Kajian Aplikasi HACCP pada Proses Produksi Ayam Goreng di Salah Satu Restoran Cepat Saji di Kota Bogor

(1)

RINGKASAN

Yesua Gifsan Tondas. D14070005. 2013. Kajian Aplikasi HACCP pada Proses Produksi Ayam Goreng di Salah Satu Restoran Cepat Saji di Kota Bogor.

Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Tuti Suryati, S.Pt., M.Si. Pembimbing Kedua : Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si.

Konsep pangan siap saji lahir dan berkembang pesat seiring dengan perubahan dan perkembangan gaya hidup masyarakat modern. Seiring berjalannya waktu, pangan siap saji dinilai sebagai pangan yang kurang sehat oleh masyarakat, baik di dunia, maupun di Indonesia. Prosedur penyajian pangan yang harus dilakukan dalam waktu cepat dengan tingkat penjualan yang cukup tinggi menyebabkan restoran siap saji memiliki resiko kontaminasi yang cukup tinggi. Restoran siap saji memerlukan suatu prosedur yang dapat menjamin dan meyakinkan konsumen bahwa produknya aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH).

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menghasilkan produk pangan siap saji yang ASUH adalah dengan menerapkan sistem hazard analysis and critical control point (HACCP) pada proses pengolahan produk pangan. Saat ini restoran telah menerapkan good manufacturing practice (GMP) dan sanitation standard operating procedure (SSOP) yang merupakan persyaratan dasar sistem HACCP dan tengah menyusun dokumentasi untuk program HACCP. GMP adalah cara memproduksi makanan yang baik dan memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan untuk menghasilkan produk makanan bermutu sesuai dengan tuntutan konsumen. Prosedur SSOP merupakan alat bantu dalam penerapan GMP berupa prosedur operasi standar sanitasi yang harus dilakukan oleh perusahaan yang bergerak dalam bidang pengolahan pangan. Hazard analysis and critical control point (HACCP) adalah suatu sistem jaminan mutu pangan yang diterapkan dalam proses produksi oleh industri pangan, termasuk restoran, dalam mengendalikan bahaya yang mungkin timbul pada setiap tahapan produksi.

Kegiatan magang penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran nyata tentang dunia industri serta permasalahan yang menjadi kendala dalam menghasilkan produk pangan yang ASUH dan secara khusus mempelajari penerapan sistem HACCP yang dilakukan pada proses pengolahan produk ayam goreng di salah satu restoran siap saji di kota Bogor. Kegiatan magang penelitian dilaksanakan di salah satu

restoran cepat saji kota Bogor unit dapur selama 2 bulan, dimulai dari tanggal 1 Februari 2011 sampai dengan 31 Maret 2011. Proses pengumpulan data dan

informasi dilakukan dengan cara wawancara dan pengamatan langsung terkait penerimaan dan penggunaan bahan baku, proses produksi, penyajian produk, pengemasan, penyimpanan, serta penanganan produk reject. Data hasil pengamatan yang diperoleh kemudian diolah untuk selanjutnya dibuatkan HACCP plan.

Data hasil pengamatan menunjukkan bahwa penerapan GMP dan SSOP oleh restoran sudah cukup baik, akan tetapi masih perlu mendapat penyempurnaan. Lokasi restoran serta beberapa aspek pada fasilitas restoran dan persyaratan hygiene sanitasi pengolahan makanan pada prosedur GMP dinilai masih kurang terpenuhi dengan baik. Penerapan prosedur SSOP oleh restoran juga dinilai masih perlu disempurnakan,


(2)

khususnya pada aspek fasilitas kebersihan dan kesehatan karyawan. Penerapan prosedur GMP dan SSOP yang dilakukan dengan baik dan benar dapat menunjang keberhasilan penerapan sistem HACCP.

Proses penyusunan dokumentasi program HACCP tertuang dalam HACCP plan. HACCP plan dibuat berdasarkan dua belas langkah penerapan sistem HACCP yang terdiri atas tujuh prinsip HACCP untuk menjamin keamanan pangan pada rantai pangan yang dipertimbangkan. Pembuatan HACCP plan diawali dengan pembentukan tim HACCP. Tim HACCP harus terdiri atas personal dengan latar belakang disiplin ilmu yang beragam serta berkaitan dengan produk dan prosesnya. Susunan terbaik tim HACCP untuk restoran ini terdiri atas para personal yang berasal dari departemen quality assurance, research, and development, operation administration, dan marketing. Tim HACCP selanjutnya akan membuat deskripsi produk dan rencana penggunaan produk sebelum akhirnya dilakukan pembuatan diagram alir. Pembuatan diagram alir bertujuan untuk mempermudah tim HACCP dalam mengetahui tahapan proses yang terjadi dan melaksanakan ketujuh prinsip HACCP.

Hasil perumusan ketujuh prinsip HACCP menunjukkan bahwa proses pengolahan produk ayam goreng memiliki 1 titik kendali kritis (CCP), yaitu tahap penggorengan. Tahap penerimaan bahan baku (ayam segar dan beku) juga dinilai berpotensi menjadi CCP, akan tetapi dikendalikan sebagai control point (CP) di dalam penerapan GMP dan SSOP. Proses penggorengan dinilai memiliki resiko bahaya kimia apabila pelaksanaannya tidak mendapat perhatian khusus. Penetapan kapasitas maksimum pada setiap periode penggorengan dinilai sebagai langkah yang dilakukan restoran untuk menanggulangi resiko bahaya kimia. Kapasitas maksimum penggorengan ditentukan berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan terlebih dahulu oleh perusahaan pemilik restoran. Kapasitas maksimum penggorengan juga digunakan sebagai indikator penetapan batas kritis, kegiatan monitoring, dan tindakan koreksi.

Kesimpulan dari kegiatan magang penelitian ini adalah restoran telah menerapkan prosedur GMP dan SSOP dengan cukup baik, akan tetapi masih perlu mendapatkan beberapa penyempurnaan. Hasil perumusan ketujuh prinsip HACCP menunjukkan bahwa proses pengolahan produk ayam goreng memiliki 1 titik kendali kritis (CCP), yaitu tahap penggorengan. Restoran juga diharapkan dapat memperketat kegiatan pemantauan pada proses penggorengan, sebab proses penggorengan yang dilakukan pada open fryer dan pressure fryer sering melebihi kapasitas maksimum penggorengan yang diizinkan. Asisstant restaurant manager, selaku pihak yang bertanggung jawab atas seluruh kegiatan operasional restoran, hendaknya dapat melakukan kegiatan pemantauan secara langsung dan berkala.


(3)

ABSTRACT

Study of HACCP Application on Fried Chicken Production at One of Fast Food Restaurants in Bogor

Tondas, Y. G., T. Suryati and Z. Wulandari

Nowadays, people face so many problems in food sector, for example in 2004 and 2005. 60% of 41 and 72.20% of 53 cases of the disease in Indonesia are foodborne illness cases. Those cases made industry and restaurant which serve fastfood products have to concern more and more about the food safety of their food products due to their short time preparation process. HACCP system is the most appropiate system in order to help fastfood restaurants to produce food products that save to be consumed. The objective of this research were to analyze the application of HACCP system on fried chicken production process. This study conducted in February and March 2011 at one of fast food restaurant in Bogor in a way directly involved in production process, interview with stakeholders, and related data collection. Restaurant has applied the principles of GMP and SSOP well, as the pre-requisite program of HACCP, but still needs to be improved. The result of the seven principles of HACCP also denoted that frying process is expressed as the CCP. Maximum frying capacity is used as an indicator for determinating critical limits, monitoring, and correcting. Assistant of restaurant manager, which is responsible for the entire restaurant activities, should give more attention to the frying process.


(4)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Masyarakat dunia sekarang ini sedang menghadapi begitu banyak permasalahan pada sektor pangan. Permasalahan yang terjadi pada sektor pangan sebagian besar disebabkan oleh pencemaran pada makanan yang pada akhirnya akan membahayakan kesehatan manusia. Data hasil pengamatan menunjukkan bahwa sebanyak 76 juta dan 9,4 juta kasus penyakit yang terjadi di USA dan Inggris disebabkan karena keracunan makanan (Tauxe, 2002; Walker et al., 2003). Kasus penyakit akibat pencemaran pangan yang terjadi di Indonesia juga cukup memprihatinkan. Djaafar dan Rahayu (2007) menyatakan bahwa pada tahun 2004 dan 2005, sebanyak 60% dari 41 kasus penyakit dan 72,20% dari 53 kasus penyakit di Indonesia disebabkan karena keracunan makanan.

Kasus-kasus tentang pencemaran terhadap produk pangan menyadarkan masyarakat akan pentingnya keamanan pangan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia mendefinisikan keamanan pangan sebagai suatu kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1998). Prinsip keamanan pangan menjadi sangat penting untuk diterapkan di zaman yang semakin modern.

Masyarakat modern cenderung menginginkan segala sesuatu yang bersifat instan. Gaya hidup masyarakat modern ke arah yang serba instan juga melahirkan sebuah konsep baru di dalam proses penyediaan pangan. Konsep pangan siap saji lahir dan berkembang pesat seiring dengan perubahan dan perkembangan gaya hidup masyarakat modern. Konsep pangan siap saji juga menyebabkan bisnis restoran siap saji tumbuh subur.

Pangan siap saji, seiring berjalannya waktu, dinilai sebagai pangan yang kurang sehat oleh masyarakat, baik di dunia, maupun di Indonesia. Prosedur penyajian pangan yang terjadi dalam waktu cepat dengan tingkat penjualan yang cukup tinggi seringkali tidak sesuai dengan standar hygiene dan sanitasi. Pelaksanaan proses produksi yang tidak sesuai dengan standar hygiene dan sanitasi memiliki resiko kontaminasi yang cukup tinggi. Restoran siap saji memerlukan suatu prosedur yang dapat menjamin dan meyakinkan konsumen bahwa produknya


(5)

2 layak dan aman untuk dikonsumsi. Keamanan pangan menjadi sangat penting untuk diterapkan oleh restoran siap saji guna menghasilkan produk yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH).

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk dapat menghasilkan produk pangan siap saji yang ASUH adalah dengan menerapkan sistem HACCP dalam proses pengolahan produk pangan. Hazard analysis and critical control point (HACCP) adalah suatu sistem jaminan mutu pangan yang diterapkan dalam proses produksi oleh industri pangan, termasuk restoran, dalam mengendalikan bahaya yang mungkin timbul pada setiap tahapan produksi. Sistem HACCP pertama kali diperkenalkan di USA pada tahun 1960 yang selanjutnya dipublikasikan oleh Codex Alimentarius Commission serta mendapat rekomendasi dari Food and Agriculture Organization dan National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods (Mortimore dan Wallace, 2001; Takenaka, 2005).

Sistem HACCP hanya dapat diterapkan apabila perusahaan atau restoran yang bersangkutan telah memenuhi prosedur GMP (good manufacturing practice) dan SSOP (sanitation standard operating procedure) yang merupakan persyaratan dasar (pre-requisite programme) terlebih dahulu. SSOP dan GMP merupakan dua prosedur yang saling berhubungan, sebab prosedur SSOP berisi tentang perencanaan tertulis untuk melaksanakan GMP, syarat agar aplikasi GMP dapat dimonitor, serta tindakan koreksi yang harus dilakukan apabila terjadi komplain, verifikasi, dan dokumentasi (Mortimore dan Wallace, 2001).

Tujuan

Magang penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh gambaran nyata tentang dunia industri serta permasalahan yang menjadi kendala dalam menghasilkan produk pangan yang ASUH (aman, sehat, utuh, dan halal), memperoleh pengalaman bekerja di industri pangan, dan meningkatkan kemampuan mengobservasi, menganalisis, serta memecahkan masalah-masalah yang timbul di dunia industri dengan pengetahuan ilmiah. Secara khusus, magang penelitian ini bertujuan untuk mempelajari penerapan sistem HACCP yang dilakukan pada proses pengolahan produk ayam goreng di salah satu rumah makan cepat saji yang terdapat di kota Bogor melalui kegiatan observasi lapang, identifikasi, analisis, dan pemecahan masalah yang terdapat di lapangan.


(6)

TINJAUAN PUSTAKA Daging Ayam

Manusia telah mendomestikasi ayam selama lebih dari 4000 tahun untuk diambil daging dan telurnya. Seiring dengan perkembangan zaman, popularitas daging ayam terus mengalami peningkatan dibandingkan daging sapi. Sekarang ini, daging ayam telah menjadi salah satu jenis daging yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat dunia (Brown, 2000). Daging ayam siap konsumsi umumnya diklasifikasikan berdasarkan tingkatan umur potong. Data klasifikasi daging ayam dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Data Klasifikasi Daging Ayam

Kategori Jenis Kelamin Umur (Minggu)

Cornish game hen ♂ / ♀ 5 – 6

Broiler / fryer ♂ / ♀ < 10

Roaster ♂ / ♀ < 12

Capon ♂ kastrasi < 4

Hen, fowl, baking chicken, stewing chicken ♀ > 10

Cock / rooster ♂ > 10

Sumber : Brown (2000)

Badan Standardisasi Nasional (2009) mendefinisikan daging ayam sebagai otot skeletal dari karkas ayam yang aman, layak, dan lazim dikonsumsi manusia. Daging ayam dapat dikatakan sebagai salah satu tempat penimbunan zat-zat gizi dalam tubuh. Daging ayam terdiri atas serabut-serabut otot atau muscle fibers. Berdasarkan hasil penelitian, jumlah serabut-serabut otot yang terdapat dalam daging sudah lengkap pada saat menetas. Serabut-serabut otot tersebut akan membesar dengan bertambahnya umur dan masuknya gizi yang cukup (berasal dari pakan). Zat gizi yang terdapat di dalam daging ayam, antara lain air, protein, lemak, vitamin, dan mineral (Hardjosworo dan Rukmiasih, 2000).

Sekarang ini, daging ayam lebih diminati oleh masyarakat dibandingkan daging sapi, kambing, dan domba karena memiliki harga yang relatif lebih murah dengan kandungan gizi yang tidak jauh berbeda (Abdullah dan Matarneh, 2010). Daging ayam juga dinilai memiliki kadar lemak dan kolesterol yang lebih rendah dibandingkan daging sapi, kambing, dan domba. Hal inilah yang menyebabkan


(7)

4 daging ayam menjadi aman untuk dikonsumsi oleh semua orang dari berbagai tingkatan umur tanpa terkecuali. Data perbandingan kadar lemak dan kolesterol pada daging ayam dan ruminansia (sapi, kambing, dan domba) dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Data Perbandingan Kadar Lemak Daging Ayam dan Ruminansia

Sumber : Brown (2000)

Karkas Ayam Pedaging

Daging ayam yang beredar di pasaran umumnya dipasarkan dalam bentuk karkas. Badan Standardisasi Nasional (2009) mendefinisikan karkas ayam pedaging sebagai bagian dari ayam pedaging hidup, setelah dipotong, dibului, dikeluarkan jeroan dan lemak abdominalnya, dan dipotong bagian kepala, leher, serta kedua kakinya. Karkas ayam dapat diklasifikasikan berdasarkan umur dan bobot karkas. Klasifikasi karkas ayam berdasarkan umur terbagi menjadi tiga kelompok umur, yaitu muda (fryer/broiler) untuk karkas berumur < 6 minggu, dewasa (roaster) untuk karkas berumur 6 – 12 minggu, dan tua (stew) untuk karkas berumur > 12 minggu. Klasifikasi karkas ayam berdasarkan bobot karkas juga terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu kecil (< 1 kg), sedang (1,0 – 1,3 kg), dan besar (> 1,3 kg) (Badan Standarisasi Nasional, 2009).

Jenis Ternak No Bagian Kadar Lemak (g)

Ayam

1. Chicken breast 7

2. Skinless chicken breast 3

3. Chicken drumstick 10

4. Skinless chicken drumstick 5

5. Chicken wing (1 piece) 7

6. Skinless chicken wing (1 peace) 2

Ruminansia

1. Round steak 6

2. Sirloin 6

3. Roast rump 6

4. Lamb loin chop 8

5. Fillet mignon 9

6. Lamb shoulder 17


(8)

5 Proses pemasaran karkas ayam pedaging dapat dilakukan secara langsung setelah dipotong (karkas panas), maupun setelah dilakukan proses pembekukan terlebih dahulu (karkas beku). Proses pembekuan yang sebaiknya dilakukan pada karkas ayam pedaging adalah proses pembekuan cepat yang dilakukan pada suhu -25 oC hingga suhu dari karkas ayam pedaging tersebut mencapai -10 oC (Badan Standarisasi Nasional, 1992).

Potensi Cemaran Biologi terhadap Daging Ayam

Daging ayam merupakan salah satu bahan pangan asal ternak yang mudah rusak (Mbata, 2005). Daging ayam dapat dengan mudah terkontaminasi, baik oleh mikroba pembusuk maupun mikroba patogen, karena memiliki berbagai kandungan zat gizi (Hardjosworo dan Rukmiasih, 2000). Sumber pencemaran pada daging ayam dapat berupa cemaran fisik, kimia, maupun biologi. Cemaran biologi merupakan faktor pencemar yang berpotensi paling besar dalam mencemari daging ayam. Salmonella dan Campylobacter sp. merupakan dua sumber pencemar biologi yang paling banyak ditemukan pada daging ayam (Mead, 2004). Selain Salmonella dan Campylobacter sp., Clostridium perfringens, Listeria monocytogenes, Arcobacter sp., dan E. Coli O157:H7 adalah beberapa jenis mikroorganisme lainnya yang juga berpotensi mencemari daging ayam (Mead, 2004; Baran dan Gulmez, 2000; Doyle dan Schoeni, 1987).

Salmonella

Salmonella adalah bakteri patogen, berjenis gram negatif, bersifat anaerobik fakultatif, dan berasal dari famili Enterobacteriaceae. Salmonella dapat melakukan dua jenis proses metabolisme dalam tubuhnya, yaitu metabolisme oksidatif dan fermentatif. Salmonella dapat tumbuh pada rentang suhu 5 oC hingga 45 / 47 oC dengan rentang suhu optimal 35 – 37 oC. Semua jenis bakteri yang termasuk dalam famili Enterobacteriaceae sangat sensitif terhadap panas, tidak terkecuali Salmonella. Proses pasteurisasi pada suhu 72 oC selama 15 detik sudah cukup untuk membunuh Salmonella. Salmonella dapat tumbuh pada medium dengan kisaran pH 4,5 – 9,0 dengan pH optimal pada kisaran 6,5 – 7,5. Salmonella juga dikenal sebagai bakteri yang tahan terhadap kadar air (aw). Salmonella dapat tumbuh subuh pada aw 0,945 dan 0,999 serta dapat bertahan hidup dalam waktu yang cukup lama pada aw


(9)

6 0,200. Salmonella juga memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi pada garam (NaCl), tetapi tahan terhadap nitrit (NO2) (Luning et al., 2006).

Campylobacter sp.

Famili Campylobacteriaceae terdiri dari dua puluh spesies dan subspesies yang termasuk ke dalam genus Campylobacter dan empat spesies dalam genus Arcobacter (Vandamme et al., 1991). Sebanyak 95% dari total kasus infeksi penyakit yang diakibatkan oleh Campylobacter disebabkan oleh C. jejuni dan C. coli (Nachamkin, 1997). Campylobacter adalah organisme mikroaerofilik yang membutuhkan 3% – 5% oksigen dan 2% – 10% karbondioksida untuk dapat tumbuh optimal. Campylobacter sangat sensitif terhadap perubahan tekanan osmotik dan tidak dapat tumbuh pada konsentrasi garam 2% atau lebih. Campylobacter juga tidak dapat tumbuh dan bahkan mati pada pH kurang dari 4,9 (Park, 2002). Kasus infeksi yang diakibatkan oleh Campylobacter umumnya berasal dari konsumsi bahan pangan asal ternak yang telah terlebih dahulu terkontaminasi. Daging ayam adalah bahan pangan asal ternak yang paling sering terkontaminasi oleh Campylobacter. Survey menunjukkan bahwa 20% – 100% dari ayam yang dipasarkan secara eceran terkontaminasi oleh Campylobacter dengan tingkat kontaminasi yang bervariasi antara 102 - 105 cfu/karkas. Proses kontaminasi umumnya terjadi pada saat penyembelihan (Luning et al., 2006).

Arcobacter sp.

Arcobacter adalah genus Campylobacter yang toleran terhadap oksigen (aerotolerant) (Vandamme et al., 1991). Arcobacter terdiri dari empat spesies, yaitu A. butzleri, A. cryaerophilus, A. skirrowii, A. nitrofrigilis. Arcobacter memiliki bentuk morfologi yang sama dengan Campylobacter, hanya bedanya, Arcobacter dapat tumbuh pada suhu 15 oC tetapi tidak pada suhu 42 oC. Infeksi Arcobacter pada manusia umumnya terjadi karena mengonsumsi bahan pangan asal unggas, khususnya daging ayam dan kalkun (Phillips, 2001).

E. coli O157:H7

E. coli O157:H7 adalah bakteri yang sangat toleran terhadap asam dan dapat hidup pada mayones dengan pH 3,6 – 3,9 pada suhu 5 oC selama 5 – 7 minggu atau 10 – 31 hari pada suhu 8 oC dalam sari apel dengan pH 3,6 – 4,0. Proses pasteurisasi


(10)

7 dapat mengurangi jumlah E. coli sebanyak 104 cfu/ml. Suhu pemasakan lebih dari 68,3 oC juga dibutuhkan untuk memastikan bahwa E. coli menjadi tidak aktif pada semua bahan pangan asal ternak (Doyle et al., 1997). Daging sapi dan hewan ruminan lain umumnya merupakan sumber penyebab infeksi E. coli yang utama. E. coli juga dapat mengontaminasi produk pangan asal hewan lainnya melalui air yang sudah terlebih dahulu terkontaminasi E. coli (Luning et al., 2006).

Clostridium perfringens

Clostridium perfringens adalah bakteri patogen yang sangat agresif. C. perfringens mampu menghasilkan toksin aktif berupa sel vegetatif yang dapat berduplikasi setiap 10 menit di dalam saluran pencernaan manusia (Labbé, 1989). C. perfringens juga akan menghasilkan spora anaerobik yang sangat toleran terhadap panas dan dapat tumbuh pada kondisi 5% oksigen (Poumeyrol, 1988). Daging dan produk olahan daging adalah bahan pangan yang paling mudah terkontaminasi C. perfringens (Center for Food Safety and Applied Nutrition, 2003).

Listeria monocytogenes

Listeria monocytogenes adalah bakteri gram positif, tidak berspora, dan mikroaerofilik. L. monocytogenes adalah bakteri yang sangat tahan terhadap stres dan dapat tumbuh pada kondisi lingkungan yang tidak memadai. L. monocytogenes dapat tumbuh pada suhu 0 – 45 oC dengan suhu optimal pertumbuhan adalah 25 – 30 oC. Fakta ini menunjukkan bahwa L. monocytogenes adalah bakteri psikotrofik yang dapat berkembang biak pada suhu rendah. L. monocytogenes dapat bertahan hidup pada suhu -18 oC. L. monocytogenes dapat tumbuh optimal pada pH 7 – 7,5 dan dapat bertahan hidup hingga pH 4,4 pada suhu 30 oC atau pada pH 5,0 dan 9,0 pada suhu 4 oC (Davies dan Adams, 1994). Mikroorganisme ini dapat ditemukan di tanah dan air serta dapat mengontaminasi tanaman dan hewan. Mikroorganisme ini juga dapat dengan mudah mengontaminasi bahan pangan, seperti susu murni, susu pasteurisasi, produk olahan susu dengan kadar lemak tinggi, keju lunak (soft cheese), sayuran, daging mentah dan matang (termasuk daging unggas). Manusia dapat terinfeksi mikroorganisme ini apabila mengonsumsi bahan pangan yang telah terkontaminasi (Food and Drug Administration, 2003).


(11)

8

Penggorengan

Salah satu proses pengolahan pangan tertua dan banyak diterapkan adalah penggorengan (Choe dan Min, 2007). Penggorengan merupakan suatu proses pemanasan bahan pangan dengan menggunakan medium minyak goreng sebagai penghantar panas. Tujuan dari proses penggorengan, antara lain melakukan pemanasan pada bahan pangan, pemasakan, dan pengeringan pada bahan pangan yang digoreng (Muchtadi, 2008).

Proses penggorengan umumnya hanya berlangsung pada waktu singkat, sebab selama penggorengan, perubahan pada bahan pangan sangat cepat terjadi akibat suhu penggorengan yang tinggi. Proses penggorengan bersifat efisien, sebab energi panas yang diberikan tidak banyak terbuang selama proses penggorengan, dan media pindah panas (minyak goreng) juga dapat dipakai kembali. Proses penggorengan dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan metode perpindahan panas yang terjadi selama penggorengan, yaitu shallow / pan frying atau penggorengan dangkal dan deep-fat frying (Fellows, 2000).

Setiap bahan pangan memiliki waktu penggorengan yang berbeda-beda. Waktu penggorengan yang dibutuhkan bahan pangan tergantung pada beberapa faktor, yaitu jenis bahan pangan, suhu minyak goreng, metode penggorengan, ketebalan bahan pangan, dan tingkat perubahan sesuai dengan mutu makanan yang diinginkan (Muchtadi, 2008; Fellows, 2000).

Minyak yang digunakan dalam proses penggorengan umumnya akan mengalami tiga jenis reaksi kimia, yaitu hidrolisis, oksidasi, dan polimerisasi, sehingga akan menghasilkan senyawa-senyawa volatil dan nonvolatil. Sebagian besar dari senyawa volatil akan menguap di atmosfer, sedangkan senyawa nonvolatil akan mengalami reaksi kimia lanjutan atau terserap ke dalam pangan. Senyawa nonvolatil yang dihasilkan akan mempengaruhi karakteristik fisik dan kimia dari bahan pangan maupun minyak itu sendiri. Senyawa nonvolatil juga akan mempengaruhi kualitas dan stabilitas rasa serta tekstur dari pangan yang digoreng selama proses penyimpanan (Choe dan Min, 2007).

Deep-fat Frying

Deep-fat frying adalah salah satu metode penyajian makanan yang terkenal di dunia. Metode deep-fat frying adalah salah satu metode penggorengan yang


(12)

9 dilakukan dengan menggunakan minyak goreng dalam jumlah banyak sehingga bahan pangan yang digoreng akan terendam seluruhnya di dalam minyak goreng. Proses perpindahan panas dan massa yang terjadi pada metode penggorengan deep-fat frying merupakan kombinasi antara proses perpindahan panas secara konveksi melalui media pindah panas minyak goreng dan proses perpindahan panas secara konduksi melalui bagian dalam bahan pangan yang terjadi secara simultan (Muchtadi, 2008; Lui-ping et al., 2005).

Proses penggorengan dengan metode deep-fat frying akan menyebabkan terjadinya beberapa hal, antara lain pembentukan komponen rasa (flavor), perubahan warna dan tekstur, serta perubahan kualitas nutrisi pada pangan yang digoreng (Choe dan Min, 2007). Metode deep-fat frying memungkinkan bahan pangan memperoleh panas secara lebih merata selama proses penggorengan, sehingga akan menghasilkan hasil gorengan yang masak secara merata dengan warna dan penampakan yang seragam. Metode deep-fat frying sering digunakan untuk menciptakan rasa dan tekstur yang unik dalam proses pengolahan pangan (Patterson et al., 2004). Metode deep-fat frying merupakan metode yang sesuai untuk digunakan dalam proses penggorengan berbagai jenis bahan pangan, akan tetapi, bahan pangan yang memiliki bentuk yang tidak merata akan cenderung memerangkap minyak dalam jumlah yang lebih banyak pada saat produk pangan tersebut diangkat dari penggorengan (Fellows, 2000).

Reaksi Oksidasi Selama Proses Penggorengan

Proses penggorengan umumnya dilakukan secara terbuka pada tekanan atmosfer. Proses penggorengan yang dilakukan pada keadaan terbuka memungkinkan terjadinya kontak antara permukaan minyak goreng dengan oksigen. Minyak yang mengalami kontak dengan oksigen pada saat proses penggorengan akan mengalami reaksi oksidasi sehingga terjadi penurunan kualitas. Lapisan minyak yang terpapar langsung oleh oksigen adalah bagian yang paling rentan mengalami reaksi oksidasi. Reaksi oksidasi antara minyak dan oksigen terjadi dalam tiga tahap, yaitu inisiasi (initiation), perambatan (propagation), pembentukan cabang (branching), dan penghentian (termination). Tahap inisiasi pada reaksi oksidasi diawali dengan terjadinya pelepasan hidrogen dari asam lemak tidak jenuh secara homolitik sehingga terbentuk radikal alkil karena adanya inisiator (panas, oksigen


(13)

10 aktif, logam, dan cahaya). Radikal alkil kemudian bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi (propagation) yang selanjutnya akan bereaksi dengan asam lemak tidak jenuh membentuk hidroproksida dan radikal alkil. Radikal alkil yang baru kemudian akan bereaksi dengan oksigen. Hidroperoksida asam lemak tak jenuh yang terbentuk dari reaksi oksidasi sangat tidak stabil dan mudah mengalami pemecahan (dekomposisi) menjadi berbagai senyawa flavor dan produk nonvolatil (branching). Dekomposisi hidroperoksida akan menyebabkan terjadinya pemutusan gugus -OOH sehingga terbentuk radikal alkoksi dan radikal hidroksi. Radikal alkoksi kemudian mengalami pemutusan beta pada rantai C-C sehingga terbentuk aldehid dan radikal alkil (termination). Berbagai senyawa hasil proses degradasi lipida, yaitu hidrokarbon, aldehid, keton, asam karboksilat, alkohol, dan heterosiklik. Oksidasi lipida akan membentuk suatu radikal bebas yang bersifat karsinogen. Selain reaksi oksidasi, reaksi hidrolisis dan hidrogenasi pada minyak juga dapat menurunkan kualitas minyak (Wasowicz et al., 2004).

Potensi Cemaran Kimia pada Proses Pengolahan Pangan

Proses pengolahan pangan pasti melibatkan berbagai reaksi kimia. Reaksi kimia yang terjadi pada saat proses pengolahan dapat menghasilkan senyawa kimia yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan. Sebagian besar senyawa kimia yang tidak diinginkan memiliki tingkat toksisitas yang tinggi. Jumlah keseluruhan senyawa kimia toksik belum diketahui secara pasti, akan tetapi beberapa diantaranya telah teridentifikasi. Polycyclicaromatic hydrocarbons (PAH), heterocyclic amines, nitrosoamines, oxidised sterols, oxidised triacylglycerols, 3-monochloropropane-1,2-diol (3-MCPD) adalah contoh senyawa-senyawa kimia toksik yang dihasilkan selama proses pengolahan pangan. Acrylamide juga termasuk dalam kelompok senyawa kimia toksik, akan tetapi belum teridentifikasi secara sempurna (Luning et al., 2006; Svejkovska et al., 2006).

3-Monochloropropane-1,2-diol (3-MCPD)

Senyawa 3-monochloropropane-1,2-diol atau 3-MCPD dikenal sebagai senyawa kimia yang terbentuk dari proses pengolahan bahan pangan kaya akan acylglycerols, gliserol, dan natrium klorida pada suhu tinggi, yaitu 100 – 230 oC. Daging dan serealia adalah dua contoh bahan pangan yang kaya akan lemak. Pembentukan senyawa 3-MCPD umumnya terjadi pada proses pengolahan pangan


(14)

11 seperti pemanggangan, penggorengan, maupun pembakaran. Senyawa 3-MCPD terkait erat dengan peristiwa karsinogenesis (Svejkovska et al., 2006).

Heterocyclic Amines

Proses pengolahan pangan kaya protein hewani pada kondisi normal dapat memicu terbentuknya senyawa mutagenik yang dikenal sebagai heterocyclic amines. Sekarang ini, sekitar dua puluh jenis senyawa heterocyclic amines telah teridentifikasi dengan baik. Beberapa senyawa heterocyclic amines juga telah terbukti bersifat karsinogenik melalui studi genetik jangka panjang. Dua jenis senyawa heterocyclic amines yang paling banyak ditemukan adalah 2-amino-3,8-dimethylimidazo[4,5-f]quinoxaline yang merupakan senyawa imidazoquinoline (IQ) dan 2-amino-1-metil-6-imidazo[4,5b]piridin yang juga dikenal sebagai senyawa imidazoquinoxaline. Imidazoquinoxaline atau PhIP umumnya diproduksi pada jumlah yang lebih tinggi (480 ng/g) dibandingkan imidazoquinoline atau MelQx (50 ng/g). Reaksi Maillard dianggap memiliki kaitan erat dengan produksi senyawa imidazoquinoline (IQ). Produk samping hasil reaksi Maillard yang dikenal sebagai degradasi Strecker, seperti pyrazines dan pyridines, diperkirakan bereaksi dengan senyawa karbonil dan amino sehingga membentuk senyawa heterocyclic amines. Produksi senyawa heterocyclic amines dapat dihambat melalui penambahan senyawa-senyawa aditif, seperti asam sulfit, nitrit atau asam sitrat. Produk pangan yang dimasak umumnya mengandung senyawa heterocyclic amines dalam jumlah yang sangat rendah dan bahkan tidak terdeteksi (Luning et al., 2006).

Acrylamide

Senyawa acrylamide, meskipun belum lama ditemukan, dinilai memiliki kaitan yang sangat erat dengan senyawa heterocyclic amines. Kehadiran senyawa acrylamide dalam produk pangan juga dinilai sebagai hasil dari reaksi Maillard. Sedikit berbeda dengan heterocyclic amines, senyawa acrylamide umumnya banyak diproduksi pada produk pangan yang kaya akan karbohidrat, seperti kentang dan serealia. Selain faktor endogen, proses pengolahan juga berperan dalam pembentukan senyawa acrylamide, seperti pemasakan, pemanggangan, dan penggorengan. Proses pengolahan pangan dengan perebusan dinilai akan menghasilkan senyawa acrylamide yang lebih rendah, karena air dapat menghambat pembentukan senyawa acrylamide. Proses penggorengan dan pemanggangan dinilai


(15)

12 akan menghasilkan senyawa acrylamide dalam jumlah yang cukup besar (Luning et al., 2006).

Good Manufacturing Practice

Selain SSOP, sistem HACCP juga memiliki persyaratan dasar lain yang harus dipenuhi, yaitu good manufacturing practice. Good manufacturing practice atau GMP dapat dikatakan sebagai salah satu pilar penopang sistem HACCP dalam menjamin praktek pencegahan terhadap kontaminasi yang menyebabkan produk menjadi tidak aman untuk dikonsumsi (Winarno dan Surono, 2002). Thaheer (2005) mendefinisikan GMP sebagai suatu pedoman cara memproduksi makanan yang bertujuan agar produsen memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan untuk menghasilkan produk makanan bermutu sesuai dengan tuntutan konsumen.

Setiap restoran maupun industri pangan harus memenuhi persyaratan GMP apabila ingin memperoleh izin mendirikan usaha. Penerapan GMP dilakukan sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.715/MENKES/SK/V/2003 tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Jasaboga. Penerapan GMP harus memenuhi lima persyaratan utama, yaitu persyaratan umum hygiene, persyaratan khusus golongan, persyaratan hygiene sanitasi makanan, persyaratan hygiene sanitasi pengolahan makanan, dan persyaratan hygiene sanitasi penyimpanan makanan.

Persyaratan Umum Hygiene

Persyaratan pertama adalah persyaratan hygiene secara umum. Persyaratan ini terdiri dari dua aspek utama, yaitu lokasi serta bangunan dan fasilitas.

Lokasi. Lokasi restoran adalah aspek persyaratan umum hygiene pertama. Jarak restoran harus terletak minimal 500 m dari sumber pencemaran, seperti tempat sampah umum, WC umum, bengkel cat, maupun sumber pencemaran lainnya. Jarak minimal 500 meter ditentukan secara pasti berdasarkan batas terbang lalat rumah.

Bangunan dan Fasilitas. Aspek ini memiliki 15 hal yang harus diperhatikan, yaitu halaman, konstruksi, lantai, dinding, langit-langit, pintu dan jendela, pencahayaan, ventilasi, ruang pengolahan makanan, fasilitas pencucian peralatan dan bahan makanan, tempat cuci tangan, air bersih, jamban dan peturasan, kamar mandi, serta tempat sampah.


(16)

13

a. Halaman

Halaman harus mempunyai papan nama perusahaan serta nomor Izin Usaha dan Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi. Halaman harus bersih, tidak banyak lalat dan tersedia tempat sampah yang memenuhi syarat hygiene sanitasi serta tidak terdapat tumpukan barang-barang yang dapat menjadi sarang tikus. Pembuangan air kotor (limbah dapur dan kamar mandi) tidak menimbulkan sarang serangga maupun jalan masuknya tikus dan dipelihara kebersihannya. Pembuangan air hujan lancar dan tidak menimbulkan genangan air.

b. Konstruksi

Bangunan restoran harus memenuhi persyaratan teknis konstruksi bangunan yang berlaku. Konstruksi, selain kuat, juga harus dalam keadaan bersih secara fisik dan bebas dari barang-barang sisa atau bekas yang ditempatkan sembarangan.

c. Lantai

Aspek selanjutnya adalah lantai. Permukaan lantai harus rapat air, halus, kelandaian cukup, tidak licin, dan mudah dibersihkan.

d. Dinding

Permukaan dinding sebelah dalam halus, kering / tidak menyerap air, dan mudah dibersihkan. Permukaan dinding yang mudah terkena percikan air harus dilapisi bahan kedap air berpermukaan halus hingga ketinggian 2 meter, tidak menahan debu, dan berwarna terang.

e. Langit – langit

Bidang langit-langit harus menutup atap bangunan. Permukaan langit-langit ruang pengolahan dan penyimpanan makanan serta ruang pencucian alat makanan maupun tempat cuci tangan harus dibuat dari bahan yang permukaannya rata dan mudah dibersihkan, tidak menyerap air, serta berwarna terang. Tinggi langit-langit tidak kurang dari 2,4 meter di atas lantai.

f. Pintu dan jendela

Pintu-pintu pada ruang pengolahan makanan harus membuka ke arah luar. Jendela, pintu, dan lubang ventilasi ruang pengolah makanan harus dilengkapi dengan kassa yang dapat dibuka dan dipasang. Semua pintu ruang pengolahan


(17)

14 makanan dibuat menutup sendiri atau dilengkapi peralatan anti lalat, seperti kassa, tirai pintu rangkap, dan lain-lain.

g. Pencahayaan

Intensitas pencahayaan harus cukup untuk dapat melakukan pemeriksaan, pembersihan, dan pekerjaan-pekerjaan lain secara efektif. Setiap ruangan pengolahan makanan dan tempat mencuci tangan harus memiliki intensitas pencahayaan minimal 10 fc (100 lux) pada titik 90 cm dari lantai. Pencahayaan tidak boleh menimbulkan silau dan harus sejauh mungkin menghindarkan bayangan.

h. Ventilasi

Ruangan pengolahan makanan harus dilengkapi dengan ventilasi yang dapat menjaga kenyamanan. Ventilasi (+ 20% dari luas lantai) harus dapat mencegah udara dalam ruangan tidak terlalu panas, mencegah terjadinya kondensasi uap air atau lemak pada lantai, dinding, serta langit-langit, dan membuang bau, asap, serta pencemar lain dari ruangan.

i. Ruang pengolahan makanan

Luas ruangan pengolahan makanan harus efisien dan memudahkan dalam proses pelaksanaan untuk menghindari kemungkinan kontaminasi makanan dan memudahkan pembersihan. Luas lantai dapur yang bebas dari peralatan minimal 2 m2 untuk setiap pekerja. Ruang pengolahan makanan tidak boleh berhubungan langsung dengan jamban, peturasan, dan kamar mandi. Kegiatan pengolahan makanan harus dilengkapi dengan meja kerja dan lemari tempat penyimpanan bahan makanan maupun makanan jadi yang terlindung dari gangguan tikus dan hewan lainnya.

j. Fasilitas pencucian peralatan dan bahan makanan

Proses pencucian peralatan harus menggunakan bahan pembersih atau deterjen. Proses pencucian bahan makanan yang tidak dimasak harus menggunakan larutan kalium permanganat 0,02% atau di dalam rendaman air mendidih selama beberapa detik. Peralatan dan bahan makanan yang telah dibersihkan harus disimpan dalam tempat yang terlindung dari kemungkinan pencemaran oleh tikus dan hewan lainnya.


(18)

15

k. Tempat cuci tangan

Tempat cuci tangan harus terpisah dengan tempat cuci peralatan maupun bahan makanan yang dilengkapi dengan air kran, saluran pembuangan tertutup, bak penampungan, sabun, dan pengering. Jumlah tempat cuci tangan harus disesuaikan dengan banyaknya pekerja, 1 tempat cuci tangan hanya boleh digunakan maksimal 10 orang. Tempat cuci tangan harus diletakkan sedekat mungkin dengan tempat bekerja.

l. Air bersih

Air bersih harus tersedia cukup untuk seluruh kegiatan penyelenggaraan restoran. Kualitas air bersih harus memenuhi standar baku mutu air bersih yang tertuang di dalam SNI 01-3553-1996.

m. Jamban dan peturasan

Restoran harus mempunyai jamban dan peturasan yang memenuhi syarat hygiene sanitasi. Jumlah jamban harus disesuaikan dengan jumlah pekerja, yaitu 1 – 10 orang: 1 buah; 11 - 25 orang: 2 buah; 26 - 50 orang: 3 buah, dan diikuti dengan penambahan 1 buah setiap penambahan 25 orang berikutnya. Jumlah peturasan juga harus mencukupi dan disesuaikan dengan jumlah karyawan yaitu: 1 - 30 orang: 1 buah; 31 - 60 orang: 2 buah, dan diikuti dengan penambahan 1 buah setiap penambahan 30 orang berikutnya.

n. Kamar mandi

Restoran harus dilengkapi kamar mandi dengan air kran mengalir dan saluran pembuangan air limbah yang memenuhi pedoman plumbing Indonesia. Jumlah kamar mandi harus mencukupi kebutuhan dan disesuaikan dengan jumlah pekerja, yaitu 1 buah untuk 1 – 10 orang dengan penambahan 1 buah untuk setiap 20 orang.

o. Tempat sampah

Tempat sampah, seperti kantong plastik, kertas, maupun bak sampah tertutup harus tersedia dalam jumlah yang cukup dan diletakkan sedekat mungkin dengan sumber produksi sampah, akan tetapi terhindar dari kemungkinan tercemarnya makanan oleh sampah. Penanggung jawab restoran harus memelihara semua bangunan dan fasilitas dengan baik untuk menghindari kemungkinan terjadinya


(19)

16 pencemaran terhadap makanan, akumulasi debu atau jasad renik, meningkatnya suhu, akumulasi sampah, serangga, tikus, dan genangan air.

Persyaratan Khusus Golongan

Persyaratan khusus golongan terdiri dari tiga aspek, yaitu restoran golongan A1, restoran golongan A2, dan restoran golongan A3.

Restoran Golongan A1. Golongan restoran ini melayani kebutuhan masyarakat umum dengan pengolahan produk menggunakan dapur rumah tangga dan dikelola oleh keluarga. Restoran golongan ini harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu :

 restoran harus memenuhi persyaratan umum,

 ruang pengolahan makanan tidak boleh dipakai sebagai ruang tidur,

 restoran harus menyediakan ventilasi yang dapat memasukkan udara segar apabila bangunan tidak mempunyai ventilasi alam yang cukup,

 pembuangan udara kotor atau asap tidak boleh menimbulkan gangguan terhadap lingkungan,

 restoran harus menyediakan tempat cuci tangan dengan permukaan yang halus dan mudah dibersihkan,

 restoran harus memiliki minimal 1 buah lemari es untuk menyimpan makanan yang mudah rusak.

Restoran Golongan A2. Golongan restoran ini melayani kebutuhan masyarakat umum dengan proses pengolahan yang menggunakan dapur rumah tangga dan mempekerjakan tenaga kerja. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh restoran golongan A2, yaitu :

 memenuhi persyaratan restoran golongan A1,

 ruang pengolahan makanan dan ruangan lain harus dipisahkan dengan dinding pemisah,

 pembuangan asap dari dapur harus dilengkapi dengan alat pembuangan asap yang membantu proses pengeluaran sehingga tidak mengotori ruangan,

 restoran harus memiliki minimal 1 buah lemari es untuk menyimpan makanan yang mudah rusak,


(20)

17

 bangunan harus dilengkapi dengan tempat penyimpanan dan ganti pakaian yang cukup dan ditempatkan sedemikian rupa sehingga mencegah kontaminasi terhadap makanan.

Restoran Golongan A3. Golongan restoran ini melayani kebutuhan masyarakat umum dengan proses pengolahan yang menggunakan dapur khusus dan mempekerjakan tenaga kerja. Persyaratan restoran golongan A3, yaitu :

 memenuhi persyaratan restoran golongan A2,

 ruang pengolahan makanan harus terpisah dari bangunan untuk tempat tinggal,

 pembuangan asap dari dapur harus dilengkapi dengan alat pembuangan asap dan cerobong asap,

 ruang pengolahan makanan harus terpisah secara jelas dengan ruang penyiapan makanan matang,

 restoran harus memiliki lemari penyimpanan dingin yang dapat mencapai suhu -5 oC dengan kapasitas yang cukup untuk melayani kegiatan sesuai dengan jenis bahan makanan yang digunakan,

 restoran harus memiliki kendaraan pengangkut makanan khusus dengan konstruksi tertutup dan hanya digunakan untuk mengangkut makanan matang,

 alat atau tempat angkut makanan harus tertutup sempurna, dibuat dari bahan kedap air, permukaan halus, dan mudah dibersihkan,

 setiap kotak wadah makanan sekali pakai harus dicantumkan nama perusahaan, nomor izin usaha, dan laik hygiene sanitasi,

 restoran yang menyajikan makanan tidak dengan kotak harus mencantumkan nama perusahaan, nomor izin usaha, dan laik hygiene sanitasi di tempat penyajian yang mudah diketahui umum.

Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan

Persyaratan hygiene sanitasi makanan terdiri dari tiga aspek, yaitu bahan makanan, makanan terolah, dan makanan jadi.

Bahan Makanan. Bahan makanan yang akan diolah, terutama daging, susu, telur, ikan atau udang, dan sayuran harus baik, segar, dan tidak rusak atau berubah bentuk, warna, dan rasa, serta berasal dari tempat resmi yang diawasi. Bahan terolah yang


(21)

18 dikemas, bahan tambahan, dan bahan penolong harus memenuhi persyaratan keputusan Menteri Kesehatan yang berlaku.

Makanan Terolah. Makanan yang dikemas harus mempunyai label dan merek, terdaftar dan mempunyai nomor daftar, memiliki kemasan yang utuh dan tidak cacat, belum kadaluarsa, dan penggunaan kemasan tidak dilakukan berulang. Makanan yang tidak dikemas harus baru dan segar, tidak mengandung bahan yang dilarang, dan tidak basi, busuk, rusak, atau berjamur.

Makanan Jadi. Makanan jadi tidak boleh rusak atau busuk yang ditandai dari perubahan rasa, warna, dan bau serta berlendir atau berjamur. Makanan harus memenuhi persyaratan bakteriologis berdasarkan ketentuan yang berlaku. Angka bakteri E. coli pada makanan dan minuman jadi harus 0/gram contoh makanan dan minuman. Jumlah kandungan logam berat residu pestisida pada makanan jadi tidak boleh melebihi ambang batas yang diperkenankan berdasarkan ketentuan yang berlaku.

Persyaratan Hygiene Sanitasi Pengolahan Makanan

Persyaratan hygiene sanitasi pengolahan makanan terdiri dari aspek karyawan pengolah makanan, peralatan yang kontak dengan makanan, dan cara pengolahan makanan.

Karyawan Pengolah Makanan. Karyawan pengolah makanan harus memiliki sertifikat hygiene sanitasi makanan, berbadan sehat yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, tidak mengidap penyakit menular, seperti thypus, kolera, TBC, dan lain-lain, serta memiliki buku pemeriksaan kesehatan yang berlaku.

Peralatan yang Kontak dengan Makanan. Peralatan yang kontak dengan makanan harus memiliki permukaan yang utuh dan mudah dibersihkan, memiliki lapisan permukaan yang tidak terlarut dalam asam, basa, atau garam-garam yang lazim dijumpai dalam makanan, tidak mengeluarkan logam berat beracun yang membahayakan, seperti timah hitam (Pb), arsenikum (As), tembaga (Cu), seng (Zn), cadmium (Cd), dan antimon (Stibium) apabila bersentuhan dengan makanan, memiliki wadah yang dapat menutup dengan sempurna, serta memiliki angka kebersihan yang ditentukan dengan angka kuman maksimal 100/cm3 permukaan dan tidak terdapat bakteri E. coli.


(22)

19

Cara Pengolahan Makanan. Semua kegiatan pengolahan makanan harus dilakukan dengan cara yang terlindung dari kontak langsung dengan tubuh. Perlindungan kontak langsung dengan makanan dilakukan dengan menggunakan sarung tangan plastik sekali pakai, penjepit makanan, dan sendok garpu. Perlindungan pencemaran terhadap makanan dilakukan dengan menggunakan celemek (apron), tutup rambut (hair net), dan sepatu dapur. Perilaku karyawan yang harus dipatuhi selama bekerja, yaitu tidak merokok, tidak makan atau mengunyah, tidak memakai perhiasan kecuali cincin nikah polos, tidak menggunakan peralatan dan fasilitas yang tidak diperlukan, selalu mencuci tangan sebelum bekerja dan setelah keluar dari kamar kecil, selalu memakai pakaian kerja dan pakaian pelindung dengan benar, selalu memakai pakaian kerja yang bersih, dan tidak diperkenankan memakai pakaian kerja selain di tempat kerja.

Persyaratan Hygiene Sanitasi Penyimpanan Makanan

Persyaratan hygiene sanitasi penyimpanan makanan terdiri dari empat aspek, yaitu penyimpanan bahan mentah, penyimpanan makanan terolah, penyimpanan makanan jadi, dan cara penyimpanan makanan.

Penyimpanan Bahan Mentah. Standar penyimpanan bahan mentah dapat dilihat pada Tabel 3. Ketebalan dan bahan padat tidak lebih dari 10 cm. Kelembaban dalam ruang penyimpanan harus berkisar antara 80% – 90%.

Tabel 3. Standar Suhu Penyimpanan Bahan Mentah

Jenis Bahan Makanan Lama Penyimpanan

3 hari atau kurang 1 minggu atau kurang 1 minggu atau lebih o

C oC oC

Daging, ikan, udang, dan

olahannya (-5) - 0 (-10) - (-5) > -10

Telur, susu, dan olahannya 5 - 7 (-5) – 0 > -5 Sayur, buah, dan minuman 10 10 10 Tepung dan biji 25 25 25 Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.715 Thn 2003


(23)

20

Penyimpanan Makanan Terolah. Makanan kemasan tertutup sebaiknya disimpan dalam suhu sekitar 10 oC.

Penyimpanan Makanan Jadi. Makanan jadi atau makanan matang harus terlindung dari debu, bahan kimia berbahaya, serangga, dan hewan. Makanan dengan masa kadaluarsa yang singkat harus disimpan dalam suhu 65,5 oC atau lebih atau disimpan dalam suhu 4 oC atau kurang. Makanan dengan masa kadaluarsa singkat yang ingin digunakan dalam waktu lama (lebih dari 6 jam) harus disimpan dalam suhu -5 oC sampai -1 oC.

Cara Penyimpanan Makanan. Cara penyimpanan makanan yang baik, yaitu tidak tercampur antara produk matang dengan bahan mentah serta tidak menempel pada lantai, dinding, atau langit-langit dengan ketentuan 15 cm untuk jarak makanan dengan lantai, 5 cm untuk jarak makanan dengan dinding, dan 60 cm untuk jarak makanan dengan langit-langit.

Sanitation Standard Operating Procedure

Sanitasi pangan, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 tentang Pangan (Kementerian Negara Sekretaris Negara, 1996), didefinisikan sebagai suatu upaya pencegahan terhadap kemungkinan bertumbuh dan berkembangbiaknya jasad renik atau mikroorganisme pembusuk dan patogen dalam pangan, minuman, peralatan, dan bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan manusia. Sanitasi sangat diperlukan dalam proses produksi pangan guna menjamin produk yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi dan tidak menyebabkan keracunan yang dapat membahayakan kesehatan manusia (foodborne illness). Faktor-faktor yang dapat menjadi sumber kontaminan, antara lain air, bahan baku produksi, peralatan, pekerja, dan ruang pengolahan. Pentingnya sanitasi dalam proses produksi pangan menyebabkan diperlukannya suatu prosedur yang memperhatikan mekanisme sanitasi produk di dalam pelaksanaannya (Winarno dan Surono, 2002).

Sanitation standard operating procedure atau yang lebih dikenal dengan SSOP merupakan prosedur operasi standar sanitasi yang umumnya dilakukan oleh perusahaan yang bergerak dalam bidang pengolahan pangan. Menurut Mortimore dan Wallace (2001), SSOP merupakan suatu komponen program persyaratan teknis


(24)

21 dasar (pre-requisite programme) yang harus dipenuhi apabila suatu unit usaha akan memulai suatu proses produksi dan berencana untuk menerapkan HACCP.

Winarno dan Surono (2002) menyatakan bahwa penerapan SSOP memiliki tujuan agar setiap karyawan, baik karyawan teknis maupun non teknis, dapat :

1. mengerti bahwa program kebersihan dan sanitasi akan meningkatkan kualitas, sehingga tingkat keamanan produk akan meningkat seiring dengan menurunnya kontaminasi mikroorganisme;

2. mengetahui adanya peraturan GMP yang mengharuskan digunakannya zat-zat tertentu yang dianggap aman dan efektif bagi program sanitasi dan hygiene; 3. mengetahui tahapan-tahapan dalam program hygiene dan sanitasi;

4. mengetahui persyaratan minimum penggunaan sanitasi dengan klorin pada air pendingin, khususnya pada industri pengolahan makanan;

5. mengetahui adanya faktor-faktor, seperti suhu, pH, dan konsentrasi desinfektan yang mempengaruhi hasil akhir suatu proses sanitasi;

6. mengetahui masalah potensial yang mungkin timbul apabila sanitasi tidak dijalankan dengan cukup.

Prosedur penerapan SSOP mencakup beberapa hal, yaitu kebijakan perusahaan, tahapan kegiatan, nama petugas, cara pemantauan, dan cara dokumentasi sebagai pertimbangan dalam melakukan inspeksi. Faktor penting yang harus diperhatikan dan dipenuhi dalam penyusunan SSOP, yaitu keamanan air; kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan; pecegahan kontaminasi silang; pemeliharaan fasilitas kebersihan (fasilitas cuci dan sanitizer tangan serta toilet); pencegahan terhadap pencemaran (adulterasi); pelabelan (labelisasi), penyimpanan, dan penggunaan senyawa berbahaya; kesehatan pekerja; dan pengendalian hama (Winarno dan Surono, 2002).

Keamanan Air

Aspek pertama dari delapan kunci SSOP adalah keamanan air. Aspek keamanan air yang harus diperhatikan, yaitu suplai air bersih untuk air yang kontak dengan bahan makanan maupun air yang kontak dengan permukaan yang kontak dengan bahan makanan serta tidak ada kontaminasi silang antara air yang dapat diminum dengan yang tidak dapat diminum.


(25)

22

Kebersihan Permukaan yang Kontak dengan Bahan Pangan

Permukaan yang kontak langsung dengan bahan pangan harus mudah dibersihkan, tidak bereaksi, tahan karat, tidak menyerap, dan tidak mengandung toksik. Proses pencucian permukaan yang kontak dengan bahan makanan harus menggunakan bahan pembersih atau deterjen.

Pencegahan Kontaminasi Silang

Kontaminasi silang umumnya disebabkan oleh human eror. Proses pencegahan kontaminasi silang dapat dilakukan melalui pemisahan antara bahan mentah dan produk matang, perlindungan terhadap produk selama pengolahan dan penyimpanan, serta pelaksanaan proses sanitasi ruangan dan peralatan pengolahan makanan yang baik dan benar.

Fasilitas Kebersihan

Salah satu aspek penting dalam mewujudkan sanitasi pangan adalah kebersihan. Restoran harus menjamin ketersediaan, kelengkapan, dan kondisi fasilitas kebersihan yang dimiliki, yaitu fasilitas cuci tangan, sanitizer, serta toilet.

Pencegahan Adulterasi

Aspek kelima adalah pencegahan adulterasi. Kegiatan pencegahan terhadap pencemaran dilakukan untuk menjamin produk pangan, bahan pangan, maupun permukaan yang kontak dengan bahan pangan terhindar dari cemaran fisik, kimia, dan biologi termasuk pelumas, pestisida, senyawa pembersih, bahan bakar, sanitizer, serta cipratan dari lantai.

Pelabelan dan Penyimpanan Senyawa Berbahaya

Aspek keenam adalah pelabelan dan penyimpanan senyawa berbahaya. Proses pelabelan, penyimpanan, dan penggunaan senyawa berbahaya mencakup jenis dan tata cara pelabelan, prosedur penggunaan, serta metode penyimpanan bahan-bahan kimia yang digunakan, baik pada proses produksi, desinfeksi, pembersihan, dan lain-lain.

Kesehatan Pekerja

Aspek selanjutnya adalah kesehatan pekerja. Restoran harus melakukan kegiatan pemantauan dan pengelolaan kesehatan pekerja secara rutin guna mencegah


(26)

23 terjadinya kontaminasi pada produk pangan, bahan pangan, kemasan, maupun peralatan pengolahan pangan oleh pekerja yang tidak sehat.

Pengendalian Hama

Kegiatan pengendalian hama dilakukan untuk menjamin dan menghindarkan unit pengolahan pangan dari intervensi hama. Kegiatan pengendalian hama mencakup prosedur pencegahan, pemusnahan, dan penggunaan bahan kimia pembasmi hama (Winarno dan Surono, 2002).

Hazard Analysis and Critical Control Point

Departemen Kesehatan Republik Indonesia mendefinisikan keamanan pangan sebagai suatu kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, serta membahayakan kesehatan manusia (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1998). Keamanan pangan merupakan faktor yang sangat diperhatikan oleh masyarakat dunia saat ini. Masyarakat dunia menginginkan agar makanan yang dikonsumsinya terbebas dari segala bentuk kontaminan. Keadaan inilah yang menyebabkan, baik industri pengolahan pangan maupun restoran, harus menerapkan suatu sistem pengendalian mutu dalam proses produksi yang dilakukannya guna menghasilkan produk pangan yang aman untuk dikonsumsi (Brown, 2000).

Hazard analysis and critical control point (HACCP) adalah suatu sistem jaminan mutu pangan yang diterapkan dalam proses produksi oleh industri pangan maupun restoran dan difokuskan terhadap bahaya yang mungkin timbul pada setiap tahapan produksi. HACCP merupakan alat yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi bahaya serta menetapkan sistem pengendalian bahaya yang diarahkan pada tindakan pencegahan untuk meminimalkan bahaya keamanan pangan yang mungkin terjadi sebelum, selama, dan sesudah proses pengolahan pangan daripada mengandalkan sebagian besar pengujian produk akhir (Badan Standarisasi Nasional, 1998). Penerapan sistem HACCP dalam proses produksi bertujuan untuk menghasilkan produk pangan yang ASUH (aman, sehat, utuh, dan halal). Prosedur penerapan sistem HACCP tertuang secara lengkap di dalam dokumen HACCP plan. HACCP plan merupakan dokumen yang dibuat


(27)

24 berdasarkan prinsip HACCP untuk menjamin keamanan pangan pada rantai pangan yang dipertimbangkan (Badan Standarisasi Nasional, 1998).

Sistem HACCP diperkenalkan pertama kali di USA oleh perusahaan Pillsbury yang bekerja sama dengan NASA dan laboratorium Research and Development USA Army Natick pada awal tahun 1960. Sistem HACCP diaplikasi oleh NASA dan USA Army Natick dalam upaya menciptakan bahan pangan yang terbebas dari berbagai jenis kontaminasi, baik mikroorganisme patogen, bakteri, maupun virus yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan bagi para astronot yang akan bertugas di luar angkasa. Sederetan hasil penelitian dan evaluasi yang dilakukan oleh NASA dan USA Army Natick menunjukkan bahwa cara terbaik untuk memperoleh bahan pangan yang terbebas dari kontaminasi adalah dengan melakukan tindakan pengendalian mutu sedini mungkin pada saat proses produksi dilakukan. Hasil evaluasi tersebut kemudian melandasi penemuan 7 prinsip utama sistem HACCP yang dipublikasikan oleh Codex Alimentarius Commission serta mendapat rekomendasi dari Food and Agriculture Organization dan National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods (Takenaka, 2005; Mortimore dan Wallace, 2001). Badan Standardisasi Nasional Indonesia kemudian mengadopsi prosedur penerapan sistem HACCP yang dikembangkan oleh CAC dan mencantumkannya di dalam SNI 01-4852-1998.

Badan Standarisasi Nasional (1998) dalam SNI 01-4852-1998 juga menyatakan bahwa penerapan sistem HACCP pada industri pangan dan restoran memiliki tujuan umum dan khusus. Tujuan umum penerapan sistem HACCP adalah meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara mencegah atau mengurangi kasus keracunan dan penyakit melalui pangan. Tujuan khusus penerapan sistem HACCP, yaitu mengevaluasi cara memproduksi pangan untuk mengetahui bahaya yang mungkin timbul dari makanan, memperbaiki cara memproduksi pangan dengan memberi perhatian khusus terhadap tahap-tahap proses yang dianggap kritis, memantau dan mengevaluasi cara-cara penanganan, pengolahan, serta penerapan sanitasi dalam memproduksi pangan, dan meningkatkan inspeksi mandiri terhadap industri pangan oleh operator dan karyawan.

Sistem HACCP sangat bermanfaat bagi industri pangan maupun restoran yang menerapkannya. Keuntungan penerapan sistem HACCP bagi pihak terkait,


(28)

25 antara lain meningkatkan jaminan keamanan produk pangan hasil produksi, memperbaiki fungsi pengendalian, memperkenalkan pendekatan jaminan mutu yang bersifat preventif, mencegah pemborosan biaya atau kerugian yang mungkin timbul karena masalah keamanan produk pangan, meningkatkan kepercayaan dan kepuasan konsumen, mengurangi resiko komplain dari konsumen, serta dapat menjadi alat promosi dagang yang memiliki daya saing kompetitif (Badan Standarisasi Nasional, 1998). Sistem HACCP hanya dapat diterapkan dalam proses produksi apabila perusahaan atau restoran yang bersangkutan telah memenuhi dua tahapan pendahulu, yaitu persyaratan dasar HACCP (GMP dan SSOP) serta proses validasi HACCP plan (Mortimore dan Wallace, 2001). Penerapan sistem HACCP umumnya didasarkan pada 7 prinsip dan tertuang di dalam 12 langkah penerapan sistem HACCP (Badan Standarisasi Nasional, 1998). Langkah-langkah penerapan sistem HACCP yang dikembangkan oleh CAC dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Langkah-Langkah Penerapan Sistem HACCP dalam Industri Pangan

No. Kegiatan Keterangan

1 Pembentukan tim HACCP Langkah pendahuluan pertama 2 Penyusunan deskripsi produk Langkah pendahuluan kedua 3 Penyusunan deskripsi tujuan penggunaan produk

pangan

Langkah pendahuluan ketiga 4 Penyusunan diagram alir proses produksi secara

lengkap

Langkah pendahuluan keempat

5 Verifikasi diagram alir proses produksi di lapangan Langkah pendahuluan kelima 6 Identifikasi atau analisis bahaya pada setiap tahapan

proses produksi

Prinsip HACCP pertama 7 Penetapan titik kendali kritis (critical control point) Prinsip HACCP kedua 8 Penetapan batas kritis untuk setiap CCP Prinsip HACCP ketiga 9 Penetapan prosedur pemantauan (monitoring) untuk

setiap CCP

Prinsip HACCP keempat 10 Penetapan tindakan koreksi apabila terjadi

penyimpangan terhadap batas kritis

Prinsip HACCP kelima 11 Penetapan prosedur verifikasi sistem HACCP Prinsip HACCP keenam 12 Penetapan prosedur pencatatan (dokumentasi) dan

penyimpanan dokumen hasil pencatatan

Prinsip HACCP ketujuh


(29)

26

Pembentukan Tim HACCP

Langkah pertama dalam penerapan sistem HACCP adalah pembentukan tim HACCP. Pembentukan organisasi tim HACCP, sesuai dengan persyaratan SNI 01-4852-1998, perlu melibatkan semua komponen dalam industri yang terlibat dalam proses produksi, seperti divisi produksi, divisi pengendalian mutu (QA dan QC), divisi pembelian dan gudang, serta divisi pemeliharaan (maintenance). Tim HACCP juga sebaiknya terdiri atas personal dengan latar belakang disiplin ilmu yang beragam serta berkaitan dengan produk dan prosesnya (Badan Standarisasi Nasional, 1998).

Pembentukan tim HACCP hendaknya disusun berdasarkan struktur organisasi yang sudah ada dalam badan usaha pemilik restoran terkait, sehingga legalitas dari tim HACCP tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Tim HACCP harus dipimpin oleh seorang ketua yang berada langsung di bawah pimpinan tertinggi suatu badan usaha. Pimpinan tertinggi kemudian akan memberikan mandat kepada ketua tim HACCP untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya (Sudibyo, 2008).

Ketua tim HACCP harus merupakan personal yang sangat memahami konsep HACCP dan sudah mempunyai pengalaman dalam penerapan sistem HACCP. Anggota tim HACCP juga harus multidisiplin atau multidepartemen serta telah memperoleh pelatihan HACCP yang mencukupi. Pelatihan dan pembekalan tentang HACCP sangat diperlukan, baik oleh ketua maupun anggota tim HACCP, sebelum melaksanakan tugas dan tanggung jawab masing-masing. Pelatihan yang umumnya diberikan kepada personal tim HACCP, yaitu pengantar sistem pengendalian keamanan pangan, GMP, pengenalan dan implementasi sistem HACCP, dokumentasi GMP dan sistem HACCP, serta workshop penyusunan HACCP plan (Sudibyo, 2008). Setiap personal di dalam tim HACCP, baik ketua maupun anggota, memiliki tugas dan kewajiban masing-masing. Uraian tugas dan kewajiban dari ketua dan anggota tim HACCP dapat dilihat pada Tabel 5.

Deskripsi Produk

Langkah kedua dari 12 langkah penerapan HACCP adalah deskripsi produk. Deskripsi produk dilakukan setelah terlebih dahulu dilakukan penentuan jenis produk yang kemudian akan diimplementasi dengan sistem HACCP. Deskripsi produk dilakukan untuk mengetahui nama dagang, komposisi utama, kategori proses, cara


(30)

27 penyajian atau penggunaan, pengemasan, cara distribusi, masa kadaluarsa, kondisi penyimpanan, pelabelan, penjualan, dan target konsumen dari suatu produk (Thaheer, 2005).

Tabel 5. Daftar Uraian Tugas dan Kewajiban Tim HACCP

No. Jabatan Keterangan

1 Ketua Tim HACCP 1. Menyiapkan, membuat, dan mengesahkan dokumen manual HACCP.

2. Menjamin dan bertanggung jawab penuh atas penerapan sistem HACCP di dalam organisasi secara menyeluruh.

3. Memberikan program pelatihan kepada semua karyawan. 4. Melakukan verifikasi / audit secara berkala terhadap sistem

HACCP dan tindakan perbaikan serta perubahan yang diperlukan.

5. Mengadakan dan memimpin rapat Tim HACCP secara berkala. 6. Melakukan dan menjaga hubungan dengan pihak konsultan

HACCP dan LSSM HACCP. 2 Wakil Ketua Tim

HACCP

1. Membantu Ketua Tim HACCP dalam menjalankan tugas penerapan sistem HACCP.

2. Menjalankan tugas dan fungsi ketua apabila yang bersangkutan berhalangan.

3. Membantu ketua tim dalam program pelatihan sistem HACCP kepada karyawan perusahaan.

4. Memberikan program pelatihan kepada karyawan harian terhadap penerapan sistem HACCP.

5. Memberikan kritik dan saran perbaikan sistem HACCP kepada ketua tim untuk meningkatkan mutu dari sistem HACCP yang diterapkan.

6. Membantu Ketua Tim HACCP dalam program pelatihan, penerapan, dan perbaikan sistem HACCP di dalam perusahaan atau restoran.

3 Sekretaris Tim HACCP 1. Menyiapkan dan membuat dokumen manual HACCP.

2. Mengendalikan dan mendistribusikan dokumen HACCP serta menjamin bahwa setiap unit menerima dokumen HACCP yang benar dan terbaru.

3. Menyimpan semua rekaman dokumen, catatan, dan data-data yang berkaitan dengan dokumen HACCP dengan baik dan rapi. 4. Melakukan revisi terhadap dokumen sesuai dengan perubahan

yang telah ditetapkan dan mendistribusikan dokumen yang baru serta menarik dokumen yang lama.

5. Memusnahkan dokumen yang sudah tidak terpakai atau yang sudah melewati masa simpan dokumen.

4 Anggota Tim HACCP 1. Membantu persiapan dan pembuatan dokumen manual sistem HACCP.

2. Memberikan kritik dan saran perbaikan sistem HACCP kepada ketua tim untuk meningkatkan mutu dari sistem HACCP yang diterapkan.

3. Menjadi fungsi kontrol dalam pelaksanaan sistem HACCP di dalam lingkungan unit masing-masing.


(31)

28

Identifikasi Rencana Penggunaan Produk

Langkah ketiga dari dua belas langkah penerapan HACCP adalah identifikasi rencana atau tujuan penggunaan produk. Identifikasi rencana penggunaan produk dilakukan setelah terlebih dahulu dilakukan deskripsi produk. Identifikasi rencana atau tujuan penggunaan produk perlu dilakukan karena setiap produk memiliki tingkat resiko yang berbeda-beda terhadap konsumen. Identifikasi penggunaan produk bertujuan untuk menginformasikan apakah produk tersebut dapat dikonsumsi oleh semua populasi atau hanya oleh populasi tertentu saja (Thaheer, 2005).

Penyusunan dan Verifikasi Diagram Alir Produk

Langkah keempat dan kelima adalah penyusunan dan verifikasi diagram alir produk. Penyusunan dan verifikasi diagram alir merupakan langkah penting dalam menyusun sebuah HACCP plan. Penyusunan diagram alir dapat dilakukan setelah terlebih dahulu dilakukan identifikasi rencana penggunaan produk oleh tim HACCP. Penyusunan diagram alir penting untuk dilakukan guna mengetahui tahapan proses yang terjadi, mengetahui dan merumuskan permasalahan yang terjadi, menentukan titik kendali kritis (CCP), menentukan batas kritis, dan menentukan tindakan pengendalian terhadap masalah (Badan Standarisasi Nasional, 1998). Diagram alir yang telah disusun kemudian diverifikasi untuk dilihat kesesuaiannya dengan pelaksanaan di lapangan.

Identifikasi atau Analisis Bahaya

Analisis bahaya merupakan prinsip pertama dari tujuh prinsip HACCP yang tertuang di dalam dua belas langkah penerapan sistem HACCP. Analisis bahaya dilakukan untuk mengidentifikasi potensi-potensi bahaya termasuk penyebabnya serta menentukan peluang kejadian atau resiko (risk) dan tingkat keparahan (severity) pada setiap tahapan proses (Brown, 2000). Proses identifikasi bahaya pada makanan merupakan langkah pertama yang harus dilakukan guna menghasilkan produk pangan yang aman, sehat, utuh, dan halal (Badan Standarisasi Nasional, 1998).

Badan Standarisasi Nasional (1998) mendefinisikan bahaya (hazard) sebagai unsur biologi, kimia, dan fisik dalam pangan atau kondisi dari pangan yang berpotensi menyebabkan dampak buruk pada kesehatan. Mortimore dan Wallace (2001) menambahkan definisi bahaya (hazard) adalah perangkat biologis, kimiawi,


(32)

29 dan fisik yang dapat menyebabkan pangan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi manusia dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia. Bahaya (hazard) dapat dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan jenis pencemarnya, yaitu bahaya fisik, kimia, dan biologi.

Brown (2000) menyatakan bahwa bahaya biologi sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme, seperti virus, bakteri, dan patogen. International Commission of Microbiological Specifications for Food (1992) membagi bahaya biologi menjadi tiga kelompok berdasarkan tingkat resiko bahayanya. Kelompok bahaya I adalah kelompok dengan bahaya besar, kelompok bahaya II adalah kelompok dengan bahaya sedang dan tingkat penyebaran yang luas, sedangkan kelompok bahaya III adalah kelompok dengan bahaya sedang dan tingkat penyebaran yang terbatas. Data sumber bahaya biologis dan pengelompokkannya dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Data Sumber Bahaya Biologis pada Pangan

Kelompok I (Bahaya Tinggi)

Kelompok II (Bahaya Sedang, Penyebaran

Luas)

Kelompok III (Bahaya Sedang, Penyebaran

Terbatas)

Clostridium botulinum

(tipe A, B, E, dan F)

Listeria monocytogenes Bacillus cereus

Shigella dysenteriae Salmonella sp. Campylobacter jejuni

Salmonella typhii Salmonella paratyphy A Salmonella paratyphy B

Shigella sp. Clostridium perfringens

Virus hepatitis A Virus hepatitis B

Enterovirulent Escherichia coli

(EEC)

Staphylococcus aureus Brucella abortus

Brucella suis

Streptococcus pyrogenes Vibrio cholerae non O1

Vibrio cholerae O1 Rotavirus Vibrioparahaemolyticus

Vibrio vulnivicus Norwalk virus grup Yersinia enterocolotica

Taenia solium Entamoeba histolytica Giardia lamblia

Trichinella spiralis Diphyllobothrium latum Taenia saginata

Ascaris lumbricoides Cryptosporodium parvum

Sumber : International Commission of Microbiological Specifications for Food (1992)

Bahaya kimia pada pangan juga dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu bahan kimia yang terdapat secara alami di dalam pangan dan bahan kimia yang ditambahkan ke dalam pangan, baik dengan sengaja maupun tidak sengaja. Bahan


(33)

30 kimia yang terbentuk secara alami pada bahan pangan berasal dari bahan pangan itu sendiri. Berbeda dengan bahan kimia alami, bahan kimia yang ditambahkan ke dalam bahan pangan, baik dengan sengaja maupun tidak sengaja, berasal dari luar bahan pangan. Bahan kimia yang tidak sengaja ditambahkan umumnya berasal dari residu bahan kimia yang sengaja ditambahkan untuk keperluan produksi, bahan mentah yang pada saat penanganan terus terbawa hingga terkonsumsi, bahan pangan (sedikit atau banyak) akibat perlakuan selama proses produksi, pengolahan dan pengemasan, sisa pestisida dan herbisida, pupuk kimia, antibiotik, dan logam berat. Bahan kimia yang dengan sengaja ditambahkan dapat berasal dari bahan tambahan pangan (BTP), seperti bahan pengawet, antioksidan, pewarna, pengemulsi dan penstabil, penguat rasa, humektan, pewangi, pengasam, pemanis, penambah nilai gizi, dan lain-lain (Cliver, 1992). Data sumber bahaya kimia dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Data Sumber Bahaya Kimia pada Pangan

Sumber Bahan Kimia Jenis Bahan Kimia Berbahaya

Terbentuk secara alami  Mikotoksin

 Skrombotoksin (histamin)

 Ciguatoksin

 Toksin jamur

 Toksin kerang : toksin paralitik (PSP), toksin diare (DSP), neurotoksin (NSP), toksin amnesik (ASP)

 Alkaloid pirolizidin

 Fitohemaglutinin

 PCB (polychlorinated biphenyl) Ditambahkan secara sengaja

atau tidak sengaja

 Bahan kimia pertanian : pestisida, fungisida, pupuk, insektisida, antibiotik, hormon pertumbuhan

 Logam-logam berbahaya (Pb, Zn, As, Hg, sianida)

 Bahan tambahan pangan (BTP) : pengawet (nitrit dan sulfit), penambah cita rasa (MSG), penambah gizi (niasin), bahan pewarna (amaranth, methanyl yellow, dll), pemanis

 Bahan bangunan dan sanitasi : lubrikan, pembersih, sanitaizer, pelapis cat, dll

Sumber : Cliver (1992)

Bahaya fisik didefinisikan sebagai benda asing berbentuk fisik yang secara normal tidak terdapat dalam pangan dan dapat menimbulkan penyakit (termasuk trauma psikologis) atau luka terhadap individu (Corlett, 1992). Sumber bahaya fisik dapat berasal dari peralatan, material gedung, rambut, kotoran, kelupasan cat, karat, debu, dan kertas (Pierson dan Corlett, 1992). Berbeda dengan bahaya kimia dan


(34)

31 biologi, bahaya fisik sangat mudah dikenali dan dihindari oleh konsumen (Thaheer, 2005). Data sumber bahaya fisik dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Data Sumber Bahaya Fisik pada Pangan

Material Bahaya Potensial Sumber

Gelas Terpotong, berdarah, luka, dan mungkin memerlukan operasi untuk

menghilangkannya

Botol, wadah, lampu, peralatan pengolahan

Kayu Terpotong, infeksi, tercekik, dan mungkin memerlukan operasi untuk

menghilangkannya

Pallet, boks, gedung, pohon / ranting

Batu / kerikil Tercekik dan gigi patah Lapangan dan gedung Logam Terpotong, infeksi, dan mungkin perlu

operasi untuk menghilangkannya

Mesin pengolahan lapangan, kawat, dan pekerja

Serangga dan kotorannya

Penyakit, tercekik, dan trauma psikologis Lapangan, peralatan yang sudah lama tidak digunakan, dan gudang

Bahan insulasi Tercekik Penggunaan asbes dalam waktu

lama dan material bangunan Potongan tulang Tercekik dan trauma Lapangan dan proses

pengolahan (pemisahan tulang) yang tidak benar

Plastik Tercekik, terpotong, infeksi, dan mungkin memerlukan operasi untuk

menghilangkannya

Lapangan, bahan pengemas, pallet, dan pekerja

Bagian tubuh (kuku, rambut, bulu, dan lain-lain)

Tercekik, terpotong, gigi patah, dan mungkin memerlukan operasi untuk menghilangkannya

Pekerja / karyawan

Sisik dan kulit Tercekik Pembersihan sisik ikan dan

pengulitan hewan secara tidak benar

Sumber : Corlett (1992)

Produk pangan sangat mudah terkontaminasi oleh bahaya biologi, fisik, maupun kimia. Karakteristik resiko kontaminasi bahaya yang dimiliki setiap produk pangan berbeda-beda. Produk pangan dapat dikelompokkan menjadi enam berdasarkan karakteristik resiko bahaya yang dimilikinya, yaitu bahaya A, B, C, D, E, dan F (National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods, 1990). Data pengelompokkan produk pangan berdasarkan karakteristik resiko yang dimiliki berikut penjelasannya dapat dilihat pada Tabel 9.

Produk pangan juga dapat dikelompokkan berdasarkan tingkat resiko terhadap bahaya yang dimilikinya. Produk pangan dapat dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan tingkat resiko terhadap bahayanya, yaitu produk pangan beresiko tinggi, sedang, dan rendah (Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, 2007).


(35)

32 Data pengelompokkan produk pangan berdasarkan tingkat resiko bahaya berikut penjelasannya dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 9. Data Kelompok Bahaya pada Produk Pangan Berdasarkan Karakteristik Resiko

Kelompok Bahaya Karakteristik Bahaya

Bahaya A Kelompok produk pangan yang tidak steril dan dibuat untuk dikonsumsi kelompok tertentu (lansia, bayi, dan immunocompromised).

Bahaya B Produk mengandung bahan (ingridient) yang sensitif terhadap bahaya biologi, fisik, maupun kimia.

Bahaya C Proses tidak memiliki tahap pengolahan yang terkendali dan secara efektif membunuh mikroba berbahaya atau menghilangkan bahaya kimia atau fisik. Bahaya D Produk kemungkinan mengalami rekontaminasi setelah pengolahan sebelum

pengemasan.

Bahaya E Kemungkinan terdapat potensi terjadinya kesalahan penanganan selama distribusi atau oleh konsumen yang menyebabkan produk menjadi berbahaya untuk dikonsumsi.

Bahaya F Tidak ada tahap pemanasan akhir setelah pengemasan atau di tangan konsumen atau tidak ada pemanasan akhir atau tahap pemusnahan mikroba setelah pengemasan sebelum memasuki pabrik (untuk bahan baku) atau tidak ada cara apapun bagi konsumen untuk mendeteksi, menghilangkan, atau menghancurkan bahaya.

Sumber : National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods (1990)

Tabel 10. Data Kelompok Produk Pangan Berdasarkan Tingkat Resiko Bahaya

Produk-produk kategori I (resiko tinggi)

I Produk-produk yang mengandung ikan, telur, sayur, serealia, dan / atau berkomposisi susu yang perlu direfrigerasi.

II Daging segar, ikan mentah, dan produk-produk olahan susu.

III Produk-produk dengan nilai pH 4,6 atau lebih yang disterilisasi dalam wadah yang ditutup secara hemetis.

Produk-produk kategori II (resiko sedang)

I Produk-produk kering atau beku yang mengandung ikan, daging, telur, sayuran atau serealia atau yang berkomposisi / penggantinya, dan produk lain yang tidak termasuk dalam regulasi hygiene pangan.

II Sandwich dan kue pie daging untuk konsumsi segar.

III Produk-produk berbasis lemak, misalnya coklat, margarin, spreads, mayones, dan

dressing.

Produk-produk kategori III (resiko rendah)

I Produk asam (nilai pH < 4,6), seperti acar, buah-buahan, konsentrat buah, sari buah, dan minuman asam.

II Sayuran mentah yang tidak diolah dan tidak dikemas. III Selai, marinade, dan conserves.

IV Produk konfeksionari berbasis gula. V Minyak dan lemak makan.


(36)

33 Kegiatan identifikasi atau analisis bahaya dilakukan melalui penentuan kategori resiko dan tingkat signifikansi bahaya pada setiap tahapan proses yang dapat dilihat pada Tabel 11 dan 12. Proses penentuan kategori resiko dilakukan berdasarkan karakteristik resiko bahaya dari suatu produk (Pierson dan Corlett, 1992). Berbeda dengan proses penentuan kategori resiko, proses penentuan signifikansi bahaya dilakukan dengan dua tahap, yaitu penentuan tingkat peluang atau resiko terjadinya bahaya (risk) dan penentuan tingkat keparahan atau keakutan dari bahaya (severity) (Thaheer, 2005).

Tabel 11. Tabel Penentuan Kategori Resiko Berdasarkan Karakteristik Bahaya

Karakteristik Bahaya

Kategori

Resiko Jenis Bahaya

0 0 Tidak mengandung bahaya A sampai F (+) I Mengandung 1 bahaya B sampai F (++) II Mengandung 2 bahaya B sampai F (+++) III Mengandung 3 bahaya B sampai F (++++) IV Mengandung 4 bahaya B sampai F (+++++) V Mengandung 5 bahaya B sampai F A+ (kategori khusus)

dengan atau tanpa bahaya B – F

VI Kategori resiko paling tinggi (semua produk yang mempunyai bahaya A)

Sumber : Pierson dan Corlett (1992)

Tabel 12. Tabel Penentuan Tingkat Signifikansi Bahaya

Tingkat Keparahan (Severity)

Rendah Sedang Tinggi

Peluang Kejadian

Rendah Tidak signifikan Tidak signifikan Signifikan Sedang Tidak signifikan Signifikan Sangat signifikan

Tinggi Signifikan Sangat signifikan Sangat signifikan Sumber : Thaheer (2005)

Penetapan Titik Kendali Kritis

Langkah ketujuh yang sekaligus merupakan prinsip HACCP kedua adalah penetapan titik kendali kritis. Codex Alimentarius Commission (1997) mendefinisikan titik kendali kritis (CCP) sebagai suatu titik lokasi atau tahapan atau


(37)

34 prosedur yang memerlukan proses pengendalian untuk mencegah, mengurangi, maupun mengeliminasi bahaya keamanan pangan ke tingkat yang dapat diterima. Brown (2000) menambahkan bahwa titik kendali kritis (CCP) adalah suatu titik yang memiliki potensi untuk menimbulkan bahaya kesehatan apabila tidak ditangani dan dipantau dengan baik.

Proses penentuan CCP dilakukan dengan menggunakan “diagram pohon penentuan titik kendali kritis“. Diagram pohon penentuan titik kendali kritis dapat dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan jenis proses yang diamati, yaitu diagram pohon penentuan titik kendali kritis untuk bahan baku, formulasi, dan tahapan proses. Diagram pohon berisi urutan pertanyaan mengenai bahaya yang muncul dalam suatu langkah proses, bahan baku, dan formulasi untuk mengidentifikasi proses, bahan baku, maupun formulasi yang sensitif terhadap bahaya atau untuk menghindari terjadinya kontaminasi silang (Badan Standarisasi Nasional, 1998).

Penetapan Batas Kritis untuk Setiap CCP

Penetapan batas kritis adalah prinsip HACCP ketiga yang dilakukan setelah terlebih dahulu dilakukan penetapan titik kendali kritis (CCP). Batas kritis harus ditetapkan secara spesifik dan divalidasi, apabila mungkin, untuk setiap CCP. Batas kritis didefinisikan sebagai suatu kriteria yang memisahkan atau membedakan antara kondisi produk atau parameter yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima (Badan Standarisasi Nasional, 1998). Thaheer (2005) menambahkan bahwa batas kritis merupakan satu atau lebih toleransi mutlak yang harus dipenuhi untuk menjamin keamanan pangan dari suatu produk.

Penetapan Tindakan Monitoring untuk Setiap CCP

Penetapan prosedur pengendalian (monitoring) adalah prinsip HACCP keempat yang dilakukan setelah terlebih dahulu dilakukan penetapan batas kritis untuk setiap CCP. Penetapan prosedur pengendalian (monitoring) dilakukan untuk mencegah keadaan sebuah CCP menjadi tidak terkontrol yang berakibat pada peningkatan resiko dihasilkannya produk berbahaya, mengidentifikasi masalah sebelum muncul, menemukan titik sebab suatu masalah, serta membantu proses verifikasi dan pembuktian kelayakan sistem HACCP (Sudibyo, 2008).


(1)

107 Lampiran 15. Data Suhu Penerimaan Fresh Chicken dan Fresh Wing Maret 2011

Tanggal Suhu Suhu

Maksimum Sesuai Tidak Sesuai

1 5 oC 4 oC √

2 5 oC 4 oC √

3 5 oC 4 oC √

4 5 oC 4 oC √

5 1 oC 4 oC √

6 1 oC 4 oC √

7 - 4 oC - -

8 1 oC 4 oC √

9 1 oC 4 oC √

10 1 oC 4 oC √

11 5 oC 4 oC √

12 2 oC 4 oC √

13 - 4 oC - -

14 4 oC 4 oC √

15 5 oC 4 oC √

16 1 oC 4 oC √

17 1 oC 4 oC √

18 - 4 oC - -

19 5 oC 4 oC √

20 1 oC 4 oC √

21 1 oC 4 oC √

22 1 oC 4 oC √

23 1 oC 4 oC √

24 1 oC 4 oC √

25 - 4 oC - -

26 1 oC 4 oC √

27 - 4 oC - -

28 1 oC 4 oC √

29 6 oC 4 oC √

30 5 oC 4 oC √


(2)

108 Lampiran 16. Data Suhu Penerimaan Frozen Chicken dan Frozen Wing Januari 2011

Tanggal Suhu Suhu

Maksimum Sesuai Tidak Sesuai

1 -5 oC -4 oC √

2 - -4 oC - -

3 - -4 oC - -

4 -5 oC -4 oC √

5 -5 oC -4 oC √

6 -5 oC -4 oC √

7 -5 oC -4 oC √

8 -5 oC -4 oC √

9 - -4 oC - -

10 -5 oC -4 oC √

11 -5 oC -4 oC √

12 - -4 oC - -

13 -5 oC -4 oC √

14 -5 oC -4 oC √

15 -5 oC -4 oC √

16 -5 oC -4 oC √

17 - -4 oC - -

18 -5 oC -4 oC √

19 -5 oC -4 oC √

20 -5 oC -4 oC √

21 -5 oC -4 oC √

22 -5 oC -4 oC √

23 -5 oC -4 oC √

24 -5 oC -4 oC √

25 -5 oC -4 oC √

26 -5 oC -4 oC √

27 -5 oC -4 oC √

28 -5 oC -4 oC √

29 -5 oC -4 oC √

30 -5 oC -4 oC √


(3)

109 Lampiran 17. Data Suhu Penerimaan Frozen Chicken dan Frozen Wing Februari 2011

Tanggal Suhu Suhu

Maksimum Sesuai Tidak Sesuai

1 - -4 oC - -

2 -5 oC -4 oC √

3 -6 oC -4 oC √

4 -6 oC -4 oC √

5 -5 oC -4 oC √

6 -5 oC -4 oC √

7 -5 oC -4 oC √

8 - -4 oC - -

9 -4 oC -4 oC √

10 -6 oC -4 oC √

11 -5 oC -4 oC √

12 -5 oC -4 oC √

13 -5 oC -4 oC √

14 - -4 oC - -

15 -5 oC -4 oC √

16 -5 oC -4 oC √

17 -5 oC -4 oC √

18 - -4 oC - -

19 -5 oC -4 oC √

20 - -4 oC - -

21 -5 oC -4 oC √

22 - -4 oC - -

23 -5 oC -4 oC √

24 - -4 oC - -

25 -5 oC -4 oC √

26 -5 oC -4 oC √

27 - -4 oC - -


(4)

110 Lampiran 18. Data Suhu Penerimaan Frozen Chicken dan Frozen Wing Maret 2011

Tanggal Suhu Suhu

Maksimum Sesuai Tidak Sesuai

1 -5 oC -4 oC √

2 - -4 oC - -

3 - -4 oC - -

4 -5 oC -4 oC √

5 - -4 oC - -

6 -5 oC -4 oC √

7 -4 oC -4 oC √

8 - -4 oC - -

9 -5 oC -4 oC √

10 -5 oC -4 oC √

11 - -4 oC - -

12 - -4 oC - -

13 - -4 oC - -

14 -5 oC -4 oC √

15 -5 oC -4 oC √

16 -12 oC -4 oC √ 17 -12 oC -4 oC √

18 -6 oC -4 oC √

19 -6 oC -4 oC √

20 -5 oC -4 oC √

21 -6 oC -4 oC √

22 -5 oC -4 oC √

23 -5 oC -4 oC √

24 -5 oC -4 oC √

25 - -4 oC - -

26 -5 oC -4 oC √

27 - -4 oC - -

28 -5 oC -4 oC √

29 -5 oC -4 oC √

30 -5 oC -4 oC √


(5)

111 Lampiran 19. Diagram Pohon Penetapan CCP pada Bahan Mentah

Apakah bahan mentah mungkin mengandung bahan berbahaya (mikrobiologi, kimia, fisik)?

Ya Tidak Bukan CCP

Apakah penanganan/pengolahan (termasuk cara mengkonsumsi) dapat menghilangkan atau mengurangi bahaya?


(6)

112 Lampiran 20. Diagram Pohon Penetapan CCP pada Proses Pengolahan

P1 Apakah ada tindakan pencegahan ?

Ya Tidak

Lakukan modifikasi tahapan pada proses atau produk

Apakah pengawasan pada tahap

ini diperlukan untuk keamanan ? Ya

Tidak Bukan CCP Berhenti

P2 Apakah tahapan dirancang secara spesifik untuk

menghilangkan atau mengurangi bahaya sampai Ya pada batas yang dapat diterima ?

Tidak

P3 Dapatkah kontaminasi oleh bahaya yang diidentifikasi

melebihi batas yang dapat diterima atau dapatkah me- ningkat sampai batas yang tidak dapat diterima?**

Ya Tidak Bukan CCP Berhenti

P4 Akankah tahapan berikutnya dapat menghilangkan bahaya atau menguranginya sampai batas yang da- pat diterima?

Ya Tidak CCP