Peran jerami dan pupuk hijau Crotalaria juncea terhadap efisiensi dan kecukupan hara lima varietas padi sawah

PERAN JERAMI DAN PUPUK HIJAU Crotalaria juncea
TERHADAP EFISIENSI DAN KECUKUPAN HARA
LIMA VARIETAS PADI SAWAH

SUGIYANTA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

PERYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Peran Jerami dan Pupuk Hijau
Crotalaria juncea terhadap Efisiensi dan Kecukupan Hara Lima Varietas Padi Sawah
adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Oktober 2007


Sugiyanta
NIM A156010021

ABSTRACT
SUGIYANTA. The Role of Straw and Green Manure of crotalaria juncea
Incorporation to Nutrient Efficiency and Sufficiency of Five Low Land Rice
Varieties. Under direction of FRED RUMAWAS, M.A. CHOZIN, WAHJU QAMARA
MUGNISJAH, and MUNIF GHULAMAHDI.
The low of soil organic matter in low land rice field was key problem that caused
soil fertility decreased, nutrients imbalance, fertilizer efficiency declined, and high cost
agriculture that ended with yield leveling off and rice production not sustain. That
conditions need to improving the agronomic practices as returned of crop residual or
organic matter applied. Also modern varieties there were extensive used by farmer
known as superior on high nutrients available and did not at suboptimum condition.
There needed varieties with characters superior at sub optimum nutrients condition as at
organic and low external input.
The aimed of this experiment were to studied of nutrients N, P, and K
availability at organic and low external inputs and the effects to grow and yield of several
rice varieties. This research also objectived to studied agronomy and fisiology characters

three type of rice varieties and they respons to organic and low external inputs practices.
The experiment was conducted on three planting from January 2004 until Mart
2005. The location at Kebun Percobaan IPB Babakan Sawah Baru, Bogor with latosol.
Straw and crotalaria biomass decomposition experiment was done as supporting
experiment. Decomposition experiment conducted at three month. The main experiment
was factorial experiment with fertilizer and varieties as each factor. The fertilizer
treatment consist of inorganic fertilizer only, straw incorporated with ¼ rate inorganic
fertilizer applied, straw incorporated with ½ rate of inorganic fertilizer applied, straw
incorporated only, and green manure Crotalaria juncea biomass. Varieties as the
seconded factor consist of IR-64 and Way Apoburu (modern varieties), Sarinah and
Midun (local varieties), aand Fatmawati (as new plant type variety). Randomized split
block design was used. The variables were C-organik, N-total, NH4+, NO3-, P, K, dan S
soil contain; N, P, and K uptake; fisiolgis efficiency nutrient use of N, P, and K,
availaibilities of N, P, dan K also growth, yield component and yield of rice .
The result of decomposition experiment showed that dry weight of Crotalaria
juncea have decreased 63.5% dan 84% N, 87 % P, and 83 % K have released at the
thirdrd month. At the same time, the straw dry weigt have reduced 47.6 % dan also have
released 39 % N, 71 % P dan 44 % K.
Until end three planting season, straw incorporated with inorganic fertilizer or not
and also green manure not caused C-organic incrased. N-total, NH4+, NO3-, P, K, dan S

over three planting season also not significant deferent among the treatment. Nutrients N
uptake more greater at straw and green manure incorporate than inorganic fertilizer only.
Availability of nutrient N, P, and K at organic treatments less at the first season and not
significant at the third season. Fisiology nutrient used at organic treatment less than
inorganic treatment except at straw incorporate with ½ dose of inorganic fertilizer.
Keywords: straw, green manure, nutrient efficiency and sufficiency, varieties, low land
rice.

RINGKASAN
SUGIYANTA. Peran Jerami dan Pupuk Hijau Crotalaria juncea terhadap
Efisiensi dan Kecukupan Hara Lima Varietas Padi Sawah. Dibimbing oleh: FRED
RUMAWAS, M.A. CHOZIN, WAHJU QAMARA MUGNISJAH, and MUNIF
GHULAMAHDI.
Beras merupakan bahan pangan pokok hampir seluruh penduduk Indonesia dan
sampai saat ini belum dapat dicukupi oleh produksi dalam negeri. Dalam lima tahun
terakhir kesenjangan antara produksi dan konsumsi semakin besar yang disebabkan oleh
melandainya peningkatan produktivitas padi sawah dan berkurangnya lahan. Kedataran
peningkatan produktivitas diantaranya disebabkan oleh menurunnya kesuburan tanah dan
efisiensi pemupukan, ketidakseimbangan hara tanah, serta pertanian biaya tinggi.
Kondisi tersebut disebabkan oleh penggunaan pupuk inorganik dosis tinggi tanpa aplikasi

bahan organik pada lahan sawah yang dipicu oleh sifat varietas modern yang respons
terhadap pemupukan.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari efisiensi dan kecukupan unsur hara
N, P, dan K pada aplikasi jerami dan pupuk hijau Crotalaria juncea serta pengaruhnya
terhadap pertumbuhan dan hasil bebrapa tipe varietas padi sawah. Penelitian ini juga
bertujuan untuk mempelajari karakter agronomis dan fisiologis lima varietas padi sawah
serta responsnya terhadap aplikasi jerami dan pupuk hijau tersebut.
Penelitian dilaksanakan dalam tiga musim tanam dari bulan Januari 2004
sampai dengan bulan Maret 2005. Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan IPB
Babakan Sawah Baru, Bogor. Percobaan pendukung adalah dekomposisi jerami dan
Crotalaria juncea. Percobaan dilakukan selama tiga bulan dengan media inkubasi lahan
sawah dipupuk inorganik, lahan sawah dipupuk organik, dan lahan sawah tanpa
pemupukan. Pengamatan dilakukan tiap bulan terhadap tingkat pelapukan (susut bobot
kering) dan pelepasan unsur hara. Percobaan utama merupakan percobaan faktorial
dengan dua faktor yaitu pupuk dan varietas. Faktor pupuk terdiri atas aplikasi pupuk
inorganik (urea, SP-36, dan KCl) dosis rekomendasi, jerami + ¼ dosis pupuk inorganik,
jerami + ½ dosis pupuk inorganik, jerami saja, dan pupuk hijau Crotalariajuncea.
Adapun faktor varietas meliputi: varietas IR-64 dan Way Apoburu (varietas modern),
varietas Sarinah dan Midun (varietas lokal), dan varietas Fatmawati (varietas tipe baru).
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan blok terbagi. Pengamatan

dilakukan terhadap C-organik, N-total, NH4+, NO3-, P, K, dan S tanah, serapan hara N, P,
dan K, efisiensi fisiologis penggunaan hara N, P, dan K, kecukupan hara N, P, dan K,
tinggi tanaman, jumlah anakan, bagan warna daun, bobot kering tajuk dan akar, indeks
luas daun, jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah/malai, gabah hampa,
bobot 1000 butir gabah, indeks panen, hasil gabah/rumpun, dan hasil gabah ubinan.
Pada bulan ketiga, Crotalaria juncea telah melapuk 63.5% dan telah melepas
84% N, 87 % P, dan 83 % K. Jerami pada bulan ketiga baru melapuk 47.6 % dan
melenas 39 % N, 71 % P dan 44 % K. Jerami lebih cepat melapuk pada lahan yang
dipupuk organik daripada lahan dipupuk inorganik atau tanpa pemupukan, tetapi tidak
terdapat perbedaan untuk Crotalaria juncea.
Sampai dengan MT-3 (musim tanam ketiga), aplikasi bahan organik jerami,
jerami + pupuk inorganik, dan krotalaria belum menyebabkan kadar C-organik tanah
lebih tinggi daripada perlakuan pupuk inorganik tanpa aplikasi pupuk organik.

Kandungan N-total, NH4+, NO3-, P, K, dan S tanah setiap akhir musim tanam hingga MT3 tidak berbeda antara perlakuan pupuk inorganik dosis rekomendasi, jerami + ¼ pupuk
inorganik, jerami + ½ dosis pupuk inorganik, jerami dan krotalaria saja.
Serapan hara N pada perlakuan pupuk organik baik jerami maupun krotalaria
sampai dengan MT-2 lebih rendah daripada pupuk inorganik dan jerami + ½ dosis pupuk
inorganik, tetapi pada MT-3 tidak berbeda antarperlakuan pemupukan. Serapan unsur N
terus meningkat dari musim kemusim. Kecukupan unsur hara N perlakuan pupuk organik

tergolong terbatas hingga MT-2 dan optimum pada MT-3, sedangkan pada pupuk
inorganik tergolong terbatas pada MT-1 dan optimum mulai MT-2. Serapan unsur P
perlakuan krotalaria dan jerami + pupuk inorganik lebih besar dibandingkan pupuk
inorganik atau jerami saja. Serapan unsur P relatif tetap dari musim ke musim.
Kecukupan unsur P seluruh perlakuan tergolong optimum dari MT-1. Perlakuan bahan
organik jerami baik ditambah pupuk inorganik ataupun tidak serta pupuk hijau krotalaria
menghasilkan serapan unsur K lebih tinggi daripada pupuk inorganik. Kondisi tersebut
terjadi dari MT-1 hingga MT-3 dan tingkat serapan terus meningkat dari musim ke
musim. Kecukupan unsur hara K pada pupuk organik dan pupuk organik + inorganik
tergolong berlebih pada MT-1 dan sangat berlebih pada MT-2 dan MT-3, sedangkan pada
pupuk inorganik tergolong optimum pada MT-1 dan sangat berlebih pada MT-2 dan MT3. Efisiensi fisiologis penggunaan hara N, P, dan K pada pupuk organik (jerami dan
krotalaria) lebih rendah daripada pupuk inorganik pada MT-1 dan MT-2, sedangkan pada
MT-3 tidak berbeda. Perlakauan jerami + ½ dosis pupuk inorganik menghasilkan
efisiensi fisiologis penggunaan unsur hara N, P, dan K tidak berbeda dengan pupuk
inorganik mulai dari MT-1 hingga MT-3. Perlakuan jerami atau krotalaria saja tanpa
pupuk inorganik secara umum menghasilkan pertumbuhan, komponen hasil dan hasil
lebih rendah daripa perlakuan pupuk inorganik dan jerami + ½ dosis pupuk inorganik
terutama pada MT-1 dan MT-2. Perlakuan jerami + ½ dosis pupuk inorganik
menghasilkan pertumbuhan, komponen hasil dan hasil yang tidak berbeda dengan pupuk
inorganik.

Pada umumnya tidak terdapat respon varietas terhadap perlakuan pemupukan.
Oleh karena itu tidak diperoleh varietas yang spesifik untuk masing-masing perlakuan
pemupukan. Serapan hara N, P, dan K varietas modern IR-64 dan Way Apoburu lebih
rendah jika dibandingkan dengan varietas padi tipe baru Fatmawati, tetapi tingkat
efisiensi fisiologis penggunaan unsur hara sebaliknya. Sifat serapan hara dan efisiensi
fisiologis penggunaan hara varietas lokal Sarinah seperti varietas tipe baru Fatmawati,
sedang varietas lokal Midun seperti varietas modern. Varietas modern memiliki tinggi
tanaman yang lebih pendek; jumlah anakan dan anakan produktif yang lebih banyak;
panjang malai, gabah/malai, kepadatan malai, bobot 1000 butir, dan persen gabah hampa
yang lebih rendah daripada varietas tipe baru Fatmawati. Varietas lokal Midun dan
Sarinah termasuk kelompok yang memiliki tinggi tanaman lebih tinggi (seperti padi tipe
baru), tetapi anakan dan anakan produktifnya lebih banyak (seperti varietas padi modern).
Hasil gabah kering/rumpun varietas modern Way Apoburu dan IR-64 lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kelompok varietas tipe baru Fatmawati serta lokal Sarinah dan
Midun, tetapi hasil ubinan tidak berbeda antarvarietas yang diteliti.

© Hak cipta milik IPB, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam

bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya

PERAN JERAMI DAN PUPUK HIJAU Crotalaria juncea
TERHADAP EFISIENSI DAN KECUKUPAN HARA
LIMA VARIETAS PADI SAWAH

SUGIYANTA

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

© Hak cipta milik IPB, tahun 2007
Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya

Judul Disertasi
Nama
NIM

: Peran Jerami dan Pupuk Hijau Crotalaria juncea terhadap Efisiensi
dan Kecukupan Hara Lima Varietas Padi Sawah
: Sugiyanta
: A156010021

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Fred Rumawas, M.Sc.
Ketua

Prof. Dr. Ir. M.A. Chozin M. Agr.

Anggota

Prof. Dr. Ir. Wahju Qamara Mugnisjah M.Agr.
Anggota

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi
Agronomi

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S.

Tanggal Ujian: 25 September 2007

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.


Tanggal Lulus:

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilajirkan di Klaten pada tanggal 15 Januari 1963 sebagai anak ketiga dari
pasangan Winih Wirasumarta dan Dikin Wirasumarta. Pendidikan sarjana ditempuh di
Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian IPB, lulus pada tahun 1987. Pada tahun
1991, penulis diterima di Program Studi Agronomi pada Program Pascasarjana IPB dan
menamatkannya pada tahun 1994. Pada tahun 2001 Penulis berkesempatan melanjutkan
ke program doktor pada program studi dan perguruan tinggi yang sama dan lulus pada
tahun 2007. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan
Indonesia.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Departemen Agronomi dan
Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB sejak tahun 1988 hingga saat ini. Secara khusus
penulis berada di Bagian Produksi Tanaman, dan mengasuh mata kuliah Ilmu Tanaman
Pangan, dan Pasca Panen Tanaman Pertanian.

Dua buah artikel yang keduanya

merupakan bagian dari disertasi yang berjudul Studi Pengurangan Dosis Pupuk
Anorganik Pada Budidaya Padi sawah dengan Aplikasi Jerami dan Serapan dan Efisiensi
Fisiologis Penggunaan Hara N, P, dan K Lima Varietas Padi Sawah (Oryza sativa L.)
sedang menunggu untuk diseminarkan di Balai Besar Padi dan menunggu untuk
diterbitkan pada Buletin Agronomi, Departemen Agronomi Fakultas Pertanian, IPB pada
bulan Desember tahun 2007..

MAAF HALAMAN INI PADA LEMBAR ASLINYA
MEMANG TIDAK ADA

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk
Indonesia (96,87% penduduk) dan merupakan penyumbang lebih dari 65% kebutuhan
kalori (Pranolo 2001). Dalam lima tahun terakhir kesenjangan antara produksi dan
konsumsi beras di Indonesia semakin besar. Peningkatan produksi padi dalam lima
tahun terakhir lebih kecil jika dibandingkan dengan peningkatan konsumsinya. Pada
kurun lima tahun terakhir (2002-2006) produksi padi hanya meningkat dari 51.5 juta
ton gabah kering giling (GKG) menjadi 54.4 juta ton (GKG), sedangkan konsumsi
padi pada tahun yang sama meningkat dari 52.1 juta ton GKG menjadi 55.4 juta ton
(Badan Pusat Statistik 2007; Pramono 2007). Rendahnya peningkatan produksi padi
disebabkan oleh berkurangnya luas lahan sawah dan kecilnya peningkatan
produktivitas.

Luas panen padi sawah terus mengalami penurunan, rata-rata

mencapai 0.5%/tahun. Selama lima tahun terakhir produktivitas padi sawah hanya
mengalami peningkatan antara 0.84% - 1.85% (0.38 ku gabah/ha – 0.81 ku gabah/ha).
Produktivitas padi pada tahun 2002 sebesar 4.469 kg/ha dan pada tahun 2006 hanya
meningkat menjadi sebesar 4.618 kg/ha ( 29 kg gabah/tahun atau 0.7 %/tahun).
Kondisi kesenjangan antara produksi dan konsumsi tersebut menyebabkan kerawanan
pangan nasional. Peningkatan produksi padi sebesar 5 %/tahun merupakan target
pemerintah untuk mengatasi kerawanan pangan tersebut.
Penggunaan varietas modern telah mendorong petani untuk mengaplikasikan
pupuk inorganik dosis tinggi dan tidak mengaplikasikan bahan organik. Hal ini
menyebabkan kadar bahan organik tanah menjadi sangat rendah dan menjadi
pembatas untuk mencapai hasil yang tinggi. Menurut Reichardt e al. (2003), fungsi
bahan organik tanah sangat penting karena sebagai kunci mekanistik untuk suplai
unsur hara. Dengan biomas mikrobial yang segmen siklusnya sangat cepat, fase
organik bertindak sebagai biokatalis untuk suplai unsur hara dan pool hara itu sendiri.
Menurut Hesse (1984), dekomposisi bahan organik secara lambat akan melepas CO2
yang secara langsung akan berguna untuk fotosintesis tanaman padi, melepaskan

2

bentuk ikatan P tertentu yang membentuk kompleks senyawa dengan unsur Fe dan
Mn, melepaskan CH4 yang terlibat dalam pengendalian patogen, dan menghasilkan
senyawa asam-asam organik dan zat pengatur tumbuh yang dapat mendorong
pertumbuhan tanaman. Selain itu, penambahan bahan organik tanah akan berfungsi
sebagai penyangga pH tanah, meningkatkan ketersediaan N dan C tanah, serta
menekan nematoda dan senyawa beracun. Eagle et al. (2000) menyatakan bahwa
rendahnya kandungan bahan organik tanah telah menurunkan secara drastis efisiensi
pemupukan. Oleh karena itu, dengan pengaruhnya terhadap bahan organik tanah serta
siklus unsur hara, pengembalian bahan organik ke tanah semakin penting bagi
pertanian yang berkelanjutan.
Untuk tanaman padi sawah, jerami merupakan bahan organik yang paling
potensial ketersediaannya bagi usaha tani padi sawah. Di Indonesia juga di daerah
lain di Asia Tenggara, jerami umumnya dibakar atau diangkut keluar lahan karena
alasan untuk menghilangkan kesulitan waktu pengolahan tanah, mengendalikan hama
penyakit, menghemat tenaga atau untuk pakan ternak, dan memenuhi keperluan lain
(Ponnamperuma 1984). Menurut Lee et al. (2002), jerami padi merupakan bahan
organik yang mudah dan ekonomis untuk dikembalikan ke lahan sawah.
Dekomposisi jerami berjalan cukup cepat pada lahan sawah yang memiliki drainase
sedang dan dilakukan pengolahan tanah intensif. Menurut Cho dan Kobata (2002),
jerami merupakan bahan organik utama bagi padi sawah yang dapat mengikat N
pupuk selama dekomposisi dan melepas kembali secara perlahan. Menurut Meelu
dan Morris (1987), penambahan jerami padi ke lahan juga dapat memperbaiki
kesuburan tanah dan memiliki pengaruh residu bagi musim tanam selanjutnya.
Beberapa

hasil

penelitian

menggantikan (substitusi) pupuk.

menunjukkan

bahwa

jerami

berpotensi

Pada lahan tanpa pemupukan, aplikasi jerami

dengan dibenamkan di setiap awal musim tanam dapat meningkatkan N yang diserap
tanaman sebesar 19 kg/ha (Eagle et al. 2000). Ponnamperuma (1984) dan Cassman et
al. (1998) menyatakan bahwa karena jerami mengandung sekitar sepertiga dari total
N tanaman, sebagian kebutuhan N tanaman dapat digantikan dengan pengembalian
jerami ke lahan. Walaupun pembenaman jerami akan menyebabkan imobilisasi N

3

untuk sementara, hal ini dapat diatasi dengan penambahan pupuk urea (Williams et
al. 1968). Efek residual jerami juga dapat meningkatkan serapan unsur P dan hasil
tanaman padi sawah (Sinha 1971). Jerami mengandung unsur K sekitar 1.1 % 3.7%. Unsur K pada jerami larut dalam air sehingga pembenaman jerami ke dalam
lahan sawah akan meningkatkan ketersediaan unsur K bagi tanaman padi
(Ponnamperuma 1984). Setelah lima tahun, pembenaman jerami ke tanah sawah
akan membangun kondisi karbon tanah dan ketersediaan unsur hara yang maksimum
(Verma dan Bhagat 1992).
Crotalaria juncea L. (sun hemp) potensial sebagai bahan pupuk hijau. Cook
dan White (1996) menyatakan bahwa penelitian mengenai Crotalaria juncea sebagai
pupuk hijau di Amerika Serikat telah dilakukan sejak tahun 1930. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tumbuhan ini sangat baik untuk memperbaiki tanah,
menghasilkan bahan organik yang tinggi, dapat mengikat N dari udara, dan dapat
berfungsi sebagai nematisida. Wang dan Mcsorly (2003) menyatakan bahwa C.
juncea L. merupakan tanaman yang tumbuhnya cepat, yang potensial untuk
digunakan sebagai pupuk hijau, memperbaiki kandungan bahan organik dan
ketersediaan N tanah, serta dapat menekan gulma dan nematoda. Belakangan legum
ini kurang populer untuk dikembangkan di lahan sawah di Indonesia, tetapi melihat
potensinya beralasan untuk dijadikan alternatif sebagai sumber bahan organik bagi
lahan sawah.
Varietas modern dihasilkan sekitar tahun 1960. Dalam kurun waktu 40 tahun
telah terjadi adaptasi terhadap kondisi suatu lokasi (off type) dari varietas tersebut di
beberapa daerah. Akhir-akhir ini pemulia tanaman juga telah menghasilkan varietas
padi tipe baru untuk memperbaiki hasil padi varietas modern yang dianggap tidak
bisa lagi ditingkatkan.

Varietas modern, lokal, dan tipe baru memiliki karakter

fisiologis dan agronomis yang berbeda-beda (Peng et al. 1994). Tanggap suatu
varietas terhadap kesuburan tanah seperti dinyatakan oleh Rajaram et al. (1996),
menunjukkan bahwa galur berdaya hasil tinggi yang diseleksi pada lingkungan
optimum hasilnya akan lebih rendah daripada galur berdaya hasil rendah hasil seleksi
pada lingkungan suboptimum.

Hal ini menimbulkan dugaan bahwa terdapat

4

perbedaan kemampuan serapan hara antara varietas modern, varietas adaptasi lokal,
dan varietas padi tipe baru terhadap kondisi kesuburan tanah yang berbeda karena
aplikasi bahan organik dan dosis pupuk inorganik yang berbeda.
Dasar pemikiran penelitian ini berkembang dari beberapa permasalahan, yaitu
(1) keseimbangan dan ketersediaan hara tanah yang terganggu karena rendahnya
bahan organik tanah sebagai akibat tingginya aplikasi pupuk inorganik tanpa
pengembalian bahan organik ke tanah; (2) pupuk menjadi semakin langka dan mahal
bagi usaha tani padi sawah; (3) efisiensi pemupukan yang rendah sehingga
pemupukan tidak lagi nyata meningkatkan hasil; (4) varietas yang berkembang adalah
varietas modern yang beradaptasi pada lingkungan ketersediaan hara tinggi; (5)
berkembangnya issue pertanian organik serta berkelanjutan. Penyelesaian beberapa
permasalahan tersebut memerlukan penelitian yang dapat menjadi dasar praktek budi
daya, terutama berhubungan dengan aplikasi bahan organik untuk meningkatkan
ketersediaan, kecukupan, dan efisiensi serapan hara bagi tanaman padi sawah. Di
samping itu, diperlukan juga identifikasi respons varietas padi terhadap tingkat
ketersediaan hara tanah.

Dengan demikian, hasil penelitian ini bukan saja

memberikan informasi peran bahan organik pada pertumbuhan dan hasil padi sawah,
tetapi juga memilih varietas ataupun jenis bahan organik sebagai dasar
pengembangan

pertanian

organik

ataupun

bermasukan

luar

rendah

yang

berkelanjutan. Kerangka pikir penelitian ini dapat digambarkan dalam suatu diagram
alir seperti terlihat pada Gambar 1.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari :
1. ketersediaan dan kecukupan unsur hara N, P, dan K pada perlakuan pupuk
inorganik, pupuk inorganik + jerami, serta aplikasi jerami dan krotalaria bagi
tanaman padi sawah.
2. pengaruh pemupukan inorganik, inorganik + jerami, serta jerami dan pupuk
hijau Crotalaria juncea terhadap pertumbuhan dan hasil varietas padi sawah.

5

3. karakteristik fisiologis dan agronomis serta tanggap tiga tipe varietas padi
sawah terhadap perlakuan pupuk inorganik, pupuk inorganik + jerami, serta
aplikasi jerami dan krotalaria saja sehingga dapat memilih tipe varietas yang
sesuai.

Hipotesis
1. Pupuk inorganik saja akan memberikan ketersediaan hara sesaat yang tinggi
tetapi akumulasi hara dalam tanah dan tingkat efisiensinya rendah.
2. Pupuk organik dapat meningkatkan ketersediaan dan efisiensi unsur hara,
pertumbuhan serta hasil tanaman apabila diaplikasikan dengan pupuk
inorganik.
3. Dalam jangka pendek, aplikasi bahan organik saja (jerami dan krotalaria) akan
menyebabkan rendahnya ketersediaan hara, pertumbuhan tanaman, dan hasil
tanaman padi.
4. Varietas modern dan tipe baru lebih sesuai untuk pemupukan inorganik
ataupun aplikasi pupuk inorganik + jerami, sedangkan varietas lokal sesuai
untuk pemupukan inorganik + jerami serta aplikasi jerami atau krotalaria saja.

6

Varietas Modern Berdaya Hasil Tinggi

Pemupukan Inorganik
Dosis Tinggi

Tidak Ada Aplikasi
Bahan Organik

Usaha Tani Biaya
Tinggi

• Efisiensi
Pemupukan Rendah
• Kesuburan Tanah
Rendah

Kedataran
Peningkatan Hasil
dan
Ketidakberlanjutan

Aplikasi Bahan Organik

Bahan Organik
Indigenous
Manajemen
Jerami

Ketidak Seimbangan
Unsur Hara

Pemilihan Varietas
Beradaptasi

Bahan Organik Indigenous +
Pupuk Inorganik Dosis Rendah
Pupuk
Hijau
Pengikat N

Usaha Tani Padi Sawah Berpupuk Inorganik Rendah atau Organik
dengan Hasil yang Tinggi dan Berkelanjutan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

7

TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan Produksi dan Teknologi Produksi Padi
Perkembangan produksi padi banyak dicermati sejak tahun 1960, saat mulai
berkembangnya

teknologi

revolusi

hijau.

Revolusi

hijau

ditandai

dengan

ditemukannya varietas unggul tanaman gandum dan padi, masing-msing oleh
Norman Borlaug dan Peter Jenning bersama Hank Beachell (Dar dan Winslow 2000).
Penemuan varietas berdaya hasil tinggi (high yielding varieties), tahan serangan
organisme

pengganggu,

dan

sangat

responsif

terhadap

pemupukan

telah

meningkatkan produksi serealia (padi dan gandum) dunia secara dramatis.
Produksi padi Indonesia meningkat sebesar 109% antara tahun 1960 hingga
1980, yaitu meningkat dari 18,4 juta ton menjadi 38,5 juta ton. Peningkatan produksi
yang sangat besar tersebut lebih disebabkan oleh peningkatan produktivitas dan
bukan oleh peningkatan luas tanam. Pada periode tersebut produktivitas rata-rata
meningkat 70,6%, sedangkan luas tanam hanya meningkat 3,5% (Sudjadi et al.
1987). Namun, dua puluh tahun berikutnya (1980 – 2000) produksi padi hanya
meningkat sebesar 35% yaitu dari 38,5 juta ton menjadi 51,9 juta ton (BPS 2002).
Peningkatan yang tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan peningkatan pada dua
puluh tahun sebelumnya disebabkan oleh penerapan teknologi produksi introduksi
yang sudah merata. Produksi padi yang meningkat pesat tersebut telah mampu
membuat Indonesia berswasembada beras pada tahun 1984.
Dalam perkembangannya produksi padi di Indonesia mengalami beberapa kali
kedataran peningkatan hasil (levelling off), yaitu pada tahun 1975 – 1977, 1986, dan
akhir-akhir ini. Beberapa usaha penerapan teknologi produksi padi telah diterapkan
untuk memacu terus pertumbuhan produksi padi. Introduksi teknologi produksi padi
tersebut dimulai dengan adanya demonstrasi massal pada tahun 1964 dengan
penerapan panca usaha (bibit unggul, pengolahan tanah, pemupukan, pengairan, dan
pengendalian hama dan penyakit) dan lahirnya program Bimas (bimbingan massal)
pada tahun 1965 yang meliputi sawah seluas 1.350.000 ha (Fakultas Pertanian Institut

8

Pertanian Bogor 1992). Beranjak dari program tersebut produksi padi Indonesia
meningkat hingga 109% selama dua puluh tahun.
Pada tahun 1979 dicanangkan program intensifikasi khusus (Insus) untuk
mengatasi produksi padi yang mengalami kedataran peningkatan hasil pada tahun
1975-1977.

Pada prinsipnya program Insus adalah penerapan panca usaha oleh

petani sehamparan secara kelompok untuk memanfaatkan potensi lahan secara
optimal. Pada tahun 1987 diluncurkan program Suprainsus untuk menanggulangi
gejala kedataran peningkatan hasil yang terjadi pada tahun 1986. Dalam suprainsus
pada prinsipnya diintroduksikan rekayasa teknologi dan rekayasa sosial. Rekayasa
teknologi merupakan tambahan dari panca usaha seperti peningkatan populasi
tanaman, penggunaan ZPT/PPC, dan penanganan pascapanen. Rekayasa sosial, di
antaranya, adalah memperluas kerja sama hingga antarkelompok tani (Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor 1992).

Keseluruhan teknologi yang

dintroduksikan tersebut merupakan teknologi yang berbasis pada revolusi hijau.
Setelah tahun 2000 teknologi produksi padi dirancang sebagai teknologi yang
menghemat sarana produksi, ramah lingkungan dan sekaligus meningkatkan produksi
padi. Dalam hal ini Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi mengeluarkan paket
teknologi yang disebut sebagai Pengelolaan Tanaman Terpadu. Teknologi tersebut
terdiri dari penggunaan benih bermutu, bibit muda satu bibit per rumpun, penggunaan
bahan organik, penggunaan bagan warna daun, pemupukan P dan K berdasar status
tanah, tanam dengan jarak tanam legowo, dan pengairan secara berkala (Balai
Penelitian Tanaman Padi 2002). Paket teknologi tersebut mengarah pada usaha tani
rasional dengan menekan penggunaan masukan luar seperlunya.
Pola peningkatan produksi padi yang berawal dari revolusi hijau juga terjadi
di negara-negara lain seperti di Korea Selatan, Taiwan, Jepang, Thailand, dan
Filipina. Pada awalnya (sekitar tahun 1960), umumnya, produksi dan produktivitas
padi rendah dengan penerapan teknologi produksi tradisional.

Selanjutnya

produktivitas meningkat cepat dengan penggunaan varietas modern dan dosis
pemupukan NPK yang tinggi. Di Korea Selatan misalnya, sebelum tahun 1930
produktivitas padi hanya sekitar 1,5 ton/ha dengan penerapan teknologi produksi

9

organik secara tradisional. Pada tahun 1930 mulai diintroduksikan pupuk kimia
(pabrik) dengan dosis rendah (26 kg N, 34 kg P2O5, dan 39 K2O per ha) sehingga
produksi meningkat menjadi 2 ton/ha. Pada tahun 1970 dengan diintroduksikannya
varietas modern (varietas berdaya hasil tinggi) serta rekomendasi pemupukan menjadi
150 kg N/ha, 90 kg P2O5, dan 110 kg K2O per ha, produksi padi meningkat menjadi
4,5 ton/ha. Petani mulai memasukkan mekanisasi pada usaha taninya, penggunaan
input kimia semakin tinggi dan sekitar tahun 1970 tercapai swasembada beras serta
sekitar tahun 1980 Korea Selatan telah surplus beras. Setelah periode ini Korea
Selatan mulai menerapkan pengelolaan tanah dengan memasukkan bahan organik,
menekan penggunaan pupuk inorganik, dan melakukan analisis tanah petani secara
besar-besaran untuk mengelola kesuburan tanah (Yoo dan Jung 1992).

Peran Unsur Hara N, P, dan K pada Tanaman Padi
Unsur hara N, P, dan K merupakan unsur hara makro atau diperlukan dalam
jumlah besar oleh tanaman, termasuk padi. Hasil penelitian dari 2000 petani di
China, India, Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam antara tahun 1994 hingga
tahun 1997 menunjukkan bahwa total hara yang diambil oleh tanaman padi untuk
setiap ton gabah yang dihasilkan adalah 10-44 kg N, 0,9-9,9 kg P, dan 6-42 kg K.
Hal ini menunjukkan bahwa untuk produksi padi hara N dan K diperlukan dalam
jumlah yang hampir sama besarnya (Witt et al. 1999). Lebih lanjut dinyatakan bahwa
pada kondisi pertumbuhan tanaman yang tidak dibatasi oleh suplai air, masalah
gulma, serta infestasi hama dan penyakit, produksi biomas padi sangat ditentukan
oleh suplai unsur hara N. Kebutuhan unsur hara makro lainnya (P dan K) sangat
bergantung pada suplai unsur hara N.
Peran pupuk urea pada produksi padi sawah telah terbukti dalam sejarah
produksi padi di Indonesia. Peningkatan produktivitas padi sawah sebesar 70,6%
pada periode 1967-1980 sejalan dengan peningkatan penggunaan pupuk urea. Pada
saat penggunaan pupuk N masih rendah, setiap peningkatan 1 kg N produktivitas
meningkat sebesar 56,4 kg gabah. Namun, setelah penggunaan dosis pupuk N tinggi,

10

effisiensi pemupukan N menurun, yaitu menjadi 11,7 kg gabah untuk setiap
penambahan 1 kg N (Sudjadi, Prawirasumantri, dan Wetselaar, 1987).
Pupuk N telah diteliti dan nyata meningkatkan tinggi tanaman, jumlah anakan
produktif, dan produksi gabah. Dari hasil penelitian terlihat pula bahwa efisiensi
pemupukan N tidak meningkat setelah aplikasi dosis pupuk N mencapai 60 kg N/ha.
Pada dosis pemupukan N 60 kg/ha diperoleh efisiensi pemupukan sebesar 34 kg
gabah/kg N dengan hasil gabah 6,73 ton/ha, tetapi hasil gabah tidak meningkat lagi
walaupun dosis dinaikkan hingga 180 kg N/ha (Tedjasarwana dan Permadi 1991).
Penelitian di beberapa lokasi di Pulau Jawa menunjukkan hasil yang hampir sama,
yaitu pemupukan N sampai dengan dosis 116 kg N/ha meningkatkan hasil gabah.
Meskipun, peningkatan hasil tersebut tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan
dosis pemupukan 87 kg N/ha (Darajat dan Utami 1993). Menurut Witt et al. (1999),
efisiensi hara N pada padi sawah berkisar 23 – 100 kg gabah/kg N.
Pada umumnya unsur hara N diserap padi dalam bentuk amonium (NH4+).
Hasil penelitian Liang (1987) menunjukkan bahwa amonium pada lahan sawah 2529% diserap oleh tanaman padi, 17-25% tertahan di tanah, dan 50-54% hilang karena
tercuci, menguap, atau terdenitrifikasi. Pada tanah masam diperoleh bahwa recovery
unsur N dari pupuk urea, ZA, dan amonium nitrat masing-masing sebesar 40-59%,
27-40%, dan 24-34%, sedangkan yang hilang dari sistem tanah masing-masing
sebesar 13-40%, 44-54%, dan 51-57%.

Pada tanah yang tidak masam tingkat

recovery masing-masing oleh tanaman sebesar 23-38%, 22-25%, dan 17%,
sedangkan kehilangan N dari sistem tanah sebesar 42-52%, 47-48%, dan 70%.
Sumber unsur hara N untuk tanaman padi tidak seluruhnya berasal dari pupuk.
Menurut Yaacub dan Sulaiman (1992), hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa
dari 34-98 kg N/ha yang diambil tanaman padi, 34-56 kg N/ha berasal dari tanah dan
selebihnya baru dari pupuk. Dalam Riceweb (2003) dinyatakan bahwa input N dari
fiksasi biologis pada lahan sawah irigasi sebesar 25-45 kg N/ha untuk setiap siklus
pertanaman padi sawah. Sumbangan N tersebut sudah cukup untuk mendukung
produksi 2-3 ton padi/ha. Namun, untuk memproduksi padi hingga 6 ton gabah/ha
tanaman padi menyerap hingga 100 kg N/ha. Apabila efisiensi serapan N hanya 50

11

%, diperlukan tambahan pupuk N sekitar 150 kg N/ha. Menurut Ae (1997), di Jepang
suplai N pada lahan sawah beririgasi 34 kg N/ha berasal dari fiksasi N, 29 kg N/ha
dari air irigasi dan 6 kg N/ha berasal dari air hujan.
Unsur hara P pada padi sawah di Indonesia selama ini dipenuhi dengan pupuk
TSP (triple super phosphate) dengan kandungan unsur P sekitar 45% P2O5 dan akhirakhir ini diganti dengan SP-36 dengan kandungan P2O5 sebesar 36%.

Pelaksanaan

program intensifikasi dari tahun ke tahun telah menyebabkan terakumulasinya unsur
P di sebagian besar lahan sawah di Jawa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1,7
juta ha lahan sawah di Indonesia berstatus akumulasi P2O5 sedang (20-40 mg
P2O5/100 g tanah), 1,5 juta ha tergolong tinggi (>40 mg P2O5/100 g tanah) dan hanya
0,54 juta ha yang tingkat akumulasinya rendah (