Pengaruh Suhu Salin Dingin dan Durasi Irigasi Intraperitoneal terhadap Pembentukan Adhesi Peritonium pada Hewan Coba Tikus

(1)

PENGARUH PERBEDAAN SUHU SALIN DINGIN DAN DURASI IRIGASI INTRAPERITONEAL TERHADAP PEMBENTUKAN ADHESI

PERITONIUM PASCA LAPAROTOMI PADA HEWAN COBA TIKUS

TESIS

Peneliti

HELDRIAN DWINANDA SUYUTHIE

DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

KARYA TULIS TUGAS AKHIR MAGISTER ILMU BEDAH PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BEDAH

DEPARTEMEN ILMU BEDAH FK USU

Judul Penelitian : PENGARUH PERBEDAAN SUHU SALIN

DINGIN DAN DURASI IRIGASI INTRAPERITONEAL TERHADAP

PEMBENTUKAN ADHESI PERITONIUM PASCA LAPAROTOMI PADA HEWAN COBA TIKUS

Nama Mahasiswa : Heldrian Dwinanda Suyuthie

Nomor Induk Mahasiswa : 080036

Program Studi : Ilmu Bedah

Menyetujui

Pembimbing:

Dr. Budi Irwan, SpB.KBD Prof.Dr.Bachtiar Surya, SpB.KBD

Diketahui Oleh:

Kabag Ilmu Bedah USU Ketua Program Studi PPDS

RSUP H.Adam Malik Medan Ilmu Bedah FK USU


(3)

SURAT KETERANGAN

SUDAH DIPERIKSA HASIL PENELITIAN :

JUDUL : PENGARUH PERBEDAAN SUHU SALIN DINGIN

DAN DURASI IRIGASI INTRAPERITONEAL TERHADAP PEMBENTUKAN ADHESI PERITONIUM PASCA LAPAROTOMI PADA HEWAN COBA TIKUS

PENELITI : HELDRIAN DWINANDA SUYUTHIE

DEPARTEMEN : ILMU BEDAH

NIM : 080036

INSTITUSI : FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN, OKTOBER 2013 KONSULTAN

METODOLOGI PENELITIAN FAKULTAS KEDOKTERAN USU

PROF.DR. H. AZNAN LELO, PhD, SpF NIP.1951 1202 197902 1 001


(4)

SURAT KETERANGAN

SUDAH DIPERIKSA HASIL PENELITIAN :

JUDUL : PENGARUH PERBEDAAN SUHU SALIN DINGIN

DAN DURASI IRIGASI INTRAPERITONEAL TERHADAP PEMBENTUKAN ADHESI PERITONIUM PASCA LAPAROTOMI PADA HEWAN COBA TIKUS

PENELITI : HELDRIAN DWINANDA SUYUTHIE

DEPARTEMEN : ILMU BEDAH

NIM : 080036

INSTITUSI : FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN, OKTOBER 2013 KONSULTAN PATOLOGI ANATOMI FAKULTAS KEDOKTERAN USU

Dr. JAMALUDDIN, SpPA NIP: 1951 12021 979021 003


(5)

SURAT KETERANGAN

SEKSI ILMIAH DEPARTEMEN ILMU BEDAH FK USU

JUDUL : PENGARUH PERBEDAAN SUHU SALINE

DINGIN DAN DURASI IRIGASI INTRAPERITONEAL TERHADAP

PEMBENTUKAN ADHESI PERITONIUM PASCA LAPAROTOMI PADA HEWAN COBA TIKUS

PENELITI : HELDRIAN DWINANDA SUYUTHIE

DEPARTEMEN : ILMU BEDAH

INSTITUSI : FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN,OKTOBER 2013 SEKSI ILMIAH

DEPARTEMEN ILMU BEDAH FK USU

Dr. BUDI IRWAN, SpB-KBD NIP.196712201997031001


(6)

PERNYATAAN

PENGARUH PERBEDAAN SUHU SALIN DINGIN DAN DURASI IRIGASI INTRAPERITONEAL TERHADAP PEMBENTUKAN ADHESI PERITONIUM PASCA LAPAROTOMI PADA HEWAN COBA TIKUS

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2013


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis ucapkan kehadirat ALLAH SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini yang merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Bedah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Dengan selesainya penulisan tesis ini, perkenankanlah penulis untuk menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

Almarhum ayahanda DR.Helmi Suyuthie,M.Ed dan ibunda

Prof.DR.Nurhizrah Gistituati,M.Ed, terima kasih yang sedalam-dalamnya dan setulus-tulusnya, yang telah membesarkan dan mendidik penulis sejak kecil dengan penuh kesabaran, kasih sayang dan perhatian, serta papa Dr.Herwanto,SpB dan mama Mardelia Desfrida,SE,M.Sc atas segala kemudahan, doa dan dukungannya.

Terima kasih yang sebesarnya untuk istriku tersayang dr.Amelia Dwifika Putri atas segala pengorbanan, pengertian, dukungan semangat, kesabaran dan kesetiaan dalam segala suka duka mendampingi penulis selama menjalani masa pendidikan yang panjang ini. Serta untuk kedua putra ku Hadziq Elkhair Suyuthie dan Hagan Elfaeza Suyuthie yang telah memberikan semangat baru bagi penulis untuk menyelesaikan tulisan ini. Penulis sadar bahwa bukan waktu yang singkat buat kalian untuk menunggu dan merasakan suka dukanya perjalanan sekolah ini, dan seluruh keluarga besar yang tidak mungkin saya sebutkan satu-persatu di sini, penulis mengucapkan terima kasih atas pengertian dan dukungan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan.

Kepada Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara dan Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister Ilmu Bedah di lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Ketua Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dr.Emir T Pasaribu, SpB(K)ONK dan Sekretaris Departemen, dr. Erjan


(8)

Fikri, SpB,SpBA. Ketua Program Studi Ilmu Bedah, dr. Marshal SpB,SpBTKV dan Sekretaris Program Studi Ilmu Bedah, dr. Asrul S, SpB-KBD, yang telah bersedia menerima, mendidik dan membimbing penulis selama penulis menjalani pendidikan.

dr. Budi Irwan, SpB-KBD dan Prof.Bachtiar Surya sebagai pembimbing serta staf divisi Bedah Digestif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan, yang telah sabar membimbing, mendidik, membuka wawasan penulis, senantiasa memberikan dorongan dan motivasi yang tiada hentinya dengan penuh bijaksana dan tulus ikhlas disepanjang waktu sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada guru-guru saya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, di lingkungan RSUP H Adam Malik, RSU Pirngadi Medan dan di semua tempat yang telah mengajarkan keterampilan bedah pada diri saya. Semua telah tanpa pamrih memberikan bimbingan, koreksi dan saran kepada penulis selama mengikuti program pendidikan ini.

Prof. Aznan Lelo, PhD, SpFK, yang telah membimbing, membantu dan meluangkan waktu dalam membimbing statistik dari tulisan tugas akhir ini.

Para Senior, dan semua rekan seperjuangan peserta program studi Bedah Medan yang bersama-sama menjalani suka duka selama pendidikan. Terima kasihku buat kalian semua di sepanjang waktu kebersamaan kita.

Mohon maaf penulis pada semua orang, atas kesalahan ucapan dan perbuatan yang telah terjadi. Semoga ilmu yang penulis peroleh selama pendidikan magister ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Medan, Oktober 2013


(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iv

ABSTRAK ... v

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. LATAR BELAKANG ... 1

1.2. RUMUSAN MASALAH ... 3

1.3. HIPOTESIS PENELITIAN ... 3

1.4. TUJUAN PENELITIAN ... 3

1.5. MANFAAT PENELITIAN ... 4

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. ANATOMI DAN FUNGSI PERITONEUM ... 5

2.2. DEFENISI ... 5

2.3. ETIOLOGI ... 6

2.4. PATOFISIOLOGI PEMBENTUKAN ADHESI ... 7

2.4.1. Respon Trauma Pada Peritoneum ... 7

2.4.2. Mekanisme Terjadinya Adhesi ... 8

2.5. USAHA UNTUK PENCEGAHAN ADHESI INTRAPERITONEUM . 10

2.5.1. Prinsip umum ... 10

2.5.2. Teknik operasi ... 10

2.5.3 Barir mekanik ... 11

2.5.4 Zat kimia ... 12

2.6 HIPOTERMIA ... 15

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. DESAIN ... 16

3.2. TEMPAT DAN WAKTU ... 16

3.3. SAMPEL PENELITIAN ... 16

3.4. ETIKA PENELITIAN ... 16

3.5. CARA KERJA DAN ALUR PENELITIAN ... 16

3.6. VARIABEL PENELITIAN ... 18

3.4.1. Variabel Dependen ... 18

3.4.2. Variabel Independen ... 18

3.7. DEFENISI OPERASIONAL ... 18

3.8. KRITERIA PENELITIAN ... 19

3.8.1. Kriteria Inklusi ... 19

3.8.2. Kriteria Eksklusi ... 19


(10)

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengaruh suhu terhadap pembentukan adhesi peritonium ... 21

4.2 Pengaruh durasi irigasi terhadap pembentukan adhesi peritonium ... 23

4.2.1 Pengaruh irigasi 15 menit terhadap derajat adhesi ... 23

4.2.2 Pengaruh irigasi 30 menit terhadap derajat adhesi ... 24

4.3 Pengaruh suhu terhadap skor fibrosis secara histopatologi ... 24

4.4 Pengaruh durasi irigasi terhadap skor fibrosis secara histopatologi ... 25

4.4.1 Pengaruh irigasi 15 menit terhadap skor fibrosis ... 25

4.4.2 Pengaruh irigasi 30 menit terhadap skor fibrosis ... 26

BAB 5 DISKUSI BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 31


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 : Distribusi kelompok hewan coba ... 18

Tabel 4.1 : Derajat adhesi peritonium pada hewan coba pasca laparotomi . 22 Tabel 4.2 : Pengaruh suhu terhadap derajat adhesi pada durasi irigasi 15 menit ... 23

Tabel 4.3 : Pengaruh suhu terhadap derajat adhesi pada durasi irigasi 30 menit ... 24

Tabel 4.4: Skor fibrosis histopatologi pada kelompok hewan coba ... 25

Tabel 4.5: Pengaruh durasi irigasi 15 menit terhadap derajat fibrosis ... 26


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1: Keseimbangan antara plasminogen aktivator dan plasminogen inhibitor terhadap pembentukan adhesi

peritonium ... 9 Gambar 3.1: Hewan coba diaklimatisasi selama tujuh hari sebelum

percobaan dimulai ... 16

Gambar 3.2: Saekum dieksteriorisasi dan dilakukan maserasi peritonium ... 17 Gambar 3.3: Persiapan suhu 8oC dan 16oC pada kulkas konvensional ... 17 Gambar 3.4: Rongga peritonium di irigasi dengan cairan salin pada suhu

yang diinginkan ... 18 Gambar 4.1: Adhesi peritonium pasca laparatomi hari ke delapan ` ... 21

Gambar 4.2: Skor fibrosis secara histopatologis (x100) dengan pewarnaan


(13)

(14)

Pengaruh Suhu Salin Dingin dan Durasi Irigasi Intraperitoneal terhadap Pembentukan Adhesi Peritonium pada Hewan Coba Tikus

Heldrian D. Suyuthie1, Bachtiar Surya2, Budi Irwan2 1

PPDS Bedah Universitas Sumatera Utara, 2Divisi Bedah Digestif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara-Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan

Abstrak

Latar belakang Adhesi peritonium merupakan suatu tantangan klinis dalam operasi gastrointestinal sebagai komplikasi dari iritasi peritonium baik karena infeksi ataupun trauma pembedahan. Kami mencoba meneliti pengaruh cairan salin suhu 8oC sebagai irigasi intraperitoneal pasca laparotomi dan pengaruh durasi irigasi terhadap penurunan adhesi.

Metode 30 ekor tikus wistar dengan berat 200gr-225gr dibagi menjadi 6 kelompok percobaan. (I) irigasi dengan suhu kontrol (32oC) selama 15 menit, (II) Irigasi dengan suhu kontrol (32oC) selama 30 menit, (III) irigasi dengan suhu 8oC selama 15 menit, (IV) Irigasi dengan suhu 8oC selama 30 menit, (V) Irigasi dengan suhu 16oC selama 15 menit, (VI) irigasi dengan suhu 16oC selama 30 menit. Dilakukan penilaian derajat fibrosis secara makroskopis dengan metode Evans dan penilaian derajat fibrosis secara histopatologi.

Hasil Skor adhesi secara makroskopis terendah pada irigasi salin suhu 8oC dengan rata-rata 0.70±0.82 dan yang tertinggi pada suhu kontrol 32oC dengan rata-rata 2.30±0.82, sedangkan pada suhu 16oC didapat rata-rata 2.10±0.7. Skor fibrosis secara histopatologi pada suhu 8oC didapatkan rata-rata 1.17±0.408, pada suhu 16oC dengan rata-rata 2.25±0.707 dan pada suhu 32oC dengan rata-rata skor fibosis 2.50±0.707. Durasi irigasi 15 menit dan 30 menit tidak berpengaruh terhadap derajat adhesi peritonium pasca laparotomi.

Simpulan Pemberian irigasi salin dingin 8oC berpengaruh terhadap penurunan derajat adhesi peritonium namun durasi irigasi tidak berpengaruh terhadap pembentukan adhesi peritonium pasca laparotomi pada hewan coba tikus.

Kata kunci: Adhesi, salin dingin, laparotomi, peritonium.

Effect of Temperature and Duration of Cold Saline Intraperitoneal Irrigation on Adhesion Formation of the Peritoneum in Rats Model

Abstract

Background Peritoneum adhesion is an important clinical challenges in gastrointestinal surgery as a complication of either due to infection or trauma. We tried to examine the effect of 8oC intraperitoneal saline irrigation and the duration of 15 minute and 30 minute to their effect on adhesion reduction post laparotomy surgery.

Methods 30 Wistar rats weighing 200gr - 225gr were divided into 6 experimental groups. (I) irrigation with control (32°C) temperature for 15 minutes, (II) Irrigation with control (32oC) temperature for 30 minutes, (III) irrigation with a temperature of 8oC for 15 minutes , (IV) Irrigation with a temperature of 8oC for 30 minutes, (V) irrigation with a temperature of 16oC for 15 minutes, (VI) irrigation with a temperature of 16oC for 30 minutes. Evaluation of macroscopic adhesion degree with Evans method and degree of fibrosis in histopathological assessment.

Results The lowest Macroscopic adhesion score on 8oC temperature saline irrigation with an average 0.70 ± 0.82 and the highest at the control temperature 32oC with an average 2.30 ± 0.82, while at 16oC temperature obtained an average 2.10 ± 0.7. Histopathological fibrosis score at temperatures of 8oC obtained an average 1.17 ± 0.408, at a temperature of 16oC with an average 2.25 ± 0.707 and at a temperature of 32oC with an average score of fibosis 2:50±0.707. Irrigation duration 15 minutes and 30 minutes did not affect the degree of adhesion after laparotomy .

Conclusion Giving 8oC cold saline irrigation affect the degradation of adhesion peritoneum after laparotomy, while the duration of irrigation does not affect the degree of adhesion after laparotomy in rats.


(15)

Pengaruh Suhu Salin Dingin dan Durasi Irigasi Intraperitoneal terhadap Pembentukan Adhesi Peritonium pada Hewan Coba Tikus

Heldrian D. Suyuthie1, Bachtiar Surya2, Budi Irwan2 1

PPDS Bedah Universitas Sumatera Utara, 2Divisi Bedah Digestif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara-Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan

Abstrak

Latar belakang Adhesi peritonium merupakan suatu tantangan klinis dalam operasi gastrointestinal sebagai komplikasi dari iritasi peritonium baik karena infeksi ataupun trauma pembedahan. Kami mencoba meneliti pengaruh cairan salin suhu 8oC sebagai irigasi intraperitoneal pasca laparotomi dan pengaruh durasi irigasi terhadap penurunan adhesi.

Metode 30 ekor tikus wistar dengan berat 200gr-225gr dibagi menjadi 6 kelompok percobaan. (I) irigasi dengan suhu kontrol (32oC) selama 15 menit, (II) Irigasi dengan suhu kontrol (32oC) selama 30 menit, (III) irigasi dengan suhu 8oC selama 15 menit, (IV) Irigasi dengan suhu 8oC selama 30 menit, (V) Irigasi dengan suhu 16oC selama 15 menit, (VI) irigasi dengan suhu 16oC selama 30 menit. Dilakukan penilaian derajat fibrosis secara makroskopis dengan metode Evans dan penilaian derajat fibrosis secara histopatologi.

Hasil Skor adhesi secara makroskopis terendah pada irigasi salin suhu 8oC dengan rata-rata 0.70±0.82 dan yang tertinggi pada suhu kontrol 32oC dengan rata-rata 2.30±0.82, sedangkan pada suhu 16oC didapat rata-rata 2.10±0.7. Skor fibrosis secara histopatologi pada suhu 8oC didapatkan rata-rata 1.17±0.408, pada suhu 16oC dengan rata-rata 2.25±0.707 dan pada suhu 32oC dengan rata-rata skor fibosis 2.50±0.707. Durasi irigasi 15 menit dan 30 menit tidak berpengaruh terhadap derajat adhesi peritonium pasca laparotomi.

Simpulan Pemberian irigasi salin dingin 8oC berpengaruh terhadap penurunan derajat adhesi peritonium namun durasi irigasi tidak berpengaruh terhadap pembentukan adhesi peritonium pasca laparotomi pada hewan coba tikus.

Kata kunci: Adhesi, salin dingin, laparotomi, peritonium.

Effect of Temperature and Duration of Cold Saline Intraperitoneal Irrigation on Adhesion Formation of the Peritoneum in Rats Model

Abstract

Background Peritoneum adhesion is an important clinical challenges in gastrointestinal surgery as a complication of either due to infection or trauma. We tried to examine the effect of 8oC intraperitoneal saline irrigation and the duration of 15 minute and 30 minute to their effect on adhesion reduction post laparotomy surgery.

Methods 30 Wistar rats weighing 200gr - 225gr were divided into 6 experimental groups. (I) irrigation with control (32°C) temperature for 15 minutes, (II) Irrigation with control (32oC) temperature for 30 minutes, (III) irrigation with a temperature of 8oC for 15 minutes , (IV) Irrigation with a temperature of 8oC for 30 minutes, (V) irrigation with a temperature of 16oC for 15 minutes, (VI) irrigation with a temperature of 16oC for 30 minutes. Evaluation of macroscopic adhesion degree with Evans method and degree of fibrosis in histopathological assessment.

Results The lowest Macroscopic adhesion score on 8oC temperature saline irrigation with an average 0.70 ± 0.82 and the highest at the control temperature 32oC with an average 2.30 ± 0.82, while at 16oC temperature obtained an average 2.10 ± 0.7. Histopathological fibrosis score at temperatures of 8oC obtained an average 1.17 ± 0.408, at a temperature of 16oC with an average 2.25 ± 0.707 and at a temperature of 32oC with an average score of fibosis 2:50±0.707. Irrigation duration 15 minutes and 30 minutes did not affect the degree of adhesion after laparotomy .

Conclusion Giving 8oC cold saline irrigation affect the degradation of adhesion peritoneum after laparotomy, while the duration of irrigation does not affect the degree of adhesion after laparotomy in rats.


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Adhesi peritonium merupakan suatu tantangan klinis penting dalam operasi gastrointestinal sebagai komplikasi dari iritasi peritonium baik karena infeksi ataupun trauma pembedahan. Adhesi peritonium dianggap sebagai penyembuhan yang patologis setelah cedera peritonium, terutama karena tindakan pembedahan. Keseimbangan antara deposisi dan degradasi fibrin sangat penting dalam menentukan penyembuhan peritonium normal atau pembentukan adhesi. (Fang, 2010; Binda,2006; Binda,2009)

Pembentukan adhesi peritonium merupakan komplikasi yang sering terjadi setelah operasi laparotomi. Angka kejadian adhesi peritonium pasca laparotomi berkisar antara 67% hingga 93%.2 Adhesi peritonium merupakan penyebab morbiditas yang tinggi pasca tindakan pembedahan meskipun bertahun-tahun kemudian setelah tindakan awal pembedahan. 40% kasus obstruksi disebabkan oleh adhesi peritonium. Adhesi peritonium juga dapat menyebabkan nyeri panggul kronik pada 20%-50% kasus. Adhesi pada daerah panggul juga berperan terhadap kejadian infertilitas pada 15% sampai 40% kasus.(Arung,2011)

Adhesi peritonium memiliki dampak ekonomi yang signifikan. Diperkirakan di Amerika Serikat terdapat 117 rawat inap yang berkaitan dengan adhesi per 100.000 orang. Di beberapa negara Eropa, biaya medis untuk penanggulangan adhesi lebih dari pengeluaran biaya medis bedah untuk kanker lambung dan hampir sebanyak untuk kanker kolorektal. Adhesi pasca operasi memiliki dampak ekonomi yang mendalam, termasuk prosedur bedah itu sendiri, rawat inap, penyembuhan, dan kehilangan produktivitas. Dengan demikian, mengembangkan strategi yang efektif untuk pencegahan adhesi dapat membantu mengurangi biaya manajemen, morbiditas, dan mortalitas yang tidak perlu. (Pismensky et al,2011)


(17)

Mekanisme yang mendasari terjadinya adhesi peritonium belum diketahui secara jelas. Patogenesis dari pembentukan adhesi dapat dipengaruhi oleh tiga faktor utama; (I) Inhibisi dari sistem fibrinolitik dan degradasi matrix extraseluler, (II) induksi dari respon inflamasi, dan (III) hipoksia jaringan. (Pismensky, 2011)

Salah satu patogenesis terjadinya adhesi adalah hasil dari respon inflamasi terhadap cedera jaringan peritonium. Meskipun mekanismenya tidak jelas, penggunaan salin dingin diduga memiliki efek anti inflamasi. Salin dingin dapat menyebabkan terjadinya vasokonstriksi sehingga menghambat pengeluaran faktor-faktor inflamasi.(Arung,2011; Fang,2010; Cheong,2001)

Banyak metode yang digunakan untuk mencegah terjadinya adhesi peritonium pasca laparotomi. Mulai dari teknik pembedahan minimal invasif, penggunaan barir mekanik, protein rekombinan dan antibodi, gen terapi, serta bahan-bahan kimia dan obat-obatan tertentu yang bertujuan untuk menurunkan kejadian adhesi peritonium pasca laparotomi. Namun demikian belum ada satu metodepun yang paling optimal untuk mencegah terjadinya adhesi. (Fang, 2010; Pismensky, 2011; Arung, 2011)

Penelitian yang dilakukan oleh Binda dkk menyebutkan bahwa dengan menurunkan suhu tubuh pada hewan coba tikus menjadi 32oC dapat mengurangi kejadian adhesi peritonium. Diduga bahwa hipotermi dapat menekan respon inflamasi. Penurunan suhu tubuh ini didapat dengan menurunkan suhu gas CO2

yang digunakan untuk pneumoperitonium intra peritoneal pada tindakan laparoskopi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa dengan mendinginkan suhu gas intraperitoneal yang digunakan untuk laparoskopi dapat menurunkan kejadian adhesi peritonium.(Binda, 2006)

Binda dkk juga melakukan penelitian dengan menggunakan CO2

hipotermik (21oC) untuk pneumoperitoneum dibandingkan dengan gas isotermik (37oC) selama kolesistektomi laparoskopi dalam studi acak prospektif. Pengukuran dilakukan sebelum insufflasi, pada 30 menit pneumoperitoneum dan 30 menit setelah desufflasi. Tidak terdapat perbedaan signifikan yang diamati pada inti suhu tubuh, pH darah arteri, tekanan arteri karbon dioksida, serta tekanan arteri bikarbonat dan saturasi oksigen pada kedua kelompok. Perbedaan yang signifikan hanya pada rata-rata suhu kulit dimana suhu kulit isotermik lebih


(18)

tinggi dari pada kelompok hipotermia. Data ini menunjukkan bahwa pendinginan rongga intraperitoneal hanya bersifat superfisial.(Binda, 2009)

Penelitian yang telah dilakukan oleh Fang juga menyimpulkan bahwa penggunaan salin 4oC sebagai irigasi selama 30 menit dapat mengurangi pembentukan adhesi peritonium pasca laparotomi. Namun penelitian tersebut masih belum dapat menyimpulkan pada suhu berapa dan lamanya irigasi ideal yang dibutuhkan untuk menurunkan kejadian adhesi peritoneal. (Fang, 2010)

Penelitian yang telah dilakukan dengan suhu 4oC dianggap terlalu dingin dan dapat menyebabkan terjadinya hipotermi sehingga perlu untuk diteliti lebih lanjut suhu yang lebih besar dari 4oC, demikian juga dengan lamanya irigasi terhadap penurunan pembentukan adhesi peritonium belum dapat disimpulkan. (Fang, 2010)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, peneliti bermaksud untuk mengetahui apakah ada pengaruh penggunaan salin dingin 8oC dan 16oC dan lamanya irigasi intra peritoneal terhadap pembentukan adhesi peritonium.

1.3. Hipotesis Penelitian

1. Terdapat perbedaan bermakna suhu salin 8oC dan 16oC terhadap pembentukan adhesi peritonium pasca laparotomi pada hewan coba tikus. 2. Terdapat perbedaan bermakna durasi irigasi intraperitonium 15 menit dan

30 menit terhadap pembentukan adhesi peritonium pasca laparotomi pada hewan coba tikus.


(19)

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum : Mengetahui pengaruh penggunaan irigasi salin dingin terhadap pembentukan adhesi peritonium pasca laparatomi pada hewan coba tikus.

1.4.2. Tujuan Khusus :

1. Mengetahui pengaruh suhu 8oC dan 16oC terhadap pembentukan adhesi peritonium pasca laparatomi pada hewan coba tikus.

2. Mengetahui pengaruh irigasi salin dingin selama 15 menit dan 30 menit terhadap pembentukan adhesi peritonium pasca laparatomi pada hewan coba tikus.

3. Mengetahui skor adhesi makroskopis pada pemberian salin dingin pasca laparotomi pada hewan coba tikus.

4. Mengetahui skor fibrosis secara histopatologi pada pemberian salin dingin pasca laparotomi pada hewan coba tikus.

1.5. Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan dapat mengetahui suhu dan durasi irigasi dengan salin dingin yang lebih optimal dalam menurunkan pembentukan adhesi peritonium pasca laparotomi pada hewan coba tikus.


(20)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Anatomi dan Fungsi Peritoneum

Peritoneum merupakan selapis sel mesotelium komplek dengan membran basalis yang ditopang oleh jaringan ikat yang kaya akan pembuluh darah. Peritoneum terdiri dari peritoneum parietal yang melapisi dinding bagian dalam rongga abdomen, diafragma dan organ retroperitoneum dan peritoneum visceral yang melapisi seluruh permukaan organ dalam abdomen. Luas total peritoneum lebih kurang 1,8 m2. Setengahnya (±1) m2 berfungsi sebagai membran semipermeabel terhadap air, elektrolit, serta makro dan mikro molekul. (Cheong, 2001)

Fungsi utama peritoneum adalah menjaga keutuhan atau integritas organ intraperitoneum. Normal terdapat 50 mL cairan bebas dalam rongga peritoneum, yang memelihara permukaan peritoneum tetap licin. (Zhang, 2011)

2.2. Definisi

Adhesi peritoneal adalah pembentukan jaringan ikat patologis antara omentum, usus dan dinding perut. Perlengketan ini dapat berupa jaringan ikat tipis seperti film, jaringan fibrosis yang tebal mengandung pembuluh darah dan jaringan saraf, atau perlengketan langsung antara dua permukaan organ (Binda, 2009). Menurut etiologinya, adhesi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bawaan atau didapat sebagai reaksi post inflamasi atau pasca operasi yang merupakan kasus terbanyak. (Binda, 2004; Schoman, 2009)

Di antara pembentukan adhesi pasca operasi, dapat dibedakan atas tiga proses: adhesion formation (perlekatan terbentuk pada tempat operatif); de novo ahesion formation (perlekatan terbentuk tidak pada tempat operatif), dan adhesion reformation (adhesi yang terbentuk setelah pembebasan adhesi sebelumnya). Diamond dkk membedakan pembentukan adesi peritoneal menjadi 2 tipe (Arung, 2011). Tipe 1 atau de novo adhesion formation dimana adhesi terbentuk pada lokasi yang sebelumnya tidak ada dijumpa adhesi, termasuk tipe 1A (tidak ada prosedur operasi sebelumnya di tempat adhesi) dan tipe 1B (ada prosedur operasi sebelumnya di tempat adhesi). Tipe 2 adalah pembentukan adhesi kembali dimana


(21)

dibagi lagi menjadi 2 sub tipe; tipe 2A (tidak ada prosedur operasi di lokasi adhesi selain adhesiolisis) dan tipe 2B (terdapat prosedur operasi lainnya di lokasi adhesi selain adhesiolisis). (Arung, 2011)

2.3. Etiologi

Banyak faktor yang dapat menimbulkan adhesi pasca laparotomi, antara lain; infeksi intrabdominal (peritonitis, endometriosis, apendisitis akut, divertikulitis, penyakit crohn’s, kolesistitis, penyakit radang pelvis ( PID), abses intraabdomen dan abses hati), trauma (abrasi atau tindakan operasi yang kasar), cedera panas(kauterisasi, paparan lampu operasi), iskemia(termasuk jahitan yang tegang, tebal dan kasar, kauterisasi, kekeringan serosa, devaskulerisasi), paparan benda-benda asing seperti bubuk tepung dari sarung tangan, atau potongan benang. (Schonman, 2009)

Sebagian besar adhesi peritoneal disebabkan oleh prosedur pembedahan didalam rongga peritoneal (Corona, 2011). Prevalensi kejadian adhesi peritoneal pasca tindakan operasi intra abdominal antara 63% -97% (Cheong, 2001; Bates, 2011). Secara keseluruhan, sekitar sepertiga dari pasien yang menjalani operasi bedah terbuka pada perut atau panggul datang kembali ke pusat rawatan rata-rata dua kali dalam 10 tahun diakibatkan oleh kondisi yang berhubungan dengan komplikasi adhesi peritoneal. Lebih dari 20 % penderita datang kembali ke pusat kesehatan pada tahun pertama setelah operasi awal, dan 4,5% dari pasien tersebut akibat obstruksi adhesi usus halus. (Shou-Chuan, 2003)

Pembedahan kolorektal merupakan jenis operasi yang paling banyak menyebabkan adhesi peritoneal. Obstruksi usus halus adalah komplikasi yang paling umum dari adhesi peritoneal (Fang, 2010; Pismensky, 2011; Cheong, 2001; Bates, 2011). Pada Westminster Hospital (London, Inggris) obstruksi usus menyumbang 0,9% dari seluruh rawatan. Sebuah survei di Inggris 1992 melaporkan jumlah kasus obstruksi adhesi usus halus tahunan mencapai 12.000-14.400. Pada tahun 1988 di Amerika Serikat, kasus rawatan untuk adhesiolisis menyumbang hampir 950.000 rawatan (Kamel, 2010). Semua studi ini menunjukkan bahwa obstruksi adhesi usus halus adalah masalah kesehatan yang signifikan baik di negara maju dan berkembang. (Ikechebelu, 2010)


(22)

2.4. Patofisiologi Pembentukan Adhesi

2.4.1. Respon Trauma Pada Peritoneum

Trauma pada jaringan mesothelium peritoneum menimbulkan reaksi inflamasi sebagai respon tubuh. Di tingkat selular, dilepaskan prostaglandin dan diaktifkan komponen inflamasi seperti netrofil, makrofag, sel mast, basofil, platelet, sel endothelial limfosit dan leukosit. Sel mast melepaskan mediator inflamasi berupa histamin, serotonin, enzim lisosom, faktor kemotaksis, dan sitokin serta metabolit oksigen reaktif untuk membunuh bakteri, mengeliminir benda asing dan memperbaiki fungsi tubuh baik secara anatomi dan fisiologi. (Arung, 2011)

Histamin menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah peritoneum menghasilkan transudasi yang kaya fibrinogen ke dalam rongga peritoneum, dan menyebabkan netrofil memasuki daerah luka. Fungsi utama sel netrofil adalah fagositosis, menghancurkan bakteri dan membantu membersihkan jaringan yang mati. Infiltrasi sel netrofil mencapai puncaknya setelah 24 jam dan secara perlahan digantikan oleh monosit. Monosit selanjutnya berubah menjadi makrofag yang akan melanjutkan penghancuran bakteri dan debrideman luka. (Arung, 2011; Mahdy, 2008)

Makrofag mensekresikan Transforming Growth Factor Beta (TGF β) yang

merangsang proliferasi fibroblast dan regulasi sel mesotelium untuk menghasilkan fibrin. Pada hari kedua makrofag akan membentuk lapisan pada peritoneum yang mengalami trauma. Deposit fibrin akan terbentuk antara 48 sampai 72 jam pascalaparotomi. Pada hari ketiga dan keempat terjadi infiltrasi dan proliferasi sel fibroblast. Pada saat ini juga terjadi proliferasi sel endotel pada proses neovaskulerisasi, proses re-epitelisasi jaringan peritoneum. (Arung, 2011; Liakakos, 2001)

Fibrinolisis dimulai minimal tiga hari setelah trauma dan meningkat pesat pada hari kedelapan setelah regenerasi sel mesotelium secara komplek. Bila proses fibrinolisis berlangsung normal maka pada hari keempat dan kelima sel mesotelium akan tumbuh di sepanjang garis luka dan menutupi kerusakan secara total. Mulai hari ke lima dan keenam jumlah makrofag akan menurun dan pada


(23)

hari ke delapan sel mesotelium akan menutupi luka dan beregenerasi secara komplek. (Emre, 2009; Cahill, 2008)

Seluruh permukaan peritoneum yang mengalami trauma akan mengalami reepitelisasi secara simultan sehingga defek peritoneum baik besar maupun kecil akan sembuh secara sempurna dengan sama cepat. Berbeda pada kulit, proses penyembuhan terjadi secara sentripetal dari pinggir. (Jomezadeh, 2012; Binda, 2004)

2.4.2. Mekanisme Terjadinya Adhesi

Cedera pada peritonium menyebabkan terjadinya peningkatan permiabilitas pembuluh darah pada area tersebut, hal ini menyebabkan terjadinya eksudasi dari sel-sel inflamasi yang mengawali terbentuknya matrik fibrin, yang menghubungkan kedua permukaan peritoneal yang cedera. (Cahill, 2008)

Setelah terjadinya pembentukan jaringan ikat fibrin, fibrinolisis akan memecah jaringan ikat tersebut. Bila sistem fibrinolisis tersebut gagal dalam melisis jaringan ikat tersebut maka akan terbentuk jaringan ikat yang persisten. (Bates, 2011)

Secara normal penyembuhan luka terjadi tanpa adanya pembentukan adhesi. Kerusakan jaringan akan diikuti dengan pembentukan fibrin. Tromboplastin, protrombin dan trombin akan mengaktifasi fibrinogen menjadi fibrin. Bekuan platelet yang berasal dari agregasi platelet bersama dengan bekuan fibrin membentuk jaringan fibrin. (Aysan, 2012)

Banyak studi eksperimental telah membuktikan bahwa berbagai bentuk cedera pada mesothelium secara nyata menurunkan potensi fibrinolisis. Whitaker dkk, menunjukkan bahwa kultur murni sel mesothelium memiliki kemampuan fibrinolisis. Didukung suatu studi Antibodi Inhibisi dan Antigenik Immunoassays yang menjelaskan bahwa tissue Plasminogen Activator (tPA) adalah plasminogen aktivator utama pada biopsi peritoneal manusia, yang merangsang lisisnya fibrin dan mencegah perlekatan serosa. (Cohen, 2007)

Namun, selama periode awal setelah pembedahan terjadi proses iskemia dan inflamasi, hal ini menyebabkan Plasminogen Activator Activity (PAA)


(24)

Activator inhibitor (PAI) dalam peritoneum yang cedera. Pengamatan pada sel menunjukkan PAI dihasilkan oleh mRNA hibridisasi. Studi-studi ini menegaskan bahwa mesothelium memainkan peran penting dalam penghambatan fibrinolisis peritoneum akibat cedera. (Cohen, 2007)

Gambar 2.1:Keseimbangan antara plasminogen aktivator dan plasminogen inhibitor terhadap pembentukan adhesi peritonium

Terganggunya proses fibrinolisis maka makrofag akan bertahan dan fibroblast berproliferasi. Dalam waktu lima hari jaringan fibrin yang terbentuk akan digantikan oleh sel fibroblast serta pembentukan pembuluh darah baru, akan membawa antiplasmin untuk melawan efek fibrinolisis dan mempertebal jaringan fibrosa untuk membentuk adhesi fibrosa yang permanen. (Aysan, 2012)

Plasmin tPA

uPA

PAI-1 PAI-2

Fibrin in growth (Fibroblasts, collagen synthesis) TIMPs

Pr-MMPs MMPs

ECM Degradation products Capillaires ingrowth Normal

healing Adhesion

Plasminogen PAI-1

PAI-2 tPA uPA Fibrin degrafation products Normal healing (Peritoneal repair)

Inflamation Blood vessel

Wall end mesothelium Cells Damages - Increase proteins, cytokines

- Increases cells (macrophages,platelets, lymphocytes, mesothelials) Prothrombin Thrombin Fibrinogen Fibrin

PERITONEAL INJURY


(25)

2.5. Usaha untuk Pencegahan Adhesi Intraperitoneum

Beberapa bahan pencegahan terhadap adhesi peritoneal pasca operasi telah diselidiki. Bahan tersebut berperan dalam mengaktifkan fibrinolisis, menghambat koagulasi, mengurangi respon inflamasi, atau menciptakan barier antara permukaan luka yang berdekatan. Pencegahan terhadap terjadinya adhesi dibagi atas 4 kelompok utama; prinsip umum, teknik operasi, barir mekanik, dan dengan cairan atau bahan kimia tertentu. (Bates, 2011)

2.5.1. Prinsip umum

Beberapa hal dasar harus diaplikasikan untuk mencegah terjadinya adhesi peritonium pada saat intraoperatif, seperti menghindari diseksi peritonium yang tidak perlu, mencegah terjadinya kontaminasi isi saluran cerna atau cairan empedu, dan penggunaan sarung tangan bebas tepung. (Aysan, 2012)

WS Halsted 1852-1922 adalah ahli bedah pertama yang mengakui pentingnya langkah-langkah tersebut. Kerusakan peritoneal harus dihindari dengan penanganan yang hati-hati terhadap jaringan, hemostasis yang teliti, irigasi yang terus menerus dan menghindari jaringan terekspos, serta mencegah penjahitan atau penjepitan jaringan yang tidak perlu. Penggunaan bahan jahitan yang biokompatibel, instrumen atraumatik dan sarung tangan bebas tepung juga dianjurkan. Beberapa penelitian eksperimental telah menunjukkan bahwa penggunaan sarung tangan yang bertepung selama laparotomi mempunyai hubungan dengan peningkatan risiko adhesi peritoneal pasca operasi. Durasi operasi juga menentukan terhadap pembentukan adhesi peritoneal. Semakin singkat durasi operasi, semakin menurunkan adhesi pasca operasi. (Aysan, 2012)

2.5.2. Teknik operasi

Teknik operasi terbuka dibandingkan laparaskopi mempunyai peranan penting terhadap kejadian adhesi peritonium. Insiden adhesi peritonium pada operasi kholesistektomi terbuka sebesar 7.1%, dibandingkan dengan laparaskopi yang hanya 0,2%. Secara keseluruhan teknik operasi laparaskopi menurunkan angka kejadian adhesi peritonium. (Dubuissaon,2010)


(26)

2.5.3 Barir mekanik

Secara teori, material inert dapat mencegah terjadinya adhesi antar kedua permukaan peritonium yang cedera. Banyak bahan biodegradable film ataupun gel yang telah digunakan secara experimental dengan tujuan untuk menurunkan angka kejadian adhesi. Hyaluronic acid/carboxymethylcellulosa adalah bahan yang paling sering digunakan pada saat ini, namun selain mahal, pada beberapa kasus diduga menyebabkan terjadinya peningkatan kebocoran anastomosis pada operasi penyambungan usus. (Siamond, 1998; Yang, 2012; Emre,2009)

Barir mekanik baik cair atau padat dapat mencegah pembentukan adhesi peritoneal dengan mencegah kontak antara permukaan serosa yang rusak untuk beberapa hari (5-7 hari) kritis selama terjadinya re-epitelisasi. Barir mekanik yang ideal harus dapat terurai, aman, non-inflamasi, non-imunogenik, bertahan selama fase kritis mesotelisasi, bertahan pada tempat yang cedera tanpa jahitan atau staples, serta dapat dengan cepat dan mudah diterapkan. Barir mekanik tidak boleh mengganggu proses penyembuhan, menyebabkan infeksi, atau perlengketan. Pada saat ini barir mekanik dianggap sebagai terapi tambahan yang paling berguna untuk mengurangi pembentukan adhesi peritoneal pasca operasi. (Mahdy, 2008; Celepli, 2011; Jomezadeh, 2012)

Cairan seperti kristaloid, dekstran, hyaluronic acid, asam hialuronat dan icodextrin telah digunakan untuk mencegah adhesi. Cairan tersebut memisahkan permukaan peritonium yang cedera tetapi efektivitasnya masih kontroversial. Kristaloid, seperti NaCl dan ringer laktat, meski digunakan dalam jumlah besar tetapi terlalu cepat diserap. Cairan yang paling umum digunakan adalah solusi hipertonik 32% dekstran 70, tetapi mulai ditinggalkan karena mempunyai komplikasi serius. Barir cairan lain yang memiliki kemampuan untuk tinggal lebih lama di dalam rongga perut, seperti asam hialuronat (Sepracoat ®, Genzyme Corporation, Cambridge, MA, Amerika Serikat), asam hialuronat (Intergel ® Hyalobarrier gel, Baxter, Pisa , Italia), dan icodextrin (®Adept,Baxter Healthcare Corporation, Deerfield, IL, Amerika Serikat) telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam studi eksperimental dan klinis. (Emre, 2009; Darmas, 2008; Mashhadi,2008)


(27)

Barir mekanik bioabsorbable yang paling ekstensif dipelajari adalah

Seprafilm dan Interceed. Seprafilm diserap dalam waktu 7 hari dan dikeluarkan dari tubuh dalam waktu 28 hari . Percobaan terkontrol acak prospektif telah menunjukkan kemampuan Seprafilm dalam mengurangi insiden dan tingkat adhesi pasca operasi. Namun, Seprafilm dapat menyebabkan kegagalan anastomosis, sehingga tidak dapat diterapkan pada kasus anastomosis. (Darmas, 2008; Diamond, 1998)

2.5.4 Zat kimia

Zat cair dan bahan kimia tertentu secara teori lebih baik dalam menutupi daerah yang berpotensi untuk terjadinya adhesi dibandingkan barir mekanik. Namun demikian, penggunaan zat cair dan zat kimia tertentu masih perlu penelitian lebih lanjut. (Yang, 2010; Wang, 2010)

Bahan kimia bekerja secara umum mencegah pembentukan fibrin dengan cara menghambat proliferasi fibroblastik. Banyak bahan yang digunakan untuk menghambat proliferasi seperti obat anti inflamasi non-steroid (OAINS), kortikosteroid, calcium channel blockers, antagonis histamin, antibiotik, bahan fibrinolitik, antikoagulan, antioksidan, hormon, dan vitamin. (Emre, 2009)

Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) mengurangi perlengketan peritoneal pada beberapa model hewan melalui penghambatan sintesis prostaglandin dan tromboksan. OAINS menurunkan permeabilitas pembuluh darah, inhibitor plasmin, agregasi platelet, dan koagulasi dan juga meningkatkan fungsi makrofag. Rodgers dkk telah menunjukkan bahwa pemberian obat anti-inflamasi postoperasi pada lokasi cedera mengurangi pembentukan adhesi pasca operasi pada hewan coba. Hewan coba tikus telah digunakan untuk menyelidiki Nimesulide, suatu selektif siklooksigenase-2 inhibitor dalam mencegah terjadinya pembentukan adhesi. Penelitian ini telah menunjukkan bahwa pemberian injeksi intramuskular sebelum operasi dan pemberian nimesulide pasca operasi secara intraperitoneal ke tempat yang cedera dapat mengurangi pembentukan adhesi pasca operasi. (Emre, 2009)

Pemberian kortikosteroid mengurangi permeabilitas pembuluh darah dan pembebasan sitokin dan faktor kemotaktik dan mengurangi pembentukan adhesi peritoneal pada beberapa model hewan coba. Namun, kortikosteroid memiliki


(28)

efek samping, seperti imunosupresi dan memperpanjang penyembuhan luka.

Kirdak telah menyelidiki efektivitas dosis yang berbeda metilprednisolon dalam mencegah perlengketan peritoneal pada tikus. Mereka menemukan bahwa pemberian topikal metilprednisolon dalam dosis yang berbeda tidak memberikan perbedaan efektivitas dalam mencegah pembentukan adhesi peritoneal, dan lebih jauh lagi steroid tidak dapat mencegah terjadinya adhesi peritoneal. (Celepli, 2011)

Pemberian Hormon dapat mencegah pembentukan adhesi pada hewan coba, tetapi beberapa studi belum dapat mengkonfirmasi efektivitas ini pada manusia. Progesteron dilaporkan memiliki efek imunosupresif, anti-inflamasi, dan dapat mencegah pembentukan adhesi. Namun, Confino telah menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan secara keseluruhan dalam kejadian pembentukan adhesi pada kelinci yang diberikan hormon progesteron. (Cohen, 2007)

Penggunaan antikoagulan untuk mencegah pembentukan adhesi peritoneal telah banyak dilaporkan dalam literatur. Banyak molekul telah digunakan, seperti heparin atau dicumarol, yang mencegah adhesi dengan meningkatkan fibrinolisis akibat aktivitas esterase serin. Heparin adalah antikoagulan yang paling banyak diteliti digunakan untuk pencegahan adhesi. Namun, keberhasilan dalam mengurangi pembentukan adhesi belum terbukti dalam uji klinis. (Yang, 2010)

Bahan fibrinolitik seperti rekombinan TPA, telah mengurangi perlengketan pada hewan coba yang diberikan secara lokal. Namun, bahan-bahan fibrinolitik dapat menyebabkan komplikasi perdarahan. (Yang, 2010)

Beberapa antibiotik biasanya digunakan untuk profilaksis terhadap infeksi pasca operasi dan pembentukan adhesi. penelitian lain telah menunjukkan bahwa aplikasi intra-abdomen menyebabkan pembentukan adhesi. Sortini telah menunjukkan bahwa antibiotik menyebabkan pembentukan adhesi yang lebih besar dibandingkan dengan saline. antibiotik dalam solusi irigasi intraperitoneal telah terbukti meningkatkan pembentukan adhesi peritoneal dalam hewan coba tikus, dan tidak direkomendasikan sebagai bahan tunggal untuk pencegahan adhesi. (Zhang, 2011; Mahdy, 2008)


(29)

Vitamin E merupakan vitamin yang paling banyak dipelajari dalam pencegahan adhesi. penelitian In vitro telah menunjukkan bahwa vitamin E memiliki antioksidan, anti-inflamasi, antikoagulan dan antifibroblastik. Corrales et al telah menunjukkan bahwa vitamin E, yang diberikan,secara intraperitoneal sama efektifnya dengan membran karboksimetilselulosa dalam mencegah adhesi pasca operasi. Sebaliknya, efek yang sama belum tercapai setelah pemberian intramuskular. Dengan demikian, pemberian vitamin E intraperitoneal mungkin dianjurkan untuk mencegah pembentukan adhesi. (Darmas, 2008)

Satu studi telah dilakukan untuk menjelaskan efek dari konsentrasi yang berbeda metilen biru pada proses pembentukan adhesi peritoneal dan untuk menentukan dosis minimum yang efektif dapat mencegah pembentukan adhesi seperti pada hewan coba tikus. Disimpulkan bahwa metilen biru 1% memiliki potensi terbaik anti adhesi. Pemberian anestesi lokal meskipun mekanismenya tidak jelas, dilaporkan memiliki efek anti-inflamasi, seperti yang ditunjukkan dalam beberapa studi hewan coba. anestesi lokal mengaktifkan sistem fibrinolitik, mengurangi faktor VIII, plasminogen dan konsentrasi α2-antiplasmin, dan menghambat agregasi trombosit. beberapa studi telah menunjukkan bahwa pemberian intraperitoneal lidokain dan prilocaine dapat menghambat pembentukan adhesi peritoneal pasca operasi tanpa menghambat proses penyembuhan luka pada hewan coba tikus. (Mahdy, 2008)

Studi lain telah meneliti penggunaan terapi gen untuk pencegahan adhesi pasca operasi. Hepatocyte growth factor (HGF) dapat menghambat deposisi kolagen dan bersifat fibrinolitik. penggunaan terapi gen sebagai bahan pencegahan terhadap adhesi peritoneal masih perlu evaluasi yang lebih luas sebelum uji klinis. (Arung, 2011)

2.6 Hipotermia

Beberapa penelitian telah membuktikan pengaruh suhu terhadap pembentukan adhesi peritoneal. Binda melakukan percobaan dengan hewan coba tikus dengan membat model laparaskopi dimana dengan menurunkan suhu gas CO2 yang digunakan menjadi 21o menurunkan kejadian adhesi peritonium


(30)

Fang melakukan penelitian dengan menggunakan infus peritoneal salin dingin dan mendapatkan penurunan adhesi peritonium. Penurunan kejadian pembentukan adhesi peritonium dengan menggunakan salin dingin diduga melalui empat kemungkinan mekanisme : (1) menurunkan derajat inflamasi, (2) menekan mediator inflamasi yang dapat meningkatkan produksi fibrin, (3) memisahkan secara barir mekanik pada usus kecil, dan (4) menghilangkan fibrin dari permukaan serosa sehingga mengurangi pembentukan adhesi. (Fang, 2010)

Secara patofiologi, hipotermia melindungi jaringan dan sel setelah hipoksia karena menurunkan konsumsi oksigen oleh sel. Hipotermia memperlambat pemecahan glukosa, phosphocreatine dan ATP dan pembentukan laktat dan fosfat anorganik. Pembentukan adhesi peritoneum dianggap sebagai proses cedera reperfusi akibat iskemik. Hipotermia mengurangi infiltrasi sel-sel polimorfonuklear dan menurunkan produksi tumor necrosis factor-a, interleukin- 1b dan macrophage inflammatory protein-2 yang dianggap sebagai pemicu timbulnya adhesi peritonium. (Fang, 2010; Binda 2004)


(31)

BAB 3

METODE PENELITIAN 3.1. Desain

Penelitian ini adalah penelitian experimental dengan menggunakan hewan coba tikus yang dibagi atas 6 kelompok, 2 kelompok kontrol dan 4 kelompok perlakuan.

3.2. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Laboratorium Ilmu Dasar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara dari bulan Agustus 2013 hingga Oktober 2013.

3.3. Sampel Penelitian

Tiga puluh ekor tikus Wistar albino (9-12 minggu, berat 200-225gr).

3.4. Etika Penelitian

Penelitian ini dilakukan setelah adanya persetujuan dari komite etik. Semua experimental dan perlakuan terhadap hewan coba berdasarkan kepada etika percobaan pada hewan coba.

3.5. Cara Kerja dan Alur Penelitian

Hewan coba dipisahkan secara random menjadi 6 kelompok dengan jumlah masing-masing 5 ekor, kemudian diaklimatisasi selama 1 minggu sebelum percobaan. Hewan coba dipelihara pada suhu ruangan (32oC) dan diberikan makanan jagung. Hanya air yang diberikan 12 jam sebelum percobaan.

Gambar 3.1 : Hewan coba diaklimatisasi selama tujuh hari sebelum percobaan dimulai


(32)

Semua hewan coba dibius dengan 30 mg/kg ketamine hydrocloride pada otot femoralis dan bernapas spontan selama prosedur. Area mid abdomen dicukur kemudian dilakukan aseptik dan antiseptik prosedur dengan povidone iodine 10% dan alkohol 70%. Dilakukan inisisi 3 cm pada mid abdomen, saekum di eksteriorisasi kemudian dilakukan abrasi seluas 1-2 cm2 dengan scapel no 11 hingga tampak bercak hemoragik. Prosedur yang sama juga dilakukan pada dinding abdomen yang berlawanan dengan posisi saekum seluas 1-2 cm2.

Gambar 3.2 : Saekum di eksteriorisasi dan dilakukan maserasi pada peritonium viseral dan peritonium parietal hingga ditemukan bintik perdarahan

Penelitian dilakukan dalam 2 sesi, dimana setiap sesi diberikan perlakuan pada setiap grup dengan suhu yang diinginkan. Suhu yang diinginkan didapat dengan mendinginkan NaCl 0,9% menggunakan kulkas konvensional dengan mengatur termostat pada 8oC dan 16oC. Suhu tersebut dipertahankan pada saat penelitian dengan mengisolator cairan NaCl 0,9% menggunakan styrofoam.

Sebelum percobaan dimulai suhu diukur ulang dengan termostat ruangan untuk memastikan suhu yang diinginkan.

Gambar3.3: Persiapan suhu 8oC dan 16oC pada kulkas konvensional

Pada grup I dilakukan irigasi intraperitonium dengan meneteskan NaCl 0,9% 60 tetes/menit pada suhu ruangan (32oC) selama 15 menit dan 30 menit. Pada grup II, dilakukan irigasi intraperitonium dengan meneteskan NaCl 0,9% 60 tetes/menit pada suhu 8oC selama 15 menit dan 30 menit. Pada grup III, dilakukan


(33)

irigasi intraperitonium dengan meneteskan NaCl 0,9% 60 tetes/menit pada suhu 16oC selama 15 menit dan 30 menit.

Cairan irigasi yang keluar dari intraperitonium dikeringkan dengan kasa steril dan pada akhir percobaan semua cairan yang ada didalam rongga abdomen dikeringkan. Luka insisi dijahit dengan nilon 5.0 secara kontinu. Hanya air yang diberikan pada 24 jam pertama pasca operasi, disusul dengan pemberian makanan normal 24 jam setelahnya.

Gambar 3.4 : Rongga peritonium di irigasi dengan cairan saline pada suhu yang diinginkan kemudian dikeringkan dan dijahit dengan nilon 5.0

Tabel 3.1: Distribusi kelompok hewan coba

GRUP 15 Menit 30 Menit Jumlah

I Kontrol (32oC)

5 ekor 5 ekor 10 ekor II

(8oC)

5 ekor 5 ekor 10 ekor III

(16oC)

5 ekor 5 ekor 10 ekor

Total Hewan Coba 30 Ekor

Pada hari ke delapan, semua hewan coba dikorbankan dengan menggunakan phenobarbital dosis letal secara intramuscular. Dilakukan insisi

“U” terbalik pada dinding anterior abdomen, yang kemudian diretraksi secara

kaudal untuk mendapatkan exposur yang maksimal tanpa merusak area yang telah diabrasi sebelumnya.

Derajat dari adhesi secara makroskopis dinilai berdasarkan metode Evans

yang dinilai pada daerah yang telah dilakukan abrasi antara dinding abdomen dan saekum.


(34)

Daerah yang mengalami adhesi dieksisi dan difiksasi dengan formaldehid buffer 10%. Setelah dilakukan dehidrasi, dibuat parafin blok dan diwarnai dengan

hematoxylin eosin (H&E) kemudian dinilai dengan mikroskop cahaya dengan perbesaran 100x. Histopatologi adhesi dikategorikan sebagai derajat 0-III berdasarkan banyaknya fibrosis. Evaluasi histopatologi dilakukan oleh spesialis patologi anatomi.

3.6. Variable Penelitian

3.6.1. Variabel bebas : 1. Cairan saline 8oC 2. Cairan saline 16oC 3. Cairan saline 32oC 4. Waktu irigasi 15 menit 5. Waktu irigasi 30 menit 3.6.2. Variabel tergantung :

1. Derajat makroskopis adhesi peritonium berdasarkan metode Evan.s

2. Derajat mikroskopis adhesi peritonium berdasarkan pembentukan fibrosis

3.7. Definisi Operasional

Derajat dari adesi secara makroskopis dinilai berdasarkan metode Evans.

Derajat 0 Tidak terjadi adhesi

Derajat I Adhesi dapat dibebaskan secara spontan

Derajat II Adhesi dibebaskan dengan traksi

Derajat III Adhesi dibebaskan dengan diseksi tajam

Penilaian fibrosis secara histopatologi

Derajat 0 Tidak terdapatnya fibrosis

Derajat I Fibrosis ringan (≤10% / LPB)

Derajat II Fibrosis sedang (>10%-≤50% / LPB) Derajat III Fibrosis berat (>50% / LPB)


(35)

3.8. Kriteria Penelitian

3.8.1 Kriteria inklusi

1. Wistar albino (200-225gr) 2. Hewan sehat

3. Gerakan aktif 3.8.2 Kriteria eksklusi

1. Terdapatnya adhesi peritonium primer pada saat laparotomi 2. Cedera usus atau organ pada saat laparotomi.

3. Gagal napas akibat pembiusan.

3.9. Rencana Pengolahan dan Analisis Data

Data dianalisa dengan menggunakan SPSS 17.0. Uji hipotesa dengan uji statistik non parametrik. Untuk membandingkan perbedaan diantara kelompok perlakuan digunakan Chi-Square Test.


(36)

BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Telah dilakukan penelitian pengaruh irigasi salin dingin terhadap pembentukan adhesi peritonium pasca laparatomi pada hewan coba tikus. Sebanyak 35 ekor tikus wistar albino dengan berat badan 200 gr – 225 gr dilakukan aklimatisasi selama 1 minggu. Setelah aklimatisasi diambil 30 ekor hewan coba secara acak dan dibagi menjadi 6 kelompok dengan 5 ekor tikus pada masing-masing kelompok.

Pada saat percobaan, dua ekor tikus di eksklusikan karena terjadi kebocoran di daerah saekum pada saat dilakukan maserasi. Kedua ekor tikus diganti dengan tikus cadangan.

Tidak ada satupun hewan coba yang mati selama penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa suhu salin 8oC dan 16oC yang digunakan pada saat irigasi intraperitoneal selama 15 menit dan 30 menit cukup aman selama dan setelah prosedur dilakukan.

Gambar 4.1: Adhesi peritonium pasca laparatomi hari ke delapan. A. Derajat 0 tidak ada adhesi yang terjadi, B. Derajat 1 adhesi dapat dibebaskan dengan tarikan ringan, C. Derajat 2 adhesi dibebaskan dengan tarikan kuat/diseksi tumpul, D. Derajat 3 adhesi hanya dapat dibebaskan dengan diseksi tajam.

A .

.

B .

.

C .

.

D .


(37)

Setelah dilakukan laparotomi ulang pada seluruh hewan coba tikus pada hari ke delapan, dilakukan pengamatan dan pencatatan terhadap kejadian adhesi peritonium masing-masing kelompok percobaan seperti yang terlihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1. Derajat adhesi peritonium pada hewan coba pasca laparotomi Derajat

Adhesi

Suhu 8oC Suhu 16oC Kontrol (32oC) 15 menit 30 menit 15 menit 30 menit 15 menit 30 menit

Derajat 0 3 2 1 - - -

Derajat 1 1 2 1 - - -

Derajat 2 - 1 2 3 2 1

Derajat 3 - - 1 2 3 4

Total 5 5 5 5 5 5

Mean±SD 0.60±0.699 2.10±0.738 2.60±0.699

x2 1.20 2.53 1.14

p 0.549 0.282 0.565

4.1 Pengaruh suhu terhadap pembentukan adhesi peritonium

Dari tabel 4.1 dapat dilihat pengaruh suhu irigasi salin intraperitonium terhadap pembentukan adhesi peritonium pasca laparotomi. Sebanyak 5 ekor tikus (50%) tidak dijumpai adanya adhesi peritonium pasca laparatomi pada irigasi dengan suhu 8oC. Tiga ekor tikus (30%) mengalami adhesi derajat 1 dan hanya satu ekor tikus (10%) mengalami adhesi derajat 2 pasca irigasi salin pada suhu 8oC. Rata-rata adhesi pada kelompok ini 0.60±0.699. Tidak ada hewan coba yang mengalami adhesi derajat 3 pasca laparatomi dengan irigasi suhu salin 8oC.

Pada percobaan dengan menggunakan suhu 16oC, hanya satu ekor tikus (10%) yang tidak mengalami adhesi. Sebanyak 3 ekor tikus (30%) mengalami adhesi derajat 3 pada pemberian irigasi salin 16oC. Lima ekor tikus (50%) mengalami adhesi derajat 2 dan satu ekor tikus (10%) mengalami adhesi derajat 1 pasca irigasi salin 16oC. Rata-rata derajat adhesi pada kelompok irigasi salin 16oC adalah 2.10±0.73.

Pada suhu kontrol (32oC) terjadi adhesi derajat 3 sebanyak tujuh ekor tikus (70%). Empat ekor tikus (40%) mengalami adhesi derajat 2. Tidak ada tikus yang tidak mengalami adhesi pada kelompok ini. Rata-rata derajat adhesi pada kelompok percobaan suhu 32oC adalah 2.60±0.699.


(38)

Dilakukan uji statistik Chi-square untuk melihat pengaruh pemberian salin 8oC dan 16oC terhadap suhu kontrol. Antara suhu 8oC dan 32oC (kontrol) didapatkan hasil yang bermakna (p:0.019), sedangkan antara suhu 16oC dan 32oC tidak didapatkan hasil yang bermakna (p:0.223).

4.2 Pengaruh durasi irigasi intraperitonium terhadap pembentukan adhesi

Dari tabel 4.1 dapat dilihat pengaruh durasi irigasi salin selama 15 menit dan 30 menit. Tidak didapat hasil yang bermakna antara irigasi salin selama 15 menit dan 30 menit pada masing-masing kelompok suhu percobaan.

4.2.1 Pengaruh irigasi 15 menit terhadap derajat adhesi

Pada percobaan ini dilakukan irigasi intraperitonium dengan salin dingin selama 15 menit dan 30 menit. Pada irigasi selama 15 menit dapat dilihat pada tabel 4.2 kejadian adhesi derajat 3 banyak terjadi pada suhu 32oC sebanyak 3 ekor tikus, sedangkan pada irigasi dengan salin dingin 8oC tidak terjadi adhesi derajat 2 dan 3. Pada suhu 8oC hanya terjadi adhesi derajat 1 sebanyak satu ekor tikus dan tidak terjadi perlengketan atau derajat 0 pada tiga ekor tikus. Pada suhu 16oC terjadi adhesi derajat 3 pada satu ekor tikus, dan yang tidak mengalami adesi hanya pada satu ekor tikus saja.

Tabel 4.2 : Pengaruh suhu terhadap derajat adhesi pada durasi irigasi 15 menit

Adhesi Suhu 8oC Suhu 16oC Suhu 32oC

Derajat 0 3 1 -

Derajat 1 1 1 -

Derajat 2 - 2 2

Derajat 3 - 1 3

Total 5 5 5

x2 10.00 3.00 Kontrol

p 0.019 0.223 Kontrol

Dilakukan uji statistik untuk melihat pengaruh suhu salin terhadap derajat adhesi pada irigasi 15 menit didapatkan hasil yang bermakna hanya pada antara pemberian suhu 8oC dan 32oC (p:0.019), sedangkan antara suhu 16oC dan 32oC tidak didapatkan hasil yang bermakna (p:0.223).


(39)

4.2.2 Pengaruh irigasi 30 menit terhadap derajat adhesi

Pada irigasi suhu salin dingin selama 30 menit didapatkan hasil seperti yang terlihat pada tabel 4.3. Pada tabel 4.3 kejadian adhesi pada suhu 32oC selama 30 menit didapatkan adhesi derajat 3 sebanyak 4 ekor tikus. Tidak ada hewan coba yang tidak mengalami adhesi pada irigasi salin 32oC selama 30 menit. Pada irigasi salin suhu 8oC selama 30 menit tidak didapatkan adanya adhesi derajat 3. Adhesi derajat 1 sebanyak dua ekor tikus dan derajat 2 sebanyak satu ekor tikus didapatkan pada irigasi salin 8oC selama 30 menit. Sebanyak dua ekor tikus tidak terjadi adhesi pada irigasi salin 8oC selama 30 menit.

Tabel 4.3 : Pengaruh suhu terhadap derajat adhesi pada durasi irigasi 30 menit

Adhesi Suhu 8oC Suhu 16oC Suhu 32oC

Derajat 0 2 - -

Derajat 1 2 - -

Derajat 2 1 3 1

Derajat 3 - 2 4

Total 5 5 5

x2 8.00 1.66 Kontrol

P 0.046 0.197 Kontrol

Dilakukan uji statistik untuk melihat pengaruh suhu salin terhadap derajat adhesi pada irigasi 30 menit didapatkan hasil yang bermakna hanya pada antara pemberian suhu 8oC dan 32oC (p:0.046), sedangkan antara suhu 16oC dan 32oC tidak didapatkan hasil yang bermakna (p:0.197).

4.3 Pengaruh suhu terhadap skor fibrosis secara histopatologi

Penilaian derajat fibrosis secara histopatologi dilakukan di laboratorium Patologi Anatomi RSUP H.Adam Malik Medan. Dari 30 ekor tikus hewan coba hanya diambil 24 sampel untuk dilakukan pembuatan parafin blok dan pewarnaan dengan hematoxylin-eosin (HE). Enam ekor tikus tidak diambil sebagai sampel spesimen karena tidak dijumpai adanya perlengketan pada peritonium. Bagian yang mengalami perlengketan dieksisi dan dibuat potongan melintang. Dilakukan penilaian derajat jaringan fibrosis dengan mikroskop cahaya perbesaran 100x.


(40)

Gambar 4.2: Skor fibrosis secara histopatologi (x100) dengan pewarnaan HE.

A. Fibrosis ringan (derajat 1). B. Fibrosis sedang (derajat 2). C. Fibrosis berat (derajat 3) Tabel 4.4: Skor fibrosis histopatologi pada kelompok hewan coba

Skor fibrosis

8oC 16oc 32oC

15 menit 30 menit 15 menit 30 menit 15 menit 30 menit

Derajat 1 2 3 1 - 1 -

Derajat 2 1 1 2 1 1 2

Derajat 3 - - 1 3 3 3

Jumlah 3 4 4 4 5 5

Mean 1.17±0.408 2.25±0.707 2.50±0.707

x2 1.20 2.53 1.14

p 0.549 0.282 0.565

Pada tabel 4.4 dapat dilihat fibrosis derajat 3 banyak terlihat pada kelompok suhu 32oC dan 16oC. Fibrosis derajat 3 sebanyak 6 ekor tikus pada kelompok 32oC dan sebanyak 4 ekor tikus pada suhu 16oC. Sedangkan pada suhu 8oC tidak terlihat adanya fibrosis derajat 3. Fibrosis derajat 1 masih terlihat pada irigasi salin 8oC sebanyak lima ekor tikus, dan derajat 2 sebanyak dua ekor tikus. Dari hasil rata-rata skor fibrosis pada kelompok suhu 8oC didapatkan nilai 1.29±0.48, pada suhu 16oC didapatkan skor fibrosis 2.25±0.70, dan suhu 32oC didapatkan skor fibrosis 2.50±0.70.

4.4 Pengaruh durasi irigasi terhadap skor fibrosis secara histopatologi

4.4.1 Pengaruh irigasi 15 menit terhadap skor fibrosis

Pada pemeriksaan histopatologi untuk menilai derajat fibrosis pasca irigasi salin dengan suhu 8oC dan 16oC selama 15 menit didapatkan derajat fibrosis seperti yang terlihat pada tabel 4.4

A

.

B j

C j


(41)

Tabel 4.5: Pengaruh durasi irigasi 15 menit terhadap derajat fibrosis

Adhesi Suhu 8oC Suhu 16oC Suhu 32oC

Derajat 1 2 1 1

Derajat 2 1 2 1

Derajat 3 - 1 3

Total 3 4 5

x2 3.73 1.238 Kontrol

p 0.155 0.539 Kontrol

Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan sebanyak 2 ekor tikus mengalami fibrosis derajat 1 dan satu ekor tikus mengalami fibrosis derajat 2 pada suhu 8oC. Pada suhu 16oC didapatkan skor fibrosis derajat 1 sebanyak satu ekor tikus dan skor fibrosis derajat 2 sebanyak dua ekor tikus dan skor fibrosis derajat 3 sebanyak satu ekor tikus. Sedangkan pada suhu 32oC didapatkan satu ekor tikus dengan skor fibrosis derajat 1, satu ekor tikus dengan skor fibrosis derajat 2,dan tiga ekor tikus dengan skor fibrosis derajat 3.

Dilakukan uji statistik Chi-square untuk menilai pengaruh perbedaan suhu 8oC dan 32oC selama 15 menit terhadap pembentukan fibrosis tidak didapatkan hasil yang bermakna (p:0.15). Begitu juga dengan suhu 16oC dengan 32oC tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara dua kelompok tersebut (p:0.53).

Jika dilihat dari hasil statistik tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara perubahan suhu selama irigasi 15 menit terhadap penurunan skor fibrosis pada pemeriksaan hitopatologi.

4.4.2 Pengaruh irigasi 30 menit terhadap derajat fibrosis

Pengaruh irigasi salin dingin selama 30 menit terhadap derajat fibrosis dapat dilihat dari tabel 5.4.

Tabel 4.6: Pengaruh durasi irigasi 30 menit terhadap derajat fibrosis

Adhesi Suhu 8oC Suhu 16oC Suhu 32oC

Derajat 1 3 - -

Derajat 2 1 1 2

Derajat 3 - 3 3

Total 4 4 5

x2 6.30 0.09 Kontrol


(42)

Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan skor fibrosis pada tikus yang dilakukan irigasi suhu 8oC selama 30 menit adalah dengan derajat 1 sebanyak tiga ekor tikus dan derajat 2 sebanyak satu ekor tikus. Pada irigasi suhu 8oC selama 30 menit tidak ada di jumpai fibrosis derajat 3. Pada suhu 16oC selama 30 menit didapatkan hasil dengan derajat 2 sebanyak satu ekor tikus, dan derajat 3 sebanyak tiga ekor tikus. Tidak ada tikus yang mengalami fibrosis derajat 1 pada suhu 16oC. Pada suhu kontrol (32oC) didapatkan hasil dengan derajat 2 sebanyak dua ekor tikus dan derajat 3 sebanyak tiga ekor tikus.

Dari hasil uji statistik Chi-square didapat perbedaan yang bermakna pada irigasi 30 menit antara skor fibrosis pada suhu 8oC dan 32oC (p:0.043), sedangkan pada suhu 16oC dan 32oC tidak didapatkan hasil yang bermakna (p:0.764).


(43)

BAB 5 DISKUSI

Adhesi peritonium masih menjadi permasalahan dalam pelayanan kesehatan. Kejadian adhesi peritonium pasca tindakan laparatomi menimbulkan komplikasi yang membutuhkan perawatan dan biaya yang besar dalam penanganannya. Kejadian adhesi peritonium pasca tindakan operasi abdominal mencapai 63%-97%. Intrabdominal adhesi merupakan penyebab dari 50-75% kasus obstuksi intestinal dan 20%-50% nyeri panggul kronik. (Dubuisson,2010. Mashadi,2008)

Pada penelitian ini didapatkan kejadian adhesi peritonium sebesar 85% dengan beragam derajat adhesi mulai yang ringan hingga adhesi berat. Banyak metode dan cara serta bahan yang digunakan utnuk pencegahan adhesi peritonium pasca operasi. Namun demikian masih belum ada teknik dan bahan serta cara yang ideal untuk pencegahan adhesi peritonium tersebut. Masih diperlukannya penelitian lebih jauh untuk mencari cara dan teknik yang terbaik baik secara seluler ataupun molekuler untuk mencegah kejadian adhesi pasca tindakan operasi.(Kamel,2010)

Banyak percobaan yang dilakukan untuk mencari cara dalam pencegahan adhesi peritonium. Mulai dari penggunaan steroid, cyclooxygenase inhibitor, heparin, barir mekanik tertentu, dan lebih lanjut penggunaan bahan-bahan yang lebih alami seperti pollen, madu, dan cairan salin dingin masih di explorasi dalam usaha untuk mencegah dan mengurangi kejadian adhesi.(Celepli,2010)

Irigasi salin dingin intraperitoneal merupakan salah satu cara yang masih dalam tahap penelitian hewan coba untuk mengetahui pengaruhnya terhadap penurunan kejadian adhesi. Salah satu keuntungan dari penggunaan cairan salin dingin adalah mudah didapat dan sangat sederhana dalam penyiapannya. Suhu 8oC dan 16oC dengan mudah didapat dengan menggunakan kulkas konvensional.

Cairan salin dingin telah digunakan dalam percobaan oleh Fang dkk

terhadap hewan coba tikus. Fang dkk menggunakan cairan salin 4oC sebagai cairan irigasi intra peritoneal pasca tindakan operasi lapratomi. Hasil dari penelitian tersebut mendapatkan bahwa cairan salin 4oC cukup efektif dalam menurunkan kejadian adhesi peritonium meskipun pada percobaan tersebut


(44)

didapatkan kematian pada hewan coba akibat hipotermi. Hipotermi adalah suatu kondisi dimana terjadinya penurunan suhu inti tubuh yang dibagi atas hipotermi ringan (36oC-34oC), sedang (<34oC-32oC) dan berat bila <32oC. Hipotermia dapat menyebabkan terjadi kegagalan organ sehingga bila hipoternia tidak terkontrol akan meyebabkan kematian. (Wong, 2004)

Penelitian oleh Fang dkk belum dapat menjawab apakah suhu diatas 4oC mempunyai efek atau pengaruh yang sama terhadap pencegahan adhesi peritonium. Begitu juga dengan durasi irigasi yang digunakan, masih belum diketahui apakah ada pengaruh lamanya irigasi terhadap angka kejadian adhesi pasca irigasi salin dingin.

Seperti yang telah diketahui bersama bahwa potegenesis terjadinya adhesi peritonium melibatkan proses exudasi, inflamasi, dan fibrin deposisi. Dengan mengurangi proses inflamasi ataupun dengan meningkatkan fibribolisis dapat mengurangi adhesi pertionium. Meskipun mekanismenya sampai sekarang masih belum cukup jelas, tapi diduga bahwa dengan penggunaan salin dingin sebagai irigasi intraperitonium dapat menurunkan proses inflamasi yang pada akhirnya menurunkan kejadian adhesi. (Schonman, 2008)

Pada penelitian ini diketahui bahwa suhu 8oC mempunyai pengaruh terhadap penurunan derajat adhesi peritonium (p:0.019) bila dibandingkan dengan penggunaan salin pada suhu ruangan. Sedangkan antara suhu 16oC dengan 32oC tidak didapatkan pengaruh yang bermakna (p:0.223). Dicoba dilakukan analisis regresi, namun dari uji Kolmogorov-smirnov data tersebut tidak terdistribusi normal sehingga tidak dapat dilakukan uji korelasi-regresi. Rata-rata derajat adhesi pada suhu 8oC adalah 0.60±0.699, sedangkan pada suhu 16oC didapatkan rata-rata derajat adhesi 2.10±0.73, dan pada suhu 32oC didapatkan rata-rata derajat adhesi 2.60±0.699.

Hal yang menarik dari penelitian ini adalah tidak ada terjadinya kematian pada hewan coba tikus. Pada penelitian ini tidak dilakukan pengukuran suhu inti pada hewan percobaan sehingga mungkin diperlukan penelitian yang lebih lanjut untuk mengetahui apakah terjadi perubahan suhu yang bermakna antara suhu inti tubuh hewan coba sebelum percobaan dan sesudah percobaan. Peneliti telah berusaha untuk mencegah terjadinya hipotermi pada hewan coba dengan tetap


(45)

menjaga agar cairan yang digunakan tidak membasahi tubuh hewan selain yang didalam rongga abdomen.

Pada percobaan yang dilakukan untuk melihat pengaruh lamanya durasi irigasi terhadap pembentukan adhesi peritonium dapat diambil kesimpulan tidak terdapatnya hubungan antara durasi irigasi 15 menit dan 30 menit terhadap pencegahan adhesi peritonium (p:0.07). Namun demikian bila dilihat secara rata-rata derajat adhesi yang terbentuk antara durasi irigasi salin dingin didapatkan rata-rata derajat adhesi pada irigasi selama 15 menit 1.60±1.12 lebih rendah bila dibandingkan pada irigasi selama 30 menit didapatkan nilai 1.80±1.01

Pada pemeriksaan histopatologis didapatkan skor fibrosis pada masing-masing kelompok percobaan. Penilaian yang dilakukan secara mikroskopis mencakup banyaknya jaringan ikat fibrosis dan infiltrasi limfosit. Uji statistik Chi-square didapatkan hubungan yang bermakna hanya pada irigasi salin suhu 8oC selama 30 menit (p:0.043), sedangkan pada suhu 8oC dengan irigasi selama 15 menit tidak didapatkan hubungan yang bermakna (p:0.62), begitu juga pada suhu 16oC selama 15 menit dan 30 menit tidak didapatkan hubungan yang bermakna (p:0.358 dan p:0.764).

Kekurangan dari penelitian ini adalah peneliti tidak melakukan pengukuran suhu inti tubuh hewan coba, sehingga belum dapat diketahui pengaruh dari irigasi salin dingin intra peritoneal terhadap suhu inti tubuh. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh irigasi salin dingin terhadap perubahan suhu inti tubuh.


(46)

BAB 6

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

5. Terdapat perbedaan bermakna pemberian irigasi suhu 8oC dibandingkan suhu 32oC terhadap penurunan derajat adhesi peritonium pasca laparatomi. 6. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pemberian irigasi suhu 16oC

dibandingkan suhu 32oC terhadap penurunan derajat adhesi peritonium pasca laparatomi.

7. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara durasi irigasi 15 menit dan 30 menit terhadap derajat adhesi peritonium pasca laparotomi.

8. Skor adhesi rata-rata secara makroskopis terendah pada pemberian irigasi salin suhu 8oC dan yang tertinggi pada irigasi salin suhu 32oC.

9. Skor fibrosis histopatologi rata-rata terendah pada pemberian salin dingin suhu 8oC dan rata-rata tertinggi pada suhu 32oC.

6.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh irigasi salin dingin terhadap suhu inti tubuh.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh lamanya durasi irigasi terhadap pembentukan adhesi peritonium.


(1)

didapatkan kematian pada hewan coba akibat hipotermi. Hipotermi adalah suatu kondisi dimana terjadinya penurunan suhu inti tubuh yang dibagi atas hipotermi ringan (36oC-34oC), sedang (<34oC-32oC) dan berat bila <32oC. Hipotermia dapat menyebabkan terjadi kegagalan organ sehingga bila hipoternia tidak terkontrol akan meyebabkan kematian. (Wong, 2004)

Penelitian oleh Fang dkk belum dapat menjawab apakah suhu diatas 4oC mempunyai efek atau pengaruh yang sama terhadap pencegahan adhesi peritonium. Begitu juga dengan durasi irigasi yang digunakan, masih belum diketahui apakah ada pengaruh lamanya irigasi terhadap angka kejadian adhesi pasca irigasi salin dingin.

Seperti yang telah diketahui bersama bahwa potegenesis terjadinya adhesi peritonium melibatkan proses exudasi, inflamasi, dan fibrin deposisi. Dengan mengurangi proses inflamasi ataupun dengan meningkatkan fibribolisis dapat mengurangi adhesi pertionium. Meskipun mekanismenya sampai sekarang masih belum cukup jelas, tapi diduga bahwa dengan penggunaan salin dingin sebagai irigasi intraperitonium dapat menurunkan proses inflamasi yang pada akhirnya menurunkan kejadian adhesi. (Schonman, 2008)

Pada penelitian ini diketahui bahwa suhu 8oC mempunyai pengaruh terhadap penurunan derajat adhesi peritonium (p:0.019) bila dibandingkan dengan penggunaan salin pada suhu ruangan. Sedangkan antara suhu 16oC dengan 32oC tidak didapatkan pengaruh yang bermakna (p:0.223). Dicoba dilakukan analisis regresi, namun dari uji Kolmogorov-smirnov data tersebut tidak terdistribusi normal sehingga tidak dapat dilakukan uji korelasi-regresi. Rata-rata derajat adhesi pada suhu 8oC adalah 0.60±0.699, sedangkan pada suhu 16oC didapatkan rata-rata derajat adhesi 2.10±0.73, dan pada suhu 32oC didapatkan rata-rata derajat adhesi 2.60±0.699.

Hal yang menarik dari penelitian ini adalah tidak ada terjadinya kematian pada hewan coba tikus. Pada penelitian ini tidak dilakukan pengukuran suhu inti pada hewan percobaan sehingga mungkin diperlukan penelitian yang lebih lanjut untuk mengetahui apakah terjadi perubahan suhu yang bermakna antara suhu inti tubuh hewan coba sebelum percobaan dan sesudah percobaan. Peneliti telah berusaha untuk mencegah terjadinya hipotermi pada hewan coba dengan tetap


(2)

menjaga agar cairan yang digunakan tidak membasahi tubuh hewan selain yang didalam rongga abdomen.

Pada percobaan yang dilakukan untuk melihat pengaruh lamanya durasi irigasi terhadap pembentukan adhesi peritonium dapat diambil kesimpulan tidak terdapatnya hubungan antara durasi irigasi 15 menit dan 30 menit terhadap pencegahan adhesi peritonium (p:0.07). Namun demikian bila dilihat secara rata-rata derajat adhesi yang terbentuk antara durasi irigasi salin dingin didapatkan rata-rata derajat adhesi pada irigasi selama 15 menit 1.60±1.12 lebih rendah bila dibandingkan pada irigasi selama 30 menit didapatkan nilai 1.80±1.01

Pada pemeriksaan histopatologis didapatkan skor fibrosis pada masing-masing kelompok percobaan. Penilaian yang dilakukan secara mikroskopis mencakup banyaknya jaringan ikat fibrosis dan infiltrasi limfosit. Uji statistik Chi-square didapatkan hubungan yang bermakna hanya pada irigasi salin suhu 8oC selama 30 menit (p:0.043), sedangkan pada suhu 8oC dengan irigasi selama 15 menit tidak didapatkan hubungan yang bermakna (p:0.62), begitu juga pada suhu 16oC selama 15 menit dan 30 menit tidak didapatkan hubungan yang bermakna (p:0.358 dan p:0.764).

Kekurangan dari penelitian ini adalah peneliti tidak melakukan pengukuran suhu inti tubuh hewan coba, sehingga belum dapat diketahui pengaruh dari irigasi salin dingin intra peritoneal terhadap suhu inti tubuh. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh irigasi salin dingin terhadap perubahan suhu inti tubuh.


(3)

BAB 6

SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan

5. Terdapat perbedaan bermakna pemberian irigasi suhu 8oC dibandingkan suhu 32oC terhadap penurunan derajat adhesi peritonium pasca laparatomi. 6. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pemberian irigasi suhu 16oC

dibandingkan suhu 32oC terhadap penurunan derajat adhesi peritonium pasca laparatomi.

7. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara durasi irigasi 15 menit dan 30 menit terhadap derajat adhesi peritonium pasca laparotomi.

8. Skor adhesi rata-rata secara makroskopis terendah pada pemberian irigasi salin suhu 8oC dan yang tertinggi pada irigasi salin suhu 32oC.

9. Skor fibrosis histopatologi rata-rata terendah pada pemberian salin dingin suhu 8oC dan rata-rata tertinggi pada suhu 32oC.

6.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh irigasi salin dingin terhadap suhu inti tubuh.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh lamanya durasi irigasi terhadap pembentukan adhesi peritonium.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

1. Arung W, Meurisse M, Detry O. Pathophysiology and prevention of postoperative peritoneal adhesions. World J Gastroenterol. 2011 November ; 17(41): 4545-53

2. Aysan E, Bektas H, Ersoz F, Sari S, Kaygusuz A, Huq GE. New and Simple Approach for Preventing Postoperative Peritoneal Adhesions: Do not Touch the Peritoneum without Viscous Liquid. Obstetrics and

Gynecology International. 2012

3. Bates GW, Shomento S. Adhesion prevention in patients with multiple cesarean deliveries. American Journal of Obstetrics & Gynecology. American Journal of Obstetrics & Gynecology. 2011; 9: 19-24

4. Binda MM, Molinas CR, Hansen P, Koninckx PR. Effect of desiccation and temperature during laparoscopy on adhesion formation in mice. Fertility and Sterility. 2006; 86: 166-74

5. Binda MM, Koninckx PR. Prevention of adhesion formation in a

laparoscopic mouse model should combine local treatment with peritoneal cavity conditioning. Human Reproduction. 2009; 24(6): 1473–79

6. Binda MM, Molinas CR, Mailova K, Koninckx PR. Effect of temperature upon adhesion formationin a laparoscopic mouse model. Human

Reproduction. 2004; 19 (11): 2626–32

7. Bjørg-Tilde SF, Fevang, Lie SA, Søreide O, Svanes K, Viste A. Long-term Prognosis After Operation for Adhesive Small Bowel Obstruction. Annals of Surgery. 2004; 240(2): 193-201

8. Cahill RA, Redmond HP. Cytokine orchestration in post-operative peritoneal adhesion formation. World J Gastroenterol. 2008; 14(31): 4861-4866

9. Celepli S. The effect of oral honey and pollen on postoperative intraabdominal adhesions. Turk J Gastroenterol. 2011; 22(1): 65-72 10.Cheong YC, Laird SM, Shelton JB, Ledger WLI, Cooke ID. Peritoneal

healing and adhesion formation/reformation. Human Reproduction Update. 2001; 7(6):556-66

11.Corona R, Verguts J, Schonman R, Binda MM, Mailova K, Koninckx PR. Postoperative inflammation in the abdominal cavity increases adhesion formation in a laparoscopic mouse model.Fertility and Sterility. 2011; 95(4): 1224-7

12.Cohen PA, Gower AC, Stucchi AF, Leeman SE, Becker JM, Reed KL. A neurokinin-1 receptor antagonist that reduces intraabdominal adhesion formation increases peritoneal matrix metalloproteinase activity. Wound Rep Reg. 2007; 15: 800–08

13.Darmas B.Use of barrier products in the prevention of adhesion

formation following surgery. Journal Of Wound Care. September 2008;

17(9): 36-42

14.Diamond MP. Reduction of de novo postsurgical adhesions by

intraoperative precoating with Sepracoat (HAL-C) solution: a prospective, randomized, blinded, placebo-controlled multicenter study. Fertility and Sterility. 1998; 69: 1067-74


(5)

15.Dubuisson J, et all. Incidence of intraabdominal adhesions in a continuous series of 1000 laparoscopic procedures. American Journal of Obstetrics & Gynecology. 2010; 9: 13-7

16.Emre A, Akin MA, Isikgonul II, Yuksel O, Anadol AZ, Cifter IC. Comparison of intraperitoneal honey and sodium hyaluronate-carboxymethylcellulose (SEPRAFILMTM) for the prevention of

postoperative intra abdominal adhesions. Clinics. 2009; 64(4): 363-8 17.Federicco C et al. Peritoneal adhesion index (PAI): proposal of a score for

the “ignored iceberg” of medicine and surgery. World Journal of Emergency Surgery. 2013; 8:6

18.Fang CC, Chou TH, Lin GS, Yen ZS, Lee CC, Chen SC. Peritoneal infusion with cold saline decreased postoperative intra-abdominal adhesion formation. World J Surg. 2010; 34:721-7

19.Ikechebelu JI, Eleje GU, Umeobika JC, Eke NO, Eke AC, Mbachu II. Prevalence and pattern of intra-abdominal adhesions seen at diagnostic laparoscopy among infertile women with prior open appendicectomy in Nnewi, south-east Nigeria. Journal of Medicine and Medical Sciences. October 2010; 1(9) : 391-94

20.Jomezadeh V, Mohammadpour AH, Rajabi O, Tavassoli A, Maddah G. Evaluation of Curcumin Effects on Post-Operative Peritoneal Adhesion in Rats. Iranian Journal of Basic Medical Sciences. Iran J Basic Med Sci. 2012; 15(6): 6611

21.Kamel RM. Prevention of postoperative peritoneal adhesions. European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology. 2010; 150: 111–118

22.Koninckx PR, Binda MM, Corona R, Molinas CR. Postoperative adhesions and their prevention. August 2010

23.Luijendijk RW et all. Foreign Material in Postoperative Adhesions. ANNALS OF SURGERY. 1996; 223(3): 242-48

24.Liakakos T, Thomakos N, Fine PM, Dervenis C, Young RL. Peritoneal Adhesions:Etiology, Pathophysiology, and Clinical Significance Recent Advances in Prevention and Management. Dig Surg. 2001; 18:260–73 25.Mahdy T, Mohamed G, Elhawary A. Effect of methylene blue on intra-abdominal adhesion formation in rats. International Journal of Surgery. 2008; 6: 452–55

26.Marcondes W, Et all. Laparoscopic Evaluation of Abdominal Adhesions With Different Prosthetic Meshes in Rabbits.JSLS. 2008; 12:58–61 27.Mashhadi MTR, Shojaian R,Tabatabaee. Effects of peritoneal exposure to

povidone iodine, heparin and saline in post surgical adhesion in rats. Journal of Research in Medical Sciences. May & June 2008; 13(3): 135 28.Pismensky et al. Severe inflammatory reaction induced by peritoneal

trauma is the key driving mechanism of postoperative adhesion formation. BMC surgery. 2011; 11:30-9

29.Ralf-Harto Hübner, et all. Standardized quantification of pulmonary fibrosis in histological samples.BioTechniques . April 2008; 44:507-17 30.Schonman R, Corona R, Bastidas A, Cicco CD, Koninckx PR. Effect of Upper Abdomen Tissue Manipulation on Adhesion Formation between


(6)

Injured Areas in a Laparoscopic Mouse Model. Journal of Minimally Invasive Gynecology. 2009; 16 (3): 307-12

31.Shou-Chuan S, et all. Adhesive small bowel obstruction: How long can patients tolerate conservative treatment?. World J Gastroenterol. 2003; 9(3): 603-605

32.Swank DJ, Swank-Bordewijk SCG, Hop WCJ, Erp WFM, Janssen IMC, Bonjer HJ, Jeekel J. Laparoscopic adhesiolysis in patients with chronic abdominal pain: a blinded randomised controlled multi-centre trial. The Lancet. 2003; 361: 1247-51

33.Wang D, Mo J, Pan S, Chen H, Zhen H. Prevention of postoperative peritoneal dhesions by Ocarboxymethyl chitosan in a rat cecal abrasion model. Clin Invest Med. 2010; 33(4)

34.Yang B Et all. Preventing postoperative abdominal adhesions in a rat model with PEG-PCL-PEG hydrogel. International Journal of

Nanomedicine. 2012; 7: 547–57

35.Yang B, Et all. Prevention of post-surgical abdominal adhesions by a novel biodegradable thermosensitive PECE Hydrogel. BMC

Biotechnology. 2010; 10:65

36.Zhang et al. Administration of novel penicillamine-bound membrane: a preventive and therapeutic treatment for abdominal adhesions. BMC surgery. 2011; 11:5