Perbandingan Efektivitas Methylen Blue, Dextran 70 dan Oxidized Regenerated Cellulose dalam Pencegahan Adhesi Intraperitoneal Pascaoperasi Laparotomi dengan Abrasi Ileum Terminal Pada Hewan Percobaan Kelinci.

(1)

Karya Tulis Tugas Akhir

Program Pendidikan Dokter Spesialis Bedah Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera utara

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS METHYLEN BLUE, DEXTRAN 70 DAN OXIDIZED REGENERATED CELLULOSE DALAM PENCEGAHAN ADHESI INTRAPERITONEAL PASCAOPERASI LAPAROTOMI DENGAN

ABRASI ILEUM TERMINAL PADA HEWAN PERCOBAAN KELINCI

Oleh :

DR EDDY AHMAD SYAHPUTRA 

Pembimbing :

D A

R

.

  SRUL  P

S .KB

B

D

 

P

ROF

.

 DR

.

 

B

ACHTIAR 

S

URYA 

S

P

B.KBD

 

Devisi Bedah Digestive

Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

Medan

2010


(2)

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan

Mencapai Keahlian Dalam Bidang Ilmu Bedah Pada

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

PERBANDINGAN

 

EFEKTIVITAS

 

METHYLEN

 

BLUE,

 

DEXTRAN

 

70

 

DAN

 

OXIDIZED

 

REGENERATED

 

CELLULOSE

  

DALAM

 

PENCEGAHAN

 

ADHESI

 

INTRAPERITONEAL

 

PASCALAPAROTOMI

 

DENGA

N

 

ABRASI

 

ILEUM

 

T

ERMINAL

  

PADA

 

HEWAN

 

PERCOBAAN

 

KELINC

 

 

  

Peneliti 

     

Eddy Ahmad Syahputra 

Disetujui Oleh :

Pembimbing 

     

      Dr. Asrul. SpB.KBD              Prof.Dr. Bachtiar Surya SpB.KBD 

     

       Diketahui oleh : 

      Kabag Ilmu Bedah  FK USU/       Ketua  Program  Studi PPDS       RSUP H. Adam Malik Medan      Bagian Ilmu Bedah FK USU     

       

Prof. Dr. Bachtiar Surya, SpB (K) BD      Dr. Emir  Taris Pasaribu. SpB,(K)Onk  NIP :140 068 960      NIP: 195203041980021001 


(3)

KATA

 

PENGANTAR 

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis haturkan Kehadirat ALLAH SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis berkesempatan mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Bedah di Departement Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, serta dapat men-yelesaikan tesis ini dengan judul Perbandingan Efektivitas Methylen Blue, Dextran 70 dan Oxidized Regenerated Cellulose dalam Pencegahan Adhesi Intraperitoneal Pascaoperasi Laparotomi dengan Abrasi Ileum Terminal Pada Hewan Percobaan Kelinci.

Selama penyelesaian tesis ini penulis telah banyak mendapat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, baik moril maupun materil. Untuk itu penulis ingin menghaturkan penghargaan dan terima kasih yang tiada terhingga.

Rasa hormat dan terima kasih saya sampaikan kepada Prof. dr. Bachtiar Surya, SpB - KBD, dr. Asrul, SpB - KBD, Prof. Dr. Aznan Lelo, SpFK, PhD, dr. Sukimin, SpPA yang telah banyak membimbing, memberi saran dan dorongan dengan kesabaran selama penulis melaksanakan peneli-tian dan penyelesaian tesis ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada dr. Emir Taris Pasaribu, SpB(K)Onk, sebagai Ketua Program Studi Ilmu Bedah, Prof. dr. Bachtiar Surya SpB - KBD sebagai Ketua Departement Ilmu Bedah, dr. Asrul SpB - KBD sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Bedah dan dr. Erjan Fikri


(4)

Rasa hormat dan terima kasih penulis sampaikan kepada guru - guru saya : dr. Syahbuddin Harahap, SpB, dr. Liberty Sirait, SpB - KBD, dr. Budi Irwan, SpB - KBD, dr. Adi Muradi Muhar, SpB - KBD, Dr, dr. Humala Hutagalung, SpB (K) Onk, dr. Gerhard S.T. Panjaitan, SpB (K) Onk, dr. Riahsyah Damanik, SpB (K) Onk, dr. Kamal Basri, SpB (K) Onk, dr. Suyatno, SpB (K) Onk, Prof. dr. Hafas Hanafiah, SpB, SpOT(K), Prof dr. Nazar Moes-bar, SpB. SpOT(K), dr. Chairiandi Siregar, SpOT, dr. Nino Nasution, SpOT, dr. Otman Siregar, SpOT (K) Spine. dr. Husnul F Albar, SpOT, Alm. Prof. dr. Usul M.Sinaga , SpB,(K) Trauma, dr. Bungaran Sihombing SpU, dr. Syah Mirsyah Warli, SpU, Alm Prof. dr. Buchari Kasim, SpB, SpBP, dr. Eddy Sutrisno, SpBP, dr. Zailani, SpBP, dr. Asmui Yosodihardjo, SpB, SpBA, dr. Mahyono SpB, SpBA, dr. Igbal Pahlevi Nasution, SpBA, dr. Harry Soedjat-miko, SpB, TKV, dr. Marshal, SpB,TKV, dr. Dodi Prabisma Pohan, SpTKV, Prof. Dr. Adril Arsyad Hakim, SpS, SpBS(K), Prof. Dr. Abdul Gofar Sastrodiningrat, SpBS(K), Prof. Dr. Iskandar Jafardi, SpBS(K), dr. Ridha Dharmajaya SpBS, dr. Mahyu Dhanil SpBS, dr. Suzy Indharti SpBS, dr. Yunita Sari Pane.

Persembahan terima kasih tulus Penulis sampaikan kepada kedua orangtua tercinta H. Suparman AS, Hj. Yuslinar AS dan untuk anakku ter-sayang 'si ganteng' Muhammad Lutfhi Ikbar, si Kembar, Nur Atika Aina dan Nur Fadilla Aini yang sudah memberikan dorongan moral, doa dan selalu mengingatkan Penulis untuk dapat menjalani pendidikan sampai menye-lesaikan tesis ini dengan baik.


(5)

persembahkan padamu yang dengan penuh kesabaran dan pengertian, selalu mendoakan dan memberi dorongan moral, sehingga penulis dapat menjalani pendidikan dan akhirnya dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih memiliki kekurangan-kekurangan, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar tesis ini menjadi lebih baik.

Akhir kata Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu selama melakukan penelitian sampai tesis ini selesai ditulis.

Medan, Agustus 2010 Penulis,


(6)

 

DAFTAR

 

ISI 

   

KATA PENGANTAR ... I DAFTAR ISI... VI DAFTAR TABEL ... VIII DAFTAR DIAGRAM ... IX DAFTAR GAMBAR ... X ABSTRAK ... XI

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. LATAR BELAKANG... 1

1.2. PERUMUSAN MASALAH... 3

1.3, TUJUAN PENELITIAN... 3

1.4. HIPOTESA... 4

1.5. KONSTRIBUSI PENELITIAN... 4

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN ... 5

2.1 ANATOMI DAN FUNGSI PERITONEUM... 5

2.2 DEFENISI... 6

2.3 ETIOLOGI... 6

2.4 PATOFISIOLOGI PEMBENTUKAN ADHESI... 7

2.4.1 Respon Trauma Pada Peritoneum... 7

2.4.2 Mekanisme Terjadinya Adhesi... 9

2.5 DERAJAT ADHESI INTRAABDOMEN... 11

2.6 USAHA UNTUK PENCEGAHAN ADHESI INTRAPERITONEUM... 12

2.6.1 Pencegahan Deposisi dari Fibrin... 12

2.6.2 Menghilangkan Eksudat Fibrin dari Rongga Peritoneum... 12

2.6.3 Pencegahan Proliferasi Fibroblast... 13

2.6.4 Pemisahan Mekanik... 13

2.6.4.1 Methylen blue... 15

2.6.4.2 Dextran 70... 17

2.6.4.3 Oxidized Regenerated Cellulose... 18

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 20

3.1 RANCANGAN PENELITIAN :... 20

3.2 TEMPAT DAN WAKTU PELAKSANAAN PENELITIAN... 20

3.3 POPULASI DAN SAMPEL... 20

3.4 VARIABEL PENELITIAN... 21

3.4.1 Variabel Dependen :... 21


(7)

3.5 BAHAN DAN ALAT... 21

3.5.1 Bahan :... 21

3.5.2 Alat :... 22

3.6 CARA KERJA... 22

3.7 DEFINISI OPERASIONAL... 29

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 30

4.1 KEJADIAN ADHESI INTRAPERITONEUM... 33

4.2 JUMLAH ADHESI INTRA PERITONEUM... 36

4.3 VOLUME ADHESI... 38

4.4 DERAJAT VASKULERISASI ADHESI MENURUT HULKA MODIFIKASI... 43

BAB V DISKUSI ... 45

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 48

6.1 KESIMPULAN... 48

6.2 SARAN... 50

D L

 

AFTAR PUSTAKA... 50


(8)

DAFTAR

 

TABEL 

TABLE 1. GRADING OF ADHESI MENURUT ZUHIKE ET AL... 11 TABLE 2. DERAJAT VASKULERISASI ADHESI MENURUT HULKA MODIFIKASI

OMRAN DAN BERGER,1978. ... 11 TABLE 3. KLASSIFIKASI BAHAN PENCEGAH ADHESI :... 14 TABLE 4. FREKUENSI DAN PERSENTASE KEJADIAN ADHESI

INTRAPERITONEUM PADA SETIAP KELOMPOK PERLAKUAN... 34 TABLE 5. JUMLAH ADHESI INTRAPERITONEUM PADA SETIAP KELOMPOK

PERLAKUAN... 36 TABLE 6. DISTRIBUSI VULUME ADHESI YANG TERBENTUK PADA MASING

-MASING KELINCI, PADA MASING-MASING KELOMPOK PERLAKUAN... 39 TABLE 7. SKOR ADHESI ZUHIKE ET AL PADA MASING-MASING SAMPEL

DALAM KELOMPOK PERLAKUAN... 41 TABLE 8. DERAJAT VASKULERISASI MENURUT HULKA MODIFIKASI OMRAN

DAN BERGER PADA MASING-MASING SAMPEL DALAM SETIAP


(9)

DAFTAR

 

DIAGRAM 

DIAGRAM 1. PERSENTASE KEJADIAN ADHESI PADA MASING-MASING

KELOMPOK PERLAKUAN... 34 DIAGRAM 2.JUMLAH ADHESI YANG TERBENTUK PADA MASING MASING

SAMPEL DARI KELOMPOK PERLAKUAN... 37 DIAGRAM 3. FREKUENSI DERAJAT ADHESI ZUHIKE ET AL PADA

MASING-MASING KELOMPOK PERLAKUAN. ... 41 DIAGRAM 4. FREKUENSI DERAJAT VASKULERISASI MENURUT HULKA


(10)

DAFTAR

 

GAMBAR 

GAMBAR 1. MEKANISME UNTUK PEMBENTUKAN ADHESI. ( DARI

GUTMAN DAN DIAMOND) ... 11

GAMBAR 3. BAHAN DAN ALAT PENELITIAN... 22

GAMBAR 4. MASA ADAPTASI KELINCI... 23

GAMBAR 5. PENIMBANGAN KELINCI... 23

GAMBAR 6. PROSES PENCUKURAN DAN DESINFEKSI... 24

GAMBAR 7. PROSES INSISI, IDENTIFIKASI ILEOCECAL JUNCTION DAN ABRASI... 24

GAMBAR 8. PEMBERIAN METHYLEN BLUE DAN INTERCEED INTRAABDOMEN PASCA LAPAROTOMI... 25

GAMBAR 9. PROSES PENUTUPAN LUKA LAPAROTOMI... 25

GAMBAR 10.PERAWATAN KELINCI PASCA LAPAROTOMI... 26

GAMBAR 11.PROSES RELAPAROTOMI DAN PENILAIAN KEJADIAN ADHESI... 26

GAMBAR 12.PENGUKURAN VOLUME ADHESI : A TABUNG UKUR BERISI FORMALIN 2 CC, B & C TELAH TERISI SEDIAAN ADHESI... 27

GAMBAR 13.SKEMA PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI... 28

GAMBAR 14.HASIL PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI DENGAN PEMBESARAN 400X : TAMPAK GAMBARAN VASCULARISASI YANG BANYAK YANG DITUNJUKKAN PANAH... 29


(11)

 

ABSTRAK 

Adhesi intraperitoneal banyak menimbulkan komplikasi klinis seperti obstruksi usus, sakit perut dan panggul kronis, infertilitas, serta mempersulit pembedahan berikutnya, sehingga sangat mempengaruhi kualitas hidup. Salah satu upaya pencegahan terjadinya adhesi intraperi-toneal dengan penggunaan bahan topikal intraperiintraperi-toneal seperti, penghambat mediator inflamasi ( methylen blue ), barier mekanik cairan( dextran 70 ) dan membran barier mekanik oleh oxidized regenerated cellulose ( ORC). Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan perbedaan efektifitas anti-adhesi ketiga sediaan tersebut diatas.

Penelitian ini menggunakan 20 ekor kelinci percobaan, usia 4 – 6 bulan, dengan berat 500 - 1000 gram, yang dibagi atas 4 kelompok ma sing-masing kelompok berjumlah 5 ekor. Semua kelinci dilakukan laparo-tomi dan abrasi ileum terminal. Kelompok 1 ( kontrol ) tidak diberi apapun, kelopok 2 diberi methylen blue 1% 7 ml/Kgbb, kelompok 3 diberi 10 ml/Kgbb 6% dextran 70 , dan kelompok 4 diberi oxidized regenerated cel-lulose yang dilengketkan ke daerah abrasi. Lima belas hari pascalaparo-tomi dilakukan relaparopascalaparo-tomi untuk menilai kejadian adhesi.

Untuk membandingkan perbedaan diantara kelompok perlakuan digunakan “Kruskal-Wallis test” , sedangkan untuk membandingkan masing-masing kelompok perlakuan dengan kontrol digunakan “Mann– Whitney test “. Perbedaan dianggap bermakna bila p < 0,05.

Hasil penelitian menunjukkan terjadi adehesi pada semua kelom-pok dengan 10 kejadian adhesi ( 50% ). Kejadian adhesi tertinggi pada kelompok kontrol 4/5 ( 80% ) diikuti dextran 3/5 ( 60% ), ORC 2/5 ( 40% ), adhesi terkecil pada methylen blue 1/5 ( 20% ). “Kruskal Wallis test” dari 5 variabel ( angka kejadian, jumlah, volume, skor Zuhike et al, dan skor vas-kulerisasi adhesi Hulka modifikasi) menunjukkan mean ranking methylen blue paling kecil, diikuti ORC, dextran dan kontrol, dimana mean rangking terkecil memiliki anti-adhesi paling baik, sedangkan nilai p dari kelima variable p > 0,05 artinya tidak terdapat perbedaan bermakna dari ketiga sediaan. Ketika dibandingkan antara masing-masing kelompok perlakuan dengan kintrol dengan “Mann–Whitney test “ hasilnya terdapat perbedaan bermakan antara methylen blue dengan kontrol dengan p < 0,05, sedang-kan pada kelompok ORC dan dextran p > 0,05.

Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pemberian methylen blue 1% 7 ml/Kgbb intraperitoneal efektif mencegah adhesi pascalaparo-tomi. Sifat anti-adhesi Methylen blue lebih efektif dibandingkan ORC dan dextran.


(12)

ABSTRACT 

Intraperitoneal adhesions cause a lot of clinical complications such as intestinal obstruction, abdominal and chronic pelvic pain, infertility, and complicate subsequent surgery, so it affects the quality of life. One of the measures preventing intraperitoneal adhesions by intraperitoneal use of topical agents such as inhibitors of inflammatory mediators (methylen blue), the mechanical barrier fluid (dextran 70) and mechanical barrier membranes by oxidized regenerated cellulose (ORC). This research was conducted to prove the difference in the effectiveness of anti-adhesion compound were above the third.

This study used 20 male guinea pigs, aged 4-6 months weighing 500-1000 grams, which is divided into four groups each mas-ing groups of five rats. All the rabbits performed laparo-anatomy and abrasion terminal ileum. Group 1 (control) was not given any two given methylen kelopok blue 1% 7 ml / kg, group 3 was given 10 ml / kg 6% dextran 70, and group 4 were oxidized regenerated cellulose which dilengketkan to abrasion ar-eas. Fifteen days relaparotomi pascalaparotomi conducted to assess the incidence of adhesions.

To compare the differences between the treatment group used "Kruskal-Wallis test", while comparing each treatment with the control group used "Mann-Whitney test." Differences are considered significant if p <0.05.

Results showed that there was adehesi in all groups with 10 adhe-sion events (50%). The highest incidence of adheadhe-sions in the control group 4 / 5 (80%) followed by dextran 3 / 5 (60%), ORC two fifths (40%), the smallest adhesion on blue methylen fifth (20%). "Kruskal Wallis test" of the five variables (incidence, number, volume, et al Zuhike score, and score vaskulerisasi Hulka adhesion modification) showed a mean ranking of most small blue methylen, followed by the ORC, dextran and control, which has the smallest mean rank anti- best adhesion, whereas the p-value of the five variables p> 0.05 means no significant difference from the three preparations. When compared between each treatment group with kintrol by "Mann-Whitney test" results there are differences between me-thylen blue bermakan to controls with p <0.05, whereas in the group of ORC and dextran p> 0.05.

From the results of this study concluded that giving methylen blue 1% 7 ml / kg intraperitoneal pascalaparo effective in preventing adhesion-anatomy. Anti-adhesion properties are more effective than blue Methylen ORC and dextran.


(13)

 

ABSTRAK 

Adhesi intraperitoneal banyak menimbulkan komplikasi klinis seperti obstruksi usus, sakit perut dan panggul kronis, infertilitas, serta mempersulit pembedahan berikutnya, sehingga sangat mempengaruhi kualitas hidup. Salah satu upaya pencegahan terjadinya adhesi intraperi-toneal dengan penggunaan bahan topikal intraperiintraperi-toneal seperti, penghambat mediator inflamasi ( methylen blue ), barier mekanik cairan( dextran 70 ) dan membran barier mekanik oleh oxidized regenerated cellulose ( ORC). Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan perbedaan efektifitas anti-adhesi ketiga sediaan tersebut diatas.

Penelitian ini menggunakan 20 ekor kelinci percobaan, usia 4 – 6 bulan, dengan berat 500 - 1000 gram, yang dibagi atas 4 kelompok ma sing-masing kelompok berjumlah 5 ekor. Semua kelinci dilakukan laparo-tomi dan abrasi ileum terminal. Kelompok 1 ( kontrol ) tidak diberi apapun, kelopok 2 diberi methylen blue 1% 7 ml/Kgbb, kelompok 3 diberi 10 ml/Kgbb 6% dextran 70 , dan kelompok 4 diberi oxidized regenerated cel-lulose yang dilengketkan ke daerah abrasi. Lima belas hari pascalaparo-tomi dilakukan relaparopascalaparo-tomi untuk menilai kejadian adhesi.

Untuk membandingkan perbedaan diantara kelompok perlakuan digunakan “Kruskal-Wallis test” , sedangkan untuk membandingkan masing-masing kelompok perlakuan dengan kontrol digunakan “Mann– Whitney test “. Perbedaan dianggap bermakna bila p < 0,05.

Hasil penelitian menunjukkan terjadi adehesi pada semua kelom-pok dengan 10 kejadian adhesi ( 50% ). Kejadian adhesi tertinggi pada kelompok kontrol 4/5 ( 80% ) diikuti dextran 3/5 ( 60% ), ORC 2/5 ( 40% ), adhesi terkecil pada methylen blue 1/5 ( 20% ). “Kruskal Wallis test” dari 5 variabel ( angka kejadian, jumlah, volume, skor Zuhike et al, dan skor vas-kulerisasi adhesi Hulka modifikasi) menunjukkan mean ranking methylen blue paling kecil, diikuti ORC, dextran dan kontrol, dimana mean rangking terkecil memiliki anti-adhesi paling baik, sedangkan nilai p dari kelima variable p > 0,05 artinya tidak terdapat perbedaan bermakna dari ketiga sediaan. Ketika dibandingkan antara masing-masing kelompok perlakuan dengan kintrol dengan “Mann–Whitney test “ hasilnya terdapat perbedaan bermakan antara methylen blue dengan kontrol dengan p < 0,05, sedang-kan pada kelompok ORC dan dextran p > 0,05.

Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pemberian methylen blue 1% 7 ml/Kgbb intraperitoneal efektif mencegah adhesi pascalaparo-tomi. Sifat anti-adhesi Methylen blue lebih efektif dibandingkan ORC dan dextran.


(14)

ABSTRACT 

Intraperitoneal adhesions cause a lot of clinical complications such as intestinal obstruction, abdominal and chronic pelvic pain, infertility, and complicate subsequent surgery, so it affects the quality of life. One of the measures preventing intraperitoneal adhesions by intraperitoneal use of topical agents such as inhibitors of inflammatory mediators (methylen blue), the mechanical barrier fluid (dextran 70) and mechanical barrier membranes by oxidized regenerated cellulose (ORC). This research was conducted to prove the difference in the effectiveness of anti-adhesion compound were above the third.

This study used 20 male guinea pigs, aged 4-6 months weighing 500-1000 grams, which is divided into four groups each mas-ing groups of five rats. All the rabbits performed laparo-anatomy and abrasion terminal ileum. Group 1 (control) was not given any two given methylen kelopok blue 1% 7 ml / kg, group 3 was given 10 ml / kg 6% dextran 70, and group 4 were oxidized regenerated cellulose which dilengketkan to abrasion ar-eas. Fifteen days relaparotomi pascalaparotomi conducted to assess the incidence of adhesions.

To compare the differences between the treatment group used "Kruskal-Wallis test", while comparing each treatment with the control group used "Mann-Whitney test." Differences are considered significant if p <0.05.

Results showed that there was adehesi in all groups with 10 adhe-sion events (50%). The highest incidence of adheadhe-sions in the control group 4 / 5 (80%) followed by dextran 3 / 5 (60%), ORC two fifths (40%), the smallest adhesion on blue methylen fifth (20%). "Kruskal Wallis test" of the five variables (incidence, number, volume, et al Zuhike score, and score vaskulerisasi Hulka adhesion modification) showed a mean ranking of most small blue methylen, followed by the ORC, dextran and control, which has the smallest mean rank anti- best adhesion, whereas the p-value of the five variables p> 0.05 means no significant difference from the three preparations. When compared between each treatment group with kintrol by "Mann-Whitney test" results there are differences between me-thylen blue bermakan to controls with p <0.05, whereas in the group of ORC and dextran p> 0.05.

From the results of this study concluded that giving methylen blue 1% 7 ml / kg intraperitoneal pascalaparo effective in preventing adhesion-anatomy. Anti-adhesion properties are more effective than blue Methylen ORC and dextran.


(15)

BAB

 

PENDAHULUAN 

. .

L

ATAR 

B

ELAKANG

 

Pembedahan abdomen dapat menyebabkan perlekatan antara jar-ingan dan organ, perlekatan ini kita kenal sebagai adhesi. Pada pasien yang telah mengalami operasi intraabdomen satu kali atau lebih akan mengalami adhesi, yaitu (67-93%) terjadi pada pasien pascalaparotomi dan 97% pada pasien pascaoperasi pelvis ( Menzies dkk, 1990 & Diamond dkk, 1991 ) Adhesi pascaoperasi adalah konsekuensi yang diha-silkan ketika permukaan jaringan terluka akibat sayatan, kauterisasi, jahit an atau trauma lain, secara bersama membentuk jaringan parut. Perluas an adhesi yang halus akan terbentuk 72 jam sesudah laparotomi dan terli-hat antara 10 hari - 2 minggu, sejalan dengan waktu maka akan terliterli-hat semakin jelas dan terbentuk vaskulerisasi ( Menzies & Ellis 1990).

Sekarang diketahui bahwa pada pasien yang telah menjalani pem-bedahan abdomen setidaknya satu kali akan terbentuk 1 – 10 buah adhesi ( Luijendijk RW dkk 1996 ). Adhesi pascaoperasi sangat mempengaruhi kualitas hidup jutaan orang di seluruh dunia, menyebabkan obstruksi usus, mempersulit pembedahan berikutnya, sakit perut dan panggul kronis, dan infertilitas wanita. Lebih dari 20% adhesi menyebabkan obs truksi setelah 1 bulan laparotomi dan lebih dari 40% terjadi antara waktu 1 tahun, sedangkan 90% obstruksi usus dini ( 6 minggu pascalaparotomi )


(16)

Angka kejadian adhesi intraperitoneum tidak begitu berbeda antara pria dan wanita pada semua golongan umur. Namun problem adhesi pas-caoperasi meningkat dengan bertambahnya umur pasien dan kompleknya prosedur pembedahan ( Guvenal, dkk, 2001 )

Relaparotomi melalui luka operasi sebelumnya bisa menjadi sangat sulit, berisiko, dan mungkin berbahaya. Adhesiolisis juga, memperpanjang waktu operasi, waktu anestesi, dan waktu pemulihan serta menyebabkan risiko tambahan kepada pasien seperti; kehilangan darah, kerusakan vis-ceral termasuk cedera pada kandung kemih, enterocutaneous fistula, dan reseksi usus yang rusak. ( Scovill W 1995 & Mireille van Westreenen 1998 ).

Berbagai upaya telah dilakukan untuk pencegahan terjadinya ad-hesi intraperitoneal pascaoperasi laparotomi baik penggunaan obat yang bekerja sistemik, atau penggunaan bahan topikal intraperitoneal saat dilakukan tindakan laparotomi antara lain; penggunaan larutan pengham-bat mediator inflamasi seperti methylen blue, barier mekanik cairan dan penghambat lymposit dan makrofag yaitu dextran 70 dan membran barier mekanik oleh oxidized regenerated cellulose ( interceed ). Dalam hal ini peneliti memilih menggunakan bahan topikal yang di berikan kedalam rongga abdomen atau permukaan organ intraperitoneum saat akhir sebelum menutup luka laparotomi, karena peneliti adalah peserta Program Pendidikan Sepesiali Ilmu Bedah, yang kelak banyak melakukan tindakan laparotomi.


(17)

Methylen blue dan dextran 70 bahan yang mudah didapat, murah dan tidak toksik. Barier membran oksidatif seperti interceed adalah bahan yang efektif mencegah terjadinya adhesi intraperitoneal, namun barier ok-sidatif ini, hanya memberikan perlindungan atau pencegahan terbatas pada lokasi yang ditutupinya dan harganya mahal. Untuk itu peneliti ter-tarik meneliti sediaan manakah yang lebih efektif, murah, mudah didapat dan dapat diterapkan di institusi pendidikan ilmu bedah Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan, untuk pencegahan adhesi intraperitoneal pascaop-erasi laparotomi.

Adhesi intraperitoneal banyak menimbulkan komplikasi klinis dan sangat mempengaruhi kualitas hidup. Dalam hal ini mengundang per-hatian untuk dilakukan kajian mengenai upaya pencegahan adhesi intrap-eritoneal pascalaparotomi.

. . 

P

ERUMUSAN 

M

ASALAH

 

Sediaan manakah yang lebih efektif antara methylen blue, dextran70, dan oxidized regenerated cellulose dalam pencegahan adhesi intraperitoneal pascaoperasi laparotomi pada hewan percobaan kelinci.

. ,

T

UJUAN 

P

ENELITIAN

 

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah ada perbedaan efektivitas yang bermakna antara methylen blue, dextran 70 dan oxidized regenerated cellulose dalam pencegahan terjadinya adhesi intraperitoneal pada hewan percobaan kelinci


(18)

. .

H

IPOTESA

 

Tidak ada perbedaan bermakna antara methylen blue, dextran 70 dan oxidized regenerated cellulose dalam pencegahan terjadinya adhesi intraperitoneal pascaoperasi laparotomi pada hewan percobaan kelinci.

. .

K

ONSTRIBUSI 

P

ENELITIAN

 

Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran sediaan mana dari ketiga sediaan yang lebih efektif, murah, dan mudah untuk dilaksana-kan dalam pencegahan terjadinya adhesi intraperitoneal pascalaparotomi.


(19)

BAB II 

TINJAUAN KEPUSTAKAAN 

.

 

A

NATOMI DAN 

F

UNGSI 

P

ERITONEUM

Peritoneum merupakan selapis sel mesotelium komplek dengan membran basalis yang ditopang oleh jaringan ikat yang kaya akan pembu-luh darah. Peritoneum terdiri dari peritoneum parietal yang melapisi dinding bagian dalam rongga abdomen, diafragma dan organ retroperitoneum dan peritoneum visceral yang melapisi seluruh permukaan organ dalam abdomen. Luas total peritoneum lebih kurang 1,8 m2. Setengahnya ( ± 1 ) m2 berfungsi sebagai membran semipermeabel terhadap air, elektrolit dan makro serta mikro molekul, (Witmann & Walker, 1994).

Fungsi utama peritoneum adalah menjaga keutuhan atau integritas organ intraperitoneum. Normal terdapat 50 mL cairan bebas dalam rongga peritoneum, yang memelihara permukaan peritoneum tetap licin. Karakter-istik cairan peritoneum; berupa transudat, berat jenis 1,016, konsentrasi protein kurang dari 3 g/dl, leukosit kurang dari 3000/uL; mengandung komplemen mediator sebagai antibakterial dan aktivitas fibrinolisis. Sirku-lasi cairan peritoneum melalui kelenjar lymph dibawah permukaan dia-fragma dengan kecepatan pertukaran cairan ekstrasellular 500 ml perjam. Melalui stoma di mesothelium diafragma partikel-partikel termasuk bakteri dengan ukuran kurang dari 20 ųm dibersihkan, selanjutnya di alirkan


(20)

teru-tama ke dalam duktus thorasikus kanan.

Peritoneum parietal disarafi oleh saraf aferen somatik dan visceral yang cukup sensitif terutama pada peritoneum parietal bagian anterior, sedangkan pada bagian pelvis agak kurang sensitif. Peritoneum visceral disarafi oleh cabang aferen sistem otonom yang kurang sensitif. Saraf ini terutama memberikan respon terhadap tarikan dan distensi, tetapi kurang respon terhadap tekanan dan tidak dapat menyalurkan rasa nyeri dan temperatur (Witmann & Walker, 1994).

.

D

EFENISI

Adhesi intraperitoneal didefenisikan sebagai jaringan fibrosa yang menghubungkan antara dinding rongga abdomen bagian dalam dengan permukaan organ tubuh yang terdapat dalam rongga abdomen (saluran cerna, uterus, kantung kemih dan lainnya) atau antar sesama organ in-traabdomen dimana dalam keadaan normal jaringan tersebut tidak ada. Reformasi adhesi adalah terulangnya adhesi setelah adhesiolisis. “De novo adhesion” adalah adanya adhesi baru yang terbentuk di lokasi yang sebelumnya tidak memiliki adhesi. ( Diamond MP & Orhon E 1996)

.

E

TIOLOGI

 

Banyak faktor yang dapat menimbulkan adhesi pascalaparotomi, antara lain; infeksi intrabdominal (peritonitis, endometriosis, apendisitis akut, diverticulitis, penyakit crohn’s, cholecystitis, penyakit radang pelvis ( PID), abses intraabdomen dan abses hati ) ( Perry dkk, 1955; Dizerega 2000 ) trauma (abrasi atau tindakan operasi yang kasar ), cedera panas


(21)

(kauterisasi, paparan lampu operasi), iskemia (termasuk jahitan yang tegang, tebal dan kasar, kauterisasi, kekeringan serosa, devaskulerisasi ), paparan benda-benda asing (bubuk tepung dari sarung tangan, serat-serat jaringan, atau potongan benang ), dan Iain-lain (Badawy & Iskandar, 1974; Ellis, 1982)

.

P

ATOFISIOLOGI 

P

EMBENTUKAN 

A

DHESI

 

2.4.1 RESPON TRAUMA PADA PERITONEUM 

Trauma pada jaringan mesothelium peritoneum menimbulkan reaksi inflamasi sebagai respon tubuh. Di tingkat selular, dilepaskan pros-taglandin dan diaktifkan komponen inflamasi seperti netrofil, makrofag, sel mast, basofil, platelet, sel endothelial limfosit dan leukosit. Sel mast me-lepaskan mediator inflamasi berupa histamin, serotonin, enzim lisosom, faktor kemotaksis, dan sitokin serta metabolit oksigen reaktif untuk mem-bunuh bakteri, mengeliminir benda asing dan memperbaiki fungsi tubuh baik secara anatomi dan fisiologi (Lai, dkk., 1993).

Histamin menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah peritoneum menghasilkan transudasi yang kaya fibrinogen ke dalam rongga peritoneum, dan menyebabkan netrofil memasuki daerah luka. Fungsi utama sel netrofil adalah fagositosis, menghancurkan bakteri dan membantu membersihkan jaringan yang mati. Infiltrasi sel netrofil menca-pai puncaknya setelah 24 jam dan secara perlahan digantikan oleh monosit. Monosit selanjutnya berubah menjadi makrofag yang akan melanjutkan penghancuran bakteri dan debrideman luka (diZerega, 2000).


(22)

Makrofag mensekresikan Transforming Growth Factor Beta (TGF β) yang merangsang proliferasi fibroblast dan regulasi sel mesotelium untuk menghasilkan fibrin. Pada hari kedua makrofag akan membentuk lapisan pada peritoneum yang mengalami trauma. Deposit fibrin akan terbentuk antara 48 sampai 72 jam pascalaparotomi. Pada hari ketiga dan keempat terjadi infiltrasi dan proliferasi sel fibroblast. Pada saat ini juga terjadi pro-liferasi sel endotel pada proses neovaskulerisasi, proses re-epitelisasi dan ditemukan deposit kolagen yang menetap di jaringan peritoneum (Lai, dkk., 1993).

Fibrinolisis dimulai minimal tiga hari setelah trauma dan meningkat pesat pada hari kedelapan setelah regenerasi sel mesotelium secara komplek. Bila proses fibrinolisis berlangsung normal maka pada hari keempat dan kelima sel mesotelium akan tumbuh di sepanjang garis luka dan menutupi kerusakan secara total. Mulai hari ke lima dan keenam jum-lah makrofag akan menurun dan pada hari kedelapan sel mesotelium akan menutupi luka dan beregenerasi secara komplek ( Witmann & Walker, 1994; Holmdahl, 1997).

Seluruh permukaan peritoneum yang mengalami trauma akan mengalami reepitelisasi secara simultan sehingga defek peritoneum baik besar maupun kecil akan sembuh secara sempurna dengan sama cepat. Berbeda pada kulit, proses penyembuhan terjadi secara sentripetal dari pinggir luka (Witmann & Walker, 1994).


(23)

Lamanya proses penyembuhan untuk peritoneum parietal sekitar 5-6 hari dan peritoneum visceral membutuhkan waktu 5-8 hari ( Ellis, 1982 ).

2.4.2 MEKANISME TERJADINYA ADHESI 

Secara normal penyembuhan luka terjadi tanpa adanya pembentu-kan adhesi (Johnson & Whitting, 1980; Ellis, 1982; Holmdahl, dkk, 1997). Kerusakan jaringan akan diikuti dengan pembentukan fibrin. Trom-boplastin, protrombin dan trombin akan mengaktifasi fibrinogen menjadi fibrin. Bekuan platelet yang berasal dari agregasi platelet bersama dengan bekuan fibrin membentuk jaringan fibrin.

Banyak studi eksperimental telah membuktikan bahwa berbagai bentuk cedera pada mesothelium secara nyata menurunkan potensi fibri-nolisis. Whitaker dkk, menunjukkan bahwa kultur murni sel mesothelium memiliki kemampuan fibrinolisis. Didukung suatu studi Antibodi Inhibisi dan Antigenik Immunoassays yang menjelaskan bahwa tissue Plasmino-gen Activator (tPA) adalah plasminoPlasmino-gen aktivator utama pada biopsi peri-toneal manusia, yang merangsang lisisnya fibrin dan mencegah perleka-tan serosa ( Mireille van Westreenen 1998 ).

Namun, selama periode awal setelah pembedahan terjadi proses iskemia dan inflamasi, hal ini menyebabkan Plasminogen Activator Activity

(PAA) menghilang ini terutama dikaitkan dengan peningkatan dramatis

Plasminogen Activator inhibitor (PAI) dalam peritoneum yang cedera. Pengamatan pada sel menunjukkan PAI dihasilkan oleh mRNA hibridis-asi. Studi-studi ini menegaskan bahwa mesothelium memainkan peran


(24)

penting dalam penghambatan fibrinolisis peritoneum akibat cedera ( Mireille van Westreenen 1998 )

Terganggunya proses fibrinolisis maka makrofag akan bertahan dan fibroblast berproliferasi. Dalam waktu lima hari jaringan fibrin yang terben-tuk akan digantikan oleh sel fibroblast dan jaringan kolagen serta pemben-tukan pembuluh darah baru, akan membawa anti-plasmin untuk melawan efek fibrinolisis dan mempertebal jaringan fibrosa untuk membentuk ad-hesi fibrosa yang permanen (Evans, dkk., 1993, Holmdahl & Risberg, 1997, Eko & Sutanto, 1997),

Gambar I. merupakan skematik dugaan mekanisme pembentukan adhesi yang dijelaskan oleh Gutman dan Diamond.

                             

Migrasi & Frolif‐ erasi Fibrinoblas‐

tik  Fibrin split 

Products Plasminogen activator 

(di Submesothelium) 

Fibrinolysis tidak  adequate (Ischemia, 

abrasi, deposisi fi‐ brin berlebihan)  Fibrinolysis 

Awal dari kaskade kom‐ plemen 

Perdarahan Intra‐ abdominal 

Eksudat Inflammasi, Ma‐ trik Fibrin degan Elemen 

sellular

Plasminogen

Plasmin

Fibrin

Hilangnya Sel Mesothelial 

Peningkatan Permeabilitas 

Pelepasan Tromboplastine 

Cedera Peritoneum

Berkebangnya  Auto Antibodi 


(25)

Gambar 1. Mekanisme untuk pembentukan adhesi. ( Dari Gutman dan 6,7

Diamond).

.

D

ERAJAT 

A

DHESI 

I

NTRAABDOMEN

 

Derajat adhesi digunakan untuk menilai tingkat keparahan adhesi, berguna untuk penelitian dan klinis. Derajat ini dinilai baik secara mak roskopis maupun mikroskopis. Derajat adhesi yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut

Table 1. Grading of adhesi Menurut Zuhike et al *

skor Derajat Deskripsi

0 Tidak ada pe-lekatan

1 Filmy adhesi diperlukan pembedahan tumpul yang lembut, untuk pembebasan adhesi

2 Mild adhesi diperlukan pembedahan tumpul agresif un-tuk membebaskan adhesi

3 Moderat adhesi pembedahan tajam diperlukan untuk mem-bebeskan adhesi

4 Severe adhesi diperlukan diseksi untuk membebaskan ad-hesi, tidak dapat dihindari kerusakan organ

* nilai adhesi berdasarkan masing-masing lokasi termasuk garis tengah,

adnexa / subcutis, perut bagian atas (hati), peritoneum parietalis, omentum, dan diantara loop usus. Jumlah lokasi tersebut membentuk adhesi total skor (0-24).

Table 2. Derajat vaskulerisasi adhesi menurut Hulka modifikasi Omran dan Berger, 1978.

Derajat Diskripsi Grade 0 Tidak ada adhesi

Grade I filmly, Adhesi yang avaskuler, mudah dipisahkan dan terbatas hanya pada satu tempat

Grade 2 Adhesi yang memiliki vaskulerisasi, tebal dan meninggalkan permukaan yang kasar setelah dilakukan pemisahan, tetapi masih terbatas pada satu tempat


(26)

Grade 3 Adhesi yang telah meluas di beberapa tempat

.

U

SAHA UNTUK 

P

ENCEGAHAN 

A

DHESI 

I

NTRAPERITONEUM

 

Setiap usaha pencegahan adhesi harus dimulai sejak prosedur pembedahan dimulai dan dilanjutkan selama tiga sampai empat hari sete-lah operasi (Witmann & Walker, 1994). Upaya pencegahan dapat dilaku-kan dengan menggunadilaku-kan teknik operasi mutakhir misalnya laparoskopik dan menciptakan keseimbangan proses fibrinogenesis dan fibrinolisis (Risberg, 1997). Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara:

2.6.1 PENCEGAHAN DEPOSISI DARI FIBRIN 

Antara lain dengan penggunaan anti-koagulan seperti sodium si-trat, heparin, dikumarol dan dextran atau aprotinin (Trasylol). Anti-koagulan akan mencegah tebentuknya bekuan dan pembentukan fibrin. 2.6.2 MENGHILANGKAN EKSUDAT FIBRIN DARI RONGGA PERITONEUM 

Fase awal terbentuknya adhesi adalah perlengketan organ visceral yang berdekatan karena eksudat fibrin. Untuk mencegah terjadinya or-ganisasi eksudat fibrin sehingga menjadi permanen, digunakan agen-agen fibrinolitik. Agen fibrinolitik bekerja secara langsung dengan mengu-rangi massa fibrin dan secara tidak langsung dengan merangsang aktivi-tas plasminogen activator. Beberapa contoh agen fibrinolitik ini adalah fi-brinolisin, streptokinase, urokinase, hyaluronidase, kimotripsin, tripsin pepsin dan plasminogen activator. Penggunaan recombinant tissue Plas-minogen Activator (rtPA) dalam penelitian binatang, dapat mengurangi


(27)

ter-jadinya adhesi. Evans, dkk., (1993), dalam penelitiannya membuktikan bahwa walaupun rtPA akan mencegah ataupun memodifikasi pembentu-kan adhesi intraabdomen, sangat tergantung pada dosis pemakaian. 2.6.3 PENCEGAHAN PROLIFERASI FIBROBLAST 

Proliferasi fibroblast dapat di cegah oleh agen antiinflamasi seperti

kortikosteroid, NSAID (tolmetin, ibuprofen, dan indometasin, ketorolak ),

antihistamin ( prometazin ) progesteron, Ca bloker dan kolkisin. Mekan-isme kerja secara umum menghambat sintesis dan aktivasi pros-taglandin, mengurangi agregasi platelet, menurunkan permeabilitas vaskular dan menghambat aktivitas sel-sel PMN, meningkatkan fungsi makrofag sebagai fagosit, pengurangan sekresi inhibitor plasminogen, mencegah pembentukan dan pelepasan histamin dan menstabilkan li-sosom.

NSAID meningkatkan produksi IL-10 yang mengaktifkan proses fib rinolitik, menghambat neovaskularisasi, mengurangi migrasi dan prolif-erasi fibroblast serta produksi kolagen sehingga deposit fibrin yang ter-bentuk dapat lisis dan mencegah terter-bentuknya adhesi fibrosa yang per-manen (Witmann & Walker 1994).

2.6.4 PEMISAHAN MEKANIK 

Barier antiadhesi ada 2 jenis; barier cairan makro molekul dan bar-ier mekanik. Barbar-ier ideal adalah; aman dan efektif, tidak merangsang reaksi inflamasi, non imunologik, bertahan selama fase remesotelialisasi, tidak perlu dijahit, aktif dalam lingkungan berdarah, biodegradasinya sem-purna, tidak mempengaruhi proses penyembuhan luka, tidak


(28)

meningkat-dextran 70, asam hyaluronat, HA-PBS/aseprocoat, dan karboksi metil se-lulosa. Sedangkan contoh barier padat yaitu transplant peritoneal autolo-gous, PTFE (Goretex), oxidized-regenerated cellulosa (Interceed), dan HA CMC (Seprafilm).

Rangkuman klassifikasi bahan pencegah adhesi dimuat dalam ta-ble berikut ini, yang di ambil dari modifikasi oleh Cutmann dan Diamond. Table 3. Klassifikasi bahan Pencegah adhesi :

Pemisahan Mekanik Instilasi intraabdomen

Dextran Mineral oil Silicone Povidone Vaseline

Crystalloid solutions Carboxymethylcellulose Barrier

Jaringan endogen Ornental grafts Peritoneal grafts Bladder strips Fetal membranes Bahan eksogen

Oxidized cellulose

Oxidized regenerated cellulose Polytetrafluoroethylene

Gelatin

Rubber sheets Metal foils Plastic hoods


(29)

Hyaluronic acid

Photopolymerizable gel Reverse thermal gelation gel

Antikoagulan Heparin Citrates Oxalates Anti inflamasi

Corticosteroids

Nonsteroidal anti inflammatory drugs Antihistamines Progesterone

Calcium channel blockers Antibiotik

Tetracyclines Cephalosporins Fibrinolitik

Fibrinolysin Papain

Streptokinase, Urokinase

Hyaluronidase, Chymotrypsin, Trypsin Pepsin

Plasmin activators

2.6.4.1 Methylen blue 

Methylen blue merupakan senyawa kimia dengan nama kimia : 3,7-bis(Dimethylamino)-phenothiazin-5-ium chloride mempunyai rumus molekul : C16H18 N3SCl,. Pada temperatur ruang berbentuk serbuk


(30)

berat molekul rendah, larut dalam air dan lemak. Membentuk hydrat mempunyai 3 molekul air dari setiap molekul. Methylen blue tidak akan merusak jaringan tubuh atau jaringan histologi lainnya.

Rumus bangun:

Penggunaan klinis sebagai zat pewarana pada pemeriksaan histo-patologik (Wright's stain & Jenner's stain ), anti serotonin toxicity, MAOI (monoamine oxidase inhibitor ) Anti malaria (Paul Ehrlich 1891), anti do-tum pada keracunan sianida ( 1 – 9 mg/kg bb ), zat pewarna pada endoscopic polypectomy , untuk membedakan dysplasia, identifikas fistel, dan sentinel lymph node.

Selain itu methylen blue diketahui menghambat pembentukan ok-sigen radikal seperti superoksida dengan cara berkompetisi dengan oksi-gen untuk transfer elektron dari flavor-enzim, terutama xantina oksidase. Efek ini menyebabkan hambatan pada pembentukan mediator inflamasi, yang pada akhirnya menghambat pembentukan adhesi ( Galili dkk. 1998 ). Sebelumnya Prien dkk ( 1995 ) menemukan methylen blue merangsang aktifitas makrofag yang pada akhirnya merangsang pembentukan adhesi.

Suatu penelitian pengaruh methylen blue terhadap pembentukan adhesi intraperitoneal pada tikus, dengan dosis yang berbeda ( Kluger dkk, 2000 ) menyimpulkan bahwa pada dosis kecil methylen blue menghambat pembentukan adhesi sedangkan pada dosis besar


(31)

merang-sang pembentukan adhesi. Kluger juga menjelaskan konsentrasi terbaik methylen blue mencegah adhesi adalah 1% dengan dosis 7 ml/kgbb. Ali Celik M.D ( 2008 ) dkk. juga menemukan bahwa methylene blue pasca-operasi mencegah adhesi (p <0,05).

2.6.4.2 Dextran 70 

Dextran suatu kompleks polisakarida berviscositas tinggi. Panjang rantai bervariasi (dari 10 - 150 kilo daltons). Memiliki Berat Molekul 40.000 ( dextran 40 ) dan BM 70.000 ( dextran 70 ) dengan rumus molekul : H(C6H10O5)xOH.

Manfaat klinis sebagai antithrombotik ( antiplatelet ), Plasma ex-pander, dan sebagai barier antiadhesi intrabdominal pascaoperasi laparotomi.

Mekanisme kerja sebagai antiadhesi dengan cara: (1) pemisahan organ-organ secara mekanis; (2) proses pembungkusan permukaan jaring an; dan (3) mengubah struktur fibrin, yang membuat fibrin rentan men-galami proses lisis. (Tangen, dkk, 1972), (4) efek dilusi dari bekuan fibrin dan faktor kemotaksis lainnya yang mencetuskan terbentuknya adhesi, (5) juga memiliki aktifitas penghambat lymposit dan makrofag ( Polishuk &


(32)

Dextran 40 tidak menunjukkan manfaat antiadhesi, karena terab-sorpsi cepat dalam rongga peritoneum.

Dextran 70 tersedia dalam dua konsentrasi 6 % dan 32%. Menurut penelitian ( Soules MR dkk ) tidak terdapat perbedaan antara 6% dextran 70 dan 32% dextran 70 dalam pencegahan adhesi intraperitoneal. Utian dkk (1979) tidak menemukan adanya perbedaan terjadinya adhesi dan tingkat fertilitas antara kelompok dextran 6% dengan 32%. Holtz dkk (1980) melaporkan berkurangnya angka adhesi dengan dosis rendah dex-tran 6% setelah trauma peritoneum, tetapi tidak didapati perbedaan angka kejadian adhesi setelah tindakan lisis dan terapi dengan dosis rendah.

Efek samping yang dilaporkan tidak banyak, meliputi anaphylaxis, volume berlebihan, edema paru, edema cerebral, dan kelainan fungsi platelet. komplikasi signifikan akibat efek osmotik dextran adalah Gagal Ginjal Akut. Pathogenesis gagal ginjal banyak diperdebatkan antara efek toksik langsung terhadap tubulus dan glomerulus yang lain efek hyper-viskositas intraluminal. Pada pasien dengan riwayat diabetes melitus, in-sufisiensi ginjal, kelainan vaskuler dextran beresiko lebih tinggi, sehingga penggunaannya tidak dianjurkan

2.6.4.3 Oxidized Regenerated Cellulose. 

Bahan ini tersedia dalam bentuk membran atau gel. Mekanisme kerjanya dengan memisahkan permukaan peritoneum yang rusak atau cedera yang mungkin beresiko untuk terjadi adhesi. Bahan ini berpengaruh hanya lokal di tempat diletakkan, tidak berpengaruh pada tempat lain di rongga peritoneum.


(33)

Bahan membran barier yang pertama dan terbanyak digunakan pada manusia adalah “Oxidized Regenerated Cellulose” dikenal sebagai “Interceed” (Johnson & Johnson, New Brunswick, NJ). Bahan ini merupakan pengembangan dari “oxidized cellulose”, bahan ini memiliki sifat:

 Memiliki aktifitas bakterisida terhadap gram positif dan gram negatif termasuk bakteri yang resisten terhadap antibiotik (MRSA, VRE, PRSP dan MRSE)

 ORC Natural produk dengan reaksi minimal pada jaringan sekitar

 Diserap penuh dalam waktu 7 – 14 hari

 Bahan yang tipis, fleksibel dan mudah dipotong dan dibentuk sesuai permukanpenerima, dan mudah lengket tanpa penjahitan

 Pencegahan adhesi bersifat lokal pada daerah yang ditutupi

Meskipun penelitian menunjukkan OCR sukses dalam mengurangi pembentukan adhesi dalam prosedur kebidanan, penggunaannya secara umum pada prosedur bedah tidak diketahui. Selain itu, telah diketahui bahwa penggunaan interceed, tidak dianjurkan pada daerah yang per-gerakanya tinggi dan daerah dimana genangan darah atau cairan tidak dapat dihindari misalnya didaerah dasar panggul. Hal ini dikarenakan, kemanjuran Interceed dapat berkurang secara signifikan (Craig IB, Doug-las T, Carlos ES , 1991 )


(34)

BAB

 

III 

METODOLOGI PENELITIAN 

.

R

ANCANGAN 

P

ENELITIAN 

:

 

 

Penelitian ini merupakan merupakan penelitian “experimental” pada hewan percobaan kelinci, yang dibagi atas 4 kelompok, 1 kelompok kontrol, 3 kelompok perlakuan

.

T

EMPAT DAN 

W

AKTU 

P

ELAKSANAAN 

P

ENELITIAN

 

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Farmakologi dan Tera-peutik FK USU pada bulan April dan Mei tahun 2010

.

P

OPULASI DAN 

S

AMPEL

 

Hewan percobaan yang digunakan adalah kelinci. Hewan Coba yang dipilih adalah yang diseragamkan umur, sex, berat-badan dan hibrid/varian. Dalam penelitian ini digunakan kelinci lokal ( Nesolagus net-seherischlgel ) strain angora, jenis kelamin jantan, usia 4 – 6 bulan dengan berat 500 - 1000 gram.

Besar sampel minimal pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus:

{ ( np – 1 ) - ( p – 1 ) } > p2

n = besar sampel

p = banyaknya kelompok perlakuan ( 4 (empat) kelompok ) banyak sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini:

{ ( np – l ) - ( p – l ) } ≥ p2 ( 4n - l ) -3 ≥ 42


(35)

4n - 4 ≥ 16 4n ≥ 20 n ≥ 5

Jadi jumlah sampel yang dibutuhkan lebih atau sama dengan 5 (lima) ekor untuk tiap perlakuan. Jumlah total sampel yang digunakan

dala pe in

.

V

ARIABEL 

P

ENELITIAN

m nelitian i sebanyak 20 ekor .

3.4.1 VARIABEL DEPENDEN : 

- Kejadian adhesi intraperitoneum

- Jumlah adhesi intraperitoneum

- Jumlah volume adhesi intraperitoneum

- Derajat makroskopik adhesi intraperitoneum menurut Zuhike et al

(Table 1).

- Derajat vaskulerisasi adhesi menurut Hulka modifikasi ( Tabel 2 )

3.4.2 VARIABEL INDEPENDEN : 

- 6% Dextran 70

- Methylen blue 1%

- Oxidized regenerated cellulose ( Interceed by Js&Js )

- O erasi p laparotomi

.

B

AHAN DAN 

A

LAT

 

3.5.1 BAHAN :  

- 6% Dextran 70

- Aquabides

- Alkohol 70 %

- Kelinci 40 ekor

- Ketamin


(36)

- Polyglaktic ( Vicryl 4/0 )

- Povidone Iodine 10 %

- Silk 4/0

3.5.2 ALAT : 

- Minor surgery set

- Surgical glove

- Syringe 10 ml

- Syringe 5 ml

Gambar 2. Ba

.

C

ARA 

K

ERJA

 

han dan alat penelitian

- Empat puluh kelinci dipersiapkan 1 minggu sebelum operasi untuk

beradaptasi, di pelihara dalam kandang kawat ukuran 60 x 40 x 40 cm dengan alas yang terbuat dari plastic. Kotoran dibersihkan setiap hari untuk mencegah infeksi. Kandang ditempatkan dalam suhu kamar dengan pencahayaan sinar matahari tidak langsung. Makanan yang diberikan jagung muda, dan sayur kangkung yang diberikan secara “ad Libitum” dalam wadah terpisah dan dibersihkan setiap hari.


(37)

Gambar 3. Masa adaptasi kelinci

- Sebelum perlakuan, setiap kelinci ditimbang dan diamati

kese-hatannya secara fisik (gerakannya, makan dan minum). Jika ada kelinci yang sakit maka kelinci diganti dengan kelinci baru dengan kriteria yang sama

Gambar 4. Penimbangan kelinci

- Kelinci dipuasakan 4 jam sebelum dilakukan pembedahan.

- Dilakukan Operasi dengan narkose umum dengan memberi ketamin

Hcl 50 mg /kg BB secara intramuskular, dan diazepam 0,5 mg / kg BB.

- Bulu di daerah operasi dicukur dan didesinfeksi dengan povidone


(38)

Gambar 5. Proses pencukuran dan desinfeksi

- Dilakukan insisi mediana pada abdomen sepanjang 5 cm, dan

dilakukan identifikasi caecum, daerah ileum terminal ( 2 cm dari ileocecal juction ) dilakukan tindakan abrasi berukuran 0,5 x 2 cm dengan bagian tajam pisau bedah no 15.

Gambar 6. Proses insisi, identifikasi ileocecal junction dan abrasi

- Setelah dilakukan abrasi, ke dalam rongga abdomen pada

masing-masing kelompok percobaan diberikan :

o Kelompok I ( kontrol ); tidak diberikan apapun

o kelompok II; diberi larutan Methylen blue 1%, 7 ml/kg bb

o Kelompok III; diberi larutan 6% dextran 70, 10 ml/ kg bb

o Kelompok IV; Oxidized Regenerated Cellulose ukuran 3,4 x 3,8 cm

ditempelkan pada tempat abrasi dengan dibasahi normal salin secukupnya sekedar melekatkan membran ORC ( interceed ).


(39)

Gambar 7. Pemberian methylen blue dan interceed intraabdomen pasca laparotomi

- Pada semua hewan percobaan dilakukan penutupan dinding

abdomen dengan jahitan jelujur tanpa simpul dari peritoneum hingga fasia dengan bahan vicryl 4/0, dilanjutkan dengan jahitan simple interupted pada kulit dengan bahan silk 4/0.

- Luka operasi ditutup dengan kasa steril yang diberi popidon yodium

10 % secukupnya

Gambar 8. Proses penutupan luka laparotomi

- Setelah laparotomi hewan percobaan dirawat pada kandang yang

terjaga kebersihannya dan diberi makanan dan minuman “ad Libi-tum”.


(40)

Gambar 9. Perawatan kelinci pasca laparotomi

- Pada hari ke 15 dilakukan relaparotomi pada semua kelinci dengan

insisi paramedian dengan cara yang sama seperti saat laparotomi pertama.

- Adhesi yang terjadi dipisahkan dari organ viseral ke tempat

perlekatannya pada peritoneum parietal atau permukaan organ viseral lainnya lalu dimasukkan ke dalam gelas ukur yang telah ber-isi formalin 2 cc. Perubahan volume yang dijumpai adalah volume adhesi intraperitoneum yang terjadi.

Gambar 10. proses relaparotomi dan penilaian kejadian adhesi

- Dilakukan penilaian jumlah adhesi, volume, perluasan adhesi dan

derajat makroskopik adhesi dengan “Grading of adhesion” menurut Zuhike et al ( Tabel 1 ).


(41)

Gambar 11. Pengukuran volume adhesi : a tabung ukur berisi for-malin 2 cc, b & c telah terisi sediaan adhesi

Table 1. Derajad adhesi Menurut Zuhike et al *  

Skor Derajat Deskripsi

0 Tidak ada pelekatan

1 Filmy adhesi diperlukan pembedahan tumpul yang lembut,

untuk pembebasan adhesi

2 Mild adhesi diperlukan pembedahan tumpul agresif untuk

membebaskan adhesi

3 Moderat adhesi pembedahan tajam diperlukan untuk

membe-baskan adhesi

4 Severe adhesi diperlukan diseksi untuk membebaskan

ad-hesi, tidak dapat dihindari kerusakan organ

* nilai adhesi berdasarkan masing-masing lokasi termasuk garis tengah,

adnexa / subcutis, perut bagian atas (hati), peritoneum parietalis, omentum, dan diantara loop usus. Jumlah lokasi tersebut membentuk adhesi total skor (0-24).

- Derajad vaskulerisasi dinilai dengan pemeriksaan

Hematoxylin-Eosin sesuai derajat adhesi menurut Hulka modifikasi Omran dan

Berger, 1978( Tabel 2 :)

Table 2. Derajat vaskulerisasi Adhesi menurut Hulka modifikasi Omran dan Berger, 1978.14

Derajat Deskripsi

Grade 0 Tidak ada adhesi

Grade I filmly, Adhesi yang avaskuler, mudah dipisahkan dan terbatas hanya

pada satu tempat

Grade 2 Adhesi yang memiliki vaskulerisasi, tebal dan meninggalkan

permu-kaan yang kasar setelah dilakukan pemisahan, tetapi masih terbatas pada satu tempat


(42)

- Pemeriksaan Histopatologi

Sediaan Basah - adhesi intraperitoneum

Penjernihan (memakai xylol)

Fiksasi (memakai formalin 10%)

Dehidrasi (memakai alkohol 50% ke 96%)

Embedding/Block Parafin (penanaman jaringan adhesi)

Mikrotom (pemotongan 3-4 pm)

Pencairan lilin yang melekat di jaringan adhesi

Preparat diletakkan di objek glas Penjernihan (memakai xylol)

Rehidrasi (memakai Alkohol 96% ke 50%)

Pewarnaan jaringan adhesi dengan Hematoxylin-Eosin

Dehidrasi (memakai alkohol 50% ke 96%)

Tutup objek glas dengan dek glas memakai Balsem (Mounting)

Preparat di periksa dengan menggunakan mikroskop dengan pembesaran 400 x


(43)

Gambar 13. Hasil pemeriksaan histopatologi dengan pembesaran 400x : tampak gambaran vascularisasi yang banyak yang ditunjukkan panah

- Data penelitian ini adalah data non parametrik karena jumlah

sampel yang kecil dan tidak terdistribusi normal. Ke empat kelompok perlakuan tidak tergantung satu sama lain , maka Uji statistik yang digunakan adalah uji statistik nonparametrik inde-penden. Untuk membandingkan perbedaan diantara kelompok

per-lakuan digunakan “Kruskal-Wallis test” , sedangkan untuk

mem-bandingkan masing-masing kelompok perlakuan dengan kontrol

digunakan “Wilcoxon rank-sum test, atau Wilcoxon–Mann–Whitney

test “, dengan bantuan software SPSS 17.

.

D

EFINISI 

O

PERASIONAL

 

 Abrasi adalah luka lecet yang di buat pada daerah ileum terminal (

2 cm dari ileocecal juction ) dengan menggunakan bagian tajam pisau bedah no 15 berukuran lebih kurang 0,5 cm x 2 cm.

 Adhesi intraperitoneal adalah jaringan fibrosa yang

menghubung-kan antara dinding rongga abdomen bagian dalam dengan permu-kaan organ tubuh yang terdapat dalam rongga abdomen (saluran


(44)

cerna, uterus, kantung kemih dan lainnya) atau antar sesama or-gan intraabdomen dimana dalam keadaan normal jarinor-gan tersebut tidak ada.

 Efek adalah hasil yang ditimbulkan suatu tindakan

 Efektivitas: kemampuan untuk menghasilkan hasil yang dapat

diu-kur,( Friel JP 1994 ), atau efek maksimal ( Emax ) yaitu kemampuan

interinsik Kompleks Obat–Reseptor untuk menimbulkan aktivitas dan atau efek farmakologik (Setiawati A dkk 2004)

 Insisi mediana adalah sayatan laparotomi tepat pada bagian tengah

dinding abdomen.

 Insisi paramedian adalah sayatan laparotomi 2 cm disamping

sayatan laparotomi pertama.

 Jumlah adhesi adalah banyaknya adhesi yang terbentuk yang

ditemukan pada saat operasi relaparotomi kelinci percobaan.

 Kejadian Adhesi adalah ada atau tidak adanya adhesi

 Laparotomi adalah tindakan membuka dinding depan abdomen

dengan sayatan tajam hingga bisa melihat isi rongga peritoneum.

 Neovaskulerisasi adalah pembentukan pembuluh darah baru di

jar-ingan adhesi yang ditemukan pada relaparotomi kelinci percobaan

 Simple Interrupted adalah menjahit luka secara satu-satu dan

ter-putus.

 Volume adhesi adalah selisih volume gelas ukur yang berisi cairan

formalin 2 ml setelah dimasukkan jaringan adhesi dikurangi 2 ml

yang diukur dalam satuan ml.

BAB

 

IV 

HASIL

 

PENELITIAN

 

DAN

 

PEMBAHASAN 


(45)

Dextran 70 dan Oxidized Regenerated Cellulose dalam Pencegahan Adhesi Intraperitoneal Pascaoperasi Laparotomi dengan Abrasi Ileum

Terminal pada Hewan Percobaan Kelinci

Selama kurun waktu 2 bulan penelitian ini dilaksanakan, 40 ekor kelinci diadaptasi dan diamati. Pada 2 minggu pertama pengamatan, 10 ekor kelinci mati. Dari 30 ekor kelinci yang sehat diambil 20 ekor mejadi sampel, dibagi atas 4 kelompok perlakuan dengan masing-masing kelompok berjumlah 5 ekor. Pada hari pertama percobaan ( 12 – 24 jam ) pasca laparotomi, lima ekor kelinci mati, tiga dari kelompok kontrol dan 2 dari kelompok methylen blue. Penyebab kematian diduga akibat lamanya proses laparotomi, dan penambahan obat anastesi. Kelimanya langsung diganti dari 10 kelinci yang telah dipersiapkan, kemudian dilakukan laparotomi dengan prosedur yang sesuai dengan masing-masing kelom-poknya. Tiga ekor kelinci yaitu 2 ekor dari kelompok kontrol dan 1 ekor kelinci dari kelompok dextran, mati pada hari ke 15 pascalaparotomi. Keti-ganya mati pada saat pemindahan dari tempat pemeliharaan ke tempat relaparotomi, diduga akibat stress dan terhimpit saat pemindahan, Pada ketiganya tidak dilakukan ekslusi karena telah terbentuk adhesi permanen sejak hari ke 10 dan dilakukan relaparotomi otopsi hari itu juga.

Setelah dilakukan relaparotomi pada hari ke 15 pascalaparotomi terhadap 20 ekor kelinci percobaan, terdapat 50 % ( 10 ekor kelinci ) yang mengalami adhesi. Pada kelinci-kelinci ini dilakukan pembebasan dan penilai skor adesinya. seperti yang diperlihatkan pada Gambar 14. dan lampiran 1.


(46)

Dari hasil pengamatan terlihat bahwa semua kejadian adhesi pada ke 10 ekor kelinci hanya bersifat setempat di daerah operasi ( abrasi ). Sembilan ekor mengalami adhesi antara ileum terminal ke luka insisi pada dinding peritoneum. Hanya satu ekor kelinci dari kelompok kontrol yang adhesinya terbentuk antara ileum terminal ke usus besar.

Gambar 14. Terjadinya adhesi intraperitoneum

Data-data yang diperoleh dari penelitian disimpulkan dalam tabel-tabel dan diagram. Perbedaan diantara kelompok perlakuan, di uji dengan Kruskal-Wallis test, sedangkan perbedaan antara kontrol dan masing-masing kelompok perlakuan di uji dengan Wilcoxon rank-sum test, atau Wilcoxon–Mann–Whitney test.

Pada Kruskal-Wallis test, setiap sampel di urut dan dibuat rang-kingnya, baru dicari mean kelompoknya. Adapun persamaan Kruskal-Wallis adalah :

Dimana :

o ni adalah jumlah observasi pada group i

o rij adalah rangking data observasi j dari group i


(47)

o ,

o adalah rata-rata dari seluruh rij.

Karena denominator ( penyebut ) dari K adalah (N− 1)N(N + 1) / 12 rumus Kruskal Wallis menjadi :

Tetapi untuk mempermudah perhitungan penulis menggunakan sofwer SPSS 17. Interpretasi dibuat dengan :

1. Membandingkan nilai Kruskal-Wallis chi-squere dengan chi-squere tabel pada P = 0,05 dalam derajat kebebasan ( df ) yang sesuai,( df diperoleh dari jumlah kelompok dikurangi satu ). Apabila :

a. Kruskal-Wallis chi-squere < chi-squere tabel: H0 diterima.

b. Kruskal-Wallis chi-squere > chi-squere tabel: H0 ditolak.

2. Mean rangking lebih kecil memberikan hasil lebih baik dalam pencegahan adhesi.

3. Pengambilan keputusan pada Wilcoxon–Mann–Whitney test a. Jika probabilitas [Asymp.Sig(2-tailed) ] > 0,05 maka H0 diterima

b. Jika probabilitas [ Asymp.Sig(2-ta

.

K

EJADIAN 

A

DHESI 

I

NTRAPERITONEUM

 

iled) ] < 0,05 maka H0 ditolak

Setelah dilakukan laparotomi ulang pada seluruh hewan percobaan kelinci dari ke-4 kelompok percobaan, diperoleh hasil angka kejadian ad-hesi intraperitoneum pada semua kelompok dengan distribusi frekuensi


(48)

1 & 2 serta Lampiran 1.

Table 4. Frekuensi dan persentase kejadian adhesi intraperitoneum pada setiap kelompok perlakuan

Kontrol  Methylen 

blue 

Dextran  ORC 

Kelompok 

Jumlah  %  Jumlah  %  Jumlah  %  Jumlah  % 

Bebas Adhesi 1  20  4  80  2  40  3  60 

Ada Adhesi  4  80  1  20  3  60  2  30 

Total  5  100  5  100  5  100  5  100 

Mean  Rank 

K‐Wallis   13,50    7,50    11,50    9,50 

  Kererangan ;

 Kruskal-Wallis Test :

o Chi-squere = 3,800, df = 3. Asymp. Sig. = 0,284 ( p > 0,05 )

 Wilcoxon-Mann Whitney test:

o Kontrol >< Methylen blue :Asymp.Sig.

(2-tailed) = 0,072 ( p > 0,05 )

o Kontrol >< Dextran 70 :Asymp.Sig.

(2-tailed) = 0,521 ( p > 0,05 )

o Kontrol >< ORC:L :Asymp. Sig.

(2-tailed) = 0,221 ( p > 0,05 )


(49)

Dari tabel 4 dan diagram 1 terlihat bahwa, dari 20 ekor kelinci ter-jadi adhesi pada 10 ekor, 4 ekor ( 4/5 = 80% ) dari kelompok kontrol, 1 ekor ( 1/5 = 20% ) dari kelompok methylen blue, 3 ekor ( 3/5 = 60 % ) dari kelompok dextran dan 2 ekor ( 2/5 = 40% )dari kelompok Oxidized Re-generated Cellulose ( ORC/ Interceed ). Terlihat angka kejadian adhesi terkecil terjadi pada kelompok methylen blue.

Dengan Kruskal-Wallis test diperoleh mean rangking dari kelompok kontrol = 13,50, dextran 11,50, ORC 9,50 dan methylen blue 7,50. Dapat disimpulkan bahwa ketiga sediaan mempunyai mean rangking yang lebih kecil dari kelompok kontrol, berarti ketiganya benar mempunyai efek anti adhesi. Dari ketiganya methylen blue paling kecil, berarti methylen blue memiliki efek adhesi yang lebih baik dari semua sedian disusul ORC dan dextran

Hasil analisa data menunjukkan, nilai Kruskal-Wallis chi-squere adalah 3,800, dengan df 3 dan p > 0,05. Dari sini dapat disimpulkan

bahwa hipotesa nol ( H0) diterima, artinya Tidak ada perbedaan

ber-makna antara methylen blue, dextran 70 dan oxidized regenerated cellu-lose dalam pencegahan terjadinya adhesi intraperitoneal pascaoperasi laparotomi pada hewan percobaan kelinci,

Wilcoxon - Mann Whitney test membandingkan jumlah adhesi yang terbentuk pada kelompok kontrol dengan methylen blue diperoleh Asymp. Sig. (2-tailed) = 0,072 ( p > 0.05 ) artinya hipotesa nol diterima. Tidak terdapat perbedaan antara kontrol dengan methylem blue. Perbandingan antara kontrol dengan dextran 70 di peroleh . Asymp. Sig. (2-tailed) =


(50)

0,521 ( p > 0.05 ) artinya hipotesa nol diterima. Begitu juga perbandingan antara kontrol dengan Oxidized Regenerated Cellulose ( ORC ) di peroleh Asymp. Sig. (2-tailed) = 0,221 ( p > 0.05 ) artinya hipotesa nol diterima. Dari ketiga perbandingan mengenai angka kejadian adhesi intraperitoneal,

k te dapat perbedaan bermakna ketig sedian.

tida r a

.

JUMLAH ADHESI INTRA PERITONEUM. 

Jumlah adhesi intraperitoneum adalah banyaknya jaringan fibrosa yang terbentuk yang melekatkan organ intraperitoneum ke masing masing lokasi seperti pada kriteria lokasi pada derajat adhesi menurut Zuhike dan kawan-kawan. Jumlah adhesi ini dihitung pada setiap kelinci dari masing-masing kelompok perlakuan. Hasil yang diperoleh terlihat pada tabel 5 dan diagram 2.

T able 5. Jumlah adhesi intraperitoneum pada setiap kelompok perlakuan

Jumlah Adhesi Intraperitoneum Nomor Kelinci

Kontrol Methylen Blue Dextran ORC

1 4 0 2 0

2 3 0 3 0

3 5 0 0 0

4 2 0 0 2

5 0 2 2 2

Rata-rata 2,80 0,40 1,40 0,80

Min 0 0 0 0

Max 5 2 3 2

Mean Rank Kruskal wallis

15,10 7,10 11,10 8,70

Kererangan ;

 Kruskal-Wallis Test :

- Chi-squere = 6,112 df = 3. Asymp sig = 0,106 ( p > 0,05 )

 Wilcoxon-Mann Whitney test:

- Kontrol >< Methylen blue : Asymp.Sig.


(51)

- Kontrol >< Dextran 70 : Asymp.Sig. (2-tailed) = 0,197( p > 0,05 )

- Kontrol >< ORC : Asymp.Sig.

(2-tailed) = 0,081( p > 0,05 )

1-5 : Kontrol 6-10 : Methylen blue 11-15 : Dextran 16-20 : ORC

Diagram 2. Jumlah adhesi yang terbentuk pada masing masing sampel dari kelompok perlakuan

Berdasarkan jumlah adesi yang terbentuk, dari tabel 5 di atas terlihat mean rangking kelompok methylen paling kecil yaitu 7,10. Mean rangking terbesar pada kelompok kontrol yaitu 15,10, diikuti dextran 11,10 dan ORC 8,70. Dari sini disimpulkan bahwa methylen blue lebih efektif dibandingkan sediaan lain dalam mencegah terbentuknya adhesi intraperi-toneal, namun apakah perbedaan ini bermakna secara statistik maka dila-kukan uji Kruskal-Wallis.


(52)

Dari perhitungan diperoleh, Kruskal-Wallis chi-squere adalah 6,112, dengan derajat kebebasan 3 dan Asymp.Signifikan pada 0,106( p > 0,05 ).

Dapat diambil kesimpulan hipotesa nol diterima, artinyaTidak ada

perbe-daan bermakna antara methylen blue, dextran 70 dan oxidized regener-ated cellulose dalam pencegahan terjadinya adhesi intraperitoneal pasca-operasi laparotomi pada hewan percobaan kelinci dalam menimbulkan jumlah adhesi intraperitoneal.

Jika dibandingkan jumlah adhesi yang terbentuk antara kelompok kontrol dengan masing masing kelompok perlakuan dengan Wilcoxon Mann-Whitney test diperoleh hasil sebagai berikut:

Perbandingan antara kontrol dan Methylen blue diperoleh Asymp. Sig. ( 2-tailed ) = 0,044 ( p < 0,05 ). Disimpulkan H0 ditolak, artinya

terdapat perbedaan yang bermakna antara kontrol dan methylen blue. Dengan kata lain methilen blue memiliki efektifitas mencegah terbentuknya adhesi intraperitoneal pascalaparotomi.

Perbandingan antara kelompok kontol dengan dextran 70 menunjukkan Asymp. Sig. ( 2-tailed ) = 0,197 ( P > 0,05 ), artinya tidak terdapat perbedaan yang bermakna. Sedangkan perbandingan antara kontrol dengan kelompok ORC diperoleh Asymp. Sig. ( 2-tailed ) = 0,081

0 5 ). Ang a ini j ga tidak bermakna.

( p > ,0 k u

.

VOLUME ADHESI 

Volume adhesi dihitung dalam satuan ml, diperoleh dengan dengan cara adhesi yang diambil dari masing-masing sampel penelitian dimasukkan kedalam tabung ukur 6 ml yang telah diisi sebelumnya


(53)

dengan larutan formalin 10 % 2 ml, Volume adhesi hasil pengukuran adalah volume akhir dikurangi 2 ml. Hasi yang diperoleh adalah sbb:

Table 6. Distribusi vulume adhesi yang terbentuk pada masing-masing ke-linci, pada masing-masing kelompok perlakuan.

Nomor Kelinci Volume Adhesi Intraperitoneum ( ml )

Kontrol Methylen Blue Dextran ORC

1 0,6 0 0,3 0

2 0,5 0 0,5 0

3 0,8 0 0 0

4 0,3 0 0 0,1

5 0 0,2 0,4 0,4

Rata-rata 0,44 0,04 0,24 0,0,1

Min 0 0 0 0

Max 0,8 0,2 0,5 0,4

Mean Rank

Kruskal wallis 15,10 6,80 11,50 8.60

Kererangan ;

 Kruskal-Wallis Test :

- Chi-squere = 6,452 df = 3. Asymp sig = 0,092 ( p > 0,05 )

 Wilcoxon-Mann Whitney test:

- Kontrol >< Methylen blue :Asymp.Sig.

(2-tailed)= 0,034( p < 0,05 )

- Kontrol >< Dextran 70 :Asymp.Sig.

(2-tailed)= 0,167( p > 0,05 )

- Kontrol >< ORC :Asymp.Sig.

(2-tailed)= 0,085( p > 0,05 )

Pada tabel diatas terlihat mean rangking Kruskal-Wallis kelompok kontrol 15,20, methylen blue 6,80, dextran 11,50 dan ORC 8,60. Jadi efektifitas methylen blue mencegah adhesi paling tinggi diikuti ORC dan dextran.


(54)

Perbedaan efektifitas ini diuji dengan Kruskal-Wallis test hasilnya, chi-squere Kruskal-Wallis= 6,452, df= 3 dan Asymp sig= 0,092( p > 0,05 ). Nilai ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara ketiga sedian dalam mengurangi volume adhesi.

Selanjutnya, dilakukan perbandingan ketiga kelompok perlakuan terhadap kontrol dengan Wilcoxon Mann-Whitney test, dimana pada perbandingan antara kontrol dan kelompok methylen blue diperoleh Asymp. Sig. (2-tailed) = 0,034 ( p < 0,05 ), artinya ada perbedaan yang bermakna antara kontrol dengan methylen blue. Perbandingan antara kontrol dengan kelompok dextran diperoleh hasil Asymp. Sig. (2-tailed) = 0,167 ( p > 0,05 ), artinya tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kontrol dengan dextran 70. Begitu juga pada perbandingan antara kontrol dan kelompok ORC diperoleh Asymp. Sig. (2-tailed) = 0,085 ( p > 0,05 ), berarti juga tidak terdapat perbedaan yang bermakna.

4.4. Derajat adhesi intraperitoneum

Derajat adhesi intraperitoneum berdasarkan skor adhesi menurut Zuhike dan kawan-kawan terdiri dari total 24 skor yang terdiri dari 6 lokasi dimana masing-masing lokasi memiliki skor terendah adalah 0 ( tidak ter-bentuk adhesi ) sampai skor tertinggi adalah 4( severe adhesi ) dengan kriteria penilaian memperhitungkan jumlah, volume, kuatnya perlekatan adhesi, seperti pada table I. Apabila kejadian adhesi hanya setempat pada 1 lokasi saja maka nilai skor terendah adalah 0 dan skor tertinggi adalah 4. Hasil pengamatan terlihat pada tabel 6, tabel 7 dan diagram 2 dan 3, serta pada lampiran 1.


(55)

Table 7. skor adhesi Zuhike et al pada masing-masing sampel dalam kelompok perlakuan.

Nomor Kelinci Skor adhesi menurut Zuhike et al

Kontrol Methylen Blue Dextran ORC

1 4 0 2 0

2 2 0 4 0

3 4 0 0 0

4 3 0 0 1

5 0 2 3 3

Rata-rata 2,60 0,04 1,80 0,80

Min 0 0 0 0

Max 4 2 4 3

Mean Rank

Kruskal wallis 14,50 7,00 11,80 8,70

Kererangan ;

 Kruskal-Wallis Test :

- Chi-squere = 5,468 df = 3. Asymp sig = 0,141 ( p > 0,05 )

 Wilcoxon-Mann Whitney test:

- Kontrol >< Methylen blue :Asymp.Sig.

(2-tailed)= 0,043( p < 0,05 )

- Kontrol >< Dextran 70 :Asymp.Sig.

(2-tailed)= 0,451( p > 0,05 )

- Kontrol >< ORC :Asymp.Sig.


(56)

kelompok perlakuan.

Dari data dan perhitungan di atas di ketahui nilai mean rangking masing-masing kelompok, nilai terendah adalah pada kelompok methylen blue = 7,00, nilai tertinggi pada kelompok kontrol = 14,50, diikuti dextran 11,80 dan ORC 8,70. Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam pencegahan adhesi methylen blue lebih efektif diikuti ORC, lalu dextran. Untuk menge-tahui apakah perbedaan efektifitas ini bermakna dilakukan uji statistik.

Nilai Kruskal-Wallis chi-squere yang diperoleh dari hasil perhitun-gan adalah 5,468, denperhitun-gan df = 3 dan Asymp sig = 0,141 ( p > 0,05 ), hasil ini menunjukkan Ho diterima yaitu : Tidak ada perbedaan bermakna antara methylen blue, dextran 70 dan oxidized regenerated cellulose dalam pencegahan terjadinya adhesi intraperitoneal pascaoperasi laparo-tomi pada hewan percobaan kelinci berdasarkan skor adhesive menurut Zuhike et al.

Perbandingan antara ketiga kelompok perlakuan dengan kontrol, dengan menggunakan Wilcoxon Mann Whitney test, hasilnya sebagai berikut;

Perbandingan antara kontrol dengan methylen blue diperoleh Asymp sig = 0,043 ( p < 0,05 ). Hasil ini menunjukkan perbedaan yang bermakna. Perbandingan antara kontrol dan dextran 70 diperoleh Asymp sig = 0,451 ( p > 0,05 ), berarti tidak bermakna. Sedangkan perbandingan antara kontrol kelompok ORC, diperoleh hasil Asymp sig = 0,104 ( p >


(57)

0,05 ), juga tidak bermakna. Dari ketiga perbandingan disimpulkan methylen blue memiliki efek anti andhesi yang bermakna.

.

D

ERAJAT 

V

ASKULERISASI  ADHESI  MENURUT  

H

ULKA  MODIFIKASI

Derajat vaskulerisasi menurut Hulka modifikasi Omran dan Berger dinilai dengan menggabungkan penilaian makroskopis yaitu jumlah dan kekuatan perlekatan dengan penilaian mikroskopis dengan melihat vas-kulerisasinya ( Tabel 2 ). Nilai tertinggi 3 sedangkan nilai terendah 0. Setelah dilakukan penilaian terhadap adhesi yang terjadi pada ke 20 ekor kelinci maka diperoleh hasil seperti terlihat pada tabel 8 dan diagram 4.

Pada tabel 8 terlihat bahwa frkuensi derajat adhesi pada semua sampel yang terbanyak adalah derajat 0 berjumlah 10 ekor, derajat 1 em-pat ekor, derajat 2 emem-pat ekor dan derajat 3 dua ekor.

Table 8. Derajat vaskulerisasi menurut Hulka modifikasi Omran dan Ber-ger pada masing-masing sampel dalam setiap kelompok perla-kuan.

Nomor Kelinci Skor vascularisasi menurut Hulka modifikasi Omran dan

Berger

Kontrol Methylen Blue Dextran ORC

1 3 0 1 0

2 1 0 3 0

3 3 0 0 0

4 3 0 0 1

5 0 1 1 2

Rata-rata 2,00 0,20 1,00 0,60

Min 0 0 0 0

Max 3 1 3 2

Mean Rank

K-Wallis 14,80 7,00 11,10 9,10

Kererangan ;

 Kruskal-Wallis Test :


(58)

 Wilcoxon-Mann Whitney test:

- Kontrol >< Methylen blue :Asymp.Sig.

(2-tailed)= 0,041( p < 0,05 )

- Kontrol >< Dextran 70 :Asymp.Sig.

(2-tailed)= 0,268( p > 0,05 )

- Kontrol >< ORC :Asymp.Sig.

(2-tailed)= 0,100( p > 0,05 )

Diagram 4. Frekuensi derajat vaskulerisasi menurut Hulka modifikasi Om-ran dan Berger.

Dari analisa data derajat vaskulerisasi Hulka di atas diperoleh nilai mean rangking dari masing masing kelompok yaitu : mean rangking kelompok kontrol 14,80, dextran 11,10, ORC 9,10 dan nilai terkecil pada kelompok methylen blue = 7,00. Hal ini menunjukan methylen blue lebih efektif mencegah adhesi dibandingkan kelompok lain, sedangkan ORC lebih efektif dibandingkan kelompok dextran dan control, dan dextran lebih efektif dibandingkan kontrol.

Selanjutnya dilakukan uji statistik apakah perbedaan ini bermakna, hasilnya adalah Kruskal Wallis chi-squer = 5,534, df = 3 dan Asymp. Siq =


(59)

0,137 ( p > 0,05 ). Dapat diambil keputusan Ho diterima yaitu : Tidak ada perbedaan bermakna antara methylen blue, dextran 70 dan oxidized re-generated cellulose dalam pencegahan terjadinya adhesi intraperitoneal pascaoperasi laparotomi pada hewan percobaan kelinci berdasarkan derajat vaskulerisasi adhesi menurut Hulka modifikasi Omran dan Berger

Selanjutnya dilakukan perbandingan antara kontol dengan masing-masing kelompok perlakuan dengan Wilcoxon Mann-Whitney test. Hasilnya antara kontrol dengan methylen blue diperoleh Asymp. Sig. (2-tailed) = 0,041 ( p < 0,05 ), artinya ada perbedaan yang bermakna antara kontrol dengan methylen blue. Perbandingan antara kontrol dengan kelompok dextran diperoleh Asymp. Sig. (2-tailed) = 0,268 ( p > 0,05 ), berarti perbedaan keduanya tidak bermakna. Pada perbandingan kelompok kontrol dengan kelompok ORC diperoleh Asymp. Sig. (2-tailed) = 0,100 ( p > 0,05 ) yang berarti perbedaan antara kontrol dan ORC juga tidak bermakna.

 

 

 

 

 


(60)

 

BAB

 

DISKUSI 

Setelah dilakukan pengambilan dan analisa data dari pengamatan pada setiap kelinci dari masing-masing kelompok perlakuan diketahui bahwa kejadian adhesi secara keseluruhan adalah 10 ekor ( 50 % ) den-gan distribusi kejadian seperti pada tabel 4 dan tabel 5. Dari ke dua tabel ini dapat saya simpulkan bahwa pada semua kelompok perlakuan terjadi adhesi dengan jumlah kejadian tertinggi pada kelompok kontrol diikuti kelompok dextran, ORC dan yang paling kecil kejadian adhesinya pada kelompok methylen blue.

Berdasarkan kepustakan yang telah disebutkan sebelumnya bahwa pada pascalaparotomi akan terjadi adhesi dengan prevalensi 67-93 % ( Menzies dkk 1990 & diamond 1991 ) pada penelitian ini kejadian adhesi 50 % dimana 80 % terjadi pada kelompok kontrol. Sedangkan pada kelompok yang lain angka kejadian lebih rendah karena telah dilakukan usaha pencegahan.

Mengenai lokasi kejadian adhesi ( tabel 6 dan lampiran 1 ) pada ke 10 kelinci yang mengalami adhesi, semua bersifat setempat pada daerah operasi ( yang di abrasi ) dimana pada 9 ekor kelinci adhesi terjadi antara ileum terminal dengan peritoneum pada luka insisi laparotomi dan 1 ekor dari kelompok kontrol ( kelinci K4 ) adhesi yang terjadi antara ileum


(61)

termi-nal dengan colon. Satu kelinci dari kelompok kontrol tidak terjadi adhesi walaupun tidak diberikan anti adhesi. Data ini menjelaskan bahwa, adhesi terjadi pada daerah yang mengalami cedera, dalam hal ini daerah yang di abrasi. Ini juga menjelaskan bahwa teknik operasi juga dapat mengurangi kejadian adhesi (Risberg, 1997), dimana pada penelitian ini hanya dilaku-kan manipulasi minimal dan insisi kecil, serta perlakuan lokal hanya pada ileum terminal.

Dari data-data kelima variabel yang dinilai, angka mean rangking sesuai uji Kruskal-Wallis juga menunjukkan ketiga sediaan memiliki efek-tifitas pencegahan terjadinya adhesi intraperitoneum pascalaparotomi pada hewan percobaan kelinci. Mean rangking menunjukkan methylen blue memiliki efektifitas yang lebih baik dalam mencegah adhesi, ini mem-buktikan bahwa benar methylen blue memiliki efek anti adhesi, bahkan lebih baik dari ORC.

Semula diduga ORC memiliki efektifitas anti adhesi yang lebih baik, namun hasil penelitian menunjukan methylen blue lebih efektif. Hal ini da-pat dijelaskan berdasarkan kepustakaan yang telah dijelaskan sebelum-nya, bahwa efektifitas ORC dapat berkurang secara singnifikan pada or-gan yang bergerak dan daerah yang mudah tergenang (Craig IB, Douglas T, Carlos ES , 1991). Oleh sebab ini lah maka pada penelitian ini efekti-fitas methylen blue lebih baik karena methylen blue memberi perlindungan pada semua permukaan organ yang cedera.


(62)

kejadian dan mean rangking dari kelima variabel yang di amati ) namun uji statistik Kruskal-Wallis pada keempat variabel menunjukan bahwa nilai Kruskal-Wallis chi-squere lebih kecil dibandingkan nilai chi-squere tabel pada derajat kebebasan 3 dengan p = 0,05, dengan katalain Kenyataan

ini menjelaskan bahwa hipotesa nol ( H0 ) diterima artinya Tidak terdapat

perbedaan bermakna antara methylen blue, dextran 70 dan oxidized re-generated cellulose dalam pencegahan terjadinya adhesi intraperitoneal pascaoperasi laparotomi pada hewan percobaan kelinci.

Setelah dilakukan perbandingan antara kelompok kontrol terhadap masing-masing kelompok perlakuan, hasil perbandingan didapatkan perbedaan yang bermakna antara methylen blue dengan kontrol pada empat variabel yaitu, variabel jumlah adhesi, jumlah volume adhesi, score adhesi menurut Zuhike et al dan derajat vascularisasi menurut Hulka modifikasi Omran dan Berger dimana nilai signifikan p < o,o5 yang dihitung dengan Wilcoxon Mann-Whitney test. Kenyataan ini menunjukkan bahwa methylen blue benar memiliki anti adhesi yang baik, methylen blue lebih efektif mencegah adhesi intraperitoneal pascalaparotomi pada hewan percobaan kelinci sesuai dengan kepustakan (Galili dkk. 1998 & Ali Celik M.D dkk 2008 ).

Dari kesemua data dan perhitungan statistik tersebut dapat disim-pulkan ketiga sedian ( methylen blue, dextran, dan ORC ) memiliki efek antiadhesi, hanya saja tidak terdapat perbedaan efektifitas yang bermakna secara statistik pada ketiganya. Dari sini disimpulkan methylen blue perlu dipertimbangkan penggunaannya dalam klinis pada manusia.


(63)

BAB

 

VI 

KESIMPULAN

 

DAN

 

SARAN 

.

KESIMPULAN 

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa:

1. Pada seluruh hewan percobaan pada semua kelompok kelompok

perlakuan dijumpai adhesi intraperitoneum, dimana kejadian adhesi tertinggi pada kelompok control yaitu 4/5 (80%), diikuti 6% dextran 70 3/5(60 %), ORC 2/5 (40 %) dan yang terkecil pada kelompok Me-thylen blue yaitu 1/5 (20 %).

2. Mean rangking Dari semua variabel yang diamati dan dianalisa

menunjukan mean rangking terkecil pada kelompok methylen blue, kemudian mean rangking ORC dan mean rangking Dextan, serta yang terbesar mean rangking kelompok control, ini menunjukkan ketiga sedian memiliki sifat antiadhesi dan antiadhesi kelompok me-thylen blue paling baik pada penelitian ini.

3. Evaluasi dari uji statistik pada keempat variabel menunjukkan

Kruskal-Wallis chi-squere < dari chi-squere tabel pada df = 3 dan p = 0,05. Sehingga diputuskan hipotesa nol ( H0 ) di terima, artinya “

ti-dak ada perbedaan bermakna antara methylen blue, dextran 70 dan oxidized regenerated cellulose dalam pencegahan terjadinya adhesi


(64)

linci.

4. Uji statistik dengan Wilcoxon Mann-Whitney test untuk

membandingkan kelompok kontrol terhadap masing-masing kelompok perlakuan menunjukkan perbedaan bermakna antara methylen blue dengan kontrol ( p < 0,05 ), kenyataan ini membuktikan bahwa methylen blue benar memiliki anti adhesi yang baik ( bermakna ), methylen blue lebih efektif mencegah adhesi intraperitoneal pascalaparotomi pada hewan percobaan kelinci

.

S

ARAN

 

Karena methylen blue jelas memiliki efek anti adhesi dan tidak ter-dapat perbedaan bermakna antara methylen blue, dextran dan ORC dalam mencegah adhesi intraperitoneal pascalaparotomi pada hewan percobaan kelinci. Maka perlu dipertimbangkan penggunaannya dalam


(65)

D

AFTAR 

P

USTAKA

 

1. American Society for Reproductive Medicine. Pathogenesis,

consequences, and control of peritoneal adhesions in gynecologic surgery. Fertil Steril; 2006.p. 86

2. Attard JA, MacLean AR. Adhesive small bowel obstruction: epidemiology, biology and prevention. Can J Surg 2007; 50(4): 291-300.

3. Badawy, S. Z., dan Iskandar, S.. Omental reaction in cases of uterine

perforation by the IUCD. Br. J. Contraception 1974;10: 73-77.

4. Bae JS, Ahn SJ, Yim H, Jong K, Jin HK. Prevention of Intraperitoneal Adhesions and Abscesses by Polysaccharides Isolated From Phelinus spp in a Rat Peritonitis Model. Ann Surg 2005; 241: 534-540

5. Celik A, Ucar A.E, Urgul E, Bekar M.E & Kusdemir A: Which Is Most Effective In Prevention of Postoperative Intraperitoneal Adhesions Methylene Blue, Low Molecular Weight Heparin or Vitamin E: An

Experimental Study In Rats. J. Surg 2008; 150-1

6. Cheong YC, Laird SM, Shelton JB, Ledger WL, Cooke LD. Peritoneal healing and adhesion formation/ reformation. Human Reproduction Update 2001; 7. (6): 556-566,

7. Craig IB, Douglas T, Carlos ES, A Comparision of TC7 and 32% Dex-tran 70 For Preventiom of Postoperative Adhesion in Hamster, Jur. American College of Obstetriciams and Gynecologists, 1991; 858-860 8. Diamond MP, Decherney AH. Pathogenesis of Adhesion Formation/

Reformation: Application to Reproductive Pelvic Surgery. Microsurgery 1987: 8:103-107,

9. Diamond MP, Orhon E. Adhesion Prevention and Lysis: Indications for Laparotomy and Laparoscopy. In: Sanfilippo JS, Levine RL. Operative Gynecologic Endoscopy. 2nd Ed., Springer-Verlag 1996; 391 - 401


(66)

10. Dinc S, Ozaslan C, Kuru B, et al. Methylene blue prevents surgery-induced peritoneal adhesions but impairs the early phase of

anastomo-tic wound healing. Can J Surg 2006; 49(5):321-8

11. Dizerega GS Peritoneal Surgery. New York: Springer-Verlag; 2000,p 9-124

12. Eko, W. P., dan Sutanto, W.. Pencegahan adhesi usus menggunakan

cairan dextran dan gelatin yang dimodifikasi. Universitas Airlangga.

Surabaya: 1997. l. 4-9.

13. Ellis H. The causes and prevention of intestinal adhesions. Br J Surg

1982; 69: 241-3

14. Friel JP, kamus kedokteran Dorlan, Darma A, EGC 1994; 596.

15. Galili Y, Ben-Abraham R, Rabau M, et al. Reduction of

surgery-induced adhesions by methylene blue. Am J Surg 1998, 175:30-2

16. Guvenal, T., Cetin, A., Ozdemir, H., Yanar, O. dan Kaya, T. Prevention of postoperative adhesion formation in rat uterine horm model by ni-mesulide: a selective COX-2 inhibitor.Hum.Reprod 2001;16: 1732( s ) 17. Hellebrekers BWJ, Kemper GCM, Blitterswijk CA, Bakkum EA, Trimbos

JBMZ. Effects of five different barrier materials on postsurgical adhesion formation in the rat. Human Reproduction 2000; 15, 6, 1358-1363

18. Holmdahl, L, dan Risberg B.O.. Adhesion: prevention dan complication in general surgery. Eur. J. Surg 1997;163 - 9.

19. Kate-Booij MJ, Geldorp HJ, Drogendijk AC. Dextran and adhesion in guinea-pigs. J. Reprod. Fert 1985; 177. 75, 183-188

20. Kelner MJ, Bagnell R, Hale B, Alexander NM. Methylene blue com-petes with paraquat for reduction by flavo-enzymes resulting in

de-creased superoxide production in the presence of heme proteins. Arch


(1)

the attenuation of ischemia/reperfusion injury. Biochem Pharmacol, 1991. 42. p. 499-506

32. Scovill W. Small bowel obstruction. In: Cameron JL (ed): Current ther-apy in surgery. St.Louis, Mosby, 1995. 100-104

33. Setiawati A dkk, Farmakologi dan Terapi, FK UI. 2004.4. p. 14

34. Stephen MC, Arthur FH, Linsky CB, Prevention of Postsurgical Adhe-sion by Interceed ( TC7 ) an Absorbable Barrier : a Prospective Ran-domized Multicenter Study, Fertility and Sterility, American J Fertility Society 1989; 51. 6. 933-38

35. Suslavich FJ, Turner NA, King PS, et al. Intra-abdominal adhesions: Intraoperative US. Radiology; 1989. 172. P.387-9

36. Witmann, D. H., dan Walker, A. P.. Peritonitis dan intraabdominal in-fection. In Grawhill Me. Ed. Principles of surgery; 1994, 2: 1425-1460 37. Yunita S.P. Efek Peningkatan Dosis Celecoxib Dalam Upaya Pencegahan

Adhesi Intraperitoneum Pascalaparotomi pada Tikus, Departemen Far-makologi & Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, 2007, p 10 – 18

38. Zutpen. MV, Bauman.V. Beynen AC, Principles of Laboratory Animal Sci-ence, Reveised Edition, Amsterdam Elservier, 2001, p.283-4


(2)

SURAT KETERANGAN

Sudah Diperiksa Karya Tulis Tugas Akhir :

Judul : Perbandingan Efektivitas Methylen Blue, Dextran 70 dan Oxidized Regenerated Cellulose dalam

Pencegahan Adhesi Intraperitoneal Pascaoperasi Laparotomi dengan Abrasi Ileum Terminal Pada Hewan Percobaan Kelinci.

Peneliti : Eddy Ahmad Syahputra

Bagian : Departemen Ilmu Bedah FK USU Institusi : Universitas Sumatera Utara

Medan, Agustus 2010 Konsultan Metodologi Penelitian

Fakultas Kedokteran USU Medan

Prof.Dr.dr. Aznan Lelo, SpF,PhD


(3)

LAMPIRAN 

Kelinci Berat Badan

( gr )

Umur (Bulan)

Foto Relaparotomi ( H 15 ) Jumlah Adhesi

Volume Adhesi

Dera adh

K 1 670 4,5 1 0,3 ml 2

K 2 780 4,5 2 0, 4 ml 2

K 3 840 5 3 0,6ml 4

K 4 950 6 1 0,3 ml 3


(4)

MB 1 630 4,5 0 0 0

0 0

MB 2 870 5,5 0

MB 3 890 5,5 0 0 0

MB 4 820 5 0 0 0

MB 5 750 5 1 0,5 ml 3


(5)

Dx 1 800 5 1 0,3 ml 2

Dx 2 750 5 1 0,4 ml 4

Dx 3 850 5,5 0 0 0

Dx 4 950 6 0 0 0


(6)

ORC 1 820 5 0 0 0

ORC 2 680 4,5 0 0 0

ORC 3 750 5 0 0 0

ORC 4 910 6 2 0,1 1

ORC 5 850 5,5 1 0,3 ml 3


Dokumen yang terkait

Pengaruh Suhu Salin Dingin dan Durasi Irigasi Intraperitoneal terhadap Pembentukan Adhesi Peritonium pada Hewan Coba Tikus

1 54 49

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS ANTARA KETOROLAK DAN PETIDIN SEBAGAI OBAT ANTI NYERI PASCAOPERASI

0 1 41

Penggunaan Virgin Coconut Oil (VCO) Sebagai Pencegahan Adhesi Pasca Laparotomi Pada Perfomasi Colon.

0 2 14

PERBANDINGAN PEMBERIAN LARUTAN HYALURONIC ACID – ARBOXYMETHYLCELLULOSE DENGAN LARUTAN DEXTRAN 40 SECARA INTRAPERITONEAL DALAM MENURUNKAN KEJADIAN ADHESI INTRAPERITONEAL PASCALAPAROTOMI PADA TIKUS WISTAR.

1 15 50

Efek Oksigen Konsentrasi Tinggi Pascaoperasi Laparotomi pada Peritonitis terhadap Tingkat Infeksi Luka Operasi.

0 0 4

HUBUNGAN EKSPLORASI ILEUM DENGAN INSIDENSI ADHESI INTRAPERITONEAL PASCA APPENDEKTOMI TERBUICA (Penelitian pada hewan percobaan) - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 24

PENCEGAHAN ADHESI INTRA PERITONEAL PASCA LAPAROTOMI MEMAKAI BARTER MEKANIK EKSTRAK PROPOLIS 10% DALAM AIR PADA KELINCI PERCOBAAN - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 56

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan Fungsi Peritoneum - Pengaruh Suhu Salin Dingin dan Durasi Irigasi Intraperitoneal terhadap Pembentukan Adhesi Peritonium pada Hewan Coba Tikus

0 0 11

Pengaruh Suhu Salin Dingin dan Durasi Irigasi Intraperitoneal terhadap Pembentukan Adhesi Peritonium pada Hewan Coba Tikus

0 0 14

PENGOLAHAN LIMBAH METHYLEN BLUE SECARA FOTOKATALISIS TiO2 DENGAN PENAMBAHAN Fe DAN ZEOLIT

0 0 8