Uji aktivitas hepatoprotektor ekstrak air pegagan (Centella asiatica) terhadap tikus putih jantan yang diinduksi parasetamol

ABSTRAK
GPC SARAI SILABAN. Uji Aktivitas Ekstrak Air Pegagan (Centella asiatica)
terhadap Tikus Putih Jantan yang Diinduksi Parasetamol. Dibimbing oleh MIN
RAHMINIWATI dan DEWI RATIH AGUNGPRIYONO.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas ekstrak air pegagan
(Centella asiatica) terhadap tikus putih jantan strain Wistar yang diinduksi
parasetamol. Tikus dibagi dalam lima kelompok perlakuan yaitu kelompok
kontrol (akuades) dan empat kelompok formula ekstrak air pegagan (F 6, F 10, F
12, and F 16). Tikus diinduksi dengan parasetamol dosis 1000 mg/kg bw (p.o)
sebagai dosis toksik untuk menginduksi kerusakan hati. Formula ekstrak air
pegagan diberikan setelah satu jam induksi parasetamol dengan dosis 1500 mg/kg
bw (p.o). Perlakuan diberikan selama 8 hari dan darah diambil sebanyak tiga kali
(sebelum perlakuan, sesudah pemberian parasetamol, dan akhir perlakuan) dari
arteri pada ekor tikus dan dianalisis kadar SGPTnya. Kerusakan hati yang
dihasilkan oleh pemberian parasetamol berhasil dihambat oleh kelompok F 16
dengan bukti berupa penurunan level kadar SGPT. Aktivitas hepatoprotektor
ekstrak air pegagan juga didukung oleh pemeriksaan secara histopatologi.
Kata kunci: parasetamol, aktivitas hepatoprotektif, Centella asiatica, SGPT

ABSTRACT
GPC SARAI SILABAN. Study of Hepaprotective Activity of Asian Pennywort

(Centella asiatica) Extract Against Paracetamol Induced in Male Wistar Albino
Rat. Supervised by MIN RAHMINIWATI and DEWI RATIH
AGUNGPRIYONO.
This study was undertaken to investigate activity of Centella asiatica extract
against paracetamol induced liver damage in male Wistar albino rats. Rats were
divided into five groups namely control (aquadest), herb extract with four
formulations which were F 6, F 10, F 12, and F 16. Rats were administered
paracetamol at dose 1000 mg/kg bw (p.o) as toxic dose for inducing
hepatotoxicity. Herb extract in each formula was given at dose 1500 mg/kg bw
(p.o) one hour after paracetamol administration. The treatment was given for eight
days and blood was collected three times (before treatment, after paracetamol
treatment, and last treatment) from tail artery and analysed for serum glutamate
pyruvate transminase (SGPT). The hepatoxicity produced by acute paracetamol
administration was found to be inhibited by Centella asiatica at group F 16 with
evidence of decreased level of serum glutamate pyruvate transminase (SGPT)
consentration. The hepatoprotective activity Centella asiatica was also supported
by histopathological studies of hepatocytes.
Keywords: paracetamol, hepatoprotective activity, Centella asiatica, SGPT

UJI AKTIVITAS HEPATOPROTEKTOR EKSTRAK AIR

PEGAGAN (Centella asiatica) TERHADAP TIKUS PUTIH
JANTAN YANG DIINDUKSI PARASETAMOL

GPC SARAI SILABAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Uji Aktivitas
Hepatoprotektor Ekstrak Air Pegagan (Centella asiatica) terhadap Tikus Putih
Jantan yang Diinduksi Parasetamol adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2012
GPC Sarai Silaban
NIM B04080089

ABSTRAK
GPC SARAI SILABAN. Uji Aktivitas Ekstrak Air Pegagan (Centella asiatica)
terhadap Tikus Putih Jantan yang Diinduksi Parasetamol. Dibimbing oleh MIN
RAHMINIWATI dan DEWI RATIH AGUNGPRIYONO.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas ekstrak air pegagan
(Centella asiatica) terhadap tikus putih jantan strain Wistar yang diinduksi
parasetamol. Tikus dibagi dalam lima kelompok perlakuan yaitu kelompok
kontrol (akuades) dan empat kelompok formula ekstrak air pegagan (F 6, F 10, F
12, and F 16). Tikus diinduksi dengan parasetamol dosis 1000 mg/kg bw (p.o)
sebagai dosis toksik untuk menginduksi kerusakan hati. Formula ekstrak air
pegagan diberikan setelah satu jam induksi parasetamol dengan dosis 1500 mg/kg
bw (p.o). Perlakuan diberikan selama 8 hari dan darah diambil sebanyak tiga kali
(sebelum perlakuan, sesudah pemberian parasetamol, dan akhir perlakuan) dari
arteri pada ekor tikus dan dianalisis kadar SGPTnya. Kerusakan hati yang
dihasilkan oleh pemberian parasetamol berhasil dihambat oleh kelompok F 16

dengan bukti berupa penurunan level kadar SGPT. Aktivitas hepatoprotektor
ekstrak air pegagan juga didukung oleh pemeriksaan secara histopatologi.
Kata kunci: parasetamol, aktivitas hepatoprotektif, Centella asiatica, SGPT

ABSTRACT
GPC SARAI SILABAN. Study of Hepaprotective Activity of Asian Pennywort
(Centella asiatica) Extract Against Paracetamol Induced in Male Wistar Albino
Rat. Supervised by MIN RAHMINIWATI and DEWI RATIH
AGUNGPRIYONO.
This study was undertaken to investigate activity of Centella asiatica extract
against paracetamol induced liver damage in male Wistar albino rats. Rats were
divided into five groups namely control (aquadest), herb extract with four
formulations which were F 6, F 10, F 12, and F 16. Rats were administered
paracetamol at dose 1000 mg/kg bw (p.o) as toxic dose for inducing
hepatotoxicity. Herb extract in each formula was given at dose 1500 mg/kg bw
(p.o) one hour after paracetamol administration. The treatment was given for eight
days and blood was collected three times (before treatment, after paracetamol
treatment, and last treatment) from tail artery and analysed for serum glutamate
pyruvate transminase (SGPT). The hepatoxicity produced by acute paracetamol
administration was found to be inhibited by Centella asiatica at group F 16 with

evidence of decreased level of serum glutamate pyruvate transminase (SGPT)
consentration. The hepatoprotective activity Centella asiatica was also supported
by histopathological studies of hepatocytes.
Keywords: paracetamol, hepatoprotective activity, Centella asiatica, SGPT

UJI AKTIVITAS HEPATOPROTEKTOR EKSTRAK AIR
PEGAGAN (Centella asiatica) TERHADAP TIKUS PUTIH
JANTAN YANG DIINDUKSI PARASETAMOL

GPC SARAI SILABAN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012


Judul Skripsi : Uji Aktivitas Hepatoprotektor Ekstrak Air Pegagan
(Centella asiatica) terhadap Tikus Putih Jantan yang Diinduksi
Parasetamol
Nama
: GPC Sarai Silaban
NIM
: B04080089

Disetujui oleh

Drh. Min Rahminiwati, MS, Ph.D
Pembimbing I

Drh. Dewi Ratih Agungpriyono, Ph.D, APVet
Pembimbing II

Diketahui oleh

Drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet.

Wakil Dekan

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan
skripsi berjudul Uji Aktivitas Hepatoprotektor Ekstrak Air Pegagan (Centella
asiatica) terhadap Tikus Putih Jantan yang Diinduksi Parasetamol. Skripsi ini
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran hewan
pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Drh. Min Rahminiwati, MS, Ph.D
selaku pembimbing akademik sekaligus pembimbing skripsi pertama yang dengan
sabar telah membimbing penulis. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu
Drh. Dewi Ratih Agungpriyono, Ph.D, APVet sebagai pembimbing skripsi kedua
yang juga dengan sabar telah membimbing penulis. Terima kasih penulis
sampaikan kepada seluruh staf pengajar dan tenaga kependidikan Bagian
Farmakologi dan Patologi FKH IPB atas segala bantuannya. Terima kasih juga
penulis ucapkan kepada seluruh staf pengajar di FKH IPB yang telah memberikan
ilmu pengetahuan serta nasihat.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta (Bapak
E.L Silaban, Mama R. Hutasoit, Kak Naomi, Nunut, Mika, Juan dan keluarga
besar Silaban Hutasoit) yang selalu memberikan dukungan dan doa yang tiada
hentinya sehingga penulis senantiasa bersemangat dalam menyelesaikan studi.
Selanjutnya ucapan terima kasih kepada teman seperjuangan yaitu Irene,
Anggresia, Novrika, Erti, Samuel, Bolas, Exas, Eva, Arini, Anita, Fitria, Gita,
Andrio, Tizani, Keisya, Kak Pamona, Kak Devi, Kak Yeni, Kak Yunita, Kak Ani,
Kak Disa, dan Bu Eka atas dukungan, semangat, dan doa yang telah diberikan,
Terakhir ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada keluarga Avenzoar, serta
para sahabat yang tak dapat disebutkan satu per satu. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca.

Bogor, Desember 2012
GPC Sarai Silaban

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi


DAFTAR GAMBAR

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2


METODE

3

Waktu dan Tempat Penelitian

3

Bahan

3

Alat

3

Metodologi Penelitian

3


HASIL DAN PEMBAHASAN

5

Data Aktivitas Enzim SGPT

5

Histopatologi Organ Hati

8

SIMPULAN

11

Simpulan

11

DAFTAR PUSTAKA

12

RIWAYAT HIDUP

14

DAFTAR TABEL
1 Aktivitas enzim SGPT pada tikus putih yang diberi ekstrak air pegagan
sebagai usaha hepatoproteksi dari penginduksian menggunakan
parasetamol
2 Persentase perubahan keadaan hepatosit di sekitar vena porta dan vena
sentralis pada tikus putih jantan kelompok kontrol dan yang diberi
ekstrak air pegagan selama 8 hari sebagai usaha hepatoproteksi
terhadap efek toksik parasetamol

6

9

DAFTAR GAMBAR
1 Perbandingan gambaran histopatologi jaringan hati di sekitar vena porta
pada kelompok F 16 dan kontrol
2 Perbandingan gambaran histopatologi jaringan hati di sekitar vena
sentralis pada kelompok F 16 dan kontrol

10
11

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keracunan parasetamol merupakan keracunan obat yang paling sering
terjadi terutama di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Singapura.
Food and Drug Administration (2009) menyatakan bahwa pada tahun 1998 hingga
2003, parasetamol menjadi penyebab kerusakan hati akut di Amerika Serikat.
Sekitar 48% dari semua kasus yang terjadi (131 dari 275) berkaitan dengan
overdosis parasetamol. Sebenarnya dalam dosis terapeutik, penggunaan
parasetamol tidak menimbulkan bahaya. Namun efek yang berbahaya muncul
pada dosis berlebihan dan dalam jangka waktu lama berupa kerusakan hati
(Dalimartha 2005). Parasetamol adalah analgesik sintetik non-opiat yang
berbentuk kristal putih dengan rasa pahit. Selain memiliki kemampuan sebagai
analgesik, parasetamol juga berfungsi sebagai antipiretik dengan mekanisme yang
mirip seperti asam salisilat, yaitu menghambat aktivitas enzim siklooksigenase
(COX). Namun, tidak seperti asam salisilat, parasetamol tidak memiliki efek
antiinflamasi (Plumb 1999). Oleh karena itu, parasetamol sering digunakan oleh
masyarakat untuk menurunkan panas badan dan menghilangkan gejala nyeri
dengan intensitas ringan hingga sedang (Cooper 2010). Kelainan atau kerusakan
hati ditandai dengan meningkatnya beberapa parameter biokimia hati yang dapat
dilihat di darah seperti aminotransferase (transaminase), alkalin fosfatase, serum
protein, dan bilirubin. Enzim golongan aminotransferase yang termasuk parameter
adalah enzim golongan aminotransferase seperti alanin aminotransferase (ALT)
atau serum glutamat piruvat transaminase (SGPT) dan aspartat aminotransferase
(AST) atau serum glutamat oksaloasetat transminase (SGOT) (Chopra 2001).
Pencegahan kerusakan hati oleh parasetamol dapat dilakukan dengan
memakai obat tersebut dalam dosis yang dianjurkan serta mengkonsumsi bahan
pangan yang memiliki khasiat hepatoprotektor. Hepatoprotektor adalah senyawa
atau zat berkhasiat yang dapat melindungi sel-sel hati terhadap pengaruh zat
toksik yang dapat merusak hati. Senyawa tersebut bahkan dapat memperbaiki
jaringan hati yang fungsinya sedang terganggu. Mekanisme kerja obat
hepatoprotektif antara lain dengan cara detoksikasi senyawa racun baik yang
masuk dari luar maupun yang terbentuk di dalam tubuh pada proses metabolisme,
meningkatkan regenerasi sel hati yang rusak, antiradang, dan sebagai
imunostimulator. Biasanya hepatoprotektor merupakan bahan yang memiliki sifat
antioksidan sehingga dapat mengurangi reaksi oksidasi pada kerusakan hati
(Dalimartha 2005).
Sejak ribuan tahun yang lalu, obat dan pengobatan tradisional sudah ada di
Indonesia. Pengobatan tradisional dengan memanfaatkan tumbuhan berkhasiat
obat merupakan pengobatan untuk mencapai kesehatan yang optimal secara alami.
Indonesia memiliki lahan hutan tropis cukup luas dengan keanekaragaman hayati,
baik flora maupun fauna yang besar. Sekitar 30.000 sampai 40.000 jenis
tumbuhan tersebar dari Aceh sampai Papua. Namun, hingga saat ini Indonesia
belum berhasil mengangkat pengobatan tradisional menjadi pengobatan nasional
(Wijayakusuma 2000). Tumbuhan obat yang terbukti berkhasiat hepatoprotektif
contohnya kurkumin yang diperoleh dari temulawak dan kunyit, filantin dan

2
hipofilantin dari meniran, aukubin dari daun sendok, wedelolakton dari urangaring, andrografolid dari sambiloto, minyak atsiri dari bawang putih, glycyrrhisic
acid dari akar manis dan saga, krisofanol dari kelembak, dan gingerol dari jahe.
Zat berkhasiat bekerja melindungi hati dari kerusakan, mempercepat regenerasi
hepatosit, dan mengurangi keaktifan enzim siklooksigenase (Dalimartha 2008).
Centella asiatica atau yang dikenal sebagai pegagan terrnasuk ke dalam
famili Umbelliferae dengan kelas Dicotyledoneae, genus Centella, dan spesies
Centella asiatica (L) Urban. Tanaman yang juga memiliki sinonim Hidrocotyle
asiatica, sudah sejak lama digunakan sebagai obat di daerah Asia Tenggara,
termasuk Indonesia, India, Jepang, Tiongkok, dan Australia (Brinkhaus et al.
2000). Pegagan sebagai obat tradisional dapat dinikmati baik dalam bentuk segar,
kering, maupun ramuan. Secara empiris pegagan berkhasiat sebagai tonik
penyegar, obat penenang, antiinfeksi, antitoksik, antirematik, antilepra,
menghentikan pendarahan, menyembuhkan penyakit hepatitis, dan melebarkan
pembuluh darah perifer (Waluyo 2009). Khasiat dan manfaat pegagan disebabkan
oleh kandungan komponen fitokimia di dalamnya, yaitu triterpenoid, saponin,
alkaloid, flavonoid, tannin, steroid, dan glikosida. Zat aktif yang terdapat dalam
pegagan antara lain asiatikosida, madekasosida (triterpenoid), asam madekasat,
brahmosida, dan brahminosida (glikosida saponin) (Gohil et al. 2010).
Khasiat lain yang dimiliki oleh pegagan adalah sebagai hepatoprotektor.
Penelitian yang dilakukan oleh Antony et al. (2006) membuktikan bahwa
asiatikosida sebagai kandungan utama dari triterpenoid dapat meningkatkan efek
antioksidan sehingga mampu melindungi kerusakan hati akibat hepatotoksin.
Madekasosida dan asam madekasat membantu persembuhan kerusakan hati
karena aktivitas antiinflamatori dan imunomodulator yang dimilikinya (Vohra et
al. 2011). Selain kandungan tersebut, total glukosida dari pegagan turut
membantu memperbaiki fungsi hati yang rusak (Ming et al. 2004).

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas hepatoprotektor
ekstrak air pegagan (Centella asiatica) terhadap kerusakan hati tikus putih jantan
yang diinduksi parasetamol.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai
kemampuan hepatoprotektor ekstrak air pegagan dalam beberapa formula dan
dosis pada tikus putih jantan yang diinduksi parasetamol.

3

MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Juli 2012 di Shigeta
dan Laboratorium Histopatologi, Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi
dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan
Penelitian ini menggunakan 52 ekor tikus putih jantan strain Wistar yang
berumur 3 hingga 4 bulan dengan bobot berkisar 180 gram hingga 300 gram.
Bahan yang digunakan antara lain parasetamol, ekstrak air pegagan, EDTA, SGPT
kit, ransum tikus standar, botol minum, serbuk gergaji, parafin, Mayer
hematoksilin eosin, alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, 100%, alkohol absolut, xylol,
lithium carbonate, dan akuades.

Alat
Alat yang digunakan antara lain sonde lambung, spektrofotometer,
perangkat pembuatan sediaan histopatologi, mikroskop cahaya, kaca objek, gelas
penutup, tabung eppendorf, peralatan bedah hewan, timbangan digital, gelas
beaker, gelas ukur, disposable syringe 1 mL, alat sentrifugasi, mortar, kamera foto,
kandang tikus, dan lemari es.

Metodologi Penelitian
Persiapan Ekstrak Air Pegagan
Ekstrak air pegagan yang dipakai pada penelitian ini merupakan ekstrak siap
pakai dalam 4 formula (F 6, F 10, F 12, dan F 16) dari Pusat Studi Biofarmaka.

Persiapan Hewan Coba
Setiap tikus ditempatkan dalam kandang yang terpisah dengan kondisi
kandang beralaskan serbuk gergaji. Setiap hari tikus diberi pakan sebanyak 50
gram dan air secara adlibitum. Kandang ditempatkan dalam ruangan yang
memiliki ventilasi dan penerangan yang cukup. Pergantian serbuk gergaji
dilakukan setiap seminggu sekali.

Perlakuan Hewan Coba
Tikus putih dibagi menjadi lima kelompok dengan komposisi 5 tikus di
kelompok K (kontrol negatif), 14 tikus di kelompok F 6, 13 tikus di kelompok F
10, 10 tikus di kelompok F 12, dan 10 tikus di kelompok F 16. Setiap kelompok
diinduksi parasetamol dosis 1000 mg/kg BB pada hari pertama dan dosis 500

4
mg/kg BB/hari untuk selanjutnya. Satu jam kemudian diberikan akuades pada
kelompok K dan diberikan ekstrak air pegagan sesuai kelompok formula dengan
dosis yang sama yaitu 1500 mg/kg BB selama 8 hari (sediaan 200 mg/mL).

Pengukuran Kadar Enzim SGPT Plasma Darah Tikus
Pengukuran kadar enzim SGPT dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu sebelum
penelitian (kelompok I) untuk mengetahui kadarnya sebelum perlakuan, sesudah
pemberian parasetamol 1000 mg/kg BB (kelompok II), dan hari terakhir
(kelompok III). Pengukuran kadar enzim SGPT dilakukan dengan cara darah
diambil dari ekor yang bagian ujungnya digunting. Darah diambil sebanyak 1 mL
dan ditampung dalam tabung eppendorf. Tabung eppendorf sebelumnya diisi
dengan antikoagulan EDTA sebanyak 2 mg agar tidak terjadi penggumpalan
darah sehingga dapat dihasilkan plasma darah. Darah yang sudah terkumpul diberi
label dan secepatnya disimpan dalam lemari es agar kualitas darah tetap terjaga.
Kemudian darah disentrifus menggunakan alat sentrifugasi dengan kecepatan
3000 rpm selama 10 menit kemudian diambil plasmanya. Jumlah plasma darah
yang digunakan adalah 200 μL. Plasma ini akan diperiksa kadar enzim SGPT
menggunakan SGPT kit dan reagennya. Plasma akan ditambahkan starting agent
2-oxoglutarate dan reagen enzim L-alanine lalu perubahan absorbansinya dibaca
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 340 nm. Prinsip reaksi
sebagai berikut :

Pemeriksaan Histopatologis Hati
Hati difiksasi dengan larutan formalin (Buffered Neutral Formalin) 10%
dengan pH berkisar antara 6,5-7,5. Hati direndam dalam bahan pengawet
bertujuan untuk melindungi struktur fisik sel. Serangkaian tahapan yang dilalui
antara lain proses dehidrasi, penjernihan, penanaman jaringan dalam parafin,
pemotongan dengan menggunakan mikrotom setebal 5 μm, proses pewarnaan HE
(Hematoksilin Eosin), dan penutupan dengan gelas penutup.
Organ kemudian disayat secara melintang menggunakan skapel dengan
ketebalan 0,3-0,5 mm. Potongan ini disusun ke dalam kaset jaringan dan
dimasukkan ke dalam keranjang jaringan. Keranjang yang di dalamnya berisi
jaringan organ dimasukkan ke dalam mesin pemroses otomatis. Selanjutnya
jaringan mengalami proses dehidrasi dalam larutan alkohol bertingkat dengan
putaran waktu sebagai berikut: alkohol 70% (2 jam), alkohol 80% (2 jam), alkohol
90% (2 jam), alkohol absolut dua kali ulangan dengan setiap ulangan selama 2
jam. Setelah dehidrasi, dilanjutkan dengan tahapan penjernihan dalam xylol
dengan rincian: xylol dua kali ulangan dengan setiap ulangan selama 2 jam, dan
dilanjutkan dengan penanaman jaringan dalam parafin pada suhu 56 oC.
Penanaman jaringan dalam parafin dilakukan pada cetakan logam berukuran 2 x 2
x 2 cm dan dipotong menggunakan mikrotom yang ketebalan maksimalnya 5 μm.
Setelah itu, jaringan ditempelkan pada kaca objek dan diwarnai dengan metode
HE.

5
Pewarnaan HE diawali dengan deparafinisasi dalam xylol I selama 2 menit
dan xylol II selama 2 menit. Tahapan berikutnya adalah rehidrasi dalam alkohol
bertingkat dimulai dari alkohol absolut (2 menit), alkohol 95% (1 menit), dan
alkohol 80% (1 menit). Setelah perendaman dalam alkohol dilanjutkan dengan
pencucian mengunakan air kran selama 10 menit.
Perendaman dalam hematoksilin dilakukan selama 8 menit dilanjutkan
pencucian mengunakan air kran selama 30 detik. Setelah itu direndam dalam
lithium karbonat selama 15-30 detik dan dicuci kembali dalam air kran selama 2
menit. Perendaman dalam eosin dilakukan selama 2-3 menit, dilanjutkan
pencucian menggunakan air kran selama 30-60 menit. Tahap akhir adalah
dehidrasi dalam alkohol bertingkat (95% hingga absolut) masing-masing 2 menit.
Kemudian dilakukan penjernihan dalam xylol dua kali ulangan selama 2 menit.
Preparat yang telah dijernihkan kemudian ditutup dengan gelas penutup yang
direkatkan pada kaca objek menggunakan enthelan.

Penghitungan Sel pada Histopatologis Hati
Penghitungan dilakukan menggunakan program software ImageJ® pada
gambar yang telah diperoleh melalui pengambilan gambar jaringan hati dengan
mikroskop cahaya perbesaran 400 x. Gambar yang diambil sebanyak lima bidang
pengamatan pada hepatosit di sekitar vena porta (VP) dan vena sentralis (VS). Sel
yang dihitung adalah sel hati normal dan sel yang mengalami perubahan seperti
degenerasi hidropis, degenerasi lemak serta nekrosa. Jumlah sel tersebut akan
dijadikan dalam bentuk persentase kemudian dianalisis dengan uji Analysis of
Variance (ANOVA) dan uji Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Data Aktivitas Enzim SGPT
Hati merupakan organ aksesoris pada sistem digesti sekaligus kelenjar
terbesar dalam tubuh (Akers dan Denbow 2008). Pada hewan tikus, hati terletak di
bagian kanan pada region epigastrikus, tepat di belakang dari diafragma. Hati
terdiri atas lobus-lobus dan setiap lobus terbagi menjadi lobulus-lobulus (Rogers
dan Dintzis 2012). Setiap lobulus merupakan badan heksagonal dengan ukuran
0,7 x 2 mm yang terdiri atas sel-sel parenkim hati (hepatosit), vena sentralis,
sinusoid, cabang-cabang vena porta, cabang-cabang arteri hepatika, sel Kupffer,
duktus empedu, buluh darah limfatik, dan saraf (Dancygier 2010). Hati berperan
dalam hampir semua fungsi metabolisme tubuh termasuk pada proses
metabolisme obat parasetamol (Sloane 2003).
Parasetamol yang masuk ke dalam tubuh melalui sistem gastrointestinal
kemudian akan diserap dan dibawa oleh vena porta ke hati agar dapat
dimetabolisme oleh enzim-enzim mikrosomal hati. Proses metabolisme dilakukan
dalam dua fase yaitu, fase I dan fase II. Pada fase I, parasetamol akan dioksidasi
dengan bantuan enzim mikrosomal hati yaitu enzim sitokrom P450
monooksigenase menjadi N-acetyl-para-benzoquinone imine (NAPQI) yang

6
merupakan toksin sangat reaktif. Selanjutnya pada fase II, sebagian besar
parasetamol akan dikonjugasikan dengan substrat endogen seperti asam
glukuronat, sulfat, glutation, asetat, asam amino, dan gugus metil menjadi
metabolit tidak berbahaya (Haschek dan Rousseaux 1998).
Pada dosis normal, metabolit toksik NAPQI ini segera didetoksifikasi
menjadi konjugat yang tidak toksik (asam merkapturat dan sistein) oleh glutation
dan segera dikeluarkan oleh ginjal melalui urin. Namun apabila mengkonsumsi
parasetamol pada dosis tinggi, glutation akan mengalami deplesi sekitar 90%
sehingga konsentrasi metabolit toksik ini menjadi jenuh. NAPQI yang berada
dalam keadaan bebas akan berikatan dengan makromolekul protein pada membran
hepatosit sehingga menyebabkan kerusakan membran sel hati. Sel-sel hepatosit
akan pecah sehingga enzim golongan aminotransferase seperti ALT atau SGPT
dan AST atau SGOT yang terdapat dalam sel hepatosit akan keluar dan masuk
aliran darah di sekitar vena sentralis sehingga terjadi kenaikan aktivitas enzim
SGPT dan SGOT melebihi normal (Cooper 2010).
Pada penelitian sebagai indikator kerusakan hati adalah kadar enzim SGPT.
Enzim SGPT merupakan indikator yang sensitif dalam mengenali adanya penyakit
pada hati yang bersifat akut. Hal ini disebabkan hepatosit yang rusak atau mati
akan melepaskan enzim SGPT ke dalam aliran darah (Chopra 2001). Enzim SGPT
merupakan enzim yang lebih dipercaya dibandingkan SGOT dalam menentukan
kerusakan sel hati. Hal ini disebabkan SGPT banyak ditemukan terutama di hati
sedangkan SGOT dapat ditemukan selain di hati, seperti di otot jantung, otot
rangka, ginjal, pankreas, otak, sel darah merah, dan sel darah putih. Dengan
demikian, jika hanya terjadi peningkatan SGOT maka dapat saja yang mengalami
kerusakan adalah sel-sel organ lainnya yang mengandung SGOT (Sari et al. 2008).
Data aktivitas enzim SGPT pada tikus jantan yang diberikan ekstrak air
pegagan sebagai usaha hepatoproteksi dari penginduksian parasetamol dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Aktivitas Enzim SGPT Pada Tikus yang Diberi Ekstrak Air Pegagan
Sebagai Usaha Hepatoproteksi dari Penginduksian Menggunakan
Parasetamol

Kelompok

Kelompok I
(Sebelum diinduksi
parasetamol)

Nilai SGPT (U/I)
Kelompok II
(Setelah diinduksi

Kelompok III
(Setelah dilakukan

parasetamol 1000
mg/kg BB)

pemberian ekstrak air
pegagan selama 8 hari)

K
F6
F 10

4,95 ± 2,36 ab
8,51± 5,99 ab
8,22 ± 6,18 ab

8,47 ± 7,34 ab
5,59 ± 3,61 ab
4,05 ± 1,71 ab

8,01 ± 5,35 ab
4,15 ± 3,13 ab
8,52 ± 6,54 ab

F12
F 16

6,98 ± 9,24 ab
5,24 ± 3,53 ab

4,64 ± 3,98 ab
7,67 ± 8,91 ab

10,58 ± 9,97 ab
4,64 ± 2,86 ab

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
(p0,05) terhadap kontrol. Namun dapat dilihat
kelompok F 16 menunjukkan penurunan nilai enzim SGPT akibat pemberian
ekstrak air pegagan. Hal ini mengindikasikan zat aktif pegagan yang terkandung
dalam F 16 seperti asiatikosida, madekasosida, dan brahminosida (glikosida

8
saponin) mampu memperbaiki kerusakan hati akibat parasetamol yang cukup baik
(Brinkhaus et al. 2000). Asiatikosida yang merupakan kandungan utama dari
pegagan mampu meningkatkan efek enzim antioksidan seperti superoksida
dismutase, katalase, dan glutation peroksidase sehingga diduga mampu
menghambat NAPQI untuk menetap dan merusak hepatosit (Antony et al. 2006).
Madekasosida dan asam madekasat membantu persembuhan kerusakan hati
karena aktifitas antiinflamatori dan imunomodulator yang dimilikinya (Vohra et al.
2011). Selain kandungan tersebut, total glukosida dari pegagan turut membantu
memperbaiki fungsi hati yang rusak sehingga terjadi penurunan nilai enzim SGPT
(Ming et al. 2004).

Histopatologi Organ Hati
Pengamatan histolopatologi hati dilakukan untuk memberikan informasi
mengenai perubahan mikroskopis hati yang ditimbulkan akibat pemberian ekstrak
air pegagan terhadap hati yang diinduksi parasetamol. NAPQI yang dihasilkan
dari biotransformasi parasetamol dengan sistem enzim sitokrom P450 akan
bereaksi dengan molekul penyusun membran sel hepatosit sehingga menyebabkan
kerusakan hati. Perubahan mikroskopis dapat meliputi perubahan inti sel,
sitoplasma, dan sel secara keseluruhan. Berdasarkan pengamatan histopatologi
pada kelompok kontrol dan F 16 ditemukan adanya sel normal dan sel yang
mengalami perubahan sublethal serta lethal pada hepatosit. Perubahan ini
diskoring menggunakan program software ImageJ® dan dibandingkan antara vena
porta dan vena sentralis untuk melihat efek hepatoprotektif dari ekstrak air
pegagan. Skoring dilakukan terhadap lima bidang pengamatan pada hepatosit di
sekitar vena porta dan vena sentralis untuk menggambarkan derajat keparahan
jaringan hati.
Perubahan sublethal atau yang sering disebut perubahan degeneratif
merupakan proses yang jika rangsangannya dihentikan, maka sel dapat kembali
seperti semula. Sedangkan proses lethal merupakan suatu proses sel telah
mencapai titik tidak dapat lagi mengkompensasi kerusakan dan telah terjadi
kematian sel (nekrosa) (Price dan Wilson 2003).
Perubahan sublethal yang terlihat pada bidang pengamatan adalah
degenerasi hidropis dan degenerasi lemak. Degenerasi hidropis umumnya dimulai
dari daerah porta yang meluas menuju sentralis karena daerah porta merupakan
daerah yang pertama kali menerima suplai darah dari saluran pencernaan.darah
yang mengandung toksin dibawa dari usus, masuk ke hati melewati vena porta
kemudian melewati sinusoid menuju vena sentralis (Price dan Wilson 2003).
Secara makroskopis, organ yang mengalami degenerasi hidropis terlihat lebih
besar, warnanya opaque, konsistensinya lunak dan rapuh, serta kurang memiliki
bentuk lagi. Sedangkan secara mikroskopis, ukuran sel meningkat disertai batas
sel yang tidak jelas, sebagian organela sel akan berubah menjadi kantong air,
sitoplasma terlihat seperti bervakuola, opaque, dan lebih granuler. Hal ini terjadi
karena metabolit reaktif NAPQI merusak membran sel sehingga keseimbangan
ion natrium dan kalium terganggu dan terjadilah peningkatan jumlah air ke dalam
sel (Mugera 2000).

9
Sedangkan pada degenerasi lemak, secara makroskopis hati akan terlihat
pucat atau coklat kekuningan, licin, dan biasanya perlemakan menyebar ke
seluruh bagian. Sedangkan secara mikroskopis, tampak jaringan hati sudah tidak
teratur, adanya lemak dalam bentuk droplet kecil atau besar yang mengisi ruang
sitoplasma sel hati sehingga komponen dan inti sel hati akan terdesak ke tepi. Hal
ini terjadi karena metabolit reaktif NAPQI mengganggu sintesis dan pematangan
protein di ribosom pada retikulum endoplasma kasar sehingga tidak terbentuknya
apoprotein dan lipoprotein yang akan membawa trigliserida keluar ke plasma
untuk dimetabolisme. Hal inilah yang menyebabkan asam lemak tidak dapat
disekresikan sehingga menjadi terakumulasi dalam sel hati (Cheville 2006). Pada
jaringan histopatologi, degenerasi lemak terlihat seperti ruang kosong di
sitoplasma karena saat proses dehidrasi dalam alkohol, droplet lemak akan
menghilang meninggalkan bentuk vakuola pada sitoplasma (Mugera 2000).
Perubahan lethal yang terlihat pada bidang pengamatan adalah nekrosa.
Perubahan nekrosa meliputi perubahan nukleus yaitu piknosis, karioreksis,
kariolisis, dan sel yang hilang (Haschek dan Rousseaux 1998). Nekrosa yang
terjadi akibat parasetamol adalah nekrosa sentrilobular yang ditandai kerusakan
terutama di hepatosit sekitar daerah vena sentralis. Hal ini dikaitkan dengan
terbentuknya metabolit sangat reaktif setelah parasetamol dimetabolisme di hati
(Cooper 2010).
Persentase berbagai perubahan sel hepatosit di sekitar vena porta dan vena
sentralis disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Persentase Perubahan Keadaan Hepatosit di Sekitar Vena Porta dan Vena
Sentralis pada Tikus Putih Jantan Kelompok Kontrol dan yang Diberi
Ekstrak Air Pegagan Selama 8 Hari Sebagai Usaha Hepatoproteksi
terhadap Efek Toksik Parasetamol
Normal
(%)

Degenerasi
hidropis (%)

Degenerasi
lemak (%)

Nekrosa
(%)

VP
VS
VP

29,3 ± 14,6ab
24,7 ±11,8ab
36,1 ± 8,0 ab

38,5 ± 8,9 ab
40,6 ± 5,7ab
39,2 ± 6,2 ab

5,4 ± 2,6 ab
9,2 ± 2,0ab
5,3 ± 2,0 ab

26,8 ±19,5ab
25,6 ±15,0ab
19,4 ± 5,0 ab

VS

30,4 ± 9,0ab

46,1 ± 2,3ab

7,1 ± 4,7ab

16,3 ± 4,8 ab

Kelompok Lokasi
K
F 16

Keterangan : superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
(p0,05). Hal ini kemungkinan disebabkan proses metabolisme parasetamol saat
masuk ke dalam vena porta belum sepenuhnya menghasilkan metabolit toksik
NAPQI. Parasetamol yang terkandung dalam aliran darah dari saluran
gastroinstestinal saat masuk ke hati melalui vena porta baru akan dimetabolisme
hingga fase II (Haschek dan Rousseaux 1998). Gambaran histopatologi hati di
sekitar vena porta disajikan pada Gambar 1.

VP F 16

20 µm
Gambar 1

VP K

20 µm
Perbandingan gambaran histopatologi jaringan hati di sekitar vena
porta pada kelompok F 16 dan kontrol. Lesio hepatosit berupa
degenerasi hidropis (panah biru), degenerasi lemak (panah hijau),
nekrosa (panah hitam), dan sel normal (panah merah). Pewarnaan
HE, Perbesaran 400 x.

Pada vena sentralis, persentasi hepatosit normal pada kelompok F 16 juga
lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini diikuti dengan persentasi
degenerasi lemak dan nekrosa pada kelompok F 16 yang lebih rendah
dibandingkan kelompok kontrol. Sedangkan nilai persentase degenerasi hidropis
lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol walaupun tidak terjadi perbedaan
yang nyata pada seluruh perlakuan (p>0,05). Hal ini semakin membuktikan F 16
memiliki kemampuan meningkatkan daya tahan sel dan menjaga kelangsungan sel
normal serta memulihkan sel yang mengalami perubahan degenerasi bersifat
sementara akibat metabolit reaktif parasetamol menjadi sel normal kembali. Hal
ini disebabkan oleh asiatikosida yang merupakan kandungan utama dari pegagan
mampu meningkatkan efek enzim antioksidan sehingga mampu menghambat
radikal bebas NAPQI (metabolit reaktif) untuk menetap dan merusak membran sel
hepatosit (Antony et al. 2006). Total glukosida dari ekstrak juga efektif untuk
menghambat perubahan degenerasi lemak pada hepatosit. Persembuhan juga
semakin cepat terjadi karena kandungan triterpenoid saponin seperti
madekasosida dan asam madekasat yang memiliki aktifitas antiinflamasi dan
imunomodulator (Vohra et al. 2011). Gambaran histopatologi hati disekitar vena
sentralis disajikan pada Gambar 2.

11

VS F 16

20 µm

VS K

20 µm

Gambar 2 Perbandingan gambaran histopatologi jaringan hati di sekitar vena
sentralis pada kelompok F 16 dan kontrol. Lesio hepatosit berupa
degenerasi hidropis (panah biru), degenerasi lemak (panah hijau),
nekrosa (panah hitam), dan sel normal (panah merah). Pewarnaan
HE, Perbesaran 400 x.
Hasil skoring pada histopatologi hati ini selaras dengan hasil pengukuran
kadar enzim SGPT. Hal ini ditunjukkan melalui penurunan jumlah sel nekrosa
pada hepatosit di sekitar vena porta dan vena sentralis pada kelompok F 16
dibandingkan kelompok kontrol. Penurunan jumlah sel nekrosa pada kelompok F
16 akibat perlindungan dari ekstrak air pegagan menyebabkan penurunan
pelepasan enzim SGPT ke dalam aliran darah sehingga kadar enzim SGPT yang
terukur pun menurun dibandingkan kelompok kontrol.
Beberapa herbal lain yang dapat dijadikan sebagai perbandingan terhadap
efek hepatoprotektif dari pegagan adalah Psidium guajava, Pleurotus florida, dan
Plumbago zeylanica. Psidium guajava memiliki kandungan antioksidan yang
cukup baik sehingga mampu mengeliminasi radikal bebas yang dihasilkan oleh
metabolit parasetamol (Roy dan Das 2010). Sedangkan Pleurotus florida,
walaupun belum diketahui komponen yang bertanggung jawab terhadap efek
hepatoprotektif, namun terbukti berperan dalam menurunkan level serum bilirubin
dan menjaga jaringan hati dengan mengeleminasi radikal bebas hasil metabolit
parasetamol (Sumy et al. 2011). Plumbago zeylanica juga menunjukkan aktifitas
hepatoprotektif yang baik. Kandungan triterpenoid dan steroid yang dimiliki
tumbuhan ini mampu menurunkan level serum penanda kerusakan hati (Kanchana
dan Sadiq 2011).

SIMPULAN
Formula ekstrak air pegagan pada F 16 memiliki kemampuan yang baik
dalam menjaga kelangsungan hepatosit normal dan memulihkan hepatosit yang
mengalami kerusakan sementara untuk pulih kembali sehingga terjadi penurunan
nilai enzim SGPT setelah diinduksi parasetamol walaupun efek yang diberikan
tidak terlalu signifikan dibandingkan kelompok kontrol.

12

DAFTAR PUSTAKA
Abraham P. 2004. Increased plasma biotinidase activity in rats with paracetamolinduced acute liver injury. J Clinic Chim Act 349(1-2):61-65.
Akers RM, Denbow DM. 2008. Anatomy and Physiology of Domestic Animals.
USA: Blackwell Publishing. hlm 468.
Antony B, Santhakuman G, Merina B, Sheeba V, Mukkadan J. 2006.
Hepatoprotective effect of Centella asiatica (L) in carbon tetrachloride-induced
liver injury in rats. Indian J of Pharm Sci 2006;68(6): 772-776.
Brinkhaus B, Lindner M, Schuppan D, Hahn EG. 2000. Chemical,
pharmacological and clinical profile of the East Asian medical plant Centella
asiatica. J Phytomed 7(5):427-448.
Cheville N. 2006. Introduction to Veterinary Pathology. Ed ke-3. USA: Blackwell
Publishing. hlm 35-36.
Chopra S. 2001. The Liver Book: A Comprehensive Guide to Diagnosis,
Treatment, and Recovery. New York: Pocket Books, Simon & Schuster, Inc.
hlm 12-13.
Collin CJ, Cobb LM, Purser DA. 1978. Effects of chronic inhalation of dimethyl
ether in the rat. J Toxicol 11(1):65-71.
Cooper R. 2010. Small Animal Emergency and Critical Care. Ed ke-1. Mazzafero
EM, editor. USA: Blackwell Publishing. hlm 3-11.
Dalimartha S. 2005. Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Hepatitis. Jakarta:
Swadaya. hlm 58, 86.
Dalimartha S. 2008. Resep Tumbuhan Obat untuk Asam Urat. Jakarta: Swadaya.
hlm 44, 55-56, 79.
Dancygier H. 2010. Clinical Hepatology: Principles and Practice of
Hepatobiliary Diseases. Berlin: Springer. hlm 15-18, 208.
[FDA] Food and Drug Administration. 2009. Acetaminophen Overdose and Liver
Injury - Background and Options for Reducing Injury. USA: Department of
Health and Human Services. hlm 2.
Ganiswara S. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. hlm 111-113.
Giknis MLA dan Clifford CB. 2008. Clinical Laboratory Parameters for Crl:Wl
(Han). Wilmington: Charle River. hlm 8.
Gohil KJ, Patel JA, Gajjar AK. 2010. Pharmacological review on Centella
asiatica: a potential herbal cure-all. Indian J Pharm Sci 2010;72(5):546-556.
Haschek WM, Rousseaux CG. 1998. Fundamentals of Toxicologic Pathology.
San Diego: Academic Press. hlm 130-136.
[IARC] International Agency for Research on Cancer. 1999. IARC Monographs
on the Evaluation of Carcinogenic Risks to Humans - Volume 73. Geneva:
WHO. hlm 401.
Kanchana N dan Sadiq M. 2011. Hepatoprotective effect of Plumbago zeylanica
on paracetamol induced liver toxicity in rats. Int J Pharm Pharm Sci 3(1):151154.
Ming ZJ, Liu SZ, Cao L. 2004. [Effect of total glucosides of Centella asiatica on
antagonizing liver fibrosis induced by dimethylnitrosamine in rats

13
[abstrak].][dalam bahasa Cina]. Zhonqq Zhong Xi Yi Jie He Za Zhi
2004;24(8):731-4.
Mugera GM. 2000. Veterinary Pathology in The Tropics for Students and
Practitioners. New Delhi: New Age International (P) Limited, Publishers. hlm
8-15.
Price SA dan Wilson M. 2003. Pathophysiology: Clinical Concepts of Disease
Processes. St. Louis: Mosby. hlm 35-42.
Plumb DC, 1999. Drug Monograph. Iowa: Iowa State Univ. Press, Ames.
Rogers AB, Dintzis RZ. 2012. Liver and Gallbladder. Di dalam: Treuting PM,
Dintzis SM, editor. Comparative Anatomy and Histology. USA: Elsevier. hlm
193-201.
Roy CK dan Das AK. 2010. Comparative evaluation of different extracts of leaves
of Psidium guajava linn. for hepatoprotective activity. Pak J Pharm 23(1):1520.
Sari W, Indrawan L, Djing OG. 2008. Care Yourself, Hepatitis. Depok: Penebar
Plus. hlm 27-42.
Sloane E. 2003. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Veldman J, penerjemah;
Widyastuti P, editor bahasa Indonesia. Terjemahan dari: Anatomy and
Physiology: An Easy Learner. Jakarta: EGC. hlm 291.
Sumy AK, Jahan N, Sultana N, Amin SMR. 2011. Effect of oyster mushroom
(Pleurotus florida) on paracetamol induced changes of serum bilirubin level
and liver tissue protein in rats. J Bangladesh Soc Physiol 6(1):10-15.
Vohra K, Pal G, Gupta VK, Singh S, Bansal Y. 2011. An insight on Centella
asiatica linn.: a review on recent research. J Pharmacol 2011;2:440-462.
Waluyo S. 2009. 100 Questions & Answers: Stroke. Jakarta: Gramedia.
Wijayakusuma MH. 2000. Ensiklopedia Milenium Tumbuhan Berkhasiat Obat
Indonesia. Jakarta: Prestasi Insan Indonesia. hlm 1.

14

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Banjarbaru pada tanggal 8 November 1990. Penulis
adalah anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Edward Lamris
Silaban dan Ibu Rumiris Hutasoit. Penulis memiliki saudara perempuan bernama
Naomi Lamsihar Silaban, Nunut Asianna Silaban, Mika Netty Taruli Silaban dan
saudara laki-laki bernama Juan Barita Silaban.
Penulis mengawali sekolah dasar pada tahun 1996 di Sekolah Dasar
Sanjaya Banjarbaru dan diselesaikan pada tahun 2002. Tahun 2002 penulis
melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Banjarbaru sampai
tahun 2005. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1
Banjarbaru pada tahun 2005 dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun yang sama,
penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan IPB melalui Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI).
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di UKM Persekutuan Mahasiswa
Kristen (2008-2012) sebagai Anggota dan Himpunan Minat dan Profesi Hewan
Kesayangan dan Satwa Akuatik (HKSA) FKH IPB (2009-2012) sebagai Wakil
Bendahara, Bendahara Umum, dan Badan Pengawas Himpro. Penulis juga pernah
menjadi Editor di LS Vetzone BEM FKH IPB (2009-2010) dan anggota Divisi
Komunikasi dan Informasi serta Reporter di Ikatan Mahasiswa Kedokteran
Hewan Seluruh Indonesia (2010-2011). Terakhir penulis aktif menjadi Volunteer
di Multispecies Educational International (2012).
Penulis pernah menerima beasiswa dari IPB dalam bentuk beasiswa BBM
dan beasiswa PT. ROMINDO. Penulis pernah menjadi asisten praktikum pada
Mata Kuliah Anatomi Veteriner II tahun ajaran 2010-2011, Mata Kuliah Anatomi
Topografi tahun ajaran 2011-2011, serta Mata Kuliah Embriologi dan Genetika
Perkembangan tahun ajaran 2011-2012.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keracunan parasetamol merupakan keracunan obat yang paling sering
terjadi terutama di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Singapura.
Food and Drug Administration (2009) menyatakan bahwa pada tahun 1998 hingga
2003, parasetamol menjadi penyebab kerusakan hati akut di Amerika Serikat.
Sekitar 48% dari semua kasus yang terjadi (131 dari 275) berkaitan dengan
overdosis parasetamol. Sebenarnya dalam dosis terapeutik, penggunaan
parasetamol tidak menimbulkan bahaya. Namun efek yang berbahaya muncul
pada dosis berlebihan dan dalam jangka waktu lama berupa kerusakan hati
(Dalimartha 2005). Parasetamol adalah analgesik sintetik non-opiat yang
berbentuk kristal putih dengan rasa pahit. Selain memiliki kemampuan sebagai
analgesik, parasetamol juga berfungsi sebagai antipiretik dengan mekanisme yang
mirip seperti asam salisilat, yaitu menghambat aktivitas enzim siklooksigenase
(COX). Namun, tidak seperti asam salisilat, parasetamol tidak memiliki efek
antiinflamasi (Plumb 1999). Oleh karena itu, parasetamol sering digunakan oleh
masyarakat untuk menurunkan panas badan dan menghilangkan gejala nyeri
dengan intensitas ringan hingga sedang (Cooper 2010). Kelainan atau kerusakan
hati ditandai dengan meningkatnya beberapa parameter biokimia hati yang dapat
dilihat di darah seperti aminotransferase (transaminase), alkalin fosfatase, serum
protein, dan bilirubin. Enzim golongan aminotransferase yang termasuk parameter
adalah enzim golongan aminotransferase seperti alanin aminotransferase (ALT)
atau serum glutamat piruvat transaminase (SGPT) dan aspartat aminotransferase
(AST) atau serum glutamat oksaloasetat transminase (SGOT) (Chopra 2001).
Pencegahan kerusakan hati oleh parasetamol dapat dilakukan dengan
memakai obat tersebut dalam dosis yang dianjurkan serta mengkonsumsi bahan
pangan yang memiliki khasiat hepatoprotektor. Hepatoprotektor adalah senyawa
atau zat berkhasiat yang dapat melindungi sel-sel hati terhadap pengaruh zat
toksik yang dapat merusak hati. Senyawa tersebut bahkan dapat memperbaiki
jaringan hati yang fungsinya sedang terganggu. Mekanisme kerja obat
hepatoprotektif antara lain dengan cara detoksikasi senyawa racun baik yang
masuk dari luar maupun yang terbentuk di dalam tubuh pada proses metabolisme,
meningkatkan regenerasi sel hati yang rusak, antiradang, dan sebagai
imunostimulator. Biasanya hepatoprotektor merupakan bahan yang memiliki sifat
antioksidan sehingga dapat mengurangi reaksi oksidasi pada kerusakan hati
(Dalimartha 2005).
Sejak ribuan tahun yang lalu, obat dan pengobatan tradisional sudah ada di
Indonesia. Pengobatan tradisional dengan memanfaatkan tumbuhan berkhasiat
obat merupakan pengobatan untuk mencapai kesehatan yang optimal secara alami.
Indonesia memiliki lahan hutan tropis cukup luas dengan keanekaragaman hayati,
baik flora maupun fauna yang besar. Sekitar 30.000 sampai 40.000 jenis
tumbuhan tersebar dari Aceh sampai Papua. Namun, hingga saat ini Indonesia
belum berhasil mengangkat pengobatan tradisional menjadi pengobatan nasional
(Wijayakusuma 2000). Tumbuhan obat yang terbukti berkhasiat hepatoprotektif
contohnya kurkumin yang diperoleh dari temulawak dan kunyit, filantin dan

2
hipofilantin dari meniran, aukubin dari daun sendok, wedelolakton dari urangaring, andrografolid dari sambiloto, minyak atsiri dari bawang putih, glycyrrhisic
acid dari akar manis dan saga, krisofanol dari kelembak, dan gingerol dari jahe.
Zat berkhasiat bekerja melindungi hati dari kerusakan, mempercepat regenerasi
hepatosit, dan mengurangi keaktifan enzim siklooksigenase (Dalimartha 2008).
Centella asiatica atau yang dikenal sebagai pegagan terrnasuk ke dalam
famili Umbelliferae dengan kelas Dicotyledoneae, genus Centella, dan spesies
Centella asiatica (L) Urban. Tanaman yang juga memiliki sinonim Hidrocotyle
asiatica, sudah sejak lama digunakan sebagai obat di daerah Asia Tenggara,
termasuk Indonesia, India, Jepang, Tiongkok, dan Australia (Brinkhaus et al.
2000). Pegagan sebagai obat tradisional dapat dinikmati baik dalam bentuk segar,
kering, maupun ramuan. Secara empiris pegagan berkhasiat sebagai tonik
penyegar, obat penenang, antiinfeksi, antitoksik, antirematik, antilepra,
menghentikan pend

Dokumen yang terkait

Uji Aktivitas Penghambatan Pembentukan Batu Ginjal (Anti Nefrolitiasis) Ekstrak Etanol dari Herba Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) pada Tikus Putih Jantan

0 61 88

Pengaruh Ekstrak Pegagan (Centella Asiatica L.Urban) Dan Kunyit (Curcuma Longa)Terhadappeningkatan Aktivitas Enzim Gsh Px Hati Tikus Yang Diinduksi Parasetamol

0 5 122

Ekstrak air undur-undur (Myrmelon sp.) sebagai hepatoprotektor tikus jantan sprague dawley yang diinduksi parasetamol

0 4 95

Uji Aktivitas Hepatoprotektor Ekstrak Etanol Rimpang Temu Giring (Curcuma heyneana Val) Terhadap Tikus Putih Jantan yang Dinduksi Parasetamol

4 53 125

Uji Aktivitas Hepatoprotektor Ekstrak Etanol Rimpang Temu Giring (Curcuma heyneana Val) Terhadap Tikus Putih Jantan yang Dinduksi Parasetamol

0 0 14

Uji Aktivitas Hepatoprotektor Ekstrak Etanol Rimpang Temu Giring (Curcuma heyneana Val) Terhadap Tikus Putih Jantan yang Dinduksi Parasetamol

0 0 2

Uji Aktivitas Hepatoprotektor Ekstrak Etanol Rimpang Temu Giring (Curcuma heyneana Val) Terhadap Tikus Putih Jantan yang Dinduksi Parasetamol

1 5 6

Uji Aktivitas Hepatoprotektor Ekstrak Etanol Rimpang Temu Giring (Curcuma heyneana Val) Terhadap Tikus Putih Jantan yang Dinduksi Parasetamol

0 0 20

Uji Aktivitas Hepatoprotektor Ekstrak Etanol Rimpang Temu Giring (Curcuma heyneana Val) Terhadap Tikus Putih Jantan yang Dinduksi Parasetamol

2 8 5

Uji Aktivitas Hepatoprotektor Ekstrak Etanol Rimpang Temu Giring (Curcuma heyneana Val) Terhadap Tikus Putih Jantan yang Dinduksi Parasetamol Appendix

0 0 40