Perbandingan Pengelolaan Tanaman Berbasis PHT dan Konvensional Pada Tanaman Jagung (Zea mays ) di Nganjuk , Jawa Timur.

PERBANDINGAN PENGELOLAAN TANAMAN
BERBASIS PHT DAN KONVENSIONAL
PADA TANAMAN JAGUNG (Zea mays)
DI NGANJUK, JAWA TIMUR

IIS RISA MAFTUHAH

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perbandingan
Pengelolaan Tanaman Berbasis PHT dan Konvensional pada Tanaman Jagung
(Zea mays) di Nganjuk, Jawa Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Iis Risa Maftuhah
NIM A34080014

ABSTRACT
IIS RISA MAFTUHAH. Comparison between crop management based on IPM
and conventional method of Corn (Zea mays ) in Nganjuk, East Java. Under the
supervision of : KIKIN HAMZAH MUTAQIN and HERMANU TRI WIDODO.
One of factors that results in suboptimum productivity of corn is lack of
good management and cultivation, and the presence of plant pests and diseases.
Several attempts to improve the productivity of corn has been developed
continuously, including the use of natural agents such as Plant Growth Promoting
Rhizobacteria (PGPR) and fungal biocontrol agents as control component in IPM.
The objective of this study was to compare IPM based corn crop management
involving PGPR and bicontrol agents with conventional method on plant growth,
yield, and pest/diseases occurence. Field observations of the crop pests and
diseases, and their intensity and severity were conducted as well as measurements
of plant height, girth, number of leaves, and number of cobs. Interview with the
farmer was also done. The use of PGPR containing mixture of Pseudomonas

fluorescens and Bacillus polymixa combined with application of Trichoderma sp.,
Verticillium sp., and organic fertilizer to meet IPM concepts resulted in
maintaining optimum plant height, number of leaves, and number of cobs. The
plant also showed to acquire resistance against pests and diseases. In general, the
IPM based plant management gives better performance of growth and yield and
lower occurence of corn pest and diseases than that of conventional method. The
cost for growing corn based on IPM was higher than that conventional method,
however, gave more yield benefit. IPM approach is concluded to be more
profitable than conventional method.
Key words: biocontrol agents, conventional method, corn, IPM, PGPR.

ABSTRAK
IIS RISA MAFTUHAH. Perbandingan Pengelolaan Tanaman Berbasis PHT dan
Konvensional pada Tanaman Jagung (Zea mays) di Nganjuk, Jawa Timur.
Dibimbing oleh KIKIN HAMZAH MUTAQIN dan HERMANU TRI WIDODO.
Salah satu faktor yang menyebabkan produktivitas suboptimum jagung
adalah manajemen budidaya yang kurang baik, serta adanya serangan hama dan
penyakit. Beberapa upaya untuk meningkatkan produktivitas jagung telah
dikembangkan terus menerus, termasuk penggunaan agens hayati seperti bakteri
perakaran pemicu pertumbuhan (Plant Growth Promoting Rhizobacteria/PGPR)

dan cendawan antagonis sebagai salah satu komponen pengelolaan dalam konsep
pengendalian hama/penyakit tanaman terpadu (PHT). Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk membandingkan pengelolaan tanaman jagung berbasis PHT
menggunakan PGPR, agens biokontrol, dan pupuk organik dengan metode
konvensional terhadap pertumbuhan tanaman, hasil, dan kejadian serangan
hama/penyakit. Pengamatan lapangan meliputi pengukuran tinggi tanaman,
lingkar batang, jumlah daun, dan jumlah tongkol, kejadian serangan hama dan
penyakit, dan hasil produksi tanaman jagung. Selain itu dilakukan juga
wawancara dengan petani pemilik lahan. Penggunaan PGPR yang mengandung
campuran bakteri Pseudomonas fluorescens dan Bacillus polymixa, cendawan
antagonis, Trichoderma sp., Verticillium sp., serta pupuk organik pada
pengelolaan tanaman secara PHT mampu memicu pertumbuhan jagung,
ketahanan terhadap hama dan penyakit, dan menghasilkan produksi panen yang
lebih tinggi dibandingkan dengan metode konvensional. Berdasarkan hasil analisa
usaha tani jagung, biaya produksi yang dikeluarkan pada pengelolaan dengan
PHT memang lebih besar, tetapi selisih keuntungan dari pendapatan yang
didapatkan juga lebih besar dibandingkan dengan pendekatan konvensional.
Metode pengelolaan jagung berbasis PHT lebih menguntungkan dibandingkan
dengan konvensional.


Kata kunci :

agens biokontrol, budidaya konvensional, Jagung, PGPR, PHT.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PERBANDINGAN PENGELOLAAN TANAMAN
BERBASIS PHT DAN KONVENSIONAL
PADA TANAMAN JAGUNG (Zea mays)
DI NGANJUK, JAWA TIMUR

IIS RISA MAFTUHAH


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul skripsi

Nama Mahasiswa
NIM

: Perbandingan Pengelolaan Tanaman Berbasis PHT dan
Konvensional Pada Tanaman Jagung (Zea mays ) di

Nganjuk , Jawa Timur.
: Iis Risa Maftuhah
: A34080014

Disetujui oleh,

Dr.Ir. Kikin H. Mutaqin, MSi.
Pembimbing I

Dr.Ir. Hermanu Tri Widodo, MSc.
Pembimbing II

Diketahui oleh,

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi.
Ketua Departemen

Tanggal Lulus :

PRAKATA


Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan
tugas akhir penelitian untuk skripsi yang berjudul “Perbandingan Pengelolaan
Tanaman Berbasis PHT dan Konvensional pada Tanaman Jagung di Nganjuk, Jawa
Timur” yang dilaksanakan pada bulan Juli hingga Oktober 2012. Dalam kesempatan
ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Ir. Kikin Hamzah Mutaqin, MSi sebagai dosen pembimbing skripsi atas
bimbingan dan nasehatnya dalam menyelesaikan tugas akhir penelitian dan
skripsi.
2. Dr. Ir. Hermanu Tri Widodo, MSc sebagai dosen pembimbing skripsi serta dosen
Pembimbing Akademik yang telah membimbing dan memberikan pengarahan
selama kuliah sampai menyelesaikan tugas akhir penelitian dan skripsi.
3. Dr. Ir. Dhamayanti Adidharma sebagai dosen penguji skripsi yang telah
memberikan saran dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi.
4. Ir. Djoko Prijono,MAgrSc yang telah memberikan pengarahan dalam proses
penulisan skripsi.
5. Dr. Ir. Yayi Munara Kusumah, MSc yang telah memberikan bimbingan dan
pengarahan.
6. Keluarga Bapak Syaikhu, dan Bapak Murjito serta seluruh keluarga besar di
Nganjuk yang telah banyak memfasilitasi tempat dan membantu penulis selama

pelaksanaan penelitian.
7. Pos Pelayanan Agens Hayati (PPAH) Desa Betet, Kec Ngronggot, Kabupaten
Nganjuk yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian.
8. Kelompok tani “Harapan Baru” Desa Betet, Kec Ngronggot, Kabupaten Nganjuk
yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian.
9. Teman- teman Proteksi Tanaman angkatan 45 yang telah banyak memberi
dukungan dan semangat hingga penelitian ini selesai.
10. Kedua orang tua Ayahanda Umaryadi, Ibunda Aniasih, serta kakak dan keluarga
besar yang telah memberikan doa, dan dukungan baik moril maupun materi
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir penelitian dan skripsi.

Bogor, Juli 2013

Iis Risa Maftuhah

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Perlakuan awal tanam
Penentuan sample dan pengambilan sample
Budidaya tanaman jagung
Pengamatan lapang
Panen
Wawancara
Rancangan percobaan dan Analisis data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi lahan
Budidaya tanaman jagung
Kondisi cuaca
Pertumbuhan tanaman jagung hibrida P27
Kejadian dan tingkat kerusakan oleh serangan hama
Serangan Ulat grayak

Serangan Oxya sp.
Serangan Ostrinia furnacalis
Serangan Helicoverpa armigera
Perbandingan PHT dan konvensional terhadap
serangan hama
Kelimpahan Musuh Alami
Kejadian dan tingkat kerusakan oleh serangan Penyakit
Serangan karat daun
Serangan hawar daun
Perbandingan PHT dan konvensional terhadap
serangan penyakit 
Hasil panen tanaman jagung hibrida P27
Analisa usaha tani jagung
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

x
x

xi
1
1
3
3
4
4
4
4
4
5
6
6
6
7
7
7
7
8
11
11
11
12
13
15
15
21
21
22
23
23
27
29
30
34
50

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

Budiya jagung hibrida P27 secara PHT dan konvensional
Kondisi suhu dan curah hujan Nganjuk Juli-Oktober 2012
Perbandingan jumlah tongkol hibrida P27 yang dihasilkan
Rataan jumlah musuh alami
Produksi panen jagung hibrida P27
Hasil analisa usaha tani jagung

5
8
10
15
24
28

DAFTAR GAMBAR
1 Kondisi lahan penanaman jagung
2 Pertumbuhan jagung hibrida P27 pada petak PHT dan konvensional
selama 10 minggu
3 Perkembangan serangan ulat grayak pada tanaman jagung P27
4 Perkembangan serangan Oxya sp. pada tanaman jagung P27
5 Perkembangan serangan O. furnacalis. pada tanaman jagung P27
6 Perkembangan serangan H.armigera pada tanaman jagung P27
7 Gejala serangan ulat grayak
8 Gejala serangan Oxya sp.
9 Gejala serangan Ostrinia furnacalis
10 Gejala serangan Helicoverpa armigera
11 Musuh alami / Predator : Euborellia sp. (Cocopet), Belalang sembah
(Mantidae), semut merah, M. sexmaculatus., Paederus sp. (Tomcat),
Blattella asahinai
12 Perkembangan serangan karat daun pada tanaman jagung P27
13 Perkembangan serangan hawar daun pada tanaman jagung P27
14 Gejala serangan karat daun
15 Gejala serangan hawar daun
16 Perbandingan akar tanaman dan ukuran tongkol

7
9
11
12
13
14
17
17
18
19

20
21
22
25
25
26

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5
Lampiran 6
Lampiran 7
Lampiran 8
Lampiran 9
Lampiran 10
Lampiran 11
Lampiran 12
Lampiran 13
Lampiran 14
Lampiran 15

Hasil analisis ragam perbandingan tinggi tanaman
Hasil analisis ragam perbandingan diameter batang
Hasil analisis ragam perbandingan jumlah daun
Hasil analisis ragam perbandingan jumlah tongkol jagung
Hasil analisis ragam tingkat kerusakan serangan ulat
grayak
Hasil analisis ragam kejadian oleh hama ulat grayak
Hasil analisis ragam tingkat kerusakan serangan Oxya sp.
Hasil analisis ragam kejadian oleh hama Oxya sp.
Hasil analisis ragam kejadian serangan O.furnacalis
Hasil analisis ragam kejadian serangan H.armigera.
Hasil analisis ragam keparahan serangan karat daun
Hasil analisis ragam kejadian serangan karat daun
Hasil analisis ragam keparahan serangan hawar daun
Hasil analisis ragam kejadian serangan hawar daun
Hasil analisis ragam hasil panen jagung

35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tanaman jagung merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang
penting di Indonesia, dengan produksi nasional pada tahun 2012 sebanyak 18.95
juta ton pipilan kering (BPS 2012). Produktivitas jagung nasional dalam 6 tahun
terakhir mengalami peningkatan yaitu diperkirakan rata-rata 4.96% dari 3.66
ton/ha pada tahun 2007 menjadi 4.73 ton/ha pada tahun 2012, namun pencapaian
tersebut masih dibawah potensi produktivitas dari varietas jagung yang ada.
Untuk sejumlah varietas jagung komposit mampu mencapai produksi 5-6 ton/ha,
sementara jagung hibrida mampu mencapai 8-10 ton/ha. Masih rendahnya
produktivitas disebabkan oleh beberapa faktor antara lain penggunaan benih yang
tidak bersertifikat, perubahan cuaca yang sulit diprediksi, cara budidaya yang
masih belum sesuai, serta gangguan hama dan penyakit (Ditjen tanaman pangan
2012).
Menurut Swastika et al. (2004) hama-hama utama yang umum menyerang
tanaman jagung adalah lalat bibit (Atherigona sp.), penggerek batang (Ostrinia
furnacalis), penggerek tongkol (Helicoverpa armigera), ulat grayak (Spodoptera
litura), kutu daun (Aphis sp.). dan belalang (Oxya sp.). Sedangkan penyakit yang
umum menyerang tanaman jagung menurut Wakman et al. (2001) adalah penyakit
bulai (Peronosclerospora sp.), karat (Puccinia sp.), hawar daun
(Helminthosporium sp.), hawar upih (Rhizoctonia sp.), busuk tongkol/batang
(Fusarium sp.), busuk biji (Aspergillus sp.). Menurut Ditjen Tanaman Pangan
(2012) serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) utama jagung baik hama
maupun patogen dapat mencapai 39.5%.
Pengendalian yang selama ini banyak direkomendasikan dalam
pengendalian hama dan penyakit jagung adalah penggunaan varietas tahan, musuh
alami, dan pestisida. Penggunaan pestisida yang berlebihan dapat menimbulkan
dampak negatif seperti munculnya hama yang resisten, kematian organisme bukan
sasaran, pencemaran lingkungan, dan keracunan pada manusia (Oka 1995).
Terjadinya serangan hama dan patogen dapat juga disebabkan oleh kerentanan
tanaman sehingga tanaman tersebut tidak mampu melakukan fungsi fisiologisnya
dengan optimum ketika terserang hama dan patogen. Mengingat banyaknya faktor
yang mempengaruhi serangan hama dan patogen jagung maka diperlukan
perakitan komponen-komponen pengendalian yang saling kompatibel dalam
suatu konsep yang dikenal sebagai pengendalian hama/penyakit terpadu (PHT).
Pengendalian hama dan penyakit terpadu (PHT) merupakan salah satu
konsep pengelolaan OPT dengan memperhatikan secara holistik semua aspek
budidaya tanaman dan pengendalian. Program PHT di Indonesia pertama kali
dilakukan sekitar tahun 1979/1980, cara yang dilakukan meliputi penggunaan
varietas tahan, kultur teknis, dan penggunaan pestisida (1950-1986). Dalam
perkembangannya, pendekatan konsep PHT yaitu teknik pengendalian hama
penyakit dengan cara mengurangi penggunaan pestisida dan fungisida untuk
menghindari adanya kerusakan pada lingkungan, melindungi kesehatan manusia,
melindungi organisme bukan sasaran, dan menghindari munculnya resistensi pada
hama dan penyakit (Ehler 2006).

 


 

Salah satu teknologi pengendalian dalam PHT yang banyak dikembangkan
adalah penggunaan agens hayati bakteri perakaran pemacu pertumbuhan tanaman
(Plant Growth Promoting Rhizobacteria/PGPR), dan cendawan antagonis
terhadap patogen tanaman seperti Trichoderma sp., dan cendawan patogen
serangga seperti Verticillium sp. Penggunaan agens pengendalian hayati secara
tepat diharapkan dapat mencegah timbulnya ledakan atau menekan OPT, tidak
berbahaya bagi manusia, musuh alami dan organisme bukan sasaran, tidak
menimbulkan resistensi dan resurgensi, tidak merusak lingkungan. Agens
antagonis yang diintroduksi mampu bertahan hidup lama sehingga dapat menekan
pertumbuhan dan pemencaran inokulum secara berkesinambungan, walaupun
tidak menekan secara mutlak, hasil panen terhindar dari bahaya residu pestisida,
juga akan menurunkan biaya produksi (BPTH 2007).
PGPR adalah bakteri pengoloni akar yang memberikan keuntungan bagi
tanaman karena dapat memacu pertumbuhannya. Akar tanaman dapat menyerap
sekresi mikroba yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan meningkatkan
ketahanannya terhadap patogen (Soesanto 2008).
Menurut Somers et al. (2004) dan Glick & Pasternak (2003) PGPR
memiliki beberapa peranan secara langsung yaitu membantu meningkatkan
ketersediaan unsur hara bagi tanaman, menghasilkan fitohormon pemacu
pertumbuhan tanaman, membantu mengurangi pencemaran pada bahan-bahan
organik dalam tanah akibat adanya residu bahan-bahan kimia, meningkatkan
ketersediaan besi dan fosfor dari tanah bagi tanaman, dan peranannya secara tidak
langsung yaitu menjadi agens pengendalian hayati patogen tanaman dengan
menghasilkan antibiotik dan zat metabolit anti cendawan. PGPR dapat berupa
strain-strain mikroba bermanfaat untuk mencegah pertumbuhan patogen dalam
tanah yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan normal tanaman
yaitu dengan menghasilkan zat siderofor.
Bakteri PGPR yang telah sering diidentifikasi yaitu Pseudomonas
fluorescens dan Bacillus sp. Niranjan Raj et al. (2004) menyatakan bahwa
P.fluorescens mampu memberikan perlindungan 20-75% mencegah penyakit
embun tepung yang disebabkan oleh Sclerospora graminicola pada tanaman
millet (sejenis serealia). Bakteri P.fluorescens juga mampu menghambat
perkembangan telur nematoda Heterodera cruciferae (Aksoy and Mennan 2004).
Hasil penelitian Widodo (1993) menyatakan bahwa isolat P.fluorescens mampu
menekan perkembangan penyakit akar gada pada kubis-kubisan dan layu fusarium
pada mentimun. Bacillus sp. mampu membentuk endospora yang memungkinkan
mereka dapat bertahan hidup untuk waktu yang lama di bawah kondisi lingkungan
yang merugikan. Beberapa anggota kelompok adalah diazotrof dan B.subtilis
diisolasi dari rizosfer dari berbagai jenis tumbuhan pada konsentrasi setinggi 107
per gram tanah rizosfer (Wipat & Harwood 1999). Menurut (Siddiqui et al. 2005),
Bacillus sp. dan P.fluorescens mampu mencegah penyakit layu yang disebabkan
oleh Fusarium udum. Timmusk et al. (1999) melaporkan bahwa Bacillus
polymixa adalah bakteri penghasil hormon sitokinin. Fungsi dari sitokinin yaitu
dapat memacu pembelahan sel, mendorong diferensiasi tajuk pada kultur
jaringan, mendorong pertumbuhan tunas samping dan perluasan daun,
perkembangan kloroplas, menunda penuaan daun, dan bersama IAA, sitokinin
dapat merangsang pembelahan sel secara cepat (Tjondronegoro et al. 1989). Telah

 

3
 
 

dilaporkan juga bahwa Bacillus sp. sangat efektif digunakan untuk pengendalian
biologis terhadap beberapa penyakit tanaman (Kokalis-Burelle et al 2002).
Kemampuan Trichoderma sp. sebagai agens biokontrol disebabkan oleh
kemampuannya mengeluarkan enzim hidrolitik dan mendeteksi kehadiran
cendawan lain dengan menangkap sinyal molekul yang dilepaskan dari inang
(Woo & Lorito 2007). Peranan cendawan Trichoderma sp. sebagai biofungisida
mempunyai kemampuan untuk dapat menghambat pertumbuhan beberapa
cendawan penyebab penyakit pada tanaman, antara lain Phythopthora sp.,
Rigidiforus lignosus, Fusarium oxysporum, Rizoctonia solani, Sclerotium rolfsii
dan lain-lain. Trichoderma sp. mampu memacu pertumbuhan tanaman, bibit
tanaman jagung yang diberi Trichoderma isolat T mampu meningkatkan panjang
akar dan tunas bibit jagung serta meningkatkan konduktivitas stomata. Selain itu
bertambahnya tinggi dan jumlah daun tanaman lada disebabkan oleh kemampuan
Trichoderma sp. untuk menekan populasi patogen di sekitar pertanaman lada.
Trichoderma sp. telah dibuktikan mampu menekan populasi patogen atau sebagai
biokontrol (Hajieghrari 2010).
Vertcillium sp. mampu menginfeksi beberapa jenis serangga, antara lain:
Spodoptera litura dan Helicoverpa armigera (Lepidoptera), Riptortus linearis
dan Nezara viridula (Hemiptera). Dilihat dari inangnya yang sangat luas dan
mudah ditemukan di daerah tropis dan subtropis, maka cendawan tersebut
mempunyai kelebihan sebagai agens biologis untuk mengendalikan hama
(Prayogo dan Tengkano 2003).
Kegiatan budidaya PHT masih belum memasyarakat di kalangan petani.
Sementara, tingkat kekhawatiran yang tinggi pada petani mengenai kemungkinan
gagal panen menyebabkan pestisida kimia masih tetap digunakan dalam
mengendalikan hama dan penyakit. Disamping itu, penerapan budidaya PHT di
lapangan cukup berat dan tidak semudah budidaya konvensional. Budidaya PHT
perlu ditunjang dengan berbagai pengetahuan mengenai siklus hidup tanaman,
bioekologi hama dan penyakit, informasi dasar mengenai morfologi, fisiologi dan
genetik dari masing-masing hama dan penyakit, interaksi antara hama dan
penyakit dengan tanaman dan lingkungan, dan potensi munculnya kerugian secara
ekonomi (Gray et al. 2009).

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh pengelolaan
tanaman jagung secara PHT dan konvensional terhadap pertumbuhan tanaman,
kejadian serangan hama dan penyakit, serta produktivitas tanaman.
Manfaat Penelitian
Memberikan informasi dan data mengenai pertumbuhan tanaman,
kelimpahan hama dan penyakit, produktivitas tanaman dan analisis usaha tani
jagung pada pengelolaan secara PHT dan konvensional. Sehingga dapat menjadi
gambaran bahwa konsep PHT layak diimplementasikan untuk menjawab
permasalahan usaha tani jagung terutama aspek hama dan penyakit.

 


 

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Desa Betet, Kecamatan Ngronggot, Kabupaten
Nganjuk, Jawa Timur pada bulan Juli-Oktober 2012. Penelitian ini bekerja sama
dengan Pos Pelayanan Agens Hayati (PPAH) “Buana Lestari” Nganjuk, Jawa
Timur.
Perlakuan awal tanam
Perlakuan awal tanam dimulai dengan pengolahan tanah dua minggu
sebelum tanam. Pada petak PHT tanah dibajak kemudian diberi pupuk kompos
yang telah difermentasi dan dicampur dengan PGPR, sedangkan pada petak
konvensional tanah hanya dibajak saja tanpa aplikasi pupuk. Selanjutnya
dilakukan perlakuan benih untuk petak PHT, yaitu benih jagung hibrida varietas
Pioneer P27, dengan cara dibersihkan dengan air, dicuci sampai fungisida yang
terkandung di dalamnya hilang, dengan tujuan untuk menghilangkan efek
fungisida. Benih kemudian direndam air bersih selama 12 jam. Selanjutnya benih
direndam dalam suspensi PGPR (Merek dagang Rhizomax, mengandung
Pseudomonas fluorescens dan Bacillus polymixa) dalam air 1 L selama 30 menit.
Pada petak konvensional, benih varietas yang sama digunakan apa adanya.
Penentuan ukuran contoh dan pengambilan contoh
Percobaan dilakukan dalam rancangan acak lengkap yang terdiri dari satu
faktor perlakuan dalam dua taraf (PHT dan konvensional) dan 3 ulangan. Lahan
seluas 1400 m2 dibagi kedalam 6 petak percobaan. Tiga petak untuk PHT, dan
tiga petak untuk konvensional. Masing-masing petak berukuran 7 m x 18.75 m.
Satu petak terdiri dari 15 baris tanaman dan dalam setiap baris terdapat 35
tanaman, sehingga populasi tanaman per petak adalah sekitar 525 tanaman.
Pengambilan tanaman contoh pada setiap petak dilakukan dengan penentuan 3
baris tanaman secara acak, kemudian dalam setiap baris tersebut dipilih 3 tanaman
ontoh. Dengan demikian jadi jumlah tanaman contoh per petak adalah 9 tanaman..
Budidaya Tanaman Jagung
Penanaman jagung dilakukan pada tanggal 1 Juli 2012 dengan sistem
legowo, yaitu jarak tanam dalam baris adalah 20 cm dan antar baris 30 cm, dan
kedalaman lubang tanam 10 cm. Sistem pengairan dilakukan dengan mengaliri
lahan dengan air yang berasal dari sumur yang terletak didekat lahan
menggunakan mesin pompa dan selang. Pengairan lahan selama satu musim
tanam dilakukan sebanyak delapan kali sesuai dengan kondisi tanaman dan cuaca
di lahan penelitian, yaitu pada awal tanam, umur tanaman 4, 11, 24, 46, 53, 68, 97
hari setelah tanam (HST).

 

5
 
 

Tabel 1 Budidaya jagung hibrida P27 secara PHT dan konvensional di Desa
Betet, Ngronggot, Nganjuk 2012 dalam luasan 1Ha
Waktu
aplikasi
(MST)
1

Perlakuan (per ha) yang diberikan pada
Petak PHT
Petak konvensional

Penyemprotan
cendawan
entomopatogen Verticillium
sp. dengan dosis 5 L
suspensi + 500 L air,
dengan konsentrasi 10
ml/L.
Pupuk organik 2000 kg
(Kompos+Trichoderma sp.)

Furadan 3G 4 kg

3

Phonska 178.5 kg + organik
(Kotoran ayam) 625 kg

Phonska 178.5 kg+ Urea 625
kg+Zeolit 625 kg

6
8

Pupuk kujang 625 kg
Pupuk organik (kotoran
ayam) 625 kg

Pupuk kujang 625 kg
pupuk kujang 625 kg

2

Pupuk kujang 625 kg

Keterangan: MST = Minggu setelah tanam

Pengamatan lapangan
Pengamatan lapang dilakukan mulai tanggal 7 Juli 2012, mulai tanaman
berumur 1 MST, peubah pengamatan meliputi tinggi tanaman, diameter batang,
jumlah daun, jumlah tongkol, kejadian dan keparahan serangan hama dan
penyakit, dan yang terakhir yaitu hasil bobot panen.
Pengamatan tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah tongkol dilakukan per
minggu pada umur tanaman 1-10 MST. Pengamatan tinggi tanaman dilakukan
pengukuran dari permukaan tanah hingga ujung daun tertinggi menggunakan
meteran kain. Pengamatan daun dan tongkol dilakukan dengan menghitung
jumlah seluruh daun dan tongkol yang terbentuk. Pengukuran diameter batang
dilakukan pada posisi 30 cm dari permukaan tanah menggunakan jangka sorong.
Pengamatan hama dan penyakit diamati per minggu pada setiap stadia
pertumbuhan tanaman jagung pada umur tanaman 1-14 MST. Gejala serangan
hama dan patogen diamati secara visual (simtomatologi) dan dihitung berdasarkan
skoring, dilihat gejala yang timbul pada pertanaman. Bagian tanaman yang
terserang hama dan patogen didokumentasikan. Bagian tanaman yang diamati
adalah keseluruhan bagian tanaman yang terserang hama dan patogen.
Pengamatan tingkat kerusakan hama dan keparahan penyakit menggunakan rumus
Towsend & Heuberger (1943) :

 


 

Tingkat kerusakan hama & Keparahan penyakit (%) =
I = keparahan penyakit (%)
ni = jumlah contoh pada kategori ke-I
vi= nilai numeric masing-masing kategori
Z = nilai skala tertinggi
N= jumlah tanaman contoh yang diamati

.

.

%

Nilai kategori serangan terhadap hama dan penyakit ditentukan sebagai
berikut :
Nilai skoring
Kategori serangan
0
Tidak ada serangan
1
5%
2
5
%
3
5%
4
5
5 %
5
5 %

Kejadian
berikut :

serangan hama dan patogen dihitung dengan rumus sebagai

Kejadian serangan =

N

n = jumlah tanaman contoh yang terserang
N = jumlah tanaman contoh yang diamati

x

%

Panen
Panen dilakukan pada saat umur tanaman jagung 15 MST, dipanen ketika
sudah matang fisiologis. Panen tongkol jagung dilakukan secara manual, yaitu
pemetikan tongkol dilakukan dengan menggunakan tangan. Hasil panen antara
petak PHT dan konvensional dipisahkan, kemudian dihitung berat pipilan basah
dan berat pipilan kering. Perhitungan usaha tani masing-masing perlakuan juga
dilakukan.
Wawancara
Wawancara dilakukan untuk mengumpulkan informasi lain terkait aspek
budidaya, pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan pada tanaman jagung
serta aspek sosial ekonomi yang terlihat di lapangan.
Analisis Data
Data dikompilasi menggunakan program Microsoft Office Excel dan dan
dilakukan analisis ragam menggunakan SAS for Windows versi 9.0, perlakuan
yang memberikan pengaruh nyata diuji lanjut dengan Duncan multiple range test
(DMRT) pada taraf 5%.

 

7
 
 

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Lahan
Lokasi penelitian di Desa Betet, Kecamatan Ngronggot, Kabupaten
Nganjuk, Jawa Timur terletak pada koordinat 111°5’ - 111°13’ BT dan 7°20’ -7°50
LS. Sebagian besar wilayah kecamatan tersebut berada pada dataran rendah
dengan ketinggian antara 46-95 mdpl. Tanaman yang paling dominan
dibudidayakan di daerah tersebut adalah padi dan jagung. Selama tiga tahun
berturut-turut lahan penelitian ini tidak dilakukan pengolahan tanah dan ditanami
jagung terus menerus. Tetapi untuk penelitian ini dilakukan proses olah tanah
terlebih dahulu sebelum ditanami supaya tanah menjadi gembur.

(a)
Gambar 1

(b)

Kondisi lahan penanaman jagung: (a) Petak PHT, (b) Petak
konvensional

Budidaya Tanaman Jagung
Teknik budidaya yang dilakukan selama satu musim tanam jagung
dibedakan kedalam dua cara sebagai taraf perlakuan yaitu PHT dan konvensional.
Perbedaannya pada budidaya PHT diaplikasikan PGPR, Trichoderma sp.,
Verticillium sp. serta dengan adanya penggunaan pupuk kompos, dan pupuk
kotoran ayam. Sedangkan pada petak konvensional diaplikasikan insektisida
Furadan 3G, dan pemupukan dengan pupuk sintetis tanpa adanya penggunaan
agens hayati dan pupuk organik, seperti yang diperinci dalam Tabel 1.

Kondisi Cuaca
Selama tahun 2012 jumlah curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari
yaitu 641 mm dan terendah terjadi pada bulan Juli sampai dengan Oktober (tidak
terjadi hujan sama sekali), curah hujan tersebut dihitung per bulan (Nganjuk
dalam angka 2012). Kondisi cuaca Nganjuk selama pengamatan disajikan pada
Tabel 2.

 


 

Tabel 2 Rata-rata suhu dan curah hujan Nganjuk pada bulan Juli-Oktober 2012
Minggu
Suhu
Suhu
Curah hujan
Bulan
°
°
pengamatan
Maksimum ( C) Minimum ( C)
(mm)
1
Juli
31
23
0
2
31
23
0
3
31
23
0
4
31
23
0
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Agustus

September

Oktober

30.7
30
30
31
31.8
32.8
33
33
34.7
35.7

22.5
22.5
22.5
22.5
22.7
23.1
24.3
23.8
23.4
23.5

0
0
0
0
0
0
0
0
0
0.85

Sumber: http://www.accuweather.com

Pertumbuhan Tanaman Jagung Hibrida P27
Pengeloaan tanaman berdasarkan PHT menunjukkan hasil yang lebih baik
daripada metode konvensional dalam hal pertumbuhan tanaman. Secara umum
pertumbuhan tanaman jagung hibrida P27 pada petak PHT terlihat lebih cepat,
tanaman tumbuh lebih subur dan perkembangan tanaman optimal. Budidaya PHT
membantu tanaman jagung mengoptimalkan unsur-unsur penting yang
dibutuhkannya, sehingga tanaman mampu berkembang dengan baik.
Budidaya secara PHT menunjukan nilai rata-rata yang lebih tinggi
dibandingkan konvensional pada peubah pengamatan tinggi tanaman, diameter
batang, dan jumlah daun. Berdasarkan Gambar 2a dapat dilihat bahwa tinggi
tanaman pada PHT memiliki nilai yang lebih tinggi daripada konvensional, dan
menunjukan nilai yang berbeda nyata khususnya pada saat tanaman berumur 7
MST hingga 10 MST (Tabel Lampiran 1). Peubah pengamatan diameter batang
tanaman pada budidaya secara PHT memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi
daripada konvensional (Gambar 2b), walaupun setelah diuji lanjut tidak
menunjukkan adanya nilai yang berbeda nyata diantara kedua perlakuan (Tabel
Lampiran 2).
Peubah pengamatan berikutnya adalah jumlah daun tanaman jagung. Pada
umur 8-10 MST kedua perlakuan menunjukkan adanya tingkat berbeda nyata
(Tabel Lampiran 3). Tanaman pada petak PHT mampu menghasilkan jumlah
daun yang lebih banyak daripada konvensional (Gambar 2c). Jumlah daun yang
dihasilkan berkorelasi positif terhadap pertumbuhan tanaman jagung, semakin
banyak jumlah daun yang dihasilkan akan membantu proses fotosintesis yang
lebih baik pada tanaman jagung.

 

9
 

300

3.5

250

3

Ukuran diameter (cm)

Tinggi tanaman (cm)

 

200
150
100
50

2.5
2
1.5
1
0.5
0

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Minggu pengamatan (MST)
(a)

Minggu pengamatan (MST)
(b)

Jumlah Daun

20
15
10
5
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Minggu pengamatan (MST)
(c)
Gambar 2 Pertumbuhan jagung hibrida P27 pada petak PHT dan konvensional
selama 10 minggu : (a) Perkembangan tinggi tanaman, (b)
Perkembangan diameter batang, (c) Perkembangan jumlah daun
(■ = PHT, ▲ = Konvensional)
Peubah pengamatan lainnya yaitu jumlah tongkol jagung, waktu
kemunculan tongkol terjadi pada umur 7 MST. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat
bahwa pengaruh kedua perlakuan terhadap jumlah tongkol jagung menunjukan
tingkat tidak berbeda nyata, walaupun pada 7 MST dan 9 MST menunjukan
tingkat yang berbeda nyata. Pada awalnya dalam satu tanaman dapat tumbuh dua
tongkol, namun karena persaingan unsur hara maka pada akhirnya setiap tanaman
baik pada PHT maupun konvensional hanya menghasilkan satu tongkol yang
tumbuh baik dan berisi. Budidaya secara PHT mampu membantu tanaman jagung

 

10 
 

untuk menghasilkan tongkol lebih cepat daripada konvensional, hal tersebut dapat
dilihat dari nilai rataan jumlah tongkol antara PHT dan konvensional pada umur
7 MST (Tabel 3).
Tabel 3 Perbandingan jumlah tongkol jagung hibrida P27 yang dihasilkan setiap
tanaman pada petak PHT dan konvensional
Umur (MST)
PHT
Konvensional
7
0.81 ± 0.17 a
0.56 ± 0.19 b
8
1.03 ± 0.17 a
0.89 ± 0.00 a
9
1.18 ± 0.11 a
0.96 ± 0.06 b
10
1.00 ± 0.00 a
1.00 ± 0.00 a
Keterangan: Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan

Aplikasi mikroorganisme bermanfaat seperti Bacillus polymyxa dan
Pseudomonas fluorescens yang termasuk PGPR, dan aplikasi Trichoderma sp.
yang diaplikasikan pada petak PHT mampu memacu pertumbuhan tanaman
jagung. Menurut Khalimi & Wirya (2009), salah satu mekanisme PGPR yaitu
menjadi biostimulan, mampu menghasilkan hormon seperti IAA (auksin),
sitokinin, dan giberelin. Salah satu fungsi dari hormon giberelin adalah
merangsang proses pembungaan, dan adanya hormon auksin yang juga berperan
dalam proses perkembangan buah (Timmusk et al. 1999). Keefektifan PGPR
dipengaruhi oleh kelembaban, tekanan oksigen, suhu, pH tanah, kandungan
lempung, daya larut ion, dan kandungan organik dalam tanah (Soesanto 2008).
Aplikasi pupuk organik pada petak PHT selain berfungsi sebagai penambah unsur
hara tetapi membantu juga mempertahankan mikroorganisme penting lain di
dalam tanah. Bakteri dapat tumbuh dengan baik pada suhu 25-30 ºC dan akan
mati pada suhu 53 ºC (Singh 1973), hal tersebut sesuai dengan cuaca Nganjuk saat
itu yaitu mencapai 30 ºC (Tabel 2).
Aplikasi Trichoderma sp. mampu menghasilkan hormon tumbuh dan
mampu memacu pertumbuhan tanaman (Hajieghrari 2010). Hasil penelitian
Taufik (2011) berhasil membuktikan bahwa aplikasi rizobakteri, Trichoderma sp.
dan campuran keduanya mampu mendorong pertumbuhan tinggi dan jumlah daun
tanaman lada dibandingkan dengan kontrolnya. Chang dan Baker (1986)
melaporkan bahwa tanaman pada tanah yang diberi perlakuan Trichoderma sp.
mengalami peningkatan pertumbuhan adanya peningkatan perkecambahan,
pembungaan, dan berat tanaman).

 

11
 
 

Kejadian dan Tingkat Kerusakan Serangan Hama
pada Tanaman Jagung Hibrida P27

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

Persentase kerusakan (%)

Persentase serangan (%)

Ulat grayak (Spodoptera litura : Lepidoptera : Noctuidae)
Gejala serangan ulat grayak disajikan pada Gambar 7a dan 7b, daun seperti
dikorok dan tertinggal lapisan epidermisnya saja dan menjadi berlubang-lubang.
Hama ini menyerang tanaman jagung mulai umur 1 MST.
Aplikasi Verticillium sp. pada PHT dan Furadan 3G pada metode
pengelolaan tanaman secara konvensional tidak menunjukan pengaruh yang nyata
dalam menekan serangan hama ulat grayak. Kerusakan yang ditimbulkan oleh
hama ini hampir merata pada kedua pengelolaan yang dilakukan, namun
pengendalian secara PHT menunjukan hasil yang lebih baik.
Berdasarkan hasil pengamatan yang disajikan pada Gambar 3, persentase
kejadian serangan pada petak PHT mencapai 96% dengan tingkat kerusakan
mencapai 65%, sedangkan kejadian serangan pada petak konvensional mencapai
100% dengan tingkat kerusakan mencapai 85%. Secara umum terlihat bahwa
persentase serangan ulat grayak cukup tinggi pada tanaman muda, kemudian
semakin berkurang ketika tanaman memasuki masa generatif.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Minggu pengamatan (MST)
(a)

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Minggu pengamatan (MST)
(b)

Gambar 3 Perkembangan serangan ulat grayak pada tanaman jagung hibrida
P27 pada petak PHT dan konvensional : (a) Persentase kejadian
serangan, (b) Persentase tingkat kerusakan (■ = PHT, ▲
=
Konvensional).

Oxya sp. (Orthoptera : Acrididae)
Gejala serangan yang ditimbulkan hama ini berupa gerigitan tidak rata
pada tepi daun, sehingga daun menjadi rusak (Gambar 8a dan 8b). Rusaknya
daun menyebabkan luasan daun akan berkurang dan berpengaruh terhadap proses
fotosintesis yang terjadi. Hama ini biasanya menyerang tanaman dari mulai umur
1-5 MST, hama yang menyerang biasanya pada fase nimfa dan imago.

 

12 
 

Hama ini terlihat cukup melimpah pada lahan penelitian, meningkatnya
serangan hama ini juga bisa disebabkan karena faktor suhu di Nganjuk mencapai
30 °C (Tabel 2) yang sangat cocok untuk siklus hidup Oxya sp., sehingga siklus
hidupnya terus berjalan. Faktor lain yaitu keadaan lahan penelitian yang
dikelilingi oleh pertanaman jagung sehingga Oxya sp. mampu melakukan
mobilitas berpindah dari lahan satu ke lahan lainnya.
Pengaruh perlakuan terhadap kejadian dan tingkat serangan Oxya sp.
disajikan pada Tabel Lampiran 7 dan 8. Persentase kejadian serangan pada petak
PHT sebesar 55.50% dengan tingkat kerusakan mencapai 38.40%, dan pada petak
konvensional sebesar 77.53% dengan tingkat kerusakan mencapai 57.40%.
Pengelolaan tanaman secara PHT mampu menekan serangan hama Oxya sp.
dibandingkan dengan konvensional (Gambar 4).

Persentase kerusakan (%)

Persentase serangan (%)

100
80
60
40
20
0
1
2
3
4
5
Minggu pengamatan (MST)
(a)

100
80
60
40
20
0
1
2
3
4
5
Minggu pengamatan (MST)
(b)

Gambar 4 Perkembangan serangan Oxya sp. pada tanaman jagung hibrida P27
pada petak PHT dan konvensional : (a) Persentase kejadian serangan,
(b) Persentase tingkat kerusakan (■ = PHT, ▲= Konvensional)
Penggerek Batang, Ostrinia furnacalis (Lepidoptera : Crambidae)
Hama yang juga ditemukan menyerang tanaman jagung yaitu penggerek
batang O. furnacalis. Gejala awal akibat serangan hama ini disajikan pada
Gambar 9a, daun yang terserang menjadi rusak dan berlubang-lubang. Kemudian
larva akan menggerek batang yang ditandai dengan adanya kotoran berupa serbuk
pada liang gerekan, seperti terlihat pada Gambar 9b.
Berdasarkan hasil pengamatan yang disajikan pada Tabel Lampiran 9, hama
ini mulai menyerang tanaman konvensional pada saat umur 6 MST, dan
menyerang tanaman PHT pada umur 9 MST. Hal tersebut sesuai dengan laporan
Nonci dan Baco (1991) bahwa hama ini menyerang tanaman pada kisaran 6
MST. Jumlah tanaman jagung yang terserang pada lahan PHT lebih sedikit
dibandingkan konvensional, persentase kejadian serangan pada lahan PHT
mencapai 11% dan pada lahankonvensional mencapai 33% (Gambar 5).
Larva O. furnacalis merupakan hama penting pada tanaman jagung, karena
hama ini menyerang semua bagian tanaman jagung. Gerekan larva pada batang

 

13
 
 

Persentase serangan (%)

menyebabkan kerusakan jaringan pembuluh sehingga menggangu proses
transportasi air dan unsur hara dan mengakibatkan pertumbuhan terhambat.
Serangan yang parah akan menyebabkan juga batang menjadi mudah patah.
Hama ini juga merusak bunga jantan sehingga mengganggu proses penyerbukan
dan pembentukan tongkol. Serangan hama ini akan menghambat pertumbuhan
tanaman serta mempengaruhi kualitas dan kuantitas hasil tanaman.
Pengendalian hama ini bisa dilakukan dengan penyemprotan Verticillium
sp. pada awal tanam untuk menghindari serangan hama ini, dan juga
menggunakan musuh alami cocopet Euborellia sp. (Dermaptera). Pengendalian
secara kultur teknis bisa dilakukan dengan cara pemotongan sebagian bunga
jantan, dan penanaman secara tumpangsari dengan kedelai atau kacang tanah.
Pengendalian secara kimiawi bisa dilakukan dengan penggunaan insektisida
berbahan aktif karbofuran.

100
80
60
40
20
0
1

2

3

4

5
6
7
8
9 10 11
Minggu Pengamatan (MST)

12

13

14

Gambar 5 Perkembangan kejadian serangan O. furnacalis pada tanaman
jagung hibrida P27 pada petak PHT dan konvensional (■ = PHT, ▲ =
Konvensional)

Helicoverpa armigera (Lepidoptera : Noctuidae)
Hama penting lain yang ditemukan menyerang tanaman jagung adalah
ulat penggerek tongkol H. armigera. Beberapa inang lain yang diserang ulat
penggerek tongkol jagung antara lain tomat, kedelai, kapas, tembakau, dan
sorgum (Kalshoven 1981). Gejala serangan hama ini disajikan pada Gambar 10,
larva yang baru menetas akan makan pada rambut tongkol (Gambar 10a) dan
kemudian membuat lubang masuk ke tongkol. Selanjutnya larva akan menggerek
dan memakan biji tongkol, ketika larva makan akan meninggalkan kotoran dan
tercipta iklim mikro yang cocok untuk pertumbuhan cendawan yang
menghasilkan mikotoksin sehingga tongkol rusak, seperti terlihat pada Gambar
10b dan 10d. Menurut Sarwono (2003) larva H. armigera masuk ke dalam buah
muda, memakan biji-biji jagung karena larva hidup di dalam buah, biasanya
serangan serangga ini sulit diketahui dan sulit dikendalikan dengan insektisida.
Berdasarkan hasil pengamatan yang disajikan pada Gambar 6, persentase
kejadian serangan H. armigera pada petak PHT mencapai 14.67% dan persentase

 

14 
 

Persentase serangan (%)

serangan pada petak konvensional mencapai 73.73%. Faktor yang mungkin
berpengaruh terhadap peningkatan serangan hama ini yaitu suhu dan curah hujan
Nganjuk selama musim tanam Juli-Oktober 2012 (Tabel 2) yang sangat
mendukung perkembangan hama H. armigera. Suhu tercatat mencapai 35 °C dan
curah hujan mencapai 0.85 mm. Zalucki et al. (1986) menyatakan bahwa
perkembangan H. armigera ini dipengaruhi oleh suhu, semakin tinggi suhu maka
perkembangan akan lebih cepat. H. armigera membutuhkan waktu 73 hari untuk
berkembang dari telur sampai dewasa pada suhu 16-18 °C di Australia, sedangkan
pada suhu 28 °C pada musim panas memerlukan waktu 34 hari. Semakin tinggi
suhu maka perkembangan H. armigera akan semakin cepat. Daha (1997)
menyatakan bahwa curah hujan mempengaruhi perkembangan H. armigera.
Populasi telur dan larva pada musim kemarau lebih tinggi daripada musim hujan,
demikian pula kerusakan buah yang ditimbulkannya.

100
80
60
40
20
0
1

Gambar 6

2

3

4

5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Minggu pengamatan (MST)

Perkembangan kejadian serangan H. armigera pada tanaman jagung
hibrida P27 pada petak PHT dan konvensional (■ = PHT,▲ =
Konvensional).

Hama H.armigera tergolong sangat penting, karena menyerang bagian
utama yang dihasilkan oleh tanaman jagung yaitu tongkol jagung. Serangan hama
ini akan menurunkan kuantitas dan kualitas dari tongkol jagung. Hal tersebut akan
menurunkan juga hasil panen dan pendapatan petani.
Pengendalian H. armigera bisa dilakukan dengan cara-cara seperti yang
telah diaplikasikan pada petak PHT. Pengolahan tanah secara sempurna sebelum
penanaman akan merusak pupa yang terbentuk di tanah dan dapat mengurangi
populasi hama. Selain itu pengendalian dengan menggunakan cendawan
entomopatogen Verticillium sp., dan menggunakan musuh alami seperti belalang
sembah (Mantodea:Mantidae), Paederus sp. (Coleoptera:Staphyllinidae).

 

15
 
 

Perbandingan PHT dan Konvensional Terhadap Serangan Hama
Budidaya secara PHT pada jagung hibrida P27 menunjukkan hasil yang
lebih rendah daripada konvensional dalam hal kejadian dan tingkat kerusakan
serangan hama . Secara umum tanaman jagung hibrida P27 pada petak PHT lebih
tahan terhadap serangan hama.
Budidaya PHT dengan menggunakan PGPR, Trichoderma sp., Verticillium
sp. mampu menekan kejadian serangan hama Oxya sp., Ostrinia furnacalis dan
H. armigera. Selain menghasilkan hormon tumbuh, PGPR dan Trichoderma sp.
mampu menghasilkan senyawa-senyawa antibiotik sehingga memberikan
ketahanan pada tanaman. Kloepper (1999) menyatakan bahwa pengaruh PGPR
terhadap tanaman secara umum terdiri dari dua kategori yaitu pemacu
pertumbuhan tanaman dan sebagai pengendalian biologis . Kandungan siderofor
yang dihasilkan oleh kedua bakteri pada PGPR memberikan efek sebagai
pengendalian biologis sehingga tanaman pada petak PHT lebih tahan terhadap
serangan hama. PGPR berhasil mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh
serangga hama dan nematoda (Ramamovorthy et al. 2001). Rekayasa genetika
yang pernah dilakukan oleh Stock et al. (1990) pada P.fluorescens membuktikan
bahwa bakteri ini efektif untuk mengendalikan hama dari ordo Lepidoptera.
Aplikasi cendawan entomopatogen pada PHT mungkin juga berpengaruh
terhadap serangan hama, sehingga serangan lebih rendah dibandigkan petak
konvensional. Prayogo dan Tengkano (2003) menyatakan bahwa Verticillium sp.
mampu menginfeksi beberapa jenis serangga, antara lain: Spodoptera litura dan
Helicoverpa armigera (Lepidoptera), Riptortus linearis dan Nezara viridula
(Hemiptera).
Kelimpahan Musuh Alami
Faktor lain yang mungkin bisa berpengaruh terhadap kejadian dan tingkat
kerusakan hama adalah dengan adanya serangga predator yang memangsa hama
di lahan jagung. Secara umum jumlah musuh alami lebih banyak ditemukan pada
petak PHT dibandingkan petak konvensional (Tabel 4). Kelimpahan jumlah
musuh alami yang lebih banyak dapat membantu menekan serangan hama pada
tanaman jagung.
Tabel 4

Rataan jumlah musuh alami yang ditemukan setiap pengamatan
(ekor/tanaman)

Jenis Predator
Paederus sp. (Tomcat)
Blatella assahinai (Kecoa asia)
Menochilus sexmaculatus
Euborellia sp. (Cocopet)

PHT
4.5
1.25
2
6.07

Konvensional
1.33
0.08
0.50
3.23

Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan juga semut merah (Formicidae)
yang jumlahnya lebih banyak ditemukan pada petak PHT dan belalang sembah
(Mantidea) yang jumlahnya lebih banyak ditemukan pada petak konvensional.
Predator yang paling banyak ditemukan yaitu Euborellia sp. (Gambar 11a)
atau yang biasa disebut dengan cocopet (Dermaptera). Rata-rata jumlah cocopet
yang ditemukan pada setiap tanaman di petak PHT sebanyak 6 Euborellia sp.,

 

16 
 

sedangkan di petak konvensional sebanyak 3 Euborellia sp. (Tabel 4). Menurut
Wakman (2005) Euborellia sp. efektif digunakan sebagai predator hama
penggerek batang Ostrinia furnacalis. Predator ini memangsa fase telur dan larva
serangga. Perilaku menangkap mangsa yang dilakukan oleh cocopet dengan
mengarahkan forcep ke mulut dengan melengkungkan abdomen di atas kepala.
Predator lain yang ditemukan di lahan penelitian yaitu belalang sembah
(Mantodea:Mantidae), semut merah (Hymenoptera:Formicidae), M. sexmaculatus
(Coleoptera:Coccinellidae), Paederus sp. (Coleoptera:Staphyllinidae), dan
Blattella asahinai (Blattodea:Blatidae). Menurut Nyambo (1990) bahwa di
Tanzania belalang sembah (Gambar 11b), semut merah (Gambar 11c), dan M.
sexmaculatus (Gambar 11d), adalah predator bagi hama H. armigera. Winasa et
al. (2005) melaporkan bahwa kelimpahan musuh alami Paederus sp. (Gambar
11e) mampu menekan kejadian serangan H.armigera pada kedelai. Rata-rata
jumlah Paederus sp. yang ditemukan pada setiap tanaman di petak PHT sebanyak
4 Paederus sp., sedangkan di petak konvensional sebanyak 1 Paederus sp.
Blattella asahinai (Gambar 11f) merupakan predator yang ditemukan
memangsa telur Lepidoptera pada pertanaman kedelai dan kapas. Predator ini
aktif pada malam hari, sehingga pemangsaan yang terjadi pada malam hari lebih
tinggi dibandingkan siang hari. Serangga ini dapat juga memasuki rumah, dan
dianggap sebagai hama seperti kecoa pada umumnya. Hal tersebut menjadi salah
satu kendala untuk menjadikan kecoa Asia ini sebagai pengendalian biologis
(Pfannenstiel 2008). Rata-rata jumlah Blattella asahinai yang ditemukan pada
setiap tanaman di petak PHT sebanyak 1 Blattella asahinai.

 

17
 
 

(a)

(b)

Gambar 7 (a,b) Gejala serangan ulat grayak (S. litura)

(a)

(b)

Gambar 8 (a ,b) Gejala gerigitan Oxya sp.

 

18 
 

(a)

(b)

Gambar 9 Gejala serangan O.furnacalis : (a) Gejala awal O. furnacalis pada
daun, (b) Gejala gerekan O. furnacalis pada batang

 

19
 
 

Gambar 10

(a)

(b)

(c)

(d)

Larva dan gejala H.armigera: (a) Larva H.armigera yang
menyerang pada rambut tongkol, (b) Larva H.armigera saat
menggerek tongkol dan meninggalkan kotoran, (c) Larva
H.armigera, (d) Bekas gerekan H.armigera pada tongkol jagung

 

20 
 

(c)

(a)

(b)

(d)

(e)

(c)

(f)

Gambar 11 Predator yang ditemukan pada lahan jagung: (a) Euborellia sp.
(Cocopet), (b) Belalang sembah (Mantidae) yang ditemukan baru
menetas, (c) semut (Formicidae), (d) M.sexmaculatus (e) Paederus
sp. (Tomcat), (f) Blattella asahinai (kecoa Asia).

 

21
 
 

Kejadian dan Keparahan Serangan Penyakit
pada Tanaman Jagung Hibrida P27

100

Persentase keparahan (%)

Persentase serangan (%)

Karat Daun
Penyakit karat daun disebabkan oleh cendawan karat Puccinia sp. Gejala
yang tampak pada tanaman disajikan pada Gambar 14a dan 14b, terdapat bercakbercak kecil bulat berwarna coklat sampai merah orange pada permukaan daun.
Cendawan ini termasuk patogen obligat karena tidak dapat bertahan hidup pada
jaringan mati atau tidak dapat hidup sebagai saprofit, dan berkembang sangat baik
pada suhu 27-28 oC dan kelembaban udara yang tinggi.
Berdasarkan hasil pengamatan yang disajikan pada Tabel Lampiran 11 dan
12, kedua perlakuan menunjukan adanya tingkat perbedaan yang nyata pada umur
9 MST hingga 13 MST. Persentase kejadian serangan patogen pada petak PHT
mencapai 44% dengan keparahan serangan patogen mencapai 36.86%, sedangkan
kejadian serangan patogen pada petak konvensional mencapai 100% dengan
keparahan serangan patogen mencapai 69.07% (Gambar 12).

80
60
40
20
0
1 3 5 7 9 11 13
Minggu pengamatan (MST)
(a)

100
80
60
40
20
0
1 3 5 7 9 11 13
Minggu pengamatan (MST)
(b)

Gambar 12 Perkembangan serangan karat daun pada tanaman jagung hibrida
P27 pada petak PHT dan konvensional : (a) persentase kejadian
serangan, (b) peresentase keparahan serangan. (■ = PHT, ▲=
Konvensional).
Pemencaran patogen penyebab karat daun dapat melalui angin, patogen ini
memiliki uredospora yang sangat ringan sehingga dengan mudah dapat disebarkan
oleh angin yang kencang, patogen menyebar dan menempel pada daun. Selain itu
faktor proses pemupukan yang dilakukan oleh petani yang tidak sesuai juga
berpengaruh terhadap pemencaran patogen ini. Berdasarkan hasil pengamatan saat
proses pemupukan pada petak PHT, pupuk kotoran ayam disebar tidak tepat pada
batang bawah tanaman jagung sehingga pupuk tersebut banyak menempel dan
menumpuk pada daun tanaman. Kondisi yang lembab akibat adanya embun atau
percikan air akan memacu timbulnya cendawan pada daun.

 

22 
 

Hawar Daun
Penyakit yang juga ditemukan menyerang tanaman jagung hibrida P27
adalah penyakit hawar daun. Penyakit ini disebabkan oleh cendawan
Helminthosporium sp. Gejala penyakit hawar daun disajikan pada Gambar 15,
terjadinya bercak-bercak kecil berwarna hijau tua atau hijau kelabu kebasahan.
Gejala tersebut berkembang menjadi bercak yang membesar dan mempunyai
bentuk yang khas yaitu berbentuk kumparan atau perahu. Di tengah-tengah bercak
sering terdapat tepung berwarna hitam yang terdiri dari konidia dan konidiofor
cendawan patogen.
Infeksi pada inang terjadi bila terdapat lapisan tipis air pada permukaan
daun. Infeksi tersebut memerlukan waktu 6-18 jam pada suhu 18-27 °C. Gejala
lesio berkembang 7-12 hari setelah inokulasi. Sporulasi dapat terjadi bila keadaan
lembab (Lipps & Mills 2002).
Serangan penyakit hawar daun pada lahan penelitian terlihat cukup rendah.
Beberapa daun jagung terlihat menunjukan gejala serangan penyakit ini, namun
pemencaran penyakit ini sangat terbatas dan hanya menyerang sebagian kecil
tanaman jagung. Penyakit hawar daun lebih banyak menyerang tanaman pada
petak konvensional daripada PHT, namun gejala serangan yang ditimbulkan
masih ringan dan tidak menimbulkan kematian pada tanaman.
Berdasarkan hasil pengamatan yang disajikan pada Tabel Lampiran 13 dan
14, serangan hawar daun muncul pada umur 8 MST dan kedua perlakuan
me