Faktor Risiko Manajemen Pemeliharaan Anjing Terhadap Kejadian Infeksi Dirofilaria immitis di Wilayah Pulau Jawa dan Bali

FAKTOR RISIKO MANAJEMEN PEMELIHARAAN ANJING
TERHADAP KEJADIAN INFEKSI Dirofilaria immitis
DI WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI

RITA MARLINAWATY MANALU

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008

ABSTRACT
RITA MARLINAWATY MANALU. B04104173. 2008. The Risk Factor of
Dirofilariasis Related with Management of The Dog Care at Some Locations
in Java and Bali Area. Under the supervision of YUSUF RIDWAN and FADJAR
SATRIJA. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
The aim of this study were to know the prevalence and risk factor of dirofilariasis
related with management of the dog care in Java and Bali area. Blood samples
were collected from 235 dogs at the veterinary clinics, the animal hospitals, and
houses in Jakarta, West Java, Central Java, and Bali between July and
November 2007. Blood samples were tested with antigen detecting ELISA kits.
The informations about the management of the dog care were gotten from

questionary. Questionary were filled by the dog owners. The result were analyzed
with Chi-square and logistic regression test. The positive dogs of D. immitis were
18 of 235 dogs surveyed. The prevalence of D. immitis was 7.7%. Chi-square
test showed that frequency of visiting the veterinarian had association with
prevalence of Dirofilaria. The dogs were never brought to veterinarian had risk
3.806 times to get Dirofilaria infection than the dogs which were brought to
veterinarian routinely. The significant association were not found for place at
outdoor or indoor, utilization, and frequency of the dogs were taken walking.
Key words: prevalence, D. immitis, management of the dog care

ABSTRAK
RITA MARLINAWATY MANALU. B04104173. 2008. Faktor Risiko Manajemen
Pemeliharaan Anjing Terhadap Kejadian Infeksi Dirofilaria immitis di
Wilayah Pulau Jawa dan Bali. Dibimbing oleh YUSUF RIDWAN dan FADJAR
SATRIJA. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi dan faktor risiko
dirofilariasis yang terkait dengan manajemen pemeliharaan anjing di wilayah
pulau Jawa dan Bali. Sampel darah diambil dari 235 ekor anjing yang ada di
klinik dokter hewan, rumah sakit hewan, dan rumah masyarakat di daerah
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Bali dari bulan Juli sampai November

2007. Sampel darah diperiksa menggunakan uji ELISA deteksi antigen. Informasi
mengenai manajemen pemeliharaan anjing diperoleh dari kuisioner yang diisi
oleh pemilik anjing. Hasil uji dianalisis dengan uji Chi kuadrat dan regresi logistik.
Hasil pemeriksaan menunjukkan anjing yang positif D. immitis adalah 18 dari 235
anjing yang diperiksa. Prevalensi D.immitis adalah 7,7%. Berdasarkan uji Chi
kuadrat hanya faktor frekuensi anjing dibawa ke dokter hewan mempengaruhi
kejadian dirofilariasis. Anjing yang tidak pernah dibawa ke dokter hewan memiliki
risiko 3,806 kali terinfeksi Dirofilaria daripada Anjing yang rutin dibawa ke dokter
hewan. Tempat pemeliharaan, tujuan pemeliharaan, dan frekuensi anjing dibawa
jalan-jalan ke luar rumah tidak signifikan mempengaruhi kejadian dirofilariasis.
Kata kunci: prevalensi, D. immitis, manajemen pemeliharaan anjing

FAKTOR RISIKO MANAJEMEN PEMELIHARAAN ANJING
TERHADAP KEJADIAN INFEKSI Dirofilaria immitis
DI WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI

RITA MARLINAWATY MANALU

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008

Judul : Faktor Risiko Manajemen Pemeliharaan Anjing Terhadap
Kejadian Infeksi Dirofilaria immitis di Wilayah Pulau Jawa dan Bali
Nama : Rita Marlinawaty Manalu
NRP

: B04104173

Disetujui,

Pembimbing I

Pembimbing II


drh. Yusuf Ridwan, MSi.

drh. Fadjar Satrija, MSc, Ph.D

NIP: 132 045 529

NIP: 131 760 864

Diketahui,

Wakil Dekan

Dr. Nastiti Kusumorini
NIP: 131 669 943

Tanggal lulus :

PRAKATA
Puji syukur kepada Tuhan Yesus sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini tentang faktor risiko dari manajemen pemeliharaan anjing

terhadap kejadian infeksi Dirofilaria immitis di wilayah pulau Jawa dan Bali.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada drh. Yusuf Ridwan, MSi
sebagai dosen pembimbing skripsi dan akademik, drh. Fadjar Satrija, MSc, Ph.D
sebagai dosen pembimbing skripsi, drh. Dewi Ratih Agungpriyono, Ph.D sebagai
dosen penguji, Fitriawati dan Laurensius teman sepenelitian, dokter-dokter
hewan dan para medis yang telah membantu dalam pengambilan sampel darah
dan semua anjing dan pemiliknya yang telah bersedia menjadi sampel penelitian
ini, Bapa, Mama, abang-abang (Mawardin, Syamriko, Arthones), Eda Salma,
Gebon, Rocky yang telah membantu mencarikan literatur, dan seluruh keluarga,
serta semua teman-teman angkatan 41 Astroidea FKH IPB.
Manusia tidak ada yang sempurna. Penulis mengharapkan saran dan
kritik apabila ada kesalahan dan kekurangan dalam penulisan skripsi ini.

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 04 Maret 1985 di Pulogodang, Sumatra
Utara. Penulis adalah anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan
Bapak Busmen Manalu dan Ibu Herti Simanullang.
Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1997 di SDN Karawaci 4
Tangerang. Pendidikan lanjutan menengah diselesaikan pada tahun 2000 di
SLTPK Solafide BKKK Tangerang dan pendidikan lanjutan menengah atas

diselesaikan pada tahun 2003 di SMUN 1 Tangerang.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada
tahun 2004. Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di Komisi Pelayanan
Anak Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………........

ii

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………..............

iii

DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………….

iv


PENDAHULUAN
Latar Belakang …………………………………………………………..

1

Tujuan …………………………………………………………………….

2

TINJAUAN PUSTAKA
Dirofilaria immitis ……………………………………………….............

3

Vektor Dirofilaria immitis ………………………………………............

7

Gambaran Umum tentang Anjing ……………………………………...


8

Manajemen Pemeliharaan Anjing ……………………………………..

9

Gejala Klinis dan Diagnosis …………………………………………….

10

ELISA untuk Deteksi Antigen …………………………………………..

11

Penyebaran Dirofilariasis pada Anjing ………………………………... 12
Dirofilariasis pada Manusia …………………………………………….

13

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian ………………………………………….

14

Metode Penelitian ……………………………....................................

14

Analisis Statistik …………………………………………………………

16

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil ………………………………………………………………….......

17

Pembahasan …………………………................................................

19


SIMPULAN DAN SARAN ………………………............................................

22

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………..

23

LAMPIRAN ……………………………………………………………………….

26

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Perkembangan Dirofilaria immitis ……………………………………………

5

2 Hasil uji Chi kuadrat dari faktor-faktor manajemen pemeliharaan………..


18

3 Tingkat infeksi dan nilai odds ratio dari masing-masing
faktor manajemen pemeliharaan…………………………………………….

18

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Mikrofilaria Dirofilaria immitis dan cacing dewasa di jantung…………….

4

2 Siklus hidup Dirofilaria immitis……………………………………………….

6

3 Culex bitaeniorhyncus………………………………………………………..

8

4 Culex quiquefaciatus………………………………………………………….

8

5 Contoh beberapa ras anjing………………………………………………….

9

6 Jumlah anjing yang positif dan negatif terhadap dirofilariasis……………

17

FAKTOR RISIKO MANAJEMEN PEMELIHARAAN ANJING
TERHADAP KEJADIAN INFEKSI Dirofilaria immitis
DI WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI

RITA MARLINAWATY MANALU

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008

ABSTRACT
RITA MARLINAWATY MANALU. B04104173. 2008. The Risk Factor of
Dirofilariasis Related with Management of The Dog Care at Some Locations
in Java and Bali Area. Under the supervision of YUSUF RIDWAN and FADJAR
SATRIJA. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
The aim of this study were to know the prevalence and risk factor of dirofilariasis
related with management of the dog care in Java and Bali area. Blood samples
were collected from 235 dogs at the veterinary clinics, the animal hospitals, and
houses in Jakarta, West Java, Central Java, and Bali between July and
November 2007. Blood samples were tested with antigen detecting ELISA kits.
The informations about the management of the dog care were gotten from
questionary. Questionary were filled by the dog owners. The result were analyzed
with Chi-square and logistic regression test. The positive dogs of D. immitis were
18 of 235 dogs surveyed. The prevalence of D. immitis was 7.7%. Chi-square
test showed that frequency of visiting the veterinarian had association with
prevalence of Dirofilaria. The dogs were never brought to veterinarian had risk
3.806 times to get Dirofilaria infection than the dogs which were brought to
veterinarian routinely. The significant association were not found for place at
outdoor or indoor, utilization, and frequency of the dogs were taken walking.
Key words: prevalence, D. immitis, management of the dog care

ABSTRAK
RITA MARLINAWATY MANALU. B04104173. 2008. Faktor Risiko Manajemen
Pemeliharaan Anjing Terhadap Kejadian Infeksi Dirofilaria immitis di
Wilayah Pulau Jawa dan Bali. Dibimbing oleh YUSUF RIDWAN dan FADJAR
SATRIJA. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi dan faktor risiko
dirofilariasis yang terkait dengan manajemen pemeliharaan anjing di wilayah
pulau Jawa dan Bali. Sampel darah diambil dari 235 ekor anjing yang ada di
klinik dokter hewan, rumah sakit hewan, dan rumah masyarakat di daerah
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Bali dari bulan Juli sampai November
2007. Sampel darah diperiksa menggunakan uji ELISA deteksi antigen. Informasi
mengenai manajemen pemeliharaan anjing diperoleh dari kuisioner yang diisi
oleh pemilik anjing. Hasil uji dianalisis dengan uji Chi kuadrat dan regresi logistik.
Hasil pemeriksaan menunjukkan anjing yang positif D. immitis adalah 18 dari 235
anjing yang diperiksa. Prevalensi D.immitis adalah 7,7%. Berdasarkan uji Chi
kuadrat hanya faktor frekuensi anjing dibawa ke dokter hewan mempengaruhi
kejadian dirofilariasis. Anjing yang tidak pernah dibawa ke dokter hewan memiliki
risiko 3,806 kali terinfeksi Dirofilaria daripada Anjing yang rutin dibawa ke dokter
hewan. Tempat pemeliharaan, tujuan pemeliharaan, dan frekuensi anjing dibawa
jalan-jalan ke luar rumah tidak signifikan mempengaruhi kejadian dirofilariasis.
Kata kunci: prevalensi, D. immitis, manajemen pemeliharaan anjing

FAKTOR RISIKO MANAJEMEN PEMELIHARAAN ANJING
TERHADAP KEJADIAN INFEKSI Dirofilaria immitis
DI WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI

RITA MARLINAWATY MANALU

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008

Judul : Faktor Risiko Manajemen Pemeliharaan Anjing Terhadap
Kejadian Infeksi Dirofilaria immitis di Wilayah Pulau Jawa dan Bali
Nama : Rita Marlinawaty Manalu
NRP

: B04104173

Disetujui,

Pembimbing I

Pembimbing II

drh. Yusuf Ridwan, MSi.

drh. Fadjar Satrija, MSc, Ph.D

NIP: 132 045 529

NIP: 131 760 864

Diketahui,

Wakil Dekan

Dr. Nastiti Kusumorini
NIP: 131 669 943

Tanggal lulus :

PRAKATA
Puji syukur kepada Tuhan Yesus sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini tentang faktor risiko dari manajemen pemeliharaan anjing
terhadap kejadian infeksi Dirofilaria immitis di wilayah pulau Jawa dan Bali.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada drh. Yusuf Ridwan, MSi
sebagai dosen pembimbing skripsi dan akademik, drh. Fadjar Satrija, MSc, Ph.D
sebagai dosen pembimbing skripsi, drh. Dewi Ratih Agungpriyono, Ph.D sebagai
dosen penguji, Fitriawati dan Laurensius teman sepenelitian, dokter-dokter
hewan dan para medis yang telah membantu dalam pengambilan sampel darah
dan semua anjing dan pemiliknya yang telah bersedia menjadi sampel penelitian
ini, Bapa, Mama, abang-abang (Mawardin, Syamriko, Arthones), Eda Salma,
Gebon, Rocky yang telah membantu mencarikan literatur, dan seluruh keluarga,
serta semua teman-teman angkatan 41 Astroidea FKH IPB.
Manusia tidak ada yang sempurna. Penulis mengharapkan saran dan
kritik apabila ada kesalahan dan kekurangan dalam penulisan skripsi ini.

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 04 Maret 1985 di Pulogodang, Sumatra
Utara. Penulis adalah anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan
Bapak Busmen Manalu dan Ibu Herti Simanullang.
Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1997 di SDN Karawaci 4
Tangerang. Pendidikan lanjutan menengah diselesaikan pada tahun 2000 di
SLTPK Solafide BKKK Tangerang dan pendidikan lanjutan menengah atas
diselesaikan pada tahun 2003 di SMUN 1 Tangerang.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada
tahun 2004. Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di Komisi Pelayanan
Anak Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………........

ii

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………..............

iii

DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………….

iv

PENDAHULUAN
Latar Belakang …………………………………………………………..

1

Tujuan …………………………………………………………………….

2

TINJAUAN PUSTAKA
Dirofilaria immitis ……………………………………………….............

3

Vektor Dirofilaria immitis ………………………………………............

7

Gambaran Umum tentang Anjing ……………………………………...

8

Manajemen Pemeliharaan Anjing ……………………………………..

9

Gejala Klinis dan Diagnosis …………………………………………….

10

ELISA untuk Deteksi Antigen …………………………………………..

11

Penyebaran Dirofilariasis pada Anjing ………………………………... 12
Dirofilariasis pada Manusia …………………………………………….

13

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian ………………………………………….

14

Metode Penelitian ……………………………....................................

14

Analisis Statistik …………………………………………………………

16

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil ………………………………………………………………….......

17

Pembahasan …………………………................................................

19

SIMPULAN DAN SARAN ………………………............................................

22

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………..

23

LAMPIRAN ……………………………………………………………………….

26

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Perkembangan Dirofilaria immitis ……………………………………………

5

2 Hasil uji Chi kuadrat dari faktor-faktor manajemen pemeliharaan………..

18

3 Tingkat infeksi dan nilai odds ratio dari masing-masing
faktor manajemen pemeliharaan…………………………………………….

18

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Mikrofilaria Dirofilaria immitis dan cacing dewasa di jantung…………….

4

2 Siklus hidup Dirofilaria immitis……………………………………………….

6

3 Culex bitaeniorhyncus………………………………………………………..

8

4 Culex quiquefaciatus………………………………………………………….

8

5 Contoh beberapa ras anjing………………………………………………….

9

6 Jumlah anjing yang positif dan negatif terhadap dirofilariasis……………

17

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Kuisioner survei dirofilariasis………………………………………………...

26

2 Prevalensi dirofilariasis tiap daerah…………………………………………

27

3 Hasil uji Chi kuadrat dirofilariasis terhadap tempat pemeliharaan……….

28

4 Hasil uji Chi kuadrat dirofilariasis terhadap tujuan pemeliharaan………..

28

5 Hasil uji Chi kuadrat dirofilariasis terhadap frekuensi
ke dokter hewan ………………………………………………………………

29

6 Hasil uji Chi kuadrat dirofilariasis terhadap frekuensi jalan-jalan………..

29

7 Hasil analisis regresi logistik dirofilariasis terhadap
manajemen pemeliharaan anjing…………………………………………..

30

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anjing merupakan hewan karnivora domestikasi yang memiliki hubungan
paling erat dengan manusia. Selain menjadi hewan peliharaan, anjing juga
dianggap sebagai teman atau salah satu anggota keluarga. Layaknya anggota
keluarga kesehatan anjing khususnya penyakit juga menjadi perhatian penting
bagi pemilik anjing. Salah satu penyakit yang ditemukan pada anjing adalah
dirofilariasis atau penyakit cacing jantung.
Dirofilariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing nematoda
Dirofilaria immitis yang memilki habitat di dalam ventrikel kanan jantung anjing.
Penyebaran penyakit ini sangat luas hampir di seluruh dunia baik di daerah tropis
maupun subtropik. Faktor yang mendukung kejadian tersebut diantaranya
banyaknya spesies nyamuk (± 60 spesies) yang dapat menjadi inang antara
cacing jantung (Lok 1988). Gejala klinis penyakit ini muncul dalam jangka waktu
yang lama setelah anjing terinfeksi. Dirofilariasis dapat menyebabkan kehilangan
berat badan, rambut kering dan kasar, batuk kronis, mudah lelah, dan
memperlihatkan gejala gagal jantung kanan.
Dirofilariasis juga dapat terjadi pada manusia atau bersifat zoonosis.
Dirofilariasis pada manusia berupa dirofilariasis pulmonum dan dirofilariasis
subkutan (Orihel dan Eberhard 1998). Dalam kasus ini manusia bertindak
sebagai accidental host. Manusia yang terinfeksi

tidak dapat menularkannya

kepada manusia atau hewan lain (dead end atau cul de sac). Larva infektif yang
ada di dalam tubuh manusia tidak dapat mengalami perkembangan lebih lanjut.
Sistem immunitas tubuh manusia mampu mengeleminasi larva tersebut (Genchi
et al. 2005).
Dirofilariasis belum mendapat perhatian dari masyarakat dan pemerintah
di Indonesia. Kurangnya pelaporan dan sosialisasi dari dokter hewan serta tidak
adanya pencatatan kejadian dirofilariasis di Indonesia merupakan bukti
kurangnya perhatian terhadap penyakit ini. Perhatian yang kurang dari
pemerintah mungkin disebabkan oleh

kurangnya dampak ekonomi yang

ditimbulkan oleh penyakit ini. Studi tentang dirofilariasis yang pernah dilakukan di
Indonesia masih sedikit. Salah satunya adalah Studi Biologis dan Potensi Vektor
Alami Dirofilaria immitis sebagai Landasan Penyiapan Bahan Hayati yang
dilakukan oleh Karmil (2002). Karmil meneliti jenis nyamuk yang berpotensi

sebagai vektor alami di daerah Aceh, Bogor, dan Bali. Walaupun beberapa
peneliti telah melaporkan kejadian dirofilarisis di Indonesia, akan tetapi penelitian
tentang faktor-faktor risiko kejadian dirofilariasis belum ada.
Mengingat potensi D. immitis sebagai agen zoonosis perlu dipelajari
berbagai faktor risiko penyakit yang terkait dengan manajemen pemeliharaan
anjing di Indonesia. Pengetahuan tentang tingkat prevalensi, faktor-faktor risiko
infeksi cacing, dan faktor epidemiologi lainnya sangat dibutuhkan di dalam
menyusun metode pengendalian yang efektif di masa mendatang.

Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat prevalensi dirofilariasis
serta faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian dirofilariasis di wilayah pulau
Jawa dan Bali.

TINJAUAN PUSTAKA
Dirofilaria immitis
Klasifikasi dan Morfologi
Menurut Levine (1995) klasifikasi Dirofilaria immitis adalah sebagai berikut:
Filum

: Nemathelmintes

Kelas

: Nematoda

Ordo

: Spirurorida

Superfamilia : Filariicae
Familia

: Filariidae

Genus

: Dirofilaria

Spesies

: Dirofilaria immitis

Dirofilaria immitis dewasa bentuknya panjang, langsing berwarna putih,
dan memiliki kutikula yang sangat tebal (Kelly 1997). Kutikula D. immitis relatif
lembut dengan penonjolan longitudinal di daerah kaudoventral. Dua lapis kutikula
berstruktur serabut dengan alur lapisan yang satu tegak lurus terhadap yang lain.
Serabut-serabut kutikula ini tampak seperti jala yang saling menyilang. Lateral
cord tampak menonjol dengan otot yang berkembang baik (Lok 1988).
Cacing betina berukuran panjang 250-300 mm dan diameter 1,0-1,3 mm
dengan ujung kaudal bulat tumpul. Cacing jantan berukuran panjang 120-200
mm dan diameter 0,7-0,9 mm. Ujung kaudal cacing jantan langsing dengan
spikulum yang tidak sama. Panjang

spikulum kiri 300-375 µm dan spikulum

kanan 175-229 µm. Cacing jantan tidak dilengkapi gubernakulum (Levine 1995;
Lok 1988; Kelly 1997; Kusumamihardja 1992)
Cacing betina bersifat viviparous. Saluran reproduksi betina biasanya
tampak seperti dua buah pipa dimana pada ujung anterior dan posterior terdapat
vagina dan ovarium (Lok 1988). Dua buah ovarium di posterior terhubung
dengan reseptakulum seminalis melalui oviduk dan kemudian

terhubung ke

uterus. Uterus bergabung menjadi satu saluran vagina yang selanjutnya ke vulva
yang terletak 2,7 mm dari ujung esofagus. Saluran reproduksi jantan tampak
seperti sebuah pipa dengan ujung anterior yang melengkung dan terdapat testis,
sedangkan ujung posterior terdapat vesikulum seminalis, vas deferens, duktus
ejaculator, dan kloaka. Sperma diletakkan di reseptakulum seminalis betina dan
fertilisasi pun terjadi di reseptakulum seminalis.

Saluran pencernaan terdiri dari sebuah pipa yang terbagi menjadi
esofagus di anterior dan usus di posterior. Sel-sel usus sederhana dengan
beberapa mitokondria rudimenter. Cacing dewasa dapat mengabsorbsi nutrisi
melalui kutikula (Abraham 1988).
Mikrofilaria D. immitis berukuran panjang 308 µm dan diameter 7 µm
(Lok 1988). Permukaan kutikula bagian luar dilapisi oleh matriks karbohidrat.
Pada ujung anterior terdapat sebuah kait berbentuk baji dan procesus seperti
bibir, sedangkan di posterior terdapat sebuah cincin saraf yang terdiri dari dua sel
yang berkembang menjadi dua atau lebih akson, yang memanjang ke daerah
anterior dan posterior mikrofilaria. Selain itu di bagian posterior ditemukan juga
alat ekskresi yang terdiri dari sebuah sel dan sebuah kantung. Kantung ini diisi
oleh mikrovili dan terbuka keluar. Sel neurosecretori terlihat bersatu dengan
cincin saraf dan kantung ekskresi dan anus. Mikrofilaria tidak memiliki sistem
pencernaan, seperti esofagus dan usus (Abraham 1988).

1

Gambar 1 Mikrofilaria D. immitis (1) ♦ dan Cacing dewasa di jantung (2)



Siklus Hidup
D. immitis betina dewasa menghasilkan larva stadium pertama atau
mikrofilaria (Tabel 1 dan Gambar 2). Ketika nyamuk betina yang cocok sebagai
vektor Dirofilaria menghisap darah anjing terinfeksi, maka secara tidak langsung
larva stadium pertama
stadium pertama

termakan oleh nyamuk. Perkembangan lengkap larva

menjadi larva stadium tiga infektif terjadi di dalam nyamuk

(Kelly 1977). Larva stadium pertama tinggal di dalam lambung nyamuk selama
24 jam pertama. Larva bermigrasi ke dalam sel saluran malphigi dimana




http://www.atlas.or.kr/atlas/alphabet_view.php?my_codeName=Dirofilaria%20immitis
http://www.greatlakesbcrescue.org/HealthNTraining/Heartworm.htm

perkembangan embrionik telah lengkap. Larva kemudian menjadi lebih pendek
dan gemuk seperti sosis.

Tabel 1 Perkembangan Dirofilaria immitis (Abraham 1988)
Hari

Stadium

0
Mikrofilaria (Larva 1)
1
Mikrofilaria
5
Stadium sosis
10
Larva stadium ke-2
15
Larva stadium ke-3
(0)*
Larva stadium ke-3
(3)*
Larva stadium ke-4
(70)*
Larva stadium ke-5
(100)*
Cacing muda
(196)*
Cacing dewasa
(…)* umur saat di dalam anjing

Panjang (cm)
0,03
0,03
0,015
0,05
0,12
0,12
0,12
2,4
5,9
26,8

Inang

Lokasi

Anjing
Nyamuk
Nyamuk
Nyamuk
Nyamuk
Anjing
Anjing
Anjing
Anjing
Anjing

Darah
Lambung
Sel saluran Malphigi
Lumen saluran Malphigi
Probiosis
Subkutan
Subkutan
Kepala, thoraks, abdomen
Jantung
Jantung

Larva meninggalkan sel saluran malphigi dan masuk ke lumen saluran
malphigi pada hari ke-6 atau 7. Larva stadium pertama (150 µm) menyilih atau
molting menjadi larva stadum kedua (230 µm) kira-kira hari ke-10. Larva stadium
kedua menyilih menjadi larva stadium ketiga (800 µm) yang infektif pada hari ke13. Kemudian larva infektif bermigrasi ke daerah dada dan kepala dan masuk ke
proboscis nyamuk. Menurut Kelly (1977) perkembangan larva stadium pertama
sampai larva stadium ketiga terjadi selama 14-21 hari. Lamanya waktu
perkembangan larva di dalam nyamuk dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
jenis nyamuk dan suhu dalam nyamuk. Suhu dan kelembaban lingkungan juga
mempengaruhi perkembangan larva.
Infeksi pada anjing terjadi saat nyamuk yang mengandung larva stadium
ketiga infektif menghisap darah anjing. Larva stadium ketiga bermigrasi dengan
aktif ke dalam subkutan atau subserosa atau ke dalam otot atau lemak. Larva
stadium ketiga menyilih menjadi larva stadium keempat (18 mm) pada hari ke-9 12 setelah infeksi dan menyilih kembali menjadi larva stadium kelima atau cacing
muda (80 mm) pada hari ke-70 -80 setelah infeksi. Cacing muda bermigrasi ke
ventrikel kanan melalui pembuluh darah vena pada hari ke-90 -120.
Larva stadium pertama atau mikrofilaria telah ada dalam uterus cacing
betina dewasa pada bulan ke-6 setelah infeksi dan muncul dalam pembuluh
darah perifer 6-7 bulan setelah infeksi. Masa prepaten untuk D. immitis adalah 67 bulan dan masa paten adalah lebih dari 7,5 tahun. Masa hidup mikrofilaria

dalam anjing sepanjang 2,5 tahun (Abraham 1988; Levine 1995; Lok 1988; Kelly
1977; Kusumamihardja 1992).

Perkembangan larva L1 menjadi L3
di nyamuk

Mikrofilaria (L1)
N yamuk menghisap darah anjing

Cacing dewasa di jantung anjing

Gambar 2 Siklus hidup Dirofilaria immtis
Mikrofilaria dapat ditemukan di pembuluh darah perifer. Mikrofilaria D.
immitis dalam jumlah yang banyak di pembuluh darah perifer terjadi mulai dari
petang sampai subuh. Mikrofilaria ditemukan dalam sirkulasi perifer pada
konsentrasi antara 10³ - 105 per ml darah. Menurut Crompton dan Joyner (1980),
pada siang hari mikrofilaria juga ada di pembuluh darah perifer, tetapi tidak
sebanyak pada malam hari.

Tipe periodisitas ini diklasifikasikan sebagai

nokturnal subperiodik. Menurut Rhee et al. (1998), periodisitas mikrofilaria D.
immitis yaitu diurnal, nokturnal, atau keduanya dipengaruhi oleh lokasi geografi.
Periodisitas ini juga berhubungan dengan kebiasaan anjing dan emosi atau
tekanan lingkungan pada anjing.

Periodisitas merupakan adaptasi mikrofilaria

terhadap waktu makan nyamuk. Lokasi yang optimal untuk mikrofilaria adalah di
dalam pembuluh darah viseral. Mikrofilaria hanya akan meninggalkan pembuluh
darah viseral menuju pembuluh darah perifer ketika waktu makan nyamuk
sehingga mikrofilaria mudah dan mungkin untuk diisap oleh nyamuk (Abraham
1988).
Aktivitas menggigit vektor memiliki pola yang khas tergantung dari jenis
nyamuk. Culex memiliki akivitas menggigit malam hari, sedangkan Aedes dan

Armigeres memiliki aktivitas menggigit pada pagi hingga siang hari. Periodisitas
mikrofilaremik pada anjing di Aceh dan Bogor terjadi sepanjang waktu
berdasarkan nyamuk yang menjadi vektor di daerah tersebut yaitu Culex, Aedes,
dan Armigeres (Karmil 2002).
Jika mikrofilaria tidak terhisap oleh nyamuk, maka mereka tidak akan
berkembang di dalam anjing tetapi mereka dapat bertahan dalam darah sampai
tiga tahun (Nayar dan Rutledge 1990). Larva D. immitis dan jenis-jenis yang lain
kadang-kadang ditemukan di dalam kista di berbagai bagian tubuh manusia
terutama paru-paru. Mereka tidak berkembang normal untuk menjadi dewasa
karena manusia bukan inang definitifnya (Levine 1995).

Vektor Dirofilaria immitis
Nyamuk adalah inang antara yang sangat berperan dalam siklus hidup
dan transmisi D. immitis. Perkembangan stadium larva pertama atau mikrofilaria
menjadi larva stadium ketiga yang infektif terjadi di dalam tubuh nyamuk. Melalui
nyamuk pula terjadi

penyebaran larva infektif ke anjing. Seekor nyamuk

biasanya paling sedikit harus dua kali menghisap darah selama waktu hidup
untuk mentransmisi D. immitis, yaitu hisapan pertama untuk memperoleh larva
infektif dan yang kedua untuk menyebarkannya.
Di seluruh dunia telah diidentifikasi ada 60 jenis nyamuk yang potensial
sebagai vektor D. immitis, antara lain Aedes vexans, Ae. trivittatus, Ae.
canadensis, Ae. sticticus, Ae. stimulans, Ae. excrucians, Ae. sollicitans, Ae.
cantatas, Ae. taeniorhynchus, Ae. sierrensis, Ae. vigilax, Ae. notoscriptus, Aedes
togoi, Ae. pseudoscutellaris, Ae.

fijiensis, Ae.

scapularis, Anopheles

punctipennis, An. annulipes, Culex quinquefasciatus, C. nigripalpus, C.
salinarius, dan C. annulirostris.

Tiga jenis nyamuk yang menjadi perhatian

adalah Ae. vexans, Ae. togoi, dan C. quinquefasciatus, karena berpotensi
menyebarkan zoonosis kepada manusia (Lok 1989; Labarthe et al. 1998; Nayar
dan Rutledge 1990). Nyamuk yang berperan dalam penularan dan penyebaran
D. immitis di Aceh, Bogor, dan Bali adalah Ae. albopictus, Ae. aegypty,
Armigeres subalbatus, C.
quiquefasciatus (Karmil 2002)

bitaeniorhyncus, C. tritaeniorhyncus, dan C.

Gambar 3 C. bitaeniorhyncus

Gambar 4 C. quiquefasciatus

Gambaran Umum tentang Anjing
Anjing adalah mamalia karnivora yang telah mengalami domestikasi dari
serigala. Domestikasi anjing awalnya didorong motif saling menguntungkan oleh
kedua belah pihak yaitu anjing liar memungut sisa-sisa makanan di sekeliling
permukiman manusia, sedangkan manusia purba memanfaatkan anjing untuk
mengusir hewan liar yang mengganggu manusia dan untuk berburu. Zoologis
Charles Darwin menetapkan The Golden Jackal (Canis aureus) dan serigala
(Canis lupus) adalah dua spesies yang menjadi nenek moyang anjing domestik
(Sayer 1994). Penelitian sistematika molekuler menunjukkan anjing (C. lupus
familiaris) merupakan keturunan dari serigala liar (C. lupus). Anjing juga bisa
kawin silang dengan serigala.
Perkembangan peradaban manusia mempengaruhi jenis-jenis anjing
yang ada. Jenis-jenis anjing diseleksi menurut keinginan manusia. Anjing telah
berkembang menjadi ratusan ras. Anjing ras sangat bervariasi dalam ukuran,
penampilan dan tingkah laku dibandingkan dengan hewan peliharaan yang lain.
Tinggi badan anjing dapat hanya beberapa puluh cm seperti Chihuahua hingga
lebih dari satu meter seperti Irish Wolfhound. Warna rambut anjing beraneka
ragam, yaitu putih, abu-abu (sering disebut "biru"), merah, keemasan, coklat, dan
hitam.

Anjing memiliki panjang rambut yang berbeda-beda, mulai dari yang

sangat pendek hingga yang panjangnya mencapai beberapa puluh sentimeter.
Rambut anjing ada yang lurus atau keriting, dan bertekstur kasar hingga lembut
seperti benang wol (Rees 1993).

A

B

D

C

Gambar 5 Contoh beberapa ras anjing
A) Pug; B) Pomerian; C) German shepherd; D) Labrador retriever

Manajemen Pemeliharaan Anjing
Manajemen pemeliharaan anjing harus memperhatikan kesejahteraan
hewan (animal welfare) dan berlandasan kepada ketentuan lima kebebasan
hewan (five freedoms). Lima kebebasan hewan adalah (1) bebas dari lapar dan
haus, (2) bebas dari rasa tidak nyaman, (3) bebas dari sakit, disakiti, dan
penyakit,

(4)

bebas

dari

rasa

takut

dan

tercekam,

serta

(5)

bebas

mengekspresikan tingkah laku alami. Manajemen pemeliharaan anjing terbagi
menjadi manajemen kesehatan, manajemen pakan, manajemen lingkungan
tempat tinggal, dan manajemen tingkah laku.
Manajemen kesehatan meliputi pemeriksaan anjing ke dokter hewan
secara rutin, pemberian vaksin, pengendalan parasit seperti cacing, kutu, dan
caplak, serta pengobatan jika anjing sakit. Manajemen pakan adalah pemberian
jenis pakan sesuai dengan kebutuhan dan umur anjing. Manajemen pakan
berguna untuk menghindari anjing dari obesitas dan masalah kesehatan lainnya
yang berkaitan dengan pakan. Anjing juga membutuhkan air yang cukup.
Manajemen lingkungan tempat tinggal adalah memperhatikan suhu, kelembaban,
dan kebersihan dimana anjing diletakkan. Anjing yang tinggal di dalam rumah
(indoor) perlu diperhatikan suhu dan ventilasi udara ruangan. Anjing yang tinggal
di luar rumah (outdoor) juga membutuhkan perlindungan dari suhu dan cuaca.
Tempat perlindungan seperti rumah anjing harus tersedia. Pengendalian parasit
lebih sulit pada anjing yang tinggal di luar rumah. Tempat defekasi atau litter box
perlu disediakan agar anjing tidak defekasi sembarangan. Manajemen tingkah
laku dilakukan dengan melatih anjing melakukan perintah tuannya, membawa

anjing jalan-jalan, dan memberikan kebebasan anjing mengekspresikan sifat
alaminya. Anjing dibawa jalan-jalan paling sedikit dua kali sehari.
Perawatan anjing yang lain adalah grooming. Grooming bertujuan untuk
menyikat rambut yang rontok. Rambut rontok ini dapat menghalangi udara
masuk ke dalam kulit sehingga dapat menimbulkan penyakit kulit. Kuku anjing
perlu dipotong secara berkala. Jika kuku dibiarkan tumbuh panjang, kuku dapat
tumbuh ke dalam bantalan kuku (Minnesotta 1995; UCDAVIS 2008).

Gejala Klinis dan Diagnosis
Dirofilariasis pada anjing dapat menyebabkan kombinasi masalah
kesehatan yang melingkupi disfungsi dari paru-paru, jantung, hati, dan ginjal.
Anjing belum menunjukkan gejala klinis pada infeksi awal. Anjing baru
menunjukkan beberapa gejala klinis seperti batuk pada infeksi D. immitis ringan.
Pada infeksi Dirofilaria yang sedang sampai parah, anjing akan kehilangan berat
badan, rambut kasar, batuk kronis, mudah lelah, dyspnoe, suara jantung yang
abnormal, hepatomegali, syncope, hydrotoraks, ascites, suara jantung yang
abnormal, dan right-sided congestive heart failure (gagal jantung sebelah kanan).
Anjing juga dapat mati secara mendadak.
Dirofilariasis dapat didiagnosis dengan melihat gejala klinis yang muncul
dan melakukan uji laboratorium. Uji-uji laboratorium yang biasa dilakukan adalah
The modified Knott’s test, ELISA deteksi antigen atau antibodi, Radiologi,
Angiografi, dan Ultrasonografi.

The modified Knott’s test adalah uji untuk

memeriksa mikrofilaria dengan melakukan sentrifus sehingga didapat endapan
mikrofilaria. Radiologi dilakukan untuk melihat abnormalitas pada jantung dan
paru-paru. Perubahan yang dapat diamati adalah pembesaran arteri pulmonary,
dilatasi ventrikel kanan jantung, hydrotoraks, dan ascites. Angiografi digunakan
untuk melihat pembesaran pembuluh darah dan adanya cacing di pembuluh
darah. Ultrasonografi digunakan untuk melihat dan mengevaluasi pembesaran
bilik dan ventrikel jantung serta untuk melihat keberadaan cacing di ventrikel
kanan jantung atau arteri pulmonary. ELISA deteksi antibodi digunakan untuk
mendeteksi respon antibodi akibat paparan infeksi Dirofilaria. Uji ini memiliki
kelemahan yaitu akurasi rendah dan dapat terjadi cross reaction dengan parasit
lain, misalnya Dipetalonema reconditum. ELISA deteksi antigen digunakan untuk
mendeteksi antigen yang dihasilkan oleh D. immitis dewasa. Kelemahan dari uji

ini adalah tidak dapat mendeteksi infeksi yang kurang dari enam bulan (American
Heartworm Society 2008; Attwell 1998).

ELISA untuk Deteksi Antigen
Enzyme Linked Immunosorbent Assay atau ELISA telah berkembang
sesuai dengan kebutuhan penelitian termasuk ELISA untuk deteksi antigen.
Konfigurasi ini menggunakan antibodi yang terikat pada fase padat untuk
menangkap antigen secara spesifik. Antibodi penangkap dan sistem indikator
dibuat tetap dan yang berubah hanya konsentrasi antigen. Antibodi penangkap
dan sistem indikator yang sering digunakan adalah antibodi monoklonal (Burgess
1995). Antibodi monoklonal dapat meningkatkan spesifitas diagnosis dengan
menghilangkan reaksi silang antara spesies parasit yang berkerabat dekat tanpa
menurunkan sensivitas yang nyata (Patterson 1995).

Antibodi monoklonal

diarahkan hanya pada satu epitop dari antigen target dan dapat diseleksi untuk
mengikat epitop dengan spesifisitas yang dikehendaki (Hall 1995).
Antigen adalah senyawa yang mampu menimbulkan respon imun inang.
Bagian permukaan antigen yang berhubungan dengan antibodi disebut epitop.
Jumlah epitop tergantung kepada besar molekul. Antigenitas suatu senyawa
dapat bervariasi tergantung kepada berbagai faktor seperti ukuran, kompleksitas,
stabilitas, dan keasingan. Suatu organisme terbentuk dari campuran protein,
glikoprotein, polisakarida, lipopolisakarida, asam nukleat, dan lipida yang
kompleks. Banyak nematoda yang mengeluarkan fosforilkolin ke jaringan
sekitarnya. Deteksi fosforilkolin dengan antibodi monoklonal telah dikembangkan
juga untuk deteksi infeksi Dirofilaria (Burgess 1995). Menurut Anonim (1996)
antigen yang berguna dalam penanda infeksi D. immitis harus bersifat spesifik
spesies yang dihasilkan oleh cacing dewasa dan bersifat imunogenik. Salah
satunya adalah 31-33 kDa glycoprotein D. immitis (DiT33). DiT33 merupakan
hasil ekskresi atau sekresi dari cacing dewasa betina maupun jantan.
ELISA deteksi antigen telah dikembangkan untuk membantu diagnosa D.
immitis. Antibodi monoklonal yang dihasilkan oleh Weil et al. (1985) telah
mengidentifikasi dua epitop yang diduga sebagai glikoprotein yang dimiliki
bersama oleh dua antigen yang beredar dari cacing dewasa terutama uterus
cacing betina dan telur. Antigenitas kedua epitop tersebut bersifat spesies
spesifik, tidak terdeteksi pada anjing yang tidak terinfeksi dan tidak bereaksi

silang dengan Di. reconditum. Antigenemia terdeteksi pertama kali 6 bulan
setelah infeksi dan tetap stabil selama 9-21 bulan (Hutchinson 1995).
Keuntungan dari tes ELISA deteksi antigen D. immitis antara lain dapat
memberikan informasi tentang jumlah cacing yang berkorelasi dengan potensi
terjadinya thrombus atau thromboemboli. Keefektivan terapi juga dapat dilihat
dengan membandingkan level antigen setelah terapi dengan sebelum terapi.
Estimasi waktu yang digunakan adalah 8-12 minggu setelah terapi. Tetapi tes ini
tidak dapat mendeteksi jumlah cacing yang rendah atau cacing yang belum
dewasa karena kurangnya kadar antigen yang dapat terdeteksi (Atwell 1988).

Penyebaran Dirofilariasis pada Anjing
Menurut survei WHO/FAO/IOE pada tahun 1983, kejadian dirofilariasis
ditemukan di seluruh belahan bumi. Penyebaran dirofilariasis di setiap negara
bervariasi. Dirofilariasis pada anjing di Canada terjadi secara sporadik. Rata-rata
prevalensi D. immitis pada anjing di Canada berkisar dari 1,31 % pada tahun
1978 sampai 1,79 % pada tahun 1981. Hampir di seluruh negara bagian di USA
ditemukan kejadian dirofilariasis. D. immitis bersifat enzootik di Atlantik dan
daerah Gulf Coastal yang terbetang dari Massachusetts sampai Texas timur.
Secara umum prevalensi D. immitis di Australia adalah 4-8 % di Sydney, 30-40
% di Brisbane, 70 % di Townsville, 85 % di Semenanjung Cape York, dan sampai
100 % di Darwin.
Dirofilariasis juga ditemukan di setiap negara di Amerika Selatan kecuali
Chile. Di benua Eropa dirofilariasis hanya ada di UK, Portugal, Italia, Hungaria,
dan Yunani. Dirofilariasi di benua Afrika yaitu terjadi di Moroko, Algeria, Tunisia,
Ghana, Burkina Faso, Nigeria, Kongo, Angola, Afrika Selatan, dan Sudan. Di
Asia penyebaran dirofilariasis terjadi dari Iran sampa India, Burma, Malaysia,
Indonesia, Papua New Guinea, Jepang, dan Korea Selatan. Prevalensi
dirofilariasis di Malaysia berkisar 9,6 % di daerah kota sekitar Kuala Lumpur, 32,4
% di Seremban, dan 70 % di Sabah. Kejadian D. immitis di Jepang bervariasi
berkisar 1,2 % di Okinawa sampai 74 % di Tochigi. Kejadian dirofilariasis di
Korea Selatan rendah dan sporadik (Lok 1988; Kelly 1977). Kejadian dirofilariasis
di Indonesia yang dilaporkan Karmil (2002) adalah 25,03% di Aceh, 35,46 % di
Jakarta, 56,99% di Bogor, dan 29,19% di Bali.

Dirofilariasis pada Manusia
Penyakit dirofilaria dalam beberapa dekade terakhir merupakan emerging
zoonosis untuk kesehatan masyarakat di seluruh dunia (Aranda 1998). Zoonosis
dirofilaria disebabkan oleh D. immitis, D. repens, D. tenuis, dan D. ursi. D. immitis
pada manusia dapat menyebabkan nodul paru-paru seperti “coin lesion” yang
sering dikelirukan dengan neoplasia pulmonary, sedangkan D. repens, D. tenuis,
dan D. ursi dapat membentuk nodule di subkutan dan mata. Manusia terinfeksi
ketika nyamuk yang membawa larva infektif (L3) menghisap darah manusia.
Manusia dianggap sebagai inang accidental. Nematoda ini dalam tubuh manusia
tidak mencapai dewasa kelamin secara normal. Hal ini disebabkan karena
manusia bukan inang definitif dan respon imun manusia mampu mengeleminasi
larva infektif sehingga tidak terjadi perkembangan lebih lanjut (Boreham 1988;
Genchi et al. 2005)
Peningkatan terpaparnya manusia oleh D. immitis sejalan dengan
peningkatan populasi anjing dan kurangnya pencegahan penyakit ini pada
anjing. Beberapa kejadian dirofilariasis pada manusia antara lain dilaporkan 11
kasus dirofilariasis subkutan di Moscow, 48 kasus selama 10 tahun di Prancis
(Genchi et al. 2005), 100 kasus dirofilariasis pulmonary manusia selama 40
tahun di Florida (Nayar dan Rutledge 1990), dan 3 kasus dirofilariasis subkutan
di Iran pada tahun 2002 (Maraghi et al. 2006).

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai November 2007.
Pengambilan sampel darah dilakukan di klinik dokter hewan, rumah sakit hewan,
dan rumah masyarakat di wilayah Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Bali.
Pemeriksaan sampel dilakukan di Laboratorium Helmintologi, Bagian Parasitologi
dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan
Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Metode Penelitian
Rancangan Studi
Penelitian ini merupakan kegiatan Cross-Sectional Study. Pengambilan
sampel dilakukan secara purposif. Sampel darah diambil dari 235 ekor anjing
yang berumur diatas 6 bulan. Besaran sampel ditentukan dengan dugaan tingkat
prevalensi Dirofilariasis di wilayah pulau Jawa dan Bali sebesar 15%. Martin et al
(1987) menjelaskan bahwa rumus yang digunakan untuk menentukan jumlah
sampel tersebut adalah
n = 4p(1-p)
L2
Keterangan : n = jumlah sampel
p = prevalensi dugaan
L = tingkat kesalahan (0,05)
Berdasarkan rumus diatas didapat jumlah sampel minimal adalah 204 sampel.
Sampel darah diperiksa terhadap keberadaan antigen D. immitis dengan
menggunakan uji ELISA Deteksi Antigen untuk mengetahui tingkat prevalensi,
sedangkan kuisioner digunakan untuk mendapatkan data mengenai faktor risiko
manajemen pemeliharaan anjing yang berhubungan dengan kejadian infeksi D.
immitis.

Metode Pengambilan Sampel
Pengambilan darah dilakukan dengan menggunakan spuit 3 ml melalui
vena cephalica antibrachii (kaki depan) atau vena saphena (kaki belakang)
sebanyak 1-2 ml. Setelah darah diambil, tuas spuit ditarik sampai maksimum lalu
diberi label identitas sampel (label berwarna putih) dan dibiarkan di suhu ruangan

selama 2 jam. Spuit yang darahnya telah membeku disimpan di dalam lemari
pendingin pada suhu 4º C selama satu malam agar serumnya keluar. Serum
yang telah terbentuk dipisahkan dan dimasukkan ke dalam tabung mikro. Tabung
mikro diberi label berwarna oranye. Tabung mikro disimpan di dalam freezer
suhu -20º C sampai sampel diperiksa.

Metode Pemeriksaan Sampel
Pemeriksaan sampel dilakukan dengan uji ELISA untuk mendeteksi
antigen cacing dewasa menggunakan kit DiroCHECK®. Pengujian dilakukan
sesuai prosedur yang diberikan oleh produsen kit. Sumur yang dilapisi Anti-D.
immitis disiapkan di dalam gagang sumur. Sumur pertama diteteskan 1 tetes
kontrol positif dan sumur kedua diteteskan 1 tetes kontrol negatif. Serum diambil
sebanyak 0,05 ml dengan mikro pipet kemudian dimasukkan ke sumur
berikutnya setelah kontrol.
Setiap sumur diteteskan 1 tetes Reagent 1-Conjugate lalu dicampurkan
dengan cara gagang sumur digoyang selama 15 detik. Kemudian didiamkan
selama 10 menit. Cairan dari sumur dibuang ke dalam bak cuci lalu diketukketukan ke tissue agar benar-benar tidak ada cairan lagi. Sumur-sumur
dibersihkan dengan aquades lalu dikocok-kocok kemudian dibuang. Pencucian
dengan aquades diulangi sebanyak 5 kali. Sumur-sumur dikeringkan dengan
diketuk-ketukan ke atas tissue.
Kemudian setiap sumur ditambahkan 2 tetes Reagent 2-Chromogenic
Substrate Buffer lalu dicampurkan dengan cara gagang sumur digoyang selama
15 detik. Kemudian didiamkan selama 5 menit. Lalu diamati perubahan warna
yang terjadi pada sampel. Sampel yang positif akan berwarna biru sedangkan
sampel yang negatif akan berwarna bening. Intensitas warna akan bervariasi
sesuai dengan jumlah antigen D. immitis yang ada.

Kuisioner
Informasi tentang aspek manajemen pemeliharaan yang dapat menjadi
faktor risiko infeksi D. immitis

yaitu (1) tempat pemeliharaan, (2) tujuan

pemeliharaan, (3) frekuensi anjing dibawa ke dokter hewan, dan (4) frekuensi
anjing dibawa jalan-jalan ke luar rumah diperoleh dari kuisioner yang diisi oleh
pemilik anjing (Lampiran 7). Nomor kuisioner sesuai dengan nomor sampel.

Analisis Statistik
Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik, serta
dilakukan pendugaan tingkat prevalensi.
Prevalensi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
P = Jumlah anjing yang positif D. immitis
Populasi berisiko terinfeksi D. immitis

Untuk melihat asosiasi antara kejadian dirofilariasis terhadap tempat
pemeliharaan, tujuan pemeliharaan, frekuensi anjing dibawa ke dokter hewan,
dan frekuensi anjing dibawa jalan-jalan ke luar rumah digunakan statistik uji Chi
kuadrat (X2) dengan persamaan :
X2 = ∑ (oi – ei)2
℮i
Keterangan : ℮i = nilai harapan ke-i
oi = nilai observasi ke-i
Untuk mengetahui hubungan dan besarnya pengaruh dari beberapa peubah
penjelas yaitu tempat pemeliharaan, tujuan pemeliharaan, frekuensi anjing
dibawa ke dokter hewan, dan frekuensi anjing dibawa jalan-jalan ke luar rumah
terhadap peubah respon yang berskala biner yaitu hasil ELISA maka digunakan
analisis regresi logistik (Sudjana 1996; Petrie dan Watson 2006).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Jumlah total sampel yang diperiksa adalah 235 buah yang terdiri atas 93
sampel di Jakarta dan Tangerang, 63 sampel di Jawa Barat, 22 sampel di Jawa
Tengah, dan 57 sampel di Bali. Hasil tes ELISA diperoleh 18 ekor positif yang
terdiri dari 2 ekor dari Jakarta-Tangerang, 10 ekor dari Jawa Barat, 1 ekor dari
Jawa Tengah, dan 5 ekor dari Bali. Prevalensi infeksi D. immitis pada anjing di
daerah tersebut adalah 7,7 %.

positif
18, 7,7%

negatif
217,
92,3%

Gambar 6 Jumlah anjing yang positif dan negatif terhadap dirofilariasis

Berdasarkan 235 kuisioner yang telah diterima, jumlah anjing menurut
tempat pemeliharaan yaitu indoor sebanyak 94 ekor (40%) dan outdoor
sebanyak 141 ekor (60%). Menurut tujuan pemeliharaan, sebanyak 125 ekor
(53%) anjing dijadikan sebagai hewan kesayangan, 103 ekor (44%) sebagai
penjaga rumah, dan sisanya 7 ekor (3%) untuk tujuan yang lain-lain. Menurut
frekuensi anjing dibawa ke dokter hewan, sebanyak 57 ekor (24%) rutin , 92 ekor
(39%) jika sakit saja, dan sisanya 86 ekor (37%) tidak pernah. Menurut frekuensi
anjing dibawa jalan-jalan keluar rumah, sebanyak 117 ekor (49%) setiap hari, 30
ekor (13%) setiap minggu, 19 ekor (8%) setiap bulan, dan sisanya 69 ekor (30%)
tidak pernah.
Hasil uji Chi kuadrat menunjukkan bahwa tempat pemeliharaan, tujuan
pemeliharaan, dan frekuensi jalan-jalan ke luar rumah tidak memiliki pengaruh
yang nyata terhadap infeksi D. immitis pada anjing (Tabel 2). Frekuensi ke dokter
hewan memiliki pengaruh yang nyata terhadap infeksi D. immitis pada anjing.
Faktor risiko yang signifikan berpengaruh nyata dapat dilihat dari nilai-P yang
lebih kecil dari α= 0,05.

Tabel 2 Hasil uji Chi kuadrat dari faktor-faktor manajemen pemeliharaan
2

Manajemen

Chi-square (X ) hitung

Nilai-P

Tempat pemeliharaan

2,567

0,109

Tujuan pemeliharaan

2,659

0,265

Frekuensi ke dokter hewan

7,796

0,020*

Frekuensi jalan keluar rumah

6,227

0,101

Keterangan : * signifikan pada taraf 5%

Analisis regresi logistik merupakan kelanjutan uji chi kuadrat untuk
melihat seberapa besar pengaruh faktor risiko terhadap kejadian dirofilariasis.
Hasil analisis regresi logistik dapat dilihat pada Tabel 3. Frekuensi anjing dibawa
ke dokter hewan memiliki pengaruh nyata terhadap kejadian dirofilariasis pada
anjing. Berdasarkan hasil analisis regresi logistik dapat dilihat bahwa anjing yang
tidak pernah dibawa ke dokter hewan memiliki risiko terinfeksi D. immitis 3,806
kali lebih tinggi dibandingkan anjing yang rutin dibawa ke dokter hewan.

Tabel 3 Tingkat infeksi dan nilai odds ratio dari masing-masing faktor
manajemen pemeliharaan
Faktor risiko
Tempat pemeliharaan
Indoor
Outdoor
Tujuan pemeliharaan
Hewan kesayangan
Komersil
Penjaga rumah
Frekuensi ke dokter hewan
Rutin
Kalau sakit
Tidak pernah
Frekuensi jalan-jalan
Tidak pernah
Setiap bulan
Setiap minggu
Setiap hari
* signifikan pada taraf 5%

Anjing yang
positif

Anjing yang
negatif

Odds

95% CI

Jumlah

%

Jumlah

%

ratio

4
14

4,3
9,9

90
127

95,7
90,1

1,440

0,364-5,702

7
0
11

5,6
0,0
10,7

118
7
92