Uji Aktivitas Penghambatan Pembentukan Batu Ginjal (Anti Nefrolitiasis) Ekstrak Etanol dari Herba Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) pada Tikus Putih Jantan
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Uji Aktivitas Penghambatan Pembentukan Batu Ginjal
(Anti Nefrolitiasis) Ekstrak Etanol dari Herba Pegagan
(
Centella asiatica
(L.) Urban) pada Tikus Putih Jantan
SKRIPSI
SEKAR ANGGRAENI
108102000047
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JANUARI 2013
(2)
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Uji Aktivitas Penghambatan Pembentukan Batu Ginjal
(Anti Nefrolitiasis) Ekstrak Etanol dari Herba Pegagan
(
Centella asiatica
(L.) Urban) pada Tikus Putih Jantan
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi
SEKAR ANGGRAENI
108102000047
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JANUARI 2013
(3)
(4)
(5)
(6)
Nama : SekarAnggraeni
Program Studi : Farmasi
Judul : Uji Aktivitas Penghambatan Pembentukan Batu Ginjal
(Anti Nefrolitiasis) Ekstrak Etanol dari Herba Pegagan
(Centella asiatica (L.) Urban) pada Tikus Putih Jantan
Herba pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) dipercaya masyarakat sebagai obat tradisional untuk mengatasi batu ginjal serta diuretik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas penghambatan pembentukan batu ginjal oleh ekstrak etanol dari herba pegagan pada tikus putih jantan. Pemberian ekstrak etanol herba pegagan diberikan secara per oral dengan variasi dosis yaitu dosis rendah = 250 mg/ kg BB; dosis sedang = 500 mg/kg BB; dosis tinggi = 1000 mg/kg BB serta menggunakan batugin elixir 0,54 mL/200g BB sebagai kontrol positif. Pemberian ekstrak etanol dan batugin elixir dilakukan sebelum pemberian penginduksi batu ginjal. Setelah itu tikus diinduksi oleh etilen glikol 0,75% dan amonium klorida 2% dengan volume 12 mL/200 g BB / hari. Perlakuan tersebut dilakukan selama 10 hari. Aktivitas penghambatan pembentukan batu ginjal yang terdapat pada ekstrak etanol herba pegagan diamati dengan melihat daya hambatnya terhadap pembentukan kristal kalsium oksalat.Pada akhir perlakuan ginjal tikus diambil dan dilakukan analisis karakteristik ginjal, dihitung rasio bobot ginjal terhadap berat badan tikus dan dianalisis kadar kalsiumnya. Karakteristik ginjal meliputi warna, bentuk,dan ukuran. Hasil dari penelitian tersebut menunjukan ekstrak etanol herba pegagan dosis 500 mg/kg BB lebih efektif dalam menghambat pembentukan batu ginjal dibandingkan dosis 250 mg/kg BB dan 1000 mg/kg BB, dengan persentase penghambatan batu ginjal sebesar 31,25% serta mampu menurunkan rasio bobot ginjal mencapai 22,92%. Hasil ini tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol normal dan kontrol positif pada taraf uji 0,05. Ini membuktikan ekstrak etanol dari herba pegagan dapat menjadi alternatif upaya preventif batu ginjal.
Kata kunci : pegagan, Centella asiatica (L.) Urban, etilen glikol, batu ginjal, anti nefrolitiasis.
(7)
xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Name : Sekar Anggraeni
Program Study : Pharmacy
Title : Anti Nefrolithiasis Activity Test Ethanol Extract of
Centella asiatica Herb on White Male Rats
People believe that Centella asiatica L. is the traditional medicine to cure kidney disease and diuretic. This research aims at finding out the kidney stone inhibition activity ethanol extract of pegagan herb on white male rats. Ethanol extract treatment is given orally with varied doses with the lowest dose of = 250 mg/ kg BB; the medium dose of = 500 mg/kg BB; and highest dose of = 1000 mg/kg BB and using batugin elixir 0,54 mL/200g BB as positive control. The ethanol extract
of Centella asiatica L. and batugin elixir treatments are carried out before the
treatment of kidney stone induction. After that, rats are inducted with 0,75% of
ethylene glycol and 2% of ammonium chloride with the volume of 12 mL/200 g BB / day. The treatment is carried out in 10 days. The kidney stone
inhibition activity in ethanol extract of Centella asiatica herb is examined by observing the inhibition on the forming of calcium oxalate crystal. At the end of the treatment, the rats’ kidneys are removed and the characteristic of kidneys are analyzed, kidneys weight ratio is measured against the weight of the rats and the calcium level is analyzed. The characteristic of the kidney includes color, shape and size. The result of the research shows that ethanol extract of Centella asiatica herb with the dose of 500 mg/kg BB is more effective in inhibiting the forming of kidney stones compared to the dose of 250 mg/kg BB and 1000 mg/kg BB, the dose of 500 mg/kg BB is able to inhibit the forming of kidney stone up to 31,25% and able to reduce kidney weight ratio up to 22,92%. The results do not differ significantly at the level test 0,05 with normal controls and positive controls. This proves that the ethanol extract of Centella asiatica herb can be the alternative to kidney stone prevention.
Keywords: Centella asiatica (L.) Urban, ethylene glycol, kidney stone, anti nefrolithiasis.
(8)
Alhamdulillahirabbil’alamin atas rahmat dan karunia Allah SWT, Zat Yang Maha Kasih dan Maha Penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta memberikan kekuatan dan keistiqomahan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Uji Aktivitas Penghambatan Pembentukan Batu Ginjal (Anti Nefrolithiasis) Ekstrak Etanol dari Herba Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) pada Tikus Putih Jantan”. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama penelitian dan penulisan skripsi ini, telah banyak pihak yang berperan dalam memberikan bantuan kepada penulis dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Eka Putri, M.Si., Apt dan ibu Puteri Amelia, M.Farm., Apt sebagai pembimbing skripsi yang dengan sabar memberikan bimbingannya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Prof. Dr. (hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt selaku ketua Prodi Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Zilhadia, M.Si., Apt sebagai pembimbing akademik yang telah membantu penulis selama menjalankan masa studi di FKIK UIN Syarif Hidayatullaj Jakarta.
5. Seluruh staf f dan keluarga besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada umumnya dan segenap pengajar farmasi pada khususnya yang telah memberi bimbingan dan bantuan selama saya menempuh pendidikan di Prodi Studi Farmasi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
(9)
xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dalam menempuh studi di Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 7. Sahabat-sahabat terbaik (Selvia, Pusya, Berty, Sukma) yang telah
berbagi dalam suka dan duka.
8. Weldy Marison yang selalu memberi semangat, doa dan motivasi kepada penulis selama masa perkuliahan dan penulisan skripsi.
9. Kedua orang tua tercinta (Ayahanda Achmad Eko Budiyanto dan Ibunda Nuryani) serta kakak tersayang (Dimas) yang tiada hentinya memberikan doa dan dukungan kepada penulis.
Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu saran dan kritik tetap penulis harapkan untuk menjadikan tulisan ini lebih baik. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan maupun sebagai tambahan informasi untuk memperkaya ilmu di kemudian hari.
Jakarta, Januari 2013
(10)
(11)
xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv
HALAMAN PENGESAHAN ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 2
1.3 Hipotesis ... 3
1.3 Tujuan Manfaat ... 3
1.4 Manfaat Penelitian ... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4
2.1 Tanaman Pegagan ... 4
2.1.1 Klasifikasi Pegagan ... 4
2.1.3 Nama Daerah ... 4
2.1.4 Morfologi dan Tumbuhan ... 4
2.1.5 Manfaat Pegagan ... 6
2.2 Ekstraksi ... 6
2.2.1 Jenis–Jenis Ekstraksi ... 7
2.3 Etilen Glikol ... 8
2.3.1 Karakteristik Etilen Glikol ... 8
(12)
2.5 Spektroskopi Serapan Atom (SSA) ... 13
2.5.1 Mekanisme SSA ... 14
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ... 15
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 15
3.1.1 Lokasi Penelitian ... 15
3.1.2 Waktu Penelitian ... 15
3.2 Bahan ... 15
3.3 Alat ... 15
3.4 Prosedur Penelitian ... 16
3.4.1 Pengambilan Sampel ... 16
3.4.2 Determinasi Sampel ... 16
3.4.3 Pembuatan Simplisia ... 16
3..4.4 Pembuatan Ekstrak ... 16
3.4.5 Parameter Non-Spesifik Ekstrak ... 17
3.4.5.1 Pengujian Kadar Abu ... 17
3.4.5.2 Pengujian Susut Pengeringan ... 17
3.4.6 Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol Herba Pegagan ... 18
3.4.6.1 Pemeriksaan Flavonoid ... 18
3.4.6.2 Pemeriksaan Tanin ... 18
3.4.6.3 Pemeriksaan Alkaloid ... 18
3.4.6.4 Pemeriksaan Saponin ... 18
3.4.6.5 Pemeriksaan Terpenoid ... 19
3.4.7 Persiapan Hewan Coba ... 19
3.4.8 Pembuatan Sediaan Uji ... 19
3.4.9 Pengujian Aktivitas Penghambatan Pembentukan Batu Ginjal ... 20
3.4.10 Analisis Karakteristik Ginjal ... 22
3.4.11 Analisis Kandungan Kalsium Ginjal ... 22
(13)
xvii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.1.1 Hasil Determinasi Tanaman ... 23
4.1.2 Hasil Ekstraksi ... 23
4.1.3 Hasil Penapisan Fitokimia ... 24
4.1.4 Hasil Pengujian Parameter Non-Spesifik Ekstrak ... 24
4.1.4.1 Kadar Abu ... 25
4.1.4.1 Susut Pengeringan ... 25
4.1.5 Hasil Analisis Karakteristik Ginjal dan Rasio Bobot Ginjal ... 25
4.1.6 Hasil Pengukuran Kadar Kalsium Ginjal ... 27
4.2 Pembahasan ... 29
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 38
5.1 Kesimpulan ... 38
5.2 Saran ... 38
(14)
Tabel Halaman
2.1 Karakteristik Etilen Glikol ... 6
3.1 Pembagian Kelompok Hewan Uji ... 21
4.1 Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol Herba Pegagan ... 24
4.2 Hasil Analisis Karakteristik Ginjal ... 25
4.3 Rataan Bobot Badan, Bobot Ginjal dan Rasio Bobot Ginjal ... 26
4.4 Persentase Penurunan Rasio Bobot Ginjal ... 26
4.5 Hasil Rata-Rata Kadar Kalsium Ginjal ... 27
(15)
xix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Halaman
Gambar 1. Struktur Etilen Glikol ... 8
Gambar 2. Metabolisme Etilen Glikol ... 10
Gambar 3. Mekanisme Kerja SSA ... 14
Gambar 4. Grafik Kadar Kalsium Ginjal ... 28
Gambar 5. Maserasi Herba Pegagan ... 62
Gambar 6 Pemekatan Filtrat. ... 62
Gambar 7. Pemberian Sediaan Per Oral ... 62
Gambar 8. Proses Pembiusan ... 62
Gambar 9. Proses Pembedahan ... 63
Gambar 10. Proses Pengukuran Ginjal ... 63
Gambar 11. Proses Destruksi ... 63
(16)
Halaman
Lampiran 1.Kerangka Konsep ... 42
Lampiran 2.Skema Kerja ... 43
Lampiran 3 Skema Uji In Vivo ... 44
Lampiran 4. Hasil Determinasi Herba Pegagan ... 45
Lampiran 5. Keterangan Tikus Laboratorium ... 46
Lampiran 6. Perhitungan Rendemen Ekstrak ... 47
Lampiran 7. Penapisan Fitokimia ... 48
Lampiran 8. Hasil Perhitungan Kadar Abu ... 50
Lampiran 9. Hasil Perhitungan Susut Pengeringan ... 51
Lampiran 10. Pembuatan Sediaan Uji dan Perhitungan Dosis ... 52
Lampiran 11. Hasil Karakteristik Ginjal & Rasio Bobot Ginjal ... 55
Lampiran 12. Hasil Analisis Kalsium Dengan SSA ... 59
Lampiran 13.Proses Penelitian ... 62
Lampiran 14. Statistik Rasio Bobot Ginjal Tikus ... 64
(17)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Batu ginjal merupakan salah satu masalah kesehatan yang menepati urutan ketiga setelah infeksi saluran kemih dan kesehatan kelainan prostat pada sekian banyak penyakit saluran kemih. Akibat terburuk dari adanya batu ginjal adalah kerusakan ginjal secara permanen (Wijaya dan Darsono, 2005).
Batu ginjal adalah batu-batu kecil yang terbentuk di dalam ginjal akibat pengendapan yang terjadi di urin bergerak turun ke pipa kemih (ureter). Batu ini dapat menyumbat saluran air seni (urethra) dan sewaktu buang air kecil menyebabkan terasa nyeri serta sukar keluar. Kandungan batu ginjal pada sekitar 80% pasien batu ginjal merupakan batu kalsium dan kebanyakan terdiri dari kalsium oksalat dan agak jarang sebagai kalsium fosfat. Batu ginjal kemungkinan akan terbentuk bila dijumpai satu atau beberapa faktor pembentuk kristal kalsium dan menimbulkan agregasi pembentukan batu (Dinda, 2008).
Terapi batu ginjal dapat dilakukan dengan mengubah pola makan, penggunaan obat-obat diuretik, kalium sitrat dan operasi. Pengangkatan batu ginjal dengan jalan operasi tentu saja memiliki resiko lebih tinggi selain itu operasi membutuhkan biaya yang cukup besar. Batu ginjal tidak dapat larut hanya dengan mengatur asupan makanan dan minum obat. Obat-obatan yang digunakan hanya akan mencegah agar batu tersebut tidak bertambah besar dan membantu pengeluaran batu ginjal secara spontan (Saputra, 2009).
Berbagai obat tradisonal digunakan untuk mengatasi batu ginjal. Tanaman yang telah diuji secara in vivo pada tikus putih jantan untuk mengatasi batu ginjal diantaranya adalah tempuyung, daun kejibeling, ketimun, kulit buah kapuk randu, bulbus bawang dayak, jintan hitam, daun alpukat dan lobak (Choubey et al., 2010; Arnida dan Sutomo, 2008;
(18)
Hatjzadeh et al,. 2007;Wijaya dan Darsono, 2005; Saputra, 2009). Secara normal, pembentukan batu ginjal di hambat oleh flavonoid, kalium, magnesium, dan asam sitrat (anonim, 2009 dan Ari W Sundoyo; Bambang S, 2006).
Centella asiatica (L.) atau dikenal dengan nama pegagan
merupakan salah satu tumbuhan yang memiliki beragam manfaat untuk mengobati berbagai masalah kesehatan. Pegagan memiliki kandungan asiaticoside, thankuniside, isothankuniside, madecassoside, brahmoside, brahmic acid, brahminoside, madasiatic acid, centelloside, carotenoids, hydrocotylin, vellarine, tanin serta garam mineral seperti kalium, natrium, magnesium (Harborne, 1987). Herba pegagan dipilih sebagai bahan utama karena termasuk salah satu tanaman unggulan menurut BPOM. Beberapa penelitian telah dilakukan mengenai aktivitas herba pegagan sebagai obat kusta, antipiretik, diuretik, immunomodulator, penyembuh luka, anti oksidan (Winarto, 2003).
Penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun pegagan mempunyai aktivitas diuretik pada dosis 500 mg/kg BB (Roopesh, 2011) dan pada penelitian Sri Endah Suhartatik (1989) menyatakan bahwa infusa daun pegagan mampu melarutkan batu ginjal kalsium secara In Vitro, namun belum ada penelitian yang dilakukan untuk mengetahui aktivitas ekstrak herba pegagan dalam menghambat pembentukan batu ginjal (anti nefrolitiasis)secara in vivo. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh ekstrak etanol dari herba pegagan dalam menghambat pembentukan batu ginjal secara in vivo pada tikus putih jantan yang diberi inducer etilen glikol dan amonium klorida.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah ekstrak etanol dari herba pegagan mempunyai aktivitas penghambatan pembentukan batu ginjal (anti nefrolitiasis) pada tikus putih jantan yang diinduksi etilen glikol dan amonium klorida.
(19)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1.3 Hipotesis
Ekstrak etanol dari herba pegagan berkhasiat menghambat pembentukan batu ginjal pada tikus putih jantan yang diinduksi oleh etilen glikol dan amonium klorida.
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas anti nefrolitiasis ekstrak etanol dari herba pegagan terhadap penghambatan pembentukan batu kalsium oksalat ginjal dengan melihat kadar kalsium ginjal tikus serta rasio bobot ginjal.
1.5 Manfaat Penelitian
Sebagai informasi dan alternatif bagi masyarakat mengenai penggunaan pengobatan herbal dengan menggunakan ekstrak herba pegagan untuk pencegahan pembentukan batu ginjal.
(20)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Pegagan 2.1.1 Klasifikasi Pegagan
Menurut Natural Remedies (2001) klasifikasi dari pegagan
(Centella asiatica L. Urban) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub division : Angiospermae
Class : Dicotyledonae
Ordo : Umbilaferae
Family : Apiaceace
Genus : Centella
Spesies : Centella asiatica (L). Urban
2.1.2 Nama Daerah Pegagan
Cantella asiatica (L). Urban tersebar hampir diseluruh Indonesia,
sehingga memiliki nama daerah yang berbeda-beda. Misalnya saja di Sumatera, tanaman ini mempunyai nama daerah pegaga (Aceh), daun kaki kuda, daun penggaga, penggaga, rumput kaku kuda, pegagan, kaki kuda (Melayu), pegago, dan pugago (Minangkabau). Sedangkan di pulau Jawa, tanaman ini lebih dikenal dengan nama cowet gompeng, antanan, antanan bener, antanan gede (Sunda), gagan-gagan, ganggagan,kerok batok, panegowang, rendeng, calingan rambat, pacul gowang (Jawa), gangagan(Madura). Adapun nama daerah tanaman ini di Nusa Tenggara adalah Bebele (Sasak), paiduh, panggaga (Bali), kelai lere (Sawo). Sedangkan di Maluku, tanaman ini mempunyai nama daerahnya yaitu sarowati (Halmahera), kolotidi manora (Ternate), di Sulawesi tanaman ini
(21)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Bugis), hisu-hisu (Salayar) dan di Irian mempunyai nama daerah dogauke, gogauke, sandanan (Dalimartha, 1999)
2.1.3 Morfologi dan Penyebaran
Pegagan merupakan tumbuhan terna menahun tanpa batang, tetapi dengan rimpang pendek dan stolon-stolon yang merayap dengan panjang 1-80 cm, akar keluar dari setiap bonggol, banyak cabang yang membentuk tumbuhan baru. Helai daun tunggal berbentuk gimjal. Tepinya bergerigi atau beringgit, dengan penampang 1-70 cm tersusun dalam roset yang terdiri atas 2-10 helai umumnya dengan tulang daun menjari, ujung daun membundar, permukaan daun umumnya licin kadang-kadang agak berambut. Bunga berwarna putih atau merah muda, tersusun dalam karangan berupa payung, tunggal atau 3-5 bersama-sama keluar dari ketiak daun. Gagang perbungaan 5 mm sampai 50 mm, lebih pendek dari tangkai daun. Bunga umumnya 3, yang ditengah duduk, yang disamping bergagang pendek; daun pelindung 2, panjang 3 mm sampai 4 mm, bentuk bundar telur; tajuk berwarna merahlembayung, panjang 1 mm sampai 1,5 mm, lebar sampai 0,75 mm. Buah pipih, lebar lebih kurang 7 mm dan tinggi lebih kurang 3 mm, berlekuk dua, jelas berusuk, berwarna kuning kecoklatan dan berdinding agak tebal. Buah kecil bergantung yang bentuknya lonjong/pipih, baunya wangi dan rasanya pahit (Vademikum Depkes, 1989).
2.1.4 Kandungan Kimia Pegagan
Pegagan memiliki kandungan asiaticoside, thankuniside,
isothankuniside, madecassoside, brahmoside, brahmic acid, brahminoside, madasiatic acid, meso-inositol, centelloside, carotenoids, hydrocotylin, vellarine, tanin serta garam mineral seperti kalium, natrium, magnesium, kalsium dan besi. Diduga glikosida triterpenoida yang disebut asiaticoside merupakan antilepra dan penyembuh luka yang sangat luar biasa. Zat vellarine yang ada memberikan rasa pahit (Harborne, 1987).
(22)
2.1.5 Manfaat Pegagan
Daunnya merupakan obat yang resmi di berbagai Farmakope. Di Indonesia tumbuhan ini lebih dikenal sebagai obat untuk menyembuhkan sariawan mulut. Tanaman ini juga bisa dipakai sebagai obat kusta, sebagai anti infeksi,antitoksik, penurun panas dan peluruh air seni. Selain itu juga dapat dibuat sebagai bahan injeksi dimana bahan aktif ini dapat menghancurkan pertahanan kusta, borok berforasi dan luka pada jari tangan serta luka awal pada mata. Aktivitasnya dimungkinkan oleh larutnya bahan lilin yang menyembunyikan bacil kusta sehingga menjadi getas dan akibatnya badan dengan mudah dapat membunuh penyakit bersama obat. Kegunaan lainnya adalah untuk mengobati keracunan arsenik, hipertensi, ambeien, mata merah, bengkak, sakit kepala, muntah darah, batuk darah, batu ginjal, infeksi hepatitis, campak (measles), batuk, mimisan dan penambah nafsu makan (Winarto, 2003).
2.2 Ekstraksi
Ekstraksi atau penyarian merupakan peristiwa perpindahan masa zat aktif yang semula berada didalam sel tanaman ditarik oleh cairan hayati. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor, seperti sifat dari bahan mentah tanaman dan daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak dari tanaman. Sifat dari bahan mentah tanaman merupakan faktor utama yang harus dipertimbangkan dalam memperoleh metode ekstraksi (Harbone J.B., 1999). Metode dasar penyarian adalah maserasi, perkolasi, soxhletasi. Pemilihan terhadap ketiga metode tersebut disesuaikan dengan kepentingan dalam memperoleh sari yang baik (Anonim, 1986)
(23)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.2.1 Jenis-Jenis Ekstraksi Dengan Menggunakan Pelarut:
(Depkes RI Dirjen POM, 2000)
2.2.1.1 Cara dingin • Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperature ruangan (kamar). Secara tekhnologi termasuk estraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan.
Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinyu ( terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan
pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterunya. • Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Ekstrak ditampung sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1 – 5 kali bahan.
2.2.1.2 Cara panas • Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3 – 5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.
• Soxhlet
Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umunya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut ralatif konstan dengan adanya pendingin balik.
• Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu ) pada temperatur yang lebih tiggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40 – 50o˚C
(24)
• Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperature penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96 – 98oC) selama waktu tertentu 15 – 20 menit.
• Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai titik didih air.
2.3 Etilen Glikol
Etilen glikol adalah senyawa kimia turunan yang dibuat dari sekian banyak prouduk kimia komersial, termasuk polietilen tereftalat (PET) resin, polyester resin tak jenuh, serat polyester dan polyester lapis. Etilen glikol digunakan sebagai cairan anti pembekuan, penghilang es, pelapis permukaan, pemindah panas, pendingin industri, hidrolik, surfaktan dan pengemulsi. Khalayak umum at au konsum en sering t erpapar et ilen glikol dari penggunaannya sebagai ant i pembekuan dibidang ot om ot if. (Cruzan et al, 2004).
2.3.1 Karakteristik Etilen Glokol (Farmakope edisi 4)
Gambar 1. Struktur Etilen Glikol
C C
H
H
H OH
H HO
(25)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 2.1 Karakteristik Etilen Glikol
2.3.2. Toksisitas Etilen Glikol
Keracunan akut pada manusia dan hewan peliharaan banyak terjadi secara tidak sengaja mengkonsumsi cairan tersebut karena rasanya yang manis. Ginjal merupakan organ yang paling peka terhadap etilen glikol dan merupakan target organ primer (Cruzan et al., 2004).
Keracunan etilen glikol pada ginjal terjadi pada 24-72 jam setelah proses menelan. Keracunan ini disebabkan langsung oleh efek sitotoksik dari asam glikolat. Etilen glikol dalam tubuh dimetabolisme menjadi glikoaldehid dengan katalisator enzim alkohol dehidrogenase. Glikoaldehid diubah menjadi asam glikolat, kemudian asam glikolat dimetabolisme menjadi asam glioksalat dan akhirnya menjadi asam oksalat. Asam oksalat berikatan dengan kalsium untuk membentuk kristal kalsium oksalat dan terdeposit pada organ dan dapat menyebabkan kerusakan pada berbagai organ tubuh termasuk otak, jantung, ginjal, dan paru-paru. Akumulasi kalsium oksalat pada ginjal menyebabkan kerusakan ginjal yang mengakibatkan oliguria dan anuria serta kegagalan ginjal akut (Brent, 2001).
Keracunan etilen glikol memperlihatkan perbedaan kepekaan antar spesies dan jenis kelamin setelah pemberian jangka panjang, dimana tikus lebih peka daripada mencit dan jenis kelamin jantan lebih peka daripada jenis kelamin betina. Etilen glikol menginduksi nefrotoksik pada tikus yang kemungkinan berpengaruh terhadap resiko kesehatan manusia.
Etilen Glikol HOCH2CH2OH
BM 62,07
Pemerian Cairan jernih, tidak berwarna, praktis tidak
berbau, sedikit kental dan higroskopis
Kelarutan Larut dalam benzene, dapat bercampur
dengan air dan dengan etanol
(26)
Kerusakan ginjal diakibatkan oleh pembentukan Kristal kalsium oksalat pada tubulus ginjal (Cruzan et al. 2004)
Gambar 2. Metabolisme Etilen Glikol (Brent, 2001)
2.4 Batu Ginjal
Batu di dalam saluran kemih (Urinary Calculi) adalah massa keras seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi. Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal) maupun di dalam kandung kemih (batu kandung kemih). Proses pembentukan batu ini disebut
urolitiasis (litiasis renalis, nefrolitiasis)
Batu saluran kemih sebagian besar mengandung batu kalsium oksalat ataupun kasium posfat, secara bersama dijumpai sampai sebesar 65-85% dari
(27)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
jumlah keseluruhan batu ginjal. Secara teoritis batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urine (stasis urine), yaitu pada sistem kalises ginjal atau bulibuli. Adanya kelainan bawaan pada pelvikalises, divertikel, obstruksi infravesika kronis seperti pada hiperplasia prostat benigna, striktura dan buli-buli neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu.
Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan organik maupun anorganik yang terlarut di dalam urine. Kristal-kristal tersebut tetap berada dalam keadaan metastable (tetap larut) dalam urine jika tidak ada keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan inti batu (nukleasi) yang kemudian akan mengadakan agregasi, dan menarik bahan-bahan lain sehingga menjadi kristal yang lebih besar. Meskipun ukurannya cukup besar, agregat kristal masih rapuh dan belum cukup mampu membuntu saluran kemih. Untuk itu agregat kristal menempel pada epitel saluran kemih, dan dari sini bahan-bahan lain diendapkan pada agregat itu sehingga membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran kemih.
Kondisi metastabel dipengaruhi oleh suhu, pH larutan, adanya koloid di dalam urine, konsentrasi solut di dalam urine, laju aliran urine di dalam saluran kemih, atau adanya korpus alienum di dalam saluran kemih yang bertindak sebagai inti batu. Lebih dari 80% batu saluran kemih terdiri atas batu kalsium, baik yang berikatan dengan oksalat maupun dengan fosfat, membentuk batu kalsium oksalat dan kalsium fosfat, sedangkan sisanya berasal dari batu asam urat, batu magnesium amonium fosfat, batu xanthyn, batu sistein, dan batu jenis lainnya. Meskipun patogenesis pembentukan batu-batu di atas hampir sama, tetapi suasana di dalam saluran kemih yang memungkinkan terbentuknya jenis batu itu tidak sama. Misalkan batu asam urat mudah terbentuk dalam suasana asam, sedangkan batu magnesium amonium fosfat terbentuk karena urine bersifat basa (Medicafarma, 2011).
Jenis batu yang sering terdapat dalam ginjal ada empat, yaitu kalsium oksalat, struvite, asam urat, sistin. kejadian yang paling banyak terjadi adalah pembentukan batu kalsium oksalat ( 70-75%). Biasanya batu kalsium okslat
(28)
dan asam urat akan terbentuk karena makanan dan minuman yang banyak mengandung kalsium oksalat dan purin, sedangkan batu struvite sering terjadi karena ada infeksi di ginjal. Batu sistin akan terjadi bila ada gangguan metabolisme (Coe, 2003).
2.4.1 Jenis- jenis batu ginjal (Mcphee, et al., 2007) a) Batu Kalsium
Batu kalsium (kalsium oksalat dan atau kalsium fosfat) paling banyak ditemukan yaitu sekitar 75-80% dari seluh batu saluran kemih. Faktor tejadinya batu kalsium adalah:
• Hiperkasiuria: Kadar kalsium urine lebih dari 200 mg /24 jam atau lebih dari 4 mg/kg/24 jam, dapat terjadi karena peningkatan absorbsi kalsium pada usus (hiperkalsiuria absorbtif), gangguan kemampuan reabsorbsi kalsium pada tubulus ginjal (hiperkalsiuria renal) dan adanya peningkatan resorpsi tulang (hiperkalsiuria resoptif) seperti pada hiperparatiridisme primer atau tumor paratiroid.
• Hiperoksaluria: Ekskresi oksalat urine melebihi 45 gram/24 jam, banyak dijumpai pada pasien pasca pembedahan usus dan kadar konsumsi makanan kaya oksalat seperti the, kopi instan, soft drink, kakao, arbei, jeruk sitrun dan sayuran hijau terutama bayam.
• Hiperurikosuria: Kadar asam urat urine melebihi 850 mg/24 jam. Asam urat dalam urine dapat bertindak sebagai inti batu yang mempermudah terbentuknya batu kalsium oksalat. Asam urat dalam urine dapat bersumber dari konsumsi makanan kaya purin atau berasal dari metabolisme endogen.
• Hipositraturia: Dalam urine, sitrat bereaksi dengan kalsium membentuk kalsium sitrat sehingga menghalangi ikatan kalsium dengan oksalat atau fosfat. Keadaan hipositraturia dapat terjadi pada penyakit asidosis tubuli ginjal, sindrom malabsorbsi atau pemakaian diuretik golongan thiazide dalam jangka waktu lama.
• Hipomagnesiuria: Seperti halnya dengan sitrat, magnesium bertindak sebagai penghambat timbulnya batu kalsium karena dalam urine
(29)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
magnesium akan bereaksi dengan oksalat menjadi magnesium oksalat sehingga mencegah ikatan dengan kalsium dengan oksalat.
b) Batu Struvit
Batu struvit disebut juga sebagai batu infeksi karena terbentuknya batu ini dipicu oleh adanya infeksi saluran kemih. Kuman penyebab infeksi ini adalah golongan pemecah urea (uera splitter seperti: Proteus spp., Klebsiella, Serratia, Enterobakter, Pseudomonas dan Stafilokokus) yang dapat menghasilkan enzim urease dan mengubah urine menjadi basa melalui hidrolisis urea menjadi amoniak. Suasana basa ini memudahkan garam-garam magnesium, amonium, fosfat dan karbonat membentuk batu magnesium amonium fosfat (MAP) dan karbonat apatit.
c) Batu Asam Urat
Batu asam urat meliputi 5-10% dari seluruh batu saluran kemih, banyak dialami oleh penderita gout, penyakit mieloproliferatif, pasein dengan obat sitostatika dan urikosurik (sulfinpirazone, thiazide dan salisilat). Kegemukan, alkoholik dan diet tinggi protein mempunyai peluang besar untuk mengalami penyakit ini. Faktor yang mempengaruhi terbentuknya batu asam urat adalah: urine terlalu asam (pH < 6, volume urine < 2 liter/hari atau dehidrasi dan hiperurikosuria.
2.5 Spektroskopi Serapan Atom (SSA)
Spektroskopi Serapan Atom adalah suatu teknik yang sering digunakan untuk menentukan konsentrasi logam tertentu dalam suatu sampel. Cara analisis ini memberikan kadar total unsur logam dalam suatu sampel dan tidak tergantung pada bentuk molekul dari logam dalam sampel. Cara ini cocok untuk analisis kelumit logam karena mempunyai kepekaan yang tinggi (batas deteksi kurang dari 1 ppm), pelaksanaanya relatif sederhana dan interferensinya sedikit. Spektroskopi serapan atom didasarkan pada penyerapan energi sinar tampak dan ultraviolet. Dalam garis besarnya prinsip spektroskopi serapan atom sama saja dengan spektrofotometri sinar tampak dan ultraviolet. Perbedaan terletak pada bentuk spektrum, cara pengerjaan sampel dan peralatannya.
(30)
Metode spektroskopi serapan atom mendasarkan pada prinsip absorbs cahaya oleh atom. Atom- atom akan menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu tergantung pada sifat dan unsurnya. Cahaya pada panjang gelombang ini mempunyai cukup energi untuk mengubah tingkat elektronik suatu atom yang mana transisi elektronik suatu atom bersifat spesifik. Dengan menyerap energi, maka atom akan memperoleh energI sehingga suatu atom pada keadaan dasar dapat ditingkatkan energinya ke tingkat eksitasi (Gandjar, dkk., 2007).
2.5.1 Mekanisme Kerja SSA
Gambar 3. Mekanisme Kerja SSA (Gandjar, dkk., 2007).
Sumber sinar yang berupa tabung katoda berongga menghasilkan sinar monokromatis yang mempunyai beberapa garis resonansi. Sampel diubah fasenya dari larutan menjadi uap atom bebas di dalam atomizer dengan nyala api yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar dengan oksigen. Monokromator akan mengisolasi salah satu garis resonansi yang sesuai dengan sampel dari beberapa garis resonansi yang berasal dari sumber sinar. Energi sinar dari monokromator akan diubah menjadi energi listrik dalam detektor. Energi listrik dari detektor inilah yang akan menggerakkan jarum dan mengeluarkan grafik. Sedangkan sistem pembacaan akan menampilkan data yang dapat dibaca oleh grafik (Gandjar,
(31)
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pharmacy Drug & Research (PDR), Laboratorium Pharmacy Natural Analyzing (PNA), Laboratorium
Pharmacy Medicinal Chemistry (PMC), Laboratorium Animal House,
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan dan Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.1.2 Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama 5 bulan, sejak bulan Juli hingga bulan November 2012. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu tahap persiapan dan pelaksanaan.
3.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh bagian tanaman pegagan kecuali akar, etanol 70% (Teknis), etilen glikol p.a (Merck), amonium klorida p.a (Merck), eter (Merck), asam nitrat p.a (Merck), hidrogen peroksida p.a (Merck), pereaksi drogendorf, pereaksi mayer, Serbuk Mg, HCl pekat, amil alkohol, FeCl3, petroleum eter, kloroform, asam asetat anhidrat, asam sulfat pekat, larutan amoniak, aquades dan tikus putih jantan galur Sprague dawley.
3.3 Peralatan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas piala, tabung reaksi, alat gelas, cawan petri, pipet ukur, erlenmeyer, vial, blender, corong, timbangan analitik, timbangan tikus, lumpang, alu, kertas saring, batang pengaduk, gelas ukur, rotary evaporator (Eyela®), kandang tikus, sonde lambung, spuit ukuran 3 mL, seperangkat alat bedah, Atomic
(32)
Absorption Spechtrophotometer (Perkin Elmer 700), hot plate (Wiggen Hauser), dan oven.
3.4 Prosedur Penelitian 3.4.1 Pengambilan Sampel
Sampel herba pegagan (Centella asiatica L. Urban) diambil sebanyak 5 kg pada tanggal 12 mei 2012 dari kebun di sekitar wilayah Cimanggu Bogor yang didapatkan melalui Balai Penelitian Tanaman Obat & Aromatik, Cimanggu, Bogor.
3.4.2 Determinasi Sampel
Determinasi tanaman pegagan (Centella asiatica L. Urban) dilakukan di Herbarium Bogoriense Bidang Botani, Puslit Biologi, LIPI Cibinong.
3.4.3 Pembuatan Simplisia
Sampel herba pegagan sebanyak 5 kg dibersihkan dari kotoran yang melekat dengan air mengalir hingga bersih, lalu ditiriskan agar terbebas dari sisa air cucian kemudian dikeringkan pada suhu kamar. sehingga didapatkan simplisia kering. Simplisia yang sudah kering kemudian digiling dan diayak untuk mendapatkan serbuk halus sebanyak 700 gram, lalu simplisia disimpan pada wadah yang kering dan tertutup rapat, serta dalam ruangan yang terlindung dari cahaya dan kelembaban.
3.4.4 Pembuatan Ekstrak
Pembuatan ekstrak dilakukan dengan cara maserasi dingin menggunakan etanol 70%. Sebanyak 600 gram serbuk herba pegagan yang telah dibuat dimasukkan ke dalam wadah dan diberi pelarut etanol 70% sebanyak 2,5 L hingga seluruh simplisia terendam (± 2,5 cm dari batas atas simplisia) dalam wadah tertutup rapat selama 72 jam sambil sesekali dilakukan pengocokan. untuk mencegah terjadinya kejenuhan. Setelah 72 jam disaring sehingga diperoleh ampas dan filtrat (ekstrak cair). Ampas
(33)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ditambah kembali dengan etanol 70% secukupnya dan proses ekstraksi dilakukan berulang-ulang sampai hasil larutan maserasi mendekati tidak berwarna. Hasil maserasi disaring dengan kertas saring. Filtrat yang didapat
kemudian disatukan dan dipekatkan menggunakan rotavapor (40o – 60 o C dan 50 rpm) sampai didapatkan ekstrak kental. Kemudian
dihitung rendemennya.
= ( ( )) %
3.4.5 Parameter Non- Spesifik Ekstrak
3.4.5.1 Penetapan Kadar Abu (Depkes RI, 2000)
Lebih kurang 2 g ekstrak yang telah digerus dan ditimbang seksama, dimasukkan ke dalam krus silikat yang telah dipijarkan dan ditara, ratakan. Pijarkan perlahan – lahan hingga arang habis, dinginkan lalu timbang. Jika cara ini arang tidak dapat dihilangkan, tambahkan air panas, saring melalui kertas saring bebas abu. Pijarkan sisa kertas dan kertas saring dalam krus yang sama. Masukkan filtrat ke dalam krus, uapkan, pijarkan hingga botol tetap, timbang. Hitung kadar abu terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.
3.4.5.2 Penetapan Susut Pengeringan (Depkes RI, 2000)
Ekstrak ditimbang secara seksama sebanyak 1 g dan dimasukkan ke dalam botol timbang dangkal bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105°C selama 30 menit dan telah ditara. Sebelum ditimbang, ekstrak diratakan dalam botol timbang, dengan menggoyangkan botol, hingga merupakan lapisan setebal lebih kurang 5 mm sampai 10 mm. jika ekstrak yang diuji berupa ekstrak kental, ratakan dengan bantuan pengaduk. Kemudian dimasukkan ke dalam ruang pengering, buka tutupnya, keringkan pada suhu 105°C hingga bobot botol tetap. Sebelum setiap pengeringan, biarkan botol dalam keadaan tertutup mendingin dalam eksikator hingga suhu kamar.
(34)
3.4.6 Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol Herba Pegagan 3.4.6.1 Pemeriksaan Flavonoid
Ekstrak ditambahkan 100 mL air panas, kemudian dididihkan selama 5 menit dan disaring dengan kertas saring. Sebanyak 5 mL filtrate yang didapat ditambahkan serbuk atau lempeng magnesium dan 1 mL HCl pekat serta 5 mL amil alkohol, kemudian dikocok dengan kuat, dibiarkan hingga. Terbentuknya warna dalam larutan amil alkohol menunjukkan adanya senyawa flavonoid (Markham et al., 1970).
3.4.6.2 Pemeriksaan tannin
Ekstrak dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 10 mL air panas, lalu dipanaskan di atas penangas air bersuhu 100⁰C selama 1 jam kemudian didinginkan dan disaring. Filtrat yang didapat kemudian ditetesi dengan larutan FeCl3 1% hingga terbentuk warna hijau tua sampai biru atau hitam (Nisma, 2011).
3.4.6.3 Pemeriksaan alkaloid
Ekstrak, dimasukkan dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan 1 mL HCl 2 N dan 9 mL aquadest, lalu dipanaskan di atas penangas air bersuhu 100⁰C selama 2 menit, kemudian didinginkan dan disaring (larutan A). Larutan A dimasukkan dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 1 tetes pereaksi bauchardat, jika terbentuk endapan coklat-hitam, maka positif terdapat alkaloid (Nisma, 2011).
3.4.6.4 Pemeriksaan saponin
Ekstrak,dimasukkan dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 10 mL air panas, kemudian didinginkan lalu dikocok kuat-kuat. Jika terdapat buih lalu didiamkan 2 menit, kemudian ditambahkan 1 tetes HCl 2 N,dikocok lagi hingga terbentuk buih yang mantap (Nisma, 2011).
3.4.6.5 Uji Terpenoid (Uji Salkowski)
Ekstrak ditambahkan 2 mL kloroform. Kemudian ditambahkan H2SO4 (3 mL) terbentuk lapisan. Adanya warna coklat kemerahan menunjukkan adanya terpenoid (Ayoola, et al., 2008).
(35)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3.4.7 Persiapan Hewan Coba
Hewan coba yang digunakan adalah tikus putih jantan berumur 2-3 bulan dengan bobot 150-210 gram. Hewan uji yang digunakan
sebanyak 30 ekor tikus putih jantan galur Sprague dawley dibagi menjadi 6 kelompok Penentuan jumlah tikus tiap kelompok, dihitung berdasarkan
rumus Federer.
Rumus Federer : (n-1) (t-1) ≥ 15
(n-1) (6-1) ≥ 15
6n - n - 6+1 ≥ 15
5n ≥ 20
n ≥ 4
Dimana t = jumlah perlakuan dan n = jumlah ulangan minimal dari tiap perlakuan. Sebelum dilakukan perlakuan pada penelitian ini, hewan uji diaklimatisasikan selama satu minggu, diberi makan pelet dan diberi asupan minum air secukupnya. Sebelum dilakukan perlakuan uji anti nefrolitiasis, tikus terlebih dahulu dipuasakan makan lebih kurang 16 jam. Minum tetap diberikan.
3.4.8 Pembuatan Sediaan Uji
a) Dosis ekstrak herba pegagan yang digunakan pada uji antinefrolitiasis ini mengacu pada dosis aktivitas diuretik ekstrak etanol pegagan yaitu 500 mg/kg BB (Roopesh, 2011). Maka dibuat sediaan uji sebagai berikut.
1.Sediaan ekstrak etanol herba pegagan dosis rendah 250 mg/kg BB 2.Sediaan ekstrak etanol herba pegagan dosis sedang 500 mg/kg BB 3.Sediaan ekstrak etanol herba pegagan dosis tinggi 1000 mg/kg BB Volume ekstrak herba pegagan yang diberikan pada tikus adalah 1 mL/ 200 g bb yang diberikan secara per oral.
b) Dosis Batugin Sebagai Kontrol Positif
Dosis batugin yang digunakan sebagai pencegahan batu ginjal maupun pencegahan terbentuknya kembali pasca operasi batu ginjal pada manusia adalah 30 mL perhari, dalam 30 mL mengandung 3 g zat aktif,
(36)
maka dosis batugin sebagai pencegahan pembentukan batu ginjal pada tikus adalah 270 mg/kg BB atau maka volume batugin yang diberikan untuk tikus adalah 0,54 mL / 200 g BB. Perhitungan pada lampiran 10. c) Dosis Sediaan Induksi Batu Ginjal
Sediaan yang dibuat dalam percobaan ini untuk membentuk batu ginjal pada tikus adalah etilen glikol 0,75%+ amonium klorida 2% dalam aquadest (Saputra, 2009).
3.4.9 Pelaksanaan Pengujian Penghambatan Pembentukan Batu Ginjal
Hewan coba dibagi menjadi 6 kelompok berdasarkan kesamaan bobot badan. kelompok I ialah kelompok normal yang tidak menerima induksi pembentukan batu ginjal, hanya diberikan makan dan minum secukupnya saja. Kelompok II adalah kontrol negatif yang hanya diberi zat penginduksi pembentuk batu ginjal saja. Kelompok III adalah kontrol positif yang diberikan batugin elixir beberapa jam sebelum pemberian induksi batu ginjal selama 10 hari. Kelompok IV, V dan VI sebagai kelompok uji, diberi ekstrak etanol herba pegagan dengan dosis masing-masing 250 mg/ kg BB,500 mg/kg BB, 1000 mg/kg BB secara peroral 2 jam sebelum pemberian induksi batu ginjal.
Volume peroral sediaan ekstrak herba pegagan yang diberikan kepada tikus adalah 1 mL/200gr BB. Perlakukan tersebut dilakukan selama 10 hari. Pada hari ke-10 setelah perlakuan tikus dipuasakan selama 16 jam hanya diberi air minum secukupnya saja. Pada hari ke-11 tikus dilakukan pembedahan. Tikus dimatikan terlebih dahulu dengan menggunakan eter selanjutnya abdomen dibuka kemudian diambil ginjalnya dan dilakukan analisa karakteristik ginjal serta analisis kadar kalsium ginjal.
(37)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 3.1. Pembagian Kelompok Hewan Uji
No Jumlah tikus
Perlakuan
1 5 Kelompok normal, tidak diinduksi.
2 5 Kelompok kontrol negatif, diinduksi etilen glikol 0,75%
+ ammonium klorida 2% dalam aquadest dengan volume (12 mL/200 g BB) / hari.
3 5 Kelompok kontrol positif, diberi batugin elixir sebanyak
0,54 mL/200 g BB, setelah 2 jam diinduksi dengan etilen glikol 0,75% + ammonium klorida 2% dalam aquadest dengan volume (12 mL/200 g BB) / hari.
4 5 Kelompok uji dosis rendah diberi sediaan ekstrak herba
pegagan dosis rendah 250 mg/kg BB, setelah 2jam diinduksi dengan etilen glikol 0,75% + ammonium
klorida 2% dalam aquadest dengan volume (12 mL/200 g BB) / hari.
5 5 Kelompok uji dosis sedang, diberi sediaan ekstrak herba
pegagan dosis sedang 500 mg/kg BB, setelah 2 jam diinduksi dengan etilen glikol 0,75% + ammonium
klorida 2% dalam aquadest dengan volume (12 mL/200 g BB) / hari.
6 5 Kelompok uji dosis tinggi, diberi sediaan ekstrak herba
pegagan dosis tinggi 1000 mg/kg BB setelah 2 jam diinduksi dengan etilen glikol 0,75% + ammonium
klorida 2% dalam aquadest dengan volume (12 mL/200 g BB) / hari.
(38)
3.4.10 Analisis Karakteristik Ginjal
Setelah perlakuan selesai, dilakukan pengamatan terhadap masing-masing ginjal hewan coba. Secara hati-hati kedua ginjal diambil dan kemudian dilakukan analisis ginjal. Masing-masing ginjal ditimbang, diukur panjang dan tebalnya, dicatat karakteristik bentuk dan warna ginjal serta dihitung rasio bobot ginjal/ 100 gr bobot tikus (Wijaya,Sumi dan Farida L., 2009).
3.4.11 Analisis Kandungan Kalsium Pada Ginjal
Ginjal masing-masing tikus diletakkan di cawan penguap lalu dimasukkan ke dalam oven dengan 100o C selama 24 jam. Setelah ginjal kering, ginjal digerus di mortir kemudian dimasukkan ke dalam gelas piala 100 ml berisi 10 mL asam nitrat pekat, biarkan selama 30 menit, Dilakukan pemanasan mula-mula dengan pemanasan yang rendah kemudian suhu dinaikkan perlahan-lahan. pemanasan dihentikan sebentar dan selanjutnya diteteskan hidrogen peroksida 30% sampai bening dan lanjutkan pemanasan sampai volume berkurang setengah dari volume awal. Hasil destruksi didinginkan kemudian dipipet 5 ml (larutan contoh) dan dilakukan pengenceran 10 kali dalam labu ukur 50 ml dan dicukupkan volumenya dengan aquadest. Hasil pengenceran disaring dengan kertas whatman dan selanjutnya diukur kadar kalsium nya dengan Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) pada panjang gelombang 422,7 nm (Afriyanti, Ria, dan Harun Syahriar, 2011).
3.4.12 Analisis Data
Hasil pengamatan karakteristik ginjal adalah dengan mengitung rasio bobot ginjal semua kelompok tikus, untuk menghitung rasio bobot ginjal tiap tikus menggunakan rumus tersebut : (Boesro S, Warya S, Rosidana T dan Ade z. 2010)
Rasio ginjal( g 100g) =
Berat ginjal tikus ( g) Berat badan tikus ( 100g)
(39)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sedangakan hasil data kadar kalsium pada ginjal, sebelum dilakukan uji statistik hasil data SSA kadar kalsium pada ginjal dihitung dengan rumus tersebut : (Afriyanti, Ria, dan Harun Syahriar. 2011)
Kadar Ca
=
.x Fp
Keterangan:
X = Kosentrasi yang didapat berdasarkan kurva kalibrasi (mg/L) Y = Volume larutan contoh (L)
Z = Berat sampel (gram) Fp = Faktor pengenceran
Kemudian data- data tersebut diuji distribusi normalnya dengan uji
Kolmogorov-Smirnov, sedangkan keseragaman variannya diuji dengan uji
Levene menggunakan taraf kepercayaan 95%. Apabila data terdistribusi
normal dan homogen dilakukan ANOVA (analisis varian satu arah) dan jika berbeda bermakna, dilanjutkan dengan uji Least Significant Difference (LSD) dengan taraf kepercayaan 95%. Apabila data terdistribusi tidak normal, dilakukan uji Kruskal Wallis dan jika berbeda bermakna akan dilanjutkan dengan uji Least Significant Difference (LSD) dengan taraf kepercayaan 95%.
(40)
BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Hasil Determinasi Tanaman
Determinasi dilakukan di Herbarium Bogoriense Bidang Botani, Puslit Biologi, LIPI Cibinong dan diketahui bahwa sampel tumbuhan yang diteliti adalah benar jenis tanaman pegagan ( Centella asiatica (L).Urban) suku Apiaceae (lampiran 4).
4.1.2 Hasil Ekstraksi
Sebanyak 600 gram serbuk simplisia herba pegagan dimaserasi dengan etanol 70%, kemudian dikentalkan dengan rotary evaporator dan didapatkan ekstrak kental sebanyak 193,54 gram dan didapatkan rendeman sebesar adalah 32,2%. Perhitungan rendemen terdapat pada lampiran 6.
4.1.3 Hasil Penapisan Fitokimia
Pada uji penapisan fitokimia ekstrak etanol herba pegagan diperoleh hasil berupa kandungan metabolit sekunder. Berikut ini adalah data berupa hasil penapisan fitokimia dari ekstrak etanol herba pegagan.
Tabel 4.1. Hasil Penapisan Fitokimia Herba Pegagan
Metabolit Sekunder Hasil
Alkaloid -
Flavonoid +
Saponin +
Tanin +
Terpenoid +
Hasil uji penapisan fitokimia terhadap herba pegagan
(41)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4.1.4 Hasil Parameter Non-Spesifik Ekstrak
4.1.4.1 Kadar Abu
Uji kadar abu dilakukan dengan menggunakan alat tanur listrik hingga ekstrak menjadi abu serta bobot tetap dan didapatkan hasil sebesar 4,13%, perhitungan terdapat pada lampiran 8.
4.1.4.2 Susut Pengeringan
Uji susut pengeringan dilakukan dengan ekstrak dikeringkan di oven pada suhu 1050 C hingga bobot ekstrak tetap. Hasil pengujian susut pengeringan sampel adalah sebesar 9,18% , perhitungan pada lampiran 9.
4.1.5 Hasil Analisis Karakteristik Ginjal
Setelah perlakuan selama 10 hari, tikus dimatikan dengan eter setelah itu dibedah dan difiksasi kedua ginjalnya secara hati-hati, selanjutnya dilakukan analisis karakteristik pada masing-masing ginjal tikus. Analisis karakteristik ginjal dilakukan dengan cara mengamati warna ginjal, bentuk ginjal serta ukuran panjang dan tebal ginjal dari semua kelompok hewan uji serta perhitungan rasio bobot ginjal. Perhitungan yang lebih lengkap mengenai rasio bobot ginjal serta persentase penurunan rasio bobot ginjal terlampir pada lampiran 11.
Tabel 4.2 Analisis Karakteristik Ginjal
Kelompok
Percobaan Warna Bentuk
Ukuran Rata-Rata
Kanan Kiri
I. Kontrol Normal Merah
kecoklatan Seperti kacang tanah P :1,24 T :0,53 P :1,18 T :0,45
II. Kontrol Negatif Merah
kecoklatan Seperti kacang tanah P :1,38 T :0,65 P :1,33 T :0,58
III. Kontrol Positif Merah
kecoklatan Seperti kacang tanah P :1,24 T :0,60 P :1,16 T :0,52 IV. Perlakuan
Dosis 250
mg/kg BB Merah kecoklatan Seperti kacang tanah P :1,36 T :0,63 P :1,32 T :0,57 V. Perlakuan
Dosis 500
mg/kg BB Merah kecoklatan Seperti kacang tanah P :1,25 T :0,60 P :1,15 T :0,51
(42)
VI. Perlakuan
Dosis 1000
mg/kg BB
Merah kecoklatan
Seperti kacang Tanah
P :1,27 T :0,65
P :1,18 T :0,53 Keterangan: P= Panjang (cm), T= Tebal (cm)
Tabel 4.3 Rataan BobotBadan, Bobot Ginjal dan Rasio Bobot Ginjal (Mean ± SD)
Kelompok Bobot Badan (100 g)
Bobot Ginjal (g)
Rasio Ginjal (g/100 g)
Kontrol Normal 2,11 ± 13,44 1,37 ± 0,06 0,64 ± 0,03
Kontrol (-) 1,71 ± 29,81 1,62 ± 0,24 0,96 ± 0,06
Kontrol (+) 1,51 ± 3,50 1,14 ± 0,05 0,75 ± 0,03
Uji Dosis 250
mg/kg BB 1,77 ± 17,00 1,40 ± 0,17 0,78 ± 0,04
Uji Dosis 500
mg/kg BB 1,68 ± 5,71 1,25 ± 0,03 0,74 ± 0,02
Uji Dosis 1000
mg/kg BB 1,58 ± 4,11 1,22 ± 0,49 0,75 ± 0,02
Tabel 4.4 Persentase Penurunan Rasio bobot ginjal/100 g BB
Kelompok % Penurunan Rasio bobot ginjal
Kontrol (+) 21,87 %
Uji Dosis 250 mg/kg BB 18,75 %
Uji Dosis 500 mg/kg BB 22,92 %
(43)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta • Perhitungan % penurunan rasio bobot ginjal/100 g
% penurunan rasio ginjal = . .
. x 100 %
1. % Penuruan rasio bobot ginjal oleh kontrol (+) • , ,
, x 100% = 21,87%
2. % Penuruan rasio bobot ginjal oleh dosis 250 mg/kg BB • , ,
, x 100% = 18,75%
3. % Penuruan rasio bobot ginjal oleh dosis 500 mg/kg BB • , ,
, x 100% = 22,92%
4. % Penuruan rasio bobot ginjal oleh dosis 1000 mg/kgBB • , ,
, x 100% = 21,87%
4.1.6 Hasil Pengukuran Kadar Kalsium Pada Ginjal
Rata-rata hasil pengukuran kadar kalsium pada ginjal pada hewan uji diperlihatkan pada table 4.5 serta persentase penghambatan batu ginjal terdapat pada tabel 4.6 Untuk data hasil pengukuran kadar kalsium ginjal selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 12.
Tabel 4.5 Hasil Rata-Rata Kadar Kalsium Pada Ginjal (Mean ± SD )
Kelompok Kadar kalsium (mg/g)
Normal 2,54 ± 0,05
Kontrol (-) 4,00 ± 0,34
Kontrol (+) 2,69 ± 0,03
Uji dosis rendah 250 mg/kg BB 3,33 ± 0,35
(44)
Uji dosis tinggi 1000 mg/kg BB 2,84 ± 0,05
Gambar 4. Kadar Kalsium Pada Ginjal. Normal, Kontrol (-), Kontrol (+), Uji 1: Dosis 250 mg/kg, Uji 2: Dosis 500 mg/kg BB, Uji 3 : Dosis 1000 mg/kg .
Tabel 4.6 Persentase Penghambatan Batu Ginjal
Kelompok % Penghambatan Batu
Ginjal
Kontrol (+) 32,75 %
Uji Dosis 250 mg/kg BB 16,75 %
Uji Dosis 500 mg/kg BB 31,25 %
Uji Dosis 1000 mg/kg BB 29 %
Perhitungan % penghambatan batu ginjal
% Penghambatan batu ginjal = . .
. x 100 %
1. % Penghambatan batu ginjal kontrol (+) • , ,
, x 100% = 32,75%
2.54
4
2.69
3.33
2.75 2.84
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5
Normal kont rol (-) kont rol (+) Uji 1 Uji 2 Uji 3
(m
g
/g
)
(45)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. % Penghambatan batu ginjal oleh dosis 250 mg/kg BB • , ,
, x 100% = 16,75%
3. % Penghambatan batu ginjal oleh dosis 500 mg/kg BB • , ,
, x 100% = 31,25%
4. Penghambatan batu ginjal oleh dosis 1000 mg/kgBB • , ,
, x 100% = 29%
5.2 Pembahasan
Penelitian uji aktivitas penghambat pembentukan batu ginjal ini menggunakan sampel ekstrak herba pegagan (Centella asiatica L. ). Herba pegagan didapatkan dari kebun di sekitar wilayah Cimanggu Bogor. Semua bagian tumbuhan diambil seperti daun dan batang kecuali akar. Kemudian tanaman herba pegagan dilakukan determinasi dengan tujuan memastikan bahwa tanaman yang digunakan tersebut benar jenis pegagan suku apiaceae, setelah itu herba pegagan dicuci dengan air mengalir, hal ini bertujuan untuk memisahkan kotoran-kotoran yang menempel di tanaman. Herba pegagan dikeringkan dengan cara diangin-anginkan pada suhu kamar, tidak dilakukan dibawah sinar matahari karena jika dijemur di bawah sinar matahari secara langsung dapat merusak senyawa-senyawa kimia yang terkandung di dalam herba pegagan. Tujuan pengeringan adalah untuk menghilangkan kadar air yang terdapat dalam herba dan untuk keefektifan ekstraksi, sehingga dalam proses ekstraksi bahan telah kering dan lebih muda berinteraksi dengan cairan pelarut. Simplisia dibuat menjadi serbuk halus. Bahan dihaluskan dengan tujuan untuk memperbesar permukaan yang akan bersentuhan dengan pelarut.
Pelarut yang digunakan untuk proses maserasi herba pegagan kali ini adalah etanol 70%, karena etanol 70% merupakan pelarut yang universal yang dapat menarik senyawa bersifat polar, semi polar dan non polar. Dari penelitian yang telah dilakukan bahwa penyarian herba pegagan menggunakan etanol 70% memiliki hasil penyarian yang tertinggi
(46)
dibandingkan dengan pelarut lain (Pramono, S. 2004). Etanol 70 % juga lazim digunakan untuk ekstraksi simplisia kering, ini disebabkan agar pelarut lebih mudah berpenetrasi ke dalam simplisia sehingga zat-zat yang terdapat pada simplisia lebih mudah terekstraksi. Serbuk herba pegagan sebanyak 600 gram dimaserasi dengan etanol 70% sehingga diperoleh ekstrak etanol herba pegagan sebanyak 193,54 gram, sehingga rendemennya adalah 32,2%. Pada buku Farmakope Herbal menyatakan rendeman untuk ekstrak pegagan tidak kurang dari 7,2%. Dalam hal ini, rendeman ekstrak etanol herba pegagan tersebut memenuhi persyaratan.
Selanjutnya dilakukan penapisan fitokimia , hal ini bertujuan untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder yang terdapat dalam ekstrak. Pada ekstrak etanol herba pegagan diperoleh hasil positif mengandung flavonoid, saponin, tanin, dan terpenoid
Pengujian parameter non spesifik ekstrak etanol herba pegagan juga dilakukan yaitu dengan menguji kadar abu dan susut pengeringan ekstrak etanol dari herba pegagan tersebut. Kadar abu penting dilakukan karena kadar abu dapat menunjukkan kelayakan suatu sampel untuk pengolahan berikutnya, bila kadar abu suatu sampel tinggi, itu menyatakan bahwa masih banyak pengotor lain seperti unsur mineral dan anorganik yang terikut pada sampel tersebut. Selain itu kadar abu juga dapat digunakan sebagai parameter nilai gizi suatu sampel. Berdasarkan Farmakope Herbal kadar abu tidak boleh lebih dari 16,6% sedangkan kadar abu dari ekstrak etanol herba pegagan tersebut sebesar 4,13%, itu menandakan ekstrak herba pegagan tersebut masih dalam ambang batas syarat kelayakan. Pengukuran susut pengeringan yaitu untuk mengetahui banyaknya air dan senyawa yang mudah menguap yg masih terdapat pada ekstrak. Untuk hasil susut pengeringan sampel ekstrak etanol herba pegagan adalah sebesar 9,18%. Hasil tersebut masih sesuai syarat, karena nilai susut pengeringan tidak boleh lebih dari 10%. (Reniza, Afrina Wati., 2003).
Hewan coba yang digunakan untuk penelitian uji aktivitas penghambatan pembentukan batu ginjal ini adalah tikus putih jantan galur
(47)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
umum digunakan untuk penelitian, mempunyai ciri berwarna putih albino, berkepala kecil, dan ekornya lebih panjang dari badannya. Tikus yang dipilih adalah yang berkelamin jantan, hal ini dikarenakan tikus jantan kondisi biologisnya lebih stabil bila dibandingkan dengan tikus betina selain itu populasi jantan lebih banyak yang mengalami batu ginjal dibanding yang wanita.
Untuk memperkecil variabilitas antar hewan uji, maka hewan yang digunakan harus mempunyai keseragaman bobot, yaitu memiliki berat badan antara 150-200 gram, umur 2-3 bulan, diberi makanan dan minuman yang sama dan dalam kondisi sehat. Pengelompokan hewan uji dilakukan berdasarkan keseragaman bobotnya Dibagi menjadi 6 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor tikus putih jantan. Pembagian menjadi 6 kelompok terdiri dari kelompok kontrol normal, kontrol negatif, kontrol positif, uji 1(dosis rendah), uji 2 (dosis sedang) dan uji 3 (dosis tinggi).
Hewan uji harus diadaptasikan terlebih dahulu dengan kondisi laboratorium selama 7 hari. Hal ini dilakukan untuk menghindari stress pada saat perlakuan. Sebelum hewan uji diberi perlakuan, hewan uji dipuasakan terlebih dahulu selama 12 jam dengan hanya diberi minum ad
libitum. Tujuan dipuasakan agar kondisi hewan uji sama dan mengurangi
pengaruh makanan yang dikonsumsi terhadap absorpsi sampel yang diberikan. Apabila tahap persiapan telah selesai, kemudian dilakukan uji dengan pemberian ekstrak etanol herba pegagan. Dosis ekstrak herba pegagan untuk uji penghambatan pembentukan batu ginjal ini mengacu pada dosis ekstrak etanol herba pegagan sebagai diuretik pada tikus putih jantan. Dosis yang efektif sebagai diuretik adalah 500 mg/kg BB (Roopesh, 2011).
Dosis 500 mg/kg BB sebagai dosis sedang, dan dosis rendah merupakan ½ dari dosis sedang yaitu 250 mg/kg BB, sedangkan untuk dosis tinggi merupakan 2x dari dosis sedang yaitu sebesar 1000 mg/kg BB. Sebagai kontrol pembanding, digunakan batugin elixir yang telah terbukti dapat mencegah terjadinya batu ginjal serta dapat meluruhkan batu ginjal.
(48)
Dosis batugin elixir yang diberikan pada tikuus sebagai pencegah pembentukan batu ginjal adalah dengan dosis 54 mg/200 g BB.
Batugin elixir mengandung ekstrak daun tempuyung (Sonchus
arvensis) dan ekstrak daun kejibeling (Strobilanthus crispus). Daun
tempuyung berkhasiat sebagai antikalkulus urinaria, berdasarkan kemampuannya mengadakan relaksasi otot polos (spasmolitik) dan tingginya kadar kalium dalam daun tersebut. Ekstrak daun tempuyung juga dapat memecahkan atau menghancurkan batu urin atau batu saluran kemih sehingga mempermudah pengeluarannya dari dalam tubuh. Dalam hal ini ekstrak tempuyung langsung menghilangkan sebab dari sakit kolik atau sakit pinggang. Daun kejibeling (Strobilanthus crispus) dikenal sebagai obat yang sangat efektif untuk kencing batu. Kadar kalium yang tinggi menyebabkan daun ini memiliki sifat sebagai diuretik, sehingga batu-batu yang menyumbat saluran dapat terdorong keluar.
Pemberian ekstrak herba pegagan dan sediaan pembanding (batugin elixir) diberikan 2 jam sebelum makan, maka diberikan sebelum pemberian larutan induksi batu ginjal. Sediaan ekstrak herba pegagan maupun batugin elixir diberikan satu kali sehari secara peroral dengan menggunakan sonde lambung. Setelah pemberian sediaan uji dan batugin elixir, kelompok uji, kontrol negatif dan kontrol positif diberi larutan penginduksi batu ginjal yang mengandung 0,75% etilen glikol dan 2% amonium klorida. Volume yang diberikan sebanyak12 ml/ 200 g BB / hari. Sore harinya semua kelompok tikus diberi makan dan minum secukupnya dengan volume seragam untuk semua kelompok. Perilaku tersebut dilakukan kepada tikus putih jantan selama 10 hari.
Pada hari ke-10, tikus dipuasakan selama 12 jam, dimaksudkan untuk menyeragamkan kondisi hewan uji sampai saat dilasanakannya pembedahan. Pada hari ke-11 seluruh kelompok tikus dibedah, tikus di anastesi terlebih dahulu dengan menggunakan eter hingga mati, lalu di buka abdomennya dan diambil kedua ginjalnya secara hati-hati. Selanjutnya dilakukan analisis karakteristik ginjal tikus, perhitungan rasio bobot ginjal/100g BB dan analisis kadar kalsium ginjal tikus.
(49)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hasil analisis karakteristik ginjal tikus dari segi warna, baik kelompok normal, kontrol negatif, kontrol positif, uji dosis rendah, sedang dan tinggi tidak terdapat perbedaan yang mencolok, semua ginjal kelompok hewan uji berwarna merah kecoklatan dan berbentuk seperti kacang tanah. Pengamatan berdasarkan ukuran panjang dan tebal ginjal terlihat bahwa kelompok kontrol negatif memiliki ukuran panjang dan tebal yang lebih besar dibandingkan kelompok lainnya, hal ini dikarenakan pemberian etilen glikol secara berlebih menyebabkan perubahan struktur ginjal yang disebabkan nefrotoksik akibat kadar kalsium yang tinggi dalam ginjal. Menurut Guyton dan Hall (1997) manifestasi dari kelainan ginjal adalah dengan adanya perubahan struktur ginjal baik dari bentuk maupun ukuran ginjal. Kelompok normal tidak memiliki perbedaaan secara nyata dengan kelompok kontrol positif, kelompok uji dosis 500 mg/kg BB dan uji dosis 1000 mg/kg BB.
Selanjutnya ginjal tikus semua kelompok ditimbang dan dihitung rasio bobot ginjal terhadap berat badan, Rasio digunakan untuk menyetarakan atau mengkoreksi faktor bobot badan yang lebih besar akan memiliki bobot ginjal yang besar pula begitu juga sebaliknya.
Rasio bobot ginjal/100 g BB diuji statistik dengan metoda ANOVA serta dilanjutkan dengan LSD (Least Significant Difference) untuk mengetahui adakah perbedaan yang bermakna atau tidak. Hasil uji statistik menghasilkan data bahwa Rasio ginjal kelompok normal dengan kelompok negatif, positif, uji dosis 250 mg/ kg BB, dosis 500 mg/kg BB dan dosis 1000 mg/kg BB ada perbedaan secara bermakna pada taraf uji 0,05. Serta rasio ginjal kelompok positif dengan kelompok uji dosis 250 mg/kg BB, dosis 500 mg/kg BB dan dosis 1000 mg/kg BB tidak ada perbedaan secara bermakna pada taraf uji 0,05 (Lampiran 14).
Rasio bobot ginjal/100 g BB rata-rata kelompok normal adalah sebesar 0,64, sedangkan pada ginjal kelompok kontrol negatif yang mengalami peradangan dan mengandung banyak deposit kalsium memiliki rasio sebesar 0,96. Rasio ginjal kelompok kontrol positif mampu menurunkan rasio ginjal mencapai 21,87% dari rasio kontrol negatif,
(50)
ekstrak etanol herba pegagan dosis 250 mg/kg BB mampu menurunkan rasio ginjal mencapai 18,75%, ekstrak etanol herba pegagan dosis 500 mg/kg BB menurunkan rasio ginjal sebesar 22,92%, dan pada dosis 1000 mg/kg BB mampu menurunkan rasio ginjal mencapai 21,87%. Aktivitas anti radang dari ekstrak etanol herba pegagan mampu menurunkan rasio ginjal relatif mendekati normal. Data rasio bobot ginjal tersebut menggambarkan bahwa nefrotoksik secara otomatis meningkatkan bobot ginjal karena kebengkakan akibat reaksi radang karena kadar kalsium yang tinggi dalam ginjal. Cruzan. (2004) menyatakan tikus putih mengalami penurunan bobot badan akibat keracunan etilen glikol dosis tinggi dan menaikan bobot ginjal serta rasio bobot ginjal relatif terhadap bobot badan.
Selanjutnya dilakukan parameter pengukuran kandungan kalsium ginjal tikus menggunakan alat spektrofotometri serapan atom (SSA). Sebelum dianalisis dengan menggunakan SSA, ginjal tikus didestruksi terlebih dahulu Proses destruksi bertujuan untuk menghilangkan, dan memutuskan ikatan-ikatan senyawa organik yang terdapat dalam sampel sehingga yang tertinggal hanya senyawa anorganik saja. Metoda destruksi yang digunakan adalah metoda destruksi basah. Metoda ini digunakan karena pengerjaannya lebih sederhana, oksidasi kontinyu dan cepat dan unsur-unsur yang diperoleh mudah larut sehingga dapat ditentukan dengan metoda analisa tertentu (Rasyid,Roslinda, 2011).
Proses destruksi ini menggunakan campuran asam nitrat pekat dan hidrogen peroksida sebagai pengoksidasi. Destruksi basah menggunakan larutan pendestruksi campuran ini memberikan hasil yang lebih baik karena destruksi lebih sempurna dan suhu pemanasan tidak terlalu tinggi sehingga kemungkinan kehilangan unsur renik akibat penguapan.
Destruksi dimulai dengan pemanasan rendah dan selanjutnya ditinggikan perlahan-lahan sampai sampel larut sempurna. Sebelum pemanasan, campuran sampel dan pelarut dibiarkan lebih kurang 30 menit agar proses penetrasinya lebih sempurna. Proses destruksi ditandai dengan keluarnya asap nitro yang berwarna kuning. Kemudian dilanjutkan dengan
(51)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
penambahan beberapa tetes hidrogen peroksida secara berulang yang bertujuan untuk menyempurnakan proses destruksi. Destruksi dikatakan sempurna bila telah diperoleh larutan jernih yang menunjukan bahwa semua konstituen telah larut sempurna atau perombakan senyawa organik telah berjalan dengan baik. Selanjutnya larutan jernih ini diencerkan dengan aquadest untuk penentuan kandungan kalsium dengan menggunakan SSA yang sebelumnya telah dikalibrasi dengan faktor pengenceran yang dibutuhkan. Pengukuran kadar kalsium ginjal pada panjang gelombang 422,7 nm, karena logam kalsium dapat terbaca pada SSA pada panjang gelombang 422,7 nm.
Penginduksi batu ginjal yang diberikan kepada hewan coba adalah etilen glikol dan amonium klorida. Etilen glikol dimetabolisme dalam hati menghasilkan senyawa metabolit oksalat sehingga menyebabkan hiperoksaluria yang dapat berikatan dengan kalsium dalam darah membentuk kristal kalsium oksalat dan terdepo di ginjal. Diperkirakan dosis letal dari 100% etilen glikol adalah 1,4 mL/kg BB (Brent, 2001), sedangkan amonium klorida berperan sebagai katalisator untuk mempercepat terbentukan batu ginjal kalsium oksalat.
Tikus yang terinduksi batu ginjal menunjukan deposit kristal kalsium oksalat di dalam tubulus ginjal. Perlekatan kristal kalsium oksalat dengan sel-sel di tubulus dipertimbangkan sebagai faktor potensial dalam pembentukan kalkuli (Touham, 2007). Kristal kalsium oksalat menempel pada reseptor anion dari permukaan membran sel. Kristal kalsium oksalat dapat melisiskan membran epitel sel menggunakan protease yang ditemukan dalam urin. Perlekatannya sangat cepat dan bergantung pada konsentrasi jumlah kristal. Ini sangat berbeda dengan pembentukan kristal batuan lainnya. Hal tersebut menunjukkan mengapa jenis batuan yang paling sering ditemukan pada kejadian batu ginjal adalah kalsium oksalat (Grover et al, 2007).
Data kadar kalsium ginjal duji statistik dengan metode Kurskal
Wallis serta dilanjutkan dengan LSD ((Least Significant Difference) untuk
(52)
menghasilkan data kadar kalsium ginjal pada kelompok normal tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol positif , uji dosis 500 mg/kg
BB dan uji dosis 1000 mg/kg BB. Tetapi sangat signifikan secara statistik berbeda dibandingkan dengan kadar kalsium kelompok kontrol negatif dan kelompok uji dosis 250 mg/kg BB signifikan berbeda pada taraf p < 0,05 (lampiran 15). Kelompok perlakuan uji dosis 500 mg/kg BB menurunkan grafik dengan tingkat kecuraman yang tinggi mendekati kadar kalsium kontrol positif dan kontrol normal (Gambar 4.1)
Ketiga varian dosis ekstrak etanol herba pegagan dapat menghambat pembentukan batu ginjal terbukti dengan melihat kadar kalsium pada ginjal, namun pada dosis 500 mg/kg BB terlihat memiliki nilai hambat paling besar dibanding dosis 250 mg/kg BB dan dosis 1000 mg/kg BB yaitu sebesar 31,25%
Kandungan kimia utama dari tumbuhan pegagan yaitu asiatikosida dan asam madekasat. Kandungan kimia lainnya yaitu karotenoid, valerian, resin, minyak atsiri dan garam-garam mineral seperti kalium, natrium, magnesium, kalsium dan besi (Widowati. 1992 ; Achyad dan Rasydah, 2000).
Senyawa yang diduga berperan dalam menghambat pembentukan batu ginjal adalah kalium, Kalium menyebabkan tumbuhan pegagan berkhasiat sebagai diuretik dan pemecah batu ginjal. Kalium akan bereaksi dengan batu ginjal yang berupa kalsium karbonat, karena kalium akan menyingkirkan kalsium untuk bergabung oksalat yang merupakan pembentuk batu ginjal. Endapan batu ginjal tersebut akhirnya larut dan keluar bersama urin.
Tidak hanya kalium yang berperan dalam pemnghambat pembentukan batu ginjal, mineral natrium juga berperan melalui mekanisme pengeluaran air seni yang disebut dengan efek diuretik. (Rasyid,Roslinda, 2011).
Senyawa lain yang diduga berpengaruh pada aktivitas diuretik ekstrak etanol herba pegagan adalah golongan senyawa flavonoid. Menurut Adha (2009), flavonoid dapat meningkatkan urinasi dan
(53)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
meningkatkan laju filtrasi glomerulus. Adanya peningkatan laju filtrasi glomerulus menyebabkan zat nefrotoksik yang masuk ke ginjal akan dikeluarkan secara cepat akibat aktivitas urinasi yang menigkat (Guyton dan Hall, 1997). Pengeluaran tersebut dapat meminimalisir terjadinya akumulasi kalsium oksalat yang diakibatkan induksi etilen glikol dan amonium klorida.
(54)
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
§ Ekstrak etanol dari herba pegagan pada ketiga varian dosis ( 250 mg/kg BB, 500 mg/kg BB, dan 1000 mg/kg BB) mempunyai aktivitas dalam menghambat pembentukan batu ginjal (anti nefrolitiasis) hal tersebut terbukti dengan menurunnya kadar kalsium pada ginjal serta menurunnya rasio bobot ginjal secara bermakna (P≤0,05) terhadap kelompok kontrol negatif.
§ Dosis uji yang paling efektif adalah dosis 500 mg/kg BB dengan persentase penghambatan batu ginjal sebesar 31,25% serta mampu menurunkan rasio bobot ginjal mencapai 22,92%. Hasil tersebut tidak berbeda secara bermakna pada taraf uji 0,05 dengan kelompok normal dan kelompok kontrol positif.
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai senyawa apa yang berperan sebagai penghambat pembentukan batu ginjal, serta perlu dilakukan penelitian mengenai upaya pengobatan batu ginjal (kuratif) secara in vivo oleh esktrak etanol herba pegagan.
(55)
DAFTAR PUSTAKA
Adha C. (2009). Pengaruh Pemberian Estrak Etanol Daun Alpukat (Persea Americana Mill) Terhadap Aktivitas Diuretik Tikus Putih Jantan Sprague
Dawley. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Afrianti, Ria dan Syahriar Harun. (2011). Penentuan Kadar Kalsium Pada Ikan Kering Air Laut Dan Ikan Air Tawar Dengan Metoda Spektrofotometri Serapan Atom. Stiffi Perintis.
Anonim. Bioflavonoid. http://buletin.melsa.net.id/links/bioflavo.htm. diakses tanggal 23-06-2012 jam 11.08
Anonim. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Depkes RI Ansel, Howard C, Ph.D. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi ke-4. Jakarta:UI Press.
Ayoola, G, A., Coker, H,A,B., Adesegun, S.A., Adepoju-Bello, A.A., Obaweya E.C, Atangbayila, T.O. (2008). Phytochemical Screening and Antioxidant Some
Selected Medicininal Plants Used for Malaria Therapy in Southwest. Tropical
Journal of Pharmaceutical Research 7(3), 1091-1024.
Ari W Sundoyo, Bambang S. (2006). Buku Ajar Penyakit Dalam, Edisi IV . PP Departemen ilmu penyakit dalam. Jakarta. Hal: 563
Brent J. (2001). Current Management of Ethylene Glycol Poisoning. Drugs. 61 (7): 979–88.
Choubey, Angkur, et al., (2010). Assessment of Ceiba pentandra on Calcium
Oxalate Urolithiasis in Rats. VNS Institute of Pharmacy, Der Pharma Chemica,
2(6): 144-156
Coe FL. (2003). Kidney Stone in Adults.
http://www.kidney.niddk.nih.gov/kudisease/pubs/kidneyfailure/index.html. di akses tanggal 17-05-2012 jam 14.10
Cruzan G, Corley RA, Hard GC, Martens JJWM, McMartin KE, Snelling WM, Gingell R, Deyo JA. (2004). Subchronic toxicity of ethylene glycol in wistar and
F-344 rats related to metabolism and clearance Of Metabolites. Toxicological
Sciences, 81(2): 502-511.
Dalimartha, S. (1999). Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Jilid I. Jakarta: Trubus Agriwidya
Departemen Kesehatan RI. (1977). Materia Medika Indonesia, Jilid I. Jakarta. Departemen Kesehatan RI. (1989). Vademikum Bahan Obat Alam. Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan: Jakarta.
(1)
( Lanjutan )
Positif Normal .09250* .02775 .004 .0342 .1508
Negatif -.22000* .02775 .000 -.2783 -.1617
Uji 1 -.04500 .02775 .122 -.1033 .0133
Uji 2 -.00750 .02775 .790 -.0658 .0508
Uji 3 -.01750 .02775 .536 -.0758 .0408
Uji 1 Normal .13750* .02775 .000 .0792 .1958
Negatif -.17500* .02775 .000 -.2333 -.1167
Positif .04500 .02775 .122 -.0133 .1033
Uji 2 .03750 .02775 .193 -.0208 .0958
Uji 3 .02750 .02775 .335 -.0308 .0858
Uji 2 Normal .10000* .02775 .002 .0417 .1583
Negatif -.21250* .02775 .000 -.2708 -.1542
Positif .00750 .02775 .790 -.0508 .0658
Uji 1 -.03750 .02775 .193 -.0958 .0208
Uji 3 -.01000 .02775 .723 -.0683 .0483
Uji 3 Normal .11000* .02775 .001 .0517 .1683
Negatif -.20250* .02775 .000 -.2608 -.1442
Positif .01750 .02775 .536 -.0408 .0758
Uji 1 -.02750 .02775 .335 -.0858 .0308
Uji 2 .01000 .02775 .723 -.0483 .0683
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Keterangan: Uji 1 = Dosis 250 mg/kg BB, Uji 2 = Dosis 500 mg/kg BB, Uji 3= Dosis 1000 mg/kg BB
Kesimpulan:
1) Rasio ginjal kelompok normal dengan kelompok negatif, positif, uji dosis 250 mg/ kg BB, dosis 500 mg/kg BB dan dosis 1000 mh/kg BB terdapat perbedaan secara bermakna pada taraf uji 0,05.
(2)
2) Rasio ginjal kelompok positif dengan kelompok uji dosis 250 mg/kg BB, dosis 500 mg/kg BB dan dosis 1000 mg/kg BB tidak terdapat perbedaan secara bermakna pada taraf uji 0,05.
Lampiran 15. Statistik Kadar Kalsium Pada Ginjal Tikus
1. Uji Normalitas Kolmogrof-Sminorv dan Uji Homogenitas Lavene Test
terhadap Kadar Kalsium Ginjal Tikus Putih Jantan Galur SD a. Uji normalitas Kolmogrof-Smirnov
Tujuan : Untuk melihat distribusi data kadar kalsium ginjal tikus Hipotesis;
Ho :Data kadar kalsium ginjal tikus terdistribusi normal Ha :Data kadar kalsium ginjal tikus tidak terdistribusi normal Keputusan :
Jika nilai signifikansi ≥ 0,05, maka Ho diterima Jika nilai signifikansi ≤ 0,05, maka Ho ditolak
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
KadarCa
N 24
Normal Parametersa Mean 3.0271
Std. Deviation .54182 Most Extreme
Differences
Absolute .267
Positive .267
Negative -.161
Kolmogorov-Smirnov Z 1.306
Asymp. Sig. (2-tailed) .066
a. Test distribution is Normal.
Keterangan: Uji normalitas kadar kalsium ginjal tikus seluruh kelompok hewan uji terdistribusi normal (p ≥ 0,05).
(3)
( Lanjutan ) b Uji Homogenitas Lavene
Tujuan : Untuk melihat kadar kalsium ginjal tikus homogen atau tidak Hipotesis:
Ho :Data kadar kalsium ginjal tikus bervariasi homogen Ha :Data kadar kalsium ginjal tikus tidak bervariasi homogen
Keputusan :
Jika nilai signifikansi ≥ 0,05, maka Ho diterima Jika nilai signifikansi ≤ 0,05, maka Ho ditolak
Test of Homogeneity of Variances
KadarCa
Levene Statistic df1 df2 Sig.
6.853 5 18 .001
Keterangan : Uji homogenitas kadar kalsium ginjal seluruh kelompok hewan uji tidak bervariasi homogen (P ≤ 0,05).
Kesimpulan : Data kalsium ginjal seluruh kelompok hewan uji tidak dapat dilanjutkan dengan ANOVA karena syarat homogenitasnya tidak terpenuhi maka dilanjutkan dengan
Kurskal Wallis.
2. Uji Kurskal Wallis dan Least Significant Difference (LSD) Terhadap Kadar Kalsium Ginjal Tikus Putih Jantan Galur SD
Tujuan: Untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan data kadar kalsium ginjal tikus.
Hipotesis :
Ho :Data kadar kalsium ginjal tikus tidak berbeda secara bermakna Ha :Data kadar kalsium tikus berbeda secara bermakna
(4)
(Lanjutan) Keputusan :
Jika nilai signifikansi ≥ 0,05, maka Ho diterima Jika nilai signifikansi ≤ 0,05, maka Ho ditolak
Jija nilai signifikansi ≤ 0,05, maka data berbeda secara bermakna dan dilanjutkan uji LSD.
a) Uji Kurskal Wallis
Test Statisticsa,b
KadarCa
Chi-Square 21.098
Df 5
Asymp. Sig. .001
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Kelompok
Keterangan : Data kadar kalsium ginjal tikus berbeda secara bermakna (P ≤ 0,05), maka dilanjutkan dengan uji Least Significant
Difference (LSD) . Uji LSD merupakan uji lanjutan yang
dilakukan apabila hasil pengujian menunjukkan adanya perbedaan nilai secara bermakna. Tujuannya adalah untuk menentukan kelompok mana yang memberikan nilai yang berbeda secara bermakna dengan kelompok lainnya.
b) Uji LSD
Multiple Comparisons
KadarCa LSD
(I) Kelompok (J) Kelompok
Mean Difference
(I-J)
Std.
Error Sig.
95% Confidence Interval Lower Bound
Upper Bound
(5)
Normal Negatif -1.45750* .14533 .000 -1.7628 -1.1522
Positif -.14750 .14533 .324 -.4528 .1578
Uji 1 -.78500* .14533 .000 -1.0903 -.4797
Uji 2 -.20750 .14533 .170 -.5128 .0978
Uji 3 -.29500 .14533 .057 -.6003 .0103
Negatif Normal 1.45750* .14533 .000 1.1522 1.7628
Positif 1.31000* .14533 .000 1.0047 1.6153
Uji 1 .67250* .14533 .000 .3672 .9778
Uji 2 1.25000* .14533 .000 .9447 1.5553
Uji 3 1.16250* .14533 .000 .8572 1.4678
Positif Normal .14750 .14533 .324 -.1578 .4528
Negatif -1.31000* .14533 .000 -1.6153 -1.0047
Uji 1 -.63750* .14533 .000 -.9428 -.3322
Uji 2 -.06000 .14533 .685 -.3653 .2453
Uji 3 -.14750 .14533 .324 -.4528 .1578
Uji 1 Normal .78500* .14533 .000 .4797 1.0903
Negatif -.67250* .14533 .000 -.9778 -.3672
Positif .63750* .14533 .000 .3322 .9428
Uji 2 .57750* .14533 .001 .2722 .8828
Uji 3 .49000* .14533 .003 .1847 .7953
Uji 2 Normal .20750 .14533 .170 -.0978 .5128
Negatif -1.25000* .14533 .000 -1.5553 -.9447
Positif .06000 .14533 .685 -.2453 .3653
Uji 1 -.57750* .14533 .001 -.8828 -.2722
Uji 3 -.08750 .14533 .555 -.3928 .2178
Uji 3 Normal .29500 .14533 .057 -.0103 .6003
Negatif -1.16250* .14533 .000 -1.4678 -.8572
Positif .14750 .14533 .324 -.1578 .4528
Uji 1 -.49000* .14533 .003 -.7953 -.1847
Uji 2 .08750 .14533 .555 -.2178 .3928
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Keterangan: Uji 1 = Dosis 250 mg/kg BB, Uji 2 = Dosis 500 mg/kg BB, Uji 3= Dosis 1000 mg/kg BB
(6)
( Lanjutan ) Kesimpulan:
1) Kadar kalsium pada ginjal kelompok normal dengan kelompok negatif dan kelompok uji dosis 250 mg/ kg BB terdapat perbedaan secara bermakna pada taraf uji 0,05.
2) Kadar kalsium pada ginjal kelompok normal dengan kelompok kontrol positif, uji dosis 500 mg/kg BB dan dosis 1000 mg/kg BB tidak terdapat perbedaan secara bermakna pada taraf uji 0,05.
3) Kadar kalsium pada ginjal kelompok negatif dengan kelompok normal, kontrol positif, uji dosis 250 mg/kg BB , uji dosis 500 mg/kg BB, uji dosis 1000 mg/kg BB terdapat perbedaan secara bermakna pada taraf uji 0,05