Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula dan Arang Tempurung Kelapa Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Semai Gmelina dan Balsa

PEMANFAATAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA DAN
ARANG TEMPURUNG KELAPA UNTUK MENINGKATKAN
PERTUMBUHAN SEMAI GMELINA DAN BALSA

TIRSA EKA SAPUTRI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemanfaatan Fungi
Mikoriza Arbuskula dan Arang Tempurung Kelapa Untuk Meningkatkan
Pertumbuhan Semai Gmelina dan adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, November 2012
Tirsa Eka Saputri
NIM E44080036

ABSTRAK
TIRSA EKA SAPUTRI. Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula dan Arang
Tempurung Kelapa Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Semai Gmelina dan Balsa.
Dibimbing oleh SRI WILARSO BUDI R dan MAMAN TURJAMAN.
Tanah latosol memiliki penyebaran yang cukup luas di Indonesia, namun
tanah ini sudah sangat tua sehingga tingkat kesuburannya rendah. Salah satu
tingkat keberhasilan penanaman di tanah latosol dapat dilakukan dengan cara
pemilihan jenis dan kualitas bibit yang tinggi. Salah satu cara untuk meningkatkan
kualitas bibit yaitu dengan pemberian fungi mikoriza arbuskula (FMA) dan arang
tempurung kelapa. Penelitian ini dilakukan di rumah kaca dengan menggunakan
rancangan petak terbagi (split plot design) dalam pola rancangan acak lengkap.
Kombinasi interaksi terbaik pada semai G. arborea ditunjukkan oleh perlakuan
FMA jenis Gigaspora sp. dengan tanpa penambahan arang yaitu dengan nilai
indeks mutu bibit sebesar 14,87, sedangkan kombinasi interaksi terbaik pada
semai O. bicolor ditunjukkan oleh perlakuan FMA jenis Glomus sp. dengan

penambahan arang 20% yaitu dengan nilai indeks mutu bibit sebesar 0,04. Secara
umum inokulasi Gigaspora sp. memberikan respon yang lebih baik dibandingkan
dengan inokulasi Glomus sp. dan yang tidak diinokulasi (kontrol).
Kata kunci: arang tempurung kelapa, balsa, fungi mikoriza arbuskula, gmelina

ABSTRACT
TIRSA EKA SAPUTRI. Utilization of Arbuscular Mycorrhizal Fungi and
Coconut Shell Charcoal to Increase Growth of Gmelina and Balsa Seedlings.
Supervised by SRI WILARSO BUDI R AND MAMAN TURJAMAN.
Latosol has spread quite widely in Indonesia, but this soil was very old so
that have low soil fertility. The success rate of planting in latosol can be support
by species selection and high quality seedling. The one way to improve seedlings
quality is the application of arbuscular mycorrhizal fungi (AMF) and coconut
shell charcoal. The research was conducted in a greenhouse used split plot design
with a completely randomized design. The combination of the best interactions on
seedling quality index on G. arborea seedling shown by AMF type was
Gigaspora sp. without the addition of charcoal was 14.87. While the combination
of the best interactions on seedling quality index on O. bicolor seedling shown by
AMF type was Glomus sp. with the addition of charcoal 20% dose was 0.04. In
general, inoculation of Gigaspora sp. provided better response than inoculation of

Glomus sp. and was not inoculated (control).
Keywords: arbuscular mycorrhizal fungi (AMF), balsa, coconut shell charcoal,
gmelina

PEMANFAATAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA DAN
ARANG TEMPURUNG KELAPA UNTUK MENINGKATKAN
PERTUMBUHAN SEMAI GMELINA DAN BALSA
(Santalum album L.)

TIRSA EKA SAPUTRI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2013

Judul Skripsi : Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula dan Arang Tempurung
Kelapa Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Semai Gmelina dan
Balsa
Nama
: Tirsa Eka Saputri
NIM
: E44080036

Disetujui oleh

Dr Ir Sri Wilarso Budi R, MS
Pembimbing I

Dr Ir Maman Turjaman, DEA
Pembimbing II

Diketahui oleh


Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2011 ini ialah
Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula dan Arang Tempurung Kelapa Untuk
Meningkatkan Pertumbuhan Semai Gmelina dan Balsa.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Sri Wilarso Budi R, MS
dan Dr Ir Maman Turjaman, DEA selaku pembimbing, serta Ibu Dr Ir Arum Sekar
Wulandari, MS yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada seluruh staf dari Puslitbang Konservasi dan
Rehabilitasi (P3KR) khususnya bagian Lab. Mikrobiologi Hutan Pak Sugeng, Pak
Yani, Pak Babas, Mba Herni, Pak Najmullah, Pak Wahyu yang telah membantu
dan memfasilitasi terlaksananya kegiatan penelitian ini. Ungkapan terima kasih
juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik, serta seluruh keluarga, atas segala doa

dan kasih sayangnya. Terima kasih kepada Yudistiro Anggeno atas semangat,
dukungan dan doa yang diberikan kepada penulis. Kepada temean-teman satu
bimbingan Sabti dan Intan, terima kasih atas kebersamaan dan bantuannya kepada
penulis selama melaksanakan penelitian maupun dalam penyusunan skripsi.
Kepada teman-teman Departemen silvikultur 45, khususnya Ageng, Fitria DK,
Rizka, Fitri, Erik, Uan dan Putri yang telah memberikan dukungan dan saran.
Terima kasih juga kepada dunsanak IPMM atas semangat dan dukungannya saat
penulis dilanda kegalauan khususnya Agung, Jeni, Maktam, Ool, Ola, Ajo, dll.
Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan
penyusunan skripsi yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, November 2012
Tirsa Eka Saputri

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis
TINJAUAN PUSTAKA
Tanah
Pengaruh pemberian arang terhadap tanah
Pengaruh arang terhadap FMA
Jenis tanaman
Gmelina (Gmelina arborea Roxb.)
Klasifikasi dan penyebaran
Deskripsi botani
Pemanfaatan
Balsa (Ochroma bicolor Rowlee)
Klasifikasi dan penyebaran
Deskripsi botani
Pemanfaatan
METODE PENELITIAN
Waktu dan tempat
Alat dan bahan

Metode pelaksanaan penelitian
Persiapan media semai dan sapih
Inokulasi FMA
Pemeliharaan
Pengamatan parameter dan pengumpulan data
Tinggi bibit
Diameter batang
Pengukuran berat kering akar dan pucuk
Indeks mutu bibit (IMB)
Nisbah pucuk akar (NPA)
Kolonisasi akar FMA
Rancangan percobaan
Analisis data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Analisis ragam Gmelina (Gmelina arborea Roxb.)
Analisis ragam Balsa (Ochroma bicolor Rowlee)
Karakteristik media tanam
Perkembangan FMA


vi
vii
vii
1
1
2
2
2
3
3
4
4
4
4
4
5
5
5
5
6

6
6
6
6
6
7
7
7
7
7
8
8
8
9
10
10
10
11
11


Pertumbuhan tanaman Gmelina
Pertumbuhan tinggi
Pertumbuhan diameter
Berat kering akar
Berat kering pucuk
Indeks mutu bibit
Nisbah pucuk akar
Pertumbuhan tanaman Balsa
Pertumbuhan tinggi
Pertumbuhan diameter
Berat kering akar
Berat kering pucuk
Indeks mutu bibit
Nisbah pucuk akar
Pembahasan
Karakteristik media tanam
Perkembangan FMA
Pertumbuhan tanaman
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

12
12
13
13
13
14
14
15
15
15
16
16
16
17
17
17
18
20
23
23
24
27
29

DAFTAR TABEL
1 Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh FMA dan arang
tempurung kelapa terhadap semai G. arborea (12 MST)
2 Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh FMA dan arang
tempurung kelapa terhadap semai O. bicolor (8 MST)
3 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap
kolonisasi akar semai G. arborea (12 MST) dan O. bicolor (8 MST)
4 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap tinggi
semai G. arborea (12 MST)
5 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap
diameter semai G. arborea (12 MST)
6 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tunggal arang tempurung
kelapa terhadap diameter semai G. arborea (12 MST)
7 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap berat
kering pucuk semai G. arborea (12 MST)
8 Hasil uji Duncan pengaruh interaksi FMA dan arang tempurung kelapa
terhadap indeks mutu bibit semai G. arborea (12 MST)
9 Hasil uji Duncan pengaruh interaksi FMA dan arang tempurung
kelapa terhadap nisbah pucuk akar semai G. arborea (12 MST)

10
11
11
12
13
13
14
14
14

vi

10 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap tinggi
semai O. bicolor (8 MST)
11 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap
diameter semai O. bicolor (8 MST)
12 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap berat
kering pucuk semai O. bicolor (8 MST)
13 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap indeks
mutu bibit semai semai O. bicolor (8 MST)

15
16
16
17

DAFTAR GAMBAR
1 Keragaman pertumbuhan G. arborea pada umur 12 MST: (a) A0M0,
A1M0, A2M0; (b) A0M1, A1M1, A2M1; (c) A0M2, A1M2, A2M2
2 Keragaman pertumbuhan G. arborea pada umur 12 MST: (a) A0M0,
A1M0, A2M0; (b) A0M1, A1M1, A2M1; (c) A0M2, A!M2, A2M2

12
15

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil analisis sifat kimia tanah dan tekstur tanah latosol
(Hardjowigeno 1995)
2 Hasil pengukuran pH media latosol sebelum dan setelah perlakuan
(Hardjowigeno 1995)
3 Hasil analisis sifat fisika dan kimia arang tempurung kelapa

27
27
28

vii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lebih dari 15 juta hektar hutan hujan tropis di Indonesia termasuk dalam
kategori lahan kritis. Sebagian dari lahan kritis tersebut merupakan tanah latosol.
Tanah latosol memiliki penyebaran yang cukup luas di Indonesia, yaitu sebesar
9% (Soepardi 1983). Tanah ini sudah sangat tua sehingga tingkat kesuburannya
rendah (Leiwakabessy 1988). Menurut Cahyono (1992) tanah latosol memiliki
kandungan primer dan unsur hara yang rendah, bereaksi masam hingga sangat
masam, fiksasi ion fosfat sangat tinggi serta kapasitas pertukaran basa yang
rendah. Perbaikan sifat-sifat tanah latosol diperlukan untuk keberhasilan kegiatan
penanaman diantaranya dengan cara pemberian bahan organik sekaligus
penggunaan bahan pembenah tanah seperti arang dan selanjutnya didukung pula
dengan pemanfaatan simbiosis mikroorganisme tanah yang bermanfaat seperti
fungi mikoriza arbuskula (FMA) (Karyaningsih 2009).
Faktor pemilihan jenis yang tepat juga diperlukan guna mendapatkan hasil
yang optimal. Dasar yang dapat digunakan untuk memilih jenis tanaman secara
umum yaitu pertumbuhannya cepat, nilai komersialnya tinggi (banyak diminati
pasar), mudah mendapatkan benih dan bibit yang kualitasnya tinggi, serta tidak
banyak mendapatkan serangan hama dan penyakit (F/FRED 1992). Faktor inilah
yang mendasari penulis untuk memilih tanaman gmelina dan balsa dalam topik
penelitian yang berjudul “Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula dan Arang
Tempurung Kelapa Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Semai Gmelina dan Balsa.
Gmelina (Gmelina arborea) merupakan tanaman eksotik yang berasal dari
India yang memiliki nilai ekonomi dan produksi yang cukup tinggi yaitu riap
sebesar 35 m3/ha/tahun. Jenis ini mudah beradaptasi dan tumbuh baik pada tipetipe tanah pada kisaran yang luas yakni pada tanah masam, tanah lempung dan
tanah laterit (Sukajadi 1992). Balsa (Ochroma bicolor) merupakan tanaman yang
tumbuh secara alami di hutan hujan lembab Amerika Tengah dan Selatan.
Pemanfaatan kayu balsa dewasa ini semakin berkembang sejalan dengan
kemajuan industri perkayuan yang semakin meningkat, antara lain digunakan
untuk keperluan bahan pelampung, bahan isolasi (peredam suara), pesawat model
(aeromodeling), peralatan olahraga dan pulp serat pendek. Pada tanah yang
kurang subur pohon ini masih dapat tumbuh, tetapi produksinya lebih rendah
dibandingkan dengan tanah yang subur (Alrasyid 1996).

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji keefektifan isolat FMA serta
pengaruh pemberian serbuk arang tempurung kelapa pada pertumbuhan semai
gmelina (G. arborea) dan balsa (O. bicolor) di media tanah latosol.

2

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dalam rangka
peningkatan pertumbuhan dan kualitas bibit gmelina dan balsa melalui aplikasi
FMA dan arang tempurung kelapa di media tanah latosol.

Hipotesis Penelitian
Hipotesis dari penelitian ini adalah
1. Penggunaan FMA berpengaruh terhadap pertumbuhan semai gmelina (G.
arborea) dan balsa (O. bicolor) pada media tanah latosol.
2. Pemberian arang tempurung kelapa dapat memacu pertumbuhan semai gmelina
(G. arborea) dan balsa (O. bicolor) pada media tanah latosol.
3. Interaksi FMA dengan arang tempurung kelapa dapat mempengaruhi
pertumbuhan semai gmelina (G. arborea) dan balsa (O. bicolor) pada media
tanah latosol.

TINJAUAN PUSTAKA
Tanah
Tanah sebagai benda alam mempunyai sifat-sifat yang bervariasi. Sifat
tanah yang berbeda-beda pada berbagai tempat mencerminkan pengaruh dari
berbagai faktor pembentuknya di alam. Tanah bukan merupakan timbunan bahan
padat yang mati dan statis, melainkan merupakan suatu proses yang dinamis dan
hidup yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu (Suwardi 2002). Setiap
tanah tersusun dari bahan mineral, bahan organik, air tanah. Bahan mineral
berasal dari hasil pelapukan batuan, sedangkan bahan organik berasal dari hasil
penguraian organisme yang mati. Di dalam tanah selalu terjadi proses destruktif
dan konstruktif. Proses destruktif adalah penguraian bahan mineral dan organik,
sedangkan proses konstruktif adalah proses penyusunan kembali hasil penguraian
bahan mineral dan organik menjadi senyawa baru (Soepardi 1979).
Tanah latosol merupakan jenis yang banyak dijumpai di sekitar kita. Tanah
latosol yaitu tanah yang telah mengalami pelapukan intensif, warna tanah
tergantung susunan bahan induknya dan keadaan iklim tanah-tanah yang telah
mengalami pelapukan intensif dan perkembangan tanah lanjut. Tanah latosol
umumnya memerlukan pemupukan N, P, K, Ca, Mg dan beberapa unsur mikro
tertentu. Semakin tua umur tanah maka semakin banyak hara yang perlu
ditambahkan karena pada tanah-tanah tua proses pencucian sudah berlangsung
lama (Leiwakabessy 1988).
Jenis tanah latosol memiliki solum tanah tebal sampai sangat tebal,
kandungan bahan organik 3–9%, pH tanah antara 4,5–6,5 yaitu dari masam
sampai agak masam, struktur tanahnya remah hingga gumpal dan konsistennya
gembur hingga agak teguh. Jenis tanah ini telah berkembang atau terjadi
diferensiasi horizon, umumnya mempunyai epipedon kambrik dan horison
kambik. Penyebarannya di daerah beriklim basah, curah hujan lebih dari 300–

3

1000 meter, batuan induk dari tufa, material vulkanik, breksi batuan beku instrusi
(Soepardi 1983).

Pengaruh pemberian arang terhadap tanah
Kemampuan tanah menyediakan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman
sangat terbatas sehingga perlu masukan dari luar baik berupa pupuk anorganik
maupun organik. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian
arang. Pemberian arang selain dapat menambah unsur hara juga dapat sebagai
pembenah tanah (soil amandement). Arang merupakan jenis-jenis bahan organik
yang berasal dari berbagai sumber. Sumber dan komposisi bahan yang berbeda
akan menyebabkan kemampuan penyediaan fosfor dan kalium pada tanah berbeda
pula (Soepardi 1979).
Arang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai penyerap dan pelepas
unsur hara (pupuk) karena memiliki luas permukaan yang sangat besar, relatif
sama dengan koloid tanah. Pohan (2002) menyatakan bahwa arang dari
tempurung kelapa dan sekam padi mempunyai luas permukaan yang paling besar
dibandingkan dengan yang lain, yaitu masing-masing 1500 m²/g dan 2000 m²/g,
sehingga sangat efektif dalam menangkap partikel-partikel yang sangat halus.
Ukuran arang akan mempengaruhi kemampuan bahan dalam pelepasan
unsur hara karena ukuran yang makin kecil akan membuat total luas permukaan
yang mungkin melakukan pertukaran kation menjadi lebih luas dan hal ini berarti
makin banyak unsur hara yang dapat dipertukarkan. Ini berarti juga makin banyak
unsur hara kalium yang dapat dilepaskan ke dalam tanah dan makin banyak unsur
hara tersebut dapat diserap oleh tanaman. Arang tempurung kelapa lebih banyak
melepaskan unsur kalium dibandingkan dengan semua jenis arang lainnya karena
tempurung kelapa diduga mengandung lebih banyak kalium dibandingkan jenis
arang lainnya. Tingginya kemampuan pelepasan unsur kalium pada arang
tempurung kelapa juga disebabkan tempurung kelapa mempunyai nilai KTK yang
tinggi (16,7 me/100 g) dibandingkan dengan jenis arang lainnya (Herdiana et al.
2008).

Pengaruh arang terhadap FMA
FMA termasuk ke dalam kelompok endomikoriza. FMA memiliki
penyebaran yang sangat luas di dunia mulai dari daerah padang pasir, sub-tropika,
tropika dan dapat berasosiasi lebih dari 90% tanaman yang ada di bumi. FMA
telah diketahui di dalam akar tanaman lebih dari 100 tahun yang lalu, tetapi
struktur reproduktifnya baru diketahui 30 tahun terakhir (Turjaman et al. 2006;
Setiadi 1989; Sylvia 2005).
Penggunaan arang akan memperbaiki sirkulasi air dan udara tanah, mampu
meningkatkan pH tanah yang selanjutnya akan memperbaiki kondisi perakaran
tumbuhan (Gusmailina 2000). Perkembangan spora FMA pun sangat dipengaruhi
oleh pH tanah, menurut Gunawan (1993) Glomus sp. mampu tumbuh optimum
pada pH 5.5–9.5 dan Gigaspora sp. berkisar antara 4–6. Peningkatan jumlah spora
pada tanaman juga merupakan respon dari tingkat pertumbuhan tanaman.

4

Peningkatan pertumbuhan semai tanaman uji yang yang diperkaya dengan bubuk
arang juga meningkatkan jumlah spora pada medianya, ini menunjukkan bahwa
adanya peningkatan metabolisme tanaman seperti fotosintesis yang menghasilkan
gula-gula (fotosintat) yang kemudian disalurkan ke akar yang berfungsi sebagai
sumber karbon bagi FMA. Dengan adanya suplai karbon/fotosintat yang sesuai
memungkinkan mikoriza berkembang dengan membentuk spora lebih banyak.

Jenis Tanaman

Gmelina (Gmelina arborea Roxb.)
Klasifikasi dan Penyebaran
Gmelina tumbuh secara alami di India, Nepal, Pakistan, Bangladesh, Sri
Lanka, Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja dan Cina Selatan. Klasifikasi
taksonomi spesies ini yaitu sebagai berikut (Martawijaya 1995):
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Lamiales
Famili
: Verbenaceae
Genus
: Gmelina
Spesies
: G. arborea
Gmelina dapat tumbuh pada ketinggian 0–800 m dpl walaupun masih
dapat tumbuh sampai ketinggian 1.000 m dpl. Spesies ini dapat tumbuh di daerah
yang bercurah hujan 1.778–2.286 mm per tahun dan musim kering antara 2–4
bulan (Alrasjid dan Widiarti 1992).
Deskripsi Botani
Pohon berukuran sedang yang tingginya dapat mencapai lebih (30–40)
meter, batang silindris, diameter rata-rata 50 cm terkadang mencapai 140 cm.
Kayu gmelina termasuk dalam kategori kelas kuat III–IV dan kelas awet III.
Tanaman gmelina berbunga dan berbuah setiap tahun. Di sebaran alami beriklim
musim, mulai berbunga pada musim kemarau ketika pohon menggugurkan daun.
Di luar sebaran alami beriklim musim, periode pembungaan dan pembuahan tidak
jelas, bunga dan buah terlihat kira-kira sepanjang tahun. Buah masak terjadi 1,5
bulan setelah pembungaan (Martawijaya 1995). Benih umumnya cepat
berkecambah dalam jumlah yang banyak. Kecambah gmelina termasuk epigeal
(kotiledon terangkat dari permukaan tanah) (Alrasyid dan Widiarti 1992).
Pemanfaatan
Kayu gmelina memiliki berat jenis 0,42–0,64. Pada mulanya pohon ini
dikenal sebagai penghasil kayu energi, dikarenakan kayunya menghasilkan arang
berkualitas terbaik, kurang berasap dan cepat terbakar. Pohon ini juga dapat
digunakan untuk keperluan pembuatan papan partikel, core kayu lapis, korek api,
peti kemas dan bahan kerajinan kayu (Alrasyid 1991). Martawijaya (1995)

5

menambahkan, bahwa kayu gmelina bisa juga digunakan untuk bahan veneer dan
kayu lapis, papan partikel dan moulding.
Balsa (Ochroma bicolor Rowlee)
Klasifikasi dan Penyebaran
Balsa berasal dari Amerika Latin, ditanam sebagai tanaman introduksi di
Indonesia. Klasifikasi taksonomi spesies ini yaitu sebagai berikut (Martawijaya
1995):
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Sub Kelas
: Dilleniidae
Ordo
: Malvales
Famili
: Bombacaceae
Genus
: Ochroma
Spesies
: O. bicolor
Pohon ini tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi, 0–1000 m dpl,
dan yang terbaik pada ketinggian tempat 0–800 m dpl. Rata-rata curah hujan yang
dibutuhkan yaitu 1500–3000 mm dengan jumlah bulan kering sampai dengan 3
bulan per tahun. Rata-rata suhu udara yang dikehendaki berkisar antara 22–29oC,
sedangkan suhu maksimum dan minimumnya masing-masing berkisar antara 24–
30oC dan 22–28oC. Pohon ini termasuk spesies intoleran dan membutuhkan
banyak cahaya untuk pertumbuhannya (Alrasyid 1996).
Deskripsi Botani
Pohon balsa dapat mencapai ukuran tinggi di atas 23 m dan diameter di atas
80 cm. Kayu balsa memiliki sifat yang ringan dan lentur, kayu ini memiliki BJ
0,29 kg dan tidak gampang lapuk, di samping itu struktur kayu balsa memiliki
kekuatan dan ketahanan yang tinggi. Kayu balsa bukan kayu yang paling ringan,
namun kayu balsa dianggap kayu terkuat menurut beratnya. Pohon balsa muda
cepat menghasilkan kayu ringan. Pembentukan kayu keras terjadi setelah tujuh
tahun dan kayunya menjadi berwarna kemerah-merahan sehingga nilai jualnya
berkurang (Soekotjo 1975).
Pemanfaatan
Pemanfaatan kayu balsa dewasa ini semakin berkembang sejalan dengan
kemajuan industri perkayuan yang semakin meningkat, antara lain dimanfaatkan
untuk bahan baku alat-alat isolasi, bahan pelampung, ponton pesawat terbang, alat
renang, kerajinan dan industri perkapalan, peralatan olah raga, dan pulp serat
pendek (Charomaini 2001). Selain kayunya, kapuk buahnya pun dapat
dimanfaatkan untuk campuran kapuk randu yang produksinya mulai berkurang
(Charomaini 2001). Kapuk buah tanaman balsa bersifat seperti kapuk randu,
karena masih dalam satu famili yaitu Bombacaceae.

6

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari 2012 sampai dengan Juli
2012, di Laboratorium Mikrobiologi Hutan dan Rumah Kaca Puslitbang
Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR) Gunung Batu, Bogor.

Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah bak kecambah, polibag,
label, sprayer, saringan bertingkat, neraca analitik, gunting, oven, plastik, amplop,
mikroskop stereo, mikroskop binokuler, autoklaf, preparat, tabung reaksi, gelas
ukur, cawan petri, alat tulis, kamera, mistar, kaliper dan alat hitung. Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah media kecambah (pasir), benih gmelina dan
balsa, tanah latosol, mikoriza Glomus sp. dan Gigaspora sp., arang tempurung
kelapa, akuades, KOH 10%, HCl 2%, tryphan blue dan larutan destaining.

Metode Pelaksanaan Penelitian
Persiapan media semai dan sapih
Media semai yang digunakan untuk benih gmelina dan balsa adalah pasir.
Sebelum media digunakan, pasir harus diayak terlebih dahulu dengan
menggunakan ayakan dengan tujuan untuk mendapatkan butiran yang halus dan
memisahkan kotoran dari media tersebut. Setelah itu media dimasukkan ke bak
kecambah. Untuk media sapih yang digunakan adalah tanah latosol dan pasir
dengan perbandingan 2:1. Sebelum dimasukkan ke dalam polibag, media diayak
terlebih dahulu. Untuk perlakuan campuran arang ke media sapih, arang
tempurung kelapa ditumbuk lalu dicampur sampai merata dengan tanah pada taraf
0%, 10% dan 20% (w/w) kemudian dimasukkan ke dalam polibag berukuran 10
cm x 15 cm. Kemudian polibag diberi label sesuai dengan perlakuan. Semua
media yang digunakan disterilisasi terlebih dahulu menggunakan autoklaf pada
suhu 121oC selama 30 menit.
Inokulasi FMA
Setelah tanaman gmelina dan balsa disapih dan dipelihara selama dua
minggu atau sampai semai terlihat telah dapat beradaptasi (stabil) dilakukan
inokulasi FMA. Proses ini dilakukan pada saat penyapihan dengan cara
memberikan inokulum FMA ke lubang tanam sebanyak 10 gram. FMA yang
digunakan yaitu jenis Glomus sp. dan Gigaspora sp.
Pemeliharaan
Seluruh semai gmelina dan balsa diletakkan di dalam rumah kaca selama
tiga bulan. Penyiraman semai dilakukan dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore
hari menggunakan alat penyiram agar media tetap lembab. Selain itu juga
dilakukan pembersihan dari gulma dan perbaikan posisi polibag.

7

Pengamatan parameter dan pengumpulan data
Parameter yang diamati selama pengamatan yaitu: (1) tinggi bibit, (2)
diameter batang, (3) pengukuran berat kering akar dan pucuk, (4) perhitungan
indeks mutu bibit (IMB), (5) perhitungan nisbah pucuk akar (NPA) dan (6)
kolonisasi akar FMA. Selain itu dilakukan pula analisis sifat fisik-kimia tanah
awal dan arang tempurung kelapa serta pengukuran pH tanah setelah pemberian
perlakuan. Untuk pengamatan tinggi dan diameter dilakukan di rumah kaca,
sedangkan untuk pengukuran biomassa dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi
Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi.
Tinggi bibit
Pengukuran tinggi semai dilakukan setelah penyapihan, selanjutnya setiap
dua minggu sekali selama tiga bulan. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan
mistar diukur mulai dari titik bekas kotiledon sampai titik tumbuh tunas yang
paling muda/titik tertinggi (meristem apikal) pada batang. Nilai tersebut
dinyatakan dalam satuan centimeter (cm).
Diameter batang
Pengukuran diameter dilakukan dengan menggunakan alat kaliper, diukur
pada ketinggian 1,5 cm di atas permukaan media. Nilai tersebut dinyatakan dalam
satuan milimeter (mm). Pengukuran diameter dilakukan setiap satu bulan sekali
selama tiga bulan.
Pengukuran berat kering akar dan pucuk
Pengukuran berat kering akar dan pucuk dilakukan setelah kegiatan
pemanenan. Setelah bibit dipanen, bagian tanaman dipisahkan antara akar dan
pucuknya kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 70oC selama 72 jam, lalu
berat kering akar dan pucuk ditimbang. Nilai tersebut dinyatakan dalam satuan
gram (g).
Indeks mutu bibit (IMB)
Menurut Lackey dan Alm (1982) dalam Hendromono (1987), indeks mutu
bibit dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
A

+

B

C/D

+

A/B

IMB =

Keterangan:
IMB
A
B
C
D

= indeks mutu bibit
= bobot kering pucuk (g)
= bobot kering akar (g)
= tinggi tanaman (cm)
= diameter tanaman (mm)

Bibit yang baik dan mampu bertahan di lapangan yaitu jika memiliki nilai
IMB (Q) > 0.09 (Dickson et al. 1960).

8

Nisbah pucuk akar (NPA)
Nisbah pucuk akar merupakan hasil perhitungan yang membandingkan
antara berat kering pucuk dengan berat kering akar tanaman. Besarnya nilai
nisbah pucuk akar tanaman sangat ditentukan oleh pertumbuhan pucuk dan akar
tanaman.
Kolonisasi akar FMA
Identifikasi kolonisasi akar dilakukan dengan cara mengambil contoh akar
yang muda (serabut) secara acak dari polibag kemudian dilakukan proses
pembersihan dan pewarnaan akar. Kolonisasi akar ditandai dengan adanya hifa,
arbuskula dan vesikel atau salah sat dari organ tersebut. Menurut Setiadi et al.
(1992), pengukuran persen kolonisasi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut
yaitu: akar diambil, dicuci dengan air untuk melepaskan semua miselium luar.
Lalu bagian akar muda (serabut) diambil dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi
dan direndam dalam larutan KOH 10%, dibiarkan selama semalam (24 jam) atau
sampai akar berwarna kuning bersih, lalu larutan KOH 10% dibuang dan akar
dibilas dengan air. Lalu akar direndam dengan larutan HCl 2% selama 24 jam,
lalu larutan HCl 2% dibuang dan diganti dengan larutan staining (gliserin dan
aquades dengan perbandingan 70:30) ditambah dengan trypan blue 0,05% (0,2
gram trypan blue dalam satu liter aquades) kemudian dibiarkan selama semalam.
Setelah itu larutan trypan blue dibuang dan diganti dengan larutan distaining
(larutan staining tanpa trypan blue yaitu gliserin dan aquades dengan
perbandingan 1:1) selama semalam. Akar kemudian dipotong-potong sepanjang
satu cm, lalu disusun pada gelas objek (satu gelas objek untuk 10 potong akar).
Untuk setiap tanaman sampel dibuat tiga preparat. Selanjutnya diamati dengan
mikroskop stereo. Potongan akar pada kaca preparat diamati untuk setiap bidang
pandang. Bidang pandang yang terinfeksi ditunjukkan dengan adanya tanda-tanda
seperti hifa, arbuskula maupun vesikula. Persentase kolonisasi akar dihitung
dengan rumus yang dikembangkan oleh Brundrett et al. (1996):
∑ bidang pandang yang terkoloni
% kolonisasi =

∑ keseluruhan bidang pandang

x 100 %

Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
rancangan petak terbagi (split plot design) dalam pola RAL yang terdiri dari dua
faktor, yaitu faktor pemberian mikoriza (petak utama) terdiri dari tiga taraf dan
faktor pemberian arang tempurung kelapa (anak petak) terdiri dari tiga taraf.
Faktor M
= fungi mikoriza arbuskula (FMA)
M0
= tanpa inokulasi mikoriza
M1
= jenis mikoriza Glomus sp.
M2
= jenis mikoriza Gigaspora sp.
Faktor A
= arang tempurung kelapa
A0
= arang tempurung kelapa 0% (w/w)
A1
= arang tempurung kelapa 10% (w/w)
A2
= arang tempurung kelapa 20% (w/w)

9

Terdapat sembilan perlakuan untuk setiap tanaman, tiap perlakuan
dilakukan ulangan sebanyak lima kali. Dengan demikian, jumlah total polibag
pengamatan seluruhnya berjumlah 90 polibag. Kombinasi perlakuan yang
diujicobakan yaitu:
1.
Kontrol (A0M0)
2.
Arang tempurung kelapa 10% (A1M0)
3.
Arang tempurung kelapa 20% (A2M0)
4.
Mikoriza Glomus sp. (A0M1)
5.
Arang tempurung kelapa 10% dikombinasikan dengan mikoriza Glomus
sp. (A1M1)
6.
Arang tempurung kelapa 20% dikombinasikan dengan mikoriza Glomus
sp. (A2M1)
7.
Mikoriza Gigaspora sp. (A0M2)
8.
Arang tempurung kelapa 10% dikombinasikan dengan mikoriza
Gigaspora sp. (A1M2)
9.
Arang tempurung kelapa 20% dikombinasikan dengan mikoriza
Gigaspora sp. (A2M2)

Analisis Data
Data hasil pengukuran dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam.
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap peubah yang
diamati, maka dilakukan analisi data menggunakan software SAS 9.1.3. Apabila
hasil analisis menunjukkan perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji
jarak berganda Duncan (Duncan’s multiple range test–DMRT). Model linier aditif
dalam penelitian ini sebagai berikut (Mattjik & Sumertajaya 2002):
Yijk = µ + ρk + αi + βj + (αβ)ij +

ik

+

jk

i = petak utama yaitu mikoriza jenis Glomus sp. dan Gigaspora sp.
j = anak petak yaitu arang dengan dosis 0%, 10% dan 20%
k = ulangan 1, 2, 3 dan 4
Keterangan:
Yijk
= nilai pengamatan pada petak utama taraf ke-i, anak petak taraf ke-j
dan ulangan ke-k
µ
= nilai rataan umum
ρk
= pengaruh ulangan ke-k
αi
= pengaruh perlakuan petak utama yang ke-i
βj
= pengaruh perlakuan anak petak yang ke-j
(αβ) ij = pengaruh interaksi antara perlakuan petak utama ke-i dengan
perlakuan anak petak ke-j
=
komponen acak dari petak utama ke-i, ulangan ke-k yang menyebar
ik
normal
=
pengaruh acak dari anak petak ke-j, ulangan ke-k yang menyebar
jk
normal

10

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Analisis Ragam Gmelina (Gmelina arborea Roxb.)
Hasil analisis ragam terhadap parameter pertumbuhan G. arborea meliputi
tinggi, diameter, berat kering pucuk, berat kering akar, indeks mutu bibit dan
nisbah pucuk akar serta analisis ragam kolonisasi akar disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh FMA dan arang tempurung
kelapa terhadap semai G. arborea (12 MST)
Parameter

FMA x Arang tempurung
kelapa
tn
tn
tn
tn
*
tn
tn
tn
tn
tn
**
**
**
**
pada taraf 1%; *=berpengaruh nyata pada taraf 5%; tn=tidak

FMA

Kolonisasi akar
**
Tinggi
*
Diameter
*
Berat kering akar
tn
Berat kering pucuk
*
Indeks mutu bibit
**
Nisbah pucuk akar
**
**=berpengaruh sangat nyata
berpengaruh nyata

Arang tempurung kelapa

Tabel 1 memperlihakan bahwa faktor tunggal inokulasi FMA pada tanaman
G. arborea memberikan pengaruh nyata terhadap kolonisasi akar, diameter, berat
kering pucuk, indeks mutu bibit (IMB), dan nisbah pucuk akar (NPA), tetapi tidak
berpengaruh nyata terhadap berat kering akar. Faktor tunggal arang tempurung
kelapa pada semai G. arborea menunjukkan pengaruh sangat nyata terhadap
indeks mutu bibit (IMB) dan nisbah pucuk akar (NPA). Faktor tunggal arang
tempurung kelapa juga berpengaruh nyata (p > 0,05) pada diameter, tetapi tidak
berpengaruh nyata pada tinggi, berat kering pucuk, berat kering akar, dan
kolonisasi akar. Faktor interaksi perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap
indeks mutu bibit (IMB) dan nisbah pucuk akar (NPA), sedangkan pada parameter
yang lain interaksi kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata.
Analisis Ragam Balsa (Ochroma bicolor Rowlee)
Hasil analisis ragam terhadap parameter pertumbuhan O. bicolor meliputi
tinggi, diameter, berat kering pucuk, berat kering akar, indeks mutu bibit dan
nisbah pucuk akar serta analisis ragam kolonisasi akar disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 memperlihatkan bahwa faktor tunggal pemberian FMA pada O. bicolor
memberikan pengaruh yang nyata terhadap kolonisasi akar, diameter, berat kering
pucuk, indeks mutu bibit dan tinggi, tetapi tidak memberikan pengaruh nyata
terhadap berat kering akar dan nisbah pucuk akar. Untuk faktor tunggal pemberian
arang tempurung kelapa dan faktor interaksi perlakuan tidak berpengaruh nyata
terhadap seluruh parameter yang diamati.

11

Tabel 2 Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh FMA dan arang tempurung
kelapa terhadap semai O. bicolor (8 MST)
FMA x Arang tempurung
kelapa
Kolonisasi akar
*
tn
tn
Tinggi
**
tn
tn
Diameter
**
tn
tn
Berat kering akar
tn
tn
tn
Berat kering pucuk
**
tn
tn
Indeks mutu bibit
**
tn
tn
Nisbah pucuk akar
tn
tn
tn
**=berpengaruh sangat nyata pada taraf 1%; *=berpengaruh nyata pada taraf 5%; tn=tidak
berpengaruh nyata
Parameter

FMA

Arang tempurung kelapa

Karakteristik media tanam
Karakteristik media tanam merupakan faktor penting yang harus diketahui
untuk dijadikan pertimbangan dalam usaha peningkatan pertumbuhan tanaman.
Kemampuan media tanam dalam menyediakan unsur hara bagi tanaman
merupakan persoalan utama dalam produksi tanaman. Hasil analisis sifat kimia
tanah pada Lampiran 1 menunjukkan bahwa media tanah latosol yang digunakan
tergolong sangat masam karena memiliki pH 4,1. Selain itu media juga memiliki
C-organik sangat rendah, N-total yang rendah, kandungan P tergolong sangat
rendah yaitu 5,2 ppm, kandungan K, Ca, Mg serta KTK juga tergolong rendah.
Dari hasil analisis terlihat bahwa secara umum kondisi tanah yang digunakan
yaitu tidak subur.
Hasil analisis sifat kimia arang tempurung kelapa pada Lampiran 2
menunjukkan bahwa arang yang digunakan tergolong alkalis karena memiliki pH
9,6. Media arang ini memiliki kandungan C-organik yang sangat tinggi, N-total
yang sangat tinggi yaitu 0,8 %, P tersedia yang tergolong sangat tinggi, Ca yang
rendah yaitu 4,38 me/100 g, Mg yang tinggi yaitu 2,2 me/100 g, kandungan K dan
persen KB yang sangat tinggi, serta nilai KTK yang tergolong sedang yaitu 18,47
me/100 g (Hardjowigeno 1995). Berdasarkan pengukuran pH di akhir penelitian
(Lampiran 3), penambahan arang dapat meningkatkan pH tanah. Peningkatan pH
semai G. arborea meningkat dari 4,10−4,50 dan pada semai O. bicolor meningkat
dari 4,10−4,30.
Perkembangan FMA
Hasil analisis ragam (Tabel 1) menunjukkan faktor pemberian tunggal FMA
berpengaruh sangat nyata terhadap kolonisasi akar semai G. arborea, tetapi tidak
berpengaruh nyata pada pemberian tunggal arang tempurung kelapa maupun
interaksi antar keduanya.
Tabel 3 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap
kolonisasi akar semai G. arborea (12 MST) dan O. bicolor (8 MST)
Kolonisasi akar
G. arborea
O. bicolor
b
b
Tanpa inokulum FMA
0,351
0,343
a
a
Glomus sp.
11,475
7,320
b
b
Gigaspora sp.
0,936
2,896
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan perlakuan tidak berbeda
nyata pada selang kepercayaan 95%
FMA

12

Tabel 3 menunjukkan hasil uji DMRT pada selang kepercayaan 95%,
tampak bahwa adanya kolonisasi pada seluruh akar G. arborea dan O. bicolor
baik diinokulasi mikoriza maupun yang tidak diinokulasi mikoriza. Pada Tabel 3
menunjukkan bahwa kolonisasi akar tertinggi dimiliki oleh inokulum FMA jenis
Glomus sp. untuk masing-masing semai G. arborea dan O. bicolor dengan nilai
masing-masing 11,475% dan 7,320% atau mengalami peningkatan terhadap
kontrol masing-masing 96,95% dan 95,36%.
Pertumbuhan tanaman
Pertumbuhan tanaman Gmelina (Gmelina arborea Roxb.)
Pertumbuhan tinggi
Hasil analisis ragam (Tabel 1) menunjukkan faktor pemberian tunggal FMA
berpengaruh nyata terhadap tinggi semai G. arborea, namun faktor pemberian
tunggal arang tempurung kelapa maupun interaksi antara FMA dan arang
tempurung kelapa tidak memberikan pengaruh nyata. Hasil uji lanjut Duncan
pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap tinggi semai G. arborea disajikan
pada Tabel 4.
Tabel 4 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap
tinggi semai G. arborea (12 MST)
FMA

Tinggi (cm)

b
Tanpa inokulum FMA
32,960
b
Glomus sp.
41,780
a
Gigaspora sp.
44,613
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan perlakuan tidak berbeda
nyata pada selang kepercayaan 95%

Inokulasi kedua jenis FMA yang digunakan menunjukkan pengaruh yang
berbeda nyata. Tinggi terbesar ditunjukkan oleh FMA jenis Gigaspora sp. yaitu
sebesar 44,613 cm atau mengalami peningkatan terhadap kontrol sebesar 26,12%.
Secara visual pertambahan tinggi semai dan perkembangan akar pada G. arborea
dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 1.

a

b

c

Gambar 1 Keragaman pertumbuhan G. arborea pada umur 12 MST: (a) A0M0, A1M0, A2M0;
(b) A0M1, A1M1, A2M1; (c) A0M2, A1M2, A2M2 (A0=tanpa pemberian arang
tempurung kelapa; A1=pemberian arang tempurung kelapa taraf 10% (v:v);
A2=pemberian arang tempurung kelapa taraf 20% (v:v); M0=tanpa inokulasi FMA;
M1=inokulasi FMA jenis Glomus sp.; M2=inokulasi FMA jenis Gigaspora sp.)

13

Pertumbuhan diameter
Hasil analisis ragam (Tabel 1) pemberian tunggal FMA dan pemberian
tunggal arang tempurung kelapa berpengaruh nyata terhadap diameter semai G.
arborea, namun interaksi antara FMA dan arang tempurung kelapa tidak
memberikan pengaruh nyata. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pemberian tunggal
FMA terhadap diameter semai G. arborea disajikan pada Tabel 5 dan pengaruh
pemberian tunggal arang tempurung kelapa disajikan pada Tabel 6. Diameter
terbesar ditunjukkan oleh FMA jenis Glomus sp. yaitu sebesar 3,481 mm atau
mengalami peningkatan terhadap kontrol sebesar 27,92% (Tabel 5). Untuk
diameter terbesar pada perlakuan pemberian arang yaitu ditunjukkan oleh
pemberian arang pada taraf 10% yaitu sebesar 3,461 mm atau mengalami
peningkatan terhadap kontrol sebesar 24,05% (Tabel 6).
Tabel 5 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap diameter
semai G. arborea (12 MST)
FMA

Diameter (mm)

b
Tanpa inokulum FMA
2,509
a
Glomus sp.
3,481
b
Gigaspora sp.
3,095
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan perlakuan tidak berbeda
nyata pada selang kepercayaan 95%

Tabel 6 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tunggal arang tempurung kelapa
terhadap diameter semai G. arborea (12 MST)
Arang tempurung kelapa

Diameter (mm)

b
Arang tempurung kelapa 0%
2,629
a
Arang tempurung kelapa 10%
3,461
ab
Arang tempurung kelapa 20%
3,000
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan perlakuan tidak berbeda
nyata pada selang kepercayaan 95%

Berat kering akar
Hasil analisis ragam (Tabel 1) menunjukkan faktor tunggal pemberian
FMA, faktor tunggal pemberian arang maupun interaksi keduanya tidak
berpengaruh nyata terhadap berat kering akar semai G. arborea. Semai G.
arborea pada semua perlakuan mempunyai berat kering akar antara 0,15–0,40
gram.
Berat kering pucuk
Hasil analisis ragam (Tabel 1) pemberian tunggal FMA berpengaruh nyata
terhadap berat kering pucuk semai G. arborea. Pemberian tunggal arang
tempurung kelapa dan interaksinya tidak berbeda nyata. Hasil uji lanjut Duncan
pengaruh pemberian FMA terhadap berat kering pucuk semai G. arborea
disajikan pada Tabel 7. Berat kering pucuk terbesar ditunjukkan oleh FMA jenis
Gigaspora sp. yaitu sebesar 2,291 gram atau mengalami peningkatan terhadap
kontrol sebesar 58%.

14

Tabel 7 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap berat
kering pucuk semai G.arborea (12 MST)
FMA

Berat kering pucuk (g)

b
Tanpa inokulum FMA
0,962
b
Glomus sp.
1,387
a
Gigaspora sp.
2,291
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan perlakuan tidak berbeda
nyata pada selang kepercayaan 95%

Indeks mutu bibit
Hasil analisis ragam (Tabel 1) menunjukkan bahwa interaksi FMA dan
arang tempurung kelapa berpengaruh nyata terhadap indeks mutu bibit semai G.
arborea. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Tabel 8), pemberian FMA dan
arang tempurung kelapa dapat meningkatkan indeks mutu bibit semai G. arborea
dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan yang menggunakan FMA Gigaspora sp.
tanpa penambahan arang menunjukkan nilai indeks mutu bibit tertinggi
dibandingkan dengan perlakuan lainnya yaitu sebesar 14,866. Bibit akan memiliki
daya hidup tinggi jika ditanam di lapangan jika nilai IεB ≥ 0,09, semakin besar
nilai IMB maka semakin tinggi mutunya. Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa bibit
G. arborea memiliki mutu yang baik dikarenakan nilai IεB ≥ 0,09.
Tabel 8 Hasil uji Duncan pengaruh interaksi FMA dan arang tempurung kelapa
terhadap indeks mutu bibit G. arborea (12 MST)
Arang tempurung kelapa
Arang 0%
Arang 10%
Arang 20%
b
c
bc
Tanpa inokulum FMA
7,015
4,761
5,834
b
b
bc
Glomus sp.
7,451
7,335
5,888
a
b
b
Gigaspora sp.
14,866
7,733
6,710
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan perlakuan tidak berbeda
nyata pada selang kepercayaan 95%
FMA

Nisbah pucuk akar
Hasil analisis ragam (Tabel 1) menunjukkan bahwa interaksi FMA dan
arang tempurung kelapa berpengaruh nyata terhadap nisbah pucuk akar semai G.
arborea. Pada Tabel 9 terlihat bahwa nilai NPA pada penelitian ini sangat tinggi.
Nilai NPA yang baik berkisar antara 1–3 dan yang terbaik adalah yang mendekati
minimum (Frianto 2007). Nilai NPA yang tinggi pada penelitian ini disebabkan
oleh adanya pemberian mikoriza sehingga fotosintatnya lebih banyak dialokasikan
pada daerah pucuk dibandingkan dengan daerah akar.
Tabel 9 Hasil uji Duncan pengaruh interaksi FMA dan arang tempurung kelapa
terhadap nisbah pucuk akar semai G. arborea (12 MST)
Arang tempurung kelapa
Arang 0%
Arang 10%
Arang 20%
bc
c
bc
Tanpa inokulum FMA
6,920
4,633
5,749
b
b
c
Glomus sp.
7,357
7,110
4,683
a
b
bc
Gigaspora sp.
14,681
7,530
6,580
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan perlakuan tidak berbeda
nyata pada selang kepercayaan 95%
FMA

15

Pertumbuhan tanaman Balsa (Ochroma bicolor Rowlee)
Pertumbuhan tinggi
Hasil analisis ragam (Tabel 2) menunjukkan bahwa pemberian tunggal
FMA berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi semai O. bicolor.
Pemberian tunggal arang tempurung kelapa dan interaksinya tidak berbeda nyata.
Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap pertumbuhan
tinggi semai O. bicolor disajikan pada Tabel 10. Perlakuan dengan inokulasi FMA
mempunyai pertambahan tinggi yang lebih besar dibandingkan dengan tanpa
inokulasi FMA. Tinggi terbesar ditunjukkan oleh FMA jenis Gigaspora sp. yaitu
sebesar 13,500 cm atau mengalami peningkatan terhadap kontrol sebesar 38,32%.
Secara visual pertumbuhan tinggi semai dan perkembangan akar O. bicolor dari
masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 2.
Tabel 10 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap tinggi
semai O. bicolor (8 MST)
FMA

Tinggi (cm)

b
Tanpa inokulum FMA
8,327
a
Glomus sp.
12,447
a
Gigaspora sp.
13,500
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan perlakuan tidak berbeda
nyata pada selang kepercayaan 95%

a

b

c

Gambar 2 Keragaman pertumbuhan O. bicolor pada umur 8 MST: (a) A0M0, A1M0, A2M0;
(b) A0M1, A1M1, A2M1; (c) A0M2, A1M2, A2M2 (A0=tanpa pemberian arang
tempurung kelapa; A1=pemberian arang tempurung kelapa taraf 10% (w/w);
A2=pemberian arang tempurung kelapa taraf 20% (w/w); M0=tanpa inokulasi FMA;
M1=inokulasi FMA jenis Glomus sp.; M2=inokulasi FMA jenis Gigaspora sp.)

Pertumbuhan diameter
Hasil analisis ragam (Tabel 2) menunjukkan bahwa pemberian tunggal
FMA berpengaruh nyata terhadap diameter semai O. bicolor, namun faktor
tunggal arang tempurung kelapa dan interaksi antara keduanya tidak memberikan
pengaruh nyata. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA
terhadap diameter semai O. bicolor disajikan pada Tabel 11. Diameter terbesar
ditunjukkan oleh FMA jenis Gigaspora sp. yaitu sebesar 2,643 mm atau
mengalami peningkatan terhadap kontrol sebesar 33,14%.

16

Tabel 11 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap diameter
semai O. bicolor (8 MST)
FMA

Diameter (mm)

b
Tanpa inokulum FMA
1,767
a
Glomus sp.
2,403
a
Gigaspora sp.
2,643
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan perlakuan tidak berbeda
nyata pada selang kepercayaan 95%

Berat kering akar
Hasil analisis ragam (Tabel 2) menunjukkan faktor tunggal pemberian
FMA, faktor tunggal pemberian arang maupun interaksi keduanya tidak
berpengaruh nyata terhadap berat kering akar semai O. bicolor. Semai O. bicolor
pada semua perlakuan mempunyai berat kering akar antara 0,02–0,07 gram.
Berat kering pucuk
Hasil analisis ragam (Tabel 2) menunjukkan bahwa pemberian tunggal
FMA berpengaruh nyata terhadap berat kering pucuk semai O. bicolor, sedangkan
pemberian tunggal arang tempurung kelapa dan interaksi antara keduanya tidak
berpengaruh nyata. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Tabel 12), pemberian
tunggal FMA dapat meningkatkan berat kering pucuk semai O. bicolor
dibandingkan dengan tanpa pemberian FMA. Berat kering pucuk terbesar
ditunjukkan oleh FMA jenis Gigaspora sp. yaitu sebesar 0,278 gram atau
mengalami peningkatan terhadap kontrol sebesar 59,35%.
Tabel 12 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap berat
kering pucuk semai O. bicolor (8 MST)
FMA

Berat kering pucuk (g)

b
Tanpa inokulum FMA
0,113
a
Glomus sp.
0,239
a
Gigaspora sp.
0,278
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan perlakuan tidak berbeda
nyata pada selang kepercayaan 95%

Indeks mutu bibit
Hasil analisis ragam (Tabel 2) menunjukkan bahwa pemberian tunggal
FMA berpengaruh nyata terhadap indeks mutu bibit semai O. bicolor namun tidak
berpengaruh nyata terhadap pemberian tunggal arang tempurung kelapa maupun
interaksi antar keduanya. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Tabel 13),
pemberian tunggal FMA jenis Gigaspora sp. mempunyai nilai indeks mutu bibit
yang lebih besar dibandingkan dengan FMA jenis Glomus sp. maupun tanpa
inokulasi FMA. Nilai indeks mutu bibit terbaik ditunjukkan oleh FMA jenis
Gigaspora sp. yaitu sebesar 0,033 atau mengalami peningkatan terhadap kontrol
sebesar 54,55%.

17

Tabel 13 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap indeks
mutu bibit O. bicolor (8 MST)
FMA

Indeks mutu bibit

c
Tanpa inokulum FMA
0,015
b
Glomus sp.
0,029
a
Gigaspora sp.
0,033
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan perlakuan tidak berbeda
nyata pada selang kepercayaan 95%

Nisbah pucuk akar
Hasil analisis ragam (Tabel 2) menunjukkan bahwa faktor tunggal
pemberian FMA, faktor tunggal pemberian arang maupun interaksi keduanya
tidak berpengaruh nyata terhadap nsbah pucuk akar semai O. bicolor. Semai O.
bicolor pada semua perlakuan mempunyai nilai nisbah pucuk akar akar antara 3–
6. Nilai NPA yang baik berkisar antara 1–3 dan yang terbaik adalah yang
mendekati minimum (Frianto 2007). Pada penelitian ini nilai NPA sangat tinggi
dikarenakan adanya pemberian mikoriza.

Pembahasan
Karakteristik media tanam
Media tanam merupakan media yang mendukung kelangsungan hidup
tumbuhan baik secara fisik sebagai tempat berpegang dan sebagai penyedia semua
kebutuhan tumbuhan dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Kestabilan
media tumbuh (agregat tanah) tergantung pada kandungan bahan organik yang
terdapat di dalamnya dan keadaan alami hasil kerja mikroba tanah (Susanto 2002).
Kondisi agregat ini penting karena berkaitan dengan pergerakan udara, air dan
hara dalam tanah. Soepardi (1983) menyatakan bahwa pengaruh bahan organik
terhadap sifat fisik maupun kimia sangatlah besar melebihi jumlah bahan organik
yang terdapat dalam tanah. Setengah dari kapasitas tukar kation tanah biasanya
berasal dari bahan organik yang merupakan pemantap agregat tanah.
Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah (Lampiran 1) menunjukkan bahwa
tanah latosol ini termasuk ke dalam kriteria tanah yang tingkat kesuburannya
rendah (Hardjowigeno 1995). Tanah ini tergolong sangat masam karena memiliki
pH 4,1. Selain itu media juga memiliki C-organik sangat rendah, N-total yang
rendah, kandungan P tergolong sangat rendah yaitu 5,2 ppm; kandungan K; Ca;
Mg serta KTK juga tergolong rendah. Terdapat kendala bagi tanah latosol yang
mempunyai pH yang masam yaitu dalam hal megikat unsur P. Akar tanaman
menyerap fosfat dari dalam tanah yaitu dalam bentuk ion ortofosfat: HPO 42- atau
H2PO4-. Pada tanah dengan pH rendah, unsur P bersenyawa dengan Fe dan Al
sehingga P menjadi tidak tersedia untuk tanaman. Ketersediaan P yang maksimum
terdapat pada tanah yang memiliki pH 6,50–7,00 (Soemarno 2011).
Hasil analisis sifat kimia arang tempurung kelapa pada Lampiran 2
menunjukkan bahwa arang yang digunakan tergolong alkalis karena memiliki pH
9,6. Media arang ini memiliki kandungan C-organik yang sangat tinggi, N-total
yang sangat tinggi yaitu 0,8 %, P tersedia yang tergolong sangat tinggi, Ca yang
rendah yaitu 4,38 me/100 g, Mg yang tinggi yaitu 2,2 me/100 g, kandungan K dan

18

persen KB yang sangat tinggi, serta nilai KTK yang tergolong sedang yaitu 18,47
me/100 g (Hardjowigeno 1995). Dengan karakteristik seperti di atas, arang
tempurung kelapa diharapkan dapat memperbaiki media tanam tanah latosol yang
tidak subur sehingga nantinya dapat menghasilkan kualitas bibit yang bagus di
persemaian.
Penambahan arang ke dalam media dapat meningkatkan pH tanah dari
4,10–4,50 pada semai G. arborea dan 4,10–4,30 pada semai O. bicolor, akan
tetapi pH tanah masih tergolong masam. Nilai pH tanah sangat berpengaruh
terhadap ketersediaan hara dalam larutan tanah. Jumlah terbesar unsur hara
es