Gagasan Reaktualisasi Pembahasan A. Biografi Munawir Sjadzali

University College of Sout West of England, Exeter yang kemudian hari menjadi University of Exeter. 7 Berhasil menyelesaikan studi di Inggris, selanjutnya Munawir bertolak menuju Amerika untuk bertugas sebagai pegawai pada atase Penerangan di Washington DC. Pada saat yang sama Munawir mengajukan pendaftaran sebagai murid di Universitas Georgetown untuk Master of Art MA. Setelah meraih gelar MA, Munawir dipanggil menghadap Presiden Suharto perihal pengangkatannya sebagai Menteri Agama dalam kabinet Pembangunan IV. Setelah mulai menjabat sebagai Menteri Agama inilah Munawir banyak melakukan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan agama termasuk pula pendidikan Islam. Selain itu Munawir juga menelurkan beberapa karya tulisa. Karya tulis Munawir yang pertama terbit tahun 1950 berjudul Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam 80 halaman. Buku itu dicetak 5000 eksemplar dan dalam 4 bulan habis. Lewat buku itulah dia dapat berkenalan dengan Bung Hatta, Wakil Presiden RI pertama lewat penyalur bukunya, Zein Jambek, ipar Hatta, direktur toko buku Tintamas Jakarta. Atas jasa baik Hatta, Munawir diterima jadi pegawai negeri di Departemen Luar Negeri. Karya Munawir lainnya adalah Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, “Reaktualisasi Ajaran Islam” dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, dan “Dari Lembah Kemiskinan” dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA. 8

B. Gagasan Reaktualisasi

Dalam beberapa dekade terakhir, di Indonesia banyak bermunculan istilah- istilah yang dipergunakan oleh para pemikir Muslim dan para pengamat sosial- keagamaan Islam untuk menggaris bawahi perlunya meneliti dan mencermati kembali prinsip-prinsip dasar, nilai-nilai dan norma-norma keislaman yang hendak dihidupkan kembali dalam era modernitas. Istilah-istilah itu antara lain adalah reinterpretasi penafsiran ulang, reaktualisasi mengangkat dan menghidupkan kembali, reorientasi memikirkan kembali, revitalisasi 7 Munawir Sjadzali. “Dari Lembah Kemiskinan”. Muhammad Wahyuni Nafis ed., Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA Jakarta: Paramadina, 1995 hal. 48 8 Yunahar Ilyas, Reaktualisasi Ajaran Islam: Studi atas Pemikiran Hukum Munawir Sjadzali, Jurnal Al-Jami‘ah, Vol. 44, No. 1, 2006 hal.227 6 membangkitkan kembali, kontekstualisasi mempertimbangkan konteks kehidupan sosial-budaya, membumikan Islam, dan istilah-istilah lain yang masih mempunyai kandungan makna yang relatif sama seperti Islam transformatif, Islam intelektual, dan Islam substansial. 9 Paling menonjol dari salah satu dari istilah-istilah tersebut serta paling banyak memantik kontroversi adalah reaktualisasi, atau tepatnya Reaktualisasi Ajaran Islam dengan tokoh penggagasnya Munawir Sjadzali, Menteri Agama Republik Indonesia dua periode 1983-1993. Istilah diatas menjadi menarik karena gagasan ini diangkat oleh seorang pejabat tinggi negara yang memiliki banyak forum untuk memasyarakatkan gagasannya, maka segera saja gagasan reaktualisasi itu mudah mendapatkan beragam respon dari umat Islam Indonesia, terutama dari kalangan ulama dan pemikir Muslim. Tidak ketinggalan pula, masyarakat awam memberi tanggapan atas gagasan tersebut. Bisa dikatakan, popularitas gagasan ini -terlepas dari adanya pro dan kontra- mengalahkan gagasan pembaharuan pemikiran Islam lainnya. Gagasan diatas berangkat dari pengamatan Munawir terhadap realitas sosial di kalangan umat Islam Indonesia diantaranya tentang bunga bank serta hukum waris. Dalam temuan Munawir, umat Islam dianggap mudah mendua dalam sikap keberagamaan. Umat Islam seringkali berkata untuk teguh memegang prinsip agama, namun pelaksanaan di lapangan bisa berbeda jauh dari apa yang sudah dikatakan. Kondisi umat Islam sekarang ini, menurut Munawir, sudah jauh tertinggal dari dunia Barat. Hal ini terjadi karena negara-negara Barat terus mencari perubahan dengan akal budi, merupakan pemberian Tuhan yang paling utama pada umat manusia. Sementara pengembangan intelektual pada dunia Islam boleh dikatakan sejak lama terhambat –kalau tidak mau dikatakan terhenti. Meskipun ungkapan pintu ijtihad telah tertutup sudah jarang terdengar, tetapi pemikir Islam sekarang tampaknya masih tetap belum mulai berani untuk berpikir kritis. Akibatnya Islam yang dulu di tangan Nabi Muhammad Saw merupakan ajaran 9 M. Amin Abdullah, “Telaah Hermeneutis terhadap Masyarakat Muslim Indonesia”, Muhammad Wahyuni Nafis ed., Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA Jakarta: Paramadina, 1995, hlm. 537 7 yang revolusioner, sekarang ini mewakili aliran terbelakang kalau tidak mau dikatakan out of date. 10 Dengan demikian untuk menghilangkan kesan itu, Munawir mencoba mengaktualkan ajaran Islam tersebut setelah melihat dan mendengar realitas masyarakat Islam Indonesia yang mengakui terhadap ajaran Islam yang telah ditentukan, namun di sisi lain, dalam kenyataannya mereka tidak mengamalkan ajaran itu sehingga timbul apa yang disebut oleh Munawir sebagai orang yang punya sikap ambiguitas mendua dalam beragama, terutama dengan hukum Islam. Sikap mendua ini, menurutnya, terlihat jelas pada pembagian harta warisan. Sebagaimana diketahui bahwa sampai saat ini di seluruh dunia Islam -termasuk di Indonesia- sistem waris yang diberlakukan baik dalam versi Sunni, Syi‘ah maupun negara-negara Islam yang telah mengupayakan kodifikasi hukum lewat perundang-undangan masih tetap mempertahankan sistem kalkulasi dua berbanding satu 2:1 antara anak laki-laki dan anak perempuan. Sebagai seorang Menteri Agama, Munawir sering mendapat laporan dari para Hakim Agama di berbagai wilayah Indonesia, tentang banyaknya penyimpangan- penyimpangan yang terjadi di kalangan masyarakat Muslim di Indonesia. Sebagai contoh dalam masalah warisan, bila ada keluarga Muslim yang meninggal, pembagian waris yang seharusnya diselesaikan di Pengadilan Agama dengan ketentuan faraidl, malah yang terjadi justru mereka pergi ke Pengadilan Negeri agar penyelesaian bisa diselesaikan dengan ketentuan di luar kewenangan ilmu faraidl. Hal tersebut bukan hanya dilakukan oleh masyarakat awam namun juga dilakukan oleh tokoh-tokoh agama. 11 Sementara itu banyak kepala keluarga yang mengambil kebijaksanaan pre- emptive. Semasa hidup, mereka telah membagikan sebagian besar dari kekayaannya kepada anak-anak, masing-masing mendapat pembagian yang sama besar tanpa membedakan jenis kelamin, sebagai hibah. Dengan demikian jika orang tua meninggal, kekayaan yang harus dibagi tinggal sedikit, bahkan bisa dikatakan hampir habis sama sekali. Dalam hal ini, secara formal tidak terjadi 10 Syukri Abubakar.Pemikiran Munawir Sjadzali tentang Pembagian Waris di Indonesia. Jurnal Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 hal. 133 11 Vita Fitria, Reaktualisasi Hukum Islam : Pemikiran Munawir Sjadzali. Jurnal AKADEMIKA Vol 17, No 2 2012 STAIN Jurai Siwo Metro Lampung , hal. 8 8 penyimpangan dari ketentuan al-Quran. Tetapi apakah pelaksanaan ajaran agama dengan semangat demikian sudah betul. Apa yang dialami oleh Munawir pribadi juga berkata demikian. Suatu ketika Munawir meminta masukan kepada seorang ulama terkemuka mengenai sebuah masalah pribadi. Kepada ulama dimaksud, Munawir bercerita bahwa ia dikaruniai enam anak; tiga orang laki-laki dan tiga orang perempuan. Tiga anak laki-laki sudah menyelesaikan pendidikan di universitas luar negeri, sedangkan dua dari tiga anak perempuan Munawir hanya melanjutkan di sekolah kejuruan yang biayanya terang lebih kecil dari tiga saudara laki-laki mereka. Yang menjadi kejanggalan dalam hati Munawir apakah anak laki-lakinya tetap memiliki hak dua kali lebih besar dari anak perempuannya. 12 Ulama yang dianggap memiliki kredibilitas tinggi dalam pandangan Munawir itu tidak serta merta memberikan nasihat atau fatwa. Ulama itu hanya memberi masukan sesuai dengan apa yang ia dan ulama lain lakukan. Ketika masih hidup, ulama tersebut membagi semua harta kekayaannya kepada semua anaknya, masing-masing mendapat jatah bagian yang sama besar tanpa membedakan jenis kelamin. Dengan demikian, ketika yang bersangkutan meninggal, kekayaan yang akan dibagi sesuai faraidl tinggal sedikit. Atas dasar realita ini, Munawir semata-mata ingin menunjukkan kepada khalayak ramai bahwa inilah kenyataan sosial yang selama ini terjadi dalam masyarakat. Umat Islam tidak dapat mengatakan bahwa pelaku penyimpangan ini sebagai akibat kurangnya komitmen kepada Islam tanpa mempelajari faktor-faktor yang mendorong penyimpangan tersebut. Munawir berargumen bahwa dia tidak pernah mengatakan atau berpendapat bahwa hukum waris Islam yang ditentukan al-Quran itu tidak adil. Justru Munawir menyoroti sikap masyarakat yang nampak tidak percaya lagi kepada keadilan hukum faraidl. Realita kedua yang dijadikan contoh bagi Munawir untuk bahan reaktualisasi adalah bunga bank. Sikap mendua umat Islam-menurut Munawir- adalah banyak umat Islam yang berpendirian bahwa bunga atau interest adalah riba, dan oleh karenanya sama-sama haram dan terkutuk sebagai riba. Tetapi 12 Munawir Sjadali, “Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam”. Muhammad Wahyuni Nafis ed., Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA Jakarta: Paramadina, 1995, hlm. 89 9 sementara itu umat Islam tidak hanya hidup dari bunga deposito, tetapi dalam kehidupa sehari-hari mereka banyak mempergunakan jasa bank, dan bahkan mendirikan bank dengan sistem bunga dengan alasan darurat. Padahal seperti yang termaktub dalam surat al-Baqarah ayat 173, kelonggaran yang diberikan kepada umat Islam itu dengan syarat tidak adanya unsur kesengajaan dan tidak lebih dari pemenuhan kebutuan esensial. 13 Munawir mulai pembahasannya -dengan memberikan definisi tentang riba. Menurutnya riba dalam bahasa Arab mempunyai arti tambahan. Sedangkan dalam terminologi hukum Islam yang dimaksud dengan riba adalah tambahan baik berupa tunai, benda maupun jasa yang mengharuskan pihak peminjam membayar selain jumlah uang yang dipinjamkan kepada pihak yang meminjamkan pada hari jatuh waktu mengembalikan uang pinjaman itu. Berbicara masalah riba, Abu Sura’i, guru besar Syari’ah Riyadh University, berpendapat bahwa tambahan dimaksud tidaklah bermakna umum, karena tambahan ini adalah tambahan dari usaha yang haram dan merugikan salah satu pihak ketika bertransaksi. Sedangkan tambahan dari usaha perdagangan adalah halal, karena perdagangan merupakan hal yang dihalalkan menyangkut kepentingan manusia secara dharuri. 14 Sedangkan yang dimaksud tambahan yang riba adalah tambahan yang diberikan debitur kepada kreditur atas pinjaman pokok sebagai imbalan atas tempo pembayaran yang telah disyaratkan. Sehingga riba ini mempunyai tiga unsur. Pertama, kelebihan dari pokok pinjaman. Kedua, kelebihan bayaran sebagai imbalan tempo pembayaran. Ketiga, jumlah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi. Ijtihad yag dilakukan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab sangat mempengaruhi pemikiran Munawir, terutama bila dikaitkan dengan posisinya sebagai Menteri Agama. Munawir mengemukakan fakta bahwa Umar bin Khattab pernah melakukan ijtihad yang didasarkan kepada aspek maslahah dalam beberapa kasus yang dihadapinya. Beberapa pertimbangan terhadap situasi konkrit 13 Munawir Sjadzali. “Reaktualisasi Ajaran Islam”. Iqbal Abdurrauf Saimima ed, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam. Jakarta: Panjimas, 1988 hal. 2 14 Tobibatussaadah. Pembaruan Pemikiran dalam Konteks Keindonesiaan: Studi terhadap Pemikiran Hukum Islam Munawir Sjadzali serta Pengaruhnya Terhadap Pemikiran Hukum Islam di Indonesia. Jurnal Istinbath Mei 2014 STAIN Jurai Siwo Metro. hal. 11 10 dan realitas umat sangat mempengaruhi Umar dalam mengurus masyarakat dan menafsirkan kembali aturan-aturan yang sudah berlaku sebelumnya. “What Munawir meant by the reactualization of Islamic law was to modify and to contextualize certain religious precepts and practices in accordance with universal values of justice. Pleading for this reactualization, he mentioned the practices of the second Chaliph, Umar ibn al-Khattab, who departed from a textual understanding of the Qur’an in applying its prescriptions. Munawir’s reactualization, therefore, suggests taking advances of contextual interpretation instead of literal understanding of the Qur’an as a basis for legal decisions. In this light he advances the use of abrogation naskh and the purpose of the shari‘ah maqasid al-shari‘ah to legitimize his reactualization, which sometime departs from some Qur’anic verses.” 15 Pertimbangan sosial ekonomi serta keadilan untuk senantiasa mewujudkan kemaslahatan umat telah mempertegas sikap beliau dalam menjalankan ajaran Islam. Sebagaimana Khalifah Umar dahulu, banyak membuat kebijakan dan keputusan yang tidak sesuai dengan al-Quran atas dasar kemaslahatan umat. 16

C. Respon atas Gagasan Reaktualisasi