Hubungan Kesempatan Pengembangan Karir dengan Motivasi Kerja Perempuan

HUBUNGAN KESEMPATAN PENGEMBANGAN KARIR
DENGAN MOTIVASI KERJA PEREMPUAN

WAHYUNI LATIFAH SARI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Kesempatan
Pengembangan Karir dengan Motivasi Kerja Perempuan adalah benar karya saya
dengan arahan dari Dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Wahyuni Latifah Sari
NIM I34090107

ABSTRAK
WAHYUNI LATIFAH SARI. Hubungan Kesempatan Pengembangan Karir
dengan Motivasi Kerja Perempuan. Dibimbing oleh Aida Vitayala S. Hubeis.
Isu kesenjangan gender di perusahaan menjadi hambatan bagi perempuan
dalam praktik pengembangan karir. Kesempatan pengembangan karir dapat
meningkatkan motivasi kerja karyawan yang meliputi motivasi berprestasi,
motivasi berafiliasi, dan motivasi berkuasa. Penelitian ini dilakukan untuk
menganalisis sejauh mana hubungan antara kesenjangan gender dengan
kesempatan pengembangan karir serta hubungan antara kesempatan
pengembangan karir dengan motivasi kerja perempuan. Metode penelitian
menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif yang berdasarkan perspektif
perempuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih adanya kesenjangan
gender di PT. Xkom seperti stereotipi, subordinasi, marginalisasi, dan beban
ganda. Selain itu diketahui juga bahwa terdapat hubungan antara tingkat
subordinasi, marginalisasi, dan beban ganda dengan kesempatan pendidikan

pelatihan. Kesempatan promosi diketahui memiliki hubungan dengan tingkat
stereotipi, subordinasi, marginalisasi, dan beban ganda. Sedangkan kaitannya
dengan motivasi kerja, hanya motivasi berprestasi yang memiliki hubungan
dengan kesempatan pengembangan karir.
Kata kunci: isu kesenjangan gender, kesempatan pengembangan karir, motivasi
kerja

ABSTRACT
WAHYUNI LATIFAH SARI. The Relation of Career Development Opportunity
with Women’s Work Motivation. Supervised by Aida Vitayala S. Hubeis.
Gender gap issues in the corporate can be a barrier for women in the
practice of career development (education and training, promotion). Career
development opportunities to increase employee motivation which include needs
for achievment, affiliation, and power. This study was conducted to analyze the
extent to which relations between gender issues with career development
opportunities as well as relations between career development with women’s work
motivation. Methods of research using qualitative and quantitative approaches are
based on the perspective of women. The results showed that the persistence of
gender issues in PT. Xkom corporate such as stereotypes, subordination,
marginalization, and the double burden. In addition there is a relation between the

level of subordination, marginalization, and the double burden of education and
training oppurtunities. Promotion oppurtunities have a relations with the level of
stereotypes, marginalization, subordination, and the double burden. While the
terms of motivation, need for achievement only have a relation with career
development opportunities.
Keywords: gender issues, career development opportunities, work motivation

HUBUNGAN KESEMPATAN PENGEMBANGAN KARIR
DENGAN MOTIVASI KERJA PEREMPUAN

WAHYUNI LATIFAH SARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Hubungan Kesempatan Pengembangan Karir dengan Motivasi
Kerja Perempuan
Nama
: Wahyuni Latifah Sari
NIM
: I34090107

Disetujui oleh
Dosen Pembimbing

Prof Dr Ir Aida Vitayala S Hubeis
NIP. 19470928 197503 2 001

Diketahui oleh
Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat


Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS
NIP. 19550630 198103 1 003

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah
kesempatan pengembangan karir perempuan, dengan judul Hubungan
Kesempatan Pengembangan Karir dengan Motivasi Kerja Perempuan. Penelitian
ini bertujuan untuk melihat sejauh mana hubungan tingat isu kesenjangan gender
terhadap kesempatan pengembangan karir perempuan serta melihat sejauh mana
hubungan kesempatan pengembangan karir terhadap motivasi kerja perempuan.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Ir Aida Vitayala S
Hubeis selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberi saran dan masukan
kepada penulis. Di samping itu, ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada
seluruh karyawan PT. Xkom Jakarta terutama kepada karyawan perempuan yang
telah bersedia menjadi responden dan Bapak MN dari pihak Human Resource
yang telah membantu selama proses penelitian dan pengumpulan data. Ungkapan

terimakasih juga disampaikan kepada ayahanda Qotamal dan ibunda Idjanawati
serta kakak (Einstein, Ella, Siddiq, Fiqry, Husnul) dan adik (Bagus), yang selalu
memberikan dukungan dan doa yang tak henti kepada penulis. Terimakasih juga
disampaikan kepada sahabat (Umi, Titin, Dina, Ollin, Devi, Mella, Regina,
Cintya, Yeni, Indah, Amatul, Kiki), rekan sepembimbingan (Resty), serta temanteman seperjuangan SKPM46 yang telah memberikan masukan, dukungan, dan
motivasi yang sangat membantu dalam proses penulisan hingga penyelesaian
skripsi ini.

Bogor, Agustus 2013
Wahyuni Latifah Sari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah Penelitian
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Gender
Studi tentang Perempuan dan Pembangunan

Isu Kesenjangan Gender
Diskriminasi Perempuan dalam Dunia Kerja
Konsep Manajemen Sumber Daya Manusia
Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia
Konsep Pengembangan Karir
Konsep Pendidikan dan Pelatihan
Konsep Promosi
Konsep Motivasi
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Definisi Operasional
PENDEKATAN LAPANGAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Teknik Pengambilan Sampel
Teknik Pengumpulan Data

Teknik Pengolahan dan Analisis Data
GAMBARAN UMUM DAN LOKASI PENELITIAN
Gambaran Umum PT. Xkom
Sejarah PT. Xkom
Struktur Organisasi PT. Xkom
Visi, Misi, dan Tujuan PT. Xkom
Kebijakan Pengembangan Karir Perusahaan
Azas Pengembangan Karir
Sarana dan Prasarana Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan
Syarat Promosi Karyawan
Sarana Pendukung Promosi
Profil Karyawan PT. Xkom
Karakteristik Jenis Kelamin
Karakteristik Usia
Karakteristik Tingkat Pendidikan
Karakteristik Status Pernikahan
Karakteristik Lama Bekerja
Karakteristik Jabatan

Halaman

xi
xi
xi
1
1
3
3
4
5
5
6

7
9
11
12
13
13
15
16

16
18
19
23
23
23
23
24
24
26
26
26
27
28
29
29
29
30
30
30

30
31
31
32
32
32

ANALISIS DESKRIPTIF VARIABEL PENELITIAN
Isu Kesenjangan Gender
Tingkat Stereotipi
Tingkat Subordinasi
Tingkat Marginalisasi
Tingkat Kekerasan
Tingkat Beban Ganda
Kesempatan Pengembangan Karir
Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan
Kesempatan Promosi
Motivasi Kerja
Motivasi Berprestasi
Motivasi Berafiliasi
Motivasi Berkuasa
ANALISIS HUBUNGAN TINGAT KESENJANGAN GENDER DENGAN
KESEMPATAN PENGEMBANGAN KARIR
Hubungan Tingat Kesenjangan Gender dengan Kesempatan Pendidikan
dan Pelatihan
Hubungan Tingkat Stereotipi dengan Kesempatan Pendidikan dan
Pelatihan
Hubungan Tingkat Subordinasi dengan Kesempatan Pendidikan dan
Pelatihan
Hubungan Tingkat Marginalisasi dengan Kesempatan Pendidikan dan
Pelatihan
Hubungan Tingkat Kekerasan dengan Kesempatan Pendidikan dan
Pelatihan
Hubungan Tingkat Beban Ganda dengan Kesempatan Pendidikan dan
Pelatihan
Hubungan Tingat Kesenjangan Gender dengan Kesempatan Promosi
Hubungan Tingkat Stereotipi dengan Kesempatan Promosi
Hubungan Tingkat Subordinasi dengan Kesempatan Promosi
Hubungan Tingkat Marginalisasi dengan Kesempatan Promosi
Hubungan Tingkat Kekerasan dengan Kesempatan Promosi
Hubungan Tingkat Beban Ganda dengan Kesempatan Promosi
ANALISIS HUBUNGAN KESEMPATAN PENGEMBANGAN KARIR
DENGAN MOTIVASI KERJA PEREMPUAN
Hubungan Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan dengan Motivasi Kerja
Hubungan Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan dengan Motivasi
Berprestasi
Hubungan Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan dengan Motivasi
Berafiliasi
Hubungan Kesempatan Pendidikan dan Pelatihan dengan Motivasi
Berkuasa
Hubungan Kesempatan Promosi dengan Motivasi Kerja
Hubungan Kesempatan Promosi dengan Motivasi Berprestasi
Hubungan Kesempatan Promosi dengan Motivasi Berafiliasi
Hubungan Kesempatan Promosi dengan Motivasi Berkuasa

34
34
34
35
37
38
39
40
40
41
42
42
43
44
45
45
45
46
48
48
49
51
52
53
53
54
55
57
57
57
59
60
61
61
62
63

PENUTUP
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

65
65
65
66
68
79

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.

Halaman
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Indonesia Berdasarkan Jenis
1
Kelamin, 2007-2011
Perbedaan gender dan seks
5
Karakteristik karyawan PT. Xkom Jakarta berdasarkan usia, 2013
32
Karakteristik karyawan PT. Xkom Jakarta berdasarkan tingkat 32
pendidikan, 2013
Karakteristik karyawan PT. Xkom Jakarta berdasarkan status 32
pernikahan, 2013
Karakteristik karyawan PT. Xkom Jakarta berdasarkan lama bekerja, 33
2013
Karakteristik karyawan PT. Xkom Jakarta berdasarkan jabatan, 2013
33
Jumlah dan persentase sebaran responden menurut tingkat stereotipi, 34
2013
Jumlah dan persentase sebaran responden menurut tingkat 35
subordinasi, 2013
Jumlah dan persentase sebaran responden menurut tingkat 37
marginalisasi, 2013
Jumlah dan persentase sebaran responden menurut tingkat kekerasan, 38
2013
Jumlah dan persentase sebaran responden menurut tingkat beban 39
ganda, 2013
Jumlah dan persentase sebaran responden menurut kesempatan 40
pendidikan dan pelatihan, 2013
Jumlah dan persentase sebaran responden menurut kesempatan 41
promosi, 2013
Jumlah dan persentase sebaran responden menurut motivasi 42
berprestasi, 2013
Jumlah dan persentase sebaran responden menurut motivasi 43
berafiliasi, 2013
Jumlah dan persentase sebaran responden menurut motivasi 44
berkuasa, 2013
Hasil pengujian hubungan tingat kesenjangan gender dengan 46
kesempatan pendidikan dan pelatihan, 2013
Jumlah responden berdasarkan kesempatan pendidikan dan pelatihan 46
menurut tingkat stereotipi, 2013
Jumlah responden berdasarkan kesempatan pendidikan dan pelatihan 47
menurut tingkat subordinasi, 2013
Jumlah responden berdasarkan kesempatan pendidikan dan pelatihan 48
menurut tingkat marginalisasi, 2013
Jumlah responden berdasarkan kesempatan pendidikan dan pelatihan 49
menurut tingkat kekerasan, 2013
Jumlah responden berdasarkan kesempatan pendidikan dan pelatihan 50
menurut tingkat beban ganda, 2013
Hasil pengujian hubungan tingat kesenjangan gender dengan 51
kesempatan promosi, 2013

26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.

Jumlah responden berdasarkan kesempatan promosi menurut tingkat
stereotipi, 2013
Jumlah responden berdasarkan kesempatan promosi menurut tingkat
subordinasi, 2013
Jumlah responden berdasarkan kesempatan promosi menurut tingkat
marginalisasi, 2013
Jumlah responden berdasarkan kesempatan promosi menurut tingkat
kekerasan, 2013
Jumlah responden berdasarkan kesempatan promosi menurut tingkat
beban ganda, 2013
Hasil pengujian kesempatan pendidikan dan pelatihan dengan
motivasi kerja, 2013
Jumlah responden berdasarkan motivasi berprestasi menurut tingkat
kesempatan pendidikan dan pelatihan, 2013
Jumlah responden berdasarkan motivasi berafiliasi menurut tingkat
kesempatan pendidikan dan pelatihan, 2013
Jumlah responden berdasarkan motivasi berkuasa menurut tingkat
kesempatan pendidikan dan pelatihan, 2013
Hasil pengujian kesempatan promosi dengan motivasi kerja, 2013
Jumlah responden berdasarkan motivasi berprestasi menurut tingkat
kesempatan promosi, 2013
Jumlah responden berdasarkan motivasi berafiliasi menurut tingkat
kesempatan promosi, 2013
Jumlah responden berdasarkan motivasi berafiliasi menurut tingkat
kesempatan promosi, 2013

52
53
54
55
55
57
58
59
60
61
62
63
65

DAFTAR GAMBAR
1.

Halaman
Kerangka pemikiran hubungan kesempatan pengembangan karir 17
dengan motivasi kerja perempuan

DAFTAR LAMPIRAN
Lokasi Penelitian
Struktur Organisasi
Data Populasi Karyawan Perempuan
Uji Korelasi Rank Spearman

Halaman
68
69
70
73

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan industri yang terus terjadi menyebabkan terjadinya
peningkatan permintaan akan tenaga kerja, sehingga membuka kesempatan bagi
setiap orang untuk berpartisipasi di dunia kerja. Hal ini dapat dilihat dari data
Badan Pusat Statistik (BPS) 2006-2011 dalam Kementrian Pemberdayaan
Perempuan dan Anak (2012) menunjukkan adanya peningkatan partisipasi
angkatan kerja (TPAK) di Indonesia. Data ini juga menunjukkan bahwa
keterlibatan laki-laki di bidang ketenagakerjaan jauh lebih besar dibandingkan
dengan perempuan tetapi cenderung mengalami penurunan tiap tahunnya.
Berbeda dengan TPAK perempuan, walaupun masih lebih kecil dibandingkan
laki-laki tetapi telah mengalami peningkatan tiap tahunnya. peningkatan jumlah
TPAK ini telah menunjukkan partisipasi perempuan di public domain semakin
meluas.
Tabel 1 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Indonesia Berdasarkan Jenis
Kelamin, 2007-2011
Tahun
Laki-Laki
Perempuan
Total

2007
83.6
51.3
134.9

2008
83.6
51.3
134.9

2009
83.6
51.8
135.4

2010
83.3
52.5
135.8

2011
84.9
55.1
140.0

Sumber: BPS, Sakernas 2006-2011

Peningkatan jumlah partisipasi perempuan di dunia kerja secara kuantitatif
kurang didukung oleh perbaikan secara kualitatif. Pada kenyataannya, sebagian
besar perempuan bekerja pada kedudukan yang memberikan penghasilan yang
lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Semakin tinggi jenjang kepangkatan,
semakin sedikit perempuan yang mendudukinya. Umumnya perempuan yang
bekerja di sektor formal menduduki posisi yang kurang penting. Perempuan
sering ditempatkan di bagian front office perusahaan. Hal ini sering dikaitkan
dengan kemampuan perempuan yang lebih terbatas, yang seringkali merupakan
cerminan dari pendidikannya yang lebih rendah daripada laki-laki. Sedangkan
laki-laki cenderung memegang posisi utama yang memiliki pertanggungjawaban
yang lebih besar. Dapat dilihat bahwa perempuan yang bekerja di sektor formal
hanya bekerja untuk membantu urusan finansial keluarga bukan untuk
peningkatan karir (Sedyono 1996).
Penyalahartian gender sebagai jenis kelamin oleh masyarakat menyebabkan
pembagian peran sering kali berdasarkan jenis kelamin. Pembagian peran ini
dikategorikan dalam kelompok feminin dan maskulin. Laki-laki sebagai kepala
keluarga bertanggung jawab terhadap urusan finansial keluarga. Sedangkan
perempuan memiliki tanggung jawab domestik yang meliputi pemeliharaan dan
pengasuhan anggota keluarga. Kebebasan perempuan yang masih terikat dengan
norma-norma budaya dan agama menyebabkan mereka sulit untuk mendapatkan
posisi atau jabatan yang lebih tinggi dari pria (fenomena glass-ceiling).

2

Perempuan yang bekerja di perusahaan dipandang kurang memiliki komitmen
yang kuat terhadap perusahaan. Hal ini dikarenakan perempuan bekerja memikul
beban ganda, selain harus bekerja di kantor mereka juga dituntut untuk tetap
menjalankan tugas domestiknya.
Sedyono (1996) menyatakan bahwa dilihat dari segi hukum, tidak ada
kendala bagi perempuan untuk bekerja. Hal ini senada dengan pendapat Uli
(2005) menyatakan bahwa sudah terdapat undang-undang yang membahas
persamaan kedudukan dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Seperti
UUD 1945 pada BAB X Pasal 27 ayat (1) menegaskan bahwa semua orang
memiliki kedudukan yang sama di muka hukum sejak 1945. Ketentuan Pasal 28 H
ayat (2) UUD 1945 juga menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat
yang sama, guna mencapai persamaan dan keadilan. Dalam rangka menuju
kepastian hukum, pemerintah telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita melalui UU No.7/Tahun 1984.
Kendala perempuan di tempat kerja dapat berasal dari lingkungan kerja itu
sendiri, menyangkut perlakuan yang diterima oleh perempuan bekerja. Mitos
terkait gender role dan diskriminasi seksual oleh sosial budaya membentuk suatu
pandangan yang meyakini bahwa laki-laki ditakdirkan sebagai makhluk yang
statusnya lebih tinggi dari perempuan. Berbagai stereotipi tentang perempuan
dapat dianggap bukan hanya mengecilkan kepentingan perempuan bekerja, tetapi
juga menurunkan harkatnya sebagai manusia. Akibatnya dari berbagai pandangan
tersebut adalah perlakuan diskriminatif, baik secara terang-terangan maupun
terselubung, terhadap perempuan bekerja di sektor formal (Sedyono 1996).
Bias gender yang terjadi di perusahaan dapat memberikan pengaruh negatif
terhadap produktivitas kerja perempuan sebaliknya stereotipi positif pada
karyawan perempuan dapat meningkatkan performa mereka menjadi lebih kreatif.
Selain itu, adanya segregasi vertikal yang mencolok antara perempuan dan lakilaki dalam dunia kerja berpotensi menimbulkan ketidakpuasan dan hilangnya
motivasi yang berpotensi menurunkan produktivitas kerja (Dhania 2010). Hal-hal
tersebut menjadi hambatan bagi perempuan bekerja untuk menunjukkan
kreatifitas, kemampuan, dan pengetahuannya, yang pada akhirnya menyebabkan
mereka tidak mampu bersaing dengan laki-laki dalam mencapai posisi puncak di
dunia kerja.
Perempuan yang telah diterima sebagai pegawai di suatu perusahaan
memiliki HAK dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam kegiatan
pengembangan karir, baik promosi maupun pendidikan dan pelatihan.
Kesempatan pendidikan dan pelatihan tidak hanya kesempatan dalam mengikuti
kegiatan tetapi juga berupa dukungan perusahaan terhadap perempuan agar dapat
memanfaatkan kesempatan tersebut. Jumlah perempuan yang jauh lebih sedikit
dibandingkan laki-laki pada posisi senior level menunjukkan bahwa keterlibatan
perempuan dalam kegiatan pengembangan karir (pendidikan dan pelatihan,
promosi) cenderung masih rendah hal ini dikarenakan kebijakan manajemen
sumber daya manusia yang cenderung bersifat maskulin. Posisi perempuan yang
minoritas juga menyebabkan mereka terkadang tidak dilibatkan dalam pembuatan
kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan karir. Perspektif perempuan
dapat digunakan dalam menilai kebijakan perusahaan, apakah kebijakan yang

3

dibuat perusahaan sudah memperhitungkan kebutuhan perempuan sebagai
kelompok minoritas.
Perusahaan berbasis teknologi informasi dan komunikasi merupakan salah
satu perusahaan yang umumnya didominasi oleh laki-laki. Laki-laki cenderung
ditempatkan pada posisi dengan keterampilan tinggi dan memegang peranan
penting dalam teknologi informasi. Sedangkan perempuan diposisikan pada
pekerjaan dengan keterampilan rendah seperti bagian call center ataupun bagian
administrasi (Lestari 2011). Rosenbloom (2006) diacu oleh Lestari (2011)
menjelaskan penyebab rendahnya keterlibatan perempuan dalam bidang teknologi
informasi karena perempuan dipandang kurang produktif pada pekerjaan yang
bersifat teknis. Artinya perempuan dianggap kurang atraktif dan fleksibel pada
pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan bidang teknis dibandingkan lakilaki.
PT. Xkom sendiri merupakan perusahaan informasi dan komunikasi yang
umumnya didominasi oleh laki-laki. Selain itu, PT. Xkom merupakan perusahaan
jaringan telekomunikasi terbesar di Indonesia yang memiliki beberapa program
CSR berkelanjutan, baik di bidang pendidikan, kesehatan, kebudayaan, kemitraan,
lingkungan, penanggulan bencana, maupun pelayanan kepada masyarakat di
bidang sarana dan prasarana. Namun, apakah tanggung jawab sosial masyarakat
(eksternal stakeholders) yang diberikan oleh PT. Xkom juga sejalan dengan
tanggung jawab sosial kepada karyawannya (internal stakeholders), khususnya
pegawai perempuan? Kemajuan perempuan bekerja di perusahaan tidak terlepas
dari peran Manajemen Sumber Daya Manusia. Pemberian kesempatan bagi
perempuan dalam praktik pengembangan karir (pendidikan dan pelatihan,
promosi) menjadi cara bagi perempuan untuk menunjukkan potensi dan
keterampilannya. Kebijakan perusahaan yang responsif gender menjadi salah satu
bentuk tanggung jawab sosial bagi pekerja. Uraian di atas menjadi alasan penulis
untuk mengkaji lebih dalam hubungan kesempatan pengembangan karir dengan
motivasi kerja perempuan.

Masalah Penelitian

1.
2.
3.

Masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut:
Isu-isu kesenjangan gender apa saja yang berhubungan dengan kesempatan
pengembangan karir perempuan?
Sejauh mana hubungan tingkat kesenjangan gender dengan kesempatan
pengembangan karir perempuan?
Bagaimana hubungan antara kesempatan pengembangan karir dengan
motivasi kerja perempuan?

4

Tujuan Penelitian

1.
2.
3.

Tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut:
Mengidentifikasi isu kesenjangan gender apa saja yang berhubungan dengan
kesempatan pengembangan karir.
Menganalisis sejauh mana hubungan tingkat kesenjangan gender dengan
kesempatan pengembangan karir perempuan.
Menganalisis hubungan antara kesempatan pengembangan karir dengan
motivasi kerja perempuan.

Kegunaan Penelitian

1.

2.

3.

Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut:
Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi dan
kajian untuk penelitian selanjutnya serta menambah khasanah penelitian
mengenai hubungan kesempatan pengembangan karir dengan motivasi kerja
perempuan.
Bagi perempuan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman
tentang hak-hak mereka dalam mendapatkan kesempatan pengembangan
karir. Penelitian ini juga diharapkan mampu memotivasi perempuan pekerja
untuk berprestasi di dunia kerja sebagai pembuktian akan kemampuan yang
mereka miliki.
Bagi perusahaan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman
perusahaan mengenai kesetaraan dan keadilan gender bagi perempuan
pekerja.

5

TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Gender
Hubeis (2010) mengungkapkan bahwa gender merupakan suatu relasi sosial
perempuan dan laki-laki. Berbicara tentang gender tidak sama dengan berbicara
tentang jenis kelamin. Secara biologis perempuan dan laki-laki memiliki
perbedaan tetapi tidak dalam hal potensi, kompetensi, dan kesempatan. Sedangkan
perspektif gender merupakan suatu konsep yang dipergunakan untuk
membedakan segala sesuatu yang bersifat normatif dan biologis serta segala
sesuatu yang merupakan produk sosio-budaya dalam bentuk kesepakatan dan
fleksibelitas sosial yang dapat ditransformasikan.
Sadli (2010) berpendapat bahwa gender merupakan suatu konsep sosial
sedangkan jenis kelamin merupakan suatu kategori biologis. Istilah feminitas dan
maskulinitas yang berkaitan dengan istilah gender berkaitan pula dengan sejumlah
karakteristik psikologis dan perilaku yang kompleks, yang telah dipelajari
seseorang melalui pengalaman sosialisasinya.
Sasongko (2008) menyatakan bahwa gender adalah perbedaan peran, fungsi,
dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil
konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman.
Sedangkan seks adalah perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis.
Seks melekat secara fisik sebagai alat reproduksi. Oleh karena itu, seks
merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan sehingga bersifat permanen dan
universal. Secara singkat perbedaan ini dapat dijelaskan melalui tabel berikut:
Tabel 2 Perbedaan gender dan seks
Gender
 Bisa berubah
 Dapat dipertukarkan
 Tergantung musim
 Tergantung budaya masingmasing
 Bukan
kodrat
(buatan
manusia)







Seks
Tidak bisa berubah
Tidak dapat dipertukarkan
Berlaku sepanjang masa
Berlaku di mana saja
Kodrat
(ciptaan
Tuhan):
perempuan menstruasi, hamil,
melahirkan, menyusui

Fakih (2004) menyatakan bahwa gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan
Tuhan. Oleh karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana
seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata
nilai yang terstruktur, ketentuan sosial budaya ditempat mereka berada. Dengan
demikian gender dapat dikatakan pembedaan peran, fungsi, tanggung jawab antara
perempuan dan laki-laki yang dibentuk/dikonstruksi oleh sosial budaya dan dapat
berubah sesuai perkembangan zaman.

6

Studi tentang Perempuan dan Pembangunan
Kegiatan studi atau kajian tentang perempuan (women studies) di Indonesia
dilandasi dan didorong oleh motivasi untuk lebih mengenal pengalaman
perempuan dan untuk menjadikan keberadaan kaum perempuan dan kondisi
hidupnya lebih tampak (visible). Studi tentang perempuan di Indonesia ditandai
dengan ramainya kegiatan penelitian tentang kaum perempuan dengan fokus pada
gender differences dan analisis ilmiah dengan perspektif perempuan (Sadli, 2010).
Sadli (2010) juga mengungkapkan bahwa dengan menggunakan data
empiris berupa hasil-hasil studi sejak Tahun 1970-an, ilmuwan perempuan Barat
yang aktif dalam gerakan women studies mulai menunjukkan bahwa program
pembangunan di negara berkembang sering berdampak merugikan bagi
perempuan. Antara lain, proses pembangunan ternyata cenderung mengabaikan
peran produktif yang mengabaikan peran produktif yang secara tradisional telah
dimainkan oleh perempuan. Kesempatan kaum perempuan dalam memanfaatkan
setiap peluang yang tersedia ternyata juga sering dikalahkan. Bahkan, ada
kecenderungan untuk makin mempertegas batas antara sektor publik sebagai
dunia lelaki dan sektor domestik sebagai dunia perempuan. Adapun tujuan utama
penelitian itu sendiri adalah menyusun suatu program yang diinginkan dalam
usaha meningkatkan kondisi hidup perempuan. Dari penelitian ini diharapkan
kaum perempuan akan lebih cermat dalam menangkap berbagai peluang untuk
memajukan kondisinya sendiri. Tujuan program studi perempuan adalah
menjadikan pengalaman perempuan sebagai bagian dari pengetahuan akademis,
yang hingga kini masih lebih didominasi pengalaman dan data riset yang berasal
dari kaum pria. Studi tentang perempuan memiliki tiga ciri khas, yaitu:
1. Kajiannya terpusat pada perempuan. Artinya kegiatan studi perempuan
memberikan kesempatan kepada perempuan untuk belajar tentang dirinya
sendiri.
2. Pendekatannya multidisipliner. Setiap masalah harus ditinjau dari dari
berbagai macam disiplin ilmiah karena masalah dan penghayatan
perempuan tidak cukup untuk dapat dimengerti hanya berdasarkan satu
disiplin ilmu tertentu saja.
3. Orientasinya mengarah kepada kegiatan konkret. Artinya, studi wanita
tidak hanya bertujuan untuk menghimpun data tentang pengalaman
perempuan. Wawasan yang diperoleh melalui kegiatan akademis tentang
perempuan berikut permasalahannya juga diperlukan untuk dapat
mengidentifikasikan masalah agar strategi dan program yang diperlukan
dapat disusun secara tepat dalam rangka mengatasi masalah perempuan
secara kongkret.
Prinsip utama dalam studi perempuan adalah pengalaman perempuan
sebagai sumber pengetahuan. Pengalaman-pengalaman perempuan inilah
kemudian digunakan untuk menunjuk dan menganalisis struktur-struktur yang
lebih besar serta untuk menghargai subjektivitas perempuan dan pengalaman
hidup perempuan sebagai dasar untuk pembelajaran (Misiyah, 2006).

7

Isu Kesenjangan Gender
Isu-isu kesenjangan gender menggambarkan gap capaian manfaat hasil
pembangunan pada perempuan terhadap laki-laki yang terkait dengan kebutuhan
dasar manusia. Hubeis (2010) menyebutkan ada tiga isu kesenjangan gender
yaitu:
1. Kesenjangan gender dalam ketenagakerjaan. Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik (BPS) 1990-2007 dalam tingkat partisipasi tenaga kerja
(TPAK) menurut jenis kelamin menunjukkan bahwa pencapaian
partisipasi tenaga kerja perempuan relatif masih tetap lebih lambat
dibandingkan laki-laki. Penyebab turun-naiknya TPAK perempuan antara
lain karena faktor sosial, demografis, dan budaya.
2. Kesenjangan gender dalam pendidikan. Target pencapaian tujuan ketiga
MDGs dalam mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan
perempuan adalah menghilangkan kesenjangan gender di tingkat
pendidikan dasar dan lanjutan, serta semua jenjang pendidikan.
3. Kesenjangan gender dalam bidang kesehatan. Pembangunan kesehatan
dimaksudkan agar masyarakat dapat memperoleh layanan kesehatan
secara mudah, murah, dan merata, serta sebagai investasi modal dalam
peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Sasongko (2008) menyatakan bahwa ketidakadilan atau diskriminasi
gender sering terjadi dalam keluarga dan masyarakat serta di tempat kerja dalam
berbagai bentuk, yaitu: stereotipi (citra baku), subordinasi (penomorduaan),
marginalisasi (peminggiran), beban ganda, dan kekerasan. Hal ini sejalan dengan
pendapat Handayani dan Sugiarti (2008) berpendapat bahwa perbedaan dalam
gender tidak akan menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketimpangan
gender. Ternyata perbedaan tersebut telah melahirkan berbagai ketidakadilan
terutama bagi perempuan. Ketimpangan gender (permasalahan atau isu
kesenjangan gender) dapat diartikan sebagai suatu kesenjangan antara kondisi
normatif atau kondisi gender sebagaimana yang dicita-citakan dengan kondisi
obejktif atau kondisi gender sebagaimana adanya. Ketimpangan yang dialami
perempuan menurut Handayani dan Sugiarti (2008) dapat tersebut
termanifestasikan ke dalam beberapa bentuk diantaranya sebagai berikut:
1. Marginalisasi sering disebut sebagai pemiskinan kaum perempuan atau
disebut juga pemiskinan ekonomi. Dari sumbernya bisa berasal dari
kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi, dan
kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Marginalisasi
perempuan dapat berarti peminggiran perempuan. Pertama, perempuan
terpinggirkan dari pekerjaan produktif karena perempuan dianggap tidak
memiliki keterampilan tinggi. Terlepas dari persoalan sektor yang
digeluti perempuan, keterlibatan perempuan di sektor manapun dicirikan
oleh “skala bawah”. Kedua, masalah yang dihadapi oleh buruh
perempuan yaitu adanya kecenderungan perempuan terpinggirkan pada
jenis-jenis pekerjaan yang berupah rendah, kondisi kerja buruk, dan
tidak memiliki kestabilan kerja. Ketiga, adalah marginalisasi dengan
adanya feminisasi sektor-sektor tertentu. Saat ini banyak ditemukan
industri yang mulai dikuasai oleh perempuan, namun buruh perempua n

8

tersebut tetap saja dilapisan paling bawah. Keempat, yaitu pelebaran
ketimpangan ekonomi antara perempuan dan laki-laki yang
diindikasikan oleh perbedaan upah.
2. Subordinasi, perempuan tersubordinasi oleh faktor-faktor yang
dikontruksikan secara sosial. Hal ini disebabkan karena belum
terkondisikannya konsep gender dalam masyarakat yang mengakibatkan
adanya diskriminasi kerja bagi perempuan. Anggapan sementara
perempuan itu irrasional atau emosional, sehingga perempuan tidak bisa
tampil memimpin, dan berakibat munculnya sikap yang menempatkan
perempuan pada posisi yang tidak penting. Perempuan diidentikan
dengan jenis-jenis pekerjaan tertentu. Diskriminasi yang diderita oleh
kaum perempuan pada sektor pekerjaan misalnya persentase jumlah
pekerja perempuan, penggajian, pemberian fasilitas, serta beberapa hakhak perempuan yang berkaitan dengan kodratnya yang belum terpenuhi.
Bentuk subordinasi terhadap perempuan yang menonjol adalah bahwa
semua pekerjaan yang dikategorikan sebagai reproduksi dianggap lebih
rendah dan menjadi subordinasi dari pekerjaan produksi yang dikuasai
oleh laki-laki. Hal ini menyebabkan banyak laki-laki dan perempuan
sendiri pada akhirnya menganggap bahwa pekerjaan domestik dan
reproduksi lebih rendah dan ditinggalkan.
3. Stereotipi adalah pelabelan terhadap suatu kelompok atau jenis
pekerjaan tertentu. Stereotipi adalah bentuk ketidakadilan. Secara umum
stereotipi merupakan pelabelan atau penandaan terhadap suatu
kelompok tertentu, dan biasanya pelabelan ini selalu berakibat pada
ketidakadilan, sehingga dinamakan pelabelan negatif. Hal ini disebabkan
pelabelan yang sudah melekat pada laki-laki, misalnya laki-laki adalah
manusia yang kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Sedangkan perempuan
adalah makhluk yang lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Dengan
adanya pelabelan tersebut berdampak pada munculnya stereotipi yang
dikonstruksikan oleh masyarakat sebagai hasil hubungan sosial tentang
perbedaan laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, perempuan identik
dengan pekerjaan-pekerjaan di rumah, maka peluang perempuan untuk
bekerja di luar rumah sangat terbatas, bahkan ada juga perempuan yang
berpendidikan tidak pernah menerapkan pendidikannya untuk
mengaktualisasikan diri. Akibat adanya pelabelan ini banyak tindakantindakan yang seolah-olah sudah menjadi kodrat.
4. Kekerasan adalah suatu serangan terhadap fisik maupun integritas
mental psikologis seseorang. Kekerasan memiliki berbagai macam
sumber, namun ada salah satu jenis kekerasan bersumber dari anggapan
gender (gender-related violence). Kekerasan ini pada dasarnya
disebabkan oleh kekuasaan. Berbagai macam dan bentuk kejahatan yang
dapat dikategorikan kekerasan gender ini, baik dilakukan di tingkat
rumah tangga sampai di tingkat negara, bahkan tafsiran agama.Dalam
hampir semua kelompok masyarakat, terdapat perbedaan tugas dan
peran sosial atas laki-laki dan perempuan. Tanpa disadari, peran tugas
dan peran ini telah menghambat potensi dasar laki-laki dan perempuan
dalam berbagai hal. Realitas ini menunjukkan bagaimana jenis kelamin
telah menghambat seseorang untuk mempelajari ilmu pengetahuan

9

tertentu, mengembangkan bakat dan minat dalam bidang tertentu dan
sebagainya, semata-mata karena alasan bahwa hal itu telah pantas
(secara sosial budaya) bagi jenis kelamin tertentu.
5. Beban kerja. Berkembangnya wawasan kemitrasejajaran berdasarkan
pendekatan gender dalam berbagai aspek kehidupan, maka peran
perempuan mengalami perkembangan yang cukup cepat. Namun, perlu
dicermati bahwa perkembangan perempuan tidaklah “mengubah”
peranannya yang lama yaitu peranan dalam lingkup rumah tangga (peran
reproduktif). Maka dari itu perkembangan perempuan ini seifatnya
menambah, dan umumnya perempuan mengerjakan peranan sekaligus
untuk memenuhi tuntutan pembangunan. Untuk itulah maka beban kerja
perempuan terkesan berlebihan. Karena adanya anggapan bahwa kaum
perempuan bersifat memelihara, rajin, dan tidak akan menjadi kepala
rumah tangga, maka akibatnya semua pekerjaan domestik menjadi
tanggung jawab kaum perempuan. Oleh karena itu perempuan menerima
beban ganda, selain harus bekerja domestik, mereka masih harus bekerja
membantu mencari nafkah.

Diskriminasi Perempuan dalam Dunia Kerja
Irianto (2007) mengungkapkan bahwa praktik manajemen sumber daya
manusia (MSDM) dalam organisasi menghadapi isu sensitif berkaitan dengan
masalah keanekaragaman pekerja (workers diversity). Isu keanekaragaman
pekerja tersebut tampak dengan adanya perbedaan individu yang berperan sebagai
pekerja. Mereka berasal dari berbagai suku, ras, agama, dan jenis kelamin
termasuk di dalamnya adalah peran perempuan yang dapat dikaitkan dengan isu
kesenjangan gender dalam management development.
Aripurnami (1996) menyatakan bahwa perempuan bekerja hanya dianggap
sebagai pencari nafkah tambahan. Hal ini sejalan dengan pendapat Sedyono
(1996) yang mengungkapkan bahwa fenomena perempuan di luar rumah oleh
banyak pihak masih dianggap sebagai sesuatu yang relatif baru bagi masyarakat
Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat biasanya menilai pantas tidaknya
perempuan bekerja berdasarkan nilai-nilai yang berlaku. Perempuan
disosialisasikan untuk berperan sebagai istri dan ibu. Mereka disiapkan untuk
menjadi makhluk yang patuh dan tidak asertif. Hal ini sangat bertolak belakang
dengan sifat yang dinilai tinggi dalam berkarir seperti agresif, ambisius, produktif,
dan sebagainya. Dari sinilah kemudian muncul isu bahwa perempuan bekerja di
luar rumah hanyalah sekedar menjalankan pekerjaan (do a job) dan bukan berkarir
(make a career) seperti laki-laki. Di banyak negara, perempuan bekerja, terutama
perempuan eksekutif masih menghadapi rintangan dari lingkungan. Misalnya
prasangka kuno ataupun resistensi seperti mitos “lady supervisor means trouble”.
Masih sering terjadi bahwa sistem manajemen secara sadar tidak sadar melakukan
diskriminasi antara lelaki pekerja dan perempuan pekerja dalam perusahaannya.
Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendidikan diyakini mampu
membangun martabat dan kapasitas individu sehingga pada akhirnya kaum
perempuan memiliki kemampuan untuk terlibat dalam proses keorganisasian.
Sekalipun demikian harus disadari bahwa kaum perempuan masih mengalami

10

sejumlah diskriminasi organisasional sebagai praktik kebijakan manajemen
sumber daya manusia yang cenderung bersikap maskulin. Secara normatif
organisasi di semua negara harus memperlakukan semua pegawainya secara fair
di samping tetap mengedepankan effectiveness bagi pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan. Namun secara empiris kaum perempuan di beberapa negara yang
bekerja dalam organisasi justru menghadapi sejumlah hambatan yang
mempersempit akses dalam memperoleh kesempatan untuk mengikuti pelatihan
dan pengembangan serta hambatan perempuan dalam pengembangan karir.
Pelatihan dan pengembangan merupakan instrumen utama dalam meningkatkan
kapasitas individu dan bekal kompetensi sebagai penunjang melaksanakan tugas
di organisasi. Dengan adanya kesempatan mengikuti pelatihan, perempuan
memiliki kompetensi yang memadai untuk dapat menjawab tuntutan pekerjaan.
Kemampuan melaksanakan pekerjaan tersebut merupakan landasan utama dalam
mengukur kinerja individu. Dengan demikian pelatihan diyakini sebagai suatu
cara yang paling penting dalam meningkatkan kinerja pegawai. Secara teoritis,
pelatihan secara langsung dapat mempengaruhi kinerja (Irianto 2007).
Lestari (2011) berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan teknis seperti
perusahaan yang bergerak di bidang informasi dan komunikasi biasanya lebih
dikuasai oleh laki-laki. Bagi masyarakat, budaya patriarkhi dianggap sebagai hal
yang tidak perlu dipermasalahkan, karena hal tersebut telah dikaitkan dengan
kodrat terkait dengan adanya perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan
maka fungsi-fungsi sosial ataupun kerja dengan masyarakat pun diciptakan
berbeda. Anggapan teknologi merupakan tugas laki-laki akhirnya menimbulkan
kesenjangan dan subordinasi bagi perempuan.
Narsa (2006) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa perusahaan yang
menyaratkan praktik rekruitmen berdasarkan jenis kelamin menunjukkan adanya
sex-role stereotypes. Sex-role stereotypes merupakan keyakinan bahwa sifat dan
kemampuan perempuan dan laki-laki berbeda, sehingga muncul spesifikasi
pekerjaan tertentu sesuai untuk jenis kelamin tertentu. Spesifikasi pekerjaan yang
baik seharusnya tidak diskriminatif terhadap jenis kelamin. Pembatasan tersebut
justru memungkinkan kerugian bagi perusahaan, yaitu hilangnya calon pegawai
potensial.
Wijayanti (2009) mengungkapkan bahwa perempuan dalam manajemen
menjadi topik penting. Hal ini terkait dengan adanya peningkatan jumlah
perempuan pekerja tetapi hanya sedikit yang menduduki posisi senior level
management. Perempuan hanya mampu mencapai posisi middle level
management yaitu seseorang yang menjalankan strategi atau kebijakan dari senior
level management. Fenomena ini dikenal sebagai fenomena glass ceiling. Hal ini
dikarenakan adanya praktik seperti rekruitmen maupun promosi perusahaan yang
lebih cenderung memilih karyawan laki-laki karena dianggap mempunyai
kemampuan yang lebih dari pada perempuan. Selain itu, glass ceiling juga dapat
disebabkan karena adanya budaya perusahaan seperti stereotipi yang
menggambarkan perempuan memiliki karakteristik yang kurang untuk menjadi
manajer sukses.
Beban ganda atau peran ganda juga merupakan suatu masalah yang sering
dihadapi perempuan bekerja. Perempuan harus memilih antara tidak menikah dan
sukses berkarir atau menikah dan menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik.
Nilai yang ada dalam masyarakat Indonesia saat ini berbaur antara nilai-nilai

11

tradisional dan modern. Keseimbangan antara karir dan keluarga merupakan
kendala utama bagi perempuan bekerja (Sedyono 2012). Beban ganda yang
dimiliki perempuan bekerja pada akhirnya akan memengaruhi keterlibatan
perempuan dalam praktik pengembangan karir. Sejalan dengan pendapat Sedyono
(2012), Schwartz (1996) dalam Narsa (2006) yang mengungkapkan bahwa sangat
mudah untuk mengetahui alasan mengapa jumlah keterlibatan perempuan dalam
pekerjaan lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki karena adanya budaya yang
diciptakan untuk laki-laki (patriarkhi) serta adanya stereotipi tentang perempuan,
yaitu pendapat yang menyatakan bahwa perempuan memiliki keterikatan
(komitmen) pada keluarga yang lebih besar daripada keterikatan terhadap karir.
Efrini (2009) dalam penelitiannya menyatakan bahwa masih banyak
organisasi atau perusahaan yang tidak melibatkan perempuan dalam mengambil
keputusan. Umumnya hanya laki-laki yang memiliki kekuasaan untuk mengambil
keputusan sedangkan perempuan lebih banyak diabaikan pendapatnya. Sehingga
dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan suatu organisasi dibandingkan dengan
perempuan. Hal ini terjadi karena masih banyak stereotipi dan subordinasi yang
melekat pada diri individu dan lingkungan organisasi tersebut.
Efrini (2009) dalam penelitiannya juga mengungkapkan bahwa subordinasi
perempuan di perusahaan dapat dilihat dari penempatan posisi atau karir
perempuan. Perempuan cenderung ditempatkan pada posisi kedua, seperti menjadi
sekretaris ataupun bendahara, sedangkan laki-laki diposisikan sebagai ketua atau
pemimpin. Subordinasi ini disebabkan oleh stereotipi yang sudah melekat sejak
kecil di setiap individu, bahwa perempuan merupakan makhluk yang lemah,
bersifat lemah lembut, tidak mampu menjadi pemimpin dan hanya berdiam diri di
rumah saja.
Secara umum diskriminasi gender dalam sektor pekerjaan dilatarbelakangi
adanya keyakinan gender yang keliru di tengah-tengah masyarakat. Peran gender
(gender role) sebagai bentuk ketentuan sosial diyakini sebagai sebuah kodrat
sehingga menyebabkan ketimpangan sosial dan hal ini sangat merugikan posisi
perempuan dalam berbagai komunitas sosial baik dalam pendidikan, sosial
budaya, politik, dan juga ekonomi. Di sektor pekerjaan, ketidakadilan dapat saja
terjadi karena berbagai hal antara lain marginalisasi dalam pekerjaan, kedudukan
perempuan yang subordinat dalam sosial dan budaya, stereotipi terhadap
perempuan, dan tingkat pendidikan perempuan yang rendah (Khotimah 2009).

Konsep Manajemen Sumber Daya Manusia
Racmawati (2007) menyatakan bahwa manajemen sumber daya manusia
merupakan konsep luas tentang filosofi, kebijakan, prosedur, dan praktik yang
digunakan mengelola individu atau manusia melalui organisasi. Penggunaan
konsep sumber daya manusia adalah kontrol secara sistematis dari proses jaringan
fundamental organisasi yang mempengaruhi dan melibatkan semua individu
dalam organisasi, termasuk perencanaan sumber daya manusia, desain pekerjaan,
susunan kepegawaian, pelatihan dan pengembangan, representasi dan
perlindungan tenaga kerja, serta pengembangan organisasi. Untuk mengendalikan
dan mengatur proses tersebut, sistem harus direncanakan dikembangkan, dan
diimplementasikan oleh manajemen puncak. Sunyoto (2012) berpendapat bahwa

12

manajemen sumber daya manusia pada umumnya untuk memperoleh tingkat
perkembangan karyawan yang setinggi-tingginya, hubungan yang serasi di antara
para karyawan dan penyatupaduan sumber daya manusia secara efektif atau tujuan
efisiensi dan kerja sama sehingga diharapkan akan meningkatkan produktivitas
kerja. Sejalan dengan pendapat Sunyoto (2012), Ardana et al. (2012) berpendapat
bahwa manajemen sumber daya manusia (MSDM) merupakan bagian dari
manajemen keorganisasian yang memusatkan perhatian pada unsur manusia.
Unsur manusia (man) ini berkembang menjadi bidang ilmu khusus untuk
mengajari bagaimana mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia secara
efektif dan efisien untuk mencapai tujuan tertentu dan dapat memberikan
kepuasan bagi semua pihak. MSDM adalah suatu bidang manajemen yang
mempelajari hubungan dan peranan manusia dalam organisasi atau perusahaan.
Fokus yang dipelajari dalam MSDM adalah masalah yang terkait dengan tenaga
kerja manusia. MSDM adalah suatu pendekatan dalam mengelola masalahmasalah manusia yang berdasarkan tiga prinsip dasar, yaitu:
1. Sumber daya manusia adalah harta atau aset yang paling berharga dan
paling penting dimiliki oleh satu organisasi/perusahaan, karena
keberhasilan organisasi sangat ditentukan oleh unsur manusia. Manusia
berperan sebagai perencana, pelaksana, dan sekaligus pengendali
terwujudnya tujuan organisasi/perusahaan.
2. Keberhasilan sangat mungkin dicapai jika kebijaksanaan prosedur dan
peraturan yang berkaitan dengan manusia dari perusahaan saling
berhubungan dan menguntungkan semua pihak yang terlibat di dalam
perusahaan.
3. Budaya dan nilai perusahaan serta perilaku manajerial yang berasal dari
budaya tersebut akan memberikan pengaruh besar terhadap pencapaian
hasil terbaik.
Mangkuprawira dan Hubeis (2006) mengungkapkan bahwa sekitar Tahun
1990-an, perhatian para peneliti dan praktisi terhadap strategi dan pentingnya
sistem SDM dalam organisasi semakin besar. Sebelumnya para ahli hanya
menguji metodologi dan praktik yang difokuskan pada sisi individu dan
karyawan, jenis pekerjaan, dan praktiknya, seperti dalam hal rekruitmen dan
seleksi, pelatihan, dan kompensasi.

Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia
Ardana et al. (2012) menyatakan bahwa manajemen SDM adalah bagian
dari manajemen umum yang memfokuskan perhatiannya pada unsur kegiatan
manusia, terutama berkepentingan dengan input SDM yang dimiliki suatu
perusahaan. Dalam mempelajari manajemen SDM yang memfokuskan
pembahasannya pada unsur SDM, dapat dilihat dari tiga aspek utama manajemen
SDM yaitu sebagai berikut:
1. Fungsi Manajerial Sumber Daya Manusia
2. Fungsi manajerial adalah fungsi yang mempunyai wewenang terhadap
SDM lain. Manajer SDM atau kepala bagian personalia adalah seorang
manajer yang harus menjalankan fungsi-fungsi manajemen yaitu

13

perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan Fungsi
Operasional Manajemen Sumber Daya Manusia
Fungsi operasional MSDM meliputi pengadaan, pengembangan,
pemberian kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan, dan pemutusan
hubungan kerja.
3. Peranan SDM dalam Pencapaian Tujuan Perusahaan
Aspek penting ketiga dari MSDM adalah peranannya dalam mencapai
tujuan perusahaan secara terpadu, dalam arti melihat kepentingan
individu karyawan, kepentingan perusahaan, dan kepentingan masyarakat
luas menuju efektivitas dan efisien perusahaan.

Konsep Pengembangan Karir
Ardana et al. (2012) mengungkapkan bahwa titik awal pengembangan karir
seseorang adalah prestasi kerjanya yang dipercayakan kepadanya sekarang. Tanpa
prestasi kerja yang memuaskan sulit bagi karyawan untuk dipertimbangkan dalam
promosi ke pekerjaan atau jabatan yang lebih tinggi oleh atasan. Namun pada
akhirnya tanggung jawab dalam mengembangkan karir terletak pada karyawan
masing-masing. Pihak lain, seperti pimpinan, atasan langsung, kenalan, dan
spesialis di bagian kepegawaian, hanya berperan memberikan bantuan. Semua
bergantung pada karyawannya sendiri dalam memanfaatkan kesempatan
pengembangan diri. Berbagai kesempatan tersebut seperti keikutsertaan program
pelatihan, melanjutkan pendidikan di luar jam kerja, atau berusaha supaya
dialihtugaskan. Apabila kesempatan ini dimanfaatkan dengan baik maka akan
membawa manfaat positif untuk karyawan dan organisasi. Pemanfaat kesempatan
pengembangan karir dapat dilihat sebagai manifestasi keinginan untuk tumbuh
dan berkembang.
Sunyoto (2012) menyatakan bahwa fungsi manajemen sumber daya
manusia terdiri dari fungsi manajerial dan fungsi operasional. Pengembangan
karyawan termasuk ke dalam fungsi operasional yang bertujuan untuk
meningkatkan keterampilan, pengetahuan, dan sikap karyawan agar dapat
melaksanakan tugas dengan baik.

Konsep Pendidikan dan Pelatihan
Pelatihan dan pendidikan merupakan bagian dari pengembangan karir
karyawan. Pelatihan dan pendidikan ini dilaksanakan untuk karyawan baru agar
dapat menjalankan tugas-tugas baru yang dibebankan dan untuk karyawan lama
guna meningkatkan mutu pelaksanaan tugasnya sekarang maupun masa datang.
Pelatihan dan pendidikan merupakan suatu proses berlanjut. Munculnya kondisi
baru sangat mendorong pimpinan organisasi atau perusahaan untuk terus
memperhatikan dan menyusun program-program latihan dan pendidikan secara
kontinyu. Latihan adalah bagian dari pendidikan yang menyangkut proses belajar
untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem pendidikan
yang berlaku dalam waktu yang relatif singkat dan menggunakan metode yang
lebih mengutaman praktik dari pada teori (Ardana et al. 2012).

14

Rachmawati (2007) mengungkapkan bahwa pelatihan dan pengembangan
mempunyai kegunaan untuk karir jangka panjang dan membantu karyawan
menghadapi tanggung jawab yang lebih besar di waktu mendatang. Program
pelatihan dan pengembangan merupakan kegiatan penting yang menjadi investasi
organisasi dalam hal sumber daya manusia. Pelatihan dan pengembangan
ditujukan untuk mempertahankan dan meningkatkan prestasi kerja saat ini,
sedangkan pengembangan ditujukan untuk meningkatkan prestasi saat ini dan
masa datang.
Mangkuprawira dan Hubeis (2006) berpendapat bahwa pelatihan bagi
karyawan merupakan sebuah proses mengajarkan pengetahuan dan keahlian
tertentu serta sikap agar karyawan semakin terampil dan mampu melaksanakan
tanggung jawabnya dengan semakin baik, sesuai dengan standar kerja. Biasanya
pelatihan merujuk pada pengembangan keterampilan bekerja (vocational) yang
dapat digunakan dengan segera. Sedangkan pendidikan memberikan pengetahuan
tentang subjek tertentu, tetapi sifatnya lebih umum dan lebih terstruktur untuk
jangka waktu yang lebih panjang.
Hasibuan (2002) menyatakan bahwa pendidikan bertujuan untuk
meningkatk