIK)
SEBAGAI BAHAN KEMASAN PRODUK HORTIKULTURA
(TOMAT DAN PAPRIKA)
TAJUL IFLAH
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Pasca Panen
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji Luar Komisi Pembimbing: Dr Indah Yuliasih, STP, MSi
Judul Tesis : Aplikasi Strach-Based Plastics (Bioplastik) sebagai Bahan
Kemasan Produk Hortikultura (Tomat dan Paprika)
Nama
: Tajul Iflah
NIM
: F153100021
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Sutrisno, MAgr
Ketua
Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Teknologi Pasca Panen
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Sutrisno, MAgr
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 25 Februari 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2012 ini ialah
pengemasan, dengan judul Aplikasi Starch-Based Plastics (Bioplastik) sebagai
Bahan Kemasan Produk Hortikultura (Tomat dan Paprika).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Ir.Sutrisno, M.Agr dan Ibu
Dr.Ir.Titi Candra Sunarti, M.Si selaku pembimbing yang telah banyak memberi
saran. Dan juga kepada Ibu Dr. Indah Yuliasih, S.TP, M.Si selaku dosen penguji
luar komisi pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan kritikan
yang membangun. Di samping itu, terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak
Eman dan Ibu Maria Ulfah dari PT. Tirta Marta serta Biantri Raynasari yang telah
banyak membantu selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih yang tak terkira dan penghargaan setinggi-tingginya
disampaikan kepada kedua orangtua tercinta, adik-adik dan nenek serta seluruh
keluarga, atas segala doa, kepercayaan dan kasih sayangnya. Kepada rekan-rekan
TPP 2010 yang selalu dapat diandalkan (Mbak Sandra, Ninta, Fajri, Cicih, Mbak
El, Teh Susi, Ani, Putri dan Syahirman) dan teman-teman seperjuangan TMP
2010, TMB 45 dan TEP 2010 atas segala masukan, saran dan kritik serta bantuan
yang terus menerus diberikan tanpa pamrih. Untuk semua teman-teman di
Megakost yang senantiasa memberikan dukungan. Dan juga untuk seluruh staf
program studi TPP yang siap membantu. Serta masih banyak lagi ucapan
terimakasih dan penghargaan yang ingin penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang
tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan menjadi amal jariyah bagi semua
pihak.
Bogor, Februari 2013
Tajul Iflah
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
1
1
2
3
3
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Produk Hortikultura
Penanganan Pascapanen Produk Hortikultura
Morfologi dan Fisiologi Pascapanen Tomat
Morfologi dan Fisiologi Pascapanen Paprika
Plastik Biodegradabel (Bioplastik)
Penyimpanan Dingin
Pemilihan Film Kemasan
4
4
5
8
10
12
13
14
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Bahan dan Alat
Metode Penelitian
Aplikasi Bioplastik untuk Produk Hortikultura
Penentuan Umur Simpan
Rancangan Penelitian
Pengamatan
17
17
17
17
17
17
19
19
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Kemasan
Aplikasi Bioplastik untuk Kemasan Produk Hortikultura
Perubahan Fisiologi (Laju Respirasi) dari Produk Hortikultura
Perubahan Fisikokimia
Interaksi Kemasan dengan Lingkungan
Penentuan Umur Simpan
22
22
25
25
31
47
51
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
55
55
55
DAFTAR PUSTAKA
56
LAMPIRAN
63
RIWAYAT HIDUP
93
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Kandungan gizi untuk setiap 100 g tomat muda
Klasifikasi tahapan kematangan tomat
Kandungan gizi untuk setiap 100 g paprika hijau
Koefisien permeabilitas film kemasan hasil perhitungan dan penetapan
(ml.mil.m-2.jam-1.atm-1)
Permeabilitas gas beberapa polimer untuk pengemasan bahan pangan
Karakteristik kemasan yang digunakan
Kekerasan tomat pada suhu penyimpanan yang berbeda
Pengaruh suhu penyimpanan terhadap perubahan ohue tomat
Pengaruh perbedaan suhu penyimpanan terhadap perubahan nilai L* dan
o
hue paprika
Perubahan permeabilitas uap air kemasan HDPE dan bioplastik selama
penyimpanan pada berbagai suhu selama 30 hari
Umur simpan tomat berdasarkan perubahan rasio a*/b*
Umur simpan paprika berdasarkan perubahan nilai ohue
9
10
11
15
16
23
35
40
41
48
53
54
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
Indeks kematangan pada paprika
Sistem notasi warna Hunter
Orientasi film plastik
11
21
23
4
Pengaruh perbedaan jenis plastik terhadap (a) laju konsumsi O2 tomat,
dan (b) laju produksi CO2 tomat
26
Pengaruh lama penyimpanan terhadap (a) laju konsumsi O2 tomat yang
dikemas HDPE () dan bioplastik (▲), dan (b) laju produksi CO2 tomat
yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲)
27
Pengaruh perbedaan jenis plastik terhadap (a) laju konsumsi O2 paprika,
dan (b) laju produksi CO2 paprika
29
Pengaruh lama penyimpanan terhadap (a) laju konsumsi O2 paprika
yang dikemas HDPE (○) dan bioplastik (), dan (b) laju produksi CO2
paprika yang dikemas HDPE (○) dan bioplastik ()
30
Pengaruh lama penyimpanan terhadap penurunan bobot (a) tomat yang
dikemas HDPE () dan bioplastik (▲), dan (b) paprika yang dikemas
HDPE (○) dan bioplastik ()
32
Pengaruh suhu terhadap morfologi permukaan kemasan setelah
disimpan selama 30 hari (perbesaran 200 x)
36
Pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan kekerasan (a) tomat
yang dikemas () dan bioplastik (▲), dan (b) paprika yang dikemas
HDPE (○) dan bioplastik ()
37
Pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan nilai C* tomat yang
dikemas dengan HDPE () dan bioplastik (▲)
39
Pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan (a) nilai L* paprika
yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲), dan (b) nilai C* paprika
yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲)
42
Pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan perubahan total
padatan terlarut (TPT) (a) tomat yang dikemas HDPE () dan bioplastik
(▲), dan (b) paprika yang dikemas HDPE (○) dan bioplastik ()
44
Pengaruh lama penyimpanan terhadap kandungan vitamin C (a) tomat
yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲), dan (b) paprika yang
dikemas HDPE (○) dan bioplastik ()
Mekanisme permeabilitas kemasan
Mekanisme sorpsi kemasan
46
48
50
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Hasil perhitungan densitas kemasan HDPE dan Bioplastik
Rataan laju konsumsi O2 tomat dan paprika
Rataan laju produksi CO2 tomat dan paprika
Rataan penurunan bobot tomat dan paprika
Rataan perubahan kekerasan tomat dan paprika
Rataan nilai L* tomat dan paprika
Rataan nilai C* tomat dan paprika
Rataan nilai ohue tomat dan paprika
Foto perubahan tomat selama penyimpanan
Foto perubahan paprika selama penyimpanan
Rataan perubahan total padatan terlarut (TPT) tomat dan paprika
Rataan perubahan kandungan vitamin C tomat dan paprika
Penentuan umur simpan tomat yang dikemas dengan HDPE
berdasarkan rasio a*/b* (Batas kritis (Qs) = 1.21)
Penentuan umur simpan tomat yang dikemas dengan bioplastik
berdasarkan rasio a*/b* (Batas kritis (Qs) = 1.21)
Penentuan umur simpan paprika yang dikemas dengan HDPE
berdasarkan perubahan nilai ohue (Batas kritis (Qs) = -78.542)
Penentuan umur simpan paprika yang dikemas dengan bioplastik
berdasarkan perubahan nilai ohue (Batas kritis (Qs) = -78.542)
63
64
66
68
70
72
74
76
78
81
84
87
89
90
91
92
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Produk hortikultura memiliki sifat yang mudah rusak (perishable) sehingga
dapat menyebabkan susut secara kuantitas maupun kualitas. Susut kualitas
meliputi perubahan warna, rasa, dan aroma sehingga menjadi tidak sesuai dengan
keinginan konsumen dan bahkan nilai gizinya. Secara kuantitas susut pascapanen
produk hortikultura bisa mencapai 25-40%, yang disebabkan oleh beberapa hal,
dimana salah satunya diakibatkan oleh penanganan pascapanen yang belum tepat.
Menurut Siswadi (2007), penanganan pascapanen produk hortikultura di
Indonesia belum mendapat perhatian yang cukup, terlihat dari kerusakankerusakan pascapanen yang masih besar, yakni antara 25-28%. Oleh sebab itu
agar produk hortikultura terutama buah-buahan dan sayuran dapat sampai ke
tangan konsumen dalam kondisi baik perlu penanganan pascapanen yang benar
dan sesuai. Bila pascapanen dilakukan dengan baik, kerusakan-kerusakan yang
timbul dapat diperkecil bahkan dihindari, sehingga kerugian di tingkat produsen
dan konsumen dapat ditekan. Tindakan pascapanen yang dapat dilakukan untuk
memperbaiki mutu produk salah satunya adalah dengan memperhatikan suhu
penyimpanan dan teknik pengemasan terhadap buah-buahan tersebut.
Pengemasan merupakan salah satu bagian dari rangkaian penanganan
pascapanen dari produk hortikultura yang bertujuan untuk mencegah kontaminasi
produk yang dikemas dari mikroorganisme serta proses fermentasi ataupun
pembusukan, mengurangi kontak dengan udara sehingga proses oksidasi dapat
dihambat, mengurangi kerusakan fisik, mempertahankan kesegaran produk dan
meningkatkan minat calon konsumen. Menurut Syarief et al. (1989), kerusakan
fisik pada buah dan sayur juga dapat dikurangi dengan penggunaan kemasan yang
tepat yang dapat mengontrol kerusakan bahan pangan yang disebabkan oleh
lingkungan seperti kerusakan mekanis, perubahan kadar air bahan pangan,
absorpsi, serta interaksi dengan oksigen.
Saat ini plastik banyak digunakan sebagai bahan kemasan yang populer
menggeser penggunaan logam dan gelas, karena plastik memiliki banyak
kelebihan, diantaranya ringan, kuat dan mudah dibentuk, anti karat dan tahan
terhadap bahan kimia, mempunyai sifat isolasi listrik yang tinggi, dan dapat
dibuat berwarna maupun transparan dan biaya proses yang lebih murah. Oleh
karena sifatnya yang mudah dibentuk, kemasan plastik cocok digunakan untuk
mengemas produk yang bentuknya kurang simetris seperti produk hortikultura.
Kelemahan dari plastik karena adanya zat monomer dan molekul kecil dari plastik
yang mungkin bermigrasi ke dalam produk yang dikemas.
Selain kemungkinan bermigrasi ke dalam produk yang dikemas, plastik
yang sering digunakan selama ini merupakan bahan non-degradable dimana
membutuhkan waktu ratusan bahkan ribuan tahun untuk terurai yang
mengakibatkan penumpukan plastik sebagai sampah sisa kemasan sehingga
menimbulkan masalah pencemaran lingkungan. Hal ini mengakibatkan terjadinya
pengurangan pemakaian kemasan berbahan dasar plastik, dan kini juga mulai
dikenal kemasan plastik berbahan dasar pati yang memiliki sifat biodegradable
(mudah terurai) yang dikenal dengan sebutan bioplastik.
Bioplastik berbahan dasar pati telah dikomersialisasikan beberapa tahun
terakhir dan saat ini telah mendominasi pasar kemasan berbasis biodegradable
dan komposit. Bioplastik berbahan dasar pati dapat dikatakan sebagai barrier
oksigen yang baik, akan tetapi sifat higroskopis dari pati yang digunakan tidak
sesuai untuk mengemas produk yang memiliki kadar air dan kelembaban yang
tinggi. Oleh karena itu bioplastik sesuai digunakan untuk mengemas produk yang
memiliki masa simpan yang lebih singkat. Berhubungan dengan aplikasi dalam
bahan pangan, bioplastik biasanya terdapat dalam berbagai bentuk lapisan film
yang digunakan untuk mengemas makanan dan juga dalam bentuk lainnya seperti
mangkuk, piring, dan tray yang biasanya digunakan untuk mengemas telur.
Bentuk kemasan bioplastik yang saat ini sering digunakan untuk mengemas
produk hortikultura adalah kantung plastik yang dikenal dengan sebutan fruit bag.
Penggunaan fruit bag telah banyak diaplikasikan untuk mengemas produk
hortikultura pada supermarket. Kemasan dengan bentuk seperti ini didesain
sederhana dan tipis namun kuat untuk mewadahi produk dalam jumlah banyak,
terutama buah dan sayuran. Umumnya kemasan ini hanya digunakan untuk
mewadahi produk selama pengangkutan dari supermarket ke rumah, namun
penggunaannya bertambah menjadi wadah penyimpan dalam lemari pendingin
dengan alasan kepraktisan tanpa harus memindahkan ke wadah lain. Oleh karena
itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui sejauh mana kemasan bioplastik
berbentuk fruit bag dapat digunakan untuk memperpanjang masa simpan dari
produk hortikultura (tomat dan paprika) pada penyimpanan dingin.
Rumusan Masalah
Pengemasan pangan bertujuan untuk tetap menjaga kualitas dan keamanan
pangan yang terdapat pada produk tersebut hingga ke tangan konsumen. Selain
itu, fungsi kemasan adalah melindungi produk dari kerusakan fisik, kimia ataupun
biologis. Dalam beberapa puluh tahun terakhir, bahan kemasan yang populer
digunakan untuk mengemas berbagai barang termasuk makanan adalah plastik.
Plastik tidak hanya serbaguna, murah dan juga fleksibel dalam penggunaannya,
akan tetapi salah satu keterbatasan dengan kemasan plastik yang pada akhirnya
untuk dibuang adalah kemasan plastik ini sangat sedikit didaur ulang. Kehadiran
bahan kemasan jenis ini di tempat pembuangan sampah menjadikan masalah
tersendiri. Faktor lainnya adalah bahan pembuatan plastik tergantung pada
produksi minyak bumi (Comstock et al. 2004).
Selain isu lingkungan diatas, kemasan pangan telah mengalami perubahan
penting selama distribusi, termasuk globalisasi persediaan pangan, kecenderungan
konsumen untuk mengkonsumsi pangan dalam keadaan masih segar dan nyaman,
serta keinginan untuk mendapatkannya dengan kualitas baik dan aman. Oleh
karena alasan tersebut, konsumen menuntut bahan kemasan yang lebih alami,
sekali pakai, berpotensi untuk terurai (biodegradable) serta dapat didaur ulang
(Lopez-Rubio et al. 2004). Untuk mengatasi permasalahan lingkungan dan
keinginan konsumen ini, beberapa tahun terakhir sudah dikembangkan berbagai
bahan kemasan yang berasal dari sumber daya terbarukan yang dengan mudah
dapat terurai yang dikenal dengan sebutan plastik biodegradable (bioplastik).
Bahan kemasan yang berasal dari sumber daya terbarukan ini dapat
digunakan untuk mengemas berbagai jenis produk, termasuk bahan pangan
3
(Comstock et al. 2004). Dengan alasan keamanan pangan, bioplastik ini juga
dapat digunakan untuk mengemas produk hortikultura yang dianggap sebagai
bahan pangan non-olahan. Produk hortikultura yang dipilih adalah tomat yang
mewakili golongan klimakterik dan paprika yang mewakili golongan nonklimakterik.
Untuk memperpanjang masa simpan produk hortikultura, biasanya
dilakukan penyimpanan pada suhu rendah. Penyimpanan pada suhu rendah
menjadi salah satu faktor utama untuk dapat mempertahankan mutu dan
memperpanjang umur simpan karena produk hortikultura setelah panen tetap
mengalami proses kehidupan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh suhu dan lama terhadap
produk hortikultura (dari golongan klimakterik yang diwakili oleh tomat dan
golongan non-klimakterik yang diwakili oleh paprika), yang dikemas dengan
menggunakan kemasan bioplastik (starch-based plastic) dibandingkan dengan
HDPE. Adapun tujuan khususnya adalah, sebagai berikut :
1) Untuk menentukan suhu dan lama penyimpanan yang sesuai dengan
karakteristik tomat dan paprika.
2) Untuk mengetahui pengaruh kemasan bioplastik terhadap masa simpan produk
hortikultura pada penyimpanan dingin.
3) Menganalisis hubungan suhu dan lama penyimpanan terhadap karakteristik
tomat dan paprika.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan penggunaan bioplastik
sebagai bahan pengemasan produk hortikultura lainnya.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup yang menjadi batasan pada penelitian ini adalah:
a. Kemasan yang digunakan pada penelitian ini adalah yang berbentuk fruit bag
dari jenis bioplastik berbahan dasar pati tapioka dengan merek ecoplast.
Sebagai pembanding juga digunakan kemasan plastik komersial dengan jenis
HDPE polos tanpa perforasi.
b. Produk hortikultura yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari golongan
klimakterik yang diwakili oleh tomat dan golongan non-klimakterik yang
diwakili paprika.
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Produk Hortikultura
Produk hortikultura terbagi atas tiga golongan yaitu buah-buahan, sayuran,
dan bunga hias yang dapat disimpan dalam jangka waktu lama jika diketahui
faktor yang berpengaruh dalam memperpanjang umur simpannya seperti
kandungan air dan suhu penyimpanan (Siswadi 2007). Tahapan perkembangan
buah dimulai dari tahap pertumbuhan (growth), pematangan (maturation), matang
fisiologis (physiological maturity), pemasakan (ripening), dan pelayuan
(senescence). Pertumbuhan adalah tahap pembelahan sel-sel sampai mencapai
tahap ukuran sel maksimal (mature), selanjutnya tahap pemasakan (ripening)
adalah tahap perubahan buah dari fase matang menjadi buah yang siap dimakan,
sedangkan senescence adalah tahap kemunduran yang menuju ke arah penuaan
buah sampai terjadinya kematian jaringan (Kays 1991).
Proses metabolisme yang terpenting adalah respirasi, yaitu proses
pemecahan oksidatif substrat makromolekul seperti karbohidrat, protein dan
lemak menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana (air, CO2, dan energi).
Akibat proses respirasi terjadi perubahan kandungan kimia dan fisik yaitu
perubahan warna, tekstur, penyusutan bobot, penurunan dan kandungan bahan
terlarut dan keasaman. Selanjutnya perubahan tersebut dapat mengakibatkan
kenampakan produk hortikultura menjadi kurang menarik dan penurunan kualitas
secara keseluruhan. Proses metabolisme lainnya adalah transpirasi yaitu
penguapan air dari permukaan produk hortikultura yang menyebabkan kekeringan
dan kelayuan (Winarno 2002). Reaksi kimia sederhana untuk respirasi adalah
sebagai berikut : C6H12O6 + 6 O2 → 6 CO2 + 6 H2O + 675 kal
Menurut Winarno (2002) proses respirasi dapat diukur melalui beberapa
senyawa penting yaitu glukosa, ATP, CO2 dan O2. Perubahan kandungan gula
dalam bahan dapat digunakan untuk mengukur atau mengetahui keaktifan
respirasi, akan tetapi secara praktis sukar dilakukan karena gula yang terdapat
dalam bahan jumlahnya tidak tetap. Kandungan ATP yang dihasilkan selama
proses metabolisme dapat diukur dengan menggunakan spektrofotometer.
Pengukuran kandungan CO2 lebih mudah dilakukan karena jumlah produksi CO2
relatif cukup besar.
Proses respirasi dapat dibedakan dalam tiga tingkat, yaitu (1) Pemecahan
polisakarida menjadi gula sederhana, (2) Oksidasi gula menjadi asam piruvat, dan
(3) Transformasi asam piruvat dan asam-asam organik lainnya menjadi CO2, air
dan energi (Syarief dan Hariyadi 1993). Laju respirasi merupakan petunjuk yang
baik untuk menentukan daya simpan produk hortikultura setelah panen dimana
laju respirasi yang tinggi biasanya disertai dengan umur simpan yang pendek.
Berbagai produk mempunyai laju respirasi berbeda, umumnya tergantung
pada 2 faktor, yaitu faktor dalam seperti tingkat perkembangan, susunan kimiawi
jaringan, besar-kecilnya komoditas dan ada tidaknya kulit penutup
alamiah/pelapis alami serta tipe/jenis dari jaringan. Laju respirasi selain
dipengaruhi oleh faktor dari dalam juga sangat dipengaruhi oleh faktor luar
produk tersebut dimana kedua faktor tesebut saling berinteraksi apakah saling
mendukung atau sebaliknya. Faktor-faktor dari luar tersebut adalah meliputi:
5
suhu, konsentrasi O2 dan CO2, zat pengatur pertumbuhan (etilen) dan kerusakan
pada produk (Apandi,1984).
Menurut Kartasapoetra (1994) aktivitas respirasi adalah penyebab utama
terjadinya kemasakan dan menjadi tuanya hasil tanaman karena aktivitas ini masih
terjadi pada saat menjelang panen dan setelah panen. Respirasi yang terjadi ini
dapat menghasilkan panas yang berbahaya yang dapat meningkatkan suhu selama
penyimpanan sehingga mempercepat proses metabolisme yang mengakibatkan
umur simpan hasil tanaman menjadi lebih singkat.
Ditinjau dari pola respirasinya, produk hortikultura dapat dibedakan menjadi
dua yaitu klimakterik dan non-klimakterik (Winarno 2002). Pada produk
hortikultura yang termasuk golongan klimakterik ditandai dengan adanya proses
yang cepat pada fase pemasakan dan mengalami peningkatan konsumsi O2 dan
produksi CO2 yang tinggi. Sebaliknya, pada produk hortikultura golongan nonklimakterik tidak terlihat nyata perubahan yang terjadi pada fase pemasakan
karena proses respirasi pada produk berjalan lambat.
Adanya sejumlah besar enzim yang aktif pada buah setelah panen
menyebabkan terjadinya beberapa perubahan seperti warna dan komposisi dinding
sel sehingga menjadikan tekstur buah lunak. Selain itu, adanya reaksi-reaksi kimia
yang menyebabkan perubahan rasa, bau, tekstur, dan nutrisi yang terkandung
didalamnya (Winarno 2002).
Utama (2001) mengatakan semakin tinggi laju respirasi maka semakin cepat
pula perombakan-perombakan tersebut yang mengarah pada kemunduran dari
produk tersebut. Air yang dihasilkan ditranspirasikan dan jika tidak dikendalikan
produk akan cepat menjadi layu, sehingga laju respirasi sering digunakan sebagai
indeks yang baik untuk menentukan masa simpan pascapanen produk segar. Laju
respirasi menentukan potensi pasar dan masa simpan yang berkaitan erat dengan;
kehilangan air, kehilangan kenampakan yang baik, kehilangan nilai nutrisi dan
berkurangnya nilai cita rasa. Masa simpan produk segar dapat diperpanjang
dengan menempatkannya dalam lingkungan yang dapat memperlambat laju
respirasi dan transpirasi melalui penurunan suhu produk, mengurangi ketersediaan
O2 atau meningkatkan konsentrasi CO2, dan menjaga kelembaban nisbi yang
mencukupi dari udara sekitar produk tersebut.
Penanganan Pascapanen Produk Hortikultura
Tiga tujuan utama untuk menerapkan teknologi pascapanen produk
hortikultura adalah : (1) Menjaga mutu (kenampakan, tekstur, citarasa dan nilai
nutrisi); (2) Untuk melindungi keamanan pangannya, dan (3) Untuk mengurangi
susut dari saat panen sampai produk tersebut dikonsumsi. Penyebab utama susut
pascapanen di negara-negara sedang berkembang adalah penanganan yang kasar,
sulitnya mempertahankan suhu optimal selama penyimpanan, tidak dilakukan
pemisahan (sortasi) sebelum produk disimpan dan penggunaan bahan kemasan
yang tidak sesuai dengan produk yang dikemas. Selain dapat mengurangi susut,
tahapan pascapanen tersebut juga dapat mempertahankan mutu produk serta
memperpanjang masa simpan (Kitinoja dan Kader 2003).
Tujuan utama penanganan pascapanen adalah memperkecil kehilangan dan
kerusakan produk panen dimana besarnya kehilangan pascapanen sangat
bervariasi menurut komoditi dan tempat penghasil, seperti di negara berkembang
diperkirakan sekitar 20-50% terjadi kehilangan pascapanen, sedangkan di negara
maju sekitar 5-25%. Perbedaan jumlah kehilangan tersebut disebabkan karena
negara maju telah menggunakan teknologi pascapanen yang memadai. Sebaliknya
di negara berkembang seperti Indonesia, penelitian pascapanen belum banyak
diterapkan. Diharapkan keberhasilan penanganan pascapanen tidak hanya
dirasakan oleh produsen, karena dapat memperkecil kehilangan panen, tetapi juga
bisa dirasakan oleh konsumen karena dapat memperoleh komoditi dengan mutu
yang baik (Rahardi et al. 2004).
Penanganan pascapanen harus dilakukan secara hati-hati untuk memperoleh
buah-buahan yang segar dan mempunyai mutu yang tinggi. Penanganan secara
kasar dapat mempengaruhi mutu produk baik secara morfologis (panjang,
diameter, volume, dan bobot), mekanis (ketahanan produk terhadap benturan dan
goresan) dan fisiologis. Dalam tahapan penanganan pascapanen ada beberapa
perlakuan yang mesti dilakukan yang bertujuan untuk memberikan penampilan
yang baik dan kemudahan-kemudahan untuk konsumen, memberikan
perlindungan produk dari kerusakan dan memperpanjang masa simpan. Sukses
penanganan pascapanen memerlukan koordinasi dan integrasi yang hati-hati dari
seluruh tahapan dari operasi pemanenan sampai ke tingkat konsumen untuk
mempertahankan mutu produk (Utama 2001).
Panen
Panen dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan memisahkan bagian
produk hortikultura dengan tempat hidupnya dimana jaringan produk hortikultura
tersebut tetap hidup setelah panen dan akan mengalami senescence secara alami
serta akan membusuk apabila produk tersebut tidak dikonsumsi atau diolah.
Semua produk hortikultura melakukan respirasi yang memberi perubahan
terhadap kualitas produk dan lamanya masa simpan. Faktor–faktor yang
memperlambat laju respirasi dapat juga memperlambat senescence dan dapat
menjaga kualitas produk, akan tetapi pada keadaan tertentu respirasi harus tetap
terjadi (Aked 2002).
Produk hortikultura dipanen sesuai dengan keperluan akhir produk tersebut
dimana pemanenan dilakukan berdasarkan standar kematangan yang telah
ditentukan. Pemanenan pada saat kematangan optimum menghasilkan mutu
produk terbaik, sedangkan produk yang dipanen terlalu awal akan kehilangan
citarasa khasnya dan mungkin tidak mengalami proses pematangan secara baik,
sementara produk yang dipanen melewati masanya bisa menjadi berserat atau
lewat masak (Kitinoja dan Kader 2003).
Beberapa produk hortikultura tertentu yang termasuk ke dalam golongan
klimakterik dapat dipanen sebelum matang (unripe) dan akan mengalami
pematangan buatan pada tahap selanjutnya. Selama pematangan, respirasi produk
akan meningkat tajam pada periode waktu yang singkat. Tanpa pengawasan suhu,
produk akan cepat mengalami pematangan dan senescence yang mengakibatkan
kerusakan jaringan internal (Aked 2002).
Sortasi dan Grading (Pengkelasan Mutu)
Sortasi biasanya dilakukan untuk memisahkan produk luka, busuk atau
cacat sebelum pendinginan atau penanganan tambahan dilakukan. Sortasi akan
menghemat tenaga dimana bahan-bahan yang rusak tidak akan ikut pada tahapan
7
penanganan berikutnya. Memisahkan bahan-bahan busuk akan membatasi
penyebaran infeksi pada unit-unit produk lainnya, khususnya bila pestisida
pascapanen tidak digunakan (Kitinoja dan Kader 2003).
Produk hortikultura merupakan kelompok produk yang non–homogenous
dimana bervariasi antar grup, antar individu dalam kelompok dan antar daerah
produksi. Grading memberikan manfaat karena : (1) Ukurannya seragam untuk
dijual, (2) Tingkat kematangan seragam, (3) Didapatkan buah yang tidak lecet
atau tidak rusak, (4) Tercapai keuntungan yang lebih baik karena keseragaman
produk, dan (5) Menghemat biaya dalam transpor dan pemasarannya karena
bahan-bahan rusak sudah disisihkan (Utama 2001).
Grading merupakan tindakan pilihan akan tetapi memberikan manfaat
dimana dengan ukuran tingkatan tertentu produk dapat dijual dengan harga yang
lebih tinggi. Kebanyakan packaging house melakukan penanganan ini. Grading
dapat dilakukan secara subjektif (secara visual) atau dengan menggunakan alat
pengukur standar. Banyak produk hortikultura yang telah memiliki standar
grading tertentu sehingga memudahkan tahapan penanganan pascapanen
selanjutnya (Kitinoja dan Kader 2003). Tahapan proses penanganan pascapanen
sortasi biasanya dilakukan bersama-sama dengan grading sebelum ke tahapan
penanganan pascapanen selanjutnya.
Pengemasan
Pengemasan atau disebut juga pembungkusan, pewadahan atau pengepakan
berperan dalam memperpanjang umur simpan bahan hasil pertanian. Adanya
wadah atau pembungkusan dapat membantu mencegah atau mengurangi
kerusakan, melindungi bahan pangan yang ada didalamnya, melindungi dari
bahaya pencemaran serta gangguan fisik seperti gesekan, benturan, dan getaran.
Selain itu, pengemasan berfungsi untuk menempatkan suatu hasil pengolahan atau
produk agar mempunyai bentuk-bentuk yang memudahkan dalam penyimpanan,
pengangkutan dan distribusi (Syarief et al. 1989).
Pengemasan dapat mengurangi kehilangan air (pengurangan berat) dan
dengan demikian dapat mencegah terjadinya dehidrasi, terutama bila yang
digunakan merupakan bahan yang bersifat barrier bagi gas dan uap air (Pantastico
et al. 1989). Hal ini merupakan keuntungan utama dari pengemasan yang dapat
pula memperpanjang umur simpan komoditas yang bersangkutan. Kehilangan air
pada saat penyimpanan yang disusul dengan meningkatnya susut bobot sehingga
komoditas menjadi keriput dan kering merupakan sebab dari hilangnya kesegaran
produk.
Penyimpanan
Penyimpanan adalah salah satu tahap penting dalam rantai penanganan
pasacapanen produk hortikultura dimana pada kondisi penyimpanan yang tepat
dapat mempertahankan kondisi segar produk hortikultura dan memperpanjang
masa simpannya sehingga dapat menjaga ketersediaanya. Tujuan utama
penyimpanan adalah pengendalian laju transpirasi, respirasi, infeksi penyakit, dan
mempertahankan produk dalam bentuk yang paling berguna bagi konsumen
(Pantastico et al. 1989).
Hingga saat ini pendinginan merupakan satu-satunya cara yang ekonomis
untuk penyimpanan jangka panjang bagi buah-buahan segar. Cara-cara lain untuk
mengendalikan pematangan dan kerusakan, paling banyak hanya merupakan
pelengkap bagi suhu yang rendah. Pendinginan merupakan proses menurunkan
dan mempertahankan suhu suatu bahan di bawah suhu lingkungan dan diatas titik
beku bahan tersebut. Suhu pendinginan merupakan faktor yang penting karena
berhubungan dengan kerusakan bahan pangan akibat mikroba, perubahan fisik
akibat pendinginan dan mempengaruhi kelembaban udara dalam ruang pendingin.
Penyimpanan dengan atmosfir termodifikasi adalah penyimpanan dengan
lingkungan udara yang mempunyai komposisi gas yang berbeda dengan udara
normal. Menurut Syarief dan Hariyadi (1993) ada dua cara penyimpanan atmosfir
termodifikasi, yaitu aktif dan pasif. Dalam modifikasi atmosfir aktif udara di
dalam kemasan pada awalnya dikontrol dengan cara menarik semua udara di
dalam kemasan untuk kemudian diisi kembali dengan udara yang konsentrasinya
telah diatur dengan menggunakan alat sehingga kesetimbangan langsung tercapai.
Pada modifikasi atmosfir pasif, kesetimbangan antara CO2 dan O2 didapat melalui
pertukaran udara di dalam kemasan melalui film kemasan. Dalam hal ini
kesetimbangan yang diinginkan hanya mengandalkan permeabilitas dari kemasan
yang digunakan. Dalam penyimpanan modifikasi atmosfir, permeabilitas kemasan
memegang peranan penting karena pertukaran gas terjadi lewar kemasan yang
digunakan.
Teknik penyimpanan atmosfir termodifikasi yang dikombinasikan dengan
penyimpanan suhu rendah akan memperpanjang umur simpan produk dan baik
untuk produk selama penyimpanan. Suhu, kelembaban udara dan komposisi
atmosfir penyimpanan merupakan faktor yang dapat diatur untuk menurunkan laju
respirasi dan meminimalkan kerusakan (Pantastico et al. 1989).
Morfologi dan Fisiologi Pascapanen Tomat
Tomat (Solanum lycopersicum syn. Lycopersicum esculentum) berasal dari
famili Solanaceae, tumbuhan asli Amerika Tengah dan Selatan, dari Meksiko
sampai Peru. Tomat merupakan tumbuhan siklus hidup singkat, dapat tumbuh
setinggi 1-3 m. Terdapat ratusan varietas tomat yang dibudidayakan dan
diperdagangkan. Pengelompokan hampir selalu didasarkan pada penampilan atau
kegunaan buahnya. Kualitas kesegaran tomat dapat dilihat dari berbagai atribut
seperti penampakan, kekerasan, citarasa dan kandungan gizi (Tugiyono 1993).
Adapun kandungan gizi untuk setiap 100 g tomat dapat dilihat pada Tabel 1.
Tomat merupakan produk hortikultura golongan klimakterik. Panen buah
tomat dilakukan pada umur 90–100 HST dengan ciri kulit buah berubah dari hijau
menjadi kekuning-kuningan, bagian tepi daun tua mengering, batang menguning.
Panen dilakukan pada pagi atau sore hari pada saat cuaca cerah. Interval
pemetikan 2-3 hari sekali. Supaya tahan lama, tidak cepat busuk dan tidak mudah
memar, buah tomat dipanen setengah matang (Jones 1999).
Buah tomat sangat bervariasi dalam ukuran, bentuk, warna, kekerasan, rasa
dan kandungan bahan padatnya. Semua komponen tersebut berpengaruh terhadap
mutu buah tomat. Umur petik tergantung varietas tomat yang ditanam dan kondisi
tanaman. Umumnya buah tomat dapat dipanen pertama pada waktu berumur 2
atau 3 bulan setelah tanam. Setelah dipanen, pemasakan masih tetap berlangsung
dan tomat dapat menjadi sangat cepat masak. Hal ini dapat mengakibatkan
penurunan kualitas dan umur simpan terbatas. Panen tomat dilakukan sesuai
dengan tujuan pemasarannya sehingga perlu diperhitungkan lama perjalanan
9
sampai di tujuan. Sebaiknya tomat berada di pasaran pada saat masak penuh,
tetapi tidak terlalu masak atau busuk. Pada saat masak penuh itulah tomat
memperlihatkan penampilannya yang terbaik. Jika tujuan pemasaran adalah pasar
lokal yang jaraknya tidak begitu jauh, dapat ditempuh dalam beberapa jam, panen
sebaiknya dilakukan sewaktu buah masih berwarna kekuning-kuningan. Untuk
pemasaran ke tempat yang jauh atau untuk di ekspor, buah sebaiknya dipetik
sewaktu masih berwarna hijau, tetapi sudah tua benar atau 8-10 hari sebelum
menjadi masak (berwarna merah) (Esquinas dan Alcazar 1981).
Tabel 1 Kandungan gizi untuk setiap 100 g tomat muda
Kandungan Gizi
Nilai Satuan
Air
93 g
Energi
23 kcal
Protein
1.20 g
Total lipid (fat)
0.2 g
Karbohidrat
5.10 g
Total gula
4g
Fiber
1.1 g
Vitamin A
642 IU
Vitamin C
23.4 mg
Vitamin E
0.38 mg
Vitamin K
10.1 μg
Sumber : USDA National Nutrients Data Base (2012)
Selain umur petik, perubahan warna pada tomat juga bisa dijadikan
indikator. Warna merupakan salah satu indikator kematangan tomat yang mudah
untuk diamati, beberapa skala nilai subyektif dan grafik warna telah
dikembangkan untuk mengklasifikasikan tahap kematangan tomat seperti pada
Tabel 2.
Nunes (2008) mengatakan suhu optimum untuk penyimpanan dingin
tergantung pada tingkat kematangan tomat pada saat panen. Tomat kelompok
immature green dan mature green lebih sensitif terhadap suhu dingin daripada
tomat kelompok pink atau light-red. Tomat kelompok pink atau light-red jika
disimpan lebih dari 2 minggu dibawah 10 oC atau lebih lama dari 6-8 hari pada
suhu 5 oC akan mengalami chilling injury. Chilling injury merupakan indikasi
kegagalan untuk mematangkan dan perubahan warna dan citarasa yang tidak
diharapkan, pelunakan terlalu cepat, pitting pada permukaan, biji berwarna coklat
dan meningkatnya bagian yang busuk. Pada tomat kelompok immature green dan
mature green dapat disimpan sampai 14 hari pada suhu 12.5-15 oC tanpa
mengalami permasalahan utama seperti penurunan citarasa dan perubahan warna.
Jones (1999) mengatakan tomat pada tahap perkembangan breaker
merupakan tahap yang paling sering dipanen kepentingan ekspor, sedangkan
tomat untuk pasar lokal biasanya dipanen pada tingkat light–red atau red. Buah
yang dipetik pada tahap mature green akan memiliki masa simpan yang lebih
lama akan tetapi mengalami perubahan pembentukan warna dan rasa yang tidak
diinginkan.
Tabel 2 Klasifikasi tahapan kematangan tomat
Tingkatan Warna
Klasifikasi
Deskripsi
Mature green
Seluruhnya berwarna hijau dan telah matang
Breaker
Mulai ada perubahan warna (merah muda,
merah atau hijau kekuningan) tetapi tidak
lebih dari 10%
Turning
Lebih dari 10% tetapi tidak lebih dari 30%
berwarna merah muda, merah atau jingga.
Pink
Lebih dari 30% tetapi tidak lebih dari 60%
berwarna merah muda atau merah
Light – red
Lebih dari 60% tetapi tidak lebih dari 90%
berwarna merah
Red
Lebih dari 90 % berwarna merah; tingkat
kematangan yang diharapkan
Sumber : USDA (1986) di dalam Batu (2003)
Demikian pula untuk menjamin masa simpan yang normal selama distribusi,
tomat kelompok light-red harus disimpan tidak lebih lama dari 10 hari pada suhu
10-12.5 oC. Penyimpanan pada suhu 10-13 oC direkomendasikan untuk tomat
kelompok pink dan tomat kelompok light-red (Nunes 2008). Menurut Sargent dan
Moretti (2004), suhu penyimpanan dingin yang sesuai untuk tomat tanpa
mengalami penurunan kualitas citarasa dan aroma adalah 7-10 oC selama 3-5 hari.
Jones (1999) merekomendasikan penyimpanan untuk tomat firm ripe pada suhu
7.8-10 oC selama 1-3 minggu dan untuk tomat mature green pada suhu 12.8-21 oC
selama 4-7 minggu.
Morfologi dan Fisiologi Pascapanen Paprika
Tanaman paprika diduga berasal dari Mexico dan daerah sekitar Amerika
Tengah. Kata “paprika” adalah istilah Hongaria yang semula dipakai bagi cabai
merah yang pedas Capsicum annum, di Amerika paprika disebut bell pepper.
Rasa dan aroma paprika tidak seperti tanaman cabai pada umumnya. Baunya
pedas menusuk, tetapi rasa pedasnya tidak ada sama sekali, melainkan rasa manis
sedikit. Itulah sebabnya di negara-negara Barat paprika dikenal dengan sebutan
cabai manis atau sweet pepper (Prihmantoro dan Yovita 2000).
Paprika dapat dipanen setelah berumur 60-90 hari setelah tanam, yaitu pada
saat telah mencapai ukuran penuh tetapi masih berwarna hijau atau sudah matang
berwarna (merah atau kuning). Paprika hijau diperoleh dari paprika yang masih
muda. Setelah matang paprika akan berubah menjadi merah atau kuning sesuai
dengan jenisnya, sedangkan paprika ungu sejak kecil buahnya memang berwarna
ungu kehitaman. Kriteria panen paprika untuk dijual segar adalah masih hijau,
bentuknya baik, berlapis lilin, tegar dan mengkilap (Pantastico et al. 1989).
Kandungan gizi untuk setiap 100 g paprika dapat dilihat pada Tabel 3.
11
Tabel 3 Kandungan gizi untuk setiap 100 g paprika hijau
Kandungan Gizi
Nilai Satuan
Air
93.89 g
Energi
20 kcal
Protein
0.86 g
Total lipid (fat)
0.17 g
Karbohidrat
4.64 g
Total gula
2.40 g
Fiber
1.7 g
Vitamin A
370 IU
Vitamin C
127.7 mg
Vitamin E
0.37 mg
Vitamin K
7.4 μg
Sumber : USDA National Nutrients Data Base (2012)
Panen paprika biasanya dilakukan per periode tanam, berdasarkan
kematangan buah, atau sesuai dengan harga dan permintaan di pasaran. Pemetikan
paprika dilakukan beserta tangkai buah dengan menggunakan gunting atau pisau
tajam. Hal tersebut dilakukan agar tangkai buah tidak terlepas dari buah atau
tertinggal di cabang tanaman karena buah akan mudah terserang patogen. Kriteria
buah matang yang dipanen dibagi menjadi dua golongan yaitu panen buah matang
hijau dan panen buah berwarna (merah, kuning, putih atau krem, dan ungu).
Penggolongan ini disesuaikan dengan permintaan pasar dan harga di pasaran.
Kriteria buah yang matang hijau yaitu warna buah hijau mengkilap, daging buah
keras dan tebal, buah mudah dilepaskan dari tangkai, sehat dan tidak cacat, serta
bebas dari hama dan penyakit (Prihmantoro dan Yovita 2000).
Gambar 1 Indeks kematangan pada paprika (FAO 2002)
Kekerasan dan ketebalan buah dapat diketahui dengan cara memijit dan
mengetuknya. Buah yang siap panen berbunyi nyaring bila diketuk dan tidak
berubah bentuk bila ditekan atau dipijit. Kriteria paprika matang berwarna adalah
warna buah sudah merata (seragam), daging buah tebal, sehat dan tidak cacat,
serta bebas dari hama dan penyakit. Setelah dipanen, apabila akan dilakukan
penyimpanan maka paprika dapat ditempatkan pada ruangan berpendingin
bersuhu 7-10 oC atau cara hipobarik (penyimpanan dengan mengatur suhu dan
tekanan udara). Dengan sistem hipobarik tekanan udara diatur cukup rendah
dengan tujuan untuk menghambat gas etilen (gas yang mempercepat kematangan).
Suhu penyimpanan dengan metode ini biasanya 7,2–10 oC dengan tekanan 80
mmHg (Prihmantoro dan Yovita 2000).
Gonzalez-Aguilar (2004) mengatakan penyimpanan paprika segar pada suhu
o
7.5 C dengan RH 90-95% direkomendasikan untuk memperpanjang masa simpan
(3-5 minggu), selain itu juga dapat mencegah terjadinya kehilangan air yang
menyebabkan paprika mengkerut. Dan apabila paprika disimpan pada suhu dan
RH lebih tinggi atau lebih rendah, kemungkinan akan terjadi kehilangan air
dengan cepat sehingga menjadikan paprika menjadi lembek, layu atau kering.
Oleh karena ada beberapa varietas tertentu dapat mengalami chilling injury pada
suhu 7 oC sehingga paprika jenis tersebut harus disimpan pada suhu 7-13 oC.
Akan tetapi apabila suhu penyimpanan diatas 13 oC, paprika dapat mengalami
senescence dan kerusakan (busuk). Paprika juga dapat disimpan pada suhu 5 oC
selama 2 minggu, walaupun suhu penyimpanan yang rendah dapat mengakibatkan
kehilangan air akan tetapi gejala chilling injury baru terjadi setelah 2 minggu.
Gejala chilling injury dapat terjadi setelah penyimpanan selama beberapa hari
pada 0 oC dan beberapa minggu pada penyimpanan suhu 5 oC. Paprika masak atau
yang berwarna memiliki sifat kurang peka terhadap chilling injury daripada
paprika hijau. Menurut Ryall dan Werner (1983), penyimpanan paprika sampai
terjadinya chilling injury pada suhu 0 oC selama 2-4 hari, pada suhu 1 oC selama 7
hari, pada 5 oC selama 9 hari dan pada suhu 6-7 oC selama 14-15 hari.
Plastik Biodegradabel (Bioplastik)
Bioplastik adalah plastik yang berbahan dasar dari bahan yang dapat
diperbaharui yang dapat digunakan untuk menggantikan plastik sintetis yang
berasal dari minyak bumi yang memiliki sifat tidak dapat didegradasi oleh
mikroorganisme di alam yang selama ini umum digunakan oleh masyarakat
(Griffin 1994). Bioplastik merupakan plastik yang dapat digunakan layaknya
plastik konvensional, namun akan hancur terurai oleh aktivitas mikroorganisme
menjadi hasil akhir air dan gas karbondioksida setelah habis terpakai dan dibuang
ke lingkungan. Karena sifatnya yang dapat kembali ke alam, bahan pembuatan
plastik biodegradable ini bersifat ramah terhadap lingkungan (Pranamuda 2001).
Bioplastik merupakan jenis plastik atau polimer yang dibuat dari bahanbahan biotik seperti jagung, singkong ataupun mikrobiota yang berbeda dengan
plastik konvensional yang sering kita gunakan yang umumnya dibuat dari minyak
bumi dan gas alam. Bioplastik lebih ramah lingkungan karena dibuat dari bahanbahan organik dan dapat didegradasi oleh mikroorganisme pengurai. Salah satu
bagian dari proses pembuatan bioplastik adalah modifikasi genetik yang
melibatkan mikroorganisme. Proses modifikasi ini dianggap kunci masa depan
agar proses pembuatan bioplastik lebih murah dan lebih sedikit mengkonsumsi
bahan bakar minyak (Abbott et al. 2008).
Secara umum, terdapat tiga teknik yang berbeda dalam memproduksi
kemasan biodegradable dengan menggunakan bahan baku hasil pertanian.
Generasi pertama dari pembuatan kemasan biodegradable adalah dengan
mencampurkan poliolefin ke dalam pati untuk memperbaiki sifat-sifat mekanik
dan sifat barrier terhadap uap air dari kemasan berbahan baku pati. Plastik ini
13
belum seluruhnya terdegradasi di tanah. Generasi kedua kemasan biodegradable
dibuat dengan mencampurkan polimer sintetik dengan polimer alami seperti pati.
Komposisi campurannya adalah pati tergelatinisasi (40-75%), polimer sintetik
yang bersifat hidrofobik, dan hidrofilik ko-polimer. Pengembangan yang terakhir
adalah generasi bioplastik (generasi ketiga). Istilah bioplastik ditujukan untuk
bahan kemasan yang berasal dari polimer yang 100% biodegradable dan sudah
diuji biodegradabilitasnya berdasarkan standar yang berlaku atau dari biopolimer
(produk hasil pertanian). Oleh karena itu, istilah bioplastik tidak mencakup
kemasan biodegradable generasi pertama dan kedua (Gontard dan Guilbert 1992).
Menurut Liu (2006), bioplastik adalah istilah yang digunakan untuk bahan
kemasan yang berasal dari sumber daya terbarukan, dan yang dianggap aman
untuk digunakan dalam aplikasi pangan. Secara umum, dibandingkan dengan
plastik konvensional yang berasal dari minyak bumi, bioplastik berbasis polimer
memiliki lebih beragam stereokimia dan bentuk rantai samping yang
memungkinkan para peneliti memiliki lebih banyak kesempatan untuk
menyesuaikan sifat-sifat bahan kemasan akhir. Tantangan utama yang dihadapi
industri pangan dalam memproduksi kemasan bioplastik, saat ini, adalah dengan
mencocokkan daya tahan kemasan dengan masa simpan produk. Comstock et al.
(2004) mengatakan bahan kemasan yang berasal dari sumber daya terbarukan ini
dapat digunakan untuk mengemas berbagai jenis produk. Bahan kemasan ini juga
dapat digunakan untuk mengemas pangan.
Aplikasi plastik biodegradable biasanya dapat digunakan untuk mengemas
berbagai produk yang memiliki umur simpan yang pendek seperti pembungkus
roti yang dapat bertahan selama beberapa bulan atau untuk tas belanja yang dapat
bertahan selama kurang lebih 5 tahun. Plastik ini dapat dengan mudah terurai pada
berbagai kondisi, baik dingin dan basah ataupun panas dan kering (Scott 2009).
Penyimpanan Dingin
Penyimpanan dingin merupakan proses pengawetan bahan pangan dengan
cara pendinginan pada suhu di atas suhu pembekuannya. Penyimpanan di bawah
suhu 15 oC dan di atas titik beku bahan, tergantung pada masing-masing produk
yang disimpan dikenal sebagai penyimpanan dingin. Pendinginan menuntut
adanya pengendalian terhadap kondisi lingkungan, seperti suhu yang rendah,
komposisi udara, kelembaban dan sirkulasi udara (Kader 1992).
Menurut Muchtadi (1992) penyimpanan pada suhu rendah diperlukan untuk
komoditas sayuran yang mudah rusak, karena cara ini dapat mengurangi kegiatan
laju respirasi dan metabolisme; mengurangi laju penuaan akibat adanya
pematangan, pelunakan serta tekstur dan warna; dan mengurangi kerusakan
karena ak
SEBAGAI BAHAN KEMASAN PRODUK HORTIKULTURA
(TOMAT DAN PAPRIKA)
TAJUL IFLAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Aplikasi Starch-Based
Plastics (Bioplastik) sebagai Bahan Kemasan Produk Hortikultura (Tomat dan
Paprika) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2013
Tajul Iflah
F153100021
RINGKASAN
TAJUL IFLAH. Aplikasi Starch-Based Plastics (Bioplastik) Sebagai Bahan
Kemasan Produk Hortikultura (Tomat Dan Paprika). Di bawah Bimbingan
SUTRISNO dan TITI CANDRA SUNARTI
Salah satu tindakan pascapanen yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi
terjadinya susut produk hortikultura adalah dengan memperhatikan suhu
penyimpanan dan pemilihan teknik pengemasan yang tepat. Saat ini plastik
banyak digunakan sebagai bahan kemasan yang populer karena memiliki banyak
kelebihan. Akan tetapi diantara kelebihannya, plastik juga memiliki kelemahan
yaitu adanya zat monomer dan molekul kecil dari plastik yang dapat bermigrasi
ke dalam produk yang dikemas dan plastik yang memiliki sifat tidak mudah
terurai (non-degradable) sehingga menimbulkan masalah pencemaran lingkungan.
Untuk memanfaatkan kelebihan plastik sebagai bahan kemasan, dan mengurangi
efek yang tidak baik karena penggunaannya, telah dikembangkan plastik yang
dapat terurai yang dikenal dengan sebutan bioplastik. Bioplastik mulai banyak
digunakan dalam berbagai bentuk kemasan, salah satunya adalah fruit bag.
Penggunaan fruit bag telah banyak diaplikasikan untuk mengemas produk
hortikultura pada supermarket. Agar dapat memperpanjang masa simpan dan
mempertahankan mutu, buah dan sayuran harus disimpan dalam kondisi suhu
dingin. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji karakteristik penyimpanan dingin
terhadap produk hortikultura dari golongan klimakterik (tomat) dan golongan nonklimakterik (paprika) yang dikemas dengan kemasan berbentuk fruit bag dari
jenis bioplastik yang dibandingkan dengan kemasan HDPE.
Hasil dari penelitian menunjukkan kemasan bioplastik dapat menunda fase
klimaterik tomat hingga hari penyimpanan ke-21, lebih lama daripada yang
dikemas dengan HDPE. Namun paprika yang dikemas dengan bioplastik mulai
memasuki fase senescence pada hari penyimpanan ke-12, lebih cepat daripada
yang dikemas dengan HDPE. Tomat dan paprika yang dikemas dengan bioplastik
pada suhu penyimpanan 10 oC menghasilkan pengaruh yang lebih baik terhadap
perubahan warna daripada yang dikemas dengan HDPE pada suhu yang sama.
Penggunaan kemasan bioplastik tidak sesuai pada penyimpanan suhu
rendah. Penyimpanan tomat pada suhu 15 oC yang dikemas dengan bioplastik
memiliki umur simpan lebih lama (29 hari) daripada tomat yang dikemas dengan
HDPE (25 hari). Berbeda dengan tomat, paprika yang dikemas dengan bioplastik
pada ketiga suhu penyimpanan memiliki umur simpan yang lebih singkat daripada
paprika yang dikemas dengan HDPE.
Kata kunci: bioplastik, paprika, pengemasan, penyimpanan dingin, tomat
ABSTRACT
TAJUL IFLAH. Application of Starch-Based Plastics (Bioplastics) as Packaging
Material for Horticultural Products (Tomato and Bell pepper). Supervised by
SUTRISNO and TITI CANDRA SUNARTI
One of the post-harvest handling for minimize the losses of horticultural
product was regulating the storage temperature and packaging technique. The
objective of this research was to determine the cold storage’s characteristic of
agricultural product from the climacteric products (tomato) and non-climacteric
products (bell pepper) that were packed by the fruit bag packaging from bioplastic compared with the HDPE. The packed product stored on three levels of
storage temperature (5, 10 and 15oC) for 21 days and every three days the product
was for respiration rate, weight losses, hardness, the changing of fruit color, total
soluble solids and vitamin C content. The result of the research showed that bioplastic packaging could delay the climacteric phase of tomato until the 21st day of
storage, longer than packed by the HDPE. However the bell pepper packed by the
bio-plastic started the senescence phase since the 12th days of storage, faster than
packed by HDPE. Bio-plastic packaging was un-appropriate for low temperature
(5-10 oC) storage. Tomato and bell pepper packed by the bio-plastic were giving
better color change and hardness during the storage temperature of 15 oC. Based
on the ratio changing a*/b*, the tomato shelf life stored on the temperature of 15
o
C with using the bio-plastic (29 days) was longer than using HDPE (25 days).
The bell pepper with using the bio-plastic had lower shelf life than bell pepper
using HDPE on all temperature levels.
Key words : bell pepper, bio-plastic, cold storage, packaging, tomato
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
APLIKASI STARCH-BASED PLASTICS (BIOPLASTIK)
SEBAGAI BAHAN KEMASAN PRODUK HORTIKULTURA
(TOMAT DAN PAPRIKA)
TAJUL IFLAH
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Pasca Panen
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji Luar Komisi Pembimbing: Dr Indah Yuliasih, STP, MSi
Judul Tesis : Aplikasi Strach-Based Plastics (Bioplastik) sebagai Bahan
Kemasan Produk Hortikultura (Tomat dan Paprika)
Nama
: Tajul Iflah
NIM
: F153100021
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Sutrisno, MAgr
Ketua
Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Teknologi Pasca Panen
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Sutrisno, MAgr
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 25 Februari 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2012 ini ialah
pengemasan, dengan judul Aplikasi Starch-Based Plastics (Bioplastik) sebagai
Bahan Kemasan Produk Hortikultura (Tomat dan Paprika).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Ir.Sutrisno, M.Agr dan Ibu
Dr.Ir.Titi Candra Sunarti, M.Si selaku pembimbing yang telah banyak memberi
saran. Dan juga kepada Ibu Dr. Indah Yuliasih, S.TP, M.Si selaku dosen penguji
luar komisi pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan kritikan
yang membangun. Di samping itu, terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak
Eman dan Ibu Maria Ulfah dari PT. Tirta Marta serta Biantri Raynasari yang telah
banyak membantu selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih yang tak terkira dan penghargaan setinggi-tingginya
disampaikan kepada kedua orangtua tercinta, adik-adik dan nenek serta seluruh
keluarga, atas segala doa, kepercayaan dan kasih sayangnya. Kepada rekan-rekan
TPP 2010 yang selalu dapat diandalkan (Mbak Sandra, Ninta, Fajri, Cicih, Mbak
El, Teh Susi, Ani, Putri dan Syahirman) dan teman-teman seperjuangan TMP
2010, TMB 45 dan TEP 2010 atas segala masukan, saran dan kritik serta bantuan
yang terus menerus diberikan tanpa pamrih. Untuk semua teman-teman di
Megakost yang senantiasa memberikan dukungan. Dan juga untuk seluruh staf
program studi TPP yang siap membantu. Serta masih banyak lagi ucapan
terimakasih dan penghargaan yang ingin penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang
tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan menjadi amal jariyah bagi semua
pihak.
Bogor, Februari 2013
Tajul Iflah
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
1
1
2
3
3
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Produk Hortikultura
Penanganan Pascapanen Produk Hortikultura
Morfologi dan Fisiologi Pascapanen Tomat
Morfologi dan Fisiologi Pascapanen Paprika
Plastik Biodegradabel (Bioplastik)
Penyimpanan Dingin
Pemilihan Film Kemasan
4
4
5
8
10
12
13
14
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Bahan dan Alat
Metode Penelitian
Aplikasi Bioplastik untuk Produk Hortikultura
Penentuan Umur Simpan
Rancangan Penelitian
Pengamatan
17
17
17
17
17
17
19
19
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Kemasan
Aplikasi Bioplastik untuk Kemasan Produk Hortikultura
Perubahan Fisiologi (Laju Respirasi) dari Produk Hortikultura
Perubahan Fisikokimia
Interaksi Kemasan dengan Lingkungan
Penentuan Umur Simpan
22
22
25
25
31
47
51
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
55
55
55
DAFTAR PUSTAKA
56
LAMPIRAN
63
RIWAYAT HIDUP
93
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Kandungan gizi untuk setiap 100 g tomat muda
Klasifikasi tahapan kematangan tomat
Kandungan gizi untuk setiap 100 g paprika hijau
Koefisien permeabilitas film kemasan hasil perhitungan dan penetapan
(ml.mil.m-2.jam-1.atm-1)
Permeabilitas gas beberapa polimer untuk pengemasan bahan pangan
Karakteristik kemasan yang digunakan
Kekerasan tomat pada suhu penyimpanan yang berbeda
Pengaruh suhu penyimpanan terhadap perubahan ohue tomat
Pengaruh perbedaan suhu penyimpanan terhadap perubahan nilai L* dan
o
hue paprika
Perubahan permeabilitas uap air kemasan HDPE dan bioplastik selama
penyimpanan pada berbagai suhu selama 30 hari
Umur simpan tomat berdasarkan perubahan rasio a*/b*
Umur simpan paprika berdasarkan perubahan nilai ohue
9
10
11
15
16
23
35
40
41
48
53
54
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
Indeks kematangan pada paprika
Sistem notasi warna Hunter
Orientasi film plastik
11
21
23
4
Pengaruh perbedaan jenis plastik terhadap (a) laju konsumsi O2 tomat,
dan (b) laju produksi CO2 tomat
26
Pengaruh lama penyimpanan terhadap (a) laju konsumsi O2 tomat yang
dikemas HDPE () dan bioplastik (▲), dan (b) laju produksi CO2 tomat
yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲)
27
Pengaruh perbedaan jenis plastik terhadap (a) laju konsumsi O2 paprika,
dan (b) laju produksi CO2 paprika
29
Pengaruh lama penyimpanan terhadap (a) laju konsumsi O2 paprika
yang dikemas HDPE (○) dan bioplastik (), dan (b) laju produksi CO2
paprika yang dikemas HDPE (○) dan bioplastik ()
30
Pengaruh lama penyimpanan terhadap penurunan bobot (a) tomat yang
dikemas HDPE () dan bioplastik (▲), dan (b) paprika yang dikemas
HDPE (○) dan bioplastik ()
32
Pengaruh suhu terhadap morfologi permukaan kemasan setelah
disimpan selama 30 hari (perbesaran 200 x)
36
Pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan kekerasan (a) tomat
yang dikemas () dan bioplastik (▲), dan (b) paprika yang dikemas
HDPE (○) dan bioplastik ()
37
Pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan nilai C* tomat yang
dikemas dengan HDPE () dan bioplastik (▲)
39
Pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan (a) nilai L* paprika
yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲), dan (b) nilai C* paprika
yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲)
42
Pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan perubahan total
padatan terlarut (TPT) (a) tomat yang dikemas HDPE () dan bioplastik
(▲), dan (b) paprika yang dikemas HDPE (○) dan bioplastik ()
44
Pengaruh lama penyimpanan terhadap kandungan vitamin C (a) tomat
yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲), dan (b) paprika yang
dikemas HDPE (○) dan bioplastik ()
Mekanisme permeabilitas kemasan
Mekanisme sorpsi kemasan
46
48
50
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Hasil perhitungan densitas kemasan HDPE dan Bioplastik
Rataan laju konsumsi O2 tomat dan paprika
Rataan laju produksi CO2 tomat dan paprika
Rataan penurunan bobot tomat dan paprika
Rataan perubahan kekerasan tomat dan paprika
Rataan nilai L* tomat dan paprika
Rataan nilai C* tomat dan paprika
Rataan nilai ohue tomat dan paprika
Foto perubahan tomat selama penyimpanan
Foto perubahan paprika selama penyimpanan
Rataan perubahan total padatan terlarut (TPT) tomat dan paprika
Rataan perubahan kandungan vitamin C tomat dan paprika
Penentuan umur simpan tomat yang dikemas dengan HDPE
berdasarkan rasio a*/b* (Batas kritis (Qs) = 1.21)
Penentuan umur simpan tomat yang dikemas dengan bioplastik
berdasarkan rasio a*/b* (Batas kritis (Qs) = 1.21)
Penentuan umur simpan paprika yang dikemas dengan HDPE
berdasarkan perubahan nilai ohue (Batas kritis (Qs) = -78.542)
Penentuan umur simpan paprika yang dikemas dengan bioplastik
berdasarkan perubahan nilai ohue (Batas kritis (Qs) = -78.542)
63
64
66
68
70
72
74
76
78
81
84
87
89
90
91
92
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Produk hortikultura memiliki sifat yang mudah rusak (perishable) sehingga
dapat menyebabkan susut secara kuantitas maupun kualitas. Susut kualitas
meliputi perubahan warna, rasa, dan aroma sehingga menjadi tidak sesuai dengan
keinginan konsumen dan bahkan nilai gizinya. Secara kuantitas susut pascapanen
produk hortikultura bisa mencapai 25-40%, yang disebabkan oleh beberapa hal,
dimana salah satunya diakibatkan oleh penanganan pascapanen yang belum tepat.
Menurut Siswadi (2007), penanganan pascapanen produk hortikultura di
Indonesia belum mendapat perhatian yang cukup, terlihat dari kerusakankerusakan pascapanen yang masih besar, yakni antara 25-28%. Oleh sebab itu
agar produk hortikultura terutama buah-buahan dan sayuran dapat sampai ke
tangan konsumen dalam kondisi baik perlu penanganan pascapanen yang benar
dan sesuai. Bila pascapanen dilakukan dengan baik, kerusakan-kerusakan yang
timbul dapat diperkecil bahkan dihindari, sehingga kerugian di tingkat produsen
dan konsumen dapat ditekan. Tindakan pascapanen yang dapat dilakukan untuk
memperbaiki mutu produk salah satunya adalah dengan memperhatikan suhu
penyimpanan dan teknik pengemasan terhadap buah-buahan tersebut.
Pengemasan merupakan salah satu bagian dari rangkaian penanganan
pascapanen dari produk hortikultura yang bertujuan untuk mencegah kontaminasi
produk yang dikemas dari mikroorganisme serta proses fermentasi ataupun
pembusukan, mengurangi kontak dengan udara sehingga proses oksidasi dapat
dihambat, mengurangi kerusakan fisik, mempertahankan kesegaran produk dan
meningkatkan minat calon konsumen. Menurut Syarief et al. (1989), kerusakan
fisik pada buah dan sayur juga dapat dikurangi dengan penggunaan kemasan yang
tepat yang dapat mengontrol kerusakan bahan pangan yang disebabkan oleh
lingkungan seperti kerusakan mekanis, perubahan kadar air bahan pangan,
absorpsi, serta interaksi dengan oksigen.
Saat ini plastik banyak digunakan sebagai bahan kemasan yang populer
menggeser penggunaan logam dan gelas, karena plastik memiliki banyak
kelebihan, diantaranya ringan, kuat dan mudah dibentuk, anti karat dan tahan
terhadap bahan kimia, mempunyai sifat isolasi listrik yang tinggi, dan dapat
dibuat berwarna maupun transparan dan biaya proses yang lebih murah. Oleh
karena sifatnya yang mudah dibentuk, kemasan plastik cocok digunakan untuk
mengemas produk yang bentuknya kurang simetris seperti produk hortikultura.
Kelemahan dari plastik karena adanya zat monomer dan molekul kecil dari plastik
yang mungkin bermigrasi ke dalam produk yang dikemas.
Selain kemungkinan bermigrasi ke dalam produk yang dikemas, plastik
yang sering digunakan selama ini merupakan bahan non-degradable dimana
membutuhkan waktu ratusan bahkan ribuan tahun untuk terurai yang
mengakibatkan penumpukan plastik sebagai sampah sisa kemasan sehingga
menimbulkan masalah pencemaran lingkungan. Hal ini mengakibatkan terjadinya
pengurangan pemakaian kemasan berbahan dasar plastik, dan kini juga mulai
dikenal kemasan plastik berbahan dasar pati yang memiliki sifat biodegradable
(mudah terurai) yang dikenal dengan sebutan bioplastik.
Bioplastik berbahan dasar pati telah dikomersialisasikan beberapa tahun
terakhir dan saat ini telah mendominasi pasar kemasan berbasis biodegradable
dan komposit. Bioplastik berbahan dasar pati dapat dikatakan sebagai barrier
oksigen yang baik, akan tetapi sifat higroskopis dari pati yang digunakan tidak
sesuai untuk mengemas produk yang memiliki kadar air dan kelembaban yang
tinggi. Oleh karena itu bioplastik sesuai digunakan untuk mengemas produk yang
memiliki masa simpan yang lebih singkat. Berhubungan dengan aplikasi dalam
bahan pangan, bioplastik biasanya terdapat dalam berbagai bentuk lapisan film
yang digunakan untuk mengemas makanan dan juga dalam bentuk lainnya seperti
mangkuk, piring, dan tray yang biasanya digunakan untuk mengemas telur.
Bentuk kemasan bioplastik yang saat ini sering digunakan untuk mengemas
produk hortikultura adalah kantung plastik yang dikenal dengan sebutan fruit bag.
Penggunaan fruit bag telah banyak diaplikasikan untuk mengemas produk
hortikultura pada supermarket. Kemasan dengan bentuk seperti ini didesain
sederhana dan tipis namun kuat untuk mewadahi produk dalam jumlah banyak,
terutama buah dan sayuran. Umumnya kemasan ini hanya digunakan untuk
mewadahi produk selama pengangkutan dari supermarket ke rumah, namun
penggunaannya bertambah menjadi wadah penyimpan dalam lemari pendingin
dengan alasan kepraktisan tanpa harus memindahkan ke wadah lain. Oleh karena
itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui sejauh mana kemasan bioplastik
berbentuk fruit bag dapat digunakan untuk memperpanjang masa simpan dari
produk hortikultura (tomat dan paprika) pada penyimpanan dingin.
Rumusan Masalah
Pengemasan pangan bertujuan untuk tetap menjaga kualitas dan keamanan
pangan yang terdapat pada produk tersebut hingga ke tangan konsumen. Selain
itu, fungsi kemasan adalah melindungi produk dari kerusakan fisik, kimia ataupun
biologis. Dalam beberapa puluh tahun terakhir, bahan kemasan yang populer
digunakan untuk mengemas berbagai barang termasuk makanan adalah plastik.
Plastik tidak hanya serbaguna, murah dan juga fleksibel dalam penggunaannya,
akan tetapi salah satu keterbatasan dengan kemasan plastik yang pada akhirnya
untuk dibuang adalah kemasan plastik ini sangat sedikit didaur ulang. Kehadiran
bahan kemasan jenis ini di tempat pembuangan sampah menjadikan masalah
tersendiri. Faktor lainnya adalah bahan pembuatan plastik tergantung pada
produksi minyak bumi (Comstock et al. 2004).
Selain isu lingkungan diatas, kemasan pangan telah mengalami perubahan
penting selama distribusi, termasuk globalisasi persediaan pangan, kecenderungan
konsumen untuk mengkonsumsi pangan dalam keadaan masih segar dan nyaman,
serta keinginan untuk mendapatkannya dengan kualitas baik dan aman. Oleh
karena alasan tersebut, konsumen menuntut bahan kemasan yang lebih alami,
sekali pakai, berpotensi untuk terurai (biodegradable) serta dapat didaur ulang
(Lopez-Rubio et al. 2004). Untuk mengatasi permasalahan lingkungan dan
keinginan konsumen ini, beberapa tahun terakhir sudah dikembangkan berbagai
bahan kemasan yang berasal dari sumber daya terbarukan yang dengan mudah
dapat terurai yang dikenal dengan sebutan plastik biodegradable (bioplastik).
Bahan kemasan yang berasal dari sumber daya terbarukan ini dapat
digunakan untuk mengemas berbagai jenis produk, termasuk bahan pangan
3
(Comstock et al. 2004). Dengan alasan keamanan pangan, bioplastik ini juga
dapat digunakan untuk mengemas produk hortikultura yang dianggap sebagai
bahan pangan non-olahan. Produk hortikultura yang dipilih adalah tomat yang
mewakili golongan klimakterik dan paprika yang mewakili golongan nonklimakterik.
Untuk memperpanjang masa simpan produk hortikultura, biasanya
dilakukan penyimpanan pada suhu rendah. Penyimpanan pada suhu rendah
menjadi salah satu faktor utama untuk dapat mempertahankan mutu dan
memperpanjang umur simpan karena produk hortikultura setelah panen tetap
mengalami proses kehidupan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh suhu dan lama terhadap
produk hortikultura (dari golongan klimakterik yang diwakili oleh tomat dan
golongan non-klimakterik yang diwakili oleh paprika), yang dikemas dengan
menggunakan kemasan bioplastik (starch-based plastic) dibandingkan dengan
HDPE. Adapun tujuan khususnya adalah, sebagai berikut :
1) Untuk menentukan suhu dan lama penyimpanan yang sesuai dengan
karakteristik tomat dan paprika.
2) Untuk mengetahui pengaruh kemasan bioplastik terhadap masa simpan produk
hortikultura pada penyimpanan dingin.
3) Menganalisis hubungan suhu dan lama penyimpanan terhadap karakteristik
tomat dan paprika.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan penggunaan bioplastik
sebagai bahan pengemasan produk hortikultura lainnya.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup yang menjadi batasan pada penelitian ini adalah:
a. Kemasan yang digunakan pada penelitian ini adalah yang berbentuk fruit bag
dari jenis bioplastik berbahan dasar pati tapioka dengan merek ecoplast.
Sebagai pembanding juga digunakan kemasan plastik komersial dengan jenis
HDPE polos tanpa perforasi.
b. Produk hortikultura yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari golongan
klimakterik yang diwakili oleh tomat dan golongan non-klimakterik yang
diwakili paprika.
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Produk Hortikultura
Produk hortikultura terbagi atas tiga golongan yaitu buah-buahan, sayuran,
dan bunga hias yang dapat disimpan dalam jangka waktu lama jika diketahui
faktor yang berpengaruh dalam memperpanjang umur simpannya seperti
kandungan air dan suhu penyimpanan (Siswadi 2007). Tahapan perkembangan
buah dimulai dari tahap pertumbuhan (growth), pematangan (maturation), matang
fisiologis (physiological maturity), pemasakan (ripening), dan pelayuan
(senescence). Pertumbuhan adalah tahap pembelahan sel-sel sampai mencapai
tahap ukuran sel maksimal (mature), selanjutnya tahap pemasakan (ripening)
adalah tahap perubahan buah dari fase matang menjadi buah yang siap dimakan,
sedangkan senescence adalah tahap kemunduran yang menuju ke arah penuaan
buah sampai terjadinya kematian jaringan (Kays 1991).
Proses metabolisme yang terpenting adalah respirasi, yaitu proses
pemecahan oksidatif substrat makromolekul seperti karbohidrat, protein dan
lemak menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana (air, CO2, dan energi).
Akibat proses respirasi terjadi perubahan kandungan kimia dan fisik yaitu
perubahan warna, tekstur, penyusutan bobot, penurunan dan kandungan bahan
terlarut dan keasaman. Selanjutnya perubahan tersebut dapat mengakibatkan
kenampakan produk hortikultura menjadi kurang menarik dan penurunan kualitas
secara keseluruhan. Proses metabolisme lainnya adalah transpirasi yaitu
penguapan air dari permukaan produk hortikultura yang menyebabkan kekeringan
dan kelayuan (Winarno 2002). Reaksi kimia sederhana untuk respirasi adalah
sebagai berikut : C6H12O6 + 6 O2 → 6 CO2 + 6 H2O + 675 kal
Menurut Winarno (2002) proses respirasi dapat diukur melalui beberapa
senyawa penting yaitu glukosa, ATP, CO2 dan O2. Perubahan kandungan gula
dalam bahan dapat digunakan untuk mengukur atau mengetahui keaktifan
respirasi, akan tetapi secara praktis sukar dilakukan karena gula yang terdapat
dalam bahan jumlahnya tidak tetap. Kandungan ATP yang dihasilkan selama
proses metabolisme dapat diukur dengan menggunakan spektrofotometer.
Pengukuran kandungan CO2 lebih mudah dilakukan karena jumlah produksi CO2
relatif cukup besar.
Proses respirasi dapat dibedakan dalam tiga tingkat, yaitu (1) Pemecahan
polisakarida menjadi gula sederhana, (2) Oksidasi gula menjadi asam piruvat, dan
(3) Transformasi asam piruvat dan asam-asam organik lainnya menjadi CO2, air
dan energi (Syarief dan Hariyadi 1993). Laju respirasi merupakan petunjuk yang
baik untuk menentukan daya simpan produk hortikultura setelah panen dimana
laju respirasi yang tinggi biasanya disertai dengan umur simpan yang pendek.
Berbagai produk mempunyai laju respirasi berbeda, umumnya tergantung
pada 2 faktor, yaitu faktor dalam seperti tingkat perkembangan, susunan kimiawi
jaringan, besar-kecilnya komoditas dan ada tidaknya kulit penutup
alamiah/pelapis alami serta tipe/jenis dari jaringan. Laju respirasi selain
dipengaruhi oleh faktor dari dalam juga sangat dipengaruhi oleh faktor luar
produk tersebut dimana kedua faktor tesebut saling berinteraksi apakah saling
mendukung atau sebaliknya. Faktor-faktor dari luar tersebut adalah meliputi:
5
suhu, konsentrasi O2 dan CO2, zat pengatur pertumbuhan (etilen) dan kerusakan
pada produk (Apandi,1984).
Menurut Kartasapoetra (1994) aktivitas respirasi adalah penyebab utama
terjadinya kemasakan dan menjadi tuanya hasil tanaman karena aktivitas ini masih
terjadi pada saat menjelang panen dan setelah panen. Respirasi yang terjadi ini
dapat menghasilkan panas yang berbahaya yang dapat meningkatkan suhu selama
penyimpanan sehingga mempercepat proses metabolisme yang mengakibatkan
umur simpan hasil tanaman menjadi lebih singkat.
Ditinjau dari pola respirasinya, produk hortikultura dapat dibedakan menjadi
dua yaitu klimakterik dan non-klimakterik (Winarno 2002). Pada produk
hortikultura yang termasuk golongan klimakterik ditandai dengan adanya proses
yang cepat pada fase pemasakan dan mengalami peningkatan konsumsi O2 dan
produksi CO2 yang tinggi. Sebaliknya, pada produk hortikultura golongan nonklimakterik tidak terlihat nyata perubahan yang terjadi pada fase pemasakan
karena proses respirasi pada produk berjalan lambat.
Adanya sejumlah besar enzim yang aktif pada buah setelah panen
menyebabkan terjadinya beberapa perubahan seperti warna dan komposisi dinding
sel sehingga menjadikan tekstur buah lunak. Selain itu, adanya reaksi-reaksi kimia
yang menyebabkan perubahan rasa, bau, tekstur, dan nutrisi yang terkandung
didalamnya (Winarno 2002).
Utama (2001) mengatakan semakin tinggi laju respirasi maka semakin cepat
pula perombakan-perombakan tersebut yang mengarah pada kemunduran dari
produk tersebut. Air yang dihasilkan ditranspirasikan dan jika tidak dikendalikan
produk akan cepat menjadi layu, sehingga laju respirasi sering digunakan sebagai
indeks yang baik untuk menentukan masa simpan pascapanen produk segar. Laju
respirasi menentukan potensi pasar dan masa simpan yang berkaitan erat dengan;
kehilangan air, kehilangan kenampakan yang baik, kehilangan nilai nutrisi dan
berkurangnya nilai cita rasa. Masa simpan produk segar dapat diperpanjang
dengan menempatkannya dalam lingkungan yang dapat memperlambat laju
respirasi dan transpirasi melalui penurunan suhu produk, mengurangi ketersediaan
O2 atau meningkatkan konsentrasi CO2, dan menjaga kelembaban nisbi yang
mencukupi dari udara sekitar produk tersebut.
Penanganan Pascapanen Produk Hortikultura
Tiga tujuan utama untuk menerapkan teknologi pascapanen produk
hortikultura adalah : (1) Menjaga mutu (kenampakan, tekstur, citarasa dan nilai
nutrisi); (2) Untuk melindungi keamanan pangannya, dan (3) Untuk mengurangi
susut dari saat panen sampai produk tersebut dikonsumsi. Penyebab utama susut
pascapanen di negara-negara sedang berkembang adalah penanganan yang kasar,
sulitnya mempertahankan suhu optimal selama penyimpanan, tidak dilakukan
pemisahan (sortasi) sebelum produk disimpan dan penggunaan bahan kemasan
yang tidak sesuai dengan produk yang dikemas. Selain dapat mengurangi susut,
tahapan pascapanen tersebut juga dapat mempertahankan mutu produk serta
memperpanjang masa simpan (Kitinoja dan Kader 2003).
Tujuan utama penanganan pascapanen adalah memperkecil kehilangan dan
kerusakan produk panen dimana besarnya kehilangan pascapanen sangat
bervariasi menurut komoditi dan tempat penghasil, seperti di negara berkembang
diperkirakan sekitar 20-50% terjadi kehilangan pascapanen, sedangkan di negara
maju sekitar 5-25%. Perbedaan jumlah kehilangan tersebut disebabkan karena
negara maju telah menggunakan teknologi pascapanen yang memadai. Sebaliknya
di negara berkembang seperti Indonesia, penelitian pascapanen belum banyak
diterapkan. Diharapkan keberhasilan penanganan pascapanen tidak hanya
dirasakan oleh produsen, karena dapat memperkecil kehilangan panen, tetapi juga
bisa dirasakan oleh konsumen karena dapat memperoleh komoditi dengan mutu
yang baik (Rahardi et al. 2004).
Penanganan pascapanen harus dilakukan secara hati-hati untuk memperoleh
buah-buahan yang segar dan mempunyai mutu yang tinggi. Penanganan secara
kasar dapat mempengaruhi mutu produk baik secara morfologis (panjang,
diameter, volume, dan bobot), mekanis (ketahanan produk terhadap benturan dan
goresan) dan fisiologis. Dalam tahapan penanganan pascapanen ada beberapa
perlakuan yang mesti dilakukan yang bertujuan untuk memberikan penampilan
yang baik dan kemudahan-kemudahan untuk konsumen, memberikan
perlindungan produk dari kerusakan dan memperpanjang masa simpan. Sukses
penanganan pascapanen memerlukan koordinasi dan integrasi yang hati-hati dari
seluruh tahapan dari operasi pemanenan sampai ke tingkat konsumen untuk
mempertahankan mutu produk (Utama 2001).
Panen
Panen dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan memisahkan bagian
produk hortikultura dengan tempat hidupnya dimana jaringan produk hortikultura
tersebut tetap hidup setelah panen dan akan mengalami senescence secara alami
serta akan membusuk apabila produk tersebut tidak dikonsumsi atau diolah.
Semua produk hortikultura melakukan respirasi yang memberi perubahan
terhadap kualitas produk dan lamanya masa simpan. Faktor–faktor yang
memperlambat laju respirasi dapat juga memperlambat senescence dan dapat
menjaga kualitas produk, akan tetapi pada keadaan tertentu respirasi harus tetap
terjadi (Aked 2002).
Produk hortikultura dipanen sesuai dengan keperluan akhir produk tersebut
dimana pemanenan dilakukan berdasarkan standar kematangan yang telah
ditentukan. Pemanenan pada saat kematangan optimum menghasilkan mutu
produk terbaik, sedangkan produk yang dipanen terlalu awal akan kehilangan
citarasa khasnya dan mungkin tidak mengalami proses pematangan secara baik,
sementara produk yang dipanen melewati masanya bisa menjadi berserat atau
lewat masak (Kitinoja dan Kader 2003).
Beberapa produk hortikultura tertentu yang termasuk ke dalam golongan
klimakterik dapat dipanen sebelum matang (unripe) dan akan mengalami
pematangan buatan pada tahap selanjutnya. Selama pematangan, respirasi produk
akan meningkat tajam pada periode waktu yang singkat. Tanpa pengawasan suhu,
produk akan cepat mengalami pematangan dan senescence yang mengakibatkan
kerusakan jaringan internal (Aked 2002).
Sortasi dan Grading (Pengkelasan Mutu)
Sortasi biasanya dilakukan untuk memisahkan produk luka, busuk atau
cacat sebelum pendinginan atau penanganan tambahan dilakukan. Sortasi akan
menghemat tenaga dimana bahan-bahan yang rusak tidak akan ikut pada tahapan
7
penanganan berikutnya. Memisahkan bahan-bahan busuk akan membatasi
penyebaran infeksi pada unit-unit produk lainnya, khususnya bila pestisida
pascapanen tidak digunakan (Kitinoja dan Kader 2003).
Produk hortikultura merupakan kelompok produk yang non–homogenous
dimana bervariasi antar grup, antar individu dalam kelompok dan antar daerah
produksi. Grading memberikan manfaat karena : (1) Ukurannya seragam untuk
dijual, (2) Tingkat kematangan seragam, (3) Didapatkan buah yang tidak lecet
atau tidak rusak, (4) Tercapai keuntungan yang lebih baik karena keseragaman
produk, dan (5) Menghemat biaya dalam transpor dan pemasarannya karena
bahan-bahan rusak sudah disisihkan (Utama 2001).
Grading merupakan tindakan pilihan akan tetapi memberikan manfaat
dimana dengan ukuran tingkatan tertentu produk dapat dijual dengan harga yang
lebih tinggi. Kebanyakan packaging house melakukan penanganan ini. Grading
dapat dilakukan secara subjektif (secara visual) atau dengan menggunakan alat
pengukur standar. Banyak produk hortikultura yang telah memiliki standar
grading tertentu sehingga memudahkan tahapan penanganan pascapanen
selanjutnya (Kitinoja dan Kader 2003). Tahapan proses penanganan pascapanen
sortasi biasanya dilakukan bersama-sama dengan grading sebelum ke tahapan
penanganan pascapanen selanjutnya.
Pengemasan
Pengemasan atau disebut juga pembungkusan, pewadahan atau pengepakan
berperan dalam memperpanjang umur simpan bahan hasil pertanian. Adanya
wadah atau pembungkusan dapat membantu mencegah atau mengurangi
kerusakan, melindungi bahan pangan yang ada didalamnya, melindungi dari
bahaya pencemaran serta gangguan fisik seperti gesekan, benturan, dan getaran.
Selain itu, pengemasan berfungsi untuk menempatkan suatu hasil pengolahan atau
produk agar mempunyai bentuk-bentuk yang memudahkan dalam penyimpanan,
pengangkutan dan distribusi (Syarief et al. 1989).
Pengemasan dapat mengurangi kehilangan air (pengurangan berat) dan
dengan demikian dapat mencegah terjadinya dehidrasi, terutama bila yang
digunakan merupakan bahan yang bersifat barrier bagi gas dan uap air (Pantastico
et al. 1989). Hal ini merupakan keuntungan utama dari pengemasan yang dapat
pula memperpanjang umur simpan komoditas yang bersangkutan. Kehilangan air
pada saat penyimpanan yang disusul dengan meningkatnya susut bobot sehingga
komoditas menjadi keriput dan kering merupakan sebab dari hilangnya kesegaran
produk.
Penyimpanan
Penyimpanan adalah salah satu tahap penting dalam rantai penanganan
pasacapanen produk hortikultura dimana pada kondisi penyimpanan yang tepat
dapat mempertahankan kondisi segar produk hortikultura dan memperpanjang
masa simpannya sehingga dapat menjaga ketersediaanya. Tujuan utama
penyimpanan adalah pengendalian laju transpirasi, respirasi, infeksi penyakit, dan
mempertahankan produk dalam bentuk yang paling berguna bagi konsumen
(Pantastico et al. 1989).
Hingga saat ini pendinginan merupakan satu-satunya cara yang ekonomis
untuk penyimpanan jangka panjang bagi buah-buahan segar. Cara-cara lain untuk
mengendalikan pematangan dan kerusakan, paling banyak hanya merupakan
pelengkap bagi suhu yang rendah. Pendinginan merupakan proses menurunkan
dan mempertahankan suhu suatu bahan di bawah suhu lingkungan dan diatas titik
beku bahan tersebut. Suhu pendinginan merupakan faktor yang penting karena
berhubungan dengan kerusakan bahan pangan akibat mikroba, perubahan fisik
akibat pendinginan dan mempengaruhi kelembaban udara dalam ruang pendingin.
Penyimpanan dengan atmosfir termodifikasi adalah penyimpanan dengan
lingkungan udara yang mempunyai komposisi gas yang berbeda dengan udara
normal. Menurut Syarief dan Hariyadi (1993) ada dua cara penyimpanan atmosfir
termodifikasi, yaitu aktif dan pasif. Dalam modifikasi atmosfir aktif udara di
dalam kemasan pada awalnya dikontrol dengan cara menarik semua udara di
dalam kemasan untuk kemudian diisi kembali dengan udara yang konsentrasinya
telah diatur dengan menggunakan alat sehingga kesetimbangan langsung tercapai.
Pada modifikasi atmosfir pasif, kesetimbangan antara CO2 dan O2 didapat melalui
pertukaran udara di dalam kemasan melalui film kemasan. Dalam hal ini
kesetimbangan yang diinginkan hanya mengandalkan permeabilitas dari kemasan
yang digunakan. Dalam penyimpanan modifikasi atmosfir, permeabilitas kemasan
memegang peranan penting karena pertukaran gas terjadi lewar kemasan yang
digunakan.
Teknik penyimpanan atmosfir termodifikasi yang dikombinasikan dengan
penyimpanan suhu rendah akan memperpanjang umur simpan produk dan baik
untuk produk selama penyimpanan. Suhu, kelembaban udara dan komposisi
atmosfir penyimpanan merupakan faktor yang dapat diatur untuk menurunkan laju
respirasi dan meminimalkan kerusakan (Pantastico et al. 1989).
Morfologi dan Fisiologi Pascapanen Tomat
Tomat (Solanum lycopersicum syn. Lycopersicum esculentum) berasal dari
famili Solanaceae, tumbuhan asli Amerika Tengah dan Selatan, dari Meksiko
sampai Peru. Tomat merupakan tumbuhan siklus hidup singkat, dapat tumbuh
setinggi 1-3 m. Terdapat ratusan varietas tomat yang dibudidayakan dan
diperdagangkan. Pengelompokan hampir selalu didasarkan pada penampilan atau
kegunaan buahnya. Kualitas kesegaran tomat dapat dilihat dari berbagai atribut
seperti penampakan, kekerasan, citarasa dan kandungan gizi (Tugiyono 1993).
Adapun kandungan gizi untuk setiap 100 g tomat dapat dilihat pada Tabel 1.
Tomat merupakan produk hortikultura golongan klimakterik. Panen buah
tomat dilakukan pada umur 90–100 HST dengan ciri kulit buah berubah dari hijau
menjadi kekuning-kuningan, bagian tepi daun tua mengering, batang menguning.
Panen dilakukan pada pagi atau sore hari pada saat cuaca cerah. Interval
pemetikan 2-3 hari sekali. Supaya tahan lama, tidak cepat busuk dan tidak mudah
memar, buah tomat dipanen setengah matang (Jones 1999).
Buah tomat sangat bervariasi dalam ukuran, bentuk, warna, kekerasan, rasa
dan kandungan bahan padatnya. Semua komponen tersebut berpengaruh terhadap
mutu buah tomat. Umur petik tergantung varietas tomat yang ditanam dan kondisi
tanaman. Umumnya buah tomat dapat dipanen pertama pada waktu berumur 2
atau 3 bulan setelah tanam. Setelah dipanen, pemasakan masih tetap berlangsung
dan tomat dapat menjadi sangat cepat masak. Hal ini dapat mengakibatkan
penurunan kualitas dan umur simpan terbatas. Panen tomat dilakukan sesuai
dengan tujuan pemasarannya sehingga perlu diperhitungkan lama perjalanan
9
sampai di tujuan. Sebaiknya tomat berada di pasaran pada saat masak penuh,
tetapi tidak terlalu masak atau busuk. Pada saat masak penuh itulah tomat
memperlihatkan penampilannya yang terbaik. Jika tujuan pemasaran adalah pasar
lokal yang jaraknya tidak begitu jauh, dapat ditempuh dalam beberapa jam, panen
sebaiknya dilakukan sewaktu buah masih berwarna kekuning-kuningan. Untuk
pemasaran ke tempat yang jauh atau untuk di ekspor, buah sebaiknya dipetik
sewaktu masih berwarna hijau, tetapi sudah tua benar atau 8-10 hari sebelum
menjadi masak (berwarna merah) (Esquinas dan Alcazar 1981).
Tabel 1 Kandungan gizi untuk setiap 100 g tomat muda
Kandungan Gizi
Nilai Satuan
Air
93 g
Energi
23 kcal
Protein
1.20 g
Total lipid (fat)
0.2 g
Karbohidrat
5.10 g
Total gula
4g
Fiber
1.1 g
Vitamin A
642 IU
Vitamin C
23.4 mg
Vitamin E
0.38 mg
Vitamin K
10.1 μg
Sumber : USDA National Nutrients Data Base (2012)
Selain umur petik, perubahan warna pada tomat juga bisa dijadikan
indikator. Warna merupakan salah satu indikator kematangan tomat yang mudah
untuk diamati, beberapa skala nilai subyektif dan grafik warna telah
dikembangkan untuk mengklasifikasikan tahap kematangan tomat seperti pada
Tabel 2.
Nunes (2008) mengatakan suhu optimum untuk penyimpanan dingin
tergantung pada tingkat kematangan tomat pada saat panen. Tomat kelompok
immature green dan mature green lebih sensitif terhadap suhu dingin daripada
tomat kelompok pink atau light-red. Tomat kelompok pink atau light-red jika
disimpan lebih dari 2 minggu dibawah 10 oC atau lebih lama dari 6-8 hari pada
suhu 5 oC akan mengalami chilling injury. Chilling injury merupakan indikasi
kegagalan untuk mematangkan dan perubahan warna dan citarasa yang tidak
diharapkan, pelunakan terlalu cepat, pitting pada permukaan, biji berwarna coklat
dan meningkatnya bagian yang busuk. Pada tomat kelompok immature green dan
mature green dapat disimpan sampai 14 hari pada suhu 12.5-15 oC tanpa
mengalami permasalahan utama seperti penurunan citarasa dan perubahan warna.
Jones (1999) mengatakan tomat pada tahap perkembangan breaker
merupakan tahap yang paling sering dipanen kepentingan ekspor, sedangkan
tomat untuk pasar lokal biasanya dipanen pada tingkat light–red atau red. Buah
yang dipetik pada tahap mature green akan memiliki masa simpan yang lebih
lama akan tetapi mengalami perubahan pembentukan warna dan rasa yang tidak
diinginkan.
Tabel 2 Klasifikasi tahapan kematangan tomat
Tingkatan Warna
Klasifikasi
Deskripsi
Mature green
Seluruhnya berwarna hijau dan telah matang
Breaker
Mulai ada perubahan warna (merah muda,
merah atau hijau kekuningan) tetapi tidak
lebih dari 10%
Turning
Lebih dari 10% tetapi tidak lebih dari 30%
berwarna merah muda, merah atau jingga.
Pink
Lebih dari 30% tetapi tidak lebih dari 60%
berwarna merah muda atau merah
Light – red
Lebih dari 60% tetapi tidak lebih dari 90%
berwarna merah
Red
Lebih dari 90 % berwarna merah; tingkat
kematangan yang diharapkan
Sumber : USDA (1986) di dalam Batu (2003)
Demikian pula untuk menjamin masa simpan yang normal selama distribusi,
tomat kelompok light-red harus disimpan tidak lebih lama dari 10 hari pada suhu
10-12.5 oC. Penyimpanan pada suhu 10-13 oC direkomendasikan untuk tomat
kelompok pink dan tomat kelompok light-red (Nunes 2008). Menurut Sargent dan
Moretti (2004), suhu penyimpanan dingin yang sesuai untuk tomat tanpa
mengalami penurunan kualitas citarasa dan aroma adalah 7-10 oC selama 3-5 hari.
Jones (1999) merekomendasikan penyimpanan untuk tomat firm ripe pada suhu
7.8-10 oC selama 1-3 minggu dan untuk tomat mature green pada suhu 12.8-21 oC
selama 4-7 minggu.
Morfologi dan Fisiologi Pascapanen Paprika
Tanaman paprika diduga berasal dari Mexico dan daerah sekitar Amerika
Tengah. Kata “paprika” adalah istilah Hongaria yang semula dipakai bagi cabai
merah yang pedas Capsicum annum, di Amerika paprika disebut bell pepper.
Rasa dan aroma paprika tidak seperti tanaman cabai pada umumnya. Baunya
pedas menusuk, tetapi rasa pedasnya tidak ada sama sekali, melainkan rasa manis
sedikit. Itulah sebabnya di negara-negara Barat paprika dikenal dengan sebutan
cabai manis atau sweet pepper (Prihmantoro dan Yovita 2000).
Paprika dapat dipanen setelah berumur 60-90 hari setelah tanam, yaitu pada
saat telah mencapai ukuran penuh tetapi masih berwarna hijau atau sudah matang
berwarna (merah atau kuning). Paprika hijau diperoleh dari paprika yang masih
muda. Setelah matang paprika akan berubah menjadi merah atau kuning sesuai
dengan jenisnya, sedangkan paprika ungu sejak kecil buahnya memang berwarna
ungu kehitaman. Kriteria panen paprika untuk dijual segar adalah masih hijau,
bentuknya baik, berlapis lilin, tegar dan mengkilap (Pantastico et al. 1989).
Kandungan gizi untuk setiap 100 g paprika dapat dilihat pada Tabel 3.
11
Tabel 3 Kandungan gizi untuk setiap 100 g paprika hijau
Kandungan Gizi
Nilai Satuan
Air
93.89 g
Energi
20 kcal
Protein
0.86 g
Total lipid (fat)
0.17 g
Karbohidrat
4.64 g
Total gula
2.40 g
Fiber
1.7 g
Vitamin A
370 IU
Vitamin C
127.7 mg
Vitamin E
0.37 mg
Vitamin K
7.4 μg
Sumber : USDA National Nutrients Data Base (2012)
Panen paprika biasanya dilakukan per periode tanam, berdasarkan
kematangan buah, atau sesuai dengan harga dan permintaan di pasaran. Pemetikan
paprika dilakukan beserta tangkai buah dengan menggunakan gunting atau pisau
tajam. Hal tersebut dilakukan agar tangkai buah tidak terlepas dari buah atau
tertinggal di cabang tanaman karena buah akan mudah terserang patogen. Kriteria
buah matang yang dipanen dibagi menjadi dua golongan yaitu panen buah matang
hijau dan panen buah berwarna (merah, kuning, putih atau krem, dan ungu).
Penggolongan ini disesuaikan dengan permintaan pasar dan harga di pasaran.
Kriteria buah yang matang hijau yaitu warna buah hijau mengkilap, daging buah
keras dan tebal, buah mudah dilepaskan dari tangkai, sehat dan tidak cacat, serta
bebas dari hama dan penyakit (Prihmantoro dan Yovita 2000).
Gambar 1 Indeks kematangan pada paprika (FAO 2002)
Kekerasan dan ketebalan buah dapat diketahui dengan cara memijit dan
mengetuknya. Buah yang siap panen berbunyi nyaring bila diketuk dan tidak
berubah bentuk bila ditekan atau dipijit. Kriteria paprika matang berwarna adalah
warna buah sudah merata (seragam), daging buah tebal, sehat dan tidak cacat,
serta bebas dari hama dan penyakit. Setelah dipanen, apabila akan dilakukan
penyimpanan maka paprika dapat ditempatkan pada ruangan berpendingin
bersuhu 7-10 oC atau cara hipobarik (penyimpanan dengan mengatur suhu dan
tekanan udara). Dengan sistem hipobarik tekanan udara diatur cukup rendah
dengan tujuan untuk menghambat gas etilen (gas yang mempercepat kematangan).
Suhu penyimpanan dengan metode ini biasanya 7,2–10 oC dengan tekanan 80
mmHg (Prihmantoro dan Yovita 2000).
Gonzalez-Aguilar (2004) mengatakan penyimpanan paprika segar pada suhu
o
7.5 C dengan RH 90-95% direkomendasikan untuk memperpanjang masa simpan
(3-5 minggu), selain itu juga dapat mencegah terjadinya kehilangan air yang
menyebabkan paprika mengkerut. Dan apabila paprika disimpan pada suhu dan
RH lebih tinggi atau lebih rendah, kemungkinan akan terjadi kehilangan air
dengan cepat sehingga menjadikan paprika menjadi lembek, layu atau kering.
Oleh karena ada beberapa varietas tertentu dapat mengalami chilling injury pada
suhu 7 oC sehingga paprika jenis tersebut harus disimpan pada suhu 7-13 oC.
Akan tetapi apabila suhu penyimpanan diatas 13 oC, paprika dapat mengalami
senescence dan kerusakan (busuk). Paprika juga dapat disimpan pada suhu 5 oC
selama 2 minggu, walaupun suhu penyimpanan yang rendah dapat mengakibatkan
kehilangan air akan tetapi gejala chilling injury baru terjadi setelah 2 minggu.
Gejala chilling injury dapat terjadi setelah penyimpanan selama beberapa hari
pada 0 oC dan beberapa minggu pada penyimpanan suhu 5 oC. Paprika masak atau
yang berwarna memiliki sifat kurang peka terhadap chilling injury daripada
paprika hijau. Menurut Ryall dan Werner (1983), penyimpanan paprika sampai
terjadinya chilling injury pada suhu 0 oC selama 2-4 hari, pada suhu 1 oC selama 7
hari, pada 5 oC selama 9 hari dan pada suhu 6-7 oC selama 14-15 hari.
Plastik Biodegradabel (Bioplastik)
Bioplastik adalah plastik yang berbahan dasar dari bahan yang dapat
diperbaharui yang dapat digunakan untuk menggantikan plastik sintetis yang
berasal dari minyak bumi yang memiliki sifat tidak dapat didegradasi oleh
mikroorganisme di alam yang selama ini umum digunakan oleh masyarakat
(Griffin 1994). Bioplastik merupakan plastik yang dapat digunakan layaknya
plastik konvensional, namun akan hancur terurai oleh aktivitas mikroorganisme
menjadi hasil akhir air dan gas karbondioksida setelah habis terpakai dan dibuang
ke lingkungan. Karena sifatnya yang dapat kembali ke alam, bahan pembuatan
plastik biodegradable ini bersifat ramah terhadap lingkungan (Pranamuda 2001).
Bioplastik merupakan jenis plastik atau polimer yang dibuat dari bahanbahan biotik seperti jagung, singkong ataupun mikrobiota yang berbeda dengan
plastik konvensional yang sering kita gunakan yang umumnya dibuat dari minyak
bumi dan gas alam. Bioplastik lebih ramah lingkungan karena dibuat dari bahanbahan organik dan dapat didegradasi oleh mikroorganisme pengurai. Salah satu
bagian dari proses pembuatan bioplastik adalah modifikasi genetik yang
melibatkan mikroorganisme. Proses modifikasi ini dianggap kunci masa depan
agar proses pembuatan bioplastik lebih murah dan lebih sedikit mengkonsumsi
bahan bakar minyak (Abbott et al. 2008).
Secara umum, terdapat tiga teknik yang berbeda dalam memproduksi
kemasan biodegradable dengan menggunakan bahan baku hasil pertanian.
Generasi pertama dari pembuatan kemasan biodegradable adalah dengan
mencampurkan poliolefin ke dalam pati untuk memperbaiki sifat-sifat mekanik
dan sifat barrier terhadap uap air dari kemasan berbahan baku pati. Plastik ini
13
belum seluruhnya terdegradasi di tanah. Generasi kedua kemasan biodegradable
dibuat dengan mencampurkan polimer sintetik dengan polimer alami seperti pati.
Komposisi campurannya adalah pati tergelatinisasi (40-75%), polimer sintetik
yang bersifat hidrofobik, dan hidrofilik ko-polimer. Pengembangan yang terakhir
adalah generasi bioplastik (generasi ketiga). Istilah bioplastik ditujukan untuk
bahan kemasan yang berasal dari polimer yang 100% biodegradable dan sudah
diuji biodegradabilitasnya berdasarkan standar yang berlaku atau dari biopolimer
(produk hasil pertanian). Oleh karena itu, istilah bioplastik tidak mencakup
kemasan biodegradable generasi pertama dan kedua (Gontard dan Guilbert 1992).
Menurut Liu (2006), bioplastik adalah istilah yang digunakan untuk bahan
kemasan yang berasal dari sumber daya terbarukan, dan yang dianggap aman
untuk digunakan dalam aplikasi pangan. Secara umum, dibandingkan dengan
plastik konvensional yang berasal dari minyak bumi, bioplastik berbasis polimer
memiliki lebih beragam stereokimia dan bentuk rantai samping yang
memungkinkan para peneliti memiliki lebih banyak kesempatan untuk
menyesuaikan sifat-sifat bahan kemasan akhir. Tantangan utama yang dihadapi
industri pangan dalam memproduksi kemasan bioplastik, saat ini, adalah dengan
mencocokkan daya tahan kemasan dengan masa simpan produk. Comstock et al.
(2004) mengatakan bahan kemasan yang berasal dari sumber daya terbarukan ini
dapat digunakan untuk mengemas berbagai jenis produk. Bahan kemasan ini juga
dapat digunakan untuk mengemas pangan.
Aplikasi plastik biodegradable biasanya dapat digunakan untuk mengemas
berbagai produk yang memiliki umur simpan yang pendek seperti pembungkus
roti yang dapat bertahan selama beberapa bulan atau untuk tas belanja yang dapat
bertahan selama kurang lebih 5 tahun. Plastik ini dapat dengan mudah terurai pada
berbagai kondisi, baik dingin dan basah ataupun panas dan kering (Scott 2009).
Penyimpanan Dingin
Penyimpanan dingin merupakan proses pengawetan bahan pangan dengan
cara pendinginan pada suhu di atas suhu pembekuannya. Penyimpanan di bawah
suhu 15 oC dan di atas titik beku bahan, tergantung pada masing-masing produk
yang disimpan dikenal sebagai penyimpanan dingin. Pendinginan menuntut
adanya pengendalian terhadap kondisi lingkungan, seperti suhu yang rendah,
komposisi udara, kelembaban dan sirkulasi udara (Kader 1992).
Menurut Muchtadi (1992) penyimpanan pada suhu rendah diperlukan untuk
komoditas sayuran yang mudah rusak, karena cara ini dapat mengurangi kegiatan
laju respirasi dan metabolisme; mengurangi laju penuaan akibat adanya
pematangan, pelunakan serta tekstur dan warna; dan mengurangi kerusakan
karena ak