Nama Hanif Nanda Zakaria Kelas MPAI A

(1)

Nama : Hanif Nanda Zakaria

Kelas : MPAI-A

Mata Kuliah : Studi Pendekatan Islam Pengampu : Dr. H.M Samsul Hady, M.Ag Tema : Reaktualisasi Ajaran Islam

1. Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari meniscayakan munculnya beragam problema. Masalah tersebut harus diselesaikan agar kehidupan masyarakat berjalan dengan semestinya, lancar dan tertib. Dalam menyelesaikan problema, umat Islam merujuk pada wahyu al-Quran dan Sunnah. Namun ternyata tidak semua problema itu dapat diselesaikan dengan wahyu tersebut. Dalam hal seperti ini, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw, beliau menyelesaikannya dengan pemikiran dan terkadang pula melalui permusyawaratan dengan sahabat, terutama sekali masalah yang berhubungan dengan bidang mu‘amalah. Sebagaimana Nabi Saw bersabda “kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian”. Isyarat ini merupakan indikasi bahwa Nabi Saw memberi kelonggaran kepada umat Islam untuk menetapkan hukum yang tidak ada nash-nya dalam al-Quran dan Sunnah menggunakan ijtihad dengan akal pikiran karena Islam menempatkan akal pikiran pada derajat yang tinggi.1

Pada masa sahabat, pelaksanaan ijtihad dimulai pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw yaitu dengan menentukan siapa yang berhak menggantikan kedudukan Nabi Saw sebagai pemimpin di Madinah. Setelah melalui perdebatan yang sangat alot dan hampir menimbulkan gejolak diantara mereka, maka tampillah Umar bin Khattab di depan forum dengan menunjuk Abu Bakar sebagai pemimpin yang menggantikan kedudukan Nabi Muhammad Saw sebagai kepala negara.

Dalam bidang fiqh pun, perbedaan pendapat para sahabat semakin berkembang karena daerah kekuasaan Islam semakin luas dan problema yang muncul kian beragam, sehingga timbullah berbagai penafsiran terhadap al-Quran dan Sunnah. Pada masa itu, para sahabat menentukan hukum berdasarkan tuntutan

1 Syukri Abubakar.Pemikiran Munawir Sjadzali tentang Pembagian Waris di Indonesia. (Jurnal Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014) hal. 131


(2)

masyarakat, disamping memperhatikan jiwa ajaran yang terdapat dalam nash. Oleh sebab itu corak pembahasan fiqh pada masa itu merupakan pembahasan yang berusaha menjawab tuntutan masyarakat dan belum menyusun fatwa-fatwa fiqh

secara teoritis. Sebagai contoh, sahabat Umar banyak mengeluarkan fatwa yang dianggap oleh sebagian orang banyak menyalahi nash, seperti ia tidak memotong tangan terhadap pencuri, penolakan terhadap tanah yang baru dikuasai, pemberlakuan talak tiga sekali ucap menjadi jatuhnya talak tiga dan lain-lain.

Perbedaan pendapat para sahabat dalam bidang fiqh ini, ternyata kelak memberikan sumbangan intelektual yang amat berharga bagi dunia ijtihad

sepeninggal mereka. Dengan ijtihad inilah ajaran Islam dapat berkembang dengan pesat pada jaman keemasannya.

Sejarah menunjukkan bahwa pada periode formulatifnya, fiqh

(yurisprudensi Islam) merupakan suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Ia tumbuh dan berkembang sebagai hasil interpretasi terhadap prinsip-prinsip yang ada dalam al-Quran dan Sunnah sesuai dengan struktur dan konteks perkembangan masyarakat pada masa itu. Fiqh merupakan refleksi logis dari situasi dan kondisi dimana ia tumbuh dan berkembang. Kondisi tersebut ditandai dengan munculnya mazhab yang masing-masing mempunyai corak fikir yang berbeda. Hal itu menunjukkan bahwa berubahnya hukum terjadi karena perubahan waktu.2

Setiap fase dalam sebuah perubahan mempunyai karakter yang berbeda dalam memberikan semangat continuity and change (berlanjut dan berubah) yang berlangsung secara berkesinambungan. Para pemikir Muslim dan pengamat sosial keagamaan menekankan perlunya meneliti kembali prinsip-prinsip dasar, nilai-nilai dan norma-norma keislaman yang akan dihidupkan kembali di era modern saat ini. Setidaknya ada kesepakatan bahwa tidak semua bentuk historisitas dalam ajaran Islam perlu dipertahankan dan diterima apa adanya. Peninjauan kembali terhadap aturan hukum dalam aspek kemasyarakatan dapat dilakukan dengan penalaran intelektual, dengan menempatkan kepentingan masyarakat sebagai dasar pertimbangan dan tolak ukur yang utama.

2

Vita Fitria, Reaktualisasi Hukum Islam : Pemikiran Munawir Sjadzali. Jurnal AKADEMIKA Vol 17, No 2 (2012) STAIN Jurai Siwo Metro Lampung, hal. 2


(3)

Agama Islam sebagai agama yang sempurna tentu saja mempunyai peranan yang sangat besar dalam hal ini. Dalam setiap fase perkembangan Islam, selalu terdapat ide pembaruan. Pembaruan merupakan perubahan yang mencolok disbanding masa sebelumnya. Akan tetapi, dalam setiap fase perkembangan tidak memiliki karakter serta identitas yang sama.

Wacana pembaruan Islam di Indonesia secara historis telah mengalami perjalanan panjang dengan berbagai bentuk. mengemuka kembali secara meluas pada era tahun 1970-an, cendekiawan Muslim mencanangkan pembaruan yang terfokus pada rasionalilasi Islam yang dimotori Nurcholis Madjid. Selanjutnya pada era 1980-an, Munawir Sjadzali mewacanakan pembaruan dengan tema Reaktualisasi Ajaran Islam. Tema reaktualisasi Ajaran Islam yang disampaikan Munawir dengan menyoroti masalah waris dalam Islam mengenai bagian anak laki-laki dan bagian anak perempuan dengan perbandingan dua berbanding satu. Tema reaktualisasi seperti ini tentu saja mengagetkan banyak orang pihak yang sudah menganggap bahwa nash tentang waris merupakan nash yang qath’i al-dalalah (penunjukan terhadap hukum sudah jelas) yang tidak mungkin ada interpretasi selain yang tertera dalam nash (tekstual). Dalam hal ini, Munawir berpendapat lain dengan berpijak kepada kondisi riil yang ada di Indonesia. Aspek

local wisdom (kearifan local) menjadi sebuah pijakan dalam menetapkan hukum Islam.3

Layaknya sebuah gagasan yang banyak bergulir pada umumnya, gagasan reaktualisasi tidak luput dari dua kutub penyikapan yaitu pro dan kontra. Beberapa pihak yang kontra dengan gagasan reaktualisasi mempertanyakan mengapa gagasan tersebut tidak dilontarkan di kalangan cerdik cendikia saja saat Munawir menjabat Menteri Agama saat itu . Dikuatirkan gagasan itu akan membawa dampak yang buruk. Sedangkan pihak yang mendukung reaktualisasi memberi pandangan bahwa melalui gagasan reaktualisasi, diharapkan membawa hasil positif berupa peningkatan kajian dan analisis terhadap hukum Islam yang selama ini dianggap sudah final dan mapan.

3 Tobibatussaadah. Pembaruan Pemikiran dalam Konteks Keindonesiaan: Studi terhadap Pemikiran Hukum Islam Munawir Sjadzali serta Pengaruhnya Terhadap Pemikiran Hukum Islam di Indonesia. (Jurnal Istinbath Mei 2014 STAIN Jurai Siwo Metro). hal. 58


(4)

Makalah ini berusaha mendedahkan bahasan tentang: (1) gagasan reaktualisasi Munawir Sjadzali, (2) respon atas gagasan reaktualisasi.


(5)

2. Pembahasan

A. Biografi Munawir Sjadzali

Munawir Sjadzali lahir di desa Karanganom, Klaten, Jawa Tengah pada tanggal 7 November 1925. Ia anak tertua dari delapan bersaudara dari pasangan Abu Aswad Hasan Syadzali (putra Tohari) dan Tas’iyah (putri Badrudin). Dari segi ekonomi, keluarga Munawir memang jauh dari kata sejahtera. Namun dari sisi keagamaan, keluarga ini termasuk golongan santri.4 Kondisi ekonomi yang demikian serta semangat ingin menuntut ilmu keagamaan yang tinggi membawa Munawir pada satu pilihan pendidikan yaitu madrasah.5 Pilihan madrasah bukan didasarkan pada segi ekonomi semata namun lembaga ini lebih mengutamakan ilmu-ilmu Islam.

Setelah tamat dari Mambaul Ulum, Munawir muda tidak segera melanjutkan pada jenjang yang lebih tinggi, melainkan berusaha mencari pekerjaan. Pada saat yang sama Kiai Muhammad Irsam, seorang tokoh Muhammadiyah memberi kesempatan kepada Munawir untuk mengajar di Gunungpati, Semarang. Munawir segera menerima tawaran tersebut dengan pertimbangan bahwa tawaran ini lebih memberikan kepastian dibandingkan degan aktifitas yang sedang dilakukannya.6

Pasca mengajar di Gunungpati, dalam proses pencarian hidup Munawir mengantarkannya menjadi pegawai di Departemen Luar Negeri. Setelah mengikuti berbagai kegiatan kursus kedinasan dengan hasil yang baik, Munawir berangkat menuju Inggris untuk belajar Ilmu Politik selama satu tahun di

4 Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012) hal. 357

5 Munawir bercerita “... mereka (orang tua Munawir) bercita-cita ingin memasukkan saya ke Mambaul Ulum, pondok pesantren yang didirikan oleh Sri Susuhunan Pakubuwono X yang terbagi ke dalam tiga tingkatan: Ibtidaiyah enam tahun, Tsanawiyah empat tahun dan Aliyah tiga tahun. Tetapi waktu saya sudah menyelesaikan pendidikan Ibtidaiyah di Karanganom, kesempatan masuk Tsanawiyah dari pesantren itu belum terbuka. Maka saya dimasukkan ayah ke madrasah al-Islam, suatu pesantren yang didirikan oleh KH Ghazali, salah seorang sahabat senior ayah”. Munawir Sjadzali. “Dari Lembah Kemiskinan”. Muhammad Wahyuni Nafis (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA (Jakarta: Paramadina, 1995) hal. 10

6 Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012) hal. 358


(6)

University College of Sout West of England, Exeter yang kemudian hari menjadi University of Exeter.7

Berhasil menyelesaikan studi di Inggris, selanjutnya Munawir bertolak menuju Amerika untuk bertugas sebagai pegawai pada atase Penerangan di Washington DC. Pada saat yang sama Munawir mengajukan pendaftaran sebagai murid di Universitas Georgetown untuk Master of Art (MA). Setelah meraih gelar MA, Munawir dipanggil menghadap Presiden Suharto perihal pengangkatannya sebagai Menteri Agama dalam kabinet Pembangunan IV. Setelah mulai menjabat sebagai Menteri Agama inilah Munawir banyak melakukan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan agama termasuk pula pendidikan Islam.

Selain itu Munawir juga menelurkan beberapa karya tulisa. Karya tulis Munawir yang pertama terbit tahun 1950 berjudul Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam (80 halaman). Buku itu dicetak 5000 eksemplar dan dalam 4 bulan habis. Lewat buku itulah dia dapat berkenalan dengan Bung Hatta, Wakil Presiden RI pertama (lewat penyalur bukunya, Zein Jambek, ipar Hatta, direktur toko buku Tintamas Jakarta). Atas jasa baik Hatta, Munawir diterima jadi pegawai negeri di Departemen Luar Negeri. Karya Munawir lainnya adalah Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, “Reaktualisasi Ajaran Islam” dalam

Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, dan “Dari Lembah Kemiskinan” dalam

Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. H. MunawirSjadzali, MA.8

B. Gagasan Reaktualisasi

Dalam beberapa dekade terakhir, di Indonesia banyak bermunculan istilah-istilah yang dipergunakan oleh para pemikir Muslim dan para pengamat sosial-keagamaan Islam untuk menggaris bawahi perlunya meneliti dan mencermati kembali prinsip-prinsip dasar, nilai-nilai dan norma-norma keislaman yang hendak dihidupkan kembali dalam era modernitas. Istilah-istilah itu antara lain adalah reinterpretasi (penafsiran ulang), reaktualisasi (mengangkat dan menghidupkan kembali), reorientasi (memikirkan kembali), revitalisasi

7 Munawir Sjadzali. “Dari Lembah Kemiskinan”. Muhammad Wahyuni Nafis (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA (Jakarta: Paramadina, 1995) hal. 48

8 Yunahar Ilyas, Reaktualisasi Ajaran Islam: Studi atas Pemikiran Hukum Munawir Sjadzali, (Jurnal Al-Jami‘ah, Vol. 44, No. 1, 2006) hal.227


(7)

(membangkitkan kembali), kontekstualisasi (mempertimbangkan konteks kehidupan sosial-budaya), membumikan Islam, dan istilah-istilah lain yang masih mempunyai kandungan makna yang relatif sama seperti Islam transformatif, Islam intelektual, dan Islam substansial.9

Paling menonjol dari salah satu dari istilah-istilah tersebut serta paling banyak memantik kontroversi adalah reaktualisasi, atau tepatnya Reaktualisasi Ajaran Islam dengan tokoh penggagasnya Munawir Sjadzali, Menteri Agama Republik Indonesia dua periode (1983-1993). Istilah diatas menjadi menarik karena gagasan ini diangkat oleh seorang pejabat tinggi negara yang memiliki banyak forum untuk memasyarakatkan gagasannya, maka segera saja gagasan reaktualisasi itu mudah mendapatkan beragam respon dari umat Islam Indonesia, terutama dari kalangan ulama dan pemikir Muslim. Tidak ketinggalan pula, masyarakat awam memberi tanggapan atas gagasan tersebut. Bisa dikatakan, popularitas gagasan ini -terlepas dari adanya pro dan kontra- mengalahkan gagasan pembaharuan pemikiran Islam lainnya.

Gagasan diatas berangkat dari pengamatan Munawir terhadap realitas sosial di kalangan umat Islam Indonesia diantaranya tentang bunga bank serta hukum waris. Dalam temuan Munawir, umat Islam dianggap mudah mendua dalam sikap keberagamaan. Umat Islam seringkali berkata untuk teguh memegang prinsip agama, namun pelaksanaan di lapangan bisa berbeda jauh dari apa yang sudah dikatakan.

Kondisi umat Islam sekarang ini, menurut Munawir, sudah jauh tertinggal dari dunia Barat. Hal ini terjadi karena negara-negara Barat terus mencari perubahan dengan akal budi, merupakan pemberian Tuhan yang paling utama pada umat manusia. Sementara pengembangan intelektual pada dunia Islam boleh dikatakan sejak lama terhambat –kalau tidak mau dikatakan terhenti. Meskipun ungkapan pintu ijtihad telah tertutup sudah jarang terdengar, tetapi pemikir Islam sekarang tampaknya masih tetap belum mulai berani untuk berpikir kritis. Akibatnya Islam yang dulu di tangan Nabi Muhammad Saw merupakan ajaran

9 M. Amin Abdullah, “Telaah Hermeneutis terhadap Masyarakat Muslim Indonesia”, Muhammad Wahyuni Nafis (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 537


(8)

yang revolusioner, sekarang ini mewakili aliran terbelakang kalau tidak mau dikatakan out of date.10

Dengan demikian untuk menghilangkan kesan itu, Munawir mencoba mengaktualkan ajaran Islam tersebut setelah melihat dan mendengar realitas masyarakat Islam Indonesia yang mengakui terhadap ajaran Islam yang telah ditentukan, namun di sisi lain, dalam kenyataannya mereka tidak mengamalkan ajaran itu sehingga timbul apa yang disebut oleh Munawir sebagai orang yang punya sikap ambiguitas mendua dalam beragama, terutama dengan hukum Islam.

Sikap mendua ini, menurutnya, terlihat jelas pada pembagian harta warisan. Sebagaimana diketahui bahwa sampai saat ini di seluruh dunia Islam -termasuk di Indonesia- sistem waris yang diberlakukan baik dalam versi Sunni, Syi‘ah maupun negara-negara Islam yang telah mengupayakan kodifikasi hukum lewat perundang-undangan masih tetap mempertahankan sistem kalkulasi dua berbanding satu (2:1) antara anak laki-laki dan anak perempuan.

Sebagai seorang Menteri Agama, Munawir sering mendapat laporan dari para Hakim Agama di berbagai wilayah Indonesia, tentang banyaknya penyimpangan- penyimpangan yang terjadi di kalangan masyarakat Muslim di Indonesia. Sebagai contoh dalam masalah warisan, bila ada keluarga Muslim yang meninggal, pembagian waris yang seharusnya diselesaikan di Pengadilan Agama dengan ketentuan faraidl, malah yang terjadi justru mereka pergi ke Pengadilan Negeri agar penyelesaian bisa diselesaikan dengan ketentuan di luar kewenangan ilmu faraidl. Hal tersebut bukan hanya dilakukan oleh masyarakat awam namun juga dilakukan oleh tokoh-tokoh agama.11

Sementara itu banyak kepala keluarga yang mengambil kebijaksanaan pre-emptive. Semasa hidup, mereka telah membagikan sebagian besar dari kekayaannya kepada anak-anak, masing-masing mendapat pembagian yang sama besar tanpa membedakan jenis kelamin, sebagai hibah. Dengan demikian jika orang tua meninggal, kekayaan yang harus dibagi tinggal sedikit, bahkan bisa dikatakan hampir habis sama sekali. Dalam hal ini, secara formal tidak terjadi

10 Syukri Abubakar.Pemikiran Munawir Sjadzali tentang Pembagian Waris di Indonesia. (Jurnal Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014) hal. 133

11 Vita Fitria, Reaktualisasi Hukum Islam : Pemikiran Munawir Sjadzali. Jurnal AKADEMIKA Vol 17, No 2 (2012) STAIN Jurai Siwo Metro Lampung, hal. 8


(9)

penyimpangan dari ketentuan al-Quran. Tetapi apakah pelaksanaan ajaran agama dengan semangat demikian sudah betul.

Apa yang dialami oleh Munawir pribadi juga berkata demikian. Suatu ketika Munawir meminta masukan kepada seorang ulama terkemuka mengenai sebuah masalah pribadi. Kepada ulama dimaksud, Munawir bercerita bahwa ia dikaruniai enam anak; tiga orang laki-laki dan tiga orang perempuan. Tiga anak laki-laki sudah menyelesaikan pendidikan di universitas luar negeri, sedangkan dua dari tiga anak perempuan Munawir hanya melanjutkan di sekolah kejuruan yang biayanya terang lebih kecil dari tiga saudara laki-laki mereka. Yang menjadi kejanggalan dalam hati Munawir apakah anak laki-lakinya tetap memiliki hak dua kali lebih besar dari anak perempuannya.12

Ulama yang dianggap memiliki kredibilitas tinggi dalam pandangan Munawir itu tidak serta merta memberikan nasihat atau fatwa. Ulama itu hanya memberi masukan sesuai dengan apa yang ia dan ulama lain lakukan. Ketika masih hidup, ulama tersebut membagi semua harta kekayaannya kepada semua anaknya, masing-masing mendapat jatah bagian yang sama besar tanpa membedakan jenis kelamin. Dengan demikian, ketika yang bersangkutan meninggal, kekayaan yang akan dibagi sesuai faraidl tinggal sedikit.

Atas dasar realita ini, Munawir semata-mata ingin menunjukkan kepada khalayak ramai bahwa inilah kenyataan sosial yang selama ini terjadi dalam masyarakat. Umat Islam tidak dapat mengatakan bahwa pelaku penyimpangan ini sebagai akibat kurangnya komitmen kepada Islam tanpa mempelajari faktor-faktor yang mendorong penyimpangan tersebut. Munawir berargumen bahwa dia tidak pernah mengatakan atau berpendapat bahwa hukum waris Islam yang ditentukan al-Quran itu tidak adil. Justru Munawir menyoroti sikap masyarakat yang nampak tidak percaya lagi kepada keadilan hukum faraidl.

Realita kedua yang dijadikan contoh bagi Munawir untuk bahan reaktualisasi adalah bunga bank. Sikap mendua umat Islam-menurut Munawir-adalah banyak umat Islam yang berpendirian bahwa bunga atau interest Munawir-adalah riba, dan oleh karenanya sama-sama haram dan terkutuk sebagai riba. Tetapi 12 Munawir Sjadali, “Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam”. Muhammad Wahyuni Nafis (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 89


(10)

sementara itu umat Islam tidak hanya hidup dari bunga deposito, tetapi dalam kehidupa sehari-hari mereka banyak mempergunakan jasa bank, dan bahkan mendirikan bank dengan sistem bunga dengan alasan darurat. Padahal seperti yang termaktub dalam surat al-Baqarah ayat 173, kelonggaran yang diberikan kepada umat Islam itu dengan syarat tidak adanya unsur kesengajaan dan tidak lebih dari pemenuhan kebutuan esensial.13

Munawir mulai pembahasannya -dengan memberikan definisi tentang riba. Menurutnya riba dalam bahasa Arab mempunyai arti tambahan. Sedangkan dalam terminologi hukum Islam yang dimaksud dengan riba adalah tambahan baik berupa tunai, benda maupun jasa yang mengharuskan pihak peminjam membayar selain jumlah uang yang dipinjamkan kepada pihak yang meminjamkan pada hari jatuh waktu mengembalikan uang pinjaman itu.

Berbicara masalah riba, Abu Sura’i, guru besar Syari’ah Riyadh University, berpendapat bahwa tambahan dimaksud tidaklah bermakna umum, karena tambahan ini adalah tambahan dari usaha yang haram dan merugikan salah satu pihak ketika bertransaksi. Sedangkan tambahan dari usaha perdagangan adalah halal, karena perdagangan merupakan hal yang dihalalkan menyangkut kepentingan manusia secara dharuri.14 Sedangkan yang dimaksud tambahan yang riba adalah tambahan yang diberikan debitur kepada kreditur atas pinjaman pokok sebagai imbalan atas tempo pembayaran yang telah disyaratkan. Sehingga riba ini mempunyai tiga unsur. Pertama, kelebihan dari pokok pinjaman. Kedua, kelebihan bayaran sebagai imbalan tempo pembayaran. Ketiga, jumlah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi.

Ijtihad yag dilakukan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab sangat mempengaruhi pemikiran Munawir, terutama bila dikaitkan dengan posisinya sebagai Menteri Agama. Munawir mengemukakan fakta bahwa Umar bin Khattab pernah melakukan ijtihad yang didasarkan kepada aspek maslahah dalam beberapa kasus yang dihadapinya. Beberapa pertimbangan terhadap situasi konkrit

13 Munawir Sjadzali. “Reaktualisasi Ajaran Islam”. Iqbal Abdurrauf Saimima (ed), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam. (Jakarta: Panjimas, 1988) hal. 2

14 Tobibatussaadah. Pembaruan Pemikiran dalam Konteks Keindonesiaan: Studi terhadap Pemikiran Hukum Islam Munawir Sjadzali serta Pengaruhnya Terhadap Pemikiran Hukum Islam di Indonesia. (Jurnal Istinbath Mei 2014 STAIN Jurai Siwo Metro). hal. 11


(11)

dan realitas umat sangat mempengaruhi Umar dalam mengurus masyarakat dan menafsirkan kembali aturan-aturan yang sudah berlaku sebelumnya.

“What Munawir meant by the reactualization of Islamic law was to modify and to contextualize certain religious precepts and practices in accordance with universal values of justice. Pleading for this reactualization, he mentioned the practices of the second Chaliph, Umar ibn al-Khattab, who departed from a textual understanding of the Qur’an in applying its prescriptions. Munawir’s reactualization, therefore, suggests taking advances of contextual interpretation instead of literal understanding of the Qur’an as a basis for legal decisions. In this light he advances the use of abrogation (naskh) and the purpose of the shari‘ah (maqasid al-shari‘ah) to legitimize his reactualization, which sometime departs from some Qur’anic verses.”15

Pertimbangan sosial ekonomi serta keadilan untuk senantiasa mewujudkan kemaslahatan umat telah mempertegas sikap beliau dalam menjalankan ajaran Islam. Sebagaimana Khalifah Umar dahulu, banyak membuat kebijakan dan keputusan yang tidak sesuai dengan al-Quran atas dasar kemaslahatan umat.16

C. Respon atas Gagasan Reaktualisasi

Gagasan yang dilontarkan oleh Munawir bukan lantas diamini dan diiyakan oleh beberapa pihak. Darinya diperoleh beragam respon mulai dari pemikir atau cendekiawan Islam hingga masyarakat awam. Respon tersebut adalah imbas dari gagasan yang selama ini dianggap sebagai nyleneh dan tidak biasa diketahui khalayak umum.

Sebagai respon, Quraish Shihab mencoba mengurai makna dari reaktualisasi ajaran Islam. Pemaknaan reaktulisasi disini berarti memperbarui. Kata memperbarui itu bermaksud menyegarkan kembali yang terlupakan, 15 Cipto Sembodo. The Re-Actualization of Islamic Law: Munawir Sjadzali and the Politics of Islamic Legal Interpretation under the New Order Indonesia. (Jurnal Al-Jami‘ah, Vol. 43, No. 1, 2005). hal. 106

16 Vita Fitria, Reaktualisasi Hukum Islam : Pemikiran Munawir Sjadzali. Jurnal AKADEMIKA Vol 17, No 2 (2012) STAIN Jurai Siwo Metro Lampung, hal. 9


(12)

meluruskan yang keliru dan memberi solusi serta interpretasi baru dari ajaran agama.17 Proses reaktualisasi hendaknya dilakukan secara cermat dan hati-hati. Setidaknya ada tujuh hal yang dikemukakan oleh Quraish Shihab perihal reaktualisasi18 yaitu:

a. Jangan menetapkan hukum tanpa ijtihad

Ijtihad adalah usaha mengerahkan segala kemampuan oleh yang memiliki otoritas dalam rangka menemukan jawaban hukum agama melalui

istinbath. Hal ini berarti tidak dibenarkan ijtihad kecuali dari yang memiliki pengetahuan dan itupun harus dilakukan dengan sungguh-sungguh mempelajari dan menilai dalil-dalil keagamaan, membandingkan argumentasi serta memperhatikan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan para pendahulu.

b. Tidak ada pembatalan atau pengabaian teks keagamaan

Ayat-ayat al-Quran atau Sunnah khususnya yang bersifat qath’i (pasti, atau hanya mempunyai satu makna tertentu) tidak dapat diabaikan walaupun dengan dalih kemaslahatan. Namun demikian harus diakui bahwa teks yang sifatnya qath’i sangat sedikit, dan boleh jadi satu ayat sebagian penggalan ayat itu bersifat qath’i sedang penggalan lainnya tidak demikian (zhanni).

c. Jangan memahami atau menafsirkan ayat secara parsial

Jangan memandang masalah ju’i terlepas dari induknya. Pemahaman demikian tidak hanya mengudang kekeliruan tetapi juga dapat menggugurkan sekian banyak prinsip. Setiap peradaban menciptakan hukum sesuai dengan pandangan dasarnya tentang alam, wujud dan manusia. Karena itu merupakan sebuah kekeliruan besar bila memisahkan antara satu hukum syara’ yang bersifat juz’i dengan pandangan dasarnya yang menyeluruh. Menafsirkan satu ayat dan atau memahami satu ketetapan hukum Islam terpisah dari pandangan Islam terhadap Tuhan, alam, manusia dapat menjerumuskan seseorang dalam kesalahpahaman penilaian.

d. Jangan mempersempit pandangan atau penilaian

17 Quraish Shihab. “Reaktualisasi dan Kritik”. Muhammad Wahyuni Nafis (ed.),

Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 322


(13)

Mempersempit pandangan atau penilaian antara lain dengan membatasi diri pada madzhab tertentu atau menetapkan hukum hanya melihat teks secara harfiah, tanpa memperhatikan konteks dan kemaslahatan hakiki. Pada hakikatnya tidak ada keistimewaan pendapat seseorang atau madhab atas yang lain kecuali atas dasar kesesuaian pendapatnya dengan serangkaian prinsip syariah, perkembangan kemasyarakatan serta kemudahannya untuk diterapkan.

e. Jangan menjadikan sesuatu yang qath’i menjadi zhanni dan masih diperselisihkan sebagai ijma’ (kesepakatan)

Harus diakui bahwa jumlah teks-teks keagamaan yang bersifat qath’i

(mengundang interpretasi tunggal) sedikit sekali. Namun demikian tidak jarang ada –secara sadar atau tidak- yang menempatkannya bukan pada tempatnya. Jangan pula menilai suatu ketetapan hukum merupakan ijma’

(kesepakatan ulama) selama masih ada ulama yang tidak setuju dengannya. Tidak juga setiap pakar dalam bidang ilmu tertentu dapat dijadikan rujukan atau diterima informasinya tentang ijma’.

f. Diusahakan agar ijtihad dilakukan secara kolektif

Berkembangnya disiplin ilmu yang beraneka ragam serta interdependensi yang terjadi antar berbagai disiplin ilmu, ditambah dengan derasnya pengaruh globalisasi menjadikan ketetapan hukum memerlukan kerjasama antar berbagai disiplin.

Sebenarnya cara ini telah dilakukan jauh sebelum masa kita yaitu oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab, bahkan itu pula anjuran Rasul Saw kepada Ali bin Abi Thalib ketika Ali bertanya menyangkut hal-hal yang tidak ditemukan jawabannya dalam al-Quran dan Sunnah. “Jadikanlah syura di antara ahli-ahli fiqh (orang yang dalam pengetahuannya) bersama orang-orang yang tulus ibadahnya di antara kaum mukminin. Jangan menetapkan dengan pendapatmu sendiri”. Begitu diriwayatkan al-Thabrani dalam al-Awsath.

g. Berlapang dada dalam kekeliruan mujtahid

Selama ini ada keluhan atas kurangnya hasil-hasil ijtihad atau pendapat baru. Penyebabnya bukan semata kelangkaan ulama sebagaimana diduga sementara orang, tetapi juga dan terutama adalah kekuatiran dituduh bermacam-macam. Tak dapat disangkal bahwa setiap persoalan menimbulkan pro dan kontra. Tetapi disayangkan bahwa seringkali


(14)

terdengar dari mereka yang kontra banyak mengeluarkan ucapan-ucapan yang tidak sejalan dengan akhlak Islamiyah. Ini sungguh sangat berbahaya karena bila ilmuwan kuatir mengemukakan pendapatnya, maka tuntunan mereka tidak menyentuh masyarakat. Bila terjadi, maka masyarakat tidak dapat berbuat kecuali mengikuti pendapat lama yang boleh jadi telah kadaluarsa. Berlapang dada mutlak diperlukan, apalagi Allah SWT sendiri memberi ganjaran bagi mujtahid yang keliru.

Respon lain yang menjawab perihal reaktualisasi dalam hukum waris dipaparkan oleh Ahmad Azhar Basyir. Penyimpangan yang dimaksud oleh Muawir dalam hal waris, dikatakan Ahmad Azhar, hendaknya tidak hanya didasarkan kepada kenyataan sosial semata. Pendekatan sosiologi untuk memecahkan masalah hukum Islam tidak selalu relevan. Dalam ajaran Islam, hukum adalah titah Tuhan, bukan produk dari masyarakat.

Masyarakat dibentuk sesuai dengan ajaran Islam, bukan ajaran Islam yang ditarik agar sesuai dengan kehendak masyarakat. Khusus mengenai masalah warisan, bagian tak terpisahkan dari hukum kekeluargaan, jika akan memecahkan harus secara menyeluruh dan tidak berkeping-keping. Ahli waris bukan hanya anak laki-laki dan anak perempuan, tapi ada ayah dan ibu, suami atau istri, saudara laki-laki dan saudara perempuan dan seterusnya. Kalau dirasakan perlu meninjau ulang ketentuan-ketentuan hukum waris Islam haruslah semuanya ditinjau dan dikembalikan kepada induknya, hukum kekeluargaan.19

3. Penutup

Kata reaktualisasi sebenarnya sudah dikenal cukup lama apalagi di kalangan cendekiawan. Namun kata itu beranjak mashur bahkan di kalangan pelajar biasa setelah Munawir Sjadzali melontarkan gagasan reaktualisasi yang bisa dibilang mampu menghentak pihak-pihak yang selama ini agak terlena. Hentakan ini demikian kerasnya bahkan sampai ada yang menganggap

19 Ahmad Azhar Basyir. “Reaktualisasi, Pendekatan Sosiologis Tidak Selalu Relevan”. Iqbal Abdurrauf Saimima (ed), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam. (Jakarta: Panjimas, 1988) hal. 116


(15)

pencetusnya sudah keluar dari agama. Hal tersebut tentu akibat yang tidak bisa ditampik dari datangnya sebuah ideatau gagasan yang meniscayakan dua kutub pendapat yang setuju (pro) dan tidak setuju (kontra).

Ditinjau dari latar belakang pemikiran dan kondisi sosiologis, setidaknya ada beberapa hal yang bisa menjadi kesimpulan dari gagasan reaktualisasi Munawir Sjadzali. Pertama, sesungguhnya Munawir pada saat itu mempunyai kekuatan untuk menyampaikan gagasannya tersebut dalam kapasitasnya sebagai Menteri Agama.

Kedua, gagasan tersebut nampaknya dipengaruhi oleh keadaan saat itu yakni upaya pengkodifikasian hukum Islam di Indonesia melalui proyek Kompilasi Hukum Islam. Kodifikasi hukum merupakan salah satu bentuk dari pembaruan hukum yang terdapat di berbagai belahan dunia Islam. Gagasan reaktualisasi hukum Islam, beliau kemukakan ketika beliau memberikan sambutan dalam kapasitasnya sebagai Menteri Agama ketika itu, dihadapan panitia Kompilasi Hukum Islam.

Ketiga, latar belakang akademik Munawir yang dimulai dalam lingkungan pesantren dan Sekolah Agama, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan Barat. Sehingga, keajegan untuk tetap berpijak pada nash nampak jelas tetapi juga kental aroma berpikir kritis ala Barat, sehingga nampak adanya elaborasi pemikiran Islam yang dipengaruhi kebebasan dalam berpikir ala Barat yang sangat nampak.

Keempat, pengalaman pribadi melihat realitas hukum Islam yang hidup dalam masyarakat dengan nash yang terdapat dalam kitab suci dan hadis nabi. Sebagaimana yang Munawir kemukakan tentang seorang kiyai yang membagi waris secara sama terhadap semua anaknya baik laki-laki maupun perempuan. Bunga bank yang pada kenyataannya tidak dapat dihindari oleh mayoritas umat Islam, membuktikan bahwa terdapat konflik antara nash dengan realitas.

Kelima, terinspirasi dari tokoh besar. Menurutnya, Umar bin Khathab telah melakukan peyimpangan terhadap nash dalam menetapkan beberapa kasus hukum yang terjadi pada masa beliau menjadi Khalifah. Umar tidak membagikan tanah-tanah di wilayah yang ditaklukannya kepada para tentara. Akan tetapi Umar membiarkan penduduk asli untuk menggarapnya dengan beban harus membayar pajak dan jizyah sebagai imbalan atas pembebasan yang diberikan. Kemudian


(16)

pajak dan jizyah tersebut dikumpulkan ke baitul mal yang kemudian disalurkan kepada peserta perang sebagai pemberian penghasilan tetap, pembiayaan kegiatan kenegaraan, dan pemerintahan.

Gagasan reaktualisasi hukum Islam Munawir yang revolusioner dalam konteks pembaruan hukum Islam di Indonesia ketika itu, merupakan kombinasi dari kemapanan ilmu pengetahuan yang dia miliki, serta realitas hukum yang hidup dalam masyarakat dengan kekuasaannya sebagai Menteri Agama. Bila gagasan itu muncul dari orang biasa, maka dimungkinkan gagasan tersebut tidak akan mendapat respon yang luas ketika itu.

DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012)

Ahmad Azhar Basyir. “Reaktualisasi, Pendekatan Sosiologis Tidak Selalu Relevan”. Iqbal Abdurrauf Saimima (ed), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam. (Jakarta: Panjimas, 1988)


(17)

Cipto Sembodo. The Re-Actualization of Islamic Law: Munawir Sjadzali and the Politics of Islamic Legal Interpretation under the New Order Indonesia. (Jurnal Al-Jami‘ah, Vol. 43, No. 1, 2005)

M. Amin Abdullah, “Telaah Hermeneutis terhadap Masyarakat Muslim Indonesia”, Muhammad Wahyuni Nafis (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA (Jakarta: Paramadina, 1995)

Munawir Sjadali, “Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam”. Muhammad Wahyuni Nafis (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA (Jakarta: Paramadina, 1995)

Munawir Sjadzali. “Reaktualisasi Ajaran Islam”. Iqbal Abdurrauf Saimima (ed),

Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam. (Jakarta: Panjimas, 1988)

Quraish Shihab. “Reaktualisasi dan Kritik”. Muhammad Wahyuni Nafis (ed.),

Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA

(Jakarta: Paramadina, 1995)

Syukri Abubakar.Pemikiran Munawir Sjadzali tentang Pembagian Waris di Indonesia. (Jurnal Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014)

Tobibatussaadah. Pembaruan Pemikiran dalam Konteks Keindonesiaan: Studi terhadap Pemikiran Hukum Islam Munawir Sjadzali serta Pengaruhnya Terhadap Pemikiran Hukum Islam di Indonesia. (Jurnal Istinbath Mei 2014 STAIN Jurai Siwo Metro)

Vita Fitria, Reaktualisasi Hukum Islam : Pemikiran Munawir Sjadzali. Jurnal Akademika Vol 17, No 2 (2012) STAIN Jurai Siwo Metro Lampung

Yunahar Ilyas, Reaktualisasi Ajaran Islam: Studi atas Pemikiran Hukum Munawir Sjadzali, (Jurnal Al-Jami‘ah, Vol. 44, No. 1, 2006)


(1)

meluruskan yang keliru dan memberi solusi serta interpretasi baru dari ajaran agama.17 Proses reaktualisasi hendaknya dilakukan secara cermat dan hati-hati. Setidaknya ada tujuh hal yang dikemukakan oleh Quraish Shihab perihal reaktualisasi18 yaitu:

a. Jangan menetapkan hukum tanpa ijtihad

Ijtihad adalah usaha mengerahkan segala kemampuan oleh yang memiliki otoritas dalam rangka menemukan jawaban hukum agama melalui istinbath. Hal ini berarti tidak dibenarkan ijtihad kecuali dari yang memiliki pengetahuan dan itupun harus dilakukan dengan sungguh-sungguh mempelajari dan menilai dalil-dalil keagamaan, membandingkan argumentasi serta memperhatikan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan para pendahulu.

b. Tidak ada pembatalan atau pengabaian teks keagamaan

Ayat-ayat al-Quran atau Sunnah khususnya yang bersifat qath’i (pasti, atau hanya mempunyai satu makna tertentu) tidak dapat diabaikan walaupun dengan dalih kemaslahatan. Namun demikian harus diakui bahwa teks yang sifatnya qath’i sangat sedikit, dan boleh jadi satu ayat sebagian penggalan ayat itu bersifat qath’i sedang penggalan lainnya tidak demikian (zhanni).

c. Jangan memahami atau menafsirkan ayat secara parsial

Jangan memandang masalah ju’i terlepas dari induknya. Pemahaman demikian tidak hanya mengudang kekeliruan tetapi juga dapat menggugurkan sekian banyak prinsip. Setiap peradaban menciptakan hukum sesuai dengan pandangan dasarnya tentang alam, wujud dan manusia. Karena itu merupakan sebuah kekeliruan besar bila memisahkan antara satu hukum syara’ yang bersifat juz’i dengan pandangan dasarnya yang menyeluruh. Menafsirkan satu ayat dan atau memahami satu ketetapan hukum Islam terpisah dari pandangan Islam terhadap Tuhan, alam, manusia dapat menjerumuskan seseorang dalam kesalahpahaman penilaian.

d. Jangan mempersempit pandangan atau penilaian

17 Quraish Shihab. “Reaktualisasi dan Kritik”. Muhammad Wahyuni Nafis (ed.),

Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 322


(2)

Mempersempit pandangan atau penilaian antara lain dengan membatasi diri pada madzhab tertentu atau menetapkan hukum hanya melihat teks secara harfiah, tanpa memperhatikan konteks dan kemaslahatan hakiki. Pada hakikatnya tidak ada keistimewaan pendapat seseorang atau madhab atas yang lain kecuali atas dasar kesesuaian pendapatnya dengan serangkaian prinsip syariah, perkembangan kemasyarakatan serta kemudahannya untuk diterapkan.

e. Jangan menjadikan sesuatu yang qath’i menjadi zhanni dan masih diperselisihkan sebagai ijma’ (kesepakatan)

Harus diakui bahwa jumlah teks-teks keagamaan yang bersifat qath’i (mengundang interpretasi tunggal) sedikit sekali. Namun demikian tidak jarang ada –secara sadar atau tidak- yang menempatkannya bukan pada tempatnya. Jangan pula menilai suatu ketetapan hukum merupakan ijma’ (kesepakatan ulama) selama masih ada ulama yang tidak setuju dengannya. Tidak juga setiap pakar dalam bidang ilmu tertentu dapat dijadikan rujukan atau diterima informasinya tentang ijma’.

f. Diusahakan agar ijtihad dilakukan secara kolektif

Berkembangnya disiplin ilmu yang beraneka ragam serta interdependensi yang terjadi antar berbagai disiplin ilmu, ditambah dengan derasnya pengaruh globalisasi menjadikan ketetapan hukum memerlukan kerjasama antar berbagai disiplin.

Sebenarnya cara ini telah dilakukan jauh sebelum masa kita yaitu oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab, bahkan itu pula anjuran Rasul Saw kepada Ali bin Abi Thalib ketika Ali bertanya menyangkut hal-hal yang tidak ditemukan jawabannya dalam al-Quran dan Sunnah. “Jadikanlah syura di antara ahli-ahli fiqh (orang yang dalam pengetahuannya) bersama orang-orang yang tulus ibadahnya di antara kaum mukminin. Jangan menetapkan dengan pendapatmu sendiri”. Begitu diriwayatkan al-Thabrani dalam al-Awsath.

g. Berlapang dada dalam kekeliruan mujtahid

Selama ini ada keluhan atas kurangnya hasil-hasil ijtihad atau pendapat baru. Penyebabnya bukan semata kelangkaan ulama sebagaimana diduga sementara orang, tetapi juga dan terutama adalah kekuatiran dituduh bermacam-macam. Tak dapat disangkal bahwa setiap persoalan menimbulkan pro dan kontra. Tetapi disayangkan bahwa seringkali


(3)

terdengar dari mereka yang kontra banyak mengeluarkan ucapan-ucapan yang tidak sejalan dengan akhlak Islamiyah. Ini sungguh sangat berbahaya karena bila ilmuwan kuatir mengemukakan pendapatnya, maka tuntunan mereka tidak menyentuh masyarakat. Bila terjadi, maka masyarakat tidak dapat berbuat kecuali mengikuti pendapat lama yang boleh jadi telah kadaluarsa. Berlapang dada mutlak diperlukan, apalagi Allah SWT sendiri memberi ganjaran bagi mujtahid yang keliru.

Respon lain yang menjawab perihal reaktualisasi dalam hukum waris dipaparkan oleh Ahmad Azhar Basyir. Penyimpangan yang dimaksud oleh Muawir dalam hal waris, dikatakan Ahmad Azhar, hendaknya tidak hanya didasarkan kepada kenyataan sosial semata. Pendekatan sosiologi untuk memecahkan masalah hukum Islam tidak selalu relevan. Dalam ajaran Islam, hukum adalah titah Tuhan, bukan produk dari masyarakat.

Masyarakat dibentuk sesuai dengan ajaran Islam, bukan ajaran Islam yang ditarik agar sesuai dengan kehendak masyarakat. Khusus mengenai masalah warisan, bagian tak terpisahkan dari hukum kekeluargaan, jika akan memecahkan harus secara menyeluruh dan tidak berkeping-keping. Ahli waris bukan hanya anak laki-laki dan anak perempuan, tapi ada ayah dan ibu, suami atau istri, saudara laki-laki dan saudara perempuan dan seterusnya. Kalau dirasakan perlu meninjau ulang ketentuan-ketentuan hukum waris Islam haruslah semuanya ditinjau dan dikembalikan kepada induknya, hukum kekeluargaan.19

3. Penutup

Kata reaktualisasi sebenarnya sudah dikenal cukup lama apalagi di kalangan cendekiawan. Namun kata itu beranjak mashur bahkan di kalangan pelajar biasa setelah Munawir Sjadzali melontarkan gagasan reaktualisasi yang bisa dibilang mampu menghentak pihak-pihak yang selama ini agak terlena. Hentakan ini demikian kerasnya bahkan sampai ada yang menganggap


(4)

pencetusnya sudah keluar dari agama. Hal tersebut tentu akibat yang tidak bisa ditampik dari datangnya sebuah ideatau gagasan yang meniscayakan dua kutub pendapat yang setuju (pro) dan tidak setuju (kontra).

Ditinjau dari latar belakang pemikiran dan kondisi sosiologis, setidaknya ada beberapa hal yang bisa menjadi kesimpulan dari gagasan reaktualisasi Munawir Sjadzali. Pertama, sesungguhnya Munawir pada saat itu mempunyai kekuatan untuk menyampaikan gagasannya tersebut dalam kapasitasnya sebagai Menteri Agama.

Kedua, gagasan tersebut nampaknya dipengaruhi oleh keadaan saat itu yakni upaya pengkodifikasian hukum Islam di Indonesia melalui proyek Kompilasi Hukum Islam. Kodifikasi hukum merupakan salah satu bentuk dari pembaruan hukum yang terdapat di berbagai belahan dunia Islam. Gagasan reaktualisasi hukum Islam, beliau kemukakan ketika beliau memberikan sambutan dalam kapasitasnya sebagai Menteri Agama ketika itu, dihadapan panitia Kompilasi Hukum Islam.

Ketiga, latar belakang akademik Munawir yang dimulai dalam lingkungan pesantren dan Sekolah Agama, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan Barat. Sehingga, keajegan untuk tetap berpijak pada nash nampak jelas tetapi juga kental aroma berpikir kritis ala Barat, sehingga nampak adanya elaborasi pemikiran Islam yang dipengaruhi kebebasan dalam berpikir ala Barat yang sangat nampak.

Keempat, pengalaman pribadi melihat realitas hukum Islam yang hidup dalam masyarakat dengan nash yang terdapat dalam kitab suci dan hadis nabi. Sebagaimana yang Munawir kemukakan tentang seorang kiyai yang membagi waris secara sama terhadap semua anaknya baik laki-laki maupun perempuan. Bunga bank yang pada kenyataannya tidak dapat dihindari oleh mayoritas umat Islam, membuktikan bahwa terdapat konflik antara nash dengan realitas.

Kelima, terinspirasi dari tokoh besar. Menurutnya, Umar bin Khathab telah melakukan peyimpangan terhadap nash dalam menetapkan beberapa kasus hukum yang terjadi pada masa beliau menjadi Khalifah. Umar tidak membagikan tanah-tanah di wilayah yang ditaklukannya kepada para tentara. Akan tetapi Umar membiarkan penduduk asli untuk menggarapnya dengan beban harus membayar pajak dan jizyah sebagai imbalan atas pembebasan yang diberikan. Kemudian


(5)

pajak dan jizyah tersebut dikumpulkan ke baitul mal yang kemudian disalurkan kepada peserta perang sebagai pemberian penghasilan tetap, pembiayaan kegiatan kenegaraan, dan pemerintahan.

Gagasan reaktualisasi hukum Islam Munawir yang revolusioner dalam konteks pembaruan hukum Islam di Indonesia ketika itu, merupakan kombinasi dari kemapanan ilmu pengetahuan yang dia miliki, serta realitas hukum yang hidup dalam masyarakat dengan kekuasaannya sebagai Menteri Agama. Bila gagasan itu muncul dari orang biasa, maka dimungkinkan gagasan tersebut tidak akan mendapat respon yang luas ketika itu.

DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012)

Ahmad Azhar Basyir. “Reaktualisasi, Pendekatan Sosiologis Tidak Selalu Relevan”. Iqbal Abdurrauf Saimima (ed), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam. (Jakarta: Panjimas, 1988)


(6)

Cipto Sembodo. The Re-Actualization of Islamic Law: Munawir Sjadzali and the Politics of Islamic Legal Interpretation under the New Order Indonesia. (Jurnal Al-Jami‘ah, Vol. 43, No. 1, 2005)

M. Amin Abdullah, “Telaah Hermeneutis terhadap Masyarakat Muslim Indonesia”, Muhammad Wahyuni Nafis (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA (Jakarta: Paramadina, 1995)

Munawir Sjadali, “Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam”. Muhammad Wahyuni Nafis (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA (Jakarta: Paramadina, 1995)

Munawir Sjadzali. “Reaktualisasi Ajaran Islam”. Iqbal Abdurrauf Saimima (ed), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam. (Jakarta: Panjimas, 1988)

Quraish Shihab. “Reaktualisasi dan Kritik”. Muhammad Wahyuni Nafis (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA (Jakarta: Paramadina, 1995)

Syukri Abubakar.Pemikiran Munawir Sjadzali tentang Pembagian Waris di Indonesia. (Jurnal Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014)

Tobibatussaadah. Pembaruan Pemikiran dalam Konteks Keindonesiaan: Studi terhadap Pemikiran Hukum Islam Munawir Sjadzali serta Pengaruhnya Terhadap Pemikiran Hukum Islam di Indonesia. (Jurnal Istinbath Mei 2014 STAIN Jurai Siwo Metro)

Vita Fitria, Reaktualisasi Hukum Islam : Pemikiran Munawir Sjadzali. Jurnal Akademika Vol 17, No 2 (2012) STAIN Jurai Siwo Metro Lampung

Yunahar Ilyas, Reaktualisasi Ajaran Islam: Studi atas Pemikiran Hukum Munawir Sjadzali, (Jurnal Al-Jami‘ah, Vol. 44, No. 1, 2006)