Analisis Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat Investasi di Kota Sibolga

(1)

Karya Tulis

ANALI SI S FAKTOR- FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT I NVESTASI DI KOTA SI BOLGA

Murbanto Sinaga

DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI

UNI VERSI TAS SUMATERA UTARA 2002


(2)

D AFTAR I SI

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II PEMAPARAN HASIL PENELITIAN ... 10

II.A. Gambaran Kelembagaan ... 10

II.A.1. Kepastian Hukum ... 10

II.A.2. Aparatur dan Pelayanan oleh Pemda ... 13

II.A.3. Peraturan Daerah/Kebijakan Daerah ... 17

II.A.4. Keuangan Daerah ... 20

II.B. Gambaran Kondisi Sosial Politik Di Daerah ... 24

II.B.1. Kondisi Keamanan ... 24

II.B.2. Kondisi Sosial Politik Masyarakat ... 27

II.B.3. Nilai-Nilai Budaya Masyarakat ... 32

II.C. Gambaran Perekonomian Daerah ... 35

II.C.1. Potensi Ekonomi ... 35

II.C.2. Struktur Ekonomi ... 37

II.C.3. Perdagangan ... 40

II.C.4. Perbankan ... 42

II.C.5. Investasi Daerah ... 44

II.D. Gambaran Kondisi Tenaga Kerja ... 47

II.D.1. Karakteristik Penduduk ... 47

II.D.2. Ketersediaan Tenaga Kerja ... 49

II.D.3. Kualitas/Keterampilan Tenaga Kerja ... 50

II.D.4. Produktivitas Tenaga Kerja ... 51

II.E. Infrastruktur Fisik ... 52

II.E.1. Ketersediaan Infrastruktur Fisik ... 53

II.E.2. Kualitas Infrastruktur Fisik ... 57

II.E.3. Akses Terhadap Infrastruktur ... 59

BAB IIIKESIMPULAN ... .. 61


(3)

BAB I PENDAHULUAN

Letak dan geografis Kotamadya Sibolga terletak pada garis 1044’ Lintang Utara dan 98047’ Bujur Timur, yang mana wilayah keseluruhan Kotamadya Sibolga baik sebelah Utara, Timur, Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah dan sebelah Barat berbatasan dengan Teluk Tapian Nauli yang juga termasuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah.

Luas wilayah Kota Sibolga adalah 10,77 Km2 atau 1077 ha yang terdiri dari daratan Sumatera 889,16 ha dan daratan kepulauan 187,84 ha, serta daerah urban seluas 302,25 ha dan daerah non urban seluas 774,65 ha, yang berada 1 – 50 m diatas permukaan laut.

Jika menilik dari kondisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Kota Sibolga memang kota yang dikelilingi oleh daratan dan lautan. Dari pantauan di lapangan terlihat bahwa Kota Sibolga sebagai salah satu basis perdagangan komoditi ikan di Provinsi Sumatera Utara memang pantas untuk menjadi kota yang hidup dari bidang perikanan. Namun fakta yang terjadi adalah kontribusi dari perikanan untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Sibolga sangat minim sekali, malah dapat dikatakan hampir tidak ada. Justru sektor perdagangan dan jasa yang memberikan kontribusi besar ke PAD.

Kota Sibolga yang berada antara 1 – 50 meter di atas permukaan laut mempunyai iklim cukup panas dengan suhu maksimum mencapai 32,70 0C di bulan Mei 2001 dan minimum 21,20 0C pada bulan Juli 2001.


(4)

Curah hujan di Kota Sibolga cenderung tidak teratur di sepanjang tahunnya. Curah hujan tertinggi terjadi di bulan April (601,6 mm), sedangkan hari hujan terbanyak juga terjadi pada bulan yang sama (23 hari). Kecepatan angin tertinggi hingga 7,20 m/det dan terendah 4,50 m/det terjadi di sepanjang tahun 2001.

Bila dilihat luas daerah menurut kecamatan/kelurahan maka Kotamadya Sibolga dibagi menjadi 3 (tiga) kecamatan yaitu: Kecamatan Sibolga Utara yang mencakup 4 (empat) kelurahan, kemudian Kecamatan Sibolga Kota yang mencakup 4 (empat) kelurahan, dan yang terakhir Kecamatan Sibolga Selatan yang mencakup 8 (delapan) kelurahan.

Kecamatan Sibolga Selatan merupakan kecamatan terluas yang ada di Kota Sibolga yaitu 5,577 Km2 dengan rasio mencapai 51,78 %, artinya setengah dari luas wilayah Kota Sibolga berada dalam kecamatan ini. Kecamatan Sibolga Selatan ini juga mempunyai kelurahan yang terbanyak yaitu 8 Kelurahan. Disamping itu kawasan Kelurahan Aek Habil adalah salah satu daerah yang tinggi aktivitas ekonominya, karena daerah ini berada dekat dengan lokasi tangkahan ikan yang mana di daerah inilah yang sering terjadi perdagangan ikan segar antara nelayan dengan pedagang ikan-pedagang ikan lokal.

Kecamatan Sibolga Utara merupakan daerah yang terbesar kedua yang mencakup wilayah seluas 2,883 Km2 dengan jumlah kelurahan sebanyak 4 kelurahan seperti yang telah diuraikan diatas. Dimana luas daerah ini mencapai rasio sebesar 26,77%. Kemudian yang terakhir adalah Kecamatan Sibolga Kota yang mencakup luas wilayah sebesar 2,31 km2 dengan rasio


(5)

mencapai 21,45%, daerah ini juga mencakup 4 kelurahan. Dimana dari pantauan di lapangan bahwa kelurahan Pasar Baru dan Pasar Belakang adalah daerah yang juga mempunyai aktivitas ekonomi yang tinggi, karena kedua daerah ini adalah tempat pusat perdagangan perikanan dan jasa.

Dari data komposisi pertumbuhan penduduk Kota Sibolga dari tahun 1961 – 2000 terlihat bahwa pertumbuhan yang paling pesat terjadi adalah pada periode 1971 - 1980 (satu dasawarsa) yaitu sebesar 3,92 %. Pada periode ini kelihatan bahwa jumlah pertumbuhan penduduk lebih tinggi dibandingkan periode yang lain. Malah pada periode 1990 – 2000 jumlah pertumbuhan penduduk semakin berkurang menjadi 1,41 %. Hal ini dapat dilihat dari tabel dibawah ini.

Tabel 1.

Pertumbuhan Penduduk Kota Sibolga Tahun 1961 - 2000

Periode Pertumbuhan (Persen)

0,90 1. 1961 - 1971

3,92 2. 1971 - 1980

1,84 3. 1980 - 1990

1,41 4. 1990 - 2000

Sumber : Kota Sibolga Dalam Angka 2001

Disamping data di atas dapat pula kita ketahui jumlah penduduk dan kepadatan penduduk yang diklasifikasikan berdasarkan 3 kecamatan besar pada tahun 2001. Data ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Jika dilihat dari kondisi kepadatan penduduk berdasarkan luas wilayahnya, Kecamatan Sibolga Selatan merupakan kecamatan yang mempunyai jumlah penduduk terpadat yakni sebesar 50.900 jiwa dengan


(6)

kepadatan rata-rata sebesar 9.127 jiwa per Km2. Jumlah penduduk ini masih signifikan bila dibandingkan dengan luas wilayah dan jumlah kelurahan. Selanjutnya jumlah penduduk terpadat kedua ada di Kecamatan Sibolga Utara dengan besarnya jumlah penduduk adalah 17.805 jiwa dengan rata-rata kepadatan sebesar 6.176 jiwa per Km2. Sedangkan Kecamatan Sibolga Kota mempunyai jumlah penduduk terkecil dibandingkan dengan kecamatan lain yaitu sebesar 15.327 jiwa dengan rata-rata kepadatan sebesar 6.635 jiwa per Km2. Berdasarkan data-data diatas dapat diambil kesimpulan bahwa jumlah penduduk di Kota Sibolga memang sudah memenuhi untuk menjadi kotamadya yang mandiri.

Tabel 2.

Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin

Kelompok Umur

(tahun) Laki-laki Perempuan

Laki-laki & Perempuan

0 – 4 5.453 5.288 10.741

5 – 9 5.060 4.588 9.648

10 – 14 5.153 4.783 9.936

15 – 19 5.236 5.041 10.277

20 – 24 4.201 3.890 8.091

25 – 29 3.888 3.652 7.540

30 – 34 3.166 3.115 6.281

35 – 39 2.861 2.738 5.599

40 – 44 2.413 2.317 4.730

45 – 49 1.912 1.719 3.631

50 – 54 1.220 1.177 2.397

55 – 59 843 857 1700

60 – 64 574 676 1250

65 – 69 357 521 878

70 – 74 288 435 723

75 + 195 415 610

S i b o l g a 42.820 42.212 84.032


(7)

Dari data diatas, dapat dilihat bahwa kelompok umur terbesar adalah kelompok Dewasa adalah kelompok mulai dari 20 tahun sampai 34 tahun (diolah dari data) yang terdiri dari 21.912 orang atau sekitar 26,07% dari keseluruhan jumlah penduduk Sibolga, dimana 11.255 orang diantaranya adalah laki-laki (51,36%), sedangkan 48,64% lagi adalah perempuan, atau sebesar 10.657 orang.

Kelompok terbesar kedua adalah kelompok Anak-anak (0-9 tahun), yaitu sebesar 20.239 jiwa atau sekitar 24,26% dari jumlah penduduk keseluruhan, dimana sebesar 10.513 orang adalah laki-laki dan 9.876 orang adalah perempuan. Setelah itu disusul kelompok Remaja (10-19 tahun), yaitu sebesar 20.213 orang atau sekitar 24,05% dari jumlah penduduk keseluruhan. Kelompok selanjutnya adalah kelompok Orangtua (35-54 tahun), yaitu sebesar 16.357 orang atau sekitar 19,46% dari jumlah penduduk keseluruhan, dimana laki-laki berjumlah 8.406 orang dan perempuan 7.951 orang. Kelompok terakhir adalah kelompok Manula (55-59 tahun) dimana jumlahnya adalah 5.161 orang atau sekitar 6,16% dari jumlah penduduk keseluruhan, dimana laki-laki berjumlah 2.257 orang dan perempuan berjumlah 2.904 orang.

Kota Sibolga juga merupakan daerah yang heterogen komposisi penduduknya yang dilihat menurut agama, dimana terlihat bahwa jumlah penduduk yang menganut ajaran agama Islam, yaitu berjumlah 49.763 orang atau sekitar 58,46% dari seluruh jumlah penduduk. Berikutnya untuk agama Katholik, berjumlah 4.259 orang atau hanya sekitar 5,21%. Untuk agama Protestan, terdiri dari 26.436 orang atau sekitar 32,26%, kemudian Hindu 115 orang atau sekitar 0,14%. Sementara Budha berjumlah 3000 orang atau sekitar


(8)

3,67% dan aliran kepercayaan lainnya berjumlah 126 orang atau 0,16%. Dari keberagaman penduduk ini dapat dilihat nantinya apakah berdasarkan data hasil lapangan akan sangat sering terjadinya konflik sosial yang terjadi dimasyarakat yang akan mempengaruhi ketertarikan daerah ini bagi investor untuk menanamkan modalnya.

Gambaran lain dari Kotamadya Sibolga yang dapat dipergunakan sebagai pertimbangan untuk menarik investasi ke daerah antara lain adalah jumlah angkatan kerja yang bekerja berdasarkan tingkat pendidikan yang dimiliki daerah ini. Hal ini nantinya akan dianalisa bersama dengan data hasil lapangan untuk melihat apakah ketersediaan dan kualitas tenaga kerja yang ada di Kota Sibolga akan mendukung untuk investor dalam melakukan investasinya guna mencari dan membutuhkan tenaga kerja yang terampil dan cakap.

Tabel 3.

Persentase Penduduk 10 tahun ke atas yang Bekerja Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan

Tingkat Pendidikan Laki-laki Perempuan Laki-laki & Perempuan

1,12 1,25

1,24 Belum Pernah Sekolah

13,26 15,00

12,69 Tidak Tamat SD

25,08 29,17 23,72 Tamat SD 24,56 17,08 27,03 SLTP 24,87 25,42 24,69 SLTA Umum 6,84 6,67 6,90 SLTA Kejuruan 0,41 0,83 0,28 Diploma I/II 0,73 1,67 0,41 Diploma III 3,01 2,92 3,03 Diploma IV/S1

S i b o l g a 100,00 100,00 100,00


(9)

Tingkat pendidikan yang terbesar terdapat pada tingkat SD, yaitu sebesar 25,08%, kemudian diikuti oleh tingkat SLTA Umum yaitu sebesar 24,87%. Tingkat pendidikan terbesar ketiga adalah tingkat SLTP, yaitu sebesar 24,56%. Sedangkat pada standart pendidikan tertinggi yaitu Diploma IV/S1, hanya berkisar 3,01% saja. Dalam hal ini berarti jumlah penduduk yang bekerja masih didominasi oleh pekerja yang memiliki tingkat pendidikan terendah yaitu sekolah dasar yang secara umum dapat dikatakan bahwa mereka bekerja lebih banyak menggunakan tenaganya agar produktivitasnya dapat tinggi.

Tabel 4.

Persentase Angkatan Kerja menurut Lapangan Usaha tahun 2001 Lapangan Usaha Persentase

30,16 Pertanian

0,62 Penggalian dan Pertambangan

4,97 Industri

0,83 Listrik Gas dan Air

2,90 Bangunan

32,33 Perdagangan

12,85 Pengangkutan dan Akomodasi

1,87 Bank dan Lembaga Keuangan

13,37 Jasa

0,10 Lainnya

S i b o l g a 100,00

Sumber : Kota Sibolga Dalam Angka 2001

Dari data diatas dapat dilihat bahwa persentase terbesar angkatan kerja terdapat pada sektor Perdagangan yaitu sebesar 32,33%. Sektor terbesar kedua adalah sektor Perdagangan yaitu sebesar 30,16%. Kemudian diikuti oleh


(10)

sektor Jasa yaitu sebesar 13,37%. Dari gambaran ini dan digabung dengan data klasifikasi penduduk yang bekerja menurut tingkat pendidikan dapat dijelaskan bahwa penduduk yang bekerja sangat dimungkingkan tenaga kerja yang bekerja di sektor perdagangan dan pertanian umumnya memiliki pendidikan minimal sekolah dasar.

Kondisi lain yang dapat menjadi gambaran bagi investor baik asing maupun lokal dalam mengambil keputusan untuk melakukan investasi pada Kota Sibolga ini adalah laju tingkat pertumbuhan ekonomi yang terjadi dan kontribusi sektoral dari masing-masing sektor terhadap perekonomian daerah ini. Gambaran ini akan mendukung dalam menganalisa data-data hasil penelitian dan data sekunder untuk memberikan telaahan mengenai daya tarik investasi pada sektor-sektor mana saja yang potensial untuk dikembangkan.

Tabel 5.

Laju Pertumbuhan Ekonomi dan Kontribusi Sektoral berdasarkan harga konstan (1999 – 2000) Pertumbuhan Ekonomi Peranan Sektoral Sektor

1999 2000 1999 2000

Pertanian 4.9 % 6.45 % 32.20 % 32.70 %

Penggalian - 4.16 % 1.01 % 0.02 % 0.02 %

Industri 21.87 % 5.84 % 9.76 % 9.84 %

Listrik, Gas dan Air Minum 2.81 % 6.46 % 2.55 % 2.59 %

Bangunan 1.39 % 2.08 % 12.99 % 12.60 %

Perdagangan, Hotel & Restoran 1.55 % 3.59 % 14.71 % 14.49 % Pengangkutan dan Komunikasi 5.84 % 7.13 % 8.61 % 8.71 % Bank dan Lembagan Keuangan - 1.87% 2.24 % 9.11 % 8.85 %

Jasa 4.01 % 5.33 % 10.15 % 10.18 %

PDRB 4.94 % 5.00 % 100.00 % 100.00 %


(11)

Tingkat pertumbuhan PDRB Kota Sibolga pada tahun 1999 adalah sebesar 4,96%, sedangkan pada tahun 2000 adalah sebesar 5,00 %. Kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan PDRB tersebut berasal dari sektor pertanian yaitu sebesar 32,20% pada tahun 1999 dan 32.70 % pada tahun 2000, kemudian diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 14.71 % dan 14.49 % pada tahun 1999 dan 2000, kemudian yang ketiga sektor bangunan yaitu sebesar 12.99 % (1999) dan 12.60 % (2000). Sedangkan kontribusi terkecil berasal dari sektor penggalian, yaitu sebesar 0.02% untuk tahun 1999 dan 2000. Walaupun begitu, persentase pertumbuhan ekonomi terbesar pada tahun 2000 terjadi pada sektor pengangkutan dan komunikasi, yaitu sebesar 7,13 %, sedangkan untuk sektor pertanian hanya sebesar 6,45 %, dibawah sektor listrik, gas dan air minum yagn mencapai tingkat pertumbuhan 6,46 %. Sedangkan untuk laju pertumbuhan ekonomi dari tahun 1999 – 2000 terjadi pada sektor penggalian yang meningkat sebesar 5.07 % dan sektor bank dan lembaga keuangan meningkat sebesar 4,11 %, serta sektor listrik, gas dan air minum mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 3,65 %. Berarti walaupun sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar dari perekonomian Kota Sibolga tetapi peningkatan pertumbuhannya yang terjadi tidaklah cukup berarti dibandingkan dengan sektor penggalian serta bank dan lembaga keuangan. Dari hal ini juga dapat menunjukkan bahwa sektor penggalian, bank dan lembaga keuangan serta listrik, gas dan air minum merupakan sektor yang dapat menjadi tempat bagi investor menanamkan modalnya.


(12)

BAB II

PEMAPARAN HASIL PENELITIAN

II. A. GAMBARAN KELEMBAGAAN

Pemberlakuan otonomi daerah sangat memperngaruhi kinerja kelembagaan terutama lembaga pemerintah daerah dalam menjalankan peranannya sebagai pemberi pelayanan kepada masyarakat, baik itu pelayanan terhadap kepastian hukum, kualitas aparatur daerah, kelembagaan administrasi daerah dan aspek-aspek lainnya, yang kesemuanya apabila berjalan dengan optimal akan saling mendukung untuk meningkatkan pengembangan daerah kearah yang lebih maju. Kondisi diberlakukannya otonomi daerah ini akan sejalan bersama-sama dengan keinginan daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya agar menjadi sumber pemasukan keuangan daerah yang nantinya akan menjadi modal bagi peningkatan daerah tersebut,yang mana pada otonomi daerah ini setiap daerah akan mengelola keuangan daerahnya sendiri termasuk berkaitan dengan peningkatan investasi yang ada di daerah.

II.A.1. Kepastian Hukum

Dari hasil wawancara terhadap 11 responden yang merupakan pengusaha yang mengelola usahanya di Kota Sibolga, diperoleh penilaian terhadap kepastian hukum dimana netralitas lembaga peradilan dalam hal penanganan masalah hukum di Kota Sibolga masih dalam kategori sedang, dengan prosentase sebesar 64%. Sedangkan penilaian responden untuk


(13)

kategori tidak baik sebesar 27% dan untuk kategori baik sebesar 9%. Hal ini tercermin dari tanggapan tiap responden yang mengatakan bahwa tingkat kriminalitas di Kota Sibolga yang masih relatif rendah yang secara otomatis membuat kinerja lembaga peradilan hanya dalam batas koridor tugas dan wewenang mereka saja. Sementara untuk faktor kecapatan proses hukum responden lebih banyak memberi penilaian sedang yang mencapai 91%, karena biasanya pihak aparat penegak hukum maupun pihak lembaga peradilan melakukan koordinasi dahulu dalam menverbal suatu kasus yang menyangkut hukum. Sehingga konsistensi dalam penegakan keputusan peradilan yang berkaitan dengan dunia usaha maupun perlindungan terhadap kontrak dan hak kepemilikan masing-masing dinilai sedang oleh kebanyakan responden, walaupun penilaian baik dan tidak baik ada jua responden yang menilai demikian, namun nilai sedang tetap lebih dominan yaitu mencapai 73%.

Tabel 6.

Penilaian Responden terhadap Lembaga Peradilan dan Kepastian Hukum di daerah

Sangat Baik Baik Sedang Tidak Baik Total

INDIKATOR

F % F % F % F % F %

Netralitas Lembaga Peradilan 1 9 7 64 3 27 11 100 Kecepatan proses

penyelesaian kasus peradilan

- - 10 91 1 9 11 100 Konsistensi dalam menegakan

keputusan peradilan

1 9 8 73 2 18 11 100

Perlindungan terhadap Kontrak dan Hak Kepemilikan

3 27 8 73 - - 11 100 Penyelesaian konflik antara

masyarakat dgn pengusaha

1 9 10 91 - - 11 100

Penyelesaian konflik antara pengusaha dengan pemda

2 18 7 64 2 18 11 100 Penyelesaian konflik antara

pemda dengan masyarakat


(14)

Kemudian untuk mekanisme penyelesaian konflik antara masyarakat – pengusaha, pengusaha – pemda maupun pemda – masyarakat masing-masing indikator tersebut mendapat nilai sedang. Dimana antara masyarakat dengan pengusaha mencapai nilai 91%, selanjunya pengusaha dengan pemda mencapai nilai 64% dan terakhir antara pemda dengan masyarakat mencapai nilai 91%. Penilaian ini didasari atas fakta (kejadian) yang pernah dialami oleh pengusaha dalam penyelesaian konflik, dimana aparat tetap lebih mementingkan kaidah-kaidah hukum tanpa melihat siapa (pihak) mana yang terlibat dalam urusan tersebut. dengan kata lain tidak adanya keberpihakan aparat dalam penanganan setiap masalah (konflik) yang menyangkut hukum.

Untuk biaya tidak resmi (pungutan liar/pungli) yang dilakukan oleh peradilan, responden lebih dominan menilai tidak ada, yang mencapai 64%, sedangkan sisanya menilai sedikit, yang mencapai prosentase sebesar 36%. Namun pungli untuk dunia usaha (pelayanan oleh birokrasi) dan juga pungli yang dilakukan oleh aparat kepolisian dinilai sedikit, dengan penilaian sebesar 54% untuk kedua faktor diatas. Sedangkan kategori penilaian tinggi hanya mencapai 9% dan kategori penilai tidak ada sebesar 36%. Alasan utama yang dibuat oleh aparat kepolisian dalam melakukan pungutan liar tersebut adalah kurangnya nilai upah dan kesejahteraan yang mereka terima.


(15)

Tabel 7.

Penilaian Responden terhadap Pungutan Tidak Resmi / Liar terhadap kegiatan dunia usaha di daerah

Sangat

Tinggi Tinggi Sedikit Tidak Ada Total

INDIKATOR

F % F % F % F % F %

Biaya tidak resmi dalam proses peradilan

- - - - 4 36 7 64 11 100

Biaya tidak resmi dalam pelayanan oleh birokrasi

- - 1 9 6 54 4 36 11 100

Pungutan liar oleh oknum aparat keamanan (polisi)

- - 1 9 6 54 4 36 11 100

Pungutan liar yang

mengatasnamakan kelompok

1 9 - - 5 45 5 45 11 100

Pungutan liar oleh preman - - 1 9 2 18 8 73 11 100

Sumber : Data primer yang diolah, 2002

II.A.2. Aparatur dan Pelayanan oleh Pemda

Salah satu aspek yang harus diperhitungkan oleh investor sebelum melakukan investasi adalah ketersediaan aparat pemerintah daerah (dalam hal ini Pemerintah Kota Sibolga) dalam melaksanakan fungsi administrasi pemerintahan daerah dan juga kesiapan maupun kesigapan aparaturnya dalam penyediaan pelayanan bagi kalangan dunia usaha dan masyarakat. Selain itu aparat pemerintah juga tetap menyediakan infrastruktur serta merumuskan peraturan daerah yang terkait dengan dunia usaha dan iklim investasi. Data-data tabel 8 berikut menunjukkan persepsi responden terhadap kualitas aparat pemda.


(16)

Tabel 8.

Penilaian Responden terhadap Kualitas Aparat Pemda Sangat

Tinggi

Tidak Tahu Tinggi Sedang Kurang Total

INDIKATOR

F % F % F % F % F % F %

Kualitas Pejabat Pemda

- - - - 9 82 2 18 11 100

Kualitas Anggota DPRD

- - - - 7 64 4 36 11 100

Kualitas Petugas / Aparat Pelayanan Publik

- - - - 1 9 9 82 1 9 11 100

Penyalahgunaan wewenang / jabatan

2 18 - - 1 9 5 45 3 27 11 100

Sumber : Data primer yang diolah 2002

Adapun kategori penilaian responden terhadap kualitas aparat pemda seperti kualitas kepala daerah yang oleh sebagian besar responden menanggapi sedang dengan prosentase sebesar 82%, sedangkan yang menilai kurang sebesar 18%. Kebanyakan responden menilai sedang disebabkan faktor fungsional dari kepada daerah belum optimal dalam kaitannya dengan dunia usaha. Misalnya, Peraturan Daerah No. 5, 6 dan 7 tentang retribusi perikanan yang dibuat oleh Provinsi Sumatera Utara menjadi salah satu faktor penghambat dari Perda Kota Sibolga untuk meningkatkan PAD dari sektor pertanian. Disinilah dituntut kebijakan seorang kepada daerah dalam mengoptimalkan kinerja pemerintahannya untuk mendorong iklim usaha yang kondusif.

Dari sisi kualitas anggota DPRD juga termasuk dalam kategori sedang dengan nilai prosentase 64%, sedangkan responden yang menjawab kurang sebanyak 36%. Artinya kinerja usaha dari anggota DPRD sebagai dewan yang mewakili rakyat daerah masih jalan ditempat dan belum ada kegiatan yang


(17)

betul-betul membantu masyarakat dari dunia usaha dalam hal perumusan kebijakan yang benar-benar dapat menambah daya tarik investasi.

Aspek lain yang mempengaruhi dunia usaha adalah kecakapan aparatur dalam hal pelayanan publik, dimana 82% responden menjawab sedang, selebihnya kategori untuk penilaian tinggi dan kurang masing-masing responden menjawab sebesar 9%. Disamping itu aspek penyalahgunaan wewenang (jabatan) yang dilakukan oleh aparat pemda masih didominasi kategori penilaian sedang, yang mencapai nilai prosentase sebesar 45%, yang menilai tinggi mencapai angka 9% sedangkan untuk kategori penilaian kurang ada sebesar 27% responden yang menanggapinya, serta penilaian tidak tahu sebesar 18%. Dari data tabulasi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa penyalahgunaan wewenang bukan hanya terjadi ditingkat provinsi saja, sampai di daerah kabupaten dan kota pun hal ini tetap berlaku, walaupun masih dalam intensitas yang sedang.

Disisi lain, pelayanan yang diberikan oleh pemda melalui aparatur terkait khususnya dalam jalur birokrasi terhadap dunia usaha, misalnya pengurusan izin HO, banyak responden menilai cukup baik dengan persentase sebesar 45% sedangkan yang menilai sangat baik hanya 9%. Biasanya jalur birokrasi yang dialami oleh pengusaha tidak menjadi hambatan bagi mereka, karena menurut mereka Kota Sibolga yang kecil mudah saja dipantau oleh kepala daerah yang diwakili oleh kepala dinas yang terkait. Disamping itu juga pelayanan yang diberikan oleh aparat pemda masih berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan di daerah. Kemudian untuk kepastian waktu dalam pelayanan masih berimbang tanggapan yang diberikan oleh


(18)

responden antara penilaian cukup baik dan tidak baik, yang mana kedua kategori ini mendapat tanggapan sebesar 36%, kategori baik sebesar 18% dan kategori sangat baik hanya sebesar 9%. Dari data lapangan yang merupakan hasil wawancara kuisioner tipe A, akan ada preseden tanggapan kurang baik bagi petugas pelayanan publik (dunia usaha dan masyarakat), bilamana hal ini tidak cepat diperbaiki. Konsekuensinya adalah para pengusaha akan membuat jalan pintas dengan mencari oknum yang dapat mengurus dengan imbalan yang cukup.

Namun bila dilihat tentang kepastian biaya dalam pengurusan untuk dunia usaha, responden yang menilai cukup baik ada sebesar 45% dengan perimbangan kategori tidak baik sebanyak 27%, yang selebihnya untuk kategori baik tanggapan yang responden ada sebesar 18%, dan kategori penilaian sangat baik ada sebesar 9%. Jadi dapat dikatakan memang ada segelintir oknum yang membuat biaya tidak resmi kepada pengguna pelayanan publik.

Tabel 9.

Penilaian Responden terhadap Kualitas Pelayanan yang diberikan oleh Pemda Cukup

Baik Sangat

Baik Baik Tidak Baik Total INDIKATOR

F % F % F % F % F %

Kejelasan jalur birokrasi pelayanan

1 9 3 27 5 45 2 18 11 100 Kepastian dan ketepatan waktu

pelayanan

1 9 2 18 4 36 4 36 11 100 Kepastian biaya dalam pelayanan 1 9 2 18 5 45 3 27 11 100 Konsistensi Pemda dalam

melaksanakan peraturan

- - 2 18 7 64 2 18 11 100 Konsistensi Pemda dalam

melaksanakan peraturan sendiri

- - 2 18 6 54 3 27 11 100


(19)

Aspek yang terakhir adalah kategori penilaian terhadap kepastian dan kejelasan pemberlakuan perda yang telah ditetapkan pusat mendapat penilaian cukup baik sebesar 64%, sementara untuk kategori penilaian baik dan tidak baik masing-masing sebesar 18%. Sedangkan kepastian dan kejelasan pemberlakuan perda yang ditetapkan pemda sendiri, ada tanggapan dari responden yang menyatakan baik sebesar 18%, selanjutnya penilaian cukup baik mendapat respon sebesar 54%, sedangkan kategori tidak baik mendapat respon sebesar 27%. Jadi tanggapan diatas yang diberikan oleh responden dapat menggambarkan bahwa konsistensi pemda dalam proses pelaksanaan cukup signifikan dalam aplikasinya di lapangan. Dalam prakteknya di lapangan perda yang diatur oleh pusat (provinsi) terkadang malah bersifat tumpang tindih dengan perda sendiri, yang secara otomatis peraturan daerah tidak mampu mengakomodir segala jenis kegiatan usaha.

II.A.3. Peraturan Daerah / Kebijakan Daerah

Diatas telah disinggung bawah pemda cukup baik konsistensinya dalam melaksanakan perda, baik itu dari pusat maupun dari pemda sendiri. Namun dalam hal lain yaitu prosedur pelayanan dan peraturan daerah, disini kita mendapat gambaran kesesuaian antara perda yang satu dengan perda yang lain melalui kategori penilaian baik yang mendapat tanggapan tertinggi dari responden yaitu sebesar 45%, dan banyak juga responden yang menjawab tidak tahu yaitu sebesar 36%. Melihat dari persentase di atas dan hasil pemantauan dilapangan, bahwa kiranya responden tidak (kurang) peduli


(20)

dengan perda yang diberlakukan saat ini, bagi responden lebih baik berkonsentrasi dalam meningkatkan pendapatannya.

Tabel 10.

Penilaian Responden terhadap Prosedur Pelayaan yang diatur dalam Kebijakan-kebijakan Daerah (Perda)

Tidak Tahu Sangat Baik Baik Tidak Baik Total

INDIKATOR

F % F % F % F % F %

Kesesuaian antara satu perda dengan perda yang lain

4 36 1 9 5 45 1 9 11 100 Kejelasan kebijakan pemda

yang berhubungan dengan dunia usaha

2 18 1 9 6 54 2 18 11 100

Prosedur pelayanan terhadap dunia usaha

1 9 - - 4 36 6 54 11 100

Sumber : Data primer yang diolah 2002

Selain faktor di atas ada lagi aspek yang perlu dikaji yaitu tentang kejelasan berbagai perda yang dibuat oleh pemda sendiri yang berkaitan dengan dunia usaha, dimana responden yang menilai baik ada sebesar 54% dan selebihnya menanggapi sangat baik sebesar 9%. Sementara untuk kategori penilaian tidak baik dan tidak tahu ada beberapa responden yang menanggapinya sebesar 18%. Kategori penilaian ini mengacu pada komposisi perda yang diberlakukan di dunia usaha, yang mana tiap-tiap perda tersebut sudah cocok (pantas) dilaksanakan bagi kaum dunia usaha khususnya maupun terhadap masyarakat pada umumnya. Sedangkan prosedur pelayanan terhadap dunia usaha yang diatur dalam perda, penilaiannya dapat dilihat sebagai berikut, untuk kategori penilaian tidak baik ada sebesar 54% responden yang menanggapinya, kemudian kategori penilaian baik sebesar 36% dan yang menjawab tidak tahu sebanyak 9%. Artinya biaya yang dibuat didalam perda


(21)

tersebut masih dianggap mahal oleh pihak dunia usaha, yang pada akhirnya akan berdampak dan sekaligus menghambat menghambat perkembangan usaha mereka.

Hal tersebut dapat juga dilihat berdasarkan tabel 11, yang mana penilaian responden terhadap besarnya biaya yang diatur dalam perda hampir secara umum menanggapi tidak ada terhadap penetapan harga jual atas suatu komoditas sebesar 91%, pungutan pajak ketenaga kerjaan sebesar 64%, dan pungutan berganda sebesar 100%, yang diatur didalam perda. Hal ini menunjukkan bahwa masih perlu adanya produk perda yang bisa mengakomodir hal-hal tersebut agar tidak terjadi pungutan-pungutan yang tidak resmi yang dilakukan oleh aparat pemda. Sedangkan tanggapan responden untuk pungutan retribusi terhadap aktivitas bisnis terutama lalu lintas barang dan jasa antar daerah ada sebesar 73% responden menanggapi ada serta terhadap pungutan pajak atau retribusi lainnya ada sebesar 91% responden menanggapi ada besarnya biaya pungutan tersebut diatur dalam perda. Namun untuk hal ini ada baiknya besarnya biaya disesuaikan dengan kondisi daerah agar tidak kelihatan seperti memaksakan agar ada peningkatan pendapatan bagi daerah.


(22)

Tabel 11.

Penilaian Responden terhadap Besarnya Biaya yang diatur dalam Perda

Tidak Ada Ada Tidak Tahu Total

INDIKATOR

F % F % F % F %

Penetapan harga jual atas suatu komoditas

10 91 1 9 - - 11 100 Pungutan pajak lalu lintas barang dan

jasa antar daerah

2 18 8 73 1 9 11 100 Pungutan pajak atau retribusi

ketenagakerjaan

7 64 4 36 - - 11 100 Pungutan pajak atau retribusi lainnya 1 9 10 91 - - 11 100

Pungutan berganda 11 100 - - - - 11 100

Sumber : Data primer yang diolah 2002

II.A.4. Keuangan Daerah

Bila kita berbicara tentang keuangan daerah secara otomatis kita pasti menyinggung APBD dan PAD. Seperti kita ketahui bahwa yang menjadi faktor-faktor yang mendukung (termasuk) dalam bagian PAD adalah Pos Pajak Daerah, Pos Retribusi Daerah dan Pos Bagian Laba Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan dan Pos lain-lain PAD yang sah. Dari sini kita dapat membahas tentang kontribusi pajak daerah yagn dibuat berdasarkan Perda Kota Sibolga. Dari data-data yang didapat pajak yang diterima pada T.A. 2001 adalah sebesar Rp. 594.564.195,86,- dengan asumsi kelebihan anggaran yang diterima adalah Rp.120.898.195,86,-. Namun untuk pos pajak penerimaan terbesar terdapat pada pajak penerangan jalan yaitu Rp. 471.573.673,- dengan kelebihan penerimaan sebesar Rp.121.573.673,-. Dimana pajak penerangan jalan sudah diatur dalam Perda Kota Sibolga No.5 tahun 1998. Sedangkan yang mengalami defisit terletak pada pajak hiburan dimana dari target yang


(23)

mencapai Rp. 16.000.000,- yang terealisasi hanya ada sekitar Rp. 12.105.000,- sehingga nilai kekurangan menjadi Rp. 3.895.000,-.

Selanjutnya dari pos retribusi daerah yang mencakup 21 pos retribusi daerah, toal retribusi dari target anggaran adalah Rp. 1.692.460.000,- dengan realisasinya sebesar Rp. 1.636.825.709,40,- sehinga terjadi defisit sebesar Rp. 55.814.290,60,-. Dari sekian banyak daftar retribusi yang ada, retribusi pasar menduduki peringkat pertama dalam penerimaan anggaran. Dimana dari target sebesar Rp. 264.883.000,- yang dapat direalisasikan sebesar Rp. 268.368.200,- yang berarti surplus sebesar Rp. 3.485.200,-. Namun bila dibandingkan dengan kondisi pasar yang ada tampaknya apa yang diharapkan oleh masyarakat belum cukup menghasilkan. Karena pada dasarnya masyarakat (pengusaha) mengharapkan dari retribusi yang mereka bayarkan kiranya dibarengi dengan tindak lanjut oleh pemda dalam pembangunan sarana dan prasarana yag membantu kelancaran usaha mereka. Seperti yang terjadi diseputaran kawasan Jl. Mojopahit, dimana daerah ini terkenal dengan padatnya perdagangan ikan segar karena di daerah inilah yang paling banyak tempat-tempat tangkahan ikan, namun jalan sebagai pendukung (sarana) kelancaran usaha sama sekali kondisinya jauh dari yang diharapkan (buruk) sehingga aktifitas perdagangan sedikit terhalang.

Selain itu kejadian yang paling ironis adalah Kota Sibolga sebagai salah satu sentra komoditi perikanan tidak mempunyai pos tersendiri untuk retribusi daerah. Sehigga dapat dikatakan bahwa sektor perikanan tidak mempunyai kontribusi sama sekali dalam PAD. Pasalnya perda yang baru akan dibuat oleh Pemko Sibolga tentang retribusi perikanan terhalang oleh


(24)

perda yang dibuat oleh provinsi No. 5, 6 dan 7 tentang masalah perikanan. Sehingga praktis pemko tidak mendapat apa-apa dari retribusi perikanan yang ada, dimana dana retribusi tersebut cukup besar bila hal ini dapat dikelola sendiri oleh pemda.

Selain dari PAD penerimaan daerah sendiri juga meliputi Pos bagi hasil pajak yang mencapai nilai target sebesar Rp. 3.719.287.000,00,- dan nilai dana yang terealisasi mencapai nilai Rp.5.189.632.562,00,-. Sehingga nilai surplus yang diperoleh adalah Rp. 1.470.345.652.00,- atau dengan persentase sebesar 139,53%. Dan yang diperoleh ini adalah diluar dugaan Pemko Sibolga sendiri, mengingat sebagian besar dana-dana ini berasal dari Pos PBB. Dimana dari target Rp. 2.656.874.000,- yang terealisasi adalah Rp. 4.003.895.543.00,-. Dengan nilai surplus sebesar Rp. 1.347.021.543.00,-. Dengan kata lain tingkat kesadaran untuk membayar kewajiban atas PBB sudah tinggi dan masyarakat sudah menyadari bahwa salah satu dari faktor penunjang daerah adalah dari PBB. Dan realisasi pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemko diwujudkan dengan pembangunan sarana infrastruktur yang membantu mendorong perekonomian daerah. Disamping itu dana yang masuk dalam Pos bagi hasil pajak diperoleh dari Pos bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dimana dari target yang besarnya mencapai Rp.748.841.000.00,- dana yang terealisasi adalah Rp. 872.164.975.00,- dengan nilai surflus yang diperoleh sebesar Rp. 123.323.975.00.

Selanjutnya Pos dari SDA mencapai nilai Rp. 3.460.885.213,53. Dari target diperoleh sebesar Rp. 4.520.569.000.00,- Sehingga dari pos ini terjadi defisit sebesar Rp. 1.059.683.786,47. defisit ini


(25)

mungkin dapat ditutupi bila Perda tentang PHP (Pungutan Hasil Perikanan) dapat dijalankan, meskipun kondisinya Ran-Perda tentang PHP masih dalam tahap bahasan antara semua unsur terkait, yaitu antara pihak Pemko, Masyarakat Pengusaha Ikan, Tokoh Masyarakat, Tokoh Nelayan. Pada bahasan /sosialisasi Ran-Perda dimaksud, Pemko Sibolga (diwakili 6 Sekda Sibolga) lebih menekankan sasaran akhir dari sosialisasi Ran-Perda tersebut adalah menggali potensi PAD dari sektor perikanan sebagai salah satu SDA, dimana kontribusi dari sektor perikanan tersebut memang tidak ada, disamping itu pembahasan (sosialisasi) Ran-Perda itu juga untuk membangkitkan kepedulian masyarakat/pengusaha untuk membangun kota Sibolga.

Bila kita melihat anggaran biaya rutin dalam APBD TA 2001 untuk Pos Pengeluaran terbesar adalah Pos untuk bidang Pendidikan dimana target yang akan dipenuhi sebesar Rp. 17.883.621.000.00,-. Namun dana yang terealisasi adalah sebesar Rp. 14.649.401.225.00,-. Sehingga ada sedikit defisit sebesar Rp. 3.234.219.775.00,-. Padahal sesuai dengan program pemerintah yang ingin mencerdaskan kehidupan bangsa adalah dengan menciptakan program pendidikan Wajib Belajar 9 tahun, dan membangun sarana pendidikan bagi masyarakat, kiranya nilai defisit tersebut dapat ditutupi dari dana pos bidang lain yang mungkin saja targetnya terlalu besar.

Kemudian untuk belanja pembangunan dari total nilai sebesar Rp. 1.977.000.000.00,-. Yang ditargetkan namun nilai yang diterima (terealisasi) hanya Rp.567.469.150.00,-. Yang berarti defisit sebesar Rp. 1.409.530.850.00,-. Dalam belanja pembangunan ini sektor transportasi yang paling banyak mengalami defisit yaitu sebesar Rp. 1.067.250.000.00,- dimana


(26)

dari target yang akan dicapai sebesar Rp. 1.130.000.000.00,-. Namun nilai yang terealisasi hanya sebesar Rp. 62.750.000.00,-. Hal ini hendaknya menjadi perhatian yang serius bagi pihak Pemko, karena nilai defisit yang sangat tinggi sehingga diharapkan bagi Pemko Sibolga bagaimana mencari solusi yang tepat dalam rangka mencapai target yang ada.

II.B. GAMBARAN KONDISI SOSIAL POLITIK DI DAERAH II.B.1. Kondisi Keamanan

a. Gangguan keamanan terhadap kegiatan usaha

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan diperoleh gambaran tentang tingkat keamanan di daerah kota Sibolga. Yang mana kategori keamanan di kota tersebut tergolong kondusif, sehingga situasi keamanan tersebut sangat mendukung aktifitas usaha dan berinvestasi serta adanya jaminan keselamatan jiwa dan harta. Dari hasil jawaban kuisioner diperoleh kategori penilaian tidak pernah adalah 100% yang menjawab bila ada penjarahan oleh massa. Sementara itu bila kita perhatikan sisi pencurian di lokasi usaha sebanyak 8 orang (72,72%) menjawab tidak pernah sedangkan selebihnya 3 orang (27,27%) menjawab/memberi kategori penilaian rendah. Alasan mereka menjawab/menilai rendah disebutkan pencurian yang terjadi biasanya dilakukan kaum remaja iseng. Misalnya: Adanya pencurian ikan asin ditempat pengeringan ikan, dimana hasil yang dicuri tersebut jumlahnya kecil, dan biasanya hasil curian itu dibelanjakan untuk hariannya (contoh: makan dan rokok).


(27)

Tabel 12.

Frekuensi Gangguan Keamanan terhadap Dunia Usaha Selama Tahun 2000 – 2002 Tidak

Pernah

Rendah

Total (1 – 3 kali)

JENIS GANGGUAN KEMANAN

F % F % F %

Penjarahan oleh massa. 11 100 11 100

Pencurian / perampokan di kantor / lokasi usaha 8 73 3 27 11 100 Perampokan / penghadangan / penodangan di jalan 11 100 11 100

Bajing loncat 11 100 11 100

Pengrusakan terhadap fasilitas / asset perusahaan 11 100 11 100

Lain-lain 11 100 11 100

Sumber : Data primer yang diolah 2002

Kemudian gangguan keamanan lain seperti perampokan/penodongan dijalan, adanya bajing loncat, pengerusakan aset perusahaan tampaknya belum pernah terjadi dengan kategori penilaian tidak pernah yang menjawab 11 orang (11%). Dari penilaian yang ada terlihat kondisi keamanan di kota Sibolga masih kondusif dan sangat relevan bila dilakukan investasi baik investasi dari dalam negri maupun luar negeri. Karena salah satu faktor yang menjamin lancarnya kegiatan usaha (investasi) tak lain adalah jaminan keamanan.

b. Gangguan Keamanan terhadap Masyarakat.

Bila gangguan terhadap dunia usaha dapat dikatakan tidak ada, maka masyarakat sendiri menganggap gangguan keamanan masih dalam kategori relatif kecil. Melihat dari jawaban responden, dimana untuk pertayaan bila ada perampokan/pencurian dirumah yang menjawab tidak pernah sebanyak 2 orang (18,18%) sedangkan yang menjawab jarang sebanyak 9 orang (81,81%). Kategori penilaian jarang disini berarti walaupun ada terjadi perampokan


(28)

ataupun pencurian namun masyarakat menilai kejadian tersebut belum menganggu aktivitas mereka. Kemudian mengenai jawaban dari pertanyaan pencurian dijalan,sebanyak 6 orang (54,54%) menjawab tak pernah dan manjawab jarang ada 5 orang (45,45). Untuk kasus penodongan, perampokan dijalan serta pemerkosaan, masing-masing untuk tiap kasus responden menjawab tidak pernah sebanyak 8 orang (72,72%) dan responden menjawab jarang sebanyak 3 orang (27,27%). Sedangkan pada kasus pembunuhan yang menjawab tidak pernah sebanyak 6 orang (54,54%) dan selebihnya yang menjawab jarang ada 5 orang (45,45%). Dan terakhir untuk kasus penjambretan/pencopetan yang menjawab tidak pernah 5 orang (45,45%) sedangkan yang menjawab jarang ada sebanyak 6 orang (54, 54%).

Tabel 13.

Frekuensi Gangguan Keamanan terhadap Masyarakat (selain Dunia usaha ) selama tahun 2000 – 2002

Tidak Pernah Jarang (1– 3 kali) Total INDIKATOR

F % F % F %

Perampokan, pencurian di rumah 2 18 9 82 11 100 Pencurian di jalan (curanmor, asesoris

kendaraan bermotor dll)

6 54 5 45 11 100 Penodongan, perampokan di jalan 8 72 3 27 11 100

Pembunuhan 6 54 5 45 11 100

Pemerkosaan 8 72 3 27 11 100

Penjambretan / pencopetan 5 45 6 54 11 100

Sumber : Data primer yang diolah 2002

Melihat dari data persentase tingkat gangguan keamanan terutama bersifat kriminal dapat disimpulkan bahwa frekuensi gangguan berencana terhadap masyarakat 2 tahun terakhir masih dalam kategori wajar. Artinya tingkat kriminalitas masih rendah sehingga belum menggangu rasa aman


(29)

dikalangan masyarakat,dan boleh disimpulkan kondisi keamanan secara umum dikota Sibolga dalam kategori kondusif, hal ini ditunjukkan dengan jawaban responden sebanyak 11orang(100%).

Tabel 14.

Penilaian Responden terhadap kondisi Keamanan Secara Umum di Daerah ini untuk kegiatan Usaha / Investasi

Kondusif Total INDIKATOR

F % F %

Kondisi Keamanan Secara umum 11 100 11 100

Sumber : Data primer yang diolah 2002

II.B.2. Kondisi Sosial Politik Masyarakat.

Apabila kita ingin melihat secara jelas keadaan sosial masyarakat dikota Sibolga maka mau tak mau kita harus memperhatikan aspek-aspek yang membentuk kondisi sosial tersebut. Komposisi penilaian responden dapat dilihat pada tabel 15 berikut.

Tabel 15.

Penilaian Responden terhadap kondisi Sospol Daerah

Sangat Baik Baik Tidak Baik Tidak Ada Total

INDIKATOR

F % F % F % F % F %

Pelibatan dunia usaha dalam perumusan kebijakan

1 9 4 36 1 9 5 45 11 100

Sosialisasi rancangan peraturan daerah

1 9 8 73 2 18 - - 11 100

Mekanisme pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan pemda

1 9 3 27 4 36 3 27 11 100

Netralitas media massa di daerah

1 9 3 27 4 36 3 27 11 100


(30)

Aspek yang pertama adalah partisipasi dunia usaha dalam suatu perumusan kebijakan (Perda) dimana responden yang menjawab/menilai sangat baik satu orang (9%), kemudian yang menilai baik sebanyak 4 orang (36%),selanjutnya yang menilai tidak baik sebanyak satu orang juga (9%) dan memberi penilaian tidak ada sebanyak 5 orang (45%). Dari beragam jawaban diatas peneliti dapat menjelaskan responden yang menilai tidak ada tersebut ialah responden yang kurang/belum mengetahui secara pasti dan jelas akan sosialisasi kebijakan/perda yang baru. Dikalangan dunia usaha atau mungkin juga sosialisasai untuk perda yang baru tersebut belum sesuai dengan bidang usaha yang ditekuninya. Karena biasanya untuk pembahasan (sosialisasi) perda yang baru setiap jenis usaha akan diikutkan wakil/utusan dari jenis usaha.

Aspek yang kedua adalah sosialisasi atas rancangan perda yang berhubungan dengan dunia usaha, dimana responden yang menjawab/menilai sangat baik sebanyak satu orang (9%) selanjutnya yang memberi penilaian yang baik sebanyak 2 orang (18%).

Seperti sudah disinggung diatas bahwa kebutuhan/kekurangan perda yang baru tetap akan dibahas bersama antara pihak pemko dengan tokoh masyarakat, utusan pengusaha, LSM, agar dapat tercapai kesepakatan bersama.

Untuk aspek berikutnya dimana peluang masyarakat untuk ikut mengawasi pelaksanaan kebijakan daerah, responden yang menjawab/menilai sangat baik sebayak satu orang (9%) sedangkan responden yang menilai baik sebanyak 3 orang (27%) kemudian yang menilai tidak baik sebanyak 4 orang


(31)

(36%) sedangkan menilai tidak ada sebanyak 3 orang (27%). Ada kecenderungan masyarakat bahwa sesudah sebuah Perda dibuat maka untuk selanjutnya Perda tersebut dilaksanakan saja tanpa diawasi praktek pelaksanaannya. Dari jawaban responden yang mengatakan tidak baik (4 orang) cukup beralasan disebabkan faktor diatas tadi.

Bila kita bicara Sospol maka dapat kita kaitkan hubungan antara legislatif dan eksekutif di kota Sibolga, dalam hal ini pihak DPRD dengan Pemko. Pada kasus ini kriteria penilaian tentang hubungan antara DPRD dan Pemko, dimana seluruh responden menjawab tidak pernah ada komflik politik antara lembaga tersebut. Dengan kata lain hubungan antara kedua lembaga tersebut cukup harmonis dan cukup bagus dalam penerapan suatu kebijakan.

Untuk aspek pemberitaan oleh media massa di daerah, biasanya yang dilihat oleh masyarakat adalah netralitas pemberitahuan atas suatu kejadian di daerah tersebut. Dimana pada aspek ini responden yang menilai sangat baik sebanyak satu orang (9%) selanjutnya responden yang memiliki baik sebanyak 3 orang (27%) dan menilai tidak baik sebanyak 4 orang (36%) sedangkan yang menilai tidak ada sebanyak 3 orang (27%). Alasan utama responden menilai tidak baik disebabkan penderitaan atas suatu kasus tidak diberitahukan dengan jujur dan biasanya berita tersebut malah di”blow up” agar menarik minat baca masyarakat.

Mengenai konflik sosial yang terjadi antara kelompok masyarakat biasanya yang didominasi oleh kelompok preman. Yaitu sebanyak 6 orang responden (54%) menilai ada terjadi selebihnya menyatakan tidak. Karena konflik antar kelompok pemain ini terjadi atas dasar perebutan wilayah


(32)

ekonomi (daerah kekuasaan), ataupun karena kecemburuan sosial ekonomi yang menjadi konflik, namun hal ini masih dalam katagori sedikit.

Tabel 16.

Konflik Sosial yang terjadi di daerah selama tahun 2000 – 2002 yang memicu kerusuhan masa antara elemen masyarakat

Ya Tidak Total

INDIKATOR

F % F % F %

Antar Agama - - 11 100 11 100

Antar Etnis / Suku - - 11 100 11 100

Antar Kampung 1 9 10 91 11 100

Antar Kelompok preman 6 54 5 45 11 100

Sumber : Data primer yang diolah 2002

Yang paling utama digaris bawahi disini adalah konflik yang terjadi di kota Sibolga belumlah/kurang mengganggu terhadap kegiatan usaha/investasi didaerah ini, halini tercermin dari jawaban responden yang menilai kurang mengganggu debanyak 11 orang (100%).

Tabel 17.

Penilaian Responden Terhadap pengaruh konflik sosial terhadap kegiatan usaha / investasi di daerah

Kurang Mengganggu Total INDIKATOR

F % F %

Konflik Sosial terhadap investasi di daerah 11 100 11 100

Sumber : Data primer yang diolah 2002

Aspek terakhir yang dapat mengganggu perekonomian dan kegiatan usaha ataupun investasi adalah masalah unjuk rasa. Dimana tingkat unjuk rasa kaum buru didaerah ini dinilai tidak ada atau tidak pernah ada. Sedangkan unjuk rasa dikalangan masyarakat yang menjawab tidak pernah sebanyak 4


(33)

orang (36%) kemudian yang menjawab pernah sebanyak 6 orang (54%) dan yang menjawab tinggi sebanyak 1 orang (9%) responden.

Tabel 18.

Frekuensi terjadinya unjuk rasa yang mengganggu perekonomian dan kegiatan usaha / investasi

Tidak pernah Rendah Tinggi Total INDIKATOR

F % F % F % F %

Buruh 11 100 - - - - 11 100

Masyarakat 4 36 6 54 1 9 11 100

Kelompok Sosial / Keagamaan 9 82 2 18 - - 11 100

Mahasiswa 11 100 - - - - 11 100

Sumber : Data primer yang diolah 2002

Dari kalangan akademis dalam hal ini kelompok mahasiswa, responden yang menjawab tidak pernah seluruhnya 11 orang responden (100%). Karena sesuai data di lapangan jumlah lembaga setingkat perguruan tinggi sangat sedikit (2 buah) dan jumlah mahasiswa relatif kecil, sehingga bisa diprediksi kemungkinan terjadi unjuk rasa dari mahasiswa tidak akan pernah, namun bila unjuk rasa dari kalangan masyarakat pernah terjadi, yaitu pada kasus pukat dan kapal-kapal nelayan asing yang menangkap ikan di perairan Indonesia. Beberapa anggota masyarakat yang diwakili oleh kelompok nelayan penangkap ikan berdemo di halaman kantor DPRD untuk menuntut pengusiran kapal-kapal asing tersebut yang beroprasi diperairan Indonesia. Akan tetapi aksi unjuk rasa itu tidak sampai mengganggu kegiatan usaha mereka.


(34)

II.B.3. Nilai-nilai Budaya Masyarakat.

a. Keterbukaan Masyarakat.

Melihat suasana yang dihadapi oleh tim peneliti selama penelitian tampaknya kehadiran peneliti disambut baik oleh masyarakat. Hal ini menjadi dasar ukuran dasar ukuran tentang sikap masyarakat terhadap pendatang di daerah tersebut. Namun demikian untuk menjaga objektifitas penelitian tim peneliti tetap menanyakkan sikap keterbukaan masyarakat terhadap investasi dari luar (investor).

Tabel 19.

Penilaian Responden terhadap Nilai-nilai Budaya Masyarakat di daerah yang berkaitan dengan kegiatan usaha / investasi

Sangat Terbuka Terbuka Total INDIKATOR

F % F % F %

Keterbukaan masyarakat terhadap kegiatan usaha / investasi dari luar

2 18 9 82 11 100

Keterbukaan masyarakat terhadap orang-orang dari luar daerah / pendatang yang bekerja di daerah ini

2 18 9 82 11 100

Sumber : Data primer yang diolah 2002

Dari komposisi penilaian diatas terlihat bahwa responden yang menjawab sangat terbuka sebanyak 2 orang (18%) dan yang menjawab terbuku ada sebanyak 9 orang (82%). Kemudian sikapmasyarakat terhadap orang-orang diluar daerah/pendatang yang bekerja di kota Sibolga cukup bagus,yang mana responden yang menilai sangat terbuka sebanyak 2 orang juga dan selebihnya menjawab terbuka. Jadi peluang investasi di kota Sibolga cukup potensial untuk di kembangkan bila dikaitkan dengan sikap keterbukaan masyarakat terhadap investor ataupun terhadap kaum pendatang. Masyarakat


(35)

Sibolga menginginkan investasi yang banyak,yang dampaknya juga akan mendorong perekonomian daerah kearah yang lebih bagus.

b. Etos Kerja Masyarakat

Selain sikap keterbukaan masyarakat, etos kerja masyarakat menjadi faktor pertimbangan investor untuk menanamkan modalnya di daerah Sibolga. Etos kerja masyarakat ini ditunjukkan aspek-aspek yang mendukung terjadinya iklim yang kondusif di masyarakat, seperti sikap semangat masyarakat yang bersaing secara sehat dinilai oleh responden sangat tinggi sebanyak 2 orang (18,18%) sedangkan yang menilai tinggi sebanyak 9 orang (81,81%). Artinya kategori nilai tinggi tersebut cukup signifikan bagi calon investor yang mencoba berinvestasi di daerah kota Sibolga. Data penilaian responden dapat dilihat pada tabel 20 berikut.

Tabel 20.

Penilaian Responden terhadap Etos Kerja masyarakat di daerah

Sangat Tinggi Tinggi Total

INDIKATOR

F % F % F %

Semangat masyarakat untuk bersaing secara sehat 2 18 9 82 11 100 Nilai budaya masyarakat memberikan kesempatan

dan perlakukan yang sama kepada setiap orang tanpa memperdulikan ras, suku asal daerah dan agama.

1 9 10 91 11 100

Masyarakat memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada setiap orang tanpa memperdulikan gender

1 9 10 91 11 100

Nilai budaya masyarakat memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada setiap orang tanpa memperdulikan asal daerah

1 9 10 91 11 100

Masyarakat memiliki semangat berusaha dan bekerja keras

1 9 10 91 11 100


(36)

Kemudian aspek yang lain adalah nilai budaya masyarakat memberikan kesempatan dan perlakuan dalam masyarakat tanpa memperdulikan ras, gender, asal daerah dan agama, dinilai sangat tinggi oleh seorang responden sedangkan sebanyak 10 orang (91%) menilai tinggi. Nilai ini juga cukup kondusif mengingat budaya di tiap-tiap daerah jelas berbeda-beda. Akan tetapi bila melihat nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat daerah kota Sibolga yang cukup kondusif dan bagus ini, maka faktor etos kerja ini menjadi perhatian penting bagi setiap calon investor baru. Begitu juga dengan adat istiadat di daerah ini juga mendukung terciptanya persainganyang sehat, artinya masyarakat tetap mempercayai terjadinya mekanisme pasar yang sempurna, dimana prinsipnya, siapapun orang yang berkualitas dialah yang dapat dipakai bekerja. Dalam pengertian lain dapat dikatakan bahwa setiap orang baik pendatang ataupun non pendatang tetap mempunyai peluang untuk bekerja dan berusaha sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dimilikinya.

Faktor lain sebagai pendukung etos kerja adalah semangat kerja dan berusaha penduduk/masyarakat, dimana responden yang menilai sangat tinggi sebanyak seorang dan yang menilai tinggi sebanyak 10 orang (91%). Yang artinya kemampuan setiap anggota masyarakat dalam usahanya menghasilkan sesuatu masih dalam kategori penilaian tinggi. Jadi setiap anggota masyarakat dan kelompok umur pekerja mempunyai semangat kerja dan berusaha yang tinggi. Namun persoalannya adalah kesempatan untuk bekerja dan berusaha masih kurang dan rendah. Oleh sebab itu masyarakat masih membutuhkan dan mengharapkan investor-investor yang baru menanamkan / membuat usahanya


(37)

di kota Sibolga khususnya. Karena dengan adanya investasi otomatis akan terbuka lapangan kerja baru dan secara otomatis pula akan meningkatkan pendapatan tingkat per kapita daerah kota Sibolga.

II.C. Gambaran Perekonomian Daaerah. II.C.1. Potensi Ekonomi

Melihat struktur perekonomian di kota Sibolga, yang cukup bagus yang mana ditandai dengan kenaikan tiap tahun dari PDRB atas dasar harga harga berlaku. Dimana kenaikan pertumbuhan yang tertinggi terjadi pada tahun 1994 – 1995 yaitu kenaikan pertumbuhan sekitar 7,54%. Pengertian dari kenaikan ini adalah kecenderungan rata-rata kenaikan pendapatan masyarakat yang berdampak maningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat yang berdampak meningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat itu sendiri.

Sementara persentase pertumbuhan PDRB untuk tahun 2000 mencapai 5,26%, angka ini bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya jauh lebih menurun. Namun bila kita bandingkan nilai harga berlaku untuk tahun 2000 yaitu sebesar Rp.480.452,32 juta dengan nilai harga berlaku tahun-tahun sebelumnya peningkatan nilai ini cukup signifikan dan cukup stabil tanpa adanya fluktuasi kenaikan. Grafik kenaikan pertumbuhan PDRB ini juga cukup stabil, dimana setiap tahunnya kenaikan persen pertumbuhan PDRB rata-rata ± Rp.100 juta.

Adapun ukuran untuk melihat potensi ekonomi masyarakat daerah yaitu dengan mengukur pertumbuhan PDRB perkapita tahun 2000, yang dimana indikator ukuran ini berguna untuk melihat kemampuan masyarakat


(38)

untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dimana pada tahun 2000 pertumbuhan PDRB perkapitanya mencapai nilai Rp.5.837,10. Angka ini diperoleh dari perbandingan PDRB atas harga berlaku dibagi dengan jumlah penduduk. Maka dari angka ini kita dapat mengetahui bahwa tingkat pendapatan perkapita masyarakat cukup tinggi yang ditandai dengan daya beli masyarakat yang juga cukup tinggi. Dari hasil wawancara dengan beberapa responden terbukti sebahagian besar responden (54%) beranggapan bahwa daya beli masyarakat Kota Sibolga relatif tinggi, disamping itu harga-harga kebutuhan pokok juga lebih tinggi dibanding dengan kota-kota Tk II lainnya (kecuali Medan).

Tabel 21.

Penilaian Responden terhadap daya beli masyarakat daerah

Tinggi Rendah Total INDIKATOR

F % F % F %

Daya beli / Konsumsi masyarakat 6 54 5 45 11 100

Sumber : Data primer yang diolah, 2002

Bila kita lihat data-data statistik yang ada, maka daya beli masyarakat selama tahun 2001 maka pada sisi kebutuhan akan makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau yang menempati tingkat tertinggi, tepatnya pada bulan Desember yang mencapai angka 302,56. Pengertiannya adalah pada bulan tersebut tingkat konsumsi tertinggi masyarakat berada pada kebutuhan akan makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau. Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya perayaan hari besar bagi umat beragama yaitu Muslim dan Nasrani.

Untuk segmen ketersediaan dan kualitas sumber daya lahan/tanah ini peneliti menilai bahwa lahan yang tersedia untuk dikembangkan sudah/hampir


(39)

tidak ada lagi. Mengingat daerah kota Sibolga adalah daerah yang dikelilingi oleh daaerahperbukitan dan lautan, sehingga jelas tidak memungkinkan lagi untuk melakukan pengembangan usaha. Kesimpulan ini juga diperkuat oleh argumen-argumen oleh pengusaha dan juga masyarakat selaku tokoh masyarakat yang dituakan.

Di sektor pertambangan dan penggalian hal-hal yang dapat kita kaji di sini yaitu kontribusi sektor ini masih tergolong kecil dan tingkat kenaikan pertahun juga relatif kecil tidak terlalu menolok. Kemudian kenaikan tersebut dapat kita lihat dari tahun 1996 ke tahun 2000, dimana pada tahun 1996 posisi nilai sektor pertambangan sebesar Rp. 81,31 juta, sampai ke tahun 2000 posisi nilai sebesar Rp. 102,71 juta. Selama kurun waktu 4 tahun kenaikannya hanya mencapai nilai sebesar Rp. 21,40 juta. Angka ini menunjukkan bahwa potensi ekonomi dari sektor pertambangan belum mampu menjadi potensi yang dapat dikembangkan lebih lanjut.

II.C.2. Struktur Ekonomi

Telah kita singgung diatas bahwa mencari nilai dari PDRB perkapita selaku daerah adalah dengan membagi jumlah total PDRB dengan jumlah penduduk daerah. Total nilai PDRB untuk tahun 2000 adalah Rp. 480.452,32 juta yang dibagi dengan 82.310 maka hasil yang diperoleh sebesar Rp. 5.837,10. Namun bila kita membandingkan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah nilai diatas masih signifikan dengan fakta di lapangan.

Bila kita ingin menganalisa (membahas) tentang PDRB maka kita harus terlebih dahulu mengklasifikasikan menjadi 4 sektor, yaitu: sektor


(40)

Primer, sektor Sekunder, sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran ditambah sektor Jasa Keuangan. Disini kita akan membahas kontribusi masing-masing sektor terhadap PDRB.

Untuk sektor primer dibagi lagi ke dalam sub sektor pertanian, pertambangan, kehutanan, perikanan, bahan makanan dan perkebunan. Dari sub sektor pertanian pada tahun 2000 kontribusinya terhadap PDRB adalah sebesar 28,58%, dimana nilai persentase ini adalah nilai tertinggi dari sub sektor lainnya. Kemudian disusul oleh sub sektor perikanan yang mencapai nilai 24,84%, yang artinya hampir seperempat dari total nilai PDRB ada di sub sektor perikanan. Namun alangkah ironisnya sub sektor perikanan ini kontribusinya terhadap PAD hampir tidak ada. Selanjutnya sub sektor peternakan mencapai nilai sebesar 3,72% dan sub sektor bahan makanan mencapai angka 0,02%.

Pada sektor sekunder kontribusinya terhadap PDRB tahun 2000 mencapai nilai sebesar 12,28% yang diperoleh dari industri besar dan sedang dengan nilai persentase 0,90% ditambah dengan industri kecil dan rumah tangga sebesar 11,38%. Dari nilai persentase ini kelihatan sektor industri dan pengolahan belum terlalu besar kontribusinya terhadap PDRB dalam rangka mendongkrak roda perekonomian. Padahal program pemerintah saat ini adalah lebih mendorong sektor industri untuk lebih produktif dalam menggerakkan roda perekonomian dengan keinginan mencapai era industrialisasi.

Kontribusi pada sektor perdagangan, hotel dan restoran pada tahun 2000 mencapai nilai persentase sebesar 16,54%. Dengan komposisi pembagian per-sub sektor adalah sub sektor perdangangan dengan persentase


(41)

sebesar 11,98%, kemudian sub sektor hotel dengan nilai persentase 1,76% serta sub sektor restoran mencapai nilai persentase sebesar 2,80%. Nilai kontribusi yang tinggi pada sub sektor perdagangan juga diperkuat dengan referensi yang diberikan oleh Ka Bidang Perekonomian BAPPEDA yaitu IR. MAULI BADIA. Beliau mengatakan sektor yang paling dominan dikembangkan di kota Sibolga adalah sektor perdagangan.

Sektor yang terakhir yang kita bahas pada bagian ini adalah sektor jasa keuangan. Dimana besarnya kontribusi sektor perbangkan di tahun 2000 adalah sebesar 8,85% dengan klasifikasi pembagian sebagai berikut, sub sektor perbankan mempunyai kontribusi sebesar 1,30%, lembaga keuangan bukan bank kontribusinya 0,12%, jasa perusahaan kontribusinya 0,11% dan sewa bangunan kontribusinya paling besar yaitu 7,27%. Melihat keberadaan sektor perbankan yang ada di daerah Sibolga ini tim peneliti berasumsi bahwa jasa keuangan atau bank sudah mampu untuk mengakomodir keinginan masyarakat untuk berurusan dengan pihak bank.

Dari wawancara yang dilakukan terhadap responden terpilih, mayoritas dari responden tersebut (91%) berpendapat bahwa sektor yang paling berpotensial untuk dikembangkan di Kota Sibolga adalah sektor perikanan.

Hal ini disebabkan karena sektor inilah yang banyak menunjang pertumbuhan dan perkembangan sektor-sektor lainnya. Menurut responden sebagian besar penduduk berprofesi sebagai nelayan, sehigga jika sektor perikanan meningkat, maka potensi kenaikan konsumsi masyarakat pun akan meningkat, yang nantinya menyebabkan tumbuhnya usaha-usaha sektor lainnya. Walaupun dari 11 responden tersebut bidang usahanya berbeda-beda,


(42)

tetapi mereka beranggapan bahwa usaha yang mereka jalankan tdak lain adalah usaha pendukung industri perikanan. Misalnya, usaha docking kapal (2 responden), perkayuan (1 responden), pelayaran (1 responden), penangkahan ikan (1 responden) dan lain-lain. Responden lain berpendapat bahwa sektor yang potensial untuk dikembangkan di Kota Sibolga adalah sektor kehutanan (9%). Tapi setelah diwawancarai lebih mendalam, ternyata beliau beranggapan bahwa sektor kehutanan tersebut nantinya akan mendukung sektor perikanan, dimana kayu hasil hutan tadi akan digunakan untuk industri kapal, sehingga dapat turut menunjang sektor perikanan.

II.C.3. Perdagangan

Perdagangan yang terjadi di kota Sibolga terkesan hanya bertitik tumpu pada transaksi/aktifitas ekspor dan tanpa dibarengi dengan kegiatan impor. Nah, bila kita amati perdagangan ekspor tahun 2000 mencapai nilai US$ 16,12 juta atau sekitar Rp.128.953,97 milyar (dengan asumsi nilai kurs Rp. 8000,-) Dimana jenis komoditi yang mempunyai kontribusi terbesar pada total nilai ekspor Sibolga pada tahun 2000 adalah komoditi plywood, yaitu sebesar US$ 9,18 atau sekitar 56,9% dan diikuti oleh komoditi logs dengan nilai ekspor US$ 6,65 juta atau sekitar 41, 22%.

Sedangkan untuk tahun 2001 nilai ekspor nilai Sibolga mencapai US$18,64 juta atau naik sebesar 15,64% bila dibandingkan tahun 2000. Jenis komoditi yang mempunyai kontribusi terbesar pada total nilai ekspor Sibolga tetap sama yaitu komoditi terbesar plywood sebesar US$ 13,84 juta atau


(43)

74,22% dan diikuti logs dengan nilai ekspor US$ 4,45 juta sebesar atau 23, 87%.

Bila kita bandingkan total nilai ekspor kota Sibolga sebesar Rp.128.953,97 milyar dengan total nilai PDRB sebesar Rp. 480.452,32 M pada tahun 2000 maka kita peroleh rasio nilai sebesar 26,84. Angka ini menunjukkan tingkat perbandingkan yang tinggi, artinya perekonomian daerah kota Sibolga memang telah terbiasa dan cenderung berorientasi dengan aktifitas perdagangan internasional, mengingat total nilai total rasio yang cukup tinggi tersebut.

Kemudian bila kita melihat perdagangan yang ada, maka disini dapat kita gambarkan nilai rasio perdagangan antara yang masuk dan keluar daerah selama tahun 2001. Dimana jumlah arus perdagangan yang masuk mencapai nilai 299.071,8 ton sedangkan jumlah arus ilmu yang keluar ada sebesar 140.138,7 ton. Sehingga rasio yang diperoleh adalah 2,13. Artinya posisi nilai perdagangan yang masuk lebih besar dibanding barang yang keluar dari luar daerah.

Menurut salah seorang responden yang bergerak di bidang percetakan dan perdagangan ATK, Abd. H. Pohan, pesat atau tidaknya kemajuan dari bidang perdagangan sangat tergantung pada tingkat konsumsi barang dari konsumen, yang ditentukan oleh keberhasilan mereka di dalam meningkatkan penghasilan mereka yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan. Jadi jika pendapatan nelayan tinggi, maka permintaan mereka akan barang-barang konsumsi pun akan tinggi juga.


(44)

II.C.4. Perbankan

Di sektor perbankan ini, kita dapat melihat sampai sejauh mana pihak bank dalam usaha membantu dan mendorong perekonomian daerah. Kita juga dapat melihat dana yang beredar di masyarakat melalui indikator rasio tabungan pihak ketiga terhadap pinjaman pada bank umum daerah selam tahun 2000. Dimana posisi nilai tabungan rupiah berada pada angka Rp. 257.405 juta, sedangkan nilai pinjaman berada pada posisi Rp. 75.761, sehingga selisih antara tabungan dengan pinjaman sebanyak Rp. 181.644 juta. Artinya peredaran uang di Kota Sibolga termasuk tidak terlalu tinggi (dengan asumsi perhitungan diatas menggunakan jenis mata uang rupiah). Atau dengan kata lain dana yang tersalurkan untuk kredit di masyarakat berada pada tingkat persentase yang kecil yaitu sebesar 29 persen. Sedangkan nilai kredit untuk usaha kecil yang berjumlah Rp.53.740 juta masih terlalu kecil bila dibandingakan dengan jumlah simpanan masyarakat, dengan persentase mencapai 20 % dari total dana simpanan nasabah.

Kemudian secara matematis kita dapat mengukur laju pertumbuhan tabungan disetiap tahun yaitu selama periode 1991-2000 bergerak secara fluktuatif, artinya pergerakan kenaikan laju pertumbuhan simpanan tidak stabil. Perhitungan ini diasumsikan pada seluruh total nilai tabungan baik yang bersifat nominal maupun rekening. Kalau kita lihat secara cermat laju pertumbuhan yang tertinggi terjadi pada periode tahun 1998 yang mencapai tingkat laju pertumbuhan sebesar 0,49 dengan total nilai tabungan mencapai Rp. 198.872 juta. Sedangkan tingkat laju pertumbuhan terendah berada pada tahun 1995 dengan tingkat laju pertumbuhan sebesar 0,10 dengan posisi total


(45)

nilai tabungan mencapai Rp. 64.969 juta. Untuk tahun 2000 laju pertumbuhan mencapai nilai 0,11 yang berarti mengalami penurunan dibanding tahun 1999. Namun dari posisi nilai tabungan tetap bergerak baik yaitu dengan posisi nilai Rp.257.405 juta. Jadi kesimpulan yang dapat diambil yaitu walaupun posisi nilai tabungan setiap tahunnya mengalami peningkatan, namun tingkat laju pertumbuhan tidak secara otomatis bergerak naik.

Untuk suku bunga rata-rata deposito 3 bulan di BPD kita harus membagi /mendefinisikan suku bunga tersebut menjadi 2 bagian penting yaitu suku bunga tertinggi dan suku bunga terendah. Pada sutau akhir periode, dimana selama periode tahun 2000 pertumbuhan suku bunga tertinggi untuk deposito 3 bulan mencapai 14,00% per tahun sedangkan suku bunga terendah mencapai posisi 5,00%. Bila kita ambil rata-rata suku bunga untuk deposito 3 bulan maka hasil yang diperoleh adalah 9,5% per tahun. Nilai persentase dari suku bunga rata-rata ini masih bisa kita golongkan kedalam batas-batas wajar untuk deposito berjangka 3 bulan.

Sedangkan untuk suku bunga rata-rata deposito 3 bulan dari BPR selama periode tahun 2000 memakai formula yang sama, maka nilai persentase yang kita peroleh sebesar 14,8%. Bila kita Bandingkan antara suku bunga rata-rata untuk deposito 3 bulan di BPD dengan BPR maka secara nilai persentase untuk suku bunga di BPR jelas lebih tinggi. Artinya disini adalah bahwa pihak bank (BPR) sudah mampu melayani (memfasilitasi) serta mengelola aktifitas perekonomian melalui simpanan dana dari masyarakat.

Berdasarkan daya beli masyarakat dan melihat kecenderungan masyarakat mengkonsumsi kebutuhannya, maka kita dapat melihat seberapa


(46)

besar laju inflasi yang ada di kota Sibolga. Selama masa satu tahun periode 2000, tingkat laju inflasi mencapai 6,95%. Dimana laju inflasi tertinggi dicapai pada bulan Desember yaitu 4,63%. Artinya biaya operasi yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya mencapai puncak pada bulan Desember hal ini disebabkan pada bulan tersebut umat beragama mayoritas merayakan hari besarnya. Sehingga kecenderungan meningkatnya biaya ekonomi selalu terjadi pada peringatan hari besar agama.

Berdasarkan wawancara kuisioner A yang dilakukan terhadap 11 responden, sebahagian besar berpendapat bahwa daya dukung perbankan di Kota Sibolga untuk kegiatan usaha/investasi sebesar 73% responden menanggapi sudah memadai, demikian juga dengan kemampuan perbankan sebagai fungsi intermediasi juga sebesar 73% responden menilai sudah memadai.

Tabel 22.

Penilaian Responden terhadap Lembaga Keuangan / Perbankan di daerah Kurang

Memadai Total Memadai

INDIKATOR

F % F % F %

Daya dukung perbankan di daerah untuk

kegiatan usaha / investasi 8 73 3 27 11 100

Kemampuan perbankan di daerah

menjalankan fungsi intermediasi 8 73 3 27 11 100

Sumber : Data Primer yang diolah 2002

II.C.5. Investasi Daerah

Kondisi yang ada dalam suatu wilayah, dalam pengembangannya mau tidak mau harus melibatkan unsur investasi. Investasi diharapkan akan dapat menjadi motor pengembangan produksi, sehingga output yang dihasilkan akan


(47)

semakin baik dan berkualitas, sehingga pada akhirnya akan mampu masuk ke pasar yang lebih luas.

Dari hasil pengisian kuisioner A dan wawancara dengan responden, ada beberapa kegiatan penanaman modal (investasi) yang dilakukan oleh insvestor dari luar daerah, misalnya: dari Tapanuli Tengah, Medan dan sebagainya. Dari 11 responden yang diwawancarai dalam penelitian 91% merupakan perusahaan dengan investasi lokal yang berasal dari pemilik itu sendiri. Kondisi ini paling tidak dapat menjelaskan bahwa tidak terlalu banyak investor luar daerah yang masuk ke Kota Sibolga.

Salah satu responden yang usahanya dimiliki oleh investor dari luar kota, yaitu M.A. Ketaren mengatakan bahwa secara geografis, Kota Sibolga sangat sulit untuk berkembang, karena lahan sudah sangat terbatas, dan langsung berbatasan dengan laut. Hal inilah yang menyebabkan investor dari luar kota enggan untuk membuka usaha di Kota Sibolga. Sementara itu responden lain yang bergerak di bidang warung telekomunikasi, yaitu A. Pasaribu berpendapat bahwa penyebab lain yang membuat orang enggan menanamkan modalnya di Kota Sibolga oleh karena semua sektor sangat bergantung pada sektor perikanan. Makanya jika sektor perikanan sedang lesu, maka usaha bisa merugi, atau bisa bangkrut.

Hal tersebut dipertegas kembali oleh Yahya Pasaribu yang bidang usahanya adalah docking kapal. Beliau mengalami sendiri bahwa saat ini nelayan sedang mengalami kesulitan didalam bekerja, karena maraknya pencurian ikan oleh kapal-kapal Thailand yang lebih modern, sehingga pendapatan nelayan jauh menurun. Hal ini berimbas pada timbulnya rasa


(48)

enggan melalut pada diri nelayan tadi, karena biaya operasional yang dikeluarkan tidak sesuai dengan hasil tangkapan ikan. Dengan malasnya nelayan ke laut, maka kapal-kapal banyak yang menganggur, sehingga permintaan akan produksi kapal pun bisa tidak sampai jangka waktu 6 bulan.

Salah seorang responden yang bergerak di bidang penangkahan ikan, yaitu A. Saragih, berpendapat, investor dari luar untuk saat ini sulit untuk mau masuk, karena kondisi pendapatan masyarakat saat ini sedang sulit maka tingkat konsumsinya agak menurun. Jadi investor pun saat ini tidak tahu mau mengembangkan sektor yang mana, sedangkan usaha yang sudah ada sedang mengalami kesulitan.

Hal berbeda diungkapkan oleh Munzier, salah seorang responden yang berusaha di bidang pengeringan ikan. Menurut beliau usaha perikanan masih bisan dikembangkan, hanya saja sub bidangnya harus lebih beragam. Walaupun nelayan mengatakan sulit mendapat ikan, tetapi beliau tidak pernah mengalami kesulitan dalam mendapatkan bahan baku produksinya yang merupakan ikan basah. Jadi walaupun sebahagian orang mengatakan sulit untuk bergerak di bidang perikanan, ia tidak setuju.

Tetapi disamping itu, secara umum jika dilihat dari kondisi masyarakatnya, sebenarnya Kota Sibolga merupakan tempat untuk berinvestasi yang baik. Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap 11 responden, tidak ada respondenn yang menolak adanya investor luar yang mau berinvestasi di Kota Sibolga, semua responden sangat berharap ada banyak investor baru yang masuk. Hal ini juga menjelaskan bahwa semangat bersaing masyarakat Kota Sibolga sudah tinggi. Hal ini dapat terlihat dari survai yang


(49)

dilakukan, bahwa tidak ada responden yang tidak menerima datangnya pesaing-pesaing baru dari luar daerah.

II.D. GAMBARAN KONDISI TENAGA KERJA

Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang penting dalam pembentukan nilai tambah perekonomian suatu daerah. Pekerja yang selain sebagai SDM juga merupakan komponen utama dari pembangunan yaitu sebagai manusia sebagai pelaku utama pembangunan. Pada hasil penelitian lapangan gambaran daya tarik investasi daerah kota Sibolga, ada beberapa hal yang diteliti dan dibahas berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi daya tarik investasi di kota Sibolga berkaitan dengan kondisi ketenagakerjaannya.

II.D.1. Karakteristik Penduduk.

Jumlah penduduk kota Sibolga pada tahun 2001 adalah sebesar 84.032 jiwa (berdasarkan data BPS), yang terdiri dari 42.820 jiwa penduduk laki-laki dan 41.212 jiwa penduduk perempuan, yang terbesar di tiga kecamatan dengan total luas daerah 10.77 km2 dan dengan tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 1,41%. Berdasarkan luas daerah dan jumlah penduduk tersebut, kota Sibolga memiliki kepadatan penduduk 7.802 jiwa per km2, yang mana kecamatan Sibolga Selatan merupakan kecamatan yang padat penduduknya yaitu 9.427 per km2.

Dari 84.032 jiwa penduduk kota Sibolga, komposisi penduduk menurut usia produktif antara 15-60 tahun, ada sebanyak 25.740 jiwa laki-laki dan


(50)

24.506 jiwa penduduk. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk secara keseluruhan maka 59,79% dari total penduduk kota Sibolga berada pada usia produktif dan 36,09% adalah anak-anak dan 4,12% adalah lanjut usia. Berdasarkan data tersebut maka sebesar 18.134 jiwa penduduk pada usia produktif yang nantinya dapat digantikan dari jumlah anak-anak yang ada.

Kriteria penduduk kota Sibolga jika dilihat dari rasio penduduk yang termasuk dalam angkatan kerja maka ada sebesar 42.29% atau sebanyak 35.357 jiwa penduduk yang bekerja dan sebesar 3,99% atau sebanyak 3.353 jiwa yang mencari pekerjaan dan total angkatan kerjanya adalah sebanyak 38.890 jiwa atau sebesar 46,28%. Sedangkan kriteria penduduk yang termasuk dalam bukan angkatan kerja, rasio penduduknya adalah 26,95% atau sebanyak 22.646 jiwa penduduk yang sekolah, 20,38% atau sebanyak 17.126 jiwa penduduk yang mengurus rumah tangga dan 6,39% atau sebanyak 5.370 jiwa penduduk yang termasuk kriteria lainnya yang secara total jumlah penduduk yang termasuk bukan angkatan kerja ada sebanyak 45.142 jiwa atau sebesar 53,72%. Dari komposisi ini diketahui bahwa komposisi penduduk terbesar ada pada penduduk bekerja (42,29%) dan penduduk yang masih sekolah (26,95%). Dan secara keseluruhan ditunjukkan bahwa komposisi bukan angkatan kerja lebih besar dibandingkan dengan angkatan kerja.

Karakteristik penduduk kota Sibolga pada komposisi kerja yang sebesar 42,29% tersebut bekerja menurut lapangan usaha sebagai berikut yaitu Pertanian 30,16%, Perdagangan 32,33%, Jasa 13,37%, Pengangkutan dan Akomodasi 12,85%, Industri 4,97%, Bangunan 2,90% dan sisa pada usaha


(51)

bank dan lembaga keuangan, listrik, gas dan air, penggalian dan pertambangan serta lain-lainnya.

II.D.2. Ketersediaan Tenaga Kerja.

Seperti yang sudah disampaikan pada bagian sebelumnya bahwa jumlah penduduk kota Sibolga yang termasuk dalam komposisi bekerja ada sebanyak 35.537 atau sebesar 42,29% dari total jumlah penduduknya.

Dari jumlah ini diketahui bahwa jumlah kontribusi terbesar dari jumlah penduduk yang bekerja memiliki pendidikan tamatan SD 25,08%, SMU 24,87% dan SLTP sebesar 24,56%. Hal ini menunjukkan hampir tiga perempat bagian dari jumlah penduduk yang bekerja memiliki pendidikan minimal SD, SMU, atau SLTP, artinya adalah peluang dunia usaha untuk mendapatkan pekerja yang memiliki tingkat pendidikan tinggi (menengah atas) kemungkinannya sama dengan pekerja yang pendidikannya SD dan SLTP. Jadi dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa ketersediaan tenaga kerja bagi dunia usaha yang ada di kota Sibolga masih akan dipenuhi oleh pekerja dengan pendidikan SMU, SLTP, dan SD. Yang mana hal ini dapat menunjukkan bahwa kondisi seperti ini tidak akan dapat mendukung peningkatan dan kelancaran investasi untuk mengembangkan dunia usaha agar lebih terpacu secara terus menerus, dikarenakan semakin berkembangnya teknologi dan pengetahuan yang akan selalu berubah dalam pengaplikasiannnya di dunia usaha.


(52)

II.D.3. Kualitas/ Keterampilan Tenaga Kerja

Kota Sibolga yang merupakan kota yang berada di kawasan pantai Barat, pada saat sekarang ini seperti yang dipaparkan sebelumnya, dari jumlah tenaga kerja yang sebanyak 35.537 jiwa atau sebesar 42,29% dari total jumlah penduduknya, 32,33% bekerja disektor perdagangan, 30,16% bekerja disektor pertanian, 13,37% bekerja disektor jasa, sebesar 42,85% bekerja disektor pengangkiutan dan akomodasi dan sisanya bekerja disektor industri, bangunan, bank dan lembaga keuangan, listrik gas dan air serta penggalian dan pertambangan.

Apabila dilihat dari persentase tenaga kerja sektor manufaktur (industri) terhadap total tenaga kerja ada sebesar 4,97% tenaga kerja yang bekerja disektor manufaktur. Prosentase ini cukup kecil dibandingkan dengan sektor pertanian (30,16%), perdagangan (32,33%), jasa (13,37%) dan sektor pengangkutan dan akomodasi (12,85%).

Dari kondisi tersebut dapat juga bahwa sekitar 52,44% dari juml;ah penduduk yang bekerja tersebut (35.537 jiwa) merupakan buruh/pekerja dan sekitar 30,98% adalah penduduk yang bekerja dengan usaha sendiri tanpa bantuan orang lain, dan selebihnya adalah pekerja lepas dan pekerja keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh dari jumlah penduduk yang bekerja memiliki kualitas sebagai pekerja buruh ini dimungkinkan karena lebih dari separuh jumlah tenaga kerja yang ada memiliki tingkat pendidikan SLTP ke bawah (64,14%), artinya adalah bahwa pekerja yang ada hanya memungkinkan untuk mengisi lapangan pekerjaan yang hanya membutuhkan kondisi fisik yang kuat agar dapat bekerja dengan menggunakan tenaga tanpa


(53)

harus memanfaatkan secara optimal keterampilan dan pendidikan yang dimiliki.

II.D.4. Produktivitas Tenaga Kerja

Dari bagian sebelumnya sudah dijelaskan bahwa prosentase jumlah tenaga kerja yang berada disektor manufaktur (industri) adalah sebesar 4,97% dari total jumlah penduduk yang bekerja yaitu 35.357 jiwa. Jika dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) kota Sibolga pada tahun 2001 yang berjumlah Rp. 250.001.080, untuk sektor manufaktur (industri) menyumbang sebesar Rp. 24.761.560 atau sebesar 9,905% berdasarkan perhitungan PDRB atas dasar harga konstan 1993. Apabila dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang ada disektor ini, maka yaitu sebesar 1.766 jiwa (4,97%) dari total penduduk yang bekerja, berarti untuk setiap tenaga kerja menyumbang sebesar Rp 14.024 kepada sektor manufaktur (industri).

Sedangkan jika dilihat dari PDRB yang dihitung atas dasar harga berlaku jumlah PDRB kota Sibolga tahun 2001 adalah sebesar Rp.527.424.220, dengan kontribusi sektor manufaktur (industri) terhadap total PDRB adalah sebesar Rp.60.932.330, atau sebesar 11,55% dan apabila dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang ada disektor ini, maka sumbangan tiap satu orang tenaga kerja adalah sebesar Rp.34.503,-

Sedangkan berdasarkan penilaian responden terhadap kondisi tenaga kerja seperti yang tersaji pada tabel 23, sebanyak 64% responden menyatakan bahwa kualitas atau keterampilan tenaga kerja adalah tingg dan 36% responden menyatakan agak kurang. Sama halnya dengan kualitas tenaga


(54)

kerja, dilihat dari sisi produktivitas tenaga kerja pun, sebesar 64% responden menyatakan tinggi dan 36% responden menyatakan agak kurang. Dari hal ini menunjukkan bahwa penilaian terhadap gambaran kondisi tenaga kerja di Kotamadya Sibolga secara umum adalah baik.

Tabel 23.

Penilaian Responden terhadap Tenaga Kerja di daerah Sangat

Tinggi

Agak Kurang

Tinggi Kurang Kurang

INDIKATOR

F % F % F % F % F %

Kualitas / Keterampilan Tenaga Kerja

- - 7 64 4 36 - - 11 100 Produktifitas Tenaga Kerja - - 7 64 4 36 - - 11 100

Sumber : Data primer yang diolah, 2002

II.E. INFRASTRUKTUR FISIK

Untuk meningkatkan perekonomian dan pembangunan suatu daerah dukungan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh daerah sangatlah penting. Hal ini berkaitan dengan akan memperlancarnya hubungan akses daerah dengan daerah lain untuk melakukan kegiatan perekonomian antar daerah, seperti kegiatan perdagangan baik yang dilakukan dengan menggunakan fasilitas darat, laut dan udara terhadap produk yang merupakan hasil produksi dari daerah yang bersangkutan.

Untuk kota Sibolga yang dalam hal ini merupakan salah satu daerah yang menjadi tempat penelitian yang berkaitan dengan gambaran daya tarik investasi daerah, ketersediaan infrastruktur dan kondisinya akan sangat penting guna mendukung proses ekonomi dan pembangunan daerah kearah yang lebih maju.


(1)

BAB III KESIMPULAN

Berdasarkan gambaran-gambaran dan analisa dari pemaparan hasil penelitian lapangan yang berkaitan dengan daya tarik investasi di Kota Sibolga, kesimpulan dari pemaparan pada aspek kelembagaan adalah sebagai berikut:

1. Dari aspek kepastian hukum kesimpulan yang didapat adalah secara keseluruhan indikator yang berkaitan, seperti netralitas lembaga peradilan dalam menangani kasus-kasus ataupun konflik-konflik yang terjadi, kecepatan proses, konsistensi menegakkan keputusan peradilan, perlindungan terhadap hak dan mekanisme penyelesaian konflik dinilai sedang. Artinya lembaga peradilan yang berjalan di Kota Sibolga masih dapat menjaga sikap netralnya tanpa harus memihak salah satu bagian atau kelompok yang bertikai, yang dapat dilihat dari tanggapan responden sebesar 64% yang menilai sedang terhadap netralitas lembaga peradilan. Hal ini dapat dikaitkan juga dengan tanggapan responden mengenai perlindungan terhadap kontrak dan hak kepemilikan, sebesar 73% responden menyatakan sedang dan 27% responden menyatakan baik. Berarti tidak ada tanggapan yang negatif dari responden terhadap kepastian hukum oleh lembaga peradilan. Sama halnya dengan mekanisme penyelesaian konflik antara masyarakat dengan pengusaha, sebesar 91% responden menyatakan sedang dan 9% menyatakan baik.


(2)

2. Untuk aspek aparatur dan pelayanan oleh pemda dari indikator yang menjadi bahan pertimbangan penilaian yang diberikan oleh responden dapat disimpulkan, baik kualitas pejabat pemda, anggota DPRD maupun petugas pelayanan publik secara umum dinilai sedang oleh responden, masing-masing sebesar 82%, 64% dan 82%.

3. Peraturan daerah yang ditetapkan sebagai dasar untuk mengatur

pemerintahan di Kota Sibolga, dapat disimpulkan bahwa kesesuaian antara satu perda dengan perda yang lain dirasakan terlihat ada keharmonisan dalam pelaksanaan yang ditanggapi oleh responden sebesar 9% sangat baik dan 45% memberi tanggapan baik. Sama halnya dengan kejelasan berbagai kebijakan pemda yang dikaitkan dengan dunia usaha, sudah ada tanggapan yang baik terhadap prosedur yang telah dilakukan oleh pemda (9% menyatakan sangat baik dan 54% menyatakan baik). Demikian juga halnya dengan besar biaya-biaya yang ditetapkan didalam perda dan penetapan biaya maupun pungutan yang ditetapkan, ada gambaran yang cukup sejalan dengan prosedur pelayanan yang diatur dalam perda. Hal ini ditandai dengan tidak adanya pungutan berganda yang dibayarkan oleh pengusaha.

Gambaran sosial politik di Kota Sibolga kesimpulannya adalah baik, yang mana kondisi ini dapat dilihat dari tidak pernah dan jarang terjadinya gangguan keamanan yang dapat mengganggu dan menghambat dunia usaha maupun yang meresahkan masyarakat umum walaupun ada intensitas jarang yang dirasakan pernah terjadi. Oleh karenanya kondisi keamanan secara umum di Kota Sibolga sangat kondusif untuk berkembangnya usaha baru.


(3)

Demikian juga halnya dengan kondisi sosial politik masyarakat dan nilai-nilai budayanya, dapat disimpulkan baik dan cukup dinamis, yang dilihat dari konflik-konflik yang terjadi diantara aparatur pemda, baik DPRD maupun pejabat daerah tidak mengarah kepada perseteruan yang berkepanjangan. Hal ini juga berkaitan dengan budaya masyarakat yang sudah mempunyai nilai-nilai yang terbuka terhadap siapapun tanpa harus memandang SARA serta tingginya semangat masyarakt untuk bersaing secara sehat.

Kesimpulan dari gambaran perekonomian daerah adalah adanya perubahan potensi daerah yang dapat dikembangkan sebagai sektor baru yang dapat menambah investasi di daerah. Hal ini dapat dilihat dari adanya tingkat pertumbhan ekonomi yang bergerak naik dari beberapa sektor yang menyumbang di dalam PDRB, seperti sektor listrik, gas dan air minum yang pada tahun 2000 meningkat menjadi sebesar 6,46%, sektor perdagangan, hotel dan restoran yang naik menjadi sebesar 3,59% pada tahun yang sama, demikian juga sektor pengangkutan dan komunikasi yang naik menjadi sebesar 7,13%. Sejalan dengan ini, gambaran ekonomi Kota Sibolga sudah mengalami peningkatan yang dapat dilihat dari sudah tingginya daya beli sebahagian masyarakat.

Kesimpulan dari kondisi tenaga kerja di Kota Sibolga dinilai cukup baik, sehubungan dengan ketersediaan tenaga kerja yang cukup banyak sebesar 42,29% dari jumlah penduduk Kota Sibolga, walaupun secara kualitas masih cukup rendah, yang mana tingkat pendidikan yang dimiliki tenaga kerja masih dipenuhi dengan tingkat pendidikan SD (25,08%) dan SLTP (24,56%). Namun jika dilihat dari etos kerjanya tenaga kerja yang ada tersebut cukup


(4)

bersemangat. Sedangkan kalau dilihat dari produktivitas tenaga kerja masih rendah bila dilihat dari PDRB daerah.

Sedangkan untuk infrastruktur fisik sebagai aspek terakhir yang dianalisa berkaitan dengan daya tarik investasi di Kota Sibolga, kesimpulan yang dapat diambil adalah masih tersedianya infrastruktur yang ada yang dapat mendukung dunia usaha serta memiliki kualitas yang cukup baik untuk dipergunakan, walaupun untuk sebagian infrastruktur seperti penyediaan sambungan telepon, yang masih belum dapat memenuhi setiap permohonan yang masuk, serta rusaknya sebagian ruas jalan yang merupakan jalur pintu masuk ke Kota Sibolga.


(5)

BAB IV SARAN

Sehubungan dengan tujuan dan hasil dari penelitian lapangan daya tarik investasi di Kota Sibolga dan usaha untuk menjadikannya daerah yang menarik bagi masuknya investasi, ada beberapa hal yang perlu diberikan perhatian antara lain:

1. Meningkatkan kualitas SDM agar memiliki pengetahuan dan keterampilan yang tinggi dengan meningkatkan pelayanan pendidikan yang lebih luas lagi tidak hanya dengan pendidikan formal melainkan juga dengan pengetahuan informal. Yang mana nantinya akan menjadi salah satu faktor penting bagi pengembangan dunia usaha masa depan yang berkaitan dengan bertambahnya investor baru yang akan menanamkan modalnya untuk mengembangkan usaha baru dengan berpedoman pada ketersediaan SDM yang handal tersebut.

2. Perbaikan dari ruas-ruas jalan yang rusak terutama jalur dari Batu Berlubang merupakan jalur pintu masuk ke Sibolga akan sangat membantu dan mendorong terjadinya peningkatan perekonomian daerah dikarenakan akan semakin lancarnya akses keluar dan masuknya barang-barang yang dapat dijual keluar daerah maupun yang dapat dikonsumsi oleh daerah sendiri.

3. Peningkatan pemberian jumlah kredit kepada UKM terutama sektor-sektor yang cukup potensial untuk mendorong peningkatan perekonomian daerah,


(6)

yang dibarengi dengan proses pelayanan yang tidak berbelit-belit akan sangat membantu bergeraknya dunia usaha yang diharapkan dengan ditandai semakin menariknya daerah Kota Sibolga bagi investor baru. 4. Berkaitan dengan tujuan untuk menggalakkan investasi, pemerintah Kota

Sibolga perlu melakukan kajian yang mengikutsertakan berbagai kalangan terutama praktisi dari dunia usaha dan akademisi serta instansi yang berkaitan langsung dengan kegiatan penanaman modal untuk mendapatkan sektor-sektor mana saja yang potensial untuk diberikan gambarannya kepada investor agar mau menanammkan modalnya. Hal ini juga ada baiknya jika pemerintah dapat membuat mekanisme tentang investasi yang dimulai dari proses perijinan, sampai keluarnya izin untuk berusaha hanya dalam jangka waktu relatif singkat dan menjadi lebih pasti serta dapat diselesaikan dalam satu atap.