Terapi Sulih Hormon Pada Osteoporosis

TERAPI SULIH HORMON
PADA OSTEOPOROSIS

Oleh :
DINA APRILLIA ARIESTINE

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN
2010

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1
DEFINISI OSTEOPOROSIS ................................................................................... 1
EPIDEMIOLOGI OSTEOPOROSIS ...................................................................... 2
FAKTOR RISIKO OSTEOPOROSIS ..................................................................... 2
KLASIFIKASI OSTEOPOROSIS ........................................................................... 3

PERAN ESTROGEN PADA TULANG .................................................................. 4
DIAGNOSIS OSTEOPOROSIS ............................................................................... 5
TERAPI SULIH HORMON PADA OSTEOPOROSIS ......................................... 6
TERAPI SULIH HORMON PADA MASA SEKARANG ..................................... 9
KESIMPULAN .......................................................................................................... 10
KEPUSTAKAAN ....................................................................................................... 11

Universitas Sumatera Utara

TERAPI SULIH HORMON PADA OSTEOPOROSIS
Dina Aprillia Ariestine

PENDAHULUAN

Hormone replacement therapy (terapi sulih hormon) umum digunakan pada wanita
pasca menopause beberapa tahun yang lalu. Studi observasional menunjukkan bahwa terapi
sulih hormon dapat memperbaiki gejala menopause dan memiliki efek positif terhadap
osteoporosis, fungsi kardiovaskular dan penyakit Alzheimer.1
47 juta wanita diperkirakan akan mengalami menopause setiap tahunnya pada tahun
2030. Kehilangan estrogen di sirkulasi yang muncul pada saat transisi menopause akan

bermanifestasi pada berbagai macam gejala seperti hot flushes, keringat malam dan atrofi
vagina. Kira-kira 75-80% wanita mengalami gejala menopause, hampir setengah daripadanya
mengalami gejala yang tidak mengganggu, di mana 20-30% mengalami gejala yang lebih
berat.2
Penurunan kadar estrogen endogen setelah menopause mengakibatkan percepatan
resorpsi sel osteoklas, yang berhubungan dengan penurunan densitas mineral tulang,
munculnya osteoporosis dan peningkatan risiko fraktur osteoporotik termasuk di leher tulang
femur dan vertebra.3
Dengan meningkatnya usia harapan hidup, maka penyakit degeneratif dan metabolik,
termasuk osteoporosis akan menjadi problem muskuloskeletal yang memerlukan perhatian
khusus, terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Pada survei
kependudukan tahun 1990, ternyata jumlah penduduk yang berusia 55 tahun atau lebih
mencapai 9,2%, meningkat 50% dibandingkan survei tahun 1971. Dengan demikian, kasus
osteoporosis dengan berbagai akibatnya, terutama fraktur diperkirakan akan meningkat.4
Penatalaksanaan osteoporosis secara farmakoterapi dapat dibagi menjadi 2 cara, yaitu
dengan pemberian obat yang menghambat kerja osteoklas (anti resorptif) dan dengan obat
yang meningkatkan kerja osteoblas (stimulator tulang). Yang termasuk golongan obat anti
resorptif adalah estrogen, selective estrogen receptor modulators (SERMs), bifosfonat dan
kalsitonin. Sedangkan yang termasuk golongan stimulator tulang adalah natrium fluorida,
hormon paratiroid (PTH) dan lain sebagainya.4,5,6


1

Universitas Sumatera Utara

DEFINISI OSTEPOROSIS

Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas
massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan
1
mudah patah. WHO mendefinisikan osteoporosis adalah densitas mineral tulang (skor T) 2,5
SD di bawah nilai tertinggi rata-rata pada orang dewasa muda.4,6,7,8
Ada 4 kategori berdasarkan perbandingan densitas mineral tulang pasien dengan nilai
referensi orang dewasa muda, yaitu:4,6,9
-

Normal

: densitas mineral tulang T > -1,0


-

Osteopenia

: densitas mineral tulang -2,5 < T < -1,0

-

Osteoporosis

: densitas mineral tulang T < -2,5

-

Osteoporosis berat

: densitas mineral tulang T < -2,5 dengan fraktur

Osteoporosis dialami pada wanita dalam 15 tahun pertama setelah menopause dan
ditandai dengan kehilangan tulang trabekular. Dengan meningkatnya harapan hidup, 30%

wanita pasca menopause mengalami osteoporosis, yang sekarang telah menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang utama.10

EPIDEMIOLOGI OSTEOPOROSIS

Kira-kira 30 juta wanita pasca menopause di Amerika Serikat menderita osteopenia
atau osteoporosis. Kebanyakan terjadi pada wanita kulit putih. Pada penelitian epidemiologi
NHANES III pada wanita berusia di atas 50 tahun, diperkirakan kejadian osteopenia dan
osteoporosis terjadi pada 41% dan 17% wanita kulit putih, 28% dan 8% wanita kulit hitam
dan 37% dan 12% wanita Meksikan.9

FAKTOR RISIKO OSTEOPOROSIS

Ada sejumlah faktor risiko osteoporosis yang dapat dilihat pada tabel di bawah.
National Osteoporosis Foundation menyimpulkan bahwa beberapa faktor berguna untuk
mengidentifikasi wanita yang berisiko mengalami fraktur: berat badan rendah (< 58 kg),
merokok, keturunan dengan fraktur trauma ringan dan pernah mengalami fraktur trauma
ringan.8
2


Universitas Sumatera Utara

Tabel 1. Faktor risiko osteoporosis pada wanita
pasca menopause

Faktor hormonal juga berperan pada pertumbuhan tulang, termasuk hormon seks
gonadal dan androgen adrenal (dehidroepiandrosteron dan androstenedion). Aspek hormonal
lain yang berperan pada peningkatan massa tulang adalah IGF-1, 1,25(OH) 2 D, reabsorbsi
fosfat anorganik di tubulus dan peningkatan fosfat serum. Faktor hormonal yang
berhubungan dengan kehilangan massa tulang adalah hiperkortisolisme, hipertiroidisme dan
hiperparatiroidisme.4

KLASIFIKASI OSTEOPOROSIS
Osteoporosis dibagi 2 kelompok, yaitu osteoporosis primer (involusional) dan
osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak diketahui
penyebabnya, sedangkan osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang diketahui
penyebabnya.4,6,9
Kemudian pada tahun 1983, Riggs dan Melton membagi osteoporosis primer atas
osteoporosis tipe I dan tipe II. Osteoporosis tipe I, disebut juga osteoporosis pasca
menopause, disebabkan oleh defisiensi estrogen akibat menopause. Osteoporosis tipe II,

disebut juga osteoporosis senilis, disebabkan oleh gangguan absorpsi kalsium di usus
3

Universitas Sumatera Utara

sehingga menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder yang mengakibatkan osteoporosis.
Belakangan konsep itu berubah, karena ternyata peran estrogen juga menonjol pada
osteoporosis tipe II. Selain itu pemberian kalsium dan vitamin D pada osteoporosis tipe II
juga tidak memberikan hasil yang adekuat. Akhirnya pada tahun 1990-an, Riggs dan Melton
memperbaiki hipotesisnya dan mengemukakan bahwa estrogen menjadi faktor yang sangat
berperan pada timbulnya osteoporosis primer, baik pasca menopause maupun senilis.4

PERAN ESTROGEN PADA TULANG
Pada tahun 1940-an, Albright mengemukakan pentingnya estrogen pada patogenesis
osteoporosis.
Estrogen manusia dapat dibagi 3 kelompok, yaitu estron (E 1 ), 17β-estradiol (E 2 ),
estriol (E 3 ). Selain itu juga terdapat jenis-jenis estrogen lain, seperti estrogen dari tumbuhtumbuhan (fitoestrogen), estrogen sintetik (misalnya etinilestradiol, dietilstilbestrol, klomifen
sitrat), xenobiotik (DDT, bifenol, dan lain-lain). Saat ini terdapat struktur lain yang dikenal
sebagai anti-estrogen, tetapi pada organ nonreproduktif bersifat estrogenik; struktur ini
disebut selective estrogen receptor modulators (SERMs).

Estrogen yang terutama dihasilkan oleh ovarium adalah estradiol. Estron juga
dihasilkan tubuh manusia, tetapi terutama berasal dari luar ovarium, yaitu konversi
androstenedion pada jaringan perifer. Estriol merupakan estrogen yang terutama didapatkan
di dalam urin, berasal dari hidroksilasi-16 estron dan estradiol. Estrogen berperan pada
pertumbuhan tanda seks sekunder wanita dan menyebabkan pertumbuhan uterus, penebalan
mukosa vagina, penipisan mukus serviks dan pertumbuhan saluran-saluran pada payudara.
Selain itu estrogen juga mempengaruhi propil lipid dan endotel pembuluh darah, hati, tulang,
susunan saraf pusat, sistem imun, sistem kardiovaskular dan sistem gastrointestinal.
Saat ini telah ditemukan 2 macam reseptor estrogen (ER), yaitu reseptor estrogen-α
(ERα) dan reseptor estrogen-β (ERβ). ERα dikode oleh gen yang terletak di kromosom 6 dan
terdiri dari 595 asam amino, sedangkan ERβ, dikode oleh gen yang terletak di kromosom 14
dan terdiri dari 530 asam amino. Sampai saat ini, fungsi ERβ belum diketahui secara pasti.
Selain itu, distribusi kedua reseptor ini bervariasi pada berbagai jaringan, misalnya di otak,
ovarium, uterus dan prostat. Reseptor estrogen juga diekspresikan oleh berbagai sel tulang,
termasuk osteoblas, osteosit, osteoklas dan kondrosit. Ekspresi ERα dan ERβ meningkat
bersamaan dengan diferensiasi dan maturasi osteoblas. Laki-laki dengan osteoporosis
idiopatik mengekspresikan mRNA ERα yang rendah pada osteoblas maupun osteosit. Delesi
4

Universitas Sumatera Utara


ERα pada tikus jantan dan betina menyebabkan penurunan densitas tulang, sedangkan
perusakan gen ERβ pada wanita ternyata meningkatkan bone mineral content (BMC) tulang
kortikal walaupun pada tikus tidak memberikan perubahan pada tulang kortikal maupun
trabekular. Delesi gen ERα dan ERβ juga menurunkan kadar IGF-1 serum.
Estrogen merupakan regulator pertumbuhan dan homeostasis tulang yang penting.
Estrogen memiliki efek langsung dan tak langsung pada tulang. Efek tak langsung meliputi
estrogen terhadap tulang berhubungan dengan homeostasis kalsium yang meliputi regulasi
absorpsi kalsium di usus, modulasi 1,25(OH) 2 D, ekskresi kalsium di ginjal dan sekresi PTH.
Terhadap sel-sel tulang, estrogen memiliki beberapa efek, seperti tertera pada tabel.
Efek-efek ini akan meningkatkan formasi tulang dan menghambat resorpsi tulang oleh
osteoklas.4
Tabel 2. Efek estrogen terhadap berbagai sel tulang
Osteoblas

Osteosit

Osteoklas

Kondrosit


↑ proliferasi osteoblas

↓ apoptosis osteosit

↑ c-fos, c-jun, TGF-β



↑ sintesis DNA

↑ ekspresi ERα

↓ TRAP, cathepsin B, D

kondral selama pubertas

↑ alkali fosfatase

↑ apoptosis osteoklas


Mempercepat penutupan

↓ kolagen tipe I

↓ formasi osteoklas

lempeng epifisis

pertumbuhan

endo-

↑ mineralisasi tulang
↑ sintesis IGF-1
↑ sintesis TGF-β
↑ sintesis BMP-6
↓ sintesis TNF-α
↑ sintesis OPG
↓ aksi PTH
↑ ekspresi ERα
↓ apoptosis osteoblas

DIAGNOSIS OSTEOPOROSIS

Banyak pasien osteoporosis tanpa gejala sampai mereka mengalami fraktur.
Anamnesa dan pemeriksaan fisik tidak cukup sensitif untuk menentukan diagnosis
osteoporosis tanpa pemeriksaan penunjang. Sekali pasien didiagnosa dengan osteoporosis,
anamnesa harus difokuskan untuk menilai faktor risiko yang dapat dimodifikasi, kondisi
kesehatan yang berhubungan dengan osteoporosis sekunder dan factor risiko untuk jatuh.9
5

Universitas Sumatera Utara

Di bawah ini merupakan tabel cara pengukuran massa tulang dan penanda biokimia
bone turnover.8
Tabel 3. Teknik pengukuran massa tulang non invasif

Tabel 4. Penanda biokimia dari bone turnover

TERAPI SULIH HORMON PADA OSTEOPOROSIS

Proses resorpsi oleh osteoklas dan formasi oleh osteoblas dipengaruhi oleh banyak
faktor, seperti faktor humeral (sitokin, prostaglandin, faktor pertumbuhan, dan lain-lain), dan
faktor sistemik (kalsitonin, estrogen, kortikosteroid, tiroksin, dan lain-lain). Sitokin yang
6

Universitas Sumatera Utara

meningkatkan kerja osteoklas adalah granulocyte-macrophage colony-stimulating factors
(GM-CSF), macrophage colony-stimulating factors (M-CSF), tumour necrosis factor-α
(TNF-α), interleukin-1 (IL-1) dan interleukin-6 (IL-6). Sedangkan faktor lokal yang
meningkatkan kerja osteoklas adalah IL-4 dan transforming growth factor-β (TGF-β).
Secara pasti, tidak diketahui bagaimana mekanisme anti resorptif estrogen terhadap
tulang, walaupun demikian diduga ada 2 mekanisme yaitu mekanisme langsung dan tidak
langsung.
Reseptor estrogen ditemukan baik pada osteoblas normal maupun pada populasi
osteoblast-like osteosarcoma cell. Reseptor pada sel-sel tersebut relatif dalam konsentrasi
yang rendah bila dibandingkan dengan reseptor pada sel target estrogen yang lain. Pada
penelitian in vitro, ternyata 17β-estradiol akan meningkatkan mRNA pada sel osteoblas yang
bertanggung jawab pada sintesis rantai a1 prokolagen tipe I. Selain itu 17β-estradiol juga
akan meningkatkan mRNA insulin-like growth factor-1 (IGF-1) dan PTH yang dirangsang
oleh aktifitas adenilat siklase.
IL-1 dan TNF merupakan sitokin yang akan meningkatkan stimulasi osteoblas untuk
pertumbuhan dan pematangan osteoklas dari prekursornya di sumsum tulang. Selain itu,
kedua sitokin tersebut juga akan meningkatkan pelepasan mediator-mediator lain yang juga
berperan untuk pematangan osteoklas, seperti IL-6, M-CSF dan GM-CSF. Pada penelitian,
dapat dibuktikan bahwa estradiol dapat menghambat pelepasan TNF oleh monosit dan wanita
yang telah mengalami ooforektomi menunjukkan peningkatan konsentrasi IL-1 sampai IL-6.
Selain itu estrogen juga akan menghambat produksi IL-6 baik oleh osteoklas maupun
sumsum tulang. Pada penelitian biopsi tulang, didapatkan bahwa kadar mRNA yang
mengkoding IL-1α, IL-1β, TNF-α dan IL-6 pada wanita yang menggunakan terapi sulih
hormon ternyata lebih rendah dibandingkan pada spesimen tanpa terapi sulih hormon.
Penelitian lain menunjukkan bahwa konsentrasi estrogen yang normal akan menekan
pelepasan IL-1 oleh monosit darah perifer.
Faktor lokal lain adalah prostaglandin, terutama PGE 2 yang pada kadar rendah akan
merangsang formasi tulang sedangkan pada kadar tinggi akan merangsang resorpsi tulang
melalui osteoblas. Efek estrogen terhadap prostaglandin tidak diketahui secara jelas, tetapi
pada kultur jaringan tulang yang diambil dari tikus yang diooforektomi, ternyata estrogen
dapat menghambat pelepasan prostaglandin.
Efek terapi sulih hormon terhadap produksi kalsitonin in vivo masih kontroversial,
sementara pada penelitian in vitro didapatkan bahwa 17β-estradiol ternyata dapat merangsang
7

Universitas Sumatera Utara

sel C-tiroid untuk meningkatkan produksi kalsitonin.
Absorpsi estrogen sangat baik melalui kulit, mukosa (misalnya vagina) dan saluran
cerna. Pemberian estradiol transdermal akan mencapai kadar yang adekuat di dalam darah
pada dosis 1/20 dosis oral. Estrogen oral akan mengalami metabolisme terutama di hati.
Estrogen yang beredar di dalam tubuh sebagian besar akan terikat dengan sex hormonebinding globulin (SHBG) dan albumin, hanya sebagian kecil yang tidak terikat, tapi justru
fraksi inilah yang aktif. Estrogen akan diekskresi lewat saluran empedu, kemudian
direabsorpsi kembali di usus halus (sirkulasi enterohepatik). Pada fase ini, estrogen akan
dimetabolisme menjadi bentuk yang tidak aktif dan dieksresikan lewat ginjal. Merokok
ternyata dapat menurunkan aktifitas estrogen secara bermakna. Efek samping estrogen
meliputi

nyeri

payudara

(mastalgia),

retensi

cairan,

peningkatan

berat

badan,

tromboembolisme dan pada pemakaian jangka panjang akan meningkatkan risiko kanker
payudara.
Beberapa preparat estrogen yang dapat dipakai dengan dosis untuk anti resorptifnya
antara lain:
-

Estrogen terkonyugasi 0,625 mg/hari

-

17β-estradiol oral 1-2 mg/hari

-

17β-estradiol transdermal 50 μg/hari

-

17β-estradiol perkutan 1,5 mg/hari

-

17β-estradiol subkutan 25-50 mg setiap 6 bulan
Kontraindikasi absolut penggunaan estrogen adalah kanker payudara, kanker

endometrium, hiperplasia endometrium, kehamilan, perdarahan uterus disfungsional,
hipertensi yang sulit dikontrol, penyakit tromboembolik, karsinoma ovarium dan penyakit
hati yang berat. Sedangkan kontraindikasi relatif termasuk infark miokard, strok,
hiperlipidemia familial, riwayat kanker payudara dalam keluarga, obesitas, perokok,
endometriosis, melanoma maligna, migrain berat, diabetes melitus yang tidak terkontrol dan
penyakit ginjal.
Kombinasi estrogen dan progesteron akan menurunkan kanker endometrium dan
harus diberikan pada setiap wanita yang mendapatkan HRT, kecuali yang telah menjalani
histerektomi. Kombinasi ini dapat diberikan secara kontinu maupun siklik. Pemberian
kontinu akan menghindari perdarahan bulanan. Tibolon merupakan steroid sintetik yang
dapat mengontrol gejala sindrom defisiensi estrogen, termasuk osteoporosis, tetapi tidak
menyebabkan perdarahan uterus.4
8

Universitas Sumatera Utara

TERAPI SULIH HORMON PADA MASA SEKARANG

Pada tahun 2002, penelitian Women’s Health Initiative (WHI) mengenai terapi sulih
hormon dengan estrogen dan progestin dihentikan sebelum waktunya karena adanya
peningkatan risiko kanker payudara, stroke dan penyakit arteri koroner. Penelitian WHI yang
lain tentang terapi sulih hormon dengan estrogen saja juga dihentikan karena kurangnya
proteksi terhadap kardiovaskular. Guay dkk (2007) menunjukkan bahwa tren penggunaan,
karakteristik wanita pemakai dan dosis estrogen terapi sulih hormon menurun setelah
publikasi penelitian WHI.1
Terapi sulih hormon pasca menopause yang terbaru meminimalkan penggunaan
estrogen dan progestin dengan membatasi durasi terapi dan menggunakan dosis efektif
terendah. Ada bukti yang menunjukkan bahwa estradiol micronized dosis rendah (0,25
mg/hari) dan 17β-estradiol (E 2 ) transdermal dosis mikro (0,014 mg/hari) secara efektif dapat
melawan proses akselerasi proses resorpsi tulang pada wanita pasca menopause. Penelitian
Schaefers dkk (2009) menunjukkan bahwa E 2 transdermal dosis mikro dapat mencegah
osteoporosis pada tulang belakang bagian lumbal pada lebih > 75% wanita osteopenia pasca
menopause serta dapat meningkatkan densitas mineral tulang.3
Namun, penelitian Corrao dkk (2007) menyatakan bahwa terapi sulih hormon
sebaiknya dilanjutkan untuk periode yang lama untuk mendapatkan proteksi optimal dari
fraktur. Potensi terapi sulih hormon untuk mengurangi fraktur kelihatannya menghilang
setelah beberapa bulan tidak diterapi dan terutama pada wanita yang memulai terapi pada
usia yang lebih tua.11
Meskipun ada bukti bahwa estrogen oral dapat mengaktivasi koagulasi darah pada
wanita pasca menopause, terapi sulih hormon sampai tahun 1996 dipercayai mempunyai efek
minimal pada risiko tromboemboli vena. Penelitian meta analisis Canonico dkk (2008)
menemukan bahwa estrogen oral dapat meningkatkan risiko tromboemboli vena pada tahun
pertama terapi. Sebaliknya, ada sedikit peningkatan risiko kejadian stroke dan kanker
payudara. Menurunkan risiko tromboemboli vena dengan menggunakan estrogen transdermal
dapat menambah keuntungan dan profil risiko terapi sulih hormon, terutama pada wanita
dengan risiko tinggi tromboemboli vena, misalnya pada wanita dengan mutasi protrombotik
atau obesitas.12

9

Universitas Sumatera Utara

KESIMPULAN

Sejumlah penelitian telah memunculkan isu penting mengenai terapi sulih hormon,
seperti perlunya pertimbangan manfaat apa yang didapat dibandingkan dengan risiko
potensial yang mungkin terjadi. Sebelum diterapi dengan terapi sulih hormon, indikasi,
keseimbangan manfaat dan risiko, informasi yang diberikan pada pasien, serta penerimaan
pasien terhadap terapi harus dinilai.
Meskipun terapi sulih hormon sekarang tidak direkomendasikan sebagai terapi lini
pertama untuk mencegah osteoporosis, namun terbukti efektif untuk pencegahan primer
osteoporosis pasca menopause.

10

Universitas Sumatera Utara

KEPUSTAKAAN
1. Guay MP, Dragomir A, Pilon D, et al. Changes in pattern of use, clinical
characteristics and persistence rate of hormone replacement therapy among
postmenopausal women after the WHI publication. Pharmacoepidemiology and Drug
Safety 2007; 16:17-27.
2. Palacios S. Advances in hormone replacement therapy: making the menopause
manageable. BMC Women’s Health 2008; 8:22.
3. Schaefers M, Muysers C, Alexandersen P, et al. Effect of microdose transdermal 17βestradiol compared with raloxifene in the prevention of bone loss in healthy
postmenopausal women: a 2-year, randomized, double blind trial. Menopause: The
Journal of The North American Menopause Society 2009; 16 (3):559-65.
4. Setiyohadi B. Osteoporosis. Dalam: Sudoyo AW dkk, editor. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2006. hal. 1259-74.
5. Golden BD. The Prevention and Treatment of Osteoporosis. Arthritis Care and
Research 1998; 11 (2):124-34.
6. Shoback D, Sellmeyer D, Bikle DD. Osteoporosis. In: Gardner DG, Shoback D,
editors. Greenspan’s Basic and Clinical Endocrinology, 8th ed. USA: McGraw-Hill;
2007. p. 320-9.
7. Delmas PD. Hormone Replacement Therapy in the Prevention and Treatment of
Osteoporosis. Osteoporosis Int Suppl. 1997; 1:S3-S7.
8. Eastell R. Treatment of Postmenopausal Osteoporosis. The New England Journal of
Medicine 1998; 338 (11): 736-46.
9. Goldfeder JS. Osteporosis. In: Henderson KE et al., editors. The Washington Manual
Endocrinology Subspecialty Consult. USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p.
138-54.
10. Tiras MB, Noyan V, Yidiz A, et al. Effects of alendronate and hormone replacement
therapy, alone or in combination, on bone mass in postmenopausal women with
osteoporosis: a prospective, randomized study. Human Reproduction 2000; 15
(10):2087-92.
11. Corrao G, Zambon A, Nicotra F, et al. Issues concerning the use of hormone
replacement therapy and risk of fracture: a population-based, nested case-control
study. British Journal of Clinical Pharmacology 2007; 65 (1):123-29.
11

Universitas Sumatera Utara

12. Canonico M, Plu-Bureau G, Lowe GD, et al. Hormone replacement therapy and risk
of venous thromboembolism in postmenopausal women: systematic review and metaanalysis. BMJ Online First 2008:1-9.

12

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara