Pemanfaatan Perikanan Tangkap untuk Pengembangan Wisata Bahari di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu

(1)

PEMANFAATAN PERIKANAN TANGKAP UNTUK

PENGEMBANGAN WISATA BAHARI DI

PULAU PRAMUKA, KABUPATEN KEPULAUAN SERIBU

RACHMAN SYUHADA

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ABSTRAK

RACHMAN SYUHADA, C44051005. Pemanfaatan Perikanan Tangkap Untuk Pengembangan Wisata Bahari di Pulau Pramuka, Kabupaten Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh DINIAH dan MOCH. PRIHATNA SOBARI.

Pulau Pramuka merupakan pusat administrasi dan pemerintahan Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, memiliki potensi perikanan tangkap dan pariwisata yang cukup besar. Kegiatan perikanan tangkap dan kegiatan pariwisata di Pulau Pramuka selama ini berjalan sendiri-sendiri, bahkan kegiatan pariwisata cenderung menekan kegiatan perikanan tangkap. Penelitian ditujukan untuk mengkaji potensi perikanan tangkap di Pulau Pramuka, permintan pariwisata bahari di Pulau Pramuka dan strategi pengembangan wisata bahari berdasarkan potensi perikanan tangkap di Pulau Pramuka. Pendekatan dengan menggunakan metode biaya perjalanan dan SWOT digunakan untuk menganalisis pengembangan pariwisata bahari berdasarkan pemanfaatan perikanan tangkap di Pulau Pramuka. Hasil analisis menunjukkan nilai sumberdaya pariwisata yang didapat adalah Rp 50.055.848,60 dan Nilai Ekonomi Total (NET) dari sumberdaya pariwisata yang diperoleh ialah Rp 1.345.481.190.178,93. Hal tersebut menunjukkan tingginya permintaan wisata bahari. Hasil analisis SWOT menunjukkan untuk melakukan pengembangan wisata bahari di Pulau Pramuka harus menjalankan strategi agresif dengan memanfaatkan potensi perikanan tangkap di Pulau Pramuka.

Kata Kunci : potensi perikanan tangkap, wisata bahari, strategi pemanfaatan potensi perikanan tangkap


(3)

ABSTRACT

Rachman SHUHADA, C44051005. Utilization of fisheries for the Development of Marine Tourism in the Pramuka Island, Thousand Islands District. Guided by DINIAH and Moch. Prihatna Sobari.

Pramuka Island is the center of government administration and Administrative District Thousand Islands, has the potential of capture fisheries and tourism are considerable. Fishing activities and tourism activities in the Scout Island had been running alone, even tourism activity tends to suppress the activity of fishing. The study aimed to assess the potential of capture fisheries in the Scout Island, demanders maritime tourism in the Scout Island and nautical tourism development strategy based on the potential of capture fisheries on Scout Island. Approach using the SWOT method and travel expenses, are used to analyze the utilization of fisheries for the development of nautical tourism on the island of Scouting. The analysis showed the number of tourists make the consumer surpus value obtained is Rp 50,055,848.6 and. Total Economic Value (NET) obtained is Rp 1,345,481,190,178.93. This shows the high demand for marine tourism. The results of SWOT analysis shows for the development of nautical tourism on the Island Scout must execute an aggressive strategy to exploit the potential of capture fisheries on Scout Island.

Keywords: utilization the potential of capture fisheries, marine tourism, the strategy of utilization of fisheries


(4)

PEMANFAATAN PERIKANAN TANGKAP UNTUK

PENGEMBANGAN WISATA BAHARI DI

PULAU PRAMUKA, KABUPATEN KEPULAUAN SERIBU

RACHMAN SYUHADA

Skripsi

Sebagai salah satu satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pemanfaatan Perikanan Tangkap Untuk Pengembangan Wisata Bahari di Pulau Pramuka, Kabupaten Kepulauan Seribu adalah karya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2011

Rachman Syuhada C44051005


(6)

© Hak cipta IPB, Tahun 2011

Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang

1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber :

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.


(7)

SKRIPSI

Judul Skripsi : Pemanfaatan Perikanan Tangkap untuk Pengembangan Wisata Bahari di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Nama Mahasiswa : Rachman Syuhada

NRP : C44051005

Program Studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap Departemen : Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Disetujui:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr.Ir. Diniah, M.Si. Ir. Moch. Prihatna Sobari, MS.

NIP 196109241986022001 NIP 196103161986011001

Diketahui:

Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Dr.Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. NIP 196212231987031001


(8)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini mengungkapkan strategi pemanfaatan potensi perikanan tangkap dalam kegiatan wisata bahari di sekitar Pulau Pramuka. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan di Pulau Pramuka.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak mungkin dapat diselesaikan dengan baik tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terimakasih kepada :

1) Dr.Ir. Diniah, M.Si. dan Ir. Moch. Prihatna Sobari, MS. selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

2) Dr.Ir. Mohammad Imron, M.Si. sebagai ketua Komisi Pendidikan Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Prof.Dr.Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc. sebagai dosen penguji tamu pada sidang ujian skripsi.

3) Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu yang telah memberikan izin penelitian dan pihak Kelurahan Pulau Panggang yang telah memberikan izin penelitian serta informasi mengenai obyek wisata Pulau Pramuka.

4) Kang Aldi, nelayan dan wisatawan di Pulau Pramuka yang telah meluangkan waktunya untuk diwawancarai.

5) Kedua orang tua, ibu Nuning dan saudara-saudaraku yang selalu memberikan kasih sayang, doa, semangat dan dukungan moril kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

6) Pipitiaku yang selalu setia mendampingi hingga akhir.

7) Andika “Jonih”, Arya “Pota”, Dinnari “Din”, Vivin “Mama” dan Yuli “Ulie” terima kasih atas keikhlasan dan kesabaran dalam persahabatan.

8) Pihak terkait yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Oktober 2011 Rachman Syuhada


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 1 Juli 1987 dari Bapak Suganda dan Ibu Lies Setiawati. Penulis merupakan anak kelima dari 6 bersaudara.

Penulis lulus dari SMU Negeri 1 Ciputat pada tahun 2005. Pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Penulis memilih Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten luar biasa mata kuliah Dasar – Dasar Perikanan Tangkap pada tahun ajaran 2008/2009 dan tahun ajaran 2009/2010, serta menjadi asisten mata kuliah Praktek Laut Penangkapan Ikan pada tahun ajaran 2010/2011. Penulis juga aktif pada kegiatan kampus seperti kepanitiaan acara seni dan kepanitiaan acara olahraga dan acara-acara yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa IPB.

Dalam rangka menyelesaikan tugas akhir, penulis melakukan penelitian untuk menyusun skripsi dengan judul “Pemanfaatan Perikanan Tangkap untuk

Pengembangan Wisata Bahari di Pulau Pramuka, Kabupaten Kepulauan Seribu”.

Selama menyelesaikan skripsi penulis dibimbing oleh Dr.Ir. Diniah, M.Si. dan Ir. Moch. Prihatna Sobari, MS. Penulis dinyatakan lulus pada tanggal 29 Juli 2011 dalam sidang skripsi yang diselenggarakan oleh Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... i

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... v

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan ... 3

1.4 Manfaat ... 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap ... 4

2.1.1 Alat penangkapan ikan ... 4

2.1.2 Nelayan ... 11

2.1.3 Kapal penangkapan ikan ... 12

2.2 Pariwisata Bahari ... 12

2.3 Permintaan Pariwisata ...…….. 13

2.4 Hubungan Pariwisata Dengan Perikanan Tangkap ... 13

2.5 Analisis SWOT ... 14

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat ... 16

3.2 Bahan dan Alat ... 16

3.3 Metode Penelitian ... 16

3.4 Jenis dan Sumber Data ... 16

3.5 Metode Pengambilan Contoh ... 18

3.6 Analisis Data ... 18

3.6.1 Analisis terhadap sektor perikanan tangkap ... 18

3.6.2 Analisis terhadap sektor pariwisata ... 19

3.6.2.1 Kurva permintaan rekreasi ... 19

3.6.2.2 Analisis persepsi dan apresiasi obyek wisata ... 20

3.6.2.3 Evaluasi model permintaan pariwisata ... 21

3.6.3 Analisis SWOT ... 24

3.6.3.1Analisis faktor internal dan eksternal ……… 25

3.6.3.2Penentuan bobot setiap variabel ……….... 25

3.6.3.3 Penentuan peringkat (rating) ………. 27

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Kepulauan Seribu ... 30

4.2 Keragaan perekonomian Kabupaten Kepulauan Seribu ... 36

4.3 Keragaan Perikanan Tangkap di Pulau Pramuka ... 38

4.3.1 Alat penangkapan ikan ... 39

4.3.1.1 Bubu tambun ... 39


(11)

4.3.1.3 Payang ... 43

4.3.1.4 Pancing gandar ... 45

4.3.2 Nelayan ... 47

4.3.3 Armada penangkapan ikan ... 48

4.3.4 Produksi perikanan tangkap ... 49

4.3.5 Musim penangkapan ... 50

4.3.6 Daerah penangkapan ... 50

4.4 Keragaan Pariwisata di Pulau Pramuka ... 50

4.4.1 Karakteristik responden ... 52

4.4.2 Fungsi permintaan pariwisata ... 62

4.4.3 Surplus konsumen dan nilai ekonomi obyek wisata ... 63

4.4.4 Evaluasi model permintaan pariwisata ... 65

4.5 Hubungan Perikanan Tangkap dan Pengembangan Pariwisata Bahari di Pulau Pramuka, Kabupaten Kepulauan Seribu ... 70

4.6 Analisis SWOT Strategi Pengembangan Potensi Perikanan Tangkap Terhadap Pariwisata Bahari di Pulau Pramuka ... 74

4.6.1 Identifikasi unsur SWOT pemanfaatan perikanan tangkap untuk pengembangan pariwisata bahari ... 74

4.6.2 Analisis matriks EFE (External Factor Evaluation) dan IFE (Internal Factor Evaluation) ... 79

4.6.3 Analisis SWOT ... 82

5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 85

5.2 Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 87


(12)

i

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Penilaian bobot faktor strategis eksternal ... 26

2 Penilaian bobot faktor strategis internal ... 27

3 Matriks External Factor Evaluation ... 28

4 Matriks Internal Factor Evaluation ... 28

5 Matriks SWOT ... 29

6 Kecamatan dan kelurahan di Kabupaten Kepulauan Seribu ... 31

7 Jumlah penduduk menurut kecamatan dan jenis kelamin ... 34

8 Jenis dan jumlah alat penangkapan ikan di Kelurahan Pulau Panggang pada tahun 2008 ... 39

9 Jumlah nelayan di Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tahun 2006 ... 48

10 Jumlah unit budidaya di Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu ... 48

11 Jenis dan jumlah armada penangkapan ikan di Kelurahan Pulau Panggang ... 49

12 Volume dan nilai produksi perikanan tangkap di Kabupaten Kepulauan Seribu pada tahun 2006 ... 49

13 Daerah asal responden Bulan Oktober 2010 ... 53

14 Kelompok umur responden Bulan Oktober 2010 ... 54

15 Tingkat pendidikan responden Bulan Oktober 2010 ... 55

16 Tingkat pendapatan responden Bulan Oktober 2010 ... 56

17 Lama kunjungan responden Bulan Oktober 2010 ... 57

18 Biaya kunjungan responden lokal Bulan Oktober 2010 ... 58

19 Biaya kunjungan responden mancanegara Bulan Oktober 2010 ... 59

20 Manfaat wisata responden Bulan Oktober 2010 ... 60

21 Nilai keindahan kawasan wisata Pulau Pramuka Bulan Oktober 2010 ... 61

22 Nilai kenyamanan kawasan wisata Pulau Pramuka Bulan Oktober 2010 ... 61

23 Nilai waktu kunjungan wisata Pulau Pramuka Bulan Oktober 2010 ... 62


(13)

ii

25 Nilai VIF untuk variabel dalam fungsi permintaan wisata bahari ... 69 26 Matriks IFE strategi pengembangan potensi perikanan tangkap terhadap

pariwisata bahari Pulau Pramuka ... 80 27 Matriks EFE strategi pengembangan potensi perikanan tangkap terhadap

pariwisata bahari Pulau Pramuka ... 80 28 Matriks SWOT pengembangan potensi perikanan tangkap terhadap

pariwisata bahari di Pulau Pramuka ... 83 29 Perangkingan alternatif strategi pengembangan potensi perikanan


(14)

iii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kelompok alat pukat kantong ... 5

2 Kelompok alat tangkap perangkap dan penghadang ... 6

3 Kelompok alat tangkap pancing ………..………... 7

4 Kelompok alat tangkap gillnet ………..………... 8

5 Muroami ………... 9

6 Kelompok alat jaring angkat ………... 10

7 Jaring ikan hias ... 11

8 Diagram analisis SWOT ... 25

9 Perkembangan kontribusi PDRB sektor perikanan tangkap terhadap sektor pertanian Tahun 2002-2006 ... 37

10 Perkembangan kontribusi PDRB sektor perikanan tangkap terhadap PDRB Kabupaten Kepulauan Seribu dengan migas Tahun 2002-2006 ... 38

11 Perkembangan kontribusi PDRB sektor perikanan tangkap terhadap PDRB Kabupaten Kepulauan Seribu tanpa migas Tahun 2002-2006 ... 38

12 Konstruksi bubu tambun ... 40

13 Konstruksi jaring ikan hias ... 42

14 Konstruksi payang ... 44

15 Konstruksi pancing gandar ... 46

16 Perkembangan jumlah kunjungan wisatawan ke Pulau Pramuka Tahun 2007 – 2009 ... 51

17 Sebaran daerah asal responden Bulan Oktober 2010 ... 53

18 Sebaran kelompok umur responden Bulan Oktober 2010 ... 54

19 Sebaran tingkat pendidikan responden Bulan Oktober 2010 ... 55

20 Sebaran tingkat pendapatan responden Bulan Oktober 2010 ... 56

21 Sebaran lama kunjungan responden Bulan Oktober 2010 ... 57

22 Sebaran biaya kunjungan responden lokal Bulan Oktober 2010 ... 58

23 Sebaran biaya kunjungan responden mancanegara Bulan Oktober 2010 ... 59

24 Sebaran nilai waktu kunjungan wisata Pulau Pramuka Bulan Oktober 2010 ... 62


(15)

iv

26 Grafik Normal Probability dengan pendekatan individu ... 67 27 Grafik Scatterplot dengan pendekatan individu ... 68 28 Diagram analisis SWOT potensi perikanan tangkap terhadap


(16)

v

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Fishing ground nelayan Pulau Pramuka ... 91

2 Rekapitulasi data responden di kawasan wisata Pulau Pramuka Bulan Oktober 2010 ... 92

3 Penilaian bobot strategi internal dan eksternal oleh Staf Suku Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu ... 93

4 Penilaian bobot strategi internal dan eksternal oleh Kepala Suku Dinas Pariwisata Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu ... 94

5 Hasil Regressi SPSS for Windows 19.0.039 dengan menggunakan Pendekatan Individu ... 95

6 Perhitungan surplus konsumen dengan menggunakan software MS Excel 2007 ... 100

7 Unit Penangkapan Bubu Tambun ... 103

8 Unit Penangkapan Jaring Ikan Hias ... 104

9 Unit Penangkapan Pancing ... 105


(17)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia sebagai negara bahari, sudah seharusnya menempatkan penanganan permasalahan pesisir dan kelautan dengan segala implikasinya sebagai prioritas tertinggi (BPS 2005). Satu sektor yang diprioritaskan untuk memanfaatkan kekayaan hayati laut ialah sektor perikanan dan kelautan. Di dalam sektor perikanan dan kelautan terdapat subsektor pariwisata bahari dan perikanan tangkap. Kedua subsektor tersebut dapat jika dimanfaatkan secara optimal dapat menjadi sumber devisa yang besar bagi negara.

Perikanan tangkap ialah kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau pengumpulan binatang dan tanaman air, baik di laut maupun di perairan umum secara bebas (Monintja 1989). Menurut Nurita (2004), wisata bahari merupakan serangkaian aktivitas yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan aspek wisata dengan memanfaatkan jasa lingkungan pesisir dan laut yang dilakukan baik di atas permukaan laut maupun di bawah permukaan laut.

Menurut Nurita (2004), pengembangan wisata bahari merupakan salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya laut yang bersifat intangible. Wisata bahari peranannya hanya sebagai pemenuhan tingkat kepuasan bagi para wisatawan yang bertujuan untuk menghilangkan kejenuhan (satisfaction level). Wisata bahari di dalam perjalanannya tidak akan pernah lepas dari peranan perikanan tangkap.

Pulau Pramuka berada di utara Jakarta, memiliki potensi sumberdaya perikanan tangkap dan pariwisata yang cukup besar. Selain itu, Pulau Pramuka juga menjadi salah satu sentra perikanan tangkap Kepulauan Seribu Utara. Hal itu terlihat dari produksi perikanan tangkap per tahunnya sebesar 243 ton (Badan Pusat Statistik Administratif Kepulauan Seribu 2008).

Pariwisata bahari di Pulau Pramuka merupakan salah satu tujuan wisatawan, baik dari mancanegara maupun nusantara (Badan Pusat Statistik Administratif Kepulauan Seribu 2008). Pulau Pramuka memiliki Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, saat ini sedang dikembangkan Wisata Pendidikan dan Konservasi Laut (Ditjen PHKA 2009).


(18)

2 Potensi perikanan tangkap, jika dimanfaatkan dengan optimal akan mendorong perkembangan wisata bahari di Pulau Pramuka yang nantinya akan memberi kontribusi terhadap PDRB Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pemanfaatan perikanan tangkap untuk pengembangan wisata bahari di Pulau Pramuka.

1.2 Perumusan Masalah

Kawasan Pulau Pramuka termasuk dalam kawasan pengembangan pariwisata bahari Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada umumnya dan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu khususnya. Perikanan tangkap di Pulau Pramuka memiliki potensi dalam pengembangan pariwisata bahari, tetapi hingga awal tahun 2011 kegiatan perikanan tangkap dan kegiatan pariwisata di Pulau Pramuka berjalan sendiri-sendiri, bahkan kegiatan pariwisatanya cenderung menekan kegiatan perikanan tangkap.

Permintaan terhadap pariwisata dipengaruhi oleh keadaan obyek wisata itu sendiri. Hal lain yang mempengaruhinya adalah biaya perjalanan, lama kunjungan, pendapatan, manfaat wisata, nilai keindahan, nilai kenyamanan dan nilai kunjungan wisata. Perubahan jumlah kunjungan atau permintaan terhadap pariwisata akan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Pulau Pramuka yang sangat bergantung pada sektor pariwisata.

Berdasarkan hal di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah dalam penelitian ini :

1) Bagaimana keragaan perikanan tangkap di Pulau Pramuka ? 2) Bagaimana karakteristik dan persepsi wisatawan Pulau Pramuka ?

3) Bagaimana permintaan pariwisata bahari di Pulau Pramuka dan aspek apa saja yang mempengaruhi permintaan tersebut ?

4) Berapa nilai ekonomi obyek wisata Pulau Pramuka ?

5) Bagaimana kelayakan permintaan pariwisata bahari di Pulau Pramuka ?

6) Bagaimana potensi perikanan tangkap dalam pengembangan wisata bahari di Pulau Pramuka ?


(19)

3 7) Bagaimana menyusun strategi pengembangan wisata bahari berdasarkan

potensi perikanan tangkap di Pulau Pramuka ?

1.3 Tujuan

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan :

1) Mengungkap keragaan perikanan tangkap di Pulau Pramuka. 2) Menilai besarnya permintaan pariwisata bahari di Pulau Pramuka.

3) Mengidentifikasi aspek-aspek yang mempengaruhi permintaan pariwisata bahari di Pulau Pramuka.

4) Membuat strategi pengembangan wisata bahari berbasis perikanan tangkap di Pulau Pramuka.

1.4 Manfaat

Manfaat yang diharapkan didapat dari penelitian ini ialah :

1) Sebagai masukan bagi pihak–pihak yang terkait dalam pengembangan wisata bahari berbasis perikanan tangkap di Pulau Pramuka.

2) Sebagai bahan untuk menyusun skripsi bagi penulis dalam rangka menyelesaikan tugas akhir di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Perikanan, Institut Pertanian Bogor.


(20)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perikanan Tangkap

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan, perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Menurut Monintja (1989), perikanan tangkap ialah kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau pengumpulan binatang dan tanaman air, baik di laut maupun di perairan umum secara bebas.

Definisi unit penangkapan ikan berdasarkan statistik perikanan tangkap Indonesia adalah kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan ikan, terdiri atas satu kapal penangkap ikan beserta nelayannya dan satu jenis alat penangkapan ikan, dapat dilengkapi dengan alat bantu penangkapan ikan. Menurut Monintja (1989), unit penangkapan ikan dapat juga didefinisikan sebagai kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan ikan, terdiri atas nelayan dan satu jenis alat penangkapan ikan, dapat dilengkapi dengan alat bantu penangkapan ikan tanpa menggunakan kapal penangkap ikan.

2.1.1 Alat penangkapan ikan

Menurut Diniah (2008), alat penangkapan ikan adalah alat atau peralatan yang digunakan untuk menangkap atau mengumpulkan ikan. Menurut Sudin Perikanan dan Kelautan Kab. Adm. Kep.Seribu (2008), kegiatan penangkapan ikan di wilayah Kecamatan Kepulauan Seribu Utara ditujukan untuk menangkap ikan pelagis dan ikan karang, baik ikan konsumsi maupun ikan hias. Alat penangkapan ikan yang beroperasi di Pulau Pramuka termasuk kedalam kelompok alat tangkap pukat kantong, perangkap dan penghadang, jaring angkat, drive in nets, pancing, jaring insang, alat tangkap lain-lain.


(21)

5

Pukat kantong

Menurut Subani dan Barus (1989), pukat kantong adalah alat penangkap ikan berbentuk jaring yang terdiri dari kantong jaring, badan jaring dan kaki yang dipasang pada kedua sisi kiri kanan mulut jaring. Pengoperasian alat penangkapan ikan ini adalah dilingkarkan pada ikan sasaran tangkap. Beberapa alat tangkap yang termasuk ke dalam kelompok alat tangkap pukat kantong ialah payang, dogol dan pukat pantai (Gambar 1).

Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (2005), payang merupakan alat penangkapan ikan berbentuk kantong yang terbuat dari jaring. Payang terdiri atas dua bagian sayap, jaring bawah (bosoom), badan serta kantong jaring. Menurut Subani dan Barus (1989), dogol merupakan alat penangkap ikan yang terdiri atas badan, kantong dan sayap. Sayap dipasang pada kedua sisi mulut jaring dengan ciri khusus adalah bibir atas dari mulut jaring lebih menonjol keluar dibandingkan bibir bawah atau tali ris bawah lebih panjang dari tali ris atas. Pukat pantai ialah alat penangkapan ikan tradisional yang bentuknya seperti payang dan pengoperasiannya dilakukan di wilayah perairan pantai.

Sumber : Subani dan Barus (1989)


(22)

6

Perangkap dan penghadang

Menurut Subani dan Barus (1989), perangkap dan penghadang atau guiding and barriers ialah semua jenis alat penangkapan ikan yang berupa jebakan. Alat penangkapan ikan ini bersifat pasif dan terbuat dari bambu, rotan atau besi. Beberapa alat tangkap yang termasuk ke dalam kelompok alat tangkap perangkap dan penghadang ialah bubu dan sero (Gambar 2).

Menurut Subani dan Barus (1989), bubu ialah alat tangkap berupa jebakan yang biasanya terbuat dari anyaman bambu atau besi. Sero ialah alat tangkap berupa penghadang jalur ruaya ikan yang dipasang di wilayah perairan dangkal atau pantai yang kedalamannya dipengaruhi oleh pasang surut air laut.

Sumber : Subani dan Barus (1989)

Gambar 2 Kelompok alat tangkap perangkap dan penghadang

Pancing

Menurut Subani dan Barus (1989), pancing adalah alat penangkapan ikan yang terdiri dari sejumlah utas tali dan sejumlah mata pancing. Setiap mata pancing menggunakan umpan atau tanpa umpan, baik umpan alami ataupun


(23)

7 umpan buatan. Beberapa alat penangkapan ikan yang termasuk ke dalam kelompok pancing ialah pancing gandar, pancing rawai dan pancing tonda (Gambar 3).

Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (2008), pancing gandar ialah alat penangkapan ikan yang terdiri dari tali dan mata pancing yang dilengkapi dengan joran atau gandar dan menggunakan umpan. Pancing rawai ialah pancing yang terdiri dari tali utama yang kemudian pada tali tersebut secara berderet pada jarak tertentu diikatkan tali-tali cabang yang ujungnya diberi mata pancing. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (2008), pancing tonda ialah pancing yang dilengkapi dengan batang rentang dan dioperasikan dengan cara ditarik menggunakan kapal.

Sumber : Subani dan Barus (1989)

Gambar 3 Kelompok alat tangkap pancing

Gillnet

Menurut Subani dan Barus (1989), gillnet atau jaring insang ialah suatu alat tangkap berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan pelampung,


(24)

8 pemberat, tali ris atas, tali ris bawah. Gillnet memiliki ukuran mata jaring yang besarnya disesuaikan dengan sasaran tangkap. Alat penangkapan ikan yang termasuk ke dalam kelompok gillnet ialah jaring rampus, drift gillnet, bottom gillnet, encircling gillnet, trammel net (Gambar 4).

Menurut Standar Nasional Indonesia (2006), jaring insang dasar monofilamen atau yang biasa disebut jaring rampus ialah alat penangkapan ikan berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran mata jaring sama besar di tiap bagiannya. Menurut Subani dan Barus(1989), drift gillnet ialah jaring insang yang pengoperasiannya dengan cara dihanyutkan mengikuti atau searah dengan arus air. Bottom gillnet ialah jaring insang yang pengoperasiannya dengan cara dipasang di dasar perairan. Encircling gillnet ialah jaring insang yang cara pengoperasiannya dilingkarkan pada kumpulan ikan sasaran tangkap. Trammel net ialah jaring insang yang terdiri dari tiga lapis jaring dan dioperasikan di dasar perairan.

Sumber : Subani dan Barus (1989)


(25)

9

Drive-in net

Menurut Subani dan Barus (1989), drive-in net ialah alat penangkapan ikan dengan penggiring, dalam pengoperasiannya dilakukan penggiringan terhadap ikan sasaran tangkap agar memasuki jaring yang telah dipasang. Menurut von Brandt (2005), drive-in net merupakan alat penangkapan ikan yang bersifat pasif karena ikan secara sukarela masuk ke dalam alat tangkap. Menurut Mukhtar (2005), salah satu alat tangkap yang dapat digolongkan ke dalam drive-in net atau alat tangkap dengan penggiring, ialah muroami (Gambar 5).

Menurut Subani dan Barus (1989), pukat ikan karang (muro-ami) adalah suatu alat penangkapan ikan yang dibuat dari jaring, terdiri atas sayap dan kantong. Dalam pengoperasiannya dilakukan penggiringan ikan sasaran tangkap agar masuk ke bagian kantong yang telah dipasang terlebih dahulu. Alat ini cenderung tidak destruktif dan tidak merusak ekosistem, karena metode pengoperasiannya yang tidak merusak karang. Pengoperasian alat ini dilakukan oleh beberapa orang nelayan dengan berenang, serta mengejutkan ikan karang menggunakan alat penggiring.

Sumber : Mukhtar (2005) Gambar 5 Muroami

Jaring angkat

Menurut Subani dan Barus (1989), jaring angkat ialah suatu alat penangkapan ikan yang cara pengoperasiannya dengan cara mengangkat dan menurunkan jaring. Di dalam pengoperasiannya jaring angkat memiliki alat bantu


(26)

10 berupa lampu yang berfungsi sebagai attractor ikan. Beberapa alat tangkap yang termasuk ke dalam kelompok jaring angkat ialah bagan apung, bagan tancap dan bagan kapal (Gambar 6).

Menurut Subani dan Barus (1989), bagan apung ialah jaring angkat yang dalam pengoperasiannya dapat dipindahkan dari satu fishing ground ke fishing ground lain. Menurut Juniarti (1995), komponen bagan apung terdiri atas dek bagan, rumah bagan, roller, tali tarik, tali pemberat, pemberat, rakit, tali jangkar, jangkar, bingkai jaring dan jaring. Bahan yang digunakan untuk jaring ialah waring yang terbuat dari anyaman poly prophylene (PP). Menurut Subani dan Barus (1989), bagan tancap ialah jaring angkat yang dalam pengoperasiannya tidak dapat dipindahkan dari satu fishing ground ke fishing ground lain. Seperti halnya pada bagan apung, bagan kapal juga merupakan jaring angkat yang dalam pengoperasiannya dapat dipindahkan dari satu fishing ground ke fishing ground lain, tetapi dibanding bagan apung, bagan kapal lebih mudah dalam berpindah fishing ground.

Sumber : Subani dan Barus (1989)


(27)

11

Alat tangkap lain-lain

Menurut Subani dan Barus (1989), alat-alat penangkapan ikan yang tidak termasuk ke dalam kelompok alat tangkap trawl, pukat ikan, pukat kantong, pukat cincin, pancing, perangkap, jaring insang, jaring angkat, drive-in net dan alat pengumpul, digolongkan ke dalam kelompok alat tangkap lain-lain. Salah satu alat penangkapan ikan yang termasuk ke dalam kelompok lain-lain ialah jaring pelingkar. Jaring ikan hias (Gambar 7) merupakan jaring pelingkar (encircling nets) yang hanya berperan sebagai alat bantu penangkapan ikan, tidak berdiri sendiri. Dalam operasi penangkapan ikan, setelah sasaran tangkap berhasil dikurung menggunakan jaring, kemudian proses penangkapan ikan dilakukan menggunakan serok.

Sumber : Subani dan Barus (1989)

Gambar 7 Jaring ikan hias

2.1.2 Nelayan

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan, dijelaskan bahwa nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2008), nelayan dapat diklasifikasikan menjadi:

1) Nelayan penuh, yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan.


(28)

12 2) Nelayan sambilan utama, yaitu nelayan yang sebagian besar waktunya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan. Pada kategori ini nelayan tersebut juga memiliki pekerjaan lain.

3) Nelayan sambilan tambahan, yaitu nelyan yang sebagian kecil waktunya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan, sedangkan sebagian besar waktu lainnya digunakan untuk melakukan pekerjaan lain.

2.1.3 Kapal penangkapan ikan

Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan, kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lainnya yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian atau eksplorasi perikanan. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2008), kapal perikanan atau kapal penangkap ikan ialah perahu atau kapal yang langsung dipergunakan dalam operasi penangkapan ikan, biota air lainnya dan tanaman air. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2008), kapal perikanan dapat diklasifikasikan menjadi:

1) Perahu tanpa motor, yaitu perahu yang tidak menggunakan tenaga mesin sebagai tenaga penggerak, tetapi menggunakan layar atau dayung untuk menggerakkan perahu.

2) Perahu motor tempel, yaitu perahu yang menggunakan mesin atau motor tempel sebagai tenaga panggerak yang diletakkan di bagian luar perahu, baik diletakkan di buritan maupun di sisi perahu.

3) Kapal motor, yaitu kapal yang menggunakan mesin sebagai tenaga penggerak yang diletakkan di dalam kapal.

2.2 Pariwisata Bahari

Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan, wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata


(29)

13 yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Menurut Yoeti (1996), pariwisata ialah suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu dengan tujuan rekreasi.

Menurut Damardjati (2006), wisata bahari merupakan pemanfaatan pariwisata di atas kawasan air, sehingga pengembangannya secara lengkap dan profesional dapat dijadikan suatu obyek wisata yang menarik. Suatu obyek wisata bahari biasanya digambarkan sebagai obyek wisata air yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas untuk menyelam (scuba diving), berselancar (surfing), berperahu (boating) dan lain-lain.

2.3 Permintaan Pariwisata

Menurut Yoeti (2006), sifat atau karakter permintaan untuk melakukan perjalanan wisata pada dasarnya sangat berbeda dengan permintaan untuk produk yang dihasilkan oleh perusahaan manufaktur (tangible goods). Perbedaan sifat atau karakter tersebut terlihat dari elastisitas permintaan pariwisata yang menunjukkan elastisitas langsung terhadap pendapatan dan biaya perjalanan. Permintaan pariwisata sangat peka terhadap keadaan sosial, politik dan keamanan, permintaan wisata selalu meningkat (expansion) berdasarkan musimnya (seasonality). Menurut Middleton (1994), permintaan pasar dan perilaku konsumen dalam perjalanan wisata menggambarkan dua dimensi, yaitu :

1) Faktor penentu

Faktor penentu ialah faktor ekonomi, faktor sosial dan faktor politik yang ada dalam suatu masyarakat yang membatasi jumlah permintaan terhadap perjalanan wisata.

2) Faktor motivasi

Faktor motivasi adalah faktor internal yang ada dalam setiap individu seperti kebutuhan, keinginan dan impian.

2.4 Hubungan Pariwisata dengan Perikanan Tangkap

Pemanfaatan potensi sektor perikanan tangkap terhadap pengembangan sektor pariwisata selama ini masih kurang di Indonesia, padahal apabila keduanya digabungkan maka akan melahirkan rekreasi perikanan tangkap (recreational


(30)

14 fishing) yang apabila dimanfaatkan secara optimal akan menjadi tambahan bagi PDRB daerah dan income bagi perekonomian daerah (Badan Pusat Statistik 2005). Menurut Pitcher dan Hollingsworth (2002), perikanan tangkap rekreasi dapat diartikan sebagai kegiatan menangkap ikan untuk kesenangan. Selain sebagai suatu kesenangan, ada manfaat pelengkap yang didapat dari rekreasi perikanan, seperti keuntungan ekonomi, sumber makanan dan suatu pelatihan olah raga memancing (sport fishing) (Pitcher dan Hollingworth, 2002).

2.5 Analisis SWOT

Menurut Ramli (2007), pengembangan ialah upaya memperluas atau mewujudkan potensi, membawa suatu keadaan secara bertingkat kepada suatu keadaan yang lebih lengkap, lebih besar, lebih baik, memajukan sesuatu dari yang lebih awal kepada yang lebih akhir atau dari yang lebih sederhana menjadi yang lebih kompleks. Dilihat dari segi kualitatif, pengembangan berfungsi sebagai peningkatan meliputi penyempurnaan program ke arah yang lebih baik. Hal – hal yang dikembangkan meliputi aktivitas manajemen yang terdiri atas perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, evaluasi dan pengembangan itu sendiri. Dari segi kuantitatif, fungsi pengembangan dalam memperluas jangkauan wilayah dan jangkauan program. Menurut Ramli (2007), pengembangan kawasan wisata harus didasarkan pada regulasi nasional maupun kesepakatan internasional.

Menurut Ramli (2007), cara yang digunakan untuk mendapatkan suatu kemampuan strategis antara peluang–peluang eksternal dan kemampuan internal suatu daerah yang akan dikembangkan ialah dengan analisis situasi. Faktor-faktor pariwisata yang akan dianalisis untuk pengembangan pariwisata ialah :

1) Faktor internal

Faktor internal ialah faktor–faktor yang dapat mempengaruhi keberadaan suatu sektor dan berasal dari dalam sektor tersebut.

2) Faktor eksternal

Faktor eksternal ialah faktor–faktor yang dapat mempengaruhi keberadaan suatu sektor tetapi berasal dari luar sektor tersebut.

Metode analisis situasi umum yang digunakan adalah analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats). Menurut Middleton (1994),


(31)

15 analisis SWOT ialah suatu kerangka yang bermanfaat untuk penilaian yang dilengkapi dengan penyajian informasi yang relevan hingga proses diagnosis dan pemberian petunjuk yang terbaik dalam pengembangan hingga peramalan, yang selanjutnya dapat memberikan informasi untuk taktik dan strategi pemasaran.

Menurut Rangkuti (2001), analisis SWOT merupakan identifikasi secara sistematik atas kekuatan dan kelemahan dari faktor internal serta peluang dan ancaman dari faktor eksternal yang dihadapi. Analisis SWOT digunakan untuk mengetahui alternatif strategi pengembangan pariwisata yang paling baik. Analisis ini didasarkan pada asumsi bahwa strategi yang efektif ialah memaksimalkan kekuatan dan kesempatan yang dimiliki serta meminimalkan kelemahan dan ancaman yang dihadapi.


(32)

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Pengumpulan data di lapangan dilakukan pada Bulan Oktober 2010. Penelitian ini dilakukan di Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah unit penangkapan ikan serta kelengkapannya dan wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pramuka. Keterangan unit penangkapan ikan berupa hasil tangkapan, fishing ground dan konstruksi alat yang digunakan. Alat yang digunakan di dalam penelitian ini adalah kuesioner.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan studi kasus dengan obyek kegiatan ialah pariwisata bahari dan perikanan tangkap di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Menurut Nazir (2005), metode studi kasus adalah metode yang meneliti tentang status obyek peneliti yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Tujuan studi kasus adalah untuk menggambarkan secara mendetail tentang latar belakang, sifat serta karakter yang khas dari kasus, atau status dari individu, yang kemudian dari sifat-sifat khas itu akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum.

3.4 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam peneilitian ini ialah data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif ialah jenis data deskriptif berupa gejala-gejala dalam bentuk dokumen, foto dan catatan-catatan pada saat penelitian. Data kuantitatif ialah jenis data deskriptif berupa angka-angka statistik (Sulistianto, 2010).

Berdasarkan sumbernya, data yang dikumpulkan dalam penelitian ini ialah data primer dan data sekunder. Data primer didapat dari hasil wawancara terhadap responden berdasarkan kuesioner yang telah disediakan dan melalui pengamatan


(33)

17 langsung terhadap kegiatan perikanan tangkap dan kegiatan pariwisata yang ada di Pulau Pramuka. Wawancara dilakukan terhadap beberapa pihak seperti wisatawan, nelayan, pengusaha dan penduduk setempat yang isinya meliputi informasi mengenai :

1) Sektor Perikanan meliputi kondisi perikanan tangkap, seperti nelayan, kapal penangkap ikan, alat penangkapan ikan, metode operasional alat penangkapan ikan, hasil tangkapan dan daerah penangkapan ikan.

2) Sektor Pariwisata meliputi

a) Karakteristik wisatawan seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, intensitas kunjungan, daerah asal, persepsi dan apresiasi terhadap obyek wisata, biaya perjalanan, motivasi kunjungan dan kebutuhan akan wisata.

b) Kondisi pariwisata bahari Pulau Pramuka seperti potensi pariwisata yang meliputi alat penangkapan ikan yang potensial untuk pariwisata, pemanfaatan hasil tangkapan untuk pariwisata, wilayah perairan yang cocok untuk pariwisata.

c) Kondisi kependudukan setempat, seperti sosial, budaya, kebutuhan lapangan pekerjaan, demografi kependudukan.

Data sekunder untuk penelitian ini didapat dari pengelola pemerintahan setempat, seperti Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Suku Dinas Pariwisata Kepulauan Seribu, Suku Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu serta Dinas Kelautan dan Perikanan DKI. Selain itu data sekunder juga didapat dari Badan Pusat Statistik Administrasi Kep. Seribu yang berisi :

a) Letak geografis dan keadaan alam wilayah Pulau Pramuka. b) Monografi masyarakat Pulau Pramuka.

c) Profil obyek wisata dan potensi wilayah Pulau Pramuka.

d) Data volume dan nilai produksi ikan di Pulau Pramuka tahun 2005 - 2009. e) Data perkembangan jumlah nelayan, kapal penangkap ikan dan alat

penangkapan ikan di Pulau Pramuka tahun 2005 – 2009.


(34)

18

3.5 Metode Pengambilan Contoh

Pengambilan responden dalam penelitian ini menggunakan dua metode yaitu metode purposive sampling dan metode accidental sampling. Hal ini dilakukan karena adanya beberapa perbedaan karakteristik antara dua populasi yang berbeda yaitu nelayan dan wisatawan.

Menurut Nazir (2005), metode purposive sampling adalah penarikan sampel yang dipilih secara cermat menurut ciri-ciri spesifik yang dimiliki oleh sampel tersebut. Metode accidental sampling adalah metode pengambilan sampel yang dilakukan tanpa perencanaan yang seksama, dengan responden yang dimintai informasi benar-benar diperoleh secara kebetulan tanpa suatu pertimbangan tertentu.

Metode purposive sampling diterapkan pada 30 orang nelayan yang tinggal di wilayah Pulau Pramuka. Responden nelayan diambil berdasarkan jenis alat penangkapan ikan yang dominan, yaitu payang, bubu, pancing gandar dan jaring ikan hias. Kemampuan responden dalam menjawab dan memahami kuisioner yang diajukan sangat dipertimbangkan. Apabila responden tidak dapat memahami atau menjawab kuesioner maka akan diganti dengan responden yang lain.

Metode accidental sampling diterapkan pada wisatawan. Jumlah responden wisatawan yang diambil ialah 30 orang. Menurut Walpole (1982), jumlah reponden 30 orang merupakan syarat minimal agar dapat dilakukan pendugaan parameter melalui metode statistika.

3.6 Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini diolah menggunakan tiga analisis. Analisis yang digunakan ialah analisis terhadap sektor perikanan tangkap, analisis terhadap sektor pariwisata dan analisis menggunakan matriks SWOT.

3.6.1 Analisis terhadap sektor perikanan tangkap

Sektor perikanan tangkap dianalisis dengan melihat volume hasil tangkapan, jumlah trip per tahun, jumlah kapal penangkapan ikan dan jumlah nelayan yang ada dalam suatu unit penangkapan ikan. Selain itu dilakukan analisis deskriptif


(35)

19 terhadap keragaan teknis unit penangkapan ikan dominan yang ada di lokasi penelitian.

3.6.2 Analisis terhadap sektor pariwisata

Sektor pariwisata dianalisis dengan penghitungan permintaan rekreasi dan pembuatan kurva permintaan rekreasi. Selain itu analisis terhadap sektor pariwisata diuji menggunakan evaluasi ekonometrika.

3.6.2.1 Kurva permintaan rekreasi

Metode yang digunakan untuk menganalisis permintaan rekreasi adalah

travel cost method atau metode biaya perjalanan. Travel cost method merupakan metode yang biasa digunakan untuk memperkirakan recreational value atau nilai rekreasi dari suatu lokasi atau obyek. Metode ini merupakan metode pengukuran secara tidak langsung terhadap barang atau jasa yang tidak memiliki nilai pasar atau non market good or service (Sobari dan Anggraini 2008).

Metode biaya perjalanan di dalam penelitian ini menggunakan pengelompokan pendapatan pengunjung berdasarkan pengeluaran individu atau untuk memperkirakan rata–rata kurva permintaan individu terhadap lokasi wisata, dalam pendekatan ini pengunjung dikelompokkan berdasarkan pengeluaran (Grigalunas 1998 diacu dalam Sobari dan Anggraini 2008). Fungsi permintaan dan surplus konsumen atas kunjungan wisata untuk model individual sebagai berikut :

1) Pendugaan fungsi permintaan

= 0 11 22 33 44 55 Keterangan :

X1 = Biaya perjalanan

X2 = Lama kunjungan

X3 = Pendapatan

X4 = Persepsi responden


(36)

20 2) Transformasi fungsi permintaan di atas ke fungsi permintaan asal

= 11

3) Menduga Konsumen surplus

CS = Ub2

b2 = x Q

4) Menghitung total benefit lokasi wisata

= ×

Keterangan :

NET = total manfaat ekonomi lokasi wisata

CS = consumer

TV = total kunjungan per tahun

3.6.2.2 Analisis persepsi dan apresiasi terhadap obyek wisata

Penggunaan analisis persepsi dan apresiasi dilakukan untuk mengukur tingkat keindahan dan kenyamanan obyek wisata.

1)Keindahan alam

Keindahan alam merupakan nilai relatif yang diberikan oleh manusia kepada alam yang memiliki ciri tertentu dan mendatangkan rasa ketertarikan atau kekaguman. Secara kuantitatif dapat dirumuskan :

Keterangan :

= Keindahan alami (%)

= Jumlah responden yang sepakat menyatakan “indah”

= Jumlah seluruh responden Skor dari keindahan

80% : sangat indah 60% - 79% : lebih dari indah 40% - 59% : indah

20% - 39% : kurang indah <20% : tidak indah


(37)

21 2)Kenyamanan (Comfortability)

Kenyamanan merupakan nilai yang diberikan oleh manusia terhadap suatu rasa kelapangan, ketentraman dan keamanan. Secara kuantitatif dapat dirumuskan :

Keterangan :

= Kenyamanan alami (%)

= Jumlah responden yang sepakat menyatakan “nyaman”

= Jumlah seluruh responden Skor dari kenyamanan

80% : sangat nyaman 60% - 79% : lebih dari nyaman 40% - 59% : nyaman

20% - 39% : kurang nyaman <20% : tidak nyaman

3.6.2.3 Evaluasi model permintaan pariwisata

Menurut Putri (2008), untuk mengetahui bahwa model yang diduga terpenuhi secara teori dan statistik digunakan evaluasi model dugaan. Kriteria yang digunakan ialah kriteria statistik, kriteria ekonometrika dan kriteria ekonomi.

Kriteria statistik

Menurut Putri (2008), pengujian model regresi secara statistik diawali dengan pembuatan tabel analysis of variance (ANOVA) untuk Fhitung dan R2

(koefisien determinasi). Koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengetahui seberapa besar variabel dependen dipengaruhi oleh variabel-variabel independen, sedangkan pengujian korelasi (r) digunakan untuk mengetahui keeratan antar hubungan variabel dependen dan independen

Menurut Putri (2008), pengujian kebenaran hipotesa dilakukan dengan uji t-student dan uji Fisher (F). Uji F dilakukan untuk mengetahui secara serentak variabel independen atau menguji koefisien regresi secara menyeluruh, sedangkan uji t digunakan untuk menguji koefisien regresi parsial secara individu. Uji statistik Fisher (F) dalam penelitian ini mengajukan hipotesa :


(38)

22 H0 = b1 = b2 = b3 = b4

H1 = b1≠ 0, b2≠ 0, b3≠ 0, b4 ≠ 0

Keterangan :

H0 = Hipotesis yang akan diuji

H1 = Hipotesis alternatif

b = Parameter populasi

=

( 1)

× ( )

Keterangan :

JKR = Jumlah kuadrat regresi

JKD = Jumlah kuadrat residual

n = Jumlah sampel

k = Jumlah variabel

Kriteria : Jika Fhitung < Ftabel berarti terima H0, artinya biaya perjalanan rata-rata,

pendapatan pertahun dan kualitas persepsi responden tidak mempengaruhi tingkat kunjungan wisatawan.

Jika Fhitung > Ftabel berarti tolak H0, artinya biaya perjalanan rata-rata,

pendapatan pertahun dan kualitas persepsi responden mempengaruhi tingkat kunjungan wisatawan.

Uji statistik t dalam penelitian ini mengajukan hipotesa : H0 : Xi = 0

H0 : Xi ≠ 0

Kriteria : Jika thitung < ttabel berarti terima H0, artinya Xi tidak berpengaruh nyata

terhadap Q.

Jika thitung > ttabel berarti tolak H0, artinya Xi berpengaruh nyata terhadap

Q.

Kriteria ekonometrika

a) Normalitas

Menurut Putri (2008), cara mendeteksi normalitas adalah dengan melihat grafik normal probability atau histogram, yaitu dengan melihat penyebaran titik pada sumbu diagonal untuk grafik normal probability sedangkan untuk histogram dngan melihat kurva yang berbentuk lonceng. Menurut Santoso


(39)

23 (2000), dasar pengambilan keputusan berdasarkan grafik normal probability

adalah sebagai berikut :

- Jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas.

- Jika data menyebar jauh dari garis diagonal atau tidak mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas. b) Homoskedasitas

Menurut Santoso (2000), model regresi linear harus memenuhi homoskedasitas yaitu, varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain harus harus konstan. Jika tidak maka akan terjadi heteroskedasitas. Menurut Putri (2008), model regresi yang baik ialah jika tidak terjadi heteroskedasitas dan untuk mendeteksi hal tersebut digunakan grafik

scatterplot. Grafik scatterplot digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya pola tertentu dimana sumbu X dan Y yang telah diprediksi dan sumbu Y residual yang telah distudentized, dengan dasar pengambilan keputusan sebagai berikut :

- Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang membentuk suatu pola tertentu yang teratur, maka telah telah terjadi homoskedasitas.

- Jika tidak ada pola jelas, serta titik menyebar di atas atau di bawah sumbu pada angka nol pada sumbu Y, maka terjadi heteroskedasitas. c) Multikolinearitas

Menurut Santoso (2000) diacu dalam Putri (2008), bahwa antar variabel X tidak boleh terjadi hubungan linear yang sempurna. Cara mendeteksi multikolinearitas adalah sebagai berikut :

- Besaran VIF dan Tolerance. Pedoman suatu model regresi yang bebas multikolinearitas adalah memiliki nilai VIF di sekitar angka Tolerance

mendekati 1.

- Besaran korelasi antar variabel independen. Pedoman suatu model regresi yang bebas multikolinearitas adalah koefisien korelasi antar variabel independen haruslah lemah (di bawah 0,5).


(40)

24 d) Autokorelasi

Menurut Gujarati (1997), autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu atau ruang. Model regresi yang baik seharusnya bebas dari autokorelasi. Cara mendeteksi autokorelasi yaitu dengan uji Durbin-Watson dengan patokan sebagai berikut :

- Angka Durbin-Watson di bawah -2 berarti ada autokorelasi

- Angka Durbin-Watson di antara -2 hingga +2 berarti tidak ada autokorelasi

- Angka Durbin-Watson di atas +2 berarti ada autokorelasi negatif

Kriteria ekonomi

Menurut Putri (2008), kriteria ekonomi diperlukan untuk menunjukkan sejauh mana suatu fungsi atau model layak digunakan, apabila dilihat dari segi ekonomi. Secara apriori teori ekonomi, tanda yang diharapkan dalam penggunaan biaya perjalanan menuju obyek wisata adalah negatif. Tanda negatif menunjukkan bahwa apabila jumlah biaya perjalanan yang dikeluarkan semakin tinggi, maka jumlah kunjungan wisata ke obyek wisata tersebut semakin rendah. Tanda yang diharapkan untuk variabel pendapatan adalah positif. Tanda positif menunjukkan bahwa apabila jumlah pendapatan bertambah, maka jumlah kunjungan wisatawan akan bertambah.

Menurut Putri (2008), untuk tanda yang diharapkan pada variabel kualitas ialah positif. Variabel kualitas bertanda positif menunjukkan bahwa apabila kualitas wisatawan terhadap obye wisata semakin tinggi, maka jumlah kunjungan wisatawan ke obyek wisata tersebut akan semakin tinggi.

3.6.3 Analisis SWOT

Menurut Rangkuti (2001), analisis SWOT ialah alat untuk menyusun suatu strategi dalam mengembangkan suatu kegiatan. Analisis SWOT berdasarkan asumsi bahwa suatu strategi yang efektif memaksimalkan kekuatan dan peluang, serta meminimalkan kelemahan dan ancaman. Analisis SWOT digunakan untuk memperoleh hubungan antara faktor eksternal dengan faktor internal. Dengan


(41)

25 analisis ini, kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness), yang merupakan faktor internal dapat diidentifikasi, begitu pula peluang (opportunity) dan ancaman (threat), yang merupakan faktor eksternal. Diagram dari analisis SWOT dapat dilihat pada Gambar 8.

Sumber : Rangkuti (2001)

Gambar 8 Diagram analisis SWOT

3.6.3.1 Analisis faktor internal dan eksternal

Analisis faktor internal dapat dilakukan menggunakan matriks IFE, sedangkan analisis faktor eksternal dapat dilakukan dengan menggunakan matriks EFE (Rangkuti 2001). Tahap pertama yang harus dilakukan dalam menyusun matriks IFE dan EFE ialah dengan mendaftarkan semua kekuatan dan kelemahan pada matriks IFE serta semua peluang dan ancaman pada matriks EFE.

3.6.3.2 Penentuan bobot setiap variabel

Menurut Kinnear dan Taylor (1991), penentuan bobot dilakukan dengan jalan mengajukan analisis faktor strategis internal dan eksternal kepada pihak manajemen atau pakar dengan metode Paired Comparison. Menurut Kinnear dan

Peluang

Mendukung Strategi

Turn Around

Mendukung Strategi

Agresif

Ancaman

Kelemahan

Kekuatan

Mendukung Strategi

Diversifikasi

Mendukung Strategi


(42)

26 Taylor (1991) diacu dalam Putra (2009) metode Paired Comparison ialah metode yang digunakan untuk memberikan penilaian terhadap bobot setiap faktor penentu eksternal dan internal.

Penentuan bobot setiap variabel digunakan skala 1, 2, 3. Skala yang digunakan untuk pengisian kolom adalah

1 = Jika indikator horizontal kurang penting daripada indikator vertikal. 2 = Jika indikator horizontal sama pentingnya dengan indikator vertikal. 3 = Jika indikator horizontal lebih penting daripada indikator vertikal.

Bentuk penilaian pembobotan faktor strategis eksternal dari obyek wisata dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan bentuk penilaian pembobotan faktor strategis internal dari obyek wisata dapat dilihat pada Tabel 2. Bobot setiap variabel diperoleh dengan menentukan nilai setiap variabel terhadap jumlah keseluruhan variabel menggunakan rumus :

Keterangan :

= bobot variabel ke-i Xi = nilai variabel ke-i

n = jumlah variabel i = 1, 2, 3, ...n

Tabel 1 Penilaian bobot faktor strategis eksternal

Faktor Strategis Eksternal A B C Total

A B C Total


(43)

27 Tabel 2 Penilaian bobot faktor strategis internal

Faktor Strategis Internal A B C Total

A B C Total

Sumber : Kinnear dan Taylor (1991)

3.6.3.3 Penentuan peringkat (rating)

Penentuan peringkat atau rating dilakukan oleh pihak - pihak terkait seperti staf Dinas Pariwisata DKI Jakarta serta staf Dinas Kelautan dan Perikanan DKI Jakarta terhadap variabel-variabel dari hasil analisis situasi pariwisata dan perikanan tangkap. Menurut Rangkuti (2001), perhitungan rating untuk masing – masing faktor dilakukan dengan cara memberikan skala 1 (poor) hingga 4 (outstanding) berdasarkan pengaruh faktor – faktor tersebut terhadap kondisi pariwisata dan perikanan tangkap di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.

Untuk matriks EFE, skala peringkat yang digunakan yaitu : 1 = rendah, respon kurang

2 = sedang, respon rata-rata 3 = tinggi, respon diatas rata-rata 4 = sangat tinggi, respon superior

Untuk matriks IFE, skala peringkat yang digunakan yaitu : 1 = sangat lemah

2 = lemah 3 = kuat 4 = sangat kuat

Selanjutnya untuk nilai dari pembobotan dikalikan dengan peringkat pada tiap faktor dan semua hasil kali tersebut dijumlahkan secara vertikal untuk memperoleh total skor pembobotan. Hasil pembobotan dan rating akan ditampilkan dalam matriks berdasarkan analisis lingkungan dan situasi obyek wisata dengan bentuk seperti pada Tabel 3 dan 4.


(44)

28 Menurut David (2003), jika dilihat dari Tabel 7, total skor pembobotan tertinggi untuk suatu perusahaan ialah 4,0 dan total skor pembobotan terendah ialah 1,0 dengan rata – rata skor 2,5. Total skor 4,0 mengindikasikan bahwa perusahaan mampu merespon peluang dan ancaman dengan baik. Strategi perusahaan yang efektif sangat dibutuhkan untuk mengambil manfaat dari peluang dan meminimalisir ancaman yang ada.

Menurut David (2003), jika dilihat dari Tabel 8, total skor pembobotan berkisar dari yang terendah 1,0 hingga yang tertingggi 4,0 dengan rata – rata skor 2,5. Total skor pembobotan di bawah 2,5 mengindikasikan kondisi internal perusahaan yang lemah. Total skor pembobotan di atas 2,5 mengindikasikan kondisi internal perusahaan yang kuat.

Tabel 3 Matriks external factor evaluation

Faktor Strategis Eksternal Bobot Rating Skor

Peluang : 1. ..

Ancaman : 1.

..

Total Sumber : David (2003)

Tabel 4 Matriks internal factor evaluation

Faktor Strategis Internal Bobot Rating Skor

Kekuatan : 1.

..

Kelemahan : 1.

..

Total


(45)

29 Keterkaitan faktor eksternal dan internal dapat digambarkan dalam bentuk matriks SWOT seperti tercantum dalam Tabel 5. Matriks SWOT dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman dapat dihadapi dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki organisasi berdasarkan perumusan beberapa alternatif strategi. Penentuan peringkat terhadap alternatif strategi pengembangan pariwisata dilakukan berdasarkan nilai–nilai hasil penjumlahan bobot dari masing–masing unsur yang terkait dengan masing–masing strategi.

Tabel 5 Matriks SWOT

IFAS EFAS

Kekuatan (Strength) 1)Menentukan 5–10 faktor –

faktor kekuatan internal

Kelemahan (Weakness) 2)Menentukan 5–10 faktor

– faktor kelemahan internal

Peluang (Opportunity) 3)Menentukan 5-10 faktor –

faktor peluang eksternal

Strategi SO

Strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang Strategi WO Strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang Ancaman (Threat)

4)Menentukan 5–10 faktor – faktor ancaman eksternal

Strategi ST

Strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman

Strategi WT Strategi yang

meminimalkan kelemahan untuk menghindari ancaman

Sumber : Rangkuti (2001) Keterangan :

IFAS : Internal Strategic Factors Analysis Summary


(46)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum Kabupaten Kepulauan Seribu

Menurut Badan Pusat Statistik Administratif Kepulauan Seribu (2009), Kabupaten Kepulauan Seribu terdiri atas 110 pulau, 11 pulau diantaranya dihuni penduduk dan 4 pulau lainnya tenggelam dikarenakan abrasi. Pulau-pulau lainnya digunakan untuk rekreasi, cagar alam, cagar budaya dan peruntukan lainnya. Pulau Untung Jawa merupakan pulau berpenghuni yang paling selatan atau paling dekat dengan Jakarta dengan jarak 7,98 mil laut atau 12,98 mil laut. Kawasan

paling utara adalah Pulau Dua Barat yang berjarak sekitar 70 mil laut dari Jakarta.

Menurut Badan Pusat Statistik Administratif Kepulauan Seribu (2009), luas Kabupaten Kepulauan Seribu kurang lebih 869,61 ha. Kabupaten Kepulauan Seribu terletak di lepas pantai utara Jakarta dengan posisi memanjang dari Utara ke Selatan yang ditandai dengan pulau-pulau kecil berpasir putih dan

gosong-gosong karang antara 5010’00”-5059’30” LS dan antara 106019’30”-106044’50”

BT. Menurut Badan Pusat Statistik Administratif Kepulauan Seribu (2010), batas-batas wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu secara administratif, yaitu :

- Di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa.

- Di sebelah selatan berbatasan dengan zona dalam Teluk Jakarta.

- Di sebelah barat berbatasan dengan Laut Jawa.

- Di sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa.

Menurut Badan Pusat Statistik Administratif Kepulauan Seribu (2007), Kabupaten Kepulauan Seribu merupakan salah suatu kawasan Taman Nasional Laut yang mempunyai ekosistem asli. Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Menurut Badan Pusat Statistik Administratif Kepulauan Seribu (2009), Kabupaten Kepulauan Seribu memiliki dua kecamatan dengan enam kelurahan. Jumlah pulau menurut kelurahan di masing-masing kecamatan dapat dilihat pada Tabel 6.


(47)

31 Tabel 6 Kecamatan dan kelurahan di Kabupaten Kepulauan Seribu

Sumber : Kepulauan Seribu Dalam Angka (2009)

Iklim di Kabupaten Kepulauan Seribu adalah tropika panas dengan suhu

maksimum 31,90C, suhu minimum 25,30C, dan suhu rata-rata 27,90C. Kabupaten

Kepulauan Seribu memiliki kelembaban udara maksimum sebesar 84% kelembaban udara minimum sebesar 67% (Badan Pusat Statistik Administratif Kepulauan Seribu 2010).

Keadaan angin di Kabupaten Kepulauan Seribu sangat dipengaruhi oleh

angin monsoon. Secara garis besar angin monsoon dapat dibedakan menjadi dua,

yaitu angin musim barat yang terjadi pada Bulan Desember-Maret dan angin musim timur yang terjadi pada Bulan Juni-September. Musim Pancaroba terjadi antara Bulan April-Mei dan Oktober-November. Kecepatan angin pada Musim Barat bervariasi antara 7-20 knot, umumnya bertiup dari arah barat daya ke arah barat laut. Angin kencang dengan kecepatan 7-20 knot biasanya terjadi pada Bulan Desember-Februari. Pada Musim Timur kecepatan angin sekitar 2,8 knot yang bertiup dari arah timur laut ke arah tenggara (Badan Pusat Statistik Administratif Kepulauan Seribu 2010).

Menurut Badan Pusat Statistik Administratif Kepulauan Seribu (2009), musim hujan biasanya terjadi pada Bulan November-April dengan jumlah hari hujan antara 10-20 hari per bulan. Curah hujan terbesar terjadi pada Bulan Januari dengan total curah hujan tahunan sekitar 1.779,1 mm. Musim kemarau terdapat hujan dengan jumlah hari hujan antara 4-10 hari per bulan. Curah hujan terkecil terjadi pada Bulan Agustus.

Kawasan Kabupaten Kepulauan Seribu memiliki tofografi datar hingga landai dengan ketinggian sekitar 0 – 2 meter dpl (di atas permukaan laut). Luas

No Kecamatan Kepulauan Seribu Utara Jumlah

Pulau

1. Kelurahan Pulau Panggang 13

2. Kelurahan Pulau Harapan 30

3. Kelurahan Pulau Kelapa 36

No Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan Jumlah

Pulau

1. Kelurahan Pulau Untung Jawa 15

2. Kelurahan Pulau Tidung 6


(48)

32

daratan dapat berubah oleh pasang surut dengan ketinggian pasang antara 1 – 1,5

meter. Pada umumnya keadaan geologi di Kabupaten Kepulauan Seribu terbentuk dari batuan kapur, karang dan sedimen yang berasal dari Pulau Jawa dan Laut Jawa. Batuan Kabupaten Kepulauan Seribu tersusun dari bebatuan metamorfosa dan batuan beku (Badan Pusat Statistik Administratif Kepulauan Seribu 2010).

Di Kabupaten Kepulauan Seribu tidak terdapat sumber hidrologi permukaan, seperti sungai dan mata air. Kondisi air tanah di wilayah Kepulauan Seribu sangat bergantung pada kepadatan vegetasinya. Di beberapa pulau berpenghuni terdapat sumber air berupa air tanah tidak tertekan yang dijumpai

sebagai air sumur yang digali dengan kedalaman 0,5 – 4 meter. Air tanah tertekan

dijumpai di beberapa pulau, seperti Pulau Pari, Pulau Untung Jawa dan Pulau Kelapa. Keberadaan air tanah di Kepulauan Seribu terkait dengan penyebaran endapan sungai purba yang menjadi dasar tumbuhnya karang (Badan Pusat Statistik Administratif Kepulauan Seribu 2010).

Morfologi Kabupaten Kepulauan Seribu dengan demikian merupakan dataran rendah pantai, dengan perairan laut ditumbuhi karang yang membentuk atoll maupun karang penghalang. Atol dijumpai hampir di seluruh gugusan pulau,

kecuali Pulau Pari, sedangkan fringing reef dijumpai antara lain di Pulau Pari,

Pulau Kotok dan Pulau Tikus (Badan Pusat Statistik Administratif Kepulauan Seribu 2010).

Menurut Badan Pusat Statistik Administratif Kepulauan Seribu (2009), kedalaman perairan di Kepulauan Seribu berbeda-beda, yaitu berkisar antara 0-40 meter. Di beberapa lokasi tercatat kedalaman mencapai lebih dari 70 meter, seperti lokasi antara Pulau Pari, Pulau Tikus dan Pulau Payung. Setiap pulau umumnya dikelilingi oleh paparan pulau yang cukup luas (island shelf), mencapai 20 kali lebih luas dari pulau yang bersangkutan dengan kedalaman kurang dari 5 meter. Hampir setiap pulau juga memiliki daerah rataan karang yang cukup luas (reef flat) dengan kedalaman bervariasi dari 50 cm pada pasang terendah hingga 1 meter pada jarak 60 meter hingga 80 meter dari garis pantai. Dasar rataan karang merupakan variasi antara pasir, karang mati, sampai karang batu hidup. Di dasar laut, tepi rataan karang sering diikuti oleh daerah tubir dengan kemiringan curam hingga mencapai 70 cm dan mencapai dasar laut dengan kedalaman bervariasi.


(49)

33 Menurut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (2008), ada tiga wilayah atau zona di perairan Kepulauan Seribu yaitu :

1) Zona Inti, meliputi zona daratan dan perairan laut yang mutlak dilindungi, di

dalam wilayah ini tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh manusia, kecuali kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penelitian dan pendidikan. Zona inti terdiri atas tiga lokasi, yaitu :

 Zona inti I meliputi perairan sekitar Pulau Gosong Rengat, pada posisi

5027’00” – 5029’00” LS dan 106026’00” –106028’00” BT, serta memiliki luas 1.389 ha.

 Zona inti II meliputi daratan dan perairan Pulau Penjaliran Barat,

Penjaliran Timur, perairan P. Peteloran Barat, Peteloran Timur dan

Gosong Penjaliran, pada posisi 5026’36” – 5029’00” LS dan 106032’00” –

106035’00” BT, serta memiliki luas 2.490 ha.

 Zona inti III meliputi perairan sekitar Pulau Kayu Angin Bira, Belanda,

serta bagian Utara perairan Bira Besar, pada posisi 5036’00”–5045’00” LS

dan 106033’36”–106036’42” BT, serta memiliki luas sekitar 570 ha.

2) Zona Bahari, merupakan zona perairan laut yang diperuntukkan untuk

melindungi zona inti, di dalam wilayah ini hanya dapat dilakukan kegiatan sebagaimana kegiatan pada zona inti dan kegiatan wisata alam bahari terbatas. Zona bahari meliputi perairan sekitar Pulau Dua Barat, Dua Timur, Jagung,

Rengit, Karang Buton, Karang Mayang pada posisi 5024’00” – 5030’00” LS

dan 106025’00” –1060’40’00” BTserta memiliki luas sekitar 26.284,5 ha.

3) Zona Pemanfaatan Wisata, meliputi zona perairan laut yang di dalam wilayah

ini dapat dilakukan kegiatan sebagaimana pada zona inti, zona bahari dan pengembangan wisata bahari serta di wilayah ini diperbolehkan melakukan penangkapan ikan. Zona pemanfaatan wisata meliputi perairan sekitar Pulau Nyamplung, Sebaru Besar, Lipan, Kapas, Sebaru Kecil, Bunder, Karang Baka, Hantu Timur (Pantara), Hantu Barat, Gosong Laga, Yu Barat, Yu Timur, Satu, Kelor Timur, Kelor Barat, Jukung, Semut Kecil, Cina, Semut Besar, Sepa Timur, Sepa Barat, Gosong Sepa, Melinjo, Melintang, Perak, Kayu Angin Melintang, Panjang Bawah, Kayu Angin Putri, Tongkeng, Petondan Timur, Petondan Barat, Putri Kecil, Putri Besar, Putri Gundul, Macan Kecil, Macan


(50)

34 Besar (Matahari), Genteng Besar, Genteng Kecil, Bira Besar, Bira Kecil, Kuburan Cina, Bulat, Karang Pilang, Karang Katamba, Gosong Mungu, Kotok

Besar dan Kotok Kecil pada posisi 5030’00” – 5038’00” LS dan 106025’00” –

1060’33’00” BT -1060’40’00” BT.

Jumlah penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu pada tahun 2009 mencapai 21.071 jiwa, terdiri atas 8.329 laki-laki dan 12.742 perempuan. Rasio antara penduduk perempuan dan laki-laki ialah 10.307, yang berarti untuk setiap 100 penduduk laki-laki terdapat 103,7 penduduk perempuan (Badan Pusat Statistik Administratif Kepulauan Seribu 2010). Keterangan mengenai jumlah penduduk di masing-masing kecamatan dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Jumlah penduduk menurut kecamatan dan jenis kelamin

Kecamatan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki +

Perempuan

Rasio Jenis Kelamin Kepulauan Seribu

Selatan 4.203 4.126 8.329 101,87

Kepulauan Seribu

Utara 6.492 6.250 12.742 103,87

Kabupaten 10.695 10.376 21.071 103,07

Sumber : Kepulauan Seribu Dalam Angka (2009)

Menurut Badan Pusat Statistik Administratif Kepulauan Seribu (2009), Kabupaten Kepulauan Seribu memiliki area Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) yang merupakan kawasan perairan laut yang secara administratif, kawasan ini terletak di tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Pulau Panggang, Pulau Kelapa dan Pulau Harapan, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) menjadi daya tarik utama untuk sektor pariwisata.

Pariwisata di Kabupaten Kepulauan Seribu berorientasi kepada wisata bahari. Wisata bahari sesuai dengan karakteristik geografis Kepulauan Seribu terdiri dari banyak pulau yang dihubungkan oleh laut dan karakteristik kehidupan masyarakat setempat. Panorama laut di wilayah ini menjadi daya tarik alamiah bagi wisatawan. Panorama seperti pada saat matahari terbit dan matahari terbenam menjadi daya tarik tersendiri. Keindahan bawah laut dapat dinikmati dengan cara


(51)

35 memancing, kegiatan berjemur dan bermain di pantai juga dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan. Hal tersebut dikarenakan wilayah Kepulauan Seribu merupakan ekosistem yang memiliki hamparan terumbu karang (coral reef) yang cukup luas dan relatif datar, serta jarang ditemui di tempat lain di Indonesia. Secara umum terdapat tiga tipe karang, yaitu karang tepian (fringing reef), karang penghalang (barrier reef) dan karang atoll (atoll reef) (Badan Pusat Statistik Administratif Kepulauan Seribu 2010).

Karang di Kepulauan Seribu seluruhnya merupakan karang tepian (fringing reef). Selain terumbu karang, dijumpai pula jenis-jenis ikan konsumsi dan ikan hias, berbagai jenis udang, molluska, padang lamun, rumput laut dan komunitas

mangrove di hampir seluruh pulau. Biota laut yang menjadi flagship species,

antara lain Penyu Sisik (Eremochelys imbricata) dan Penyu Hijau (Chelonia mydas), Lumba-lumba (Tursiops sp), Kima Lubang (Tridacna crocea), Kima

Besar (Tridacna maxima), Kima Pasir (Hippopus hippopus) dan Kima Sisik

(Tridacna squamosa) (Badan Pusat Statistik Administratif Kepulauan Seribu 2010).

Menurut Noor (2004), pada tahun 1998 kawasan TNKpS ini telah dipancang

batas-batasnya dalam bentuk mooring buoy dan titik referensi. Selanjutnya pada

tahun 2001 kegiatan pemancangan batas tersebut telah diresmikan keabsahan hukumnya melalui penandatanganan Berita Acara Tata Batas oleh Panitia Tata Batas yang diikuti dengan penerbitan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6310/Kpts-II/2002 tanggal 13 Juni 2002 tentang penetapan fungsi Taman Nasional Kepulauan Seribu, menjadi seluas 107.489 ha. Pulau yang berada di kawasan TNKpS berjumlah 76 pulau, 20 pulau diantaranya telah dikembangkan sebagai pulau wisata, 6 pulau dihuni penduduk dan sisanya dikuasai perorangan atau badan usaha.

Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan Nomor 162/Kpts-II/1995 tentang perubahan fungsi cagar alam laut Kepulauan Seribu menjadi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu telah menetapkan wilayah Kepulauan Seribu menjadi Taman Nasional dengan luas 108.000 ha. Pengelolaan kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu selanjutnya diserahkan kepada Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 185/Kpts-II/1997


(52)

36 tanggal 31 Maret 1997 tentang organisasi dan tata kerja Balai Taman Nasional dan unit Taman Nasional. Untuk menghindari atau mengurangi tingkat kerusakan lingkungan pesisir dan terumbu karang yang ada, pemerintah telah menetapkan sebagian besar kawasan Kepulauan Seribu sebagai kawasan Taman Nasional Laut (TNL) Kepulauan Seribu (Noor 2004). Menurut Noor (2004), keunikan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu adalah ekosistem pesisir dengan terumbu karang

yang dimilikinya. Ekosistem pesisir mempunyai produktivitas dan

keanekaragaman jenis biota yang tinggi.

Pada awalnya TNL adalah merupakan cagar alam laut yang ditetapkan pada tahun 1982, pada saat itu merujuk pada undang-undang Pokok Kehutanan tahun 1967 dengan fungsi sebagai cagar alam laut. Pada tahun 1982 diselenggarakan kongres nasional taman laut sedunia yang berlangsung di Bali, dan diumumkan perubahan fungsi dari cagar alam laut Kepulauan Seribu menjadi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (Noor 2004).

Menurut Noor (2004), keunikan TNL Kepulauan Seribu terletak pada ekosistem pesisir dengan terumbu karang yang dimilikinya. Ekosistem pesisir mempunyai produktivitas yang tinggi dengan keanekaragaman jenis biota laut yang tinggi pula. Terumbu karang berfungsi sebagai habitat, tempat mencari makan dan berkembang biak bagi biota lain seperti molusca, crustacea, echinodermata, rumput laut dan jenis-jenis ikan karang. Begitu juga dengan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, disana terdapat keanekaragaman hayati berupa biota laut yang antara lain berupa berbagai jenis terumbu karang, ikan hias, rumput laut, ganggang laut dan molluska. Kawasan ini memiliki keanekaragaman hayati karang yang tinggi, meliputi 67 genera dan subgenera yang mencakup paling sedikit 123 spesies karang.

4.2 Keragaan perekonomian di Kabupaten Kepulauan Seribu

Perekonomian di Kabupaten Kepulauan Seribu sangat bergantung pada peranan perikanan tangkap. Selama periode tahun 2002-2006 peranan perikanan tangkap dalam perekonomian Kabupaten Kepulauan Seribu terlihat dari kontribusinya terhadap PDRB yaitu lebih dari 98% total PDRB. Perikanan tangkap memiliki kontribusi besar di dalam perekonomian Kabupaten Kepulauan


(53)

37 Seribu dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 tetapi kontribusi perikanan tangkap terhadap PDRB sektor pertanian mengalamii trend yang menurun (Gambar 9).

Sumber : Diolah dari BPS Kabupaten Kepulauan Seribu (2008)

Gambar 9 Perkembangan kontribusi PDRB sub sektor perikanan tangkap terhadap sektor pertanian Tahun 2002-2006

Apabila dilihat pada PDRB Kabupaten Kepulauan Seribu baik dengan minyak bumi dan gas bumi (Migas) maupun tanpa minyak bumi dan gas bumi (Non-Migas), kontribusi perikanan tangkap terhadap PDRB secara keseluruhan memiliki trend yang menurun (Gambar 10 dan 11), tetapi pada kontribusi PDRB Non-Migas dari tahun 2004 hingga pada tahun 2006 sektor perikanan tangkap mengalami peningkatan.

Dari kondisi tersebut, terlihat walaupun peranan perikanan tangkap mengalami penurunan drastis di tahun 2003, tetapi peranan perikanan tangkap bertambah besar terhadap perekonomian Kabupaten Kepulauan Seribu. Oleh karena itu sudah seharusnya perikanan tangkap diberikan perhatian yang lebih baik oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, sehingga keberadaan perikanan tangkap dapat menjadi sektor unggulan yang mendukung sektor lain, seperti sektor pariwisata terutama wisata bahari.

y = -0,000x + 2,418 R² = 0,034

97,50% 98,00% 98,50% 99,00% 99,50% 100,00%

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

K on tr ib u si te rh adap sekto r p e rtan ian (% ) Tahun


(54)

38 Sumber : Diolah dari BPS Kabupaten Kepulauan Seribu (2008)

Gambar 10 Perkembangan kontribusi PDRB sektor perikanan tangkap terhadap total PDRB Kabupaten Kepulauan Seribu dengan migas Tahun

2002-2006

Sumber : Diolah dari BPS Kabupaten Kepulauan Seribu (2008)

Gambar 11 Perkembangan kontribusi PDRB sektor perikanan tangkap terhadap total PDRB Kabupaten Kepulauan Seribu tanpa migas Tahun

2002-2006

4.3 Keragaan Perikanan Tangkap di Pulau Pramuka

Kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Kepulauan Seribu berpusat di Pulau Pramuka dengan tujuan penangkapan ikan pelagis dan ikan karang, baik ikan konsumsi maupun ikan hias. Unit penangkapan ikan yang dominan dioperasikan oleh nelayan di Pulau Pramuka ialah payang, bubu tambun, pancing gandar dan jaring ikan hias.

y = -0,006x + 12,21 R² = 0,648

0,00% 1,00% 2,00% 3,00% 4,00% 5,00% 6,00%

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

K o n tr ib u si te rh ad ap PD R B d e n g an M ig as (% ) Tahun

y = -0,021x + 43,43 R² = 0,250

0,00% 5,00% 10,00% 15,00% 20,00% 25,00% 30,00% 35,00% 40,00%

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

K o n tr ib u si te rh ad ap PD R B t an p a m ig as (% ) Axis Title


(55)

39 4.3.1 Alat penangkapan ikan

Jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di wilayah Kelurahan Pulau Panggang pada tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 11. Berdasarkan data pada Tabel 8, alat tangkap yang paling banyak digunakan oleh nelayan ialah pancing dengan jumlah 532 unit.

Tabel 8 Jenis dan jumlah alat penangkapan ikan di Kelurahan Pulau Panggang pada tahun 2008

No Alat tangkap Jumlah Pemilik Jumlah Unit

1 Jaring dasar 21 21

2 Payang 20 22

3 Bubu besar 17 200

4 Bubu kecil 12 20

5 Jaring gebur 10 100

6 Muroami 10 10

7 Pancing 444 532

Total 534 905

Sumber : Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta (2008)

Pancing menjadi alat tangkap dominan dikarenakan faktor harga yang relatif lebih murah dibanding alat tangkap lain. Alat tangkap terbanyak kedua ialah bubu. Bubu banyak dipakai karena dapat dioperasikan secara optimal di perairan Kelurahan Pulau Panggang yang sebagian besar memiliki terumbu karang.

4.3.1.1 Bubu tambun

Bubu tambun merupakan unit penangkapan ikan kedua terbanyak setelah pancing. Hal tersebut dapat terlihat dari jumlah unit bubu tambun di Pulau Pramuka mencapai 200 unit. Disebut bubu tambun karena dalam pengoperasiannya, bubu tambun dipasang di terumbu karang dengan cara ditimbun atau ditutup dengan potongan karang dari terumbu karang yang ada di area tersebut.

Pengoperasian bubu tambun memerlukan waktu yang cukup lama, sebab harus mencari terumbu karang hidup yang sesuai untuk menutupi bubu terlebih dahulu. Penutupan bubu menggunakan terumbu bertujuan sebagai kamuflase agar ikan karang tertarik memasuki bubu tambun. Bubu tambun terbuat dari bambu.


(56)

40

Konstruksi bubu tambun dapat dilihat pada Gambar 12. Mesh pada bubu tambun

memiliki ukuran 3 cm.

Gambar 12 Konstruksi bubu tambun

Perahu motor yang digunakan untuk pengoperasian alat tangkap bubu tambun terbuat dari kayu. Perahu motor yang digunakan memiliki dimensi LxBxD adalah 8 meter x 1,8 meter x 1 meter. Jumlah nelayan yang mengoperasikan bubu tambun berkisar antara 2 hingga 4 orang. Perahu motor menggunakan tenaga penggerak dengan kekuatan 25 PK. Perahu motor untuk pengoperasian alat tangkap bubu tambun terbuat dari kayu ulin (Eusideroxylon zwageri).

Pengoperasian alat tangkap bubu tambun dilakukan melalui tahap persiapan,

perjalanan menuju fishing ground, setting, soaking, hauling, dan perjalanan

kembali ke fishing base. Persiapan yang dilakukan nelayan adalah persiapan

perbekalan berupa bahan makanan, es, bahan bakar solar sebanyak 10-15 liter, serta umpan bubu berupa potongan daging ikan betok hitam (Neoglyphidodon crossi) dan gonad bulu babi (Diadema sp.) yang telah dihaluskan. Selanjutnya

nelayan berangkat menuju fishing ground pada pukul 07.00 dan sampai di fishing


(57)

41

di sekitar perairan Pulau Pari dan Pulau Karang Congkak (Lampiran 1). Fishing

ground bubu tambun merupakan perairan dengan kepadatan terumbu karang yang cukup tinggi.

Proses pemasangan (setting) bubu tambun biasanya memakan waktu 20-40 menit. Bubu dipasang dengan cara tunggal, masing - masing bubu dipasang dengan tali selambar dan pelampung tanda tersendiri. Bubu tambun dipasang diantara karang dan ditimbun dengan potongan karang. Menurut Santoso (2009), pemasangan bubu tambun dapat memicu kerusakan habitat terumbu karang. Sebaiknya pemasangan bubu tambun dilakukan hanya pada celah-celah terumbu karang tanpa diawali oleh penghancuran atau pemotongan terumbu karang terlebih dahulu.

Semua bagian badan bubu ditimbun dengan karang kecuali bagian pintu. Waktu perendaman (soaking) bubu tambun bervariasi antara 4-5 jam bergantung pada kebutuhan nelayan. Proses hauling dilakukan dengan mengangkat bubu satu

persatu. Selama proses hauling, setiap hasil tangkapan langsung dimasukkan ke

dalam wadah yang berisi es. Kegiatan operasional bubu tambun berakhir pada pukul 16.00 dan nelayan langsung kembali ke fishing base pada pukul 17.00.

Ikan hasil tangkapan bubu tambun ialah ikan kerapu koko (Epinephelus quoyanus), kerapu merah (Epinephelus fasciatus), kerapu hitam (Epinephelus ongus). Selain itu bubu tambun juga menangkap ikan baronang (Sigganus guttatus) dan ikan kakaktua (Scarus sp).

4.3.1.2 Jaring ikan hias

Konstruksi alat tangkap jaring ikan hias yang dioperasikan di Pulau

Pramuka terdiri atas bagian badan jaring yang terbuat dari bahan Polyamide

monofilament dan tali ris yang terbuat dari bahan Polyetilen multifilament. Konstruksi alat tangkap jaring ikan hias dan alat bantunya dapat dilihat pada Gambar 13.

Perahu motor yang digunakan untuk pengoperasian alat tangkap jaring ikan hias terbuat dari kayu. Perahu motor yang digunakan memiliki dimensi LxBxD adalah 5 meter x 1,8 meter x 1 meter. Jumlah nelayan yang mengoperasikan jaring ikan hias berkisar antara 2 hingga 6 orang. Perahu motor menggunakan tenaga


(1)

Lampiran 9 Unit penangkapan pancing

Kapal


(2)

Gerbang Pulau Pramuka


(3)

Lampiran 10 (Lanjutan)

Rumah Daur Ulang Taman Bacaan


(4)

Floating Restaurant Kapal Transportasi Snorkling

Penangkaran Penyu Sisik Wadah Bayi Penyu Sisik


(5)

Lampiran 10 (Lanjutan)

Budidaya Mangroove

Penangkaran Cucut


(6)

Pulau Air Pulau Semak Daun

Karang Keling Cetek Karang Keling Dalam