Infeksi Cacing Jantung Pada Anjing Di Beberapa Wilayah Pulau Jawa Dan Bali : Faktor Risiko Terkait Dengan Manajemen Kesehatan Anjing

INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA
WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO
TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING

FITRIAWATI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

2

ABSTRAK
FITRIAWATI. Infeksi Cacing Jantung pada Anjing di Beberapa Wilayah Pulau Jawa
dan Bali : Faktor Risiko Terkait dengan Manajemen Kesehatan Anjing. Dibimbing
oleh Drh. Fadjar Satrija MSc.Ph.D
Penelitian ini bertujuan mempelajari keterkaitan antara faktor-faktor risiko
terkait manajemen kesehatan hewan kecacingan terhadap kejadian infeksi cacing
jantung Dirofilaria immitis pada anjing yang terdapat di beberapa lokasi di Pulau
Jawa dan Bali. Sampel darah diambil dari 235 ekor anjing yang ada di klinik dokter

hewan, rumah sakit hewan, di daerah Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah
dan Bali dari bulan Juli sampai dengan bulan November 2007. Sampel darah
tersebut kemudian diperiksa dengan menggunakan uji ELISA deteksi antigen.
Informasi mengenai manajemen kesehatan hewan terhadap kecacingan diperoleh
dari kuisoner yang diberikan kepada pemilik anjing. Anjing yang positif sebanyak 18
ekor (7,7) dari 235 sampel yang diperiksa. Prevalensi tertinggi terdapat di wilayah
Jawa Barat (4,2%) dan terendah di wilayah Jawa Tengah (0,42 %). Berdasarkan
analisis Chi-square frekuensi kunjungan ke dokter hewan dan pemberian obat
cacing mempengaruhi kejadian dirofilariasis, sedangkan frekuensi pemberian obat
cacing tidak mempengaruhi kejadian dirofilariasis. Anjing yang tidak pernah
diperiksa ke dokter hewan memiliki risiko terinfeksi D. Immitis 3,6 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan anjing yang rutin diperiksa ke dokter hewan. Anjing yang tidak
pernah diberikan obat cacing memiliki risiko terinfeksi D. Immitis 0,3 kali lebih rendah
dibandingkan dengan anjing yang pernah diberikan obat cacing.
Kata kunci : Manajemen kesehatan anjing, Dirofilaria immitis

3

INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA
WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO

TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING

FITRIAWATI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

4

Judul skripsi

: Infeksi Cacing Jantung pada Anjing di Beberapa Wilayah
Pulau Jawa


dan Bali : Faktor Risiko Terkait dengan

Manajemen Kesehatan Anjing
Nama

: Fitriawati

NRP

: B04104135

Disetujui
Pembimbing

drh. Fadjar Satrija, MSc,Ph.D
NIP 131 760 846

Diketahui,
Wakil Dekan


Dr. Nastiti Kusumorini
NIP 131 669 943
Lulus tanggal:

5

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan
cintaNya yang selalu tercurah setiap saat sehingga skripsi dengan judul Infeksi
Cacing Jantung pada Anjing di Beberapa Wilayah Pulau Jawa dan Bali : Faktor
Risiko Terkait dengan Manajemen Kesehatan Anjing berhasil diselesaikan. Penulis
mengucapkan

terima

kasih

kepada


drh.

Fadjar

Satrija,

MSc,Ph.D

atas

bimbingannya, saran, dan bantuannya, Dr. drh. Agustin Indrawati, M Biomed
sebagai dosen pembimbing akademik atas nasehat dan perhatiannya, drh Yusuf
Ridwan yang telah membantu penelitian ini, serta
bantuannya

Ir Etih Sudarnika, MSi atas

dan drh Chaerul Basri selaku dosen penguji. Ucapan terima kasih

kepada Staf Bagian Parasitologi dan Laboratorium Helmintologi, bapak-bapak

satpam, serta seluruh civitas FKH IPB. Dokter dokter hewan dan para medis yang
telah membantu penelitian ini.
Terima kasih yang tak terhingga untuk kedua orang tua tercinta yang tak
pernah putus doa, kasih sayang dan doa untuk anaknya serta dukungan materi
untuk menyelesaikan amanah belajar ini. Pemerintah daerah, rakyat kabupaten Alor
yang telah memberikan dukungan, doa dan kepercayaan untuk mengemban
amanah belajar ini. Keluarga di Kupang dan keluarga di Bogor atas doa serta
semangat yang diberikan. Teman teman sepenelitian Dirofilariasis Rita dan
Laurensius. Teman-teman di kosan perwira 46, Kru DPRA bajay, adik-adik di Laz Al
Huriyyah, DPM FKH IPB, DKM An Nahl, Asteroidea 41 serta kakak- kakak angkatan
40, 39, 38, 37 dn 36 dan adik-adik angkatan, 42, 43, 44 dan 45. Tak lupa penulis
ucapkan terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
tugas akhir ini.
Bogor, Februari 2009

Fitriawati

6

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten Alor pada tanggal 17 Maret 1985. Penulis
adalah anak kedua dari empat bersaudara dari ayah Syamsul Bahri dan Ibu Kasiani
Sadimin.
Penulis menyelesaikan Pendidikan dasar di SD Islam Cokro Aminoto
Kalabahi (1993 -1998), Pendidikan menegah dilanjutkan di SLTP N 1 Kalabahi
(1998-2001), dan dilanjutkan di SMUN 1 Kalabahi pada tahun (2001-2004), penulis
diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan IPB melalui jalur
Beasiswa Utusan Daerah pada tahun 2004.
Selama mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di
organisasi formal kampus diantaranya : DKM An Nahl, Himpro Ruminansia, DPM
FKH IPB, IMAKAHI. Penulis juga aktif sebagai asisten praktikum Pendidikan Agama
Islam pada tahun (200-2008) dan sebagai
Parasitologi Endoparasit pada tahun (2007).

Asisten Praktikum

mata kuliah

7


DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL...................................................................................................

ii

DAFTAR GAMBAR .............................................................................................

iii

DAFTAR LAMPIRAN...........................................................................................

iv

PENDAHULUAN..................................................................................................

1

Latar belakang.........................................................................................


2

Tujuan penelitian......................................................................................

2

TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................

3

Klasifikasi..................................................................................................

3

Morfologi Dirofilaria immitis....................................................................... 4
Siklus hidup dan vektor Dirofilaria immitis................................................

5


Patogenesa..............................................................................................

6

Gejala klinis dan Diagnosa.......................................................................

7

Prognosa..................................................................................................

8

Pencegahan dan pengobatan..................................................................

8

ELISA untuk deteksi antigen....................................................................

10


Gambaran umum tentang anjing.............................................................

10

Manajemen Kesehatan anjing.................................................................

11

BAHAN DAN METODE........................................................................................

14

Tempat dan waktu penelitian...................................................................

14

Metode penelitian.....................................................................................

14

Analisis statistik........................................................................................

16

HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................................

18

Hasil..........................................................................................................

18

Pembahasan. ........................................................................................... 21
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................ 25
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 26
LAMPIRAN............................................................................................................ 30

8

DAFTAR TABEL
Halaman
1. Hasil uji Chi kuadrat dari faktor-faktor manajemen kesehatan.....................

17

2. Tingkat infeksi dan nilai odds ratio faktor manajemen kesehatan................

17

9

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Cacing dewasa di dalam jantung anjing........................................................

4

2. Siklus hidup Dirofilaria immitis......................................................................

5

3. Culex quinquefasciatus................................................................................

6

4. Contoh obat cacing untuk cacing jantung.....................................................

10

5. Hasil pemeriksaan ELISA positif D. immitis dan negatif..............................

17

6. Jumlah anjing yang positif dan negatif terinfeksi dirofilariasis.......................

18

7. Pemberian obat cacing oleh pemilik kepada anjing

19

10

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Kuisoner survei dirofilariasis....................................................................

30

2. Prevalensi dirofilariasis tiap daerah.........................................................

31

INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA
WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO
TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING

FITRIAWATI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

2

ABSTRAK
FITRIAWATI. Infeksi Cacing Jantung pada Anjing di Beberapa Wilayah Pulau Jawa
dan Bali : Faktor Risiko Terkait dengan Manajemen Kesehatan Anjing. Dibimbing
oleh Drh. Fadjar Satrija MSc.Ph.D
Penelitian ini bertujuan mempelajari keterkaitan antara faktor-faktor risiko
terkait manajemen kesehatan hewan kecacingan terhadap kejadian infeksi cacing
jantung Dirofilaria immitis pada anjing yang terdapat di beberapa lokasi di Pulau
Jawa dan Bali. Sampel darah diambil dari 235 ekor anjing yang ada di klinik dokter
hewan, rumah sakit hewan, di daerah Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah
dan Bali dari bulan Juli sampai dengan bulan November 2007. Sampel darah
tersebut kemudian diperiksa dengan menggunakan uji ELISA deteksi antigen.
Informasi mengenai manajemen kesehatan hewan terhadap kecacingan diperoleh
dari kuisoner yang diberikan kepada pemilik anjing. Anjing yang positif sebanyak 18
ekor (7,7) dari 235 sampel yang diperiksa. Prevalensi tertinggi terdapat di wilayah
Jawa Barat (4,2%) dan terendah di wilayah Jawa Tengah (0,42 %). Berdasarkan
analisis Chi-square frekuensi kunjungan ke dokter hewan dan pemberian obat
cacing mempengaruhi kejadian dirofilariasis, sedangkan frekuensi pemberian obat
cacing tidak mempengaruhi kejadian dirofilariasis. Anjing yang tidak pernah
diperiksa ke dokter hewan memiliki risiko terinfeksi D. Immitis 3,6 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan anjing yang rutin diperiksa ke dokter hewan. Anjing yang tidak
pernah diberikan obat cacing memiliki risiko terinfeksi D. Immitis 0,3 kali lebih rendah
dibandingkan dengan anjing yang pernah diberikan obat cacing.
Kata kunci : Manajemen kesehatan anjing, Dirofilaria immitis

3

INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA
WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO
TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING

FITRIAWATI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

4

Judul skripsi

: Infeksi Cacing Jantung pada Anjing di Beberapa Wilayah
Pulau Jawa

dan Bali : Faktor Risiko Terkait dengan

Manajemen Kesehatan Anjing
Nama

: Fitriawati

NRP

: B04104135

Disetujui
Pembimbing

drh. Fadjar Satrija, MSc,Ph.D
NIP 131 760 846

Diketahui,
Wakil Dekan

Dr. Nastiti Kusumorini
NIP 131 669 943
Lulus tanggal:

5

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan
cintaNya yang selalu tercurah setiap saat sehingga skripsi dengan judul Infeksi
Cacing Jantung pada Anjing di Beberapa Wilayah Pulau Jawa dan Bali : Faktor
Risiko Terkait dengan Manajemen Kesehatan Anjing berhasil diselesaikan. Penulis
mengucapkan

terima

kasih

kepada

drh.

Fadjar

Satrija,

MSc,Ph.D

atas

bimbingannya, saran, dan bantuannya, Dr. drh. Agustin Indrawati, M Biomed
sebagai dosen pembimbing akademik atas nasehat dan perhatiannya, drh Yusuf
Ridwan yang telah membantu penelitian ini, serta
bantuannya

Ir Etih Sudarnika, MSi atas

dan drh Chaerul Basri selaku dosen penguji. Ucapan terima kasih

kepada Staf Bagian Parasitologi dan Laboratorium Helmintologi, bapak-bapak
satpam, serta seluruh civitas FKH IPB. Dokter dokter hewan dan para medis yang
telah membantu penelitian ini.
Terima kasih yang tak terhingga untuk kedua orang tua tercinta yang tak
pernah putus doa, kasih sayang dan doa untuk anaknya serta dukungan materi
untuk menyelesaikan amanah belajar ini. Pemerintah daerah, rakyat kabupaten Alor
yang telah memberikan dukungan, doa dan kepercayaan untuk mengemban
amanah belajar ini. Keluarga di Kupang dan keluarga di Bogor atas doa serta
semangat yang diberikan. Teman teman sepenelitian Dirofilariasis Rita dan
Laurensius. Teman-teman di kosan perwira 46, Kru DPRA bajay, adik-adik di Laz Al
Huriyyah, DPM FKH IPB, DKM An Nahl, Asteroidea 41 serta kakak- kakak angkatan
40, 39, 38, 37 dn 36 dan adik-adik angkatan, 42, 43, 44 dan 45. Tak lupa penulis
ucapkan terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
tugas akhir ini.
Bogor, Februari 2009

Fitriawati

6

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabupaten Alor pada tanggal 17 Maret 1985. Penulis
adalah anak kedua dari empat bersaudara dari ayah Syamsul Bahri dan Ibu Kasiani
Sadimin.
Penulis menyelesaikan Pendidikan dasar di SD Islam Cokro Aminoto
Kalabahi (1993 -1998), Pendidikan menegah dilanjutkan di SLTP N 1 Kalabahi
(1998-2001), dan dilanjutkan di SMUN 1 Kalabahi pada tahun (2001-2004), penulis
diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan IPB melalui jalur
Beasiswa Utusan Daerah pada tahun 2004.
Selama mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di
organisasi formal kampus diantaranya : DKM An Nahl, Himpro Ruminansia, DPM
FKH IPB, IMAKAHI. Penulis juga aktif sebagai asisten praktikum Pendidikan Agama
Islam pada tahun (200-2008) dan sebagai
Parasitologi Endoparasit pada tahun (2007).

Asisten Praktikum

mata kuliah

7

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL...................................................................................................

ii

DAFTAR GAMBAR .............................................................................................

iii

DAFTAR LAMPIRAN...........................................................................................

iv

PENDAHULUAN..................................................................................................

1

Latar belakang.........................................................................................

2

Tujuan penelitian......................................................................................

2

TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................

3

Klasifikasi..................................................................................................

3

Morfologi Dirofilaria immitis....................................................................... 4
Siklus hidup dan vektor Dirofilaria immitis................................................

5

Patogenesa..............................................................................................

6

Gejala klinis dan Diagnosa.......................................................................

7

Prognosa..................................................................................................

8

Pencegahan dan pengobatan..................................................................

8

ELISA untuk deteksi antigen....................................................................

10

Gambaran umum tentang anjing.............................................................

10

Manajemen Kesehatan anjing.................................................................

11

BAHAN DAN METODE........................................................................................

14

Tempat dan waktu penelitian...................................................................

14

Metode penelitian.....................................................................................

14

Analisis statistik........................................................................................

16

HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................................

18

Hasil..........................................................................................................

18

Pembahasan. ........................................................................................... 21
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................ 25
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 26
LAMPIRAN............................................................................................................ 30

8

DAFTAR TABEL
Halaman
1. Hasil uji Chi kuadrat dari faktor-faktor manajemen kesehatan.....................

17

2. Tingkat infeksi dan nilai odds ratio faktor manajemen kesehatan................

17

9

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Cacing dewasa di dalam jantung anjing........................................................

4

2. Siklus hidup Dirofilaria immitis......................................................................

5

3. Culex quinquefasciatus................................................................................

6

4. Contoh obat cacing untuk cacing jantung.....................................................

10

5. Hasil pemeriksaan ELISA positif D. immitis dan negatif..............................

17

6. Jumlah anjing yang positif dan negatif terinfeksi dirofilariasis.......................

18

7. Pemberian obat cacing oleh pemilik kepada anjing

19

10

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Kuisoner survei dirofilariasis....................................................................

30

2. Prevalensi dirofilariasis tiap daerah.........................................................

31

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anjing merupakan hewan yang pertama kali didomestikasi sebagai hewan
kesayangan dan membantu manusia untuk melaksanakan berbagai pekerjaan
seperti penjaga, pelacak atau penggembala ternak (Darmojono 2003). Hal ini
menyebabkan anjing memiliki tingkat kedekatan yang sangat tinggi dengan
manusia. Oleh karena itu menjaga kesehatan hewan kesayangan bukan hanya
untuk kesejahteraan hewan atau wujud dari rasa sayang pada hewan, melainkan
juga penting untuk menghindarkan manusia dari kemungkinan penularan penyakit
yang dibawa oleh anjing.
Zoonosis adalah penyakit yang secara alamiah ditularkan dari hewan ke
manusia atau sebaliknya. Salah satu penyakit zoonosa yang ditularkan oleh anjing
ke manusia adalah penyakit cacing jantung yang disebabkan oleh cacing Dirofilaria
immitis. Cacing ini dapat menginfeksi dan berakibat fatal pada anjing, kucing, rubah,
dan karnivora lainnya. Cacing ini ditemukan hampir di seluruh dunia terutama di
daerah tropis dan subtropis Jones et al. (1993). Penularan cacing D. immitis terjadi
melalui penularan vektor nyamuk. Di Indonesia, berdasarkan hasil penelitian telah
diketahui

bahwa

Ae.

aegypti,

Ae.

albopictus,

Ar.

subalbatus

dan

Cx.

quinquefasciatus dapat menjadi vektor D. Immitis (Karmil 1996). Menurut Subronto
(2006) anjing yang terinfeksi tidak menunjukan gejala yang spesifik dan akan terlihat
jika sudah kronis. Derajat infeksi pada manusia akan menjadi tinggi jika di wilayah
tersebut kejadian pada anjing pun tinggi.
Perhatian masyarakat terhadap kejadian dirofilariasis di Indonesia terlihat masih
sangat rendah. Hal ini tercermin dari

kurangnya informasi tentang kejadian

dirofilariasis pada anjing maupun manusia. Kurangnya perhatian masyarakat
mungkin disebabkan karena penyakit ini dianggap tidak begitu berdampak pada
sektor ekonomi. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa sesungguhnya
prevalensi infeksi D. immitis pada anjing cukup tinggi (25-57%) yaitu di wilayah DI
Aceh, DKI Jakarta, Bogor dan Bali (Karmil 2002).

2

Pengobatan anjing penderita dirofilariasis tergolong relatif mahal dan
membutuhkan waktu yang sangat lama. Levamisole dan Ivermectin adalah obat
yang mampu melawan mikrofilaria di anjing (Jackson 1972). Dietilcarbamazine juga
daapa digunakan sebagai kemoprofilaksis pada anjing yang terinfeksi cacing jantung
(Plumb 2004). Namun disisi lain pemberian antelmintika kepada anjing yang
terinfeksi terkadang menimbulkan dampak negatif yaitu terjadinya tromboemboli
yang dapat menyumbat pembuluh darah sehingga menimbulkan kematian pada
anjing (Kelly 1977).
Mengingat bahaya dan akibat dari penyakit ini, maka pencegahan penyakit
cacing jantung merupakan langkah yang tepat dan lebih efekif untuk mengurangi
resiko penularan cacing jantung kepada anjing. Agar tindakan pencegahan ini
berjalan efektif perlu dipelajari berbagai faktor risiko yang terkait dengan manajemen
kesehatan hewan.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara faktor-faktor
risiko yang terkait dengan manajemen kesehatan hewan terhadap tingkat kejadian
dirofilariasis pada anjing peliharaan di wilayah Pulau Jawa dan Bali. Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan informasi tentang faktor-faktor risiko kejadian
dirofilariasis kepada masyarakat terutama pemilik anjing sehingga dapat dilakukan
tindakan pencegahan penyakit.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi
Klasifikasi cacing jantung (Dirofilaria immitis) menurut Kelly (1977) adalah
sebagai berikut :
Kelas

: Nematoda

Subordo

: Spirurata

Superfamili

: Filarioidea

Famili

: Filariidae

Genus

: Dirofilaria

Spesies

: Dirofilaria immitis

Morfologi Dirofilaria immitis
Dirofilaria immitis dewasa berbentuk bulat, panjang, langsing berwarna putih.
Cacing jantan panjangnya 12-18 cm, sedangkan betina memiliki panjang 25-30 cm.
Lapisan kutikula cacing dewasa sangat tebal dan terlihat perbedaan ciri morfologis
yang spesifik. Ekstremitas anterior berbentuk bulat, tidak memiliki bibir, mulut sangat
kecil, dan dikelilingi oleh 6 buah papila inskonspikus. Usofagus relatif pendek (1,25 1,50 mm) dan terbagi menjadi dua bagian yaitu : bagian otot di anterior dan kelenjar
(glandula) posterior. Pada ujung posterior menyerupai spiral, memiliki alae lateral
kecil dan tumpul. Umumnya terdapat 7 pasang papila dan 6 di antaranya terdapat di
bagian post -anal. Spikulumnya tidak sama besar, dan tidak terdapat gubernakulum.
Spikula kanan dan kiri panjangnya masing-masing 0,37 mm dan 0,23 mm. Cacing
betina bersifat vivipar, kemudian pada bagian ujung anterior terdapat vulva atau
dekat ekstrmitas posterior oesofagus (Kelly 1977; Levine 1990).
Mikrofilaria ditemukan di dalam pembuluh darah hewan yang terinfeksi.
Mikrofilaria D. immitis panjangnya 290-340 m dan lebar 6-7 m. Ujung anteriornya
runcing dan ujung posterior lurus dan tumpul, tidak memiliki kait sefalik, serta tidak
terselubung. Dalam sirkulasi darah mikrofilaria mampu bertahan hidup selama 2
tahun (Corwin dan Nahm 1997 diacu dalam Karmil 2002).

4

Gambar 1 Cacing dewasa di jantung anjing
Sumber : www.stanford.edu//Dirofilariasis/Home.htm

Siklus hidup dan vektor Dirofilaria immitis
Mikrofilaria dapat ditemukan di dalam sirkulasi darah setiap waktu, akan
tetapi pada umumnya jumlahnya berfluktuatif mengikuti perioditas dan kondisi
dimana inang definitif berada. Di Amerika Serikat angka minimum parasitemia pada
jam 11.00 dan angka maksimum pada jam 16.00, sedangkan di Perancis angka
minimum pada jam 8.00 dan angka maksimum pada jam 20.00. Angka minimum
parasitemia di Cina ditemukan pada jam 6.00 dan angka maksimum pada jam 18.00
(Soulsby 1982). Pada nyamuk yang terinfeksi buatan, mikrofilaria bermigrasi dari
usus ke hemosel dan kemudian ke saluran Malphighi, menyerupai bentuk sosis dan
menyilih menjadi larva stadium kedua yang memanjang dan kemudian menjadi larva
stadium ketiga yang infektif dalam waktu 10 -14 hari. Larva ini keluar menuju
hemosel dan berpindah ke arah di dalam tubuh nyamuk, mencapai labium dan
masuk ke dalam induk semang baru saat nyamuk tersebut menggigit (Levine 1990).
Cacing Jantung betina menghasilkan bentuk awal yaitu larva stadium1 (L1),
kemudian menjadi (L2) dan L3 (larva infektif) atau disebut mikrofilaria. Larva infektif
ini yang kemudian akan termakan oleh nyamuk pada saat menggigit anjing yang
telah terinfeksi untuk ditularkan kepada anjing yang belum terinfeksi. Larva stadium
pertama selama 24 jam tinggal di dalam lambung. Larva bermigrasi ke dalam
saluran Malphighi jika perkembangan embrionik telah lengkap. Larva kemudian
berubah bentuk menjadi lebih pendek dan gemuk seperti sosis. Larva akan ke luar
dari saluran Malphighi dan akan masuk ke dalam lumen saluran Malphighi pada hari
ke enam atau tujuh. Larva stadium pertama berukuran (150

m) menyilih atau

molting menjadi larva stadium kedua (230 m) kira-kira pada hari ke sepuluh. Larva

5

stadium kedua akan menyilih menjadi larva stadium ketiga (800

m) yang infektif

pada hari ke tiga belas. Kemudian larva akan bermigrasi ke arah dada dan kepala
kemudian masuk ke probosis nyamuk. Perkembangan nyamuk dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu temperatur dan kelembaban lingkungan tempat nyamuk
berkembangbiak (Kelly 1977).

Gambar 2 Siklus Cacing Jantung (Dirofilaria immitis)
Sumber : http://www.caminoanimalclinic.com/articles/heartworm.html

Tahap infeksi akan dimulai ketika nyamuk yang membawa larva infektif
mengisap darah anjing. Kemudian larva stadium ketiga bermigrasi ke dalam
subkutan atau pada jaringan serosa, jaringan otot atau jaringan lemak. Larva
stadium ketiga kemudian menyilih menjadi larva stadium keempat (18 mm) pada
hari ke 9-12. Setelah itu menyilih menjadi larva stadium kelima atau cacing muda
(80 mm) pada hari ke 70-80 setelah terjadi infeksi. Selama 3 bulan cacing muda
akan bermigrasi ke ventrikel kanan melalui pembuluh darah vena. Mikrofilaria
terdapat di dalam uterus betina dewasa pada bulan ke 6 setelah infeksi, dan akan
muncul di pembuluh darah perifer pada 6-7 bulan setelah terjadi infeksi. Masa
prepaten cacing Dirofilaria immitis adalah 6-7 bulan dan masa patennya lebih dari
7,5 tahun (Kelly 1977; Levine 1990).

6

Cacing jantung menginfeksi inangnya dengan perantara nyamuk sebagai
vektor. Nyamuk yang telah mengandung larva cacing akan mengisap darah anjing
yang terinfeksi. Kemudian nyamuk akan meginfeksi anjing yang sehat ketika
mengisap darah. Empat spesies nyamuk yang ditangkap di Bogor yang terinfeksi
larva D. immitis yaitu

Armigeres subalbatus, Culex quinquefasciatus, Culex

fuscocephalus dan Culex tritaeniorhynchus (Hadi 1999). Nyamuk berperan sebagai
vektor biologis karena terjadi fase perkembangan di dalam tubuh nyamuk dari
mikrofilaria stadium satu menjadi stadium tiga/larva infektif (Nayar dan Rutldge
1990).

Gambar 3 Nyamuk Culex quinquefasciatus
Sumber : www.arbovirus.health.nsw.gov.au

Patogenesa
Infeksi cacing Dirofilaria immitis dalam jumlah yang sedikit umumnya tidak
menimbulkan gejala klinis. Pada infeksi berat maka cacing Dirofilaria immitis dapat
menyumbat sirkulasi darah dan menimbulkan kegagalan jantung bagian kanan
sehingga jantung mengalami kongesti yang kronis. Cacing yang masih aktif
menyebabkan endokarditis pada katup jantung dan endarteritis pada pulmoner
proliferatif akibat timbulnya respon terhadap produk-produk yang diekskresikan oleh
cacing tersebut. Adanya cacing jantung menyebabkan anjing dapat menderita
berbagai kelainan akibat gangguan dalam pengaliran darah, kelemahan jantung.
Gangguan sirkulasi ekstrim dapat berupa obstruksi oleh cacing, terjadinya radang
arteri (arteritis) dan penyempitan karena terjadi fibrosis. Lebih lanjut terjadi
gangguan pernafasan oleh emboli pulmoner, infark dan hemosiderosis. Adanya
cacing yang hidup atau mati menyebabkan emboli di paru paru dan mengakibatkan
hambatan pengaliran darah (insufisiensi jantung). Gangguan dalam

pengaliran

7

darah

balik berakibat pada gangguan hati, dan lebih lanjut terjadinya ascites

(Subronto 2006).

Gejala klinis dan Diagnosa
Cacing dewasa Dirofilaria immitis ditemukan di ventrikel kanan dan arteri
pulmonalis. Pada keadaan tertentu cacing dewasa ini juga bisa ditemukan di luar
sistem pembuluh darah misalnya ruang peritoneum, bronkhus, otak, mata dan
jaringan-jaringan lainnya (Kelly 1977). Cacing ini dijumpai pada ventrikel kanan dan
arteri pulmonum (kadang-kadang pada beberapa lokasi lain seperti kamar mata
depan dan rongga peritoneum) anjing dan kucing, rubah, karnivora lain, primata
(termasuk manusia) dan singa laut di seluruh manusia, meskipun demikian tampak
jarang di Afrika (Soulsby 1982).
Anjing yang terifeksi tidak menunjukan gejala yang spesifik. Gejala klinis
akan terlihat jika pada stadium kronis. Penderita kehilangan berat badan secara
progresif. Hewan cepat lelah setelah beraktifitas yang tidak berat, diikuti batuk dan
dyspnoe. Suhu tubuh normal atau mengalami kenaikan karena proses radang
antara lain dari paru-paru. Busung terjadi karena lambatnya pengaliran darah
disertai dengan hipoproteinemia. Gangguan sirkulasi terlihat juga dari selaput lendir
mata yang mengalami sianotik. Gejala klinis yang terlihat kelelahan dalam exercise,
batuk, oedema, ascites, gagal jantung dan kematian pada anjing-anjing yang
terinfeksi ini tersebar dan endemis di daerah tropis, subtropis dan wilayah yang
beriklim panas di dunia (Haddock 1987; Subronto 2006).
Menurut Rawlings (1986) diagnosa penyakit cacing jantung pada anjing
bergantung pada keakuratan anamnese, gejala klinis dan beberapa metode untuk
mendeteksi mikrofilaria di darah. Metode untuk mendeteksi mikrofilaria di darah
diantaranya preparat natif, hematokrit, uji Knott, dan filtrasi. Uji Indirect Flourescent
Antibody (IFA) bertujuan untuk melihat cacing dewasa dengan menggunakan
mikroskop Flouresens, ELISA deteksi antibodi (Ab-ELISA) digunakan untuk
medeteksi adanya respon dari antibodi terhadap antigen. ELISA deteksi antigen
(Ag-ELISA) digunakan untuk mendeteksi keberadaan antigen yang dihasilkan oleh
cacing Dirofilaria immitis yang dewasa.

8

Prognosa
Prognosis dirofilariasis adalah merupakan dilema yang berat sebab fakta di
lapangan menunjukan bahwa : (1) pada kebanyakan kasus dirofilariasis yang kronis,
jumlah cacing dewasa di dalam jantung dan arteri pulmonalis lebih dari 100 ekor dan
maksimum mikrofilaremik lebih dari 2 juta mf/cc darah, ternyata masih mampu hidup
sampai 12 tahun tanpa terjadi obstruksi dan kolaps, (2) pada kasus dirofilariasis
yang ringan dan hanya ditemukan 5 ekor cacing dewasa dengan angka maksimum
mikrofilaremik sekitar 1000 mf/cc darah, ternyata mati karena caval syndrome.
Prognosa dirofilariasis dari dubius hingga fausta. Kasus dirofilariasis kronis sering
menimbulkan tromboemboli sampai dengan pneumonia tromboemboli dan syok
pulmonum. Pada kasus dirofilariasis sering diiringi oleh kegagalan ginjal, sehingga
terapi dengan adultisidal dari kelompok preparat arsenik menjadi problematik
(Rawlings et al.,1993; Ettinger 1989 diacu dalam Karmil 2002).

Pengobatan dan Pencegahan
Pasien yang terinfeksi dirofilariasis yang akan diberikan terapi sebelumnya
harus didahului dengan evaluasi secara seksama melalui pemeriksaan fisik, analisis
urine, radiografi, uji fungsi organ khususnya hati dan ginjal berkaitan dengan efek
toksik dari Thiacertasamide. Pasien yang terinfeksi cacing jantung dapat dibagi
dalam kelompok : (1) tidak boleh diobati sama sekali, (2) ditunda atau (3) diobati
tetapi dengan syarat dirawat secara intensif (Karmil 2002).
Pemberian

antelmintika

kepada

hewan

sebaiknya

benar-benar

memperhatikan jenis, dosis dan efek samping yang ditimbulkan setelah diberikan
kepada hewan. Menurut Brander et al. (1994) bahwa syarat antelmintika yang baik
adalah memiliki indeks terapeutik yang luas, broad spektrum yaitu aktivitas yang
dapat melawan larva dan cacing dewasa pada semua kelas parasit untuk
kepentingan patogenik, zoonosis dan ekonomi, waktu hilangnya residu relatif singkat
di susu atau jaringan jika diberikan kepada ternak, tidak menimbulkan efek samping,
dan harganya terjangkau.
Pemberian antelmintika pada anjing yang terinfeksi cacing jantung berupa
obat untuk membunuh mikrofilaria dan untuk membunuh cacing. Obat- obat yang
dapat membunuh cacing di dalam sistem peredaran darah dapat menimbulkan

9

tromboemboli karena cacing dapat membentuk trombus yang mampu menyumbat
kapiler dan pembuluh darah besar lainnya (Subronto 1996).
Berdasarkan rekomendasi dari AVMA Council on Veterinary Service
mengenai langkah-langkah yang dilakukan untuk meghilangkan cacing jantung
dimulai

dengan

menghilangkan

cacing

dewasa,

kemudian

menghilangkan

mikrofilaria dan tindakan pencegahan untuk mencegah terinfeksi ulang. Senyawa
Thiacertamide dengan dosis 2,2 mg/kg 2 kali selama 2-4 hari secara intra vena.
Senyawa ini mampu membunuh cacing dewasa efek samping obat ini dapat
menyebabkan keracunan pada anjing sehingga harus benar-benar diperhatikan
ketika dalam melakukan pemberian obat ini. Jenis antelmintika yang juga biasanya
diberikan adalah Levamisole, Ivermectin dan Dietilcarbamazine (Jones 1977).
Levamisole adalah salah satu jenis obat cacing yang telah digunakan pada
anjing yang terinfeksi cacing jantung. Levamisole berfungsi untuk membunuh
mikrofilaria dan cacing jantung yang dewasa pada anjing yang terinfeksi. Dosis
Levamisole yang digunakan adalah 5,5 mg/kg diberikan dua kali sehari (Adams
2001; Jackson 1972; Plumb 2004)
Ivermectin termasuk salah satu obat yang dipergunakan dalam mencegah
infeksi cacing jantung pada anjing. Ivermectin merupakan derivat Avermectin yang
berasal dari kelompok senyawa lakton makrosiklik yang berasal dari produk biologik
oleh Cendawan tanah Streptomyces avermilitis. Ivermectin bekerja dengan cara
menghambat Gama Amino Butyric Acid (GABA) dari sinaps pada sistem
parasit (Subronto 2004; Adams 2001; Plumb 2004).

Gambar 4 Obat cacing untuk cacing jantung (D. Immitis)
Sumber : http://www.petalia.com.au/templates/prodsublist.cfm?group_

saraf

10

Selain itu Dietilcarbamazine juga merupakan obat sebagai propilaksis pada
anjing yang terinfeksi cacing jantung. Pemberian jenis obat ini dilakukan selama
musim hujan ketika jumlah

populasi

nyamuk meningkat. Dietilcarbamazine

biasanya digunakan untuk pencegahan dirofilariasis pada saat larva infektif (L3)
tetapi tidak dapat menghilangkan mikrofilaria ( Plumb 2004; Foreyt 2001 dan Jones
et al. 1977).

ELISA untuk Deteksi Antigen
ELISA Deteksi Antigen merupakan salah satu cara mendiagnosa anjing yang
terinfeksi cacing jantung dengan menggunakan antibodi untuk mendeteksi
keberadaan antigen dari cacing jantung dewasa. Keberadaan antigen D. immitis
akan diindikasikan dengan perubahan warna. ELISA Deteksi Antigen memiliki
sensitifitas dan spesifikasi untuk menunjukkan keberadaan cacing dewasa dari
cacing jantung. Serum atau plasma digunakan sebagai reagen. Kontrol positif dan
negatif sebagai kontrol terhadap sampel serum untuk menguatkan hasil uji.
Keberadaan antigen akan ditunjukan dengan warna biru (Rawlings 1986). ELISA
dan

Imunokromatografik

merupakan

uji

yang

dilakukan

untuk

mendeteksi

keberadaan antigen yaitu cacing jantung. Uji ini sangat berguna secara klinik karena
memiliki kemampuan sensitifitas dan spesifikasi yang tinggi terhadap antigen yang
diuji (Nelson et al. 2005).

Gambaran umum tentang anjing
Anjing adalah adalah mamalia karnivora yang telah mengalami domestikasi
dari serigala sejak 15.000 tahun yang lalu. Berabad abad yang lalu serigala melihat
bahwa tinggal di dekat manusia memberikan keuntungan tersendiri. Sisa sisa
makanan dari manusia cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sehingga
penjelajahan hutan perlahan-lahan ditinggalkan. Anjing juga kemudian mengalami
evolusi perilaku. Mereka menjadi lebih tenang dan cendrung bisa bersosialisasi
dengan hewan lain termasuk manusia. Menurut Linnaeus (1758) dalam wikipedia
anjing tergolong ke dalam Filum Chordata, Kelas Mamalia, Ordo Canidae, Genus
Canis dan Spesies Canis lupus.

11

Menurut American Kennel Club, organisasi anjing ras pilihan di Amerika
Serikat, ras anjing digolongkan dalam 5 kelas berdasarkan ukuran, penampilan dan
tingkah laku yaitu : Sporting Class, Hound Class, Working Class, Terrier Class, dan
Toy Class. Anjing-anjing yang tergolong ke dalam kelas ini Sporting Class ini untuk
tujuan olah raga seperti berburu atau kegiatan lapangan lainnya.

Salah satu

contohnya adalah anjing Golden Retriver. Hound Class adalah anjing-anjing yang
termasuk dalam kategori anjing-anjing pemburu unggulan. Berbeda dengan Sporting
Class adalah golongan Hound memiliki insting untuk berburu dan lebih untuk olah
raga atau permainan. Insting yang dimiliki tidak menjadikan anjing-anjing tersebut
tergolong anjing-anjing yang ganas karena hewan

hewan yang diburu umumnya

tergolong yang dapat merugikan manusia sehingga biasanya. Working tergolong
dalam kelas anjing-anjing yang biasanya dipelihara untuk membantu pekerjaan
manusia karena kekuatan dan stamina yang dimiliki seperti menarik kereta salju,
melacak narkoba, dan lain-lain. Salah satu contoh anjing dari kelas ini adalah
Rottweiler. Terrier Class memiliki tubuh yang kecil, sifat yang energik dan yang
mampu membuat ceria suasana. Salah satunya contonya adalah Irish Terrier. Toy
Class memiliki tubuh yang relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan anjing-anjing
ras lainnya. Anjing

anjing yang tergolong ke dalam kelas ini salah satunya adalah

Chihuahua (Tatsumaki 2002).

Manajemen Kesehatan Anjing
Manajemen kesehatan anjing merupakan salah satu bagian dari manajemen
pemeliharan yang penting untuk diperhatikan oleh pemilik anjing. Manajemen
pemeliharaan harus dapat memperhatikan aspek kesejahteraan hewan (Animal
Welfare). Lima aspek kesejahteraan hewan yang terdiri dari (1) bebas dari rasa
lapar dan haus; (2) bebas dari rasa ketidaknyamanan; (3) bebas dari rasa sakit,
terluka dan penyakit; (4) bebas dari rasa takut dan stress; (5) bebas dalam
mengekspresikan tingkah laku alami (Gregory 2003).
Aspek kesehatan terdiri dari dua macam yakni kesehatan internal dan
kesehatan eksternal. Kesehatan internal terkait kondisi yang terdapat dalam tubuh
anjing, sedangkan kesehatan

eksternal terkait lingkungan sekitar atau sanitasi.

Manajemen kesehatan yang dilakukan oleh pemilik anjing adalah memeriksakan

12

anjing secara rutin ke dokter hewan, pemberian vaksinasi, pengendalian baik
endoparasit, maupun ektoparasit, pemberian vitamin serta pemberian makanan/diet
dengan gizi yang cukup. Pemeriksaan kesehatan anjing ke dokter hewan dapat
dilakukan sekali dalam sebulan. Pemeriksaan kesehatan anjing secara periodik
sangat membantu untuk mengetahui kondisi kesehatan dari waktu ke waktu, serta
untuk mencegah terjadinya penyakit yang berbahaya karena terlambat terdeteksi
lebih awal. Penurunan agresifitas dan nafsu makan dapat mengindikasikan bahwa
telah terjadi gangguan pada kondisi tubuh (Tatsumaki 2002).
Kebiasaan anjing yang memasukkan apa saja ke dalam mulut membuat
mudah masuk ke dalam tubuh Selain itu sanitasi yang buruk juga dapat
menyebabkan infeksi kecacingan. Bentuk cacing yang masuk ke dalam tubuh
biasanya masih dalam bentuk telur cacing atau larva. Anak anjing biasanya lebih
rentan terinfeksi kecacingan bila dibandingkan dengan anjing dewasa. Hal ini terkait
dengan sistem kekebalan tubuh (Tatsumaki 2002). Pemberian obat cacing kepada
anak anjing biasanya dilakukan sejak anjing berusia satu bulan sedangkan anjing
yang dewasa sejak berusia 3 bulan (Samosir 2008).
Pengendalian parasit eksternal yakni jamur, tungau dan kutu dapat dilakukan
dengan perawatan anjing seperti grooming. Grooming dapat dilakukan sendiri di
rumah atau ke salon hewan yang terdekat. Pelayanan grooming di salon hewan
biasanya menawarkan pelayanan memandikan anjing dengan berbagai jenis mandi
sesuai dengan kebutuhan, manicure, potong rambut, massage atau pijat refleksi
(Tatsumaki 2002).
Manajemen pakan terkait dengan diet sehari hari sehingga merupakan hal
yang tidak boleh dilupakan dan dianggap sebelah mata oleh pemilik anjing.
Pengaturan diet harus memperhatikan usia dan berat badan anjing sehingga tidak
terjadi obesitas. Pemilik anjing dapat memberikan makanan dan minum yang cukup
(ed libitum) kepada anjing. Makanan anjing atau dog food memiliki komposisi nutrisi
yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan anjing. Kebutuhan gizi serta nutrisi
anjing muda (puppies) berbeda dengan anjing yang dewasa atau anjing yang
sedang berada dalam masa kebuntingan (Tatsumaki 2002).
Kesehatan lingkungan terkait dengan kebersihan kandang yakni tempat
tinggal anjing, tempat makan serta tempat minum anjing. Lingkungan tersebut dapat

13

menjadi mediator penularan penyakit. Lingkungan yang basah, kotor dan lembab
merupakan lingkungan yang cocok untuk tempat berkembangnya berbagai macam
penyakit. Pengaruh infeksi cacing terhadap anjing ras dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Penyebab lain yang menjadi pertimbangan adalah manajemen pemeliharaan.
Kondisi kandang yang terbuat dari semen ataupun yang beralaska tanah harus
menjadi pertimbangan kenel-kenel anjing yang lebih sehat. Tinggi rendahnya tingkat
prevalensi infeksi cacing dipengaruhi oleh jenis lantai kandang, program
pembersihan kandang, manajemen peternakan dan pengobatan cacing (Wiemeyer
1996 di acu dalam Samosir 2008).

14

METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan mulai dari bulan Juli sampai dengan November 2007.
Pengambilan sampel darah dilakukan di Jakarta, Banten, Jawa Barat Jawa Tengah
dan Bali. Sampel darah yang berasal dari wilayah Jakarta diperoleh dari

klinik

Dokter Hewan bersama Sunter, klinik Dokter Hewan bersama Green Garden, dan
klinik Dokter hewan di BSD Tangerang dan Rumah Sakit Hewan Jakarta. Pada
wilayah Jawa Barat sampel darah diperoleh dari Sukabumi dan Kabupaten Bogor.
Pada wilayah Jawa Tengah diperoleh dari klinik dokter hewan di Semarang,
sedangkan pada wilayah Bali diperoleh dari Denpasar, Karangasem, Gianyar, dan
Badung.
Pemeriksan sampel dilakukan di Laboratorium Helmintologi, Bagian
Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan
Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian

Bogor.

Rancangan Studi
Desain penelitian yang dilakukan adalah berupa kegiatan crossectional study
dan melalui pengambilan sampel secara purposif. Sampel diambil dari anjing yang
berusia lebih dari 7 bulan. Pengambilan sampel dari satu pemilik hewan paling
banyak berjumlah 3 ekor. Jumlah total sampel yang diambil sebanyak 235 buah.
Besaran sampel ditentukan dengan dugaan tingkat prevalensi Dirofilariasis di
wilayah pulau Jawa dan Bali sebesar 15 %. Martin et al. (1987) menjelaskan bahwa
rumus yang digunakan untuk menentukan jumlah sampel tersebut adalah
n = 4p(1-p)
L2
Keterangan : n = jumlah sampel
P = prevalensi dugaan
L = tingkat kesalahan (0,05)

15

Pengambilan sampel darah
Darah diambil dari vena saphena (kaki belakang) atau vena antibrachii
anterior (kaki depan) sebanyak 1-2 ml. Setelah darah diambil, tuas syringe ditarik
sampai maksimum lalu diberi label identitas sampel (label warna putih). Syringe
dibiarkan di suhu ruangan selama 2 jam. Darah pada syringe yang telah membeku
kemudian disimpan dalam kulkas selama satu malam agar supaya serumnya keluar.
Serum yang telah terbentuk dipisahkan dan disimpan dalam tabung mikro. Tabung
mikro disimpan dalam freezer sebelum dikirim ke Bogor untuk diperiksa. Sampel
disimpan pada freezer pada suhu -20 0C sampai diperiksa.

Metode pemeriksaan sampel
Pemeriksaan sampel dilakukan dengan uji ELISA deteksi antigen dengan
menggunakan kit diagnostika cacing jantung (DiroCHEK®). Langkah

langkah

pengujian dilakukan sesuai dengan prosedur yang terdapat di dalam produk ELISA
kit diagnostika cacing jantung. Sumur yang dilapisi oleh antigen D. immitis disiapkan
di dalam gagang sumur. Kemudian sumur yang pertama dan kedua dimasukkan
masing-masing setetes cairan dari botol kontrol positif dan kontrol negatif.
Selanjutnya sumur-sumur berikutnya diisi sampel serum masing-masing sebanyak
0,05 ml dengan menggunakan pipet mikro.
Setiap sumur dari plat ELISA diteteskan Reagent 1- Conjugate secara
berurutan dengan rapi kemudian digoyang-goyangkan selama 15 detik, dan
dibiarkan selama 10 menit. Tahap selanjutnya, cairan yang terdapat di dalam sumur
dibuang dan dikeringkan dengan cara diketuk-ketuk di atas tissu yang telah
disediakan. Sumur-sumur dibilas dengan aquades dan selanjutnya cairan tersebut
dibuang. Hal ini dilakukan sebanyak 5 kali. Lalu sumur-sumur dikeringkan dengan
cara diletakan di atas tissu dan diketuk-ketuk agar tidak ada cairan yang tersisa.
Setiap sumur ditambahkan 2 tetes Reagent 2-Chromogenic Substrate Buffer
dan dicampurkan dengan cara digoyang-goyangkan perlahan selama 15 detik, lalu
didiamkan selama 5 menit. Sampel kemudian dibaca hasilnya berupa warna biru
menunjukan hasil positif adanya antigen D. immitis sedangkan warna bening
menunjukan hasil negatif pada (gambar 5). Seluruh sampel dibaca dengan

16

menggunakan ELISA plate reader yang memiliki

panjang gelombang 490 nm.

Intensitas warna akan bervariasi sesuai dengan jumlah antigen D. immitis yang ada.

(+)
(-)

Gambar 5 Hasil positif adanya antigen D. immitis berupa warna biru
dan hasil negatif D. immitis terlihat bening.

Kuesioner
Informasi mengenai aspek manajemen kesehatan yang dapat menjadi faktor
risiko dirofilariasis adalah (1) frekuensi kunjungan ke dokter hewan 2) pemberian
obat cacing yang kepada anjing. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara
dengan pemilik anjing. Kuesioner untuk wawancara terdapat pada bagian lampiran
1.

Analisis statistik
Data yang diperoleh kemudian dalam bentuk tabel dan grafik, serta dilakukan
pendugaan tingkat prevalensi. Prevalensi dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan :
P = Jumlah anjing yang positir terinfeksi D. immitis
Populasi anjing beresiko terinfeksi D. Immitis

17

Sedangkan untuk melihat derajat asosiasi antara kejadian dirofilariasis
terhadap frekuensi kunjungan ke dokter hewan, pemberian obat cacing yang
diberikan digunakan statistik uji Chi kuadrat dengan persamaan
X2

(Oi-eij)2
ei

Keterangan :

ei : nilai harapan ke-i
Oi : nilai observasi ke-i

Untuk mengetahui hubungan dan besarnya pengaruh dari beberapa peubah
penjelas yaitu frekuensi kunjungan ke dokter hewan dan frekuensi pemberian obat
cacing terhadap peubah respon yang berskala biner yaitu hasil uji ELISA maka
digunakan analisis regresi logistik (Sudjana 1996; Walpole 1986).

18

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Sampel darah

yang diperiksa

berjumlah 235 buah yang terdiri dari 93

sampel yang berasal dari Jakarta dan Banten, 63 sampel yang berasal dari Jawa
Barat, 22 sampel dari Jawa Tengah, dan 57 sampel berasal dari Bali. Pemeriksaan
kejadian dirofilariasis pada Pulau Jawa dan Bali menunjukan bahwa jumlah anjing
yang positif terinfeksi dirofilariasis sebanyak 18 ekor dengan prevalensi sebesar 7,7
% (gambar 6).

Positif
7.7%

Negatif
92.3%

Gambar 6 Jumlah anjing yang positif dan negatif terinfeksi dirofilariasis
Berdasarkan hasil kuisoner frekuensi kunjungan ke dokter hewan, jumlah
anjing yang berkunjung secara rutin ke dokter hewan sebanyak 69

ekor anjing

(29.3%), 82 ekor anjing (34.8%) hanya berkunjung kalau sakit, sedangkan sisanya
84 ekor anjing (35.7%) tidak pernah diperiksakan oleh pemiliknya ke dokter hewan.
Anjing yang diberikan obat cacing oleh pemiliknya sebanyak 99 ekor anjing (42.1%),
sedangkan anjing yang tidak pernah diberikan obat cacing oleh pemilik sebanyak
136 ekor anjing (57.8%). Obat cacing diberikan secara rutin pada 80 ekor anjing
(34.%), sedangkan 19 ekor anjing (8,0%) lainnya diberi obat cacing apabila
menunjukkan gejala kecacingan. Sebanyak 136 ekor anjing (57%) tidak pernah
diberikan obat cacing.

19

Sebagian besar anjing diobati dengan Pyrantel Pamoat (85 ekor/36%), atau
Pyrantel yang dikombinasi dengan Praziquantel dan Febantel (6 ekor/3%) anjing.
Hanya (7 ekor/3%) anjing yang diobati dengan Mebendazol, sedangkan Ivermectin
(3 ekor/1%) anjing dan sisanya (136 ekor/57%) tidak diobati dengan obat cacing
(gambar 7).

Ivermectin 1%

mebendazole
3%

tidak diobati
57%

pyrantel 36%
Pyrantel +
Praziquantel+fe
bantel 3%

pyrantel
mebendazole
Ivermectin
tidak diobati
Pyrantel + Praziquantel+febantel
Gambar 7 Pemberian obat cacing oleh pemilik kepada anjing

Hasil analisis Chi kuadrat menunjukkan bahwa frekuensi kunjungan ke dokter
hewan dan pemberian obat cacing memiliki pengaruh yang nyata terhadap infeksi D.
immitis pada anjing, sedangkan frekuensi pemberian obat cacing tidak memiliki
pengaruh yang nyata terhadap infeksi D. immitis pada anjing (P