Arahan dan Strategi Pengembangan Kawasan Wisata Bahari di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu

ARAHAN DAN STRATEGI
PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BAHARI
DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU

WIDIA NUR ULFAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Arahan dan Strategi
Pengembangan Kawasan Wisata Bahari di Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015

Widia Nur Ulfah
NIM A156130324

RINGKASAN
WIDIA NUR ULFAH. Arahan dan Strategi Pengembangan Kawasan
Wisata Bahari di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh
BOEDI TJAHJONO dan FREDINAN YULIANDA.
Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu telah menjadi
daya tarik wisata bahari pada satu dekade terakhir. Gejala meningkatnya
kunjungan wisatawan ini jika tidak diiringi dengan pengelolaan yang baik maka
dapat menjadi suatu ancaman bagi kelestarian lingkungan Kepulauan Seribu.
Beberapa masalah kewilayahan yang muncul di Kepulauan Seribu adalah belum
terlihatnya keterpaduan pengelolaan kegiatan wisata bahari yang dilakukan oleh
banyak pihak, baik oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Swasta, maupun
masyarakat. Oleh karena itu perlu disusun suatu strategi pengelolaan wisata bahari
yang mampu mengakomodasi kepentingan berbagai pihak di atas dengan tetap
menjaga kelestarian lingkungan pesisir di Kepulauan Seribu.

Tujuan penelitian ini adalah (1) pemetaan penutupan/penggunaan lahan
eksisting di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tahun 2014; (2)
menganalisis konsistensi pemanfaatan lahan dengan Rencana Detail Tata Ruang
(RDTR) Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan zonasi Taman Nasional
Laut Kepulauan Seribu (TNLKpS); (3) mengetahui hirarki wilayah Kepulauan
Seribu dilihat dari kelengkapan sarana dan prasarana; serta (4) menyusun arahan
dan strategi pengelolaan wisata bahari di Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu. Analisis data yang digunakan mencakup analisis data citra pada lokasi
penelitian, overlay, analisis deskriptif, Skalogram, dan A’WOT. Metode klasifikasi
data citra untuk mendapatkan peta tutupan lahan eksisting dilakukan dengan
menggunakan teknik interpretasi visual dari data citra Landsat 8. Adapun untuk
dasar perairan dangkal dilakukan melalui klasifikasi terbimbing dan transformasi
citra menggunakan model Lyzenga. Peta tutupan lahan eksisting kemudian di
overlay dengan RDTR Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan zonasi
TNLKpS untuk mendapatkan peta konsistensi pengelolaan. Adapun analisis
Skalogram digunakan untuk menjawab tujuan ke-3 dari penelitian ini, dimana data
yang digunakan adalah data potensi desa (PODES) yang kemudian menghasilkan
hirarki wilayah di lokasi penelitian berdasarkan kelengkapan sarana dan prasarana.
Analisis A’WOT dilakukan dengan menggunakan data persepsi stakeholders yang
kemudian diolah dan dikaitkan dengan hasil dari seluruh analisis sebelumnya

untuk mendapatkan arahan dan strategi pengembangan wisata bahari di lokasi
penelitian.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat penutupan lahan sebanyak
delapan kelas untuk daratan, yaitu bangunan, dermaga, helipad, jalan, kolam,
lahan terbuka, vegetasi, dan pasir pantai, sedangkan untuk tutupan dasar perairan
dangkal terdiri dari lima kelas, yaitu pasir, rataan karang dan pasir, lamun, laguna,
dan karang. Luas pulau hasil interpretasi citra adalah seluas 11,04 km2, sedangkan
menurut Peraturan Daerah adalah 8,7 km2 sehingga terdapat penambahan luasan
daratan pulau seluas 2,34 km2. Penambahan luas daratan ini disebabkan (terutama
pada pulau-pulau permukiman) oleh kegiatan reklamasi, dimana kebijakan
reklamasi pantai dilakukan sesuai dengan salah satu tujuan penataan ruang
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, yaitu terwujudnya pengembangan dan

penataan kawasan permukiman dan kawasan pemerintahan melalui reklamasi
berwawasan lingkungan serta dilengkapi dengan prasarana pada pulau
permukiman. Pulau-pulau permukiman untuk tujuan wisata di Kepulauan Seribu
memiliki tutupan lahan berupa permukiman namun jumlahnya cukup banyak
sehingga menjadi padat. Hal ini mungkin disebabkan oleh meningkatnya minat
wisatawan yang berkunjung ke pulau-pulau tersebut untuk menginap sehingga
banyak bangunan baru yang didirikan masyarakat yang difungsikan sebagai

homestay. Meningkatnya jumlah wisatawan dari segi ekonomi memberikan
dampak yang positif, namun dari segi lingkungan menurunkan kualitas, karena
menurunkan tingkat kenyamanan dan daya dukung kawasan. Hasil analisis
konsistensi menunjukkan bahwa terdapat peruntukan wilayah yang tidak
konsisten dengan dokumen perencanaan, yaitu yang terjadi di sebelah utara Pulau
Bira Besar, dimana pulau ini termasuk ke dalam sub zona perdagangan dan jasa di
wilayah pulau dalam RDTR dan Peraturan Zonasi tahun 2014, namun wilayah di
sebelah utaranya sudah masuk kedalam Zona inti III TNLKpS. Selain pada pulau
Bira Besar, hasil analisis konsistensi juga menunjukkan adanya suatu ketidak
konsistenan yang terjadi di Pulau Sebaru Besar. Pulau ini direncanakan sebagai
pulau pengembangan wisata, namun pada penetapan zonasi masuk ke dalam sub
zona terbuka hijau budidaya di wilayah pulau. Hasil analisis skalogram
menunjukkan bahwa terdapat dua kelurahan yang masing-masing masuk ke dalam
hirarki I (Kelurahan Pulau Untung Jawa dan Kelurahan Pulau Panggang), II
(Kelurahan Pulau Harapan dan Kelurahan Pulau Pari), dan III (Kelurahan Pulau
Tidung dan Kelurahan Pulau Kelapa). Jumlah wisatawan terbanyak pada tahun
2013 pada masing-masing kecamatan adalah di kelurahan-kelurahan yang berada
para Hirarki I, kemudian selanjutnya di kelurahan-kelurahan pada hirarki II dan
III. Berdasarkan keseluruhan hasil analisis diatas, maka pengembangan wisata
bahari di Kepulauan Seribu sebaiknya diarahkan terutama pada objek wisata di

kelurahan yang masuk ke dalam hirarki I dari hasil analisis skalogram, yaitu
Kelurahan Pulau Untung Jawa dan Kelurahan Pulau Panggang, namun perlakuan
program pengembangan sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan zonasi
dari kedua kelurahan tersebut. Pengembangan wisata untuk Kelurahan Pulau
Panggang harus berbeda dengan pengembangan wisata untuk Kelurahan Pulau
Untung Jawa, karena Kelurahan Pulau Panggang termasuk kedalam kawasan
TNLKpS, sehingga jenis wisata bahari yang dikembangkan di Kelurahan Pulau
Penggang harus berupa ekowisata. Adapun strategi utama mencapai hal tersebut
berdasarkan hasil A’WOT yaitu melalui upaya : (1) memperkuat koordinasi antar
sektor, pengambil kebijakan, dan masyarakat; (2) zonasi harus ditetapkan secara
terintegrasi antara darat dan lautnya; (3) membatasi jumlah wisatawan sesuai
dengan daya dukung dan daya tampung serta meningkatkan kualitas pelayanan,
tidak hanya mengikuti jumlah permintaan; dan (4) membuat zonasi wisata yang
didasarkan atas jenis wisata
Kata kunci: aktivitas wisata, pesisir, pulau-pulau kecil, strategi pengembangan.

SUMMARY
WIDIA NUR ULFAH. Direction and Strategy for Marine Tourism Area
Development in Kepulauan Seribu Administrative Regency. Supervised by
BOEDI TJAHJONO and FREDINAN YULIANDA.

Coastal region and small islands in Kepulauan Seribu have become favorite
marine tourism destination over the last decade. The escalating tourism visit could
eventually become threat to coastal environment in Kepulauan Seribu unless
administered under proper management. One of major issues concerning region in
Kepulauan Seribu is lack of integration in the marine tourism management
undertaken by multiple parties namely central government, regional government,
private sector and local community. Therefore it is necessary to elaborate a set of
strategy which will not only accommodate interests of relevant stakeholders but
also maintain coastal environment conservation.
Objectives of this study were (1) to map existing land cover/use in
Kepulauan Seribu Administrative Regency in 2014; (2) to analyze consistency of
land utilization compared to both Detailed Spatial Planning Document (RDTR)
map of Kepulauan Seribu Administrative Regency and Kepulauan Seribu National
Park (TNLKpS) zoning; (3) to classify regional hierarchy of Kepulauan Seribu
according to infrastructure comprehensiveness; and (4) to devise direction and
strategy for marine tourism management in Kepulauan Seribu Administrative
Regency. Data were analyzed using image data classification, overlay, descriptive
analysis, Scalogram analysis, and A’WOT analysis. Image data classification was
performed to produce existing land cover through supervised classification
technique on Landsat 8 image data. Prior to that, image transformation for water

region was conducted using Lyzenga model and for island’s land region using
image classification by visual interpretation. The existing land cover was then
overlayed with RDTR of Kepulauan Seribu Administrative Regency and
TNLKpS zoning to produce management consistency map. Scalogram analysis
was employed to answer the third objective of this study in which the data used
was village potency data (PODES). This would generate regional hierarchy in the
site of study based on facility and infrastructure. A’WOT analysis performed
using stakeholder perception data which was then processed and fitted with the
result from entire analysis to generate direction and strategy for marine tourism
development in the site of study.
The study discovered that there were eight classes of land cover consisted of
building, dock, helipad, road, pool, terrain, vegetation and beach sand, while for
the shallow seabed cover comprising five classes i.e. sand, reef and sand flat,
seagrass, lagoon and coral reef. Total of island cover derived from image
interpretation was 11.04 km2 whereas according to local government regulation it
was 8.7 km2, in other word there was an increase of island area up to 2.34 km2.
Such increase existed because of reclamation activity (mainly at settlement island)
whose policy was implemented according to an objective of Kepulauan Seribu
spatial planning i.e. to develop and to plan settlement area and govermental area
through environmentally sounded reclamation program and the supporting

facilities in settlement island. Many settlement island areas which were designated
as tourism destination had been densely covered with housing, it might be the

effect of the rise in tourism visit to the island. Newly built houses were
established as homestay to accommodate staying tourists. The rise of tourist
number has brought positive impact in economical facet but in the other hand has
led environmental deterioration and subsequently reduced convenience level and
carrying capacity of the area. Result of consistency analysis showed there were
inconsistencies between allotment area and the planning document, for example in
the northern part of Bira Besar Island in which the island classified as the sub
zone of trade and service in the island area as indicated in RDTR and the 2014
Zoning Regulation, in fact its northern part belonged into Core Zone III of
TNLKpS. Other than Bira Besar Island, inconsistency appeared also in Sebaru
Besar Island. This island was planned to be a tourism development area, yet in the
zoning determination it was included in the sub zone of inclusive green farming in
island area. Scalogram analysis showed that there were 2 (two) villages in each of
3 hierarchies i.e. hierarchy I (Untung Jawa Island Village and Panggang Island
Village), hierarchy II (Harapan Island Village and Pari Island Village), and
hierarchy III (Tidung Island Village and Kelapa Island Village). The highest
tourist number in 2013 on each district was found in the villages classified in

Hierarchy I. Consecutively the second was in the villages in Hierarchy II and
followed by Hierarchy III. In conclusion of aforementioned analysis, marine
tourism development in Kepulauan Seribu thus is suggested to be mainly
prioritized to tourism spots in the village in Hierarcy I of Scalogram analysis i.e.
Untung Jawa Island Village and Panggang Island Village. However, the
implementation of development program should always consider the zoning status
of both villages. Development pattern of tourism in Panggang Island Village
should be performed in different manner of that in Untung Jawa Island Village
because Panggang Island Village is part of TNLKpS area, therefore the type of
marine tourism developed in Panggang Island Village is suggested to be in
ecotourism package. While the main strategies to pursue above goals based on
A’WOT analysis result are through: (1) strengthening inter-sector coordination
between the policy maker and local community; (2) enacting land and water
zoning in integrated manner; (3) controlling tourist number corresponds to
carrying capacity and spatial capacity along with continuous service improvement,
rather than entirely following demand; (4) defining tourism zoning based on the
type of tourism.
Keywords: coastal, development strategy, small islands, tourism activity.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ARAHAN DAN STRATEGI
PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BAHARI
DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU

WIDIA NUR ULFAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Setia Hadi, MS.

Judul Tesis : Arahan dan Strategi Pengembangan Kawasan Wisata Bahari di
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
Nama
: Widia Nur Ulfah
NIM
: A156130324

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Boedi Tjahjono, MSc.
Ketua

Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc.
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Wilayah

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr.

Tanggal Ujian: 26 Maret 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis yang disusun ini
berjudul “Arahan dan Strategi Pengembangan Kawasan Wisata Bahari di Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu”.
Penyusunan tulisan ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, untuk itu
penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada :
1. Bapak Dr Boedi Tjahjono, MSc. dan Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc. selaku
pembimbing atas bimbingan dan arahan yang diberikan selama ini.
2. Bapak Dr Ir Setia Hadi, MS. selaku penguji luar komisi yang telah memberikan
masukan bagi penyempurnaan tesis ini
3. Bapak Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus selaku ketua Program Studi Ilmu Perencanaan
Wilayah atas masukannya demi kesempurnaan penulisan tesis ini.
4. Kepala Pusbindiklatren BAPPENAS yang telah memberikan kesempatan dan dana
studi kepada penulis untuk menjalani studi.
5. Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kepala Balai Besar
Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) yang telah memberikan ijin kepada
penulis untuk melanjutkan studi.
6. Kepala Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu beserta staf, Dinas Kelautan
dan Pertanian Prov. DKI, Dinas Tata Kota DKI Jakarta, Suku Dinas Kelautan
Perikanan, Suku Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Adm. Kep. Seribu beserta
staf dan pihak-pihak lain yang telah meluangkan waktunya dan membantu penulis
selama pengumpulan data.
7. Suami, orang tua, adik-adik dan seluruh keluarga atas pengertian, do’a, dan kasih
sayangnya.
8. Rekan-rekan PWL 2013 dan rekan-rekan di TNTC atas persahabatan, dukungan,
dan semangatnya selama ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat kekurangan, karena itu saran
dan masukan untuk tesis ini sangat penulis harapkan. Semoga karya ilmiah ini
bermanfaat.

Bogor, Juni 2015
Widia Nur Ulfah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
3
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Pengembangan Ekowisata Bahari
Pengembangan Wilayah dan Perencanaan Wisata

4
4
6
9

3 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Bahan dan Alat
Jenis dan Metode Pengumpulan Data

11
11
11
11

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Kondisi Fisik Lokasi Penelitian
Kondisi Demografi, Sosial Budaya dan Ekonomi
Kondisi Potensi Bahari Kepulauan Seribu
Kondisi Wisata di Kepulauan Seribu
Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu

18
18
19
21
22
24

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penutupan/Penggunaan Lahan dan Perairan Tahun 2014
Konsistensi Pemanfaatan Lahan
Hirarki Wilayah Berdasarkan Kelengkapan Sarana Prasarana
Arahan dan Strategi Pengembangan Wisata Bahari

27
27
36
40
44

6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

50
50
51

DAFTAR PUSTAKA

52

LAMPIRAN

56

RIWAYAT HIDUP

59

DAFTAR TABEL
1. Kriteria stakeholder, instansi, dan jumlah responden
2. Tujuan penelitian, jenis, sumber/cara pengumpulan, metode analisis dan
keluaran
3. Pembobotan grup faktor SWOT
4. Matriks strategi hasil analisis SWOT
5. Urutan strategi SWOT
6. Indeks pembangunan manusia tahun 2006 – 2012
7. Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut lapangan usaha
tahun 2012
8. Jumlah pulau di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu sesuai dengan
peruntukannya
9. Nama pulau resort di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
10. Nama pulau dan potensi wisata di Kepulauan Seribu
11. Pembagian luas wilayah kerja SPTN Wilayah lingkup BTNLKpS
12. Luas tutupan lahan dan dasar perairan dangkal hasil analisis dan luasan
menurut SK Gubernur DKI Jakarta nomor 1986 tahun 2000
13. Estimasi daya dukung wisata dan jumlah wisatawan tahun 2013
14. Hasil analisis hirarki pengembangan wilayah kelurahan
15. Pengaruh sektor/lapangan usaha terhadap nilai PDRB
16. Faktor-faktor internal dan eksternal
17. Bobot masing-masing faktor SWOT
18. Hasil analisis matriks SWOT
19. Urutan strategi pengembangan wisata bahari

12
14
16
17
17
20
20
23
23
24
25
27
37
41
43
44
45
47
48

DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka pemikiran penelitian
2. Struktur hirarki matriks A’WOT
3. Diagram alir kegiatan penelitian
4. Peta indikasi kerawanan gangguan di Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu
5. Peta tutupan lahan dan dasar perairan dangkal tahun 2014 (a)
6. Peta tutupan lahan dan dasar perairan dangkal tahun 2014 (b)
7. Peta tutupan lahan dan dasar perairan dangkal tahun 2014 (c)
8. Peta tutupan lahan dan dasar perairan dangkal tahun 2014 (d)
9. Peta tutupan lahan dan dasar perairan dangkal tahun 2014 (e)
10. Peta tutupan lahan dan dasar perairan dangkal tahun 2014 (f)
11. Peta tutupan lahan dan dasar perairan dangkal tahun 2014 (g)
12. Peta tutupan lahan dan dasar perairan dangkal tahun 2014 (h)
13. Lahan reklamasi yang digunakan untuk kegiatan wisata
14. Peta konsistensi pengelolaan di Sekitar Pulau Sebaru Besar dan Bira Besar
15. Peta hirarki wilayah

4
16
18
26
28
29
30
31
32
33
34
35
36
39
42

DAFTAR LAMPIRAN
1. Variabel-Variabel yang digunakan dalam Analisis Skalogram
2. Contoh Perhitungan A’WOT

56
57

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian merupakan
proses yang harus ada dan tidak dapat dipisahkan dalam setiap pengelolaan
wilayah. Seperti halnya pengelolaan kawasan daratan, pengelolaan kawasan
pesisir dan pulau-pulau kecil juga harus dilakukan melalui seluruh proses-proses
tersebut. Keunikan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang terdiri dari
wilayah daratan dan perairan menyebabkan pengelolaan kawasan ini tidak bisa
dilakukan secara terpisah, melainkan harus sinergis antara pengelolaan pulau kecil
sebagai unsur daratan dan laut sebagai unsur perairan. Selain kondisi fisik
kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, kondisi masyarakat, aksesibilitas,
infrastruktur dan lainnya juga memerlukan pengelolaan yang baik dan efisien.
Adrianto (2004) menyatakan bahwa pendekatan keberlanjutan dalam pengelolaan
sistem wilayah pesisir di pulau-pulau kecil harus mempertimbangkan keterpaduan
antar komponen yang tidak dapat dipisahkan.
Salah satu potensi terbesar kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil adalah
wisata bahari dimana daya tarik utamanya adalah keindahan alam kawasan pesisir
dan pulau-pulau kecil itu sendiri. Pengembangan wisata bahari seyogyanya
berpedoman pada program pembangunan yang tentunya telah mempertimbangkan
kondisi kemampuan dan kesesuaian kawasan tersebut.
Kepulauan Seribu merupakan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang
secara administrasi masuk ke dalam Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu,
Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Wilayah kabupaten ini terbagi
menjadi dua Kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan dan
Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Kebijakan pengaturan pola ruang darat dan
perairan pesisir Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu telah dituangkan
dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun
2014 tentang Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi yang
terdiri atas sembilan zona, yaitu zona terbuka hijau budidaya di wilayah pulau,
zona pemerintah daerah, zona perumahan di wilayah pulau, zona perkantoran,
perdagangan dan jasa di wilayah pulau, zona pelayanan umum dan sosial, zona
pertambangan di wilayah pulau, zona konservasi perairan dan pesisir, zona
pemanfaatan umum perairan, dan zona terbuka hijau lindung. Sebagian besar
wilayah perairan dan sebagian kecil pulau di Kepulauan Seribu Utara adalah
wilayah yang masuk ke dalam kawasan konservasi yang dikelola oleh Balai
Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKpS). Berdasarkan Keputusan
Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen
Kehutanan Nomor SK.05/IV-KK/2004 tanggal 27 Januari 2004 tentang Zonasi
Pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, kawasan TNLKpS tersebut
dibagi atas 4 (empat) zona, yaitu Zona Inti, Zona Perlindungan, Zona
Pemanfaatan Wisata, dan Zona Pemukiman (BTNLKpS 2011a).
Perpaduan antara keindahan alam Kepulauan Seribu dan lokasinya yang
tidak terlalu jauh dari Ibu Kota Jakarta menjadikan wilayah ini ramai dikunjungi
wisatawan. Data kunjungan wisata dari tahun 2009 hingga 2013 memperlihatkan
adanya jumlah wisatawan yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun (BPS

2
Kep. Seribu 2014a). Saat ini beberapa pulau telah dikembangkan menjadi resortresort wisata yang dikelola oleh pihak swasta. Infrastruktur seperti dermaga,
anjungan pengunjung, restoran dan pondok-pondok inap pun telah dibangun.
Gejala usaha pariwisata yang saat ini cukup berkembang adalah wisata di pulaupulau permukiman dimana pengelolaan wisata di wilayah ini juga dilakukan oleh
masyarakat setempat.
Fenomena pesatnya peningkatan aktivitas wisata ke Kepulauan Seribu
dewasa ini sesungguhnya cukup mengkhawatirkan jika dilihat dari sisi lain yaitu
dari kelestarian alam. Aktivitas wisata yang tidak mengindahkan kelestarian alam
akan mempengaruhi keberlanjutan wisata itu sendiri, hal ini dikarenakan
keindahan alam di wilayah Kepulauan Seribu merupakan daya tarik utama bagi
wisata bahari itu sendiri. Lebih jauh lagi sebagian besar wilayah perairan dan
sebagian kecil pulau di Kepulauan Seribu Utara merupakan bagian dari kawasan
Taman Nasional, sehingga aktivitas wisata yang ada di kawasan tersebut harus
memperhatikan benar kaidah konservasi, agar tujuan wisata dan konservasi dapat
berjalan dengan baik sesuai dengan fungsinya dan saling mendukung antara
kepentingan yang satu dengan yang lainnya.
Perumusan Masalah
Pengelolaan kegiatan wisata bahari di Kepulauan Seribu dilakukan oleh
banyak pihak antara lain oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, swasta
maupun masyarakat. Oleh karena itu sistem pengelolaan yang dibangun di
wilayah ini harus mampu memberikan sinergi antara pihak-pihak yang terlibat di
dalamnya. Sinergitas pengelolaan yang dilakukan juga harus mengutamakan
kelestarian sumberdaya yang ada karena modal utama dalam kegiatan wisata
bahari adalah keindahan dan keaslian alamnya (Dahuri et al. 2004), dengan
demikian perencanaan pengembangan wisata bahari harus dilakukan secara
menyeluruh.
Pelaksanaan wisata yang berjalan di Kepulauan Seribu hingga saat ini
tampaknya belum mempunyai pola pengembangan yang terpadu ke depan. Hal ini
dapat dilihat salah satunya dari ketidakpaduan antara program perencanaan di
darat (pulau) dengan perairan yang mengelilinginya (khususnya yang masuk di
wilayah TNLKpS). Program tersebut antara lain adalah berupa reklamasi wilayah
daratan (pulau) yang menyentuh perairan, padahal wilayah perairan tersebut
termasuk ke dalam wilayah yang harus dilindungi. Dalam prakteknya, wilayah
perairan di dalam maupun di luar kawasan TNLKpS juga seakan tidak dibedakan
dalam pemanfaatannya.
Pola pengembangan yang dibangun di kawasan pesisir dan pulau-pulau
kecil seperti ini seyogyanya tetap mengacu pada kaidah keberlanjutan, baik dari
aspek ekologi maupun ekonomi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat tanpa merusak lingkungan. Penetapan sebagian wilayah Kepulauan
Seribu sebagai kawasan Taman Nasional adalah sebagai salah satu upaya untuk
menjaga kelestarian sumberdaya pesisir, oleh karena itu upaya ini perlu
mendapatkan dukungan dari masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan.
Pembagian kawasan Kepulauan Seribu menjadi beberapa zona, baik itu daratan
pulaunya maupun wilayah perairannya seharusnya menjadi acuan bagi

3
pengembangan kawasan ini, namun pada kenyataannya pembagian zona tersebut
tidak sepenuhnya dilaksanakan dengan baik.
Padatnya bangunan dan penduduk di beberapa pulau, khususnya pulau
permukiman secara terus menerus dapat menyebabkan ketidaknyamanan. Pulau
permukiman yang juga dimanfaatkan untuk kegiatan wisata sebaiknya dijaga
kenyamanannya karena bagaimanapun hal tersebut menjadi daya tarik wisatawan
untuk datang. Pemanfaatan ruang yang berlebihan juga dikhawatirkan
menyebabkan degradasi alam yang menjadi daya tarik wisata bahari. Oleh karena
itu, untuk wilayah ini perlu disusun suatu strategi pengelolaan wisata bahari yang
mampu mengakomodasi kepentingan berbagai pihak di atas dengan tetap menjaga
kelestarian lingkungan pesisir di Kepulauan Seribu. Kawasan konservasi laut
dengan penegakan hukum yang lemah dapat berdampak buruk terhadap
sumberdaya alam, kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat (McClanahan
et al. 2006).
Tujuan Penelitian
Terkait dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian
adalah sebagai berikut :
1. Pemetaan penutupan/penggunaan lahan eksisting di Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu tahun 2014.
2. Menganalisis konsistensi pemanfaatan lahan dengan Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
3. Mengetahui hirarki wilayah Kepulauan Seribu dilihat dari kelengkapan
sarana dan prasarana.
4. Menyusun arahan dan strategi pengelolaan pengembangan wisata bahari di
daerah penelitian.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi
pihak terkait dalam rangka pengelolaan kegiatan wisata bahari di Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu.
Ruang Lingkup Penelitian
Berdasarkan Undang-undang No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Undang-undang No 1 tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang dimaksud dengan wilayah pesisir
adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh
perubahan di darat dan di laut. Adapun potensi wilayah pesisir sangat besar, salah
satunya adalah untuk kegiatan wisata bahari. Pemanfaatan daratan pulau dan
perairannya merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi, sedangkan
pulau-pulau kecil dapat digolongkan sebagai wilayah yang cukup sensitif terhadap
kerusakan bila tidak dikelola dengan baik, sehingga diperlukan suatu perencanaan
wilayah yang baik dan berkelanjutan untuk menjaga kelestariannya.
Indikasi terlaksananya perencanaan wilayah pulau-pulau kecil yang telah
ditetapkan dapat diketahui salah satunya melalui analisis konsistensi antara

4
penggunaan eksisting dari lahan dan perairan dengan peta RDTR Kabupaten
Kepulauan Seribu dan zonasi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Analisis
ini dimaksudkan untuk mengetahui secara spasial sejauh mana implementasi
perencanaan dengan pemanfaatan yang ada selama ini, apakah sudah dilaksanakan
dengan baik atau sebaliknya. Selain itu, analisis mengenai hierarki wilayah juga
diperlukan karena informasinya dapat digunakan untuk dasar pengembangan
wisata ke depan terutama dalam aspek infrastruktur. Hal ini patut menjadi
pertimbangan karena fasilitas wisata adalah salah satu daya tarik wisatawan untuk
datang ke lokasi wisata.
Keterpaduan antar pengelola dan pemangku kebijakan di Kepulauan Seribu
sangatlah diperlukan untuk pengembangan wilayah, khususnya pada sektor wisata
bahari, sedangkan informasi kondisi, potensi, peranan, serta keterkaitan wisata bahari
akan dapat memberikan gambaran perkembangan wisata bahari aktual dan potensial.
Informasi antara gambaran wisata bahari yang disintesiskan dengan persepsi
stakeholder dan kebijakan pemerintah akan menghasilkan arahan pembangunan dan
pengembangan wisata bahari untuk wilayah Kepulauan Seribu.
Ujung dari semua analisis di atas akan dapat digunakan untuk membangun
arahan pengelolaan dan pengembangan pesisir secara sinergis di Kepulauan
Seribu sebagai daerah tujuan wisata bahari. Kerangka penelitian ini dapat dilihat
pada Gambar 1.
Kondisi eksisting
spasial

Persepsi
stakeholders

Sistem pengelolaan
wisata bahari aktual

Informasi pusat
pelayanan wisata

Wisata bahari di Kepulauan Seribu

Arahan dan strategi pengembangan wisata bahari di Kepulauan Seribu
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Pengelolaan berarti kegiatan yang terdiri dari perencanaan pengorganisasian,
pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi. Menurut Keputusan Menteri Kelautan
dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum Pengelolaan
Pulau-pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat disebutkan bahwa
pengertian pulau kecil adalah pulau yang mempunyai ukuran luas kurang dari
10.000 km2 dengan jumlah penduduk kurang dari 200.000 jiwa, sedangkan
menurut Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau Terluar,
Undang-undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

5
Pulau-Pulau Kecil, dan Undang-undang No 1 tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-undang No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, definisi pulau kecil mempunyai dimensi ukuran yang berbeda,
yaitu pulau yang mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan 2.000 km2.
Pengertian pengelolaan pulau-pulau kecil merupakan suatu proses
perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pulaupulau kecil, secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologis, ekonomi,sosial
budaya, baik secara individual maupun bersama dan secara sinergis dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, dalam kaitan dengan
pengelolaan, maka banyak faktor yang harus diperhatikan, seperti: pulau kecil
secara fisik memiliki sumberdaya daratan (terestrial) yang sangat terbatas,
habitatnya seringkali terisolasi dari habitat lain, area tangkapan air terbatas dan
mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi spesies endemik yang tinggi
bila dibandingkan dengan pulau kontinen, secara ekologi memiliki kondisi yang
sangat rentan, sehingga interaksi antara lahan dan perairan laut melalui proses
hidrologis dan arus laut sebagaimana pergerakan biotanya, mempunyai
karakteristik yang spesifik (Salm et al. 2000).
Menurut Adrianto (2004), dalam perspektif ekosistem wilayah pesisir,
wilayah pulau-pulau kecil dapat dibagi menjadi beberapa sub-wilayah yaitu : (1)
wilayah perairan lepas pantai (coastal offshore zone); wilayah pantai (beach
zone); (3) wilayah dataran rendah pesisir (coastal lowland zone); dan (4) wilayah
pesisir pedalaman (inland zone). Selanjutnya dalam hubungannya dengan
keterpaduan maka pendekatan berbasis keberlanjutan sistem wilayah pesisir di
pulau-pulau kecil menjadi syarat mutlak. Pengelolaan lingkungan wilayah pesisir
di pulau-pulau kecil harus mempertimbangkan faktor keterpaduan antar
komponen dan tidak dapat dipisahkan antara komponen yang satu dengan yang
lainnya. Dengan demikian keberlanjutan pembangunan melalui pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil akan dapat dicapai.
Kaitan dengan pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia, menurut
peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 20 tahun 2008 tentang
pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya disebutkan bahwa pulau
dengan luas areanya ≤ 2.000 km2 kegiatan yang sesuai mencakup konservasi
sumberdaya alam, budidaya laut, pariwisata bahari, usaha penangkapan ikan
berkelanjutan, pendidikan dan penelitian, dan sebagainya. Cambers (1992) dalam
Adrianto (2004) menyatakan bahwa strategi pengelolaan pulau-pulau kecil harus
dapat mengkaitkan seluruh kegiatan dan pemangku kepentingan yang ada di
pulau-pulau kecil dengan sistem yang terkoordinasi. Selanjutnya dijelaskan bahwa
sistem terkoordinasi yang dapat diidentifikasi di pulau-pulau kecil paling tidak
terdapat lima proses, yaitu proses alam, proses sosial, proses ekonomi, proses
perubahan iklim, dan proses pertemuan antara daratan dan laut yang masingmasing merupakan komponen dalam sistem pulau-pulau kecil yang tidak bisa
dipisahkan antara sistem lingkungan daratan, sistem lingkungan laut, dan sistem
aktivitas. Jika pengelolaan pembangunan pada kawasan pesisir tidak terencana
dengan baik, maka dapat mengakibatkan dampak yang besar.
Yulianda et al. (2010) menyatakan bahwa dalam pengelolaan Kawasan
Pesisir dan Laut sangat diperlukan suatu sistem zonasi yang berfungsi sebagai
penentu batas kawasan sekaligus sebagai penentu stratus kawasan tersebut. Sistem
zonasi ini bermanfaat dalam pengelolaan sebagai berikut:

6
1. Zonasi memungkinkan kontrol secara selektif terhadap berbagai
aktivitas di tempat-tempat yang berbeda, termasuk perlindungan secara
ketat dan berbagai tingkat pemanfaatan.
2. Zonasi dapat menentukan zona inti konservasi (terdapat
keanekaragaman yang sangat tinggi, habitat kritis spesies yang terancam,
dan area penelitian khusus) sebagai area perlindungan sehingga
pemanfaatan yang dapat merusak tidak diijinkan.
3. Zonasi dapat digunakan untuk memisahkan kegiatan-kegiatan rekreasi
yang tidak sesuai sehingga dapat menambah kenyamanan dan keamanan
dari berbagai tujuan yang berbeda.
4. Zonasi memungkinkan area yang rusak untuk dipisahkan kemudian
dipulihkan.
Berdasarkan zonasi tersebut maka penetapan zona rekreasi akan berfungsi
sebagai pembatas wilayah rekreasi bagi wisatawan dan dapat menentukan pintu
akses masuk/keluar wisatawan (pelabuhan/dermaga). Dengan demikian wisatawan
dapat menikmati lokasi wisata dengan optimal dan memusatkan kegiatan mereka
di daerah tersebut tanpa menggangu zona peruntukan lain (Wallace 1993).
Pengembangan Ekowisata Bahari
Wisata berkelanjutan merupakan wisata yang meminimalisir dampak negatif
terhadap alam, memberikan dampak positif bagi masyarakat lokal, serta
memberikan pendidikan konservasi bagi wisatawan. Oleh karena itu, jika jumlah
wisatawan yang berkunjung melebihi kapasitas daya dukung, maka akan
berpotensi merusak kelestarian alam yang menjadi daya tarik wisata itu sendiri.
Kondisi alam yang menurun ini berpotensi menurunkan pemasukan daerah. Pada
umumnya wisatawan tertarik pada kondisi alam yang relatif terjaga. Jumlah
wisatawan yang meningkat mampu menambah pemasukan, jika pengelolaannya
baik maka pemasukan tersebut bisa diarahkan untuk biaya perbaikan lingkungan.
Fennel dan Eagles (1990) dalam Baksir (2010) menyarankan enam prinsip
penting yang harus dipenuhi oleh pengunjung dalam penyelenggaraan ekowisata,
yakni : 1) semaksimal mungkin berusaha meniadakan dampak negatif dari
kehadiran mereka terhadap lingkungan destinasi wisata dan penduduk lokal; 2)
melakukan perjalanan wisata ini dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran
dan pemahaman terhadap alam dan keunikan lokal; 3) ikut membantu
memaksimalkan partisipasi awal dan jangka panjang dari masyarakat lokal, dalam
proses pembuatan keputusan yang menyangkut penyelenggaraan ekowisata; 4)
selayaknya, pengunjung memberikan kontribusi terhadap usaha-usaha konservasi
daerah yang dilindungi; 5) memberikan keuntungan ekonomi dibandingkan
sekadar mengalihkan masyarakat setempat dari pekerjaan tradisional mereka; 6)
membuka peluang bagi mahasiswa, masyarakat lokal, dan pekerja wisata, untuk
memanfaatkan keindahan sumberdaya alam.
Konsep wisata di wilayah pesisir yang berkelanjutan merupakan bagian dari
konsep pengelolaan wilayah pesisir berkelanjutan yang dalam pelaksanaannya
berkaitan erat dengan konsep pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu antar
pihak yang berperan dalam wilayah pesisir tersebut (Bengen 2000). Berdasarkan
konsep-konsep di atas, dapat diketahui bahwa untuk mencapai suatu konsep

7
wisata yang berkelanjutan, dibutuhkan usaha untuk mencapai visi pembangunan
berkelanjutan. Konsep ini membutuhkan komitmen dari banyak pihak dalam
upaya meningkatkan dan mempertahankan subsektor wisata dan sebagai bagian
dari strategi penerimaan devisa.
The International Ecotourism Society (TIES) (2000) dalam Damanik dan
Weber (2006) mendefinisikan ekowisata sebagai perjalanan wisata alam yang
bertanggung jawab dengan cara melestarikan lingkungan dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat lokal. Dari definisi ini ekowisata dapat dilihat dari tiga
perspektif yakni (1) sebagai produk, yaitu semua atraksi yang berbasis
sumberdaya alam (2) sebagai pasar, yaitu perjalanan yang diarahkan pada upayaupaya pelestarian lingkungan, dan (3) sebagai pendekatan pengembangan, yaitu
sebagai metode pemanfaatan dan pengelolaan pariwisata secara ramah lingkungan.
Ekowisata meminimalkan dampak negatif terhadap mutu dan kualitas
keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh kegiatan wisata yang bersifat
massal. From (2004) dalam Damanik dan Weber (2006) menyusun tiga konsep
dasar ekowisata, yaitu :
1) Perjalanan outdoor dan di kawasan alam yang tidak menimbulkan
kerusakan lingkungan.
2) Mengutamakan penggunaan fasilitas transportasi yang diciptakan dan
dikelola masyarakat kawasan wisata itu.
3) Menaruh perhatian besar pada lingkungan alam dan penghargaan terhadap
budaya lokal.
Prinsip ekowisata menurut TIES (2000) dalam Damanik dan Weber (2006)
adalah :
a) Mengurangi dampak negatif berupa kerusakan atau pencemaran
lingkungan dan budaya lokal akibat kegiatan wisata.
b) Membangun kesadaran dan penghargaan atas lingkungan dan budaya di
destinasi wisata, baik pada diri wisatawan, masyarakat lokal maupun
pelaku wisata lainnya.
c) Menawarkan pengalaman-pengalaman positif bagi wisatawan maupun
masyarakat lokal melalui kontak budaya yang lebih intensif dan
kerjasama dalam pemeliharaan atau konservasi objek dan daya tarik
wisata.
d) Memberikan keuntungan finansial secara langsung bagi keperluan
konservasi melalui kontribusi atau pengeluaran ekstra wisatawan.
e) Memberikan keuntungan finansial dan pemberdayaan bagi masyarakat
lokal dengan menciptakan produk wisata yang mengedepankan nilai-nilai
lokal.
f) Meningkatkan kepekaan terhadap situasi sosial, lingkungan dan politik di
daerah tujuan wisata.
g) Menghormati hak asasi manusia dan perjanjian kerja, dalam arti
memberikan kebebasan kepada wisatawan dan masyarakat lokal untuk
menikmati atraksi wisata sebagai wujud hak asasi, serta tunduk pada
aturan main yang adil dan disepakati bersama dalam pelaksanaan
transaksi-transaksi wisata.

8
Ekowisata mempunyai karakteristik yang membedakannya dengan wisata masal
antara lain (Damanik dan Weber 2006) :
1) Aktivitas wisata berkaitan dengan konservasi lingkungan, meski
motifnya bukan untuk melestarikan lingkungan namun ada keinginan
tersebut saat melakukan kegiatan wisata.
2) Penyedia jasa wisata selain menyiapkan atraksi untuk menarik tamu juga
menawarkan peluang untuk lebih menghargai lingkungan, sehingga
keunikan objek dan daya tarik wisata dan lingkungannya tetap terpelihara
dan masyarakat lokal serta wisatawan berikutnya dapat menikmati
keunikan tersebut. Selain itu penyedia jasa wisata perlu menyediakan
kegiatan-kegiatan produktif yang langgeng agar masyarakat lokal dapat
menikmati hidup yang lebih baik secara berkelanjutan.
3) Kegiatan wisatanya berbasis alam, sehingga aset alam yang masih asli
dan terjaga menawarkan nilai tertinggi dalam kepuasan berwisata.
4) Penyedia jasa perjalanan menunjukkan tanggung jawab finansial dalam
pelestarian lingkungan yang dinikmati dan dikunjungi wisatawan, dan
wisatawan juga melakukan kegiatan yang terkait dengan konservasi.
Kegiatan wisata selain bertujuan menikmati keindahan, secara spesifik
juga mengumpulkan dana yang akan digunakan bagi pelestarian objek
wisata. Dalam hal ini terbentuk hubungan erat antara masyarakat lokal,
pelaku konservasi dan ilmuwan, serta ekowistawan melalui situasi belajar
dan pengalaman bersama.
5) Perjalanan wisata menggunakan alat transportasi dan akomodasi lokal.
6) Pendapatan dari pariwisata, selain untuk mendukung kegiatan konservasi
lokal juga dipakai untuk membantu pengembangan masyarakat setempat
secara berkelanjutan, misalnya dengan membentuk program-program
pendidikan lingkungan.
7) Perjalanan wisata menggunakan teknologi sederhana yang tersedia di
daerah tujuan wisata, terutama yang menghemat energi, menggunakan
sunberdaya lokal dan melibatkan masyarakat lokal dalam pembuatannya.
8) Kegiatan wisata berskala kecil, baik dalam arti jumlah wisatawan
maupun usaha jasa yang dikelola. Walaupun dengan cara itu
keuntungannya cenderung mengecil. Misalnya penyediaan akomodasi
dengan kapasitas maksimum 20 kamar, meskipun dari sisi luar kawasan
wisata memungkinkan penyediaaan kamar lebih dari jumlah itu.
Tujuannya adalah untuk menyeimbangkan kepuasan berwisata dengan
daya dukung lingkungan (alam dan sosial budaya) serta besaran
keuntungan yang akan dinikmati oleh masyarakat lokal.
Ekowisata sesungguhnya merupakan suatu perpaduan dari berbagai
kepedulian yang tumbuh berdasarkan keprihatinan lingkungan, ekonomi dan
sosial. Akar dari ekowisata terletak pada pariwisata alam dan ruang terbuka. Jadi
dengan kata lain ekowisata menggabungkan suatu komitmen yang kuat antara
kelestarian alam dan suatu rasa tanggung jawab sosial. Dalam hubungannya
dengan ekowisata di pulau-pulau kecil, seperti telah dijelaskan di atas, wilayah
pulau-pulau kecil dikelilingi oleh wilayah laut yang lebih luas dari daratannya,
sehingga pengembangan ekowisata lebih mengarah kepada wisata bahari. Jika

9
wisata bahari merupakan wisata yang lebih banyak dikembangkan di wilayah
pulau-pulau kecil.
Secara umum perkembangan pariwisata memberikan pendapatan devisa
bagi negara yang cukup besar terutama kontribusinya terhadap perkembangan
wisata bahari di tanah air. Dalam kasus-kasus tertentu dapat saja terjadi
pendapatan masyarakat meningkat karena meningkatnya jumlah wisatawan,
namun jika orang lupa untuk memperhatikan aspek lingkungan, maka hasilnya
dapat merusak sumberdaya yang ada. Kegiatan ekowisata yang dilakukan pada
beberapa lokasi terbukti telah menambah pendapatan masyarakat dan dalam
kegiatan ini masyarakat dilibatkan langsung dalam kegiatan menjaga kelestarian
sumberdaya hayati (Yuanike 2003). Dengan demikian manfaat ekowisata bernilai
positif, sehingga pelaksanaan ekowisata harus dilakukan dengan memelihara
keaslian alam dan lingkungan, memelihara keaslian seni dan budaya, adat istiadat,
kebiasaan hidup, menciptakan ketenangan, kesunyian, memelihara flora dan fauna,
serta terpeliharanya lingkungan hidup. Dengan cara ini maka tercipta suatu
keseimbangan antara kehidupan manusia dengan alam sekitarnya, sehingga
wisatawan yang datang tidak semata-mata untuk menikmati alam sekitar tetapi
juga mempelajari gejala alam untuk meningkatkan pengetahuan atau pengalaman.
Pengembangan Wilayah dan Perencanaan Wisata
Pembangunan adalah kegiatan yang dilakukan secara terencana untuk
mencapai hasil yang lebih baik di masa yang akan datang. Sebagai proses yang
bersifat terpadu, pembangunan dilaksanakan berdasarkan potensi lokal yang
dimiliki, baik potensi sumber daya alam, manusia, buatan, maupun sumber daya
sosial. Pembangunan merupakan upaya yang sistematik dan berkesinambungan
untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah
bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Tujuan akhir
pembangunan adalah tercapainya kesejahteraan bagi. Menurut Rustiadi et al.
(2011), untuk menilai pembangunan suatu wilayah dapat digunakan beberapa
indikator sebagai berikut:
a. Indikator berbasis tujuan pembangunan: (1) produktivitas, efisiensi dan
pertumbuhan (growth); (2) pemerataan, keadilan dan keberimbangan (equity);
dan (3) keberlanjutan (sustainability).
b. Indikator pembangunan berdasarkan “kapasitas sumber daya pembangunan”,
yaitu cara mengukur tingkat kinerja pembangunan dengan mengembangkan
berbagai ukuran operasional berdasarkan pemanfaatan dan kondisi sumber
daya yang meliputi sumber daya alam, manusia, buatan, dan sumber daya
sosial.
c. Indikator pembangunan berbasis proses, merupakan suatu cara mengukur
kinerja pembangunan dengan mengedepankan proses pembangunan itu
sendiri dengan melihat input, proses atau implementasi, output, outcome,
benefit, dan impact.
Menurut Rustiadi et al. (2011), pembangunan regional yang berimbang
merupakan pembangunan yang merata dari wilayah yang berbeda untuk
meningkatkan pengembangan kapabilitas dan kebutuhan mereka, yaitu adanya
pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang dimiliki oleh suatu

10
wilayah sesuai dengan kapasitasnya. Manfaat dari pertumbuhan ekonomi secara
keseluruhan merupakan hasil interaksi yang saling memperkuat di antara sesama
wilayah yang terlibat, sehingga dapat mengurangi ketimpangan pembangunan
antar wilayah (disparitas pembangunan regional).
Pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan sektoral,
spasial, serta keterpaduan antar pelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah.
Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional yang sinergis antar
sektor pembangunan, sehingga setiap kegiatan pembangunan dalam kelembagaan
sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah. Dalam pandangan
sistem industri, keterpaduan sektoral berarti keterpaduan sistem input dan output
industri yang efisien dan sinergis. Oleh karena itu, wilayah yang berkembang
ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antar sektor ekonomi wilayah, dalam arti
terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor yang sangat dinamis
(Rustiadi et al. 2011).
Hal penting yang pertama perlu dilakukan dalam penataan ruang dan
pengembangan wilayah adalah memetakan struktur ruang yang mencakup
keterkaitan antar hirarki wilayah, serta alokasi infrastruktur dan jaringan.
Keterkaitan antar hirarki wilayah menjadi penting untuk dapat menentukan
wilayah-wilayah mana saja yang dapat menjadi pusat pelayanan dan wilayahwilayah mana saja yang akan menjadi hinterland yang akan melayani pusat-pusat.
Penempatan infrastruktur sesuai dengan hirarki wilayah diperlukan agar
pembangunan infrastruktur menjadi efisien (Widiatmaka 2013).
Selain itu, skala prioritas sangat diperlukan dalam suatu perencanaan
pembangunan karena adanya keterbatasan sumber daya yang tersedia (Rustiadi et
al. 2011). Dalam dimensi pembangunan, suatu skala prioritas didasarkan atas
pemahaman bahwa: (1) setiap sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak
langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran pembangunan (penyerapan
tenaga kerja, pendapatan wilayah, dan lain-lain); (2) setiap sektor memiliki
keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda;
dan (3) aktivitas sektoral tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa
sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran
sumber daya.
Menurut Sitorus (2004), berdasarkan kaitannya dengan perencanaan wilayah,
penentuan suatu lokasi rekreasi harus didasarkan pada hasil evaluasi kesesuaian
lahan. Evaluasi terhadap pengembangan sarana wisata untuk rekreasi perlu
disesuaikan dengan pilihan jenis-jenis rekreasi yang diperlukan untuk kawasan
wisata tersebut dan klasifikasi kesesuaian lahan untuk daerah rekreasi ditentukan
berdasarkan besarnya faktor penghambat. (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007).
Pada dasarnya rencana pengembangan wilayah untuk kegiatan wisata
merupakan gabungan antara konsep pemilik wilayah dan perencana. Namun
perencanaan tersebut tidaklah terlepas dari berbagai faktor eksternal yang saling
berkaitan, sebagai contoh perlunya mempertimbangkan rencana pengembangan
fasilitas transportasi dan akomodasi di samping perencanaan lokasi wisata itu
sendiri. Akomodasi dan akses transportasi harus disertakan ke dalam perencanaan
wisata dengan mempertimbangkan daya dukung dan segmen pasar wisatanya
(Gunn 1994).

11

3 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu,
Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta yang terbagi menjadi dua
kecamatan, dan terdiri dari enam kelurahan. Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu terletak pada 5°10’0’’ – 5°57’00’’ LS dan 106°19’30’’ – 106°44’50’’ BT.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli hingga Desember 2014.
Bahan dan Alat
Bahan atau data yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra Landsat 8,
citra Ikonos 2010, cit