Pembuatan Nata Dari Pati Hasil Isolasi Dari Jagung (Zea Mays ) Yang Digunakan Sebagai Matriks Pembawa Teofilin

(1)

BAHAN SEMINAR

PEMBUATAN NATA DARI PATI HASIL ISOLASI

DARI JAGUNG (ZEA MAYS ) YANG DIGUNAKAN SEBAGAI MATRIKS PEMBAWA TEOFILIN

OLEH : SITI SAMANIYAH

NIM : 040804075

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2009

Siti Samaniyah : Bahan Seminar Pembuatan Nata Dari Pati Hasil Isolasi Dari Jagung (Zea Mays ) Yang Digunakan Sebagai Matriks Pembawa Teofilin, 2009


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan kasihNya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan bahan sikripsi yang berjudul “Uji Disolusi Ibuprofen Dengan Menggunakan Nata De Coco Sebagai Matriks “ guna menyelesaikan tugas akhir.

Rasa terima kasih saya yang tidak terhingga kepada keluarga tercinta: Ayahanda C.Siagian dan Ibunda P.Br.Hutajulu serta kakak dan abang Ipar, adek-adekku Torang, Bahrum, Hiro, Bertua yang telah memberikan doa restu dan bantuan baik moril maupun materi sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penyusunan bahan seminar ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr.Karsono, Apt., selaku dosen pembimbing I dan Ibu Dra.Lely Sari Lubis, MSi, Apt., selaku dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan masukan/saran dan bimbingan selama penelitian hingga selesainya penulisan bahan sikripsi ini.

Penyusunan bahan seminar ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Hj.Sri Sulistyawati, SH, M.Si, Ph.D selaku Rektor Universitas Muslim Nusantara Al-Washliyah.

2. Bapak Dr.M.Pandapotan Nst. MPS, Apt selaku Dekan FMIPA Universitas Muslim Nusantara Al-Washliyah.

Siti Samaniyah : Bahan Seminar Pembuatan Nata Dari Pati Hasil Isolasi Dari Jagung (Zea Mays ) Yang Digunakan Sebagai Matriks Pembawa Teofilin, 2009


(3)

3. Ibu Dra.Lely Sari Lubis, M.Si, Apt, Ibu T.Ismanelly, M.Si, Apt., dan Bapak Drs.Maralaut Batu Bara, M.Phil, Apt., selaku Pembantu Dekan FMIPA Universitas Muslim Nusantara Al-Washliyah.

4. Ibu Gabena Indrayani Dalimunthe, S.Si, Apt., sebagai Ketua Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Muslim Nusantara Al-Washliyah.

5. Ibu Anny D.S.Si, selaku Kepala Laboratorium Universitas Muslim Nusantara Al-Wasliyah.

6. Seluruh Bapak/Ibu Staf pengajar jurusan Farmasi FMIPA Universitas Muslim Nusantara Al-Washliyah telah mendidik penulis selama pendidikan.

7. Sahabat-sahabatku: Wisna, Diana, Henny. H, Henny. TR, Sedarwati.G, Elli Nelly A ,Dian, Yanti, Deni terimakasih untuk semuanya. .

Kiranya Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan rahmat-Nya, dan semoga kebaikan ini menjadi amal yang berlipat ganda.

Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam bahan sikripsi ini masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki, maka penulis mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak yang sifatnya membangun dalam memperkaya materi bahan sikripsi ini.

Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Januari 2009 Penulis

Elfrida Katarina Siagian Siti Samaniyah : Bahan Seminar Pembuatan Nata Dari Pati Hasil Isolasi Dari Jagung (Zea Mays ) Yang Digunakan Sebagai Matriks Pembawa Teofilin, 2009


(4)

DAFTAR ISI

JUDUL………..i

LEMBAR PENGESAHAN...ii

KATA PENGANTAR………...iii

ABSTRAK...v

DAFTAR ISI………...vi

DAFTAR TABEL………...xii

DAFTAR GAMBAR………..xii

DAFTAR GRAFIK………xiv

DAFTAR LAMPIRAN………...xv

BAB I PENDAHULUAN………...1

1 . 1 Latar Belakang………...1

1 . 2 Perumusan Masalah………...3

1 . 3 Hipotesa………...4

1 . 4 Tujuan………4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………. 5

2 . 1 Sediaan Pelepasan Terkontrol………5

2 . 1. 1 Kebaikan dan Keburukan Sediaan Pelepasan Terkontrol……….6

2 . 2 Metode Pelepasan Terkontrol………7

2. 2. 1 Metode Difusi………7

a. Penyalutan obat dengan polimer yang tidak larut………...7 Siti Samaniyah : Bahan Seminar Pembuatan Nata Dari Pati Hasil Isolasi Dari Jagung (Zea Mays ) Yang Digunakan Sebagai Matriks Pembawa Teofilin, 2009


(5)

b. Obat didispersikan dalam matriks tidak

larut………...8

c. Penyalutan Obat dengan polimer larut sebagian………8

2 .2 .2 Metode Tekanan Osmosis……….9

2. 3 Sistem Pelepasan Obat……….10

a. Sistem Pelepasan Orde Nol……….10

b. Sistem Pelepasan Orde Satu………10

c. Sistem Pelepasan Higuchi………...10

2. 4 Klasifikasi Sistim Penyaluran Obat Mengambang ( Floating Drug Delivery System / FDDS )………...11

a. Bentuk dosis mengambang effervescen ………11

b. Bentuk dosis mengambang –non effervescent…………...11

2.4.1. Evaluasi sistem penyampaian obat mengambang………..13

2. 5 Fisiologi Bidang Gastrointestinal Dasar………...14

2. 5. 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi retensi lambung.………..15

2. 6 Nata De Coco………...16

2. 6. 1 Asal Nata De Coco...16

2. 6. 2 Membut Bibit atau Stater………….. ………17

2. 6. 2. 1 Bahan……….17

2. 6. 2. 2 Peralatan………...17

Siti Samaniyah : Bahan Seminar Pembuatan Nata Dari Pati Hasil Isolasi Dari Jagung (Zea Mays ) Yang Digunakan Sebagai Matriks Pembawa Teofilin, 2009


(6)

2. 6.2. 3 Cara Membuat………...17

2. 6. 3 Membuat Nata De Coco………18

2. 6. 3. 1 Bahan………..18

2. 6. 3. 2 Peralatan……….19

2. 6. 3. 3 Cara Membuat……….19

2. 7 Disolusi...20

2. 7.1 Medium Cairan Lambung Buatan yang diusulkan Dressman……….21

2. 8 Freeze Drying ( Pengeringan Beku )……...21

2. 9 Ibuprofen………..23

2. 9. 1 Uraian Bahan……….23

2. 9. 2 Farmakologi………...24

2. 9. 3 Efek Samping………25

2. 9. 4 Mekanisme Terjadinya Pendarahan pada Lambung………25

BAB III METODOLOGI………...26

3. 1 Bahan-Bahan……….26

3. 2 Alat-Alat…...26

3. 3 Prosedur………...26

3. 3. 1 Pembuatan Larutan NaOH 0,2 N……….26

3. 3. 2 Pembuatan Cairan Lambung Buatan ( Medium pH 1,2 )……….26

3. 3. 3 Pembuatan Cairan Usus Buatan (Medium pH 7,4)………...27

3. 3. 4 Pembuatan Larutan Asam Klorida (HCl) 1N…..27 Siti Samaniyah : Bahan Seminar Pembuatan Nata Dari Pati Hasil Isolasi Dari Jagung (Zea Mays ) Yang Digunakan Sebagai Matriks Pembawa Teofilin, 2009


(7)

3. 3. 5 Pembutan Larutan Induk Baku dalam Cairan Lambung Buatan (Medium pH

1,2)………...27 3. 3. 5.1 pembuatan kurva serapan ibuprofen

dalam cairan lambung buatan ( medium pH 1,2 )………...27 3. 3. 5.2 pembuatan kurva kalibrasi ibuprofen

dalam cairan lambung buatan ( medium pH 1,2 )………...28 3. 3. 6 Pembuatan Larutan Induk Baku dalam Cairan

Usus Buatan (Medium pH

7,4)………..28 3. 3. 6. 1 pembuatan kurva serapan ibuprofen

dalam cairan usus buatan ( medium pH 7,4)………...28 3. 3. 6. 2 pembuatan kurva kalibrasi ibuprofen

dalam cairan usus buatan ( medium pH 7,4 )………...29 3. 3. 7 Pembuatan nata de coco untuk dijadikan

matriks……….29 3. 3. 7. 1 Diagram alir proses pembuatan

lembaran nata de coco secara

bertahap………...30 3. 3. 7. 2 cara pengeringan membran nata de coco menggunakan freeze dryer…………..31 3. 3.8 Uji Disolusi………...33

3. 3. 8. 1 Parameter Uji Disolusi……….33 3. 3. 8. 2 Prosedur Uji Disolusi……...34

3. 3. 8. 2. 1 Disolusi serbuk ibuprofen dalam medium pH 1,2 dan pH

7,4…………...34

BAB IV HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN………...35 Siti Samaniyah : Bahan Seminar Pembuatan Nata Dari Pati Hasil Isolasi Dari Jagung (Zea Mays ) Yang Digunakan Sebagai Matriks Pembawa Teofilin, 2009


(8)

4. 1 Matriks Nata De Coco………..35

4. 2 Hasil Disolusi Ibuprofen………...36

4. 2. 1 Disolusi Ibuprofen dalam Medium Cairan Lambung Buatan ( pH 1,2 ) pada masing-masing Formula………...36

4. 2. 1. 1 Pengaruh pori terhadap pelepasan ibuprofen dari membran nata de coco dalam medium I ( pH 1,2)………...38

4.2.1.2 Sistem pelepasan obat ( ibuprofen ) medium I ( pH 1,2 )...42

4. 2. 2. Disolusi ibuprofen dalam medium cairan lambung usus ( pH 7,4 ) pada masing-masing formula ………...42

4. 2. 2.1 Pengaruh pori terhadap pelepasan ibuprofen dari membran nata de coco pada masing-masing formula dalam medium II ( pH 7,4 )...44

4.2.2.2 Sistem pelepasan obat ( ibuprofen )dalam medium II ( pH 7,4 )...48

4. 3. Pengaruh pH Pada Masing-masing Medium Terhadap Pelepasan Serbuk Ibuprofen pada Pori 4………...48

4.3. 1 Uji disolusi ibuprofen dengan membran nata de coco pada pori 4 dalam medium yang berbeda dengan Sistem Pelepasan Obat dalam Medium I ( pH 1,2 )…………...49

4. 4. Sistem Pelepasan Obat…………...50

4. 5 Data Uji Statistik Pada Masing-masing Medium………....…….52

4. 6 Pengaruh Jumlah Lubang Kemampuan Membran Nata De Coco untuk Mengambang ( Terapung ) dalam Cairan...57

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………...59

5. 1 Kesimpulan………...59

5. 2 Saran……….59

DAFTAR PUSTAKA………..60

Siti Samaniyah : Bahan Seminar Pembuatan Nata Dari Pati Hasil Isolasi Dari Jagung (Zea Mays ) Yang Digunakan Sebagai Matriks Pembawa Teofilin, 2009


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Hasil Uji disolusi % kumulatif terlepas serbuk ibuprofren nata de coco yang dalam berpori 6, pori 4, pori 1 dan membran nata de coco yang tidak berpori dalam cairana lambung buatan ( pH1,2 )………... 38 Tabel 2 Hasil uji disolusi % kumulatif terlepas serbuk ibu profen membrane nata de

coco yang beropri 6, pori 4, pori 1 dan membran nata de coco yang tidak berpori dalam cairan (pH 7,4)………. 39

Tabel 3. Data analisis varians pada medium I ( pH 1,2 )... 49 Tabel 4. Data analisis varians pada medium 2 ( pH 7,4 )... 41 Tabel 5. Hubungan % log ibuprofen tersisa terhadap waktu dan formula yang berbeda

dan medium I (pH 1,2)……….. 43 Tabel 6. Hubungan % Log Ibuprofen tersisa terhadap waktu dari formula yang

berbeda dan medium I (pH 1,2)………. 45 Tabel 7. Hubungan % kumulatif ibuprofen terlepas terhadap akar waktu dari formula

yang berbeda dalam medium I (pH 1,2)……… 46 Tabel 8. Hubungan % kumulatif ibuprofen terlepas waktu dari formula yang berbeda

dalam medium II (pH7,4)……… 47 Tabel 9. Hubungan % log ibuprofen tersisa terhadap waktu dari formula yang berbeda

dalam medium II (pH 7,4)……… 49 Tabel 10. Hubungan % log ibuprofen terlepas terhadap waktu dari formula yang

berbeda dalam medium II (pH 7,4)……….46

Siti Samaniyah : Bahan Seminar Pembuatan Nata Dari Pati Hasil Isolasi Dari Jagung (Zea Mays ) Yang Digunakan Sebagai Matriks Pembawa Teofilin, 2009


(10)

Tabel 11.Hubungan % kumulatif ibuprofen terlepas terhadap masing-masing medium pada membran nata de coco pori 4……… 49 Tabel 12. Kecepatan pelepasan 50% ibuprofen dari ……... ... 50

Tabel 13 .Pelepasan ibuprofen pada t 50% dalam medium I ( pH 1,2 ... 53 Tabel 14. Pelepasan ibuprofen pada t 50% dalam medium II ( pH 7,4

)... 54

Siti Samaniyah : Bahan Seminar Pembuatan Nata Dari Pati Hasil Isolasi Dari Jagung (Zea Mays ) Yang Digunakan Sebagai Matriks Pembawa Teofilin, 2009


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Pelepasan obat dengan metode difusi... 9

Gambar 2. Posisi residensi intra gastric dari unit yang mengambang dan tidak mengambang ... 13

Gambar 3. Sediaan ibuprofen dalam matriks nata de coco yang mengapung pada permukaan cairan ... 34

Gambar 4. Membran nata de coco yang sudah di bentuk dengan diameter 19 x 38 35 Gambar 5. Sistem Pelepasan Orde nol... 41

Gambar 6. Sistem Pelepasan Orde satu ... 41

Gambar 7. Sistem Pelepasan Orde Higuchi ... 42

Gambar 8. Histogram Pelepasan 50% Ibuprofen Dalam Medium I (pH 1,2)... 53 Gambar 9. Histogram Pelepasan 50% Ibuprofen Dalam Medium II (pH 7,4) ...

Siti Samaniyah : Bahan Seminar Pembuatan Nata Dari Pati Hasil Isolasi Dari Jagung (Zea Mays ) Yang Digunakan Sebagai Matriks Pembawa Teofilin, 2009


(12)

DAFTAR GRAFIK

Grafik1. Hubungan % Kumulatif ibuprofen yang terlepas terhadap waktu pada

formula yang berbeda dalam medium I (pH 1,2) ... 37 Grafik 2. Hubungan % Kumulatif ibuprofen yang terlepas terhadap waktu pada

formula yang berbeda dalam medium II (pH 7,4) ... 39 Grafik 3. Hubungan % Kumulatif ibuprofen yang terlepas terhadap waktu pada

formula yang berbeda dalam medium I (pH 1,2) ... 45 Grafik 4. Hubungan % Logaritma ibuprofen yang tersisa terhadap waktu pada

masing-masing pori dalam medium I (pH 1,2) ... 46 Grafik 5. Hubungan % Kumulatif ibuprofen yang terlepas terhadap akar waktu dari

formula yang berbeda dalam medium I (pH 1,2) ... 47 Grafik 6. Hubungan % Kumulatif ibuprofen yang terlepas terhadap waktu pada

formula yang berbeda dalam medium II (pH 7,4) ... 48 Grafik 7. Hubungan % Logaritma ibuprofen yang tersisa terhadap waktu dari formula yang berbeda dalam medium II (pH 7,4) ... 49 Grafik 8. Hubungan % Kumulatif Ibuprofen yang Terlepas terhadap akar waktu dari

formula yang berbeda dalam medium II (pH 7,4)... 50 Grafik 9. Hubungan % Kumulatif ibuprofen yang terlepas terhadap masing-masing

medium pada membran nata de coco pori 4 ... 51

Siti Samaniyah : Bahan Seminar Pembuatan Nata Dari Pati Hasil Isolasi Dari Jagung (Zea Mays ) Yang Digunakan Sebagai Matriks Pembawa Teofilin, 2009


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Data analisa statistika untuk mengetahui laju disolusi Ibuprofen dari

formula I,II,III,IV dalam medium I ( pH 1,2 ) ... 61 Lampiran 2. Data analisa statistika untuk mengetahui laju disolusi ibuprofen dari

formula V,VI,VII dalam medium II ( pH 7,4 ) ... 62 Lampiran 3. Data uji disolusi rata-rata % kumulatif serbuk ibuprofen dari sediaan

pelepasan terkontrol dalam medium I ( PH 1,2 ) ... 72 Lampiran 4. Data uji disolusi rata-rata % kumulatif dari sediaan pelepasan terkontrol

pada pori 6 dalam medium I (pH 1,2 ) ... 73 Lampiran 5. Data uji di solusi rata-rata % kumulatif dari sediaan pelepasan terkontrol

pada pori 4 dalam medium I ( pH 1,2 ) ... 74 Lampiran 6. Data uji disolusi rata-rata % kumulatif dari sediaan pelepasan terkontrol

pada pori 1 dalam medium I ( pH 1,2 ) ... 75 Lampiran 7.Data uji disolusi rata-rata % kumulatif dari sediaan pelepasan terkontrol

pada membran tidak berpori... 76 Lampiran 8. Data uji disolusi rata-rata % kumulatif serbuk ibuprofen dari sediaan

pelepasan terkontrol dalam medium II ( pH 7,4 ) ... 76 Lampiran 9. Data uji disolusi rata-rata % kumulatif dari sediaan pelepasan terkontrol

pada pori 6 dalam medium II ( pH 7,4 )... 77 Lampiran 10.Data uji disolusi rata-rata % kumulatif dari sediaan pelepasan terkontrol

pada pori 4 dalam medium II ( pH 7,4 )... 77

Siti Samaniyah : Bahan Seminar Pembuatan Nata Dari Pati Hasil Isolasi Dari Jagung (Zea Mays ) Yang Digunakan Sebagai Matriks Pembawa Teofilin, 2009


(14)

Lampiran 11. Data uji disolusi rata-rata % kumulatif dari sediaan pelepasan terkontrol pada pori 1 dalam medium II ( pH 7,4 )... 78 Lampiran 12. Contoh perhitungan kadar ibuprofen yang terlepas ... 79 Lampiran 13. Contoh perhitungan tabel standart deviasi serbuk ibuprofen dalam

medium II ( pH 7,4 ) pada formula IX ... 80 Lampiran 14. Data disolusi hasil % Log tersisa dan akar t serbuk ibuprofen dalam

medium I ( pH 1,2 ) ... 81 Lampiran 15. Data disolusi hasil % Log tersisa dan akar t pada pori 6 dalam medium

I ( pH 1,2 ) ... 82 Lampiran 16. Data disolusi hasil % Log tersisa dan akar t pada pori 4 dalam medium

I ( pH 1,2 ) ... 82 Lampiran 17. Data disolusi hasil % Log tersisa dan akar t pada pori 1 dalam medium

I ( pH 1,2 ) ... 83 Lampiran 18. Data disolusi hasil % Log tersisa dan akar t pada membran tidak

berpori dalam I ( pH 1,2 ) ... 83 Lampiran 19. Data disolusi hasil % Log tersisa dan akar t serbuk ibuprofen dalam

medium II ( pH 7,4 ) ... 84 Lampiran 20. Data disolusi hasil % Log tersisa dan akar t pada pori 6 dalam medium II ( pH 7,4 ) ... 84 Lasmpiran 21.Data disolusi hasil % Log tersisa dan akar t pada pori 4 dalam medium

II ( pH 7,4 ) ... 85 Lampiran 22. Data disolusi hasil % Log tersisa dan akar t pada pori 1 dalam medium

II ( pH 7,4 ) ... 85 Siti Samaniyah : Bahan Seminar Pembuatan Nata Dari Pati Hasil Isolasi Dari Jagung (Zea Mays ) Yang Digunakan Sebagai Matriks Pembawa Teofilin, 2009


(15)

Lampiran 23. Pembuatan kurv kalibrasi ibuprofen dalam cairan lambung buatan (

medium pH 1,2 ) ... 86

Lampiran 25. Kurva serapan dan poin pick pada cairan lambung buatan ( medium pH 1,2 )……. ... 88

Lampiran 26.Pembuatan kurva kalibrasi pada cairan usus buatan (pH 7,4 ) ... 89

Lampiran 27. Kurva serapan dan poin pick pada cairan usus buatan ( pH 7,4 )... 90

Lampiran 28. Kurva kalibrasi dan hasil korelasi dalam medium II ( pH 7,4 ) ... 91

Siti Samaniyah : Bahan Seminar Pembuatan Nata Dari Pati Hasil Isolasi Dari Jagung (Zea Mays ) Yang Digunakan Sebagai Matriks Pembawa Teofilin, 2009


(16)

ABSTRAK

Telah diteliti pengujian sediaan pelepasan terkontrol Ibuprofen matriks nata de coco yang tidak berpori,pori 1,pori 4 dan pori 6 dengan formulasi floating drug delivery system (FDDS).

Pelepasan Ibuprofen matriks nata de coco ditentukan dengan metode dayung menurut FI edisi IV.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa matriks nata de coco dapat melepaskan bahan obat dan kecepatan pelepasannya dipengaruhi oleh pori pada matriks dan kecepatan pelepasan Ibuprofen lebih besar pada medium usus buatan pH ± 7,4 dibanding medium lambung buatan pH ± 1,2.

Siti Samaniyah : Bahan Seminar Pembuatan Nata Dari Pati Hasil Isolasi Dari Jagung (Zea Mays ) Yang Digunakan Sebagai Matriks Pembawa Teofilin, 2009


(17)

Siti Samaniyah : Bahan Seminar Pembuatan Nata Dari Pati Hasil Isolasi Dari Jagung (Zea Mays ) Yang Digunakan Sebagai Matriks Pembawa Teofilin, 2009

USU Repository © 2008

BAB I

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pembuatan produk pelepasan terkontrol merupakan salah satu usaha meningkatkan mutu suatu obat. Produk tersebut menawarkan beberapa keuntungan, antara lain : mempertahankan kadar obat dalam plasma, memperkecil toksisitas dan juga menghindari fluktuasi kadar obat dalam plasma. Disamping itu, penggunaannya lebih menyenangkan karena mengurangi frekuensi pemakaian obat dan menjamin efek terapi yang optimum (Shargel dan Andrew, 1998 ).

Potensi lambung yang dapat dikendalikan atas dosis padat dapat dilakukan dengan mekanisme mukoadhesi, flotasi, sedimentasi, ekspansi, sistem bentuk yang dimodifikasi, atau dengan pengaturan secara simultan atas agen farmakologi yang menunda pengosogan lambung. Berdasarkan pendekatan tersebut klasifikasi sistem

pemasukan obat mengambang ( Floating Drug Delivery System /FDDS ) telah dijelaskan secara rinci (Arora S ali J , Ahuja A, Khar RK, Baboota S. Floating

Drug Delivery System, A Review. AAPS PharmSciTech, 2005) .

Obat anti inflamasi non steroid (AINS) memiliki efek terapeutik sebagai analgesik, antipiretik dan antiinflamasi (Gilman, 1996). Ibuprofen merupakan salah satu obat yang digunakan untuk pengobatan arthritis reumatik (Mycek, 2001). Ibuprofen dalam bentuk dosis konvensional menyebabkan luka pada gastrointestinal dan perdarahan khususnya pada sejumlah orangtua dan anak-anak (price, 1994). Proses tekhnologi seperti enkapsulasi, penyalutan atau modifikasi lain, dibuat dengan tujuan menurut toksisitas yang disebabkan obat antiinflamasi non steroid. Proses ini


(18)

dibuat untuk mengurangi kontak obat dengan mukosa lambung daripada bentuk biasa. Absorbsi ibuprofen ini adalah di saluran gastrointestinal sebanyak 80%, dimetabolisme di hati, konsentrasi maksimum obat dalam plasma dicapai dalam waktu 1 – 2 jam, lama kerjanya 6 – 8 jam, waktu paruh 2 – 4 jam, diekskresi terutama dalam urin dan sedikit diekskresi di empedu (Shanon, 2000).

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengatasi efek samping penggunaan golongan obat AINS Gursoy, et al, (1987), Ansel, (1989) dan Martin, (1993), beberapa bentuk sediaan padat dirancang untuk melepaskan seluruh bahan aktifnya secara cepat kedalam tubuh, sedangkan prodak lain dirancang untuk melepaskan bahan aktifnya dalam suatu laju yang terkontrol. Dengan adanya pemberian obat yang pelepasannya terkontrol akan dapat menggurangi fluktuasi (naik turunnya) level obat yang tidak diinginkan. Meningkatkan kerja terapeutik dan meminimumkan efek samping yang berbahaya.

Membuat sediaan obat AINS yang tidak mengiritasi lambung merupakan topik penelitian yang sangat menarik sampai saat ini. Dalam penelitian ini dibuat mebran nata de coco dan diteliti profil pelepasan, ibuprofen dari membran nata de coco dalam cairan lambung buatan (pH 1,2) dan medium cairan usus buatan (pH 7,4), dan pembuktian dengan menggunakan alat uji disolusi .

Ibuprofen yang menggunakan nata de coco sebagai membran mampu memberikan sistem penyampaian obat yang baik karena adanya sifat dari membran nata de coco yang mampu mengambang (terapung) dalam cairan, sehingga dengan hal tersebut membran nata de coco sebagai matriks menawarkan beberapa keuntungan, disamping harganya yang ekonomis, proses pembuatannya juga


(19)

sederhana tanpa memerlukan peralatan atau metode yang canggih serta efektif digunakan untuk obat-obat yang mengiritasi mukosa lambung, obat yang memiliki tempat absorbsi dalam saluran gastrointestinal dan tidak stabil pada pH lambung. Keuntungan di segi penyampaian obat yang baik adalah untuk mengurangi efek samping obat yang berbahaya.

Hal ini memungkinkan penggunaan obat diformulasi dalam bentuk sediaan pelepasan terkontrol, sebagai matriks digunakan nata de coco yang bersifat semipermiabel dan dapat mengambang di dalam cairan lambung sehingga dapat digunakan untuk memperpanjang masa transit obat dan penetrasi cairan ke dalam matriks dapat dihambat dan akhirnya didapat sediaan pelepesan terkontrol.

1.2. Perumusan Masalah

- Apakah ada perbedaan antara pelepasan ibuprofen dalam membran nata de coco tidak berpori dengan pelepasan ibuprofen dalam membrane nata de coco pori 1, pori 4, pori 6 ?.

- Untuk mengetahui apakah membran nata de coco dapat digunakan sebagai matriks untuk sediaan pelepasan terkontrol.


(20)

1.3. Hipotesa

- Ada perbedaan pelepasan ibuprofen dalam membran nata de coco tidak berpori terhadap pelepasan ibuprofen dalam membran nata de coco pori 1, pori 4, dan pori 6.

- Membran Nata de coco dapat digunakan sebagai matriks untuk sediaan pelepasan terkontrol.

1.4 Tujuan

- Untuk mengetahui apakah ada perbedaan pelepasan antara ibuprofen dalam membran nata de coco tidak berpori dan membran nata de coco pori 1, pori 4, pori 6 pada cairan usus buatan (Medium pH 1,2) dan cairan lambung buatan (medium pH 7,4).

- Untuk mengetahui apakah membran nata de coco dapat digunakan sebagai matriks untuk sediaan pelepasan terkontrol.


(21)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Sediaan Pelepasan Terkontrol

Tujuan utama dari suatu produk obat pelepasan terkontrol adalah untuk mencapai suatu efek terapetik yang diperpanjang disamping memperkecil efek samping yang tidak diinginkan yang disebabkan oleh fluktuasi kadar obat dalam plasma (Shargel dan Andrew, 1988).

Istilah pelepasan terkontrol menunjukkan bahwa obat dilepaskan dari sediaan sesuai dengan yang direncanakan dan pelepasannya lebih lambat dari sediaan konvensional sehingga akan memperpanjang kerja obat (Ansel, 1989)

Sistem sustained release termasuk sistem penyampaian obat yang menghasilkan pelepasan obat yang lambat selama periode waktu yang panjang. Jika sistem berhasil mempertahankan level obat konstan dalam darah atau jaringan target, disebut controlled release. Jika tidak berhasil, tapi memperpanjang lama kerja melebihi dari yang dicapai oleh penyampaian secara konvensional, disebut prolonged release (Longer, 1990).

Suatu produk obat sustained release dirancang untuk melepaskan suatu dosis terapetik awal obat (dosis muatan) yang diikuti oleh suatu pelepasan obat yang lebih lambat dan konstan. Laju pelepasan dosis penjagaan dirancang sedemikian agar jumlah obat yang hilang dari tubuh melalui eliminasi diganti secara konstan. Dengan produk sustained release konsentrasi obat dalam plasma yang konstan dapat dipertahankan dengan fluktuasi yang minimal.


(22)

Suatu produk obat prolonged release dirancang untuk melepaskan obat secara lambat dan memberi suatu cadangan obat secara terus menerus salama selang waktu yang panjang. Produk obat prolonged action mencegah absorpsi obat yang sangat cepat, yang dapat mengakibatkan konsentrasi puncak obat dalam plasma yang sangat tinggi. Sebagian besar produk prolonged action memperpanjang lama kerja tetapi tidak melepaskan obat pada suatu laju yang tetap (Shargel dan Andrew, 1988).

2.1.1 Kebaikan dan Keburukan Sediaan Pelepasan Terkontrol

Sediaan pelepasan terkontrol dapat menahan pelepasan obat sehingga frekuensi pemakaian obat menjadi lebih sedikit bila dibandingkan dengan sediaan konvensional sehingga memudahkan penderita dan mengurangi resiko kesalahan atau kelupaan. Aktifitas obat meningkat baik siang maupun malam hari, mengurangi fluktuasi kadar obat, mengurangi efek toksis, efek samping dan akumulasi obat pada pengobatan jangka panjang (Shargel dan Andrew, 1988).

Keburukan sediaan ini adalah jika sediaan tersebut gagal dilepas pada waktu yang tepat akan mengakibatkan terjadinya kelebihan dosis. Adanya suatu reaksi efek samping obat atau keracunan obat maka menghilangkan obat dari dalam tubuh menjadi lebih sulit. Adanya interaksi obat dan isi saluran cerna juga perubahan pergerakan saluran cerna menyebabkan absorbsi obat tidak menentu atau berubah-ubah.


(23)

2.2. Metode Pelepasan Terkontrol 2.2.1. Metode Difusi

Difusi adalah suatu proses pergerakan molekul obat dari daerah konsentrasi tinggi ke daerah konsentrasi rendah. Pendekatan yang dilakukan terhadap metode difusi adalah sebagai berikut :

a. Penyalutan obat dengan polimer yang tidak larut

Inti obat disalut dengan polimer yang tidak larut dalam air. Bagian obat yang tidak larut dalam polimer akan berdifusi melalui suatu lapisan tipis dan bertukar dengan cairan disekelilingnya. Dalam hal ini berlaku persamaan :

dimana :

dQ (A.D.K.∆C) =

dt 1

dQ/dt = kecepatan pelepasan= luas permukaan D = koefisien difusi

K = koefisien partisi obat dalam polimer 1 = panjang difusi atau tebal salut

C = perbedaaan konsentrasi sebelah menyebelah membran polimer

Kecepatan pelepasan akan tetap jika A, D, I dan C konstan sehingga akan menghasilkan pelepasan order nol.


(24)

b. Obat didispersikan dalam matriks tidak larut

Obat di dispersikan ke dalam polimer yang tidak larut dalam air. Medium akan berpenetrasi kedalam matriks dan obat akan bedifusi ke luar matriks. Dalam hal ini berlaku persamaan yang menggambarkan pelepasan obat yang diperoleh oleh Higuchi, yaitu :

D. ½ Q= (2A – . Cs

Q = jumlah obat yang dilepas persatuan luas permukaan tablet pada waktu t D = koefisien difusi obat dalam medium

A = jumlah total obat dalam matriks persatuan volume Cs = kelarutan obat dalam medium

€ = porositas matriks

c. Penyalutan obat dengan polimer larut sebagian

Inti obat disalut dengan polimer yang larut sebagian. Obat akan berdifusi melalui pori-pori yang terbentuk akibat polimer larut sebagian.

dQ A.D (C1 – C2) =


(25)

dimana ;

dQ/dt = kecepatan pelepasan obat A = luas permukaan D = koefisien difusi C1 = konsentrasi obat dalam inti

C2 = konsentrasi obat dalam medium pelepasan 1 = tebal salut atau panjang difusi

]

1.

keterangan :

A = Penyalutan obat dengan polimer tidak larut B = Obat didispersikan dalam matriks tidak larut

C = Penyalutan obat dengan polimer yang larut sebagian

2.2.2. Metode tekanan osmosis

Partikel obat dikelilingi oleh suatu membran semipermeabel. Obat mampu menarik air secara osmosis melalui penyalut . Partikel obat menginhibisi cairan dengan kecepatan konstan yang ditentukan oleh permeabilitas membran dan tekanan


(26)

2.3.Sistim Pelepasan Obat

Pelepasan obat dari suatu sediaan lebih mudah diramalkan dengan mengetahui system pelepasan obat. Ada 3 macam sistem pelepasan obat yang umum yaitu pelepasan orde nol, orde satu dan orde Higuchi.

a. Sistem pelepasan Orde Nol

Pada system orde nol terjadi pelepasan obat dengan kecepatan konstan. kecepatan pelepasan tidak bergantung pada konsentrasi. Sistem pelepasan ini merupakan system pelepasan yang ideal untuk sediaan sustained release.

b. Sistem pelepasan Orde Satu.

Kecepatan pelepasan pada sistem ini bergantung pada konsentrasi.kecepatan pada waktu tertentu sebanding dengan konsentrasi obat yang tersisa dalam sediaan pada saat itu.

c. Sistem Pelepasan Higuchi

Kinetika pelepasn ini diselidiki oleh T.Higuchi sehingga disebut juga pelepasan Higuchi. Laju pelepasan obat dari matriks yang tidak larut umumnya akan mengikuti sistem pelepasan Higuchi. Higuchi menegaskan laju pelepasan obat dari matriks yang tidak larut ini teruama dipengaruhi oleh porositas dan kerumitan (turtuositas) matriks. Porositas menggambrkan pori-pori atau saluran yang dapat dipenetrasi oleh ciran disekitarnya sedangkan turtuositas memperhitungkan peningkatan panjang jalan


(27)

difusi larena berkeloknya pori-pori. Turtusitas cenderung mengurangi jumlah obat yang terlepas pada interval waktu yang diberikan (Martin dkk, 1993) .

2.4. Klasifikasi Sistem Penyaluran Obat Mengambang ( floating drug delivery system / FDDS )

Sistem penyaluran obat yang mengambang diklasifikasikan berdasarkan penggunaan variabel 2 formulasi: sistem effervescent dan non – effervescen.( Arora S ali J , Ahuja A, Khar RK, Baboota.,2005 )

1. Bentuk Dosis mengambang Effervescent

Merupakan tipe matriks dari sistem yang dipersiapkan dengan bantuan polimer seperti metilsellulosa, kitosan dan berbagi senyawa effervescent, seperti: sodium bikarbonat, asam tartrat,dan asam sitrat. Yang diformulasikan dengan cara tertentu. Apabila berhubungan denga kandungan asam lambung, CO2 akan terbebas dan tertangkap dalam gelembung hidrokloid, yang meringankan bentuk dosis tersebut.

2. Bentuk Dosis pengembangan Non-Effervescent

Bentuk dosis pengembang non-effervescent menggunakan pembentukan gel atau tipe selusose yang dapat menggelembung dari hidrokoloid, polisakarida, dan polimer pembentuk matriks seperti polikarbonat, poliakrilate, polimetarilate, dan polistriren. Metode formulasi termasuk pendekatan yang sederhana atas pencampuran obat dan hidrokoloid pembentukan gel. Setelah pemberian oral dosis ini membentuk gelembung setelah berhubungan dengan cairan lambung dan mencapai densitas kotor


(28)

< 1. Udara yang terjebak dalam matrik gelembung memberi keringanan terhadap bentuk dosis. Sehingga struktur seperti gel gelembung yang terbentuk berperan sebagai reservoir dan memungkinkan pengeluaran obat melalui massa gelatin.

Wong et al mengembangkan suatu bentuk pengeluaran dosis untuk retensi lambung menggunakan polimer gelembung. Yang terdiri dari sekelompok bahan yang tidak larut yang mencegah pembungkusan matriks polimer dari gelembung dan menyediakan suatu bagian bentuk dosis yang berasal dari figiditas yang cukup untuk menahan kontraksi lambung dan mengurangi ekspulsi bentuk dosis dari lambung.

Timmer et al, meneliti pengaruh dari bahan ringan, postur, dan sifat dari makanan pada proses pengosongan lambung dengan menggunakan scintgeaphy gamma. Untuk melakukan penelitian tersebut, kapsul yang mengambang dan tidak mengambang dengan 3 ukuran yang berbeda berdiameter dari 4.8 mm ( unit kecil ) dan 7.5 mm ) unit sedang ) , 9.9 mm ( unit besar ), diformulasikan.

Dengan membandingkangkan unit dosis mengambang dan tidak mengambang, maka disimpulkan bahwa tanpa memperhatikan ukurannya, unit dosis yang mengambang tetap ringan pada isi lambung melalui waktu residensi pada permukaan gastrointestinal, sementara dosis yang tidak mengambang akan tenggelam dan berada pada bagian terbawah lambung. Unit yang mengambang akan dikeluarkan dari persimpangan gastro-duodenal yang dilindungi dari gelombang peristaltik selama fase pencernaan, sementara bentuk yang tidak mengambang tetap berada dekat pada pilorus dan didorong berungkali dari fase pencernaan ( gambar 2 ). Juga diamati bahwa dari unit mengambang dan tidak mengambang, unit yang mengambang mempunyai residensi yang lebih lama dalam lambung untuk unit yang kecil dan


(29)

sedang, sementara itu tidak terlihat perbedaan yang signifikan antara kedua tipe tersebut pada bentuk unit dosis yang besar ( Arora S ali J , Ahuja A, Khar RK, Baboota.,2005 ).

2.4.1` Evaluasi sistem penyampaian obat pengambang

Berbagai parameter yang dibutuhkan untuk mengevaluasi formulasi retentive lambung termasuk durasi pengambangan, kemampuan pemecah, gravitasi spesifik, kesamaan isi, kepadatan, dan kerapuhan dalam kasus bentuk dosis padat. Dalam hal sistem penyampaian obat multipartikulasi, differential scanning calorimetry ( DSC ), analisis ukuran partikel, properti penyampaian, morfologi permukaan, dan properti mekanis juga dilakukan.

Pengujian kemampuan mengambang dan pengeluaran obat biasanya dilakukan pada cairan gastrik tersimulasi pada suhu 370C.


(30)

memperlihatkan uji penghancuran yang biasa dilakukan dengan menggunakan peralatan penghancur USP. USP 28 menyatakan ”satuan dosis yang diperkenankan untuk menenggalamkan ke bawah bejana sebelum rotasi blade dihidupakan ”. Kehilangan kecil atas bahan nontraktif tidak lebih dari akibat tersentuhnya material ke wayar helix selain itu mungkin mengambang ( Arora S ali J , Ahuja A, Khar RK, Baboota.,2005 ) .

2.5. Fisiologi Bidang Gastrointestinal Dasar

Secara anatomis, lambung dibagi dalam 3 bagian: fundus, body, dan antrum (pylorus). Bagian proximal terdiri dari fundus dan body yang berperan sebagai reservoir untuk bahan – bahan yang tidak dicerna. Selama puasa suatu rangkai yang inter-pencernaan dari proses elektris berlangsung, yang siklusnya baik melalui lambung dan intestine setiap 2 hingga 3 jam. Ini disebut siklus mioelektrik interdigestive atau siklus mugrating myoelectric (MMC), yang selanjutnya dibagi ke dalam 4 fase seperti yang digambarkan oleh Wilson dan washington.

1. Fase 1 (fase dasar) berlangsung dari 40 sampai 60 menit dengan kontraksi yang jarang.

2. Fase II (fase preburst / sebelum menyembur) berlangsung dari 40 sampai 60 dengan feaksi intermitten potensial dan kntraksi. Setelah fase berlanjut, maka intensitas dan frekuensi juga meningkat secara perlahan.

3. Fase III (fase burst (menyembur) ) berlangsung selama 4 – 6 menit. Termasuk kontraksi yang teratur dan intens selam periode yang pendek. Hal ini tergantung pada gelombang, karena semua bahan-bahan yang tidak tercerna


(31)

akan disapu dari perut dan diturunkan ke intestine kecil. Hal ini juga disebut sebagai gelombang housekeeper (penjaga rumah).

4. Fase IV belangsung selama 0 sampai 5 menit dn terjadi antara fase III dan I dari dua siklus yang berurutan.

Setelah proses pencernaan makanan yang telah bercampur, pola kontraksi berubah dari puasa hingga makan. Hal ini juga disebut dengan pola motilitas pencernaan danterdiri dari kontraksi berkelanjutan seperti pada pase II dari keadaan puasa (Arora S ali J , Ahuja A, Khar RK, Baboota.,2005 ) .

2.5.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Retensi Lambung

Tingkat pengosongan lambung terutama tergantung pada viskositas, volume, dan isi kalori makanan. Kepadatan nutritisi makanan membantu menentukan waktu pengosongan lambung. Hal ini tidak berbeda apakah makanan mengandung protein tinggi,lemak,atau kandungan karbohidrat, selama kaloriknya sama. Faktor-faktor biologis seperti usia,indeks massa tubuh (BMI), jenis kelamin, postur, dan keadaan penyakit (diabetes, penyakit-penyakit kronis) mempengaruhi pengosongan lambung. Dalam kasus manula, pengosongan lambung lebih lambat. Pada umumnya, wanita mengalami pengosongan lambung yang lebih lambat dibanding pria. Stress dapat meningkatkan pengosongan lambung sementara depresi akan memperlambat.

Timmermans dan andre meneliti pengaruh ukuran pengambangan dan bentuk dosis yang tidak mengambang atas pengosongan lambung dan disimpulkan bahwa bahan yang mengambang tetap bahan yang ringan pada cairan lambung. Hal itu seperti yang dikeluarkan dari lambung dibandingkan dengan bahan – bahan yang


(32)

tidak mengapung, yang terdapat pada bagian antrum dan didorong oleh gelombang peristaltik.

Hal itu telah didemonstrasikan dengan menggunakan tehnik radiolabelled yang merupakan suatu perbedaan antara waktu pengosongan lambung atas cairan, bahan padat yang dapat dicerna dan bahan padat yang tidak dapat dicerna. Disarankan bahwa besar luas pengosongan objek yang tidak dapat dicerna ( > 1mm) dari lambung tergantung pada onterdigestive migrating myoelectric complex (Arora S ali J,Ahuja A, Khar RK, Babta S ,2005).

2.6. Nata De coco

2.6.1. Asal Nata de Coco

Nata de coco berasal dari Filipina. Hal ini bisa dipahami karena Filipina merupakan salah satu Negara penghasil kelapa yang cukup besar di dunia. Filipina termasuk Negara yang paling banyak mendapatkan devisanya dari produk kelapa.

Sekitar dekade 60-an penduduk asli Filipina yang bernama Nata mulai memikirkan ”nasib” jutaan ton air kelapa yang terbuang percuma dari pabrik penghasil kopra di kampung halamannya. Peluang ini digunakan untuk membuat suatu produk yang bermafaat, dan tercipta makanan segar bernama nata de coco. Kata coco berasal dari Coco nucifera, nama latin dari kelapa. Sementara, nama nata diambil dari nama tuan Nata yang telah berhasil menciptakan nata de coco.

Dari tuan Nata teknologi pembuatan nata de coco mulai diperkenalkan kepada masyarakat luas di Filipina. Nata de coco dari Filipina banyak diekspor ke Jepang.


(33)

Dalam perkembangannya, nata de coco menyebar ke berbagai Negara penghasil kelapa, termasik Indonesia. Di Indonesia, nata de coco mulai dikenal sekitar tahun 1987. Saat itu, nata de coco masih merupakan makanan yang ekslusif yang hanya tersedia di supermarket di kota-kota besar. Namun, sekarang nata de coco sudah menjadi makanan biasa dan bisa ditemukan dimana saja. Di kota-kota besar, nata de coco sudah dijajakan di tempat-tempat umum, di dalam bis, dan di dalam kereta api (Warisno, 2004).

2.6.2. Membuat Bibit atau Stater (warisno 2004) 2.6.2.1. Bahan

Biakan murni Acetobacter xylinum, gula pasir 200 gram, urea 10 gram, air kelapa 2 liter, dan asam cuka 25% sebanyak 20 ml yang digunakan untuk mengatur pH larutan menjadi 3-4.

2.6.2.2. Peralatan

Botol, kertas Koran bekas, ruang inkubasi, panci, timbangan, serta pH meter atau kertas lakmus.

2.6.2.3. Cara Membuat

♦ Biarkan air kelapa hingga kotorannya mengendap. Selajutnya, saring menggunakan kain kasa dan panaskan satu liter air kelapa dia atas api yang besar hingga mendidih. Selama perebusan air kelapa harus diaduk.


(34)

♦ Tambahkan asam cuka dan gula pasir, lalu aduk hingga larutan tercampur merata.. Larutan ini biasa disebut air kelapa asam bergula. Larutan ini harus memiliki pH 3-4.

♦ Tambahkan juga satu liter air kelapa ke dalam air kelapa asam bergula yang masih mendidih.

♦ Tambahkan juga urea ke dalam larutan sambil terus dibuang.

♦ Setelah larutan ini mendidih salam 15 menit, tuang langsung larutan tersebut ke dalam botol, lalu tutup dengan kertas Koran yang bersih.

♦ Setelah dingin, tambahkan 4 ml suspensi mikroba (biakan murni) ke dalam setiap botol.

♦ Simpan botol-botol tadi di ruangan inokulasi dalam posisi miring dan biarkan selama satu minggu.

♦ Setelah satu minggu, di permukaan media akan terbentuk lapisan berwarna putih. Berarti, starter sudah jadi dan siap digunakan (warisno,2004)

2.6.3. Membuat Nata De Coco (warisno,2004) 2.6.3.1. Bahan

Starter 5 botol (kapasitas setiap botol 200 ml), gula pasir 2 kg, urea 100 gram, air kelapa 20 liter, dan asam cuka 200 ml.


(35)

2.6.3.2.Peralatan

Baki atau loyang plastik, panci, ruang fermentasi, timbangan, kompor, pH meter atau kertas lakmus.

2.6.3.3.Cara Membuat

♦ Biarkan air kelapa hingga kotorannya mengendap. Selajutnya, saring menggunakan kain kasa dan panaskan sepuluh liter air kelapa di atas api yang besar sehingga mendidih. Selama perebusan, air kelapa harus diaduk.

♦ Tambahkan asam cuka dan gula pasir, lalu aduk hingga larutan tercampur merata. Larutan ini biasa disebut dengan air kelapa asam bergula. Larutan ini harus memiliki pH 3-4.

♦ Tambahkan lagisepuluh liter air kelapa ke dalam air kelapa asam bergula yang masih mendidih.

♦ Tambahkan juga urea ke dalam larutan sambil terus diaduk-aduk. Kotoran yang muncul ke permukaan harus dibuang.

♦ Setelah larutan ini mendidih selama 15 menit, panci diangkat dan dibiarkan agak dingin.

♦ Tuang larutan tadi ke dalam baki atau loyang plastik dengan ketebalan 1,5-2 cm atau sebanyak satu liter, lalu simpan di ruang fermentasi.


(36)

♦ Tutup baki atau loyang memakai kertas Koran dan ikat memakai karet gelang hingga benar-benar rapat. Biarkan selama satu minggu (warisno,2004).

2.7. Disolusi (Shargel,1999)

Uji disolusi yaitu uji pelarutan in vitro mengukur laju dan jumlah pelarutan dalam suatu media “aqueous” dengan adanya satu atau lebih bahan tambahan yang terkandung dalam produk obat. Dalam sistem biologik pelarutan obat dalam media “aqueous” mempuyai suatu bagian penting sebelum kondisi absorbsi sistemik.

Ada beberapa faktor yang dipertimbangkan dalam melakukan uji pelarutan yakni : (1) ukuran dan bentuk wadah. Bentuk dapat berupa alas atau datar. (2) Jumlah pengadukan dan sifat pengaduk. (3) Suhu media pelarutan. Variasi suhu harus dihindarkan, sebagian besar uji pelarutan dilakukan pada suhu 370C dan (4) sifat media pelarutan.

Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil disolusi sediaan obat adalah : (1). Sifat fisika dan kimia zat berkhasiat

(2). Sifat dasar bahan –bahan yang digunakan (3). Metode yang digunakan

Alat pelarutan ataupun alat disolusi berdasarkan Farmakope Indonesia edisi IV ada 2 jenis yaitu :

(1). Metode keranjang (Alat 1)


(37)

2.7.1 Medium Cairan Lambung Buatan Yang Diusulkan Dressman (1998)

Uji disolusi dilakukan untuk berbagai tujuan dalam industri farmasetika: dalam pengembanga produk-produk baru, pengawasan mutu dan untuk membantu pengukuran bioekuivalensi obat. Pengaturan pengembangan baru seperti skema klasifikasi biofarmasetika telah menyoroti hal penting dari disolusi dalam peraturan dan perubahan-perubahan persetujuan akhir dan memperkenalkan kemungkinan dari pertukaran uji-uji disolusi untuk studi klinis. Oleh sebab itu perlu mengembangkan uji disolusi bahan obat yang memperdiksikan penampilan in vivo yang lebih baik. Hal ini diperoleh jika kondisi dalam saluran pencernaan berhasil dirancang secara in vitro. Pengujian disolusi in vitro memberikan informasi yang berguna pada beberpa tahap proses pengembangan obat. Ilmuan – ilmuan formulasi menggunakan disolusi untuk memperkirakan sifat-sifat disoludi dari obat tersebut dan bahan-bahan pilihan yang cocok untuk di formulasikan.

Ilmuan-ilmuan klinis mengandalkan uji disolusi untuk meningkatkan hubungan in vitro dan in vivo antara pelepasan obat dari bentuk sediaan dengan penyerapan obat. Ketika hasil uji in vitro gagal memperkirakan secara tepat penampilan hasil in vivo, maka dilakukan lebih banyak penelitian untuk memperkirakan bioavailibitas prodak obat, demikian juga terhadap penambahan bahan-bahan dasar dalam pengembangan suatu produk obat.

Dengan adanya pemasukan makanan dan minuman, berbagai cairan akan disekresi pada salutan gastrointestinal, meninggikan jumlah asam klorida, bikarbonat, enzim, surfaktan, elektrolit, mukus dan air. Parameter yang dapat mempengaruhi


(38)

kelarutan dan laju pelarutan dari suatu obat adalah seperti pH, buffer, konsentrasi surfaktan dan volume.

Keadaan puasa dapat menyebabkan perubahan pH lambung. Dalam keadaan sehat pH lambung orang muda 90% berada di bawah pH 3 selama keadaan puasa (sekitar 1,4 – 2,1). Media disolusi yang sesuai untuk mendapatkan kondisi lambung saat puasa dilakukan dengan membuat media pH 1,5 – pH 2.

Tegangan permukaan cairan lambung cenderung lebih rendah dari air. Hal ini membuktikan adanya surfaktan di daerah ini. Nilai tegangan permukaan dalam keadaan puasa biasanya 35 – 45 Nm/m-1. Enzim yang ditemukan dalam cairan lambung adalah pepsin, eksopeptidase, lipase, amilase dan protease yang disekresi oleh pankreas.

Berdasarkan parameter secara fisiologi di atas maka dilanjutkan suatu media disolusi untuk mendapatkan kondisi lambung dalam keadaan puasa. Komposisi medium cairan lambung buatan yang diusulkan adalah mengandung nata de coco. Komposisi lengkap medium cairan buatan yang di usulkan kini adalah asam klorida 0,01 – 0,05 N.

2.8. Freeze Drying (pengeringan beku)

Freeze-drying (liofilisasi) adalah proses pengeringan yang dapat digunakan untuk membuat sediaan farmasi dan biologis yang tidak tahan panas atau jika tidak stabil dalam larutan air untuk waktu penyimpanan yang lama, tetapi stabil dalam keadaan kering (Lachman, 1994)


(39)

Suatu produk yang akan dikeringkan dengan pembekuan dibuat dan dikelolah dengan suatu larutan air atau suspensi. Pelarutan air dibekukan dengan cepat dan didinginkan dengan suatu alat pendingin mekanik pada temperature di bawah – 400C (Rawlins, 2002).

Es dalam produk yang dibekukan perlahan-lahan akan menyublin dari permukaan yang beku dan dikumpulkan dalam ruang pendinginan. Pada saat es meninggalkan produk, sisa pengeringan pada dasarnya mempertahankan volume aslinya dan menjadi berpori karena hilangnya molekul-molekul es tersebut (Lachman, 1994).

2.9. Ibuprofen

2.9.1. Uraian Bahan ( Ditjen POM, 1995 )

Rumus struktur :

CH3CHCH2 CHCOOH

CH3 CH3

Rumus molekul : C13H18O2 Berat molekul : 206,28


(40)

Pemerian : Serbuk hablur, putih hingga hampir putin, berbau khas lemah, peka terhadap cahaya,meleleh pada suhu kering lebih 780C. Kelarutan : Praktis tidak larutan dalam air, sangat mudah larut dalam

etanol, metanol, aseton dan kloroform, sukar larut dalam etil asetat.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.

Pka : 4,4

UV : aqueous alkali - 265 nm

- 273 nm ( claker’s ,1969 ).

2.9.2. Farmakologi

Ibuprofen merupakan obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS) yang termasuk turunan asam fenil propionat dan pertama kali dipasarkan sebagai analgetik dan anti inflamasi pada tahun 1974 di Amerika Serikat. Obat ini merupakan innibitor enzim sikloooksigenase yang menyebabkan sintesis prostaglandin menjadi terhambat (Gillman, 1996). Prostaglandin merupakan salah satu mediator kimiawi yang dilepaskan selama terjadi inflamasi. Dengan dihambatnya enzim siklooksigenase maka konvesi asam arakhidonat menjadi prostaglandin menjadi terganggu sehingga terjadi pengurangan nyeri ( Wilmana, 1995).

Ibuprofen mempunyai dosis anti inflamasi 300 – 600 mg setiap 4-6 jam dan tidak lebih dari 2,4 g selama 24 jam, dosis analgesiknya 200-400 mg setiap 4-6 jam dan tidak lebih dari 1,2 g selama 24 jam. Pada dosis 600-1800 mg perhari dapat meningkatkan perdarahan dan dosis 50 mg dilaporkan dapat menyebapkan


(41)

penyempitan saluran pernafasan pada pasien yang menderita penyakit ashma (feldman, et al., 1996).

2.9.3. Efek Samping

Penggunaan ibuprofen menyebabkan efeksamping yang umum terjadi yakni berupa iritasi saluran cerna (Katzung, 1998). Disamping itu menyebabkan efeksamping pada bagian tubuh yang lain yaitu pada sistem saraf pusat dapat berupa sakit kepala, emosi, rasa tidak enak badan, mengantuk, rasa kebingungan, dan depresi. Efek pada kardiovaskuler dapat berupa terjadinya hipertensi, palpitasi, gagal jantung kongestif, edema periperal. Efek pada gastrointestinal adalah mulut kering dyspepsia dan terjadinya tukak lambung (Shannon, 2000).

2.9. 4. Mekanisme terjadinya pendarahan pada lambung

Obat-obat anti inflamasi nonsteroid (AINS) termasuk ibuprofen dapat menyebabkan terjadinya pendarahan dimana kristal-kristal ibuprofen berkontak langsung dengan mukosa lambung yang mengubah permeabilitas sawar epitel, memungkinkan difusi baik asam klorida dengan akibat terjadinya kerusakan jaringan khususnya pembuluh darah. Histamin dikeluarkan , merangsang sekresi asam lebih lanjut sehingga fungsi sawar menurun. Mukosa kapiler dapat rusak, sehingga mengakibatkan terjadinya pendarahan (Price dan Wilson, 1994).


(42)

BAB III METODOLOGI

3.1. Bahan - bahan

Nata de coco, ibuprofen adalah prodak P.T. Indofarma Jakarta, Natrium klorida p.a, CO(NH2)2 (diamin karbonil) kalium di hidrogen fosfat p.a. Natrium hidroksida p.a. Asam Klorida p.a. (E.merck), Etanol ( Merck kgaA 642 71 Damstadt Germany ), Acetibacter xylium, gula pasir, air kelapa, asam cuka, alkohol, aquadest.

3.2. Alat - alat

Alat disolusi metode dayung dilengkapi thermostat, spektrofotometer UV Milton Roy Spectronic 1201, neraca listrik Mettler Toledo, freeze dryer Modulyo Edwards, Hotplate, kompor gas.

3.3. Prosedur

3.3.1 Pembuatan NaOH 0,2 N

Natrium hidroksida sebanyak 8 g dilarutkan dalam akuades secukupnya sampai 1000 ml (Ditjen POM, 1995).

3.3.2. Pembuatan Cairan Lambung Buatan (Medium pH 1,2)

Natrium klorida sebanyak 2 g ditambahkan asam klorida pekat sebanyak 7 ml ditambahkan akuades hingga 1000 ml (ditjen POM, 1995).


(43)

3.3.3. Pembuatan Cairan Usus Buatan (Medium pH 7,4)

Kalium dihidrogenfosfat 6,8 g dilarutkan dalam 250 ml air, lalu ditambahkan sebanyak 190 ml natrium hidroksida 0,2 N. ditambahkan dengan akuades sampai 1000 ml (Ditjen POM, 1995).

3.3.4. Pembuatan Larutan Asam klorida 0,1 N

Asam Klorida sebanyak 16, 6655 g dilarutkan dalam akuades secukupnya dan ditambahkan hingga sampai 1000 ml (Ditjen POM, 1995).

3.3.5. Pembuatan Larutan Induk Baku Cairan Lambung Buatan ( Medium pH 1,2 )

Sebanyak 10 mg ibuprofen dimasukkan kedalam labu tentu ukur 100 ml, kemudian ditambahkan etanol 25 ml, dikocok sampi larut, kemudian dicukupkan dengan asam lambung buatan sampai garis tanda. Diperoleh konsentrasi ibuprofen100 mcg/ml.

3.3.5.1. Pembuatan Kurva Serapan Ibuprofen dalam medium cairan lambung buatan pH 1,2

Dari larutan induk baku yang tersebut pada 3.3.5. dipipet 7 ml, dimasukkan kedalam labu tentukur 10 ml kemudian dicukupkan dengan asam lambung buatan sampai garis tanda. Kosentrasi ibuprofen adalah 70 mcg/ml. serapan diukur pada panjang gelombang 240 – 300 nm. Data dapat dilihat pada lampiran 25.


(44)

3.3.5.2 Pembuatan Kurva Kalibrasi Ibuprofen dalam Cairan Lambung Buatan ( Medium pH 1,2 )

Dari larutan induk baku yang tersebut pada 3.3.5.1. dibuat berbagai kosentrasi yaitu : 5,10, 20, 40, 60, 80 mcg / ml dengan memipet LIB masing – masing :0, 5, 1, 2, 4, 6, 8, ml kedalam labu tentu ukur 10 ml, kemudian ditambahkan asam lambug buatan sampai garis tanda. Serapan diukur pada panjang gelombang 264 nm. Data dapat dilihat pada lampiran 24.

3.3.6. Pembuatan Larutan Induk Baku dalam Cairan Usus Buatan (Medium 7,4)

Sebanyak 50 mg ibuprofen dimasukkan kedalam labu tentu ukur 100 ml, ditambahkan larutan pH 7,4 sampai garis tanda, diperoleh kosentrasi ibupropen 500 mcg /ml.

3.3.6.1. Pembuatan Kurva Serapan Ibuprofen dalam Cairan Usus Buatan (Medium pH 7,4)

Dari larutan yang tersebut pada 3.3.6. dipipet larutan sebanyak 12 ml, dimasukkan kedalam labu tentu ukur 25 ml, kemudian dicukupkan dengan larutan pH 7,4 (cairan usus buatan). Diperoleh kosentrasi ibuprofen 240 mcg/ml. serapan di ukur pada panjang gelombang 220 – 300 nm. Data dapat dilihat pada lampiran 27.


(45)

3.3.6.2. Pembuatan Kurva Kalibrasi Ibuprofen dalam Cairan Usus Buatan (Medium pH 7,4)

Dari larutan induk yang tersebut pada 3.3.6 dibuat larutan ibuprofen dengan berbagai kosentrasi yaitu 50, 100, 200, 300, 350, 400, 450 mcg/ml dengan cara memipet LIB masing – masing 1, 2, 4, 6, 7, 8, 9 ml kedalam labu tentu ukur 10 ml, kemudian ditambahkan larutan pH 7,4 sampai garis tanda. Serapan diukur pada panjang gelombang 264 nm.data dapat dilihat pada lampiran 28.

3.3.7.Pembuatan nata de coco untuk dijadikan matriks

Air kelapa disaring sebanyak 1 liter dengan menggunakan kertas saring, kemudian masukkan ke dalam panci stainles steel, panaskan sampai mendidih kemudian tambahkan gula pasir 100 gr dan ZA 6 gr, aduk hingga semua bahan larut, lalu tambahkan asam asetat glasial sampai pH 3-4. Kemudian dimasukkan ke dalam nampan. Setelah itu di tutup dengan kertas koran yang telah disetrika, setelah dingin dimasukkan starter sebanyak 100 ml melalui sudut nampan lalu ditutup kembali dengan rapat. Kemudian setelah 6 hari nata de coco siap dipanen. dan dikeringkan dengan menggunakan alat freeze dryer untuk digunakan sebagai bahan membran.


(46)

3.3.7.1 Diagram alir proses pembuatan lembaran nata de coco secara bertahap

Perebusan dan pengadukan Penyaringan

Penambahan gula pasir 100 gr dan Amonium Sulfat (ZA) 6gr

Air kelapa 1L

yang berbeda dalam Medium II (pH 7,4 )

Pendinginan ( suhu kamar)

Inkubasi 6 hari

Dicuci, Freezer Dryer selama 3 hari.

Dibentuk dengan ukuran 19 x 38 mm

Diperoleh Matriks Nata De Coco.

Fermentasi pada suhu 28º-31ºC,(6 hari ).

Pemberian bibit (Inokulasi)


(47)

3.3.7.2. Cara pengeringan membran nata de coco Menggunakan Freeze Dryer.

Pengeringan dilakukan menggunakan alat freeze dryer selama 3 hari, selajutnya membran nata de coco digunakan untuk sediaan ibuprofen.


(48)

Gambar 3. Pembuatan sediaan Ibuprofen dalam membran nata de coco dengan masing-masing pori

membran nata de coco dengan masing-masing pori berbeda Pembentukan ukuran Membran nata de

coco diameter 19 mm x 38 mm Pengeringan Membran nata de coco

menggunakan Freeze dryer ± 3 hari

Dimasukkan Ibuprofen 200 mg ke dalam masing-masing sediaan

Di rapatkan dengan bahan perekat

Di disolusi dalam medium I dan II

Di ukur zat yang terlepas menggunakan spektrofotometer UV


(49)

Lembaran nata de coco yang diperoleh dikeringkan dengan menggunakan freeze dryer ± 3 hari kemudian dipotong-potong dengan ukuran diameter 19 mm x 38 mm dan dibentuk sedemikian rupa, kemudian diberi pori dengan menggunakan paku berdiameter 0,00001 mm,di tusuk perlahan-lahan. Kedalamnya dimasukkan Ibuprofen 200 mg, lalu masing-masing sisi pada membran nat de coco dirapatkan dengan bahan perekat Kemudian membran nata de coco yang berisi Ibuprofen ini didisolusi pada medium I dan medium II, dan selanjutnya di ukur pelepasan Ibuprofen melalui membran menggunakan alat spektrofotometer UV.

3.3.8. Uji Disolusi

3.3.8.1. Parameter uji disolusi

Medium disolusi : 1. cairan lambung buatan 1,2 1.1.Ibuprofen serbuk 1.2. Ibuprofen tidak berpori 1.3.Ibuprofen pori 1

1.4.Ibuprofen pori 4 1.5.Ibuprofen pori 6 2. cairan usus buatan pH 7,4 2.1. Ibuprofen serbuk 2.2. Ibuprofen pori 6 2.3. Ibuprofen pori 4 2.4. Ibuprofen pori 1 Kecepatan pengadukan : 100 rpm


(50)

Volume medium : 900 ml Suhu medium : 37 ± 0,5 0C

Metode : dayung yang dilengkapi thermostat Sample : serbuk ibuprofen

3.3.8.2. Prosedur uji disolusi

3.3.8.2.1 Disolusi Serbuk Ibuprofen dalam Medium pH 7,4 dan Medium pH 1,2

Kedalam wadah disolusi dimasukkan 900 ml medium disolusi dan diatur suhu 37 ± 0,5 0C dan kecepatan pengadukannya 100 rpm. Kedalam wadah tersebut dimasukkan serbuk ibuprofen 200 mg. pada interval waktu tertentu dipipet sebanyak volume tertentu (5 ml untuk medium pH 1,2 dan 5 ml untuk medium pH 7,4). Pengambilan cuplikan dilakukan pada posisi yang sama yaitu pertengahan antara permukaan medium disolusi dan bagian atas dari dayung tidak kurang 1 cm dari dinding wadah (Ditjen POM, 1995). Larutan itu kemudian diukur pada panjang gelombang medium yang digunakan yaitu pada λ264 untuk pH 1,2 danλ264 untuk pH 7,4,pengujian dilakukan sebanyak 3 kali untuk masing-masing medium. Data pada pH 1,2 dapat dilihat pada lampiran 3 dan data pada pH 7,4 dapat dilihat pada lampiran 4.


(51)

BAB IV

HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN 4.1.Matriks Nata De Coco

Nata de coco merupakan jaringan selulosa yang mempunyai tekstur kenyal, putih menyerupai gel dan terapung pada bagian permukaan cairan. Dengan keberadaan nata de coco yang mengapung dan merupakan sellulosa maka dapat digunakan untuk bahan floating drug delivery system (FDDS) dalam bentuk non- effervescent.

Gambar 4. Sediaan ibuprofen Dalam Matriks Nata De Coco Yang Mengapung Pada Permukaan Cairan.

Gambar 3 menunjukkan keadaan matriks nata de coco mengapung diatas permukaan cairan sehingga dapat disimpulkan bahwa pada sediaan yang dapat mengapug mempunyai kemampuan pelepasan yang lebih lama di dalam lambung selama beberapa jam. Sehingga Absorbsi obat pada saluran gastrintestinal (lambung)


(52)

memiliki prosedur variabel yang tinggi dan peningkatan lama retensi gastrik atas bentuk dosis akan memperpanjang waktu bagi penyerapan obat. FDDS menjadi pendekatan yang potensial terhadap retensi gastrik.meskipun terdapat sejumlah kesulitan yang harus dihadapi untuk mencapai retensi gastrik yang lebih lama.

Gambar 5. membran nata de coco yang sudah dibentuk dengan diameter 19x38.

4.2.Hasil Disolusi Ibuprofen 4.2.1. Disolusi Ibuprofen dalam medium cairan lambung buatan (pH 1,2)

Disolusi serbuk ibuprofen dilakukan dalam medium pH 1,2 yakni cairan

lambung buatan dimana pada menit pertama (5 menit) terdisolusi sebanyak 14,29% dan setelah 480 menit 59,765 % setelah itu terlihat kenaikan laju disolusi.

Disolusi serbuk ibuprofen dalam medium dengan membran nata de coco tidak berpori dimana pada menit pertama (5 menit) terdisolusi sebanyak 3,86% dan setelah 480 menit disolusi mencapai 23,42%, kemudian dilakukan uji disolusi ibuprofen

dengan membrane nata de coco pori 1 dimana pada menit pertama (5 menit) terdisolusi sebanyak 8,346% dan setelah di 480 menit disolusi mencapai 27,64%,


(53)

dimana pada menit pertama (5 menit) terdisolusi sebanyak 9,546% dan selam 480 menit disolusi mencapai 37,26% dan yang terakhir uji disolusi ibuprofen dengan membran nata de coco pori 6 dimana pada menit pertama (5 menit) terdisolusi sebanyak 10,346% dan setelah 480 menit 45,426% seperti pada grafik 1 menunjukkan peningkatan yang perlahan – lahan hingga waktu akhir disolusi.

Grafik 1. Hubungan % kumulatif Ibuprofen yang terlepas terhadap waktu pada formula yang berbeda dalam medium I (pH 1,2 )

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60

5 15 30 60 90 120 150 180 240 300 360 420 480

waktu (menit) % ku mulari f IBP yang terlepa s d a lam f o rm ula ya ng berbe d a Serbuk Ibp Pori 6 Pori 4 Pori 1 Tak Berpori


(54)

Tabel 1. Hasil uji disolusi persen kumulatif terlepas serbuk ibuprofen,membran

nata de coco yang berpori 6,pori 4,pori 1 dan membran nata de coco

yang tidak berpori dalam cairan lambung buatan (pH 1,2)

Formula

Ibuprofen 200 mg & membran nata de

coco

Lama waktu (jam) Persen kumulatif

I Serbuk 8 jam 59,76 %

II Pori 6 8 jam 45,42%

III Pori 4 8 jam 37,26 %

IV Pori 1 8 jam 27,64 %

V Tidak berpori 8 jam 23,42 %

4.2.1.2. Pengaruh pori terhadap pelepasan Ibuprofen dari membran nata de coco pada masing-masing formula dalam medium I (pH 1,2 )

Pengaruh pori terhadap pelepasan ibupropen dari membrane nata de coco dalam medium I dapat dilihat pada gambar grafik 3-5 dengan masing-masing persamaan garis dalam formula yan berbeda seperti dibawah ini . Ibuprofen dalam membran nata de coco tidak berpori memberikan pori pelepasan yang lebih lambat dibanding ibupropfen dalam membran nata de coco pori 1, pori 4 dan pori 6 seperti yang terdapat pada hasil disolusi diatas. Dan dari uji statistik pada lampiran 1 , menunjukan adanya perbedaan yang signifikan antara membran nata de coco tidak pori dengan nata de coco pori1, pori 4 dan pori 6 dalam medium I.


(55)

Tabel 2. Hubungan persen kumulatif ibuprofen terlepas terhadap waktu dari formula yang berbeda dalam medium I(pH 1,2)

No Formula Persamaan garis Korelasi

1 1 Y=0,0978X+18,87 0,9564

2 II Y=0,0821 X+15,838 0,9571

3 III Y=0,0648 X+12,117 0,9651

4 IV Y=0,0494 X+11,942 0,9779

5 V Y=0,0396 X+10,19 0,9252

Grafik 2. Hubungan % kumulatif ibuprofen yang terlepas terhadap waktu dari formula yang berbeda dalam medium I ( pH 1,2 )

0 10 20 30 40 50 60 70

0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360 390 420 450 480

waktu ( menit )

% ku mula tif i b u p rofe n y an g terle p as serbuk ibp Pori 6 pori 4 pori 1 tak berpori


(56)

Tabel 3. Hubungan % logaritma Ibuprofen tersisa terhadap waktu dari formula yang berbeda dalam medium 1 (pH 1,2)

No Formula persamaan garis Korelasi

1 1 Y=0,0007 X+1,9194 0,9849

2 II Y=-0,0005 X +1,9306 0,9757

3 III Y=-0,0004 X + 1,9506 0,9505

4 IV Y=-0,0003X + 1,9473 0,9769

5 V Y=-0,0003 X+1,9648 0,6237

tidak berpori pori 1 pori 4 pori 6 serbuk IBP

% Log tersisa

Waktu ( menit )

390 420 450 480

360 330 300 270 240 210 180 150 120 90 60 30 0 1,000 1,100 1,200 1,300 1,400 1,500 1,600 1,700 1,800 1,900 2,000

tersisa terhadap waktu pada masing-masing pori dalam medium I ( pH 1,2 )


(57)

Tabel 4. Hubungan % kumulatif Ibuprofen terlepas terhadap akar waktu dari formula yang berbeda dalam medium 1 (pH 1,2)

No Formula persamaan garis Korelasi

1 1 Y = 2,5343 X + 2,1891 0,9979

2 II Y = 2,0065 X 3,0569 0,9812

3 III Y = 1,3953 X + 4,160 0,9467

4 IV Y =1,1358 + 5,0628 0,9852

5 V Y = 1,0341 X + 3,2716 0,9883

Grafik 4. Hubungan % kumulatif ibuprofen terlepas terhadap Akar waktu dari formula yang berbeda dalam

medium I(pH 1,2)

0

10

20

30

40

50

60

0 1 2 3 4 5 6 7 8 91011121314151617181920212223

Akar waktu

% kumulati

f

ibuprofen terlepas

serbuk ibp Pori 6 pori 4 pori 1 tak berpori


(58)

4.2.1.2 Sistem pelepasan obat dalam medium I( pH 1,2 )

Sistem pelepasan ibuprofen dalam medium lambung buatan pH 1,2 dapat dilihat pada gambar grafik 2-4 dan harga korelasi pada tabel 2-4 . menunjukan bahwa serbuk ibuprofen korelasinya diatas 0,95 sehingga dapat dijelaskan pada orde nol, orde satu dan orde Higuchi pada membran nata de coco pori 6 juga dapat dijelaskan pada orde satu, orde nol dan orde Higuchi dengan korelasi diatas 0,95. membran nata de coco pori 4 tidak dapat dijelaskan pada orde Higuchi dengan korelasi 0,9467 sedangkan pada orde nol dan orde satu dapat dijelaskan. Pada pori 1 dapat dijelaskan pada orde nol, orde satu, dn orde Higuchi dengan harga korelasi diatas 0,95 sedangkan pada membran tidak berpori tidak dapat dijelaskan pada orde satu dengan korelasi 0,6327 dan juga pada orde nol tidak dapat dijelaskan dengan korelasi 0,9252 pada orde Higuchi dapat dijelaskan dengan harga korelasi 0,9883.

4. 2.2 Disolusi Ibuprofen dalam Medium Cairan Usus Buatan ( pH 7,4 )pada masing-masing Formula

Disolusi serbuk dalam medium pH 7,4 jauh lebih cepat pelepasan kelarutannya dibandig dalam medium pH 1,2, seperti pada tabel di bawah ini.


(59)

Tabel 5 . Hasil uji disolusi persen kumulatif terlepas serbuk ibuprofen,membran

nata de coco yang berpori 6,pori 4,pori 1 dan membran nata de coco

yang tidak berpori dalam cairan usus buatan (pH 7,4)

Formula Ibuprofen 200 mg & membran nata de coco

Lama waktu (jam)

Persen kumulatif

VI Serbuk 1 jam 98,40 %

VII Pori 6 2 jam 96,71 %

VIII Pori 4 4 jam 98,83 %

IX Pori 1 7 jam 94,92 %

dimana pada menit pertama (5 menit) disolusi serbuk ibuprofen adalah 75,39% dan setelah 60 menit mencapai 98,40% kemudian dilajutkan uji disolusi ibuprofen dengan membrane nata de coco pori 6 dimana pada menit pertama (5 menit) mencapai 40,22% dan setelah mencapai 120 menit disolusi didapat sebanyak 96,71% setelah itu dilanjutkan uji disolusi ibuprofen dengan membrane nata de coco pori 4 dimana pada menit pertama (5 menit) mencapai 39,11% dan selama 240 menit mencapai 98,83%, kemudian yang terakhir uji disolusi Ibuprofen dengan membrane nata decoco pori 1 dimana pada satu menit pertama (5 menit) mencapai 28,45% dan selama 420 menit mencapai 94,92%. Seperti pada grafik di bawah ini.


(60)

Grafik 5. Hubungan % Kumulatif Ibuprofen terlepas terhadap Formula yang berbeda dalam medium II ( pH 7,4)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

5 15 30 60 90 120 150 180 240 300 360 420

Waktu (menit) % Ku mu la ti f Ib u p ro fe n ya n g t e rl e p a s serbuk Pori 6 pori 4 pori 1

4.2.2.1. Pengaruh pori terhadap pelepasan ibuprofen dari membran nata de coco pada masing-masing formula dalam medium II (pH 7,4)

Pengaruh pori terhadap pelepasan ibuprofen dari membrane nata de coco dalam medium II dapat dilihat pada gambar grafik 6-8 di bawah ini, ibuprofen dalam membrane nata de coco pori 1 lebih lambat dibanding pori 4 dan pori 6. seperti terlihat dari hasil uji disolusi diatas. Dan dari hasil uji statistik pada tabel 2 menunjukan adanya perbedaan yang signifikan antara membrane nata de coco pori 1, pori 4 dan pori 6 sedangkan membran yang tidak berpori tidak dilakukan karena tidak efektif dalam medium II ( pH 7,4 ).


(61)

Grafik 6. Hubungan %Kumulatif Ibp Terlepas terhadap Waktu dari Formula yang berbeda dalam Medium II (pH 7,4)

0 20 40 60 80 100

0 30 60 90 120 150 180210240270300330360390420450480

Waktu ( Menit )

Serbuk Ibp pori 6 pori 4 pori 1

Tabel 6. Hubungan % Kumulatif Ibuprofen tersisa terhadap waktu dari formula yang berbeda dalam medium 1I (pH 7,4)

No Formula persamaan garis Korelasi

1 VI Y=0,307 X + 47,290 0,9941

2 VII Y=0,4467 X + 45,337 0,9833

3 VIII Y=0,2623 X + 40,717 0,9645


(62)

Tabel 7. Hubungan % logaritma Ibuprofen tersisa terhadap waktu dari formula yang berbeda dalam medium II (pH 7,4)

No Formula persamaan garis Korelasi

1 VI Y=-0,0182 X + 1,4051 0,9698

2 VII Y= -0,0074X + 1,8015 0,9818

3 VIII Y=-0,0051X + 1,8952 0,9632

4 IX Y=-0,0019X + 1,8644 0,9782

Grafik 7. Hubungan % Logaritma Ibuprofen tersisa Terhadap Waktu dari Formula yang berbeda dalam Medium II ( pH 7,4 ).

0 0.5 1 1.5 2

0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360 390 420 450480 Waktu (menit)

%

l

o

g

I

b

p

T

e

rsi

s

a Serbuk ibp

pori 6 pori 4 pori 1


(63)

Tabel 8. Hubungan % kumulatif ibuprofen terlepas terhadap akar waktu dari formula yang berbeda dalam medium II(pH 7,4)

No Formula persamaan garis Korelasi

1 1 Y=3,1009 X+ 74,623 0,9789

2 II Y=5,991 X+ 29,449 0,9784

3 III Y=4,6996 X +24,391 0,9714

4 III Y=3,7823 X +14,994 0,9893

Grafik 8. Hubungan % kumulatif Ibuprofen terlepas terhadap akar waktu dari formula yang berbeda dalam Medium II (pH 7,4 )

0 20 40 60 80 100

012 3 4 5 6 7 8 9 10111213141516171819202122 Akar Waktu % ku mu la ti f Ib u p ro fe n t e rl e p a s Serbuk Ibp pori 6 pori 4 pori 1


(64)

Hal ini disebabkan oleh perbedaan kelarutan dalam medium tersebut di mana ibu profen lebih mudah larut dalam basa yakni dalam hal ini medium pH 7,4 bersifat basa dibandingkan larutan asam.Ibuprofen mempunyai pKa 4,4 (maffat , et al , 1986) oleh sebab itu tergolong obat yang bersifat asam sehingga mempunyai kelarutan yang rendah di dalam medium asam, jumlah yang terlarut terus meningkat , setelah itu terlihat peningkatan perlahan-lahan sampai akhir disolusi.

4.2.2.2 Sistem pelepasan obat Dalam Medium II pH 7,4

Sistem pelepasan ibuprofen pada masing –masing hubungan dalan medium usus buatan pH 7,4 dapat dilihat pada gambar grafik 6-8 dan harga korelasi pada tabel 8-10. pada halaman 48-50. Serbuk ibuprofen dapat dijelaskan dengan harga korelasi diatas 0,95 dan Ibuprofen dalam membran nata de coco pori 6 juga dapat dijelaskan dengan harga korelasi diatas 0,95 dan pada pori 4 juga dapat dijelaskan pelepasannya pada pori 1 dapat dijelaskan dengan orde nol, orde satu dan orde Higuchi, dengan masing-masing korelasi diatas 0,95.

4.3. Pengaruh pH pada Masing-masing Medium Terhadap Pelepasan Serbuk Ibuprofen pada pori 4 .

Hal tersebut diatas dapat dilihat pada gambar grafik 9 pada halaman 51. dari grafik dapat dilihat sebagai contoh bahwa pelepasan ibuprofen pada pori 4 dalam medium I lebih lambat jika dibandingkan dengan pelepasan ibuprofen pada pori 4 dalam medium II


(65)

Tabel 9. Hubungan % kumulatif Ibuprofen terlepas terhadap masing –masing medium pada membran nata de coco pori 4

No Formula1 persamaan garis Korelasi

1 Medium 1 Y=-0,0653 X + 11,942 0,9681 2 Medium II Y= 0,2624 X + 40,586 0,9649

Grafik 9. Hubungan % kumulatif ibuprofen yang terlepas terhadap masing-masing

medium pada membran nata de cooco pori 4

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360 390 420 450 480

waktu ( menit )

Me

d

iu

m Medium I

Medium II

4.3.1. Uji Disolusi ibuprofen dengan membran nata de coco pori 4 dalam medium yang berbeda

Tabel 9 menunjukkan bahwa kecepatan pelepasan ibuprofen dalam medium II (pH 7,4 ) lebih besar dibandingkan dalam medium I (pH 1,2 ). Dimana pada medium I rata-rata persen kumulatif ibuprofen yang terlepas selama 8 jam sebanyak 37,26%,


(66)

sementara dalam medium II rata-rata persen kumulatif sebanyak 98,83 % selama 4 jam. Hal ini terjadi karena adanya sifat dari membran nata de coco yang dapat memperpanjang masa transit obat, yang dengan demikian dapat menghindari beberapa efek samping yang tidak diinginkan dari ibuprofen .dimana ibuprofen mempunyai efek samping umum iritasi saluran cerna dan efek samping pada bagian tubuh yang lain yaitu pada sistim saraf pusat dapat mengakibatkan sakit kepala,emosi,mengantuk,depresi, dan lain-lain. Sehingga dengan sistim pelepasan ibuprofen melalui membrane nata de coco yang secara perlahan dan terkontrol efek samping tersebut dapat dihindarkan. Seperti pada tabel dibawah ini.

Tabel 10. kecepatan pelepasan t 50 % ibuprofen pori 4 dalam medium yang berbeda

MEDIUM t 50 %( Menit ) t 50 % ( Jam )

I 35,876 0,59

II 582,817 9,71

4.4. Sistem pelepasan obat

Tiga sistem pelepasan obat yang digunakan menerangkan sistem pelepasan dari matriks adalah kinetika pelepasan orde nol orde 1 dan orde Higuchi, kinetika pelepasan obat ditentukan berdasarkan harga koefisien korelasi terbesar dari ketiga analisis regresi, dimana hubungan dinyatakan erat jika korelasi(R≥ 0,95). Seperti terlihat pada gambar di bawah ini (Shargel dan Andrew,).


(67)

C

t

Gambar 6. Sistem pelepasan orde nol

Log

t

Gambar 7. Sistem pelepasan orde satu

C

√t


(68)

4.4. Data Uji Statistik Pada Masing- Masing Medium

Setelah sistem pelepasan diketahui maka dilakukan uji statistik denga cara perhitungan seperti pada lampiran 1 dan 2, dengan hasil pada tabel 11 dan tabel 2.

Tabel 11. Data Analisis Varians pada medium 1 (pH 1,2).

Sumber variasi

DF SS MS F hitung F tabel

Antar formula 3 792,713 264,238 1,687 2,79

Antar menit 48 7520,759 156,683

Total (N-1) 51 8313,472

Dari tabel seblas dapat di lihat bahwa harga F hitung = 1,687 dan harga F tabel = 2,79. ternyata bahwa F hitung < F tabel,sehingga hipotesa H0 : 1 = 2 = 3 = 4 diterima dalam taraf nyata 0,05 jadi dapat disimpulkan bahwa kadar Ibuprofen masing – masing formula I tidak berbeda.

Tabel 12. Data Analisis Varians pada medium 2 (pH 7,4)

Sumber variasi

DF SS MS F hitung F tabel

Antar formula 2 1863,049 931,525 3,567 3,25 Antar menit 15 3918,012 261,201


(69)

Dari tabel duabelas diketahui bahwa F hitung > F table sehingga hipotetis H0: 1=2 = 3 ditolak dan H1 : 1 = 2 = 3 diterima dalam taraf nyata 0,05, ini berarti ada perbedaan yang signifikan antara perlakuan. Untuk mengetahui formula – formula mana yang berbeda nyata dilakukan pengujian selanjunya yaitu uji beda rata – rata metode LSD (Leads Significant diference = >),dimana LSDnya dapat diterima.

Tabel 13. Pelepasan Ibuprofen pada t 50% dalam medium 1 ( pH 1,2 )

Formula Waktu ( Menit ) Waktu ( Jam )

1 318,30 5,305

II 416,60 6,943

III 584,61 9,743

IV 770,404 12,840


(70)

0 200 400 600 800 1000 1200

W

a

k

tu

(

m

e

n

it

)

Tidak berpori Pori 1 Pori 4 pori 6 serbuk

Formula

Gambar 8.Histogram pelepasan t 50 % ibuprofen dalam medium I ( pH 1,2 )

Gambar 9, menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk melepaskan 50% bahan obat dari matriks semakin lambat dengan penurunan jumlah pori pada membran nata de coco. Hal ini disebabkan karena ibuprofen dapat menurunkan keterbasahan matriks dan memperkecil luas permukaan persatuan luas yang kontak dengan medium disolusi sehingga penetrasi cairan ke dalam matriks lebih sukar yang mengakibatkan penurunan kelarutan dan laju disolusi obat semakin lambat.

Laju disolusi = ks (kelarutan) x (luas permukaan), menunjukkan bahwa laju disolusi dipengaruhi oleh faktor luas permukaan yaitu semakin kecil luas permukaan maka laju disolusi obat semakin lambat.

Dari gambar 9 juga dapat dilihat bahwa waktu yang dibutuhkan untuk melepaskan 50 % ibuprofen dari sediaan, mulai dari formula I-IV dalam medium I lebih lambat jika dibandingkan dengan serbuknya.


(71)

Tabel 13 terlihat bahwa sediaan dengan jumlah pori 6 ( formula II ) menunjukkan kecepatan disolusi yang lebih cepat dibandingkan dengan pori 4 (formula III) dan pori 1 (formula II) menunjukkan kecepatan disolusi yang lebih lambat dibandingkan dengan pori . Sementara yang tidak berpori (formula I) menunjukkan kecepatan disolusi yang sangat lambat sehingga kurang efektif digunakan sebagai matriks. Setelah diuji secara statistik untuk sediaan dengan jumlah pori 4 (formula III) dan yang tidak berpori (formula I) menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan (F-tabel, P < 0,05). Hasil uji statistik dapat dilihat pada lampiran 1 dan lampiran 2 halaman .

Tabel 14. Pelepasan Ibuprofen pada t 50% dalam medium 2( pH 7,4 )

Formula Waktu ( Menit ) Waktu ( Jam )

1 2,71 0,045

II 10,439 0,174

III 35,391 0,589


(72)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120

waktu (menit)

pori 1 pori 4 pori 6 serbuk Formula

Gam bar 9. His togram pe lepasan 50 % Ibuprofen dalam m e dium II ( pH 7,4 )

Gambar 10, menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk melepaskan 50% ibuprofen dari sediaan semakin lambat dengan menurunnya jumlah pori. Hal ini disebabkan karena nata de coco merupakan jaringan selulosa yang mampu membentuk matriks yang terapung di atas cairan, sehingga dengan menurunnya jumlah pori maka penetrasi cairan ke dalam matriks lebih sukar, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk melepaskan ibuprofen semakin lambat dan sebaliknya bila jumlah pori meningkat maka konsentrasi cairan ke dalam matriks lebih mudah dan waktu penyebaran airnya lebih cepat sehingga meningkatkan laju disolusi obat.

Tabel 14 menunjukkan bahwa sediaan dengan jumlah pori 6 (formula VI) pada membran menunjukkan kecepatan disolusi yang lebih cepat dibandingkan sediaan dengan jumlah pori 4 (formula VII), sedangkan sediaan dengan jumlah pori 1 (formula VIII) menunjukkan kecepatan disolusi yang lebih lambat dibandingkan dengan formula VI dan formula VII.


(73)

Keterangan :

Medium I :

Formula I : serbuk ibuprofen Formula II : pori 6

Formula III :pori 4 Formula IV : pori 1 Formula V : tidak berpori Medium II :

Formula VI : serbuk ibuprofen Formula VII : pori 6

Formula VIII : pori 4 Formula IX : pori 1

4.6 Pengaruh Jumlah Lubang Kemampuan Membran Nata de coco Untuk Mengambang (terapung) dalam Cairan

Dengan adanya kemampuan mengambang (mengapung) dari membran nata de coco, memberikan sistem penyampaian obat yang sangat baik untuk menghindari Helicobacter pylori, yang menyebabkan gastritis cronic dan peptic ulcer. Dengan kebaikan kemampuan pengambangan bentuk sediaan dari membran nata de coco tersebut dapat dipertahankan pada bagian lambung selama periode waktu yang lebih lama sehingga pelepasan obat dapat ditargetkan. Dari hasil disolusi terhadap pengambangan dari membran nata de coco menunjukkan pelepasan orde nol yang dapat memperpanjang waktu transit ibuprofen hingga 8 jam bahkan lebih.

Pori kecil yang diberi pada dinding membran nata de coco juga sangat mempengaruhi cepat dan lambatnya pelepasan obat dan waktu transit obat. Dimana


(74)

dengan adanya lubang akan menyebabkan kontak permukaan obat dengan cairan lambung maupun usus menjadi lebih besar, sehingga dengan demikian jumlah lubang dapat dibuat dan diatur sesuai dengan besar kecil dan cepat lambatnya pelepasan obat yang diinginkan.


(75)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai pembuatan dan pengujian pelepasan ibuprofen dari membrane nata de coco maka dapat di simpulkan :

1. Bahwa ada perbedaan pada sistem pelepasan terkontrol maupun kecepatan pelepasan serbuk ibuprofen terhadap membran nata de coco yang diberi pori 6,pori 4,pori 1 serta tidak berpori, di dalam masing- masing medium.

2 Membran nata coco ternyata dapat digunakan sebagai matriks untuk sediaan pelepasan terkontrol ,hal ini dapat dibuktikan bahwa kemampuan dari membran nata de coco tersebut memberikan waktu pelepasan secara lepas lambat, oleh karena adanya sifat membran nata de coco mengambang diatas cairan sehingga tidak dapat menimbulkan efek samping dari ibuprofen yang tidak diinginkan.

5.2. Saran

Untuk peneliti selanjutnya disarankan melakukan uji in vivo terhadap sediaan untuk menentukan apakah ada korelasi dengan uji invitro.

57 59


(76)

DAFTAR PUSTAKA

Ansel, C.howard.(1998). Pengantar bentuk sediaan Farmasi, Edisi Ke empat, Jakarta. Halaman 784-785.

Arora S, Ali J, Ahuja A, Khar RK, Baboota S. Floating Drug Delivery System review. AAPS Pharm Scitech, 2005 : 06 (03): E372-E390.DOI: 10.1208/Pt 060347

Clarke’s, E.G.C., (1969), Isolation and Identification of Drug, London, The Pharmaceutical Press. Halaman. 457.

Ditjen POM.(1995). Farmakope Indonesia Edisi Ke-IV. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Halaman. 461-463-1162-1165.

Dressman, J.B., Amindon, G.L., Reppans Christos, Shah, V.P. (1998). Review Dissoution Testing as a Prognostic Tool for Oral Drug Absorbtion Immediate Release Dosage Forms. Pharmaceutical Reesearch; 15;11-21. Feldmann, E.G., D.E., Cover, J., Povech, M., Mascone, O., Niedzialek, C. (1986).

Handbook of Nonpresscription Drugs. Edisi kedelapan. Washington, DC.: American Pharmaceautacal Association The National Proffessional Sociery of Pharmacist, Halaman 201-203.

Gilman A.G., Rall, T.W., Nies, A.S., dan Taylor, A.S., (1996). Then Pharmacologycal Basis of Therapeutics Basis of Therapeutics. Edisi kesembilan. New York. Pergamn Press. Halaman 617-639.

58 60


(77)

Gursoy, A., Akbuga J., Eroglu, and Ulutin, (1997). Then Inhibitor Effect of Liposomeencapsulated Indomethacin on Inflamation and Platelet Aggregation. J. Pharm Pharmacol; 40:53-54.

Katzung, A., B.G. (1998). Farmakologi Dasar dan Klinik. Alih bahasa A. Petrus. Edisi Ketiga. Jakatra : Penerbit EGD. Halaman 558-588.

Lachman Leo, Lieberman H.A., Kanig J.L. (1994). Teori dan Praktek Farmasi Industri. Edisi ketiga. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Prees.

Longer, M.A., (1990). Sustained-Release Drug Delivery Systems. In : Remington’s Pharmaceutichal Science. Gennaro, A.R., (Editor). 18th edition.

Pensylvania : Mack Publishing Company. Halaman 459, 589-593.

Martin, A., Swarbrick James, Cammarata Arthur. (1993). Dasar-dasar Farmasi Fisik dalam Ilmu Farmasetik. Alih bahasa: Yoshita. Edisi ketiga. Jakarta : UI Press. Halaman 924-95.

Moffat, J. (1986). Clarke’s Isolasition and Identification of Drug. Edisi kedua. London: The Pharmaceutical Press. Halaman 677.

Mycek, M.J., Harvey R.A., Champe P.C. (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar. Alih Bahasa Prof. Dr. H. Azwar Agoes. Edisi kedua. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Halaman 412.

Price, A, S., dan Wilson, L.M. (1994). Patofisiologi. Edisi keempat. Jakarta: Penerbit Buku Kedoktekteran EGC. Halaman 372-380.


(78)

Ralwins, E.A. (2002). Bentley’s Texbook of Pharmaceutcs”, Edisi kedelapan, Brighton Polytecnic : Formerly Head of the Cepartment of Pharmacy. Halaman 192-194, 310-314.

Rindit Pambayun. (2002). “ Nata De Coco”, Kanisius, cetakan 1. Jakarta. Halaman 11-14.

Shannon, M.T., Wilson, B.A., dan Stang, C.L. (2000). Drug Gide. Applenton and Labge Stanford Connecticut. Halaman 699-710.

Shargel. L. dan Andrew. (1991). Appled Biopharmaceutics and Pharmacokinetics. Edisi keempat. New York : Medical Publishing Divison. P. 129-145. Warisno. (2004). “ Mudah dan Praktis Membuat Nata De Coco”, Cetakan 1. Jakarta,

Agromedia Pustaka. Halaman 1-2 dan 13-14.

Wilmana, PF. (1995). Analgesik-Antipiretik Anti-Inflamasi Nonsteroid dan Obat Pirai. Farmakologi dan Terapi. Edisi keempat. Jakarta: Bagian Farmakologi fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Halaman 209, 210 dan 219.


(79)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Data analisa statistika untuk mengetahui laju disolusi Ibuprofen dari formula I, II, III, IV dalam Medium I (pH 1,2)

1). Anova (Analysis of Variance)

Waktu formula formula formula formula

(menit) I II III IV

∑X ∑X²

5 11,953 10,546 10,346 5,859 38,704 1497,999

15 14,296 11,953 11,453 9,608 47,310 2238,236

30 18,046 15,171 13,359 11,608 52,184 2723,169

60 19,921 17,578 14,765 13,359 65,623 4306,378

90 22,265 19,452 16,171 14,765 72,653 5278,458

120 30,234 20,858 19,452 16,171 86,715 7519,491

150 32,577 22,265 20,858 18,046 93,746 88788,,312

180 33,984 23,671 22,265 19,452 99,372 9874,794

240 37,265 25,546 24,609 20,858 108,278 11724,125

300 40,077 27,890 26,015 21,796 115,778 13404,545

360 44,295 35,390 28,359 24,609 132,653 17596,818

420 47,577 38,202 31,171 26,015 142,965 20438,991

480 54,426 46,640 36,796 27,421 165,283 27318,470

Total 404,916 315,162 275,619 229,567 1221,264 132757,346 ( Total )² 163956,9617 99327,086 75965,833 52701,007 1491485,758

Rata-Rata 31,147 24,243 21,201 17,659


(80)

Hipotesa: 0: 1= 2= 3= 4 ( tidak terdapat perbedaan yang signifikan laju disolusi ibuprofen antara formula dengan membran nata decoco yang berbeda dalam medium PH 1,2 ) H1: 1 F 2 F 3 F 4 (terdapat perbedaan yang signifikan laju disolusi

ibuprofen antara formula dengan berat membran nata decoco yang berbeda dalam medium PH 1,2 )

Tingkat kepercayaan 95% dengan α = 0,05; N =52: n = 13 F tabel = 2,79

SS Total = ∑x2 - (∑x)2 N

= 132709,786 - = 104027,3676

1491485,758 52

SS antara formula = + + + - (∑x1)2 n1

(∑x2)2 n2

(∑x3)2 n3

(∑x4)2 n4

(∑x)2 N

= 163956,9671 + 99327,0862 + 75965,8331 + 52701,007 - 49148,5758 13 13 13 13 52 = 15930,825

SS antar menit = ss total – ss antar formula = 104027,3676 – 15930,825 = 88096,543


(1)

Lampiran 23.Pembuatan Kurva kalibrasi Ibuprofen dalam cairan lambung buatan ( medium pH 1,2 )


(2)

Lampiran 24.Kurva serapan dan point pick pada cairan lambung buatan ( medium pH 1,2 )


(3)

Lampiran 25. Gambar Kurva kalibrasi uji disolusi dan hasil korelasi dalam medium I ( pH 1,2 )


(4)

Lampiran 26. Pembuatan kurva kalibrasi pada cairan usus buatan ( pH 7,4 )


(5)

Lampiran 27. Kurva serapan dan point pick pada cairan usus buatan ( pH 7,4 )


(6)

89