Pola Penyebaran Air Rembesan Di Dalam Tubuh Model Tanggul Berbahan Tanah Gleisol.

(1)

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bendung adalah suatu bangunan air yang dibangun melintang sungai yang sengaja dibuat untuk meningkatkan atau menambah tinggi muka air, sehingga air dapat disadap dan dialirkan secara gravitasi ke tempat yang membutuhkan (Mawardi dan Memed, 2002). Bendungan memiliki fungsi yang sama dengan bendung, namun bendungan dapat juga digunakan untuk menyimpan atau menampung air. Tanggul merupakan salah satu bentuk dari bendungan urugan homogen. Dikatakan demikian, karena tanggul mempunyai bahan pembuat dan bentuk yang hampir sama dengan bendungan.

Pembuatan tanggul merupakan salah satu usaha dalam konservasi tanah dan air. Menurut DPU (1986) tanggul dipakai untuk melindungi daerah irigasi dari banjir yang disebabkan oleh sungai, pembuang yang besar atau laut. Biasanya tanggul dibuat dari bahan timbunan yang digali di dekat atau sejajar dengan garis tanggul. Apabila galian dibuat sejajar dengan lokasi tanggul, maka penyelidikan untuk pondasi dan daerah galian dapat dilakukan sekaligus.

Tanggul yang dibangun diharapkan tetap kuat dan kokoh terhadap gaya - gaya yang ditimbulkan akibat tergenangnya air di dalam kolam (waduk) sesuai umur ekonomis tanggul. Keluarnya air yang tidak terencana saat pecahnya tanggul tentu saja sangat tidak diharapkan karena menyebabkan kerusakan dan kerugian yang besar. Oleh karena fungsi lindungnya yang besar terhadap daerah irigasi dan penduduk yang tinggal di daerah - daerah tersebut, maka kekuatan dan keamanan tanggul harus direncanakan dengan baik.

Hampir semua tanggul dibuat dengan bahan tanah yang hampir sejenis dan gradasinya (susunan ukuran butiran tanahnya) hampir seragam. Tubuh tanggul, sebagaimana bendungan, secara keseluruhannya berfungsi ganda, yaitu sebagai penyangga aliran air sekaligus menahan rembesan air (Sosrodarsono dan Takeda, 1977). Salah satu masalah yang sering terjadi pada bendungan urugan, termasuk tanggul adalah adanya rembesan pada tubuh bendungan tersebut. Menurut DPU (1986) rembesan terjadi apabila bangunan harus mengatasi beda tinggi muka air dan jika aliran yang disebabkannya meresap masuk ke dalam tanah di sekitar


(2)

bangunan. Aliran ini mempunyai pengaruh yang dapat merusak stabilitas bangunan karena terangkutnya bahan – bahan halus sehingga dapat menyebabkan erosi bawah tanah (piping). Jika erosi bawah tanah sudah terjadi, maka terbentuklah lajur rembesan (jaringan aliran) antara bagian hulu dan hilir bangunan.

Air rembesan yang mengalir pada lapisan tanah akan mengangkut butiran tanah yang lebih halus menuju lapisan tanah yang kasar. Kemungkinan terangkutnya bahan butiran yang lebih halus untuk lolos melewati bahan yang lebih kasar tersebut dapat terjadi. Namun pada waktu yang lama, proses ini mungkin akan menyumbat ruang pori di dalam bahan kasarnya dan juga dapat terjadi piping pada bagian butir halusnya. Erosi butiran mengakibatkan turunnya tahanan aliran air dan naiknya gradien hidrolis. Bila kecepatan aliran membesar akibat dari pengurangan tahanan aliran yang berangsur – angsur turun, akan terjadi erosi butiran yang lebih besar lagi, sehingga membentuk pipa - pipa di dalam tanah yang dapat mengakibatkan keruntuhan pada bendungan.

Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian untuk menganalisis penyebaran aliran air pada model tanggul. Hasil penelitian diharapkan dapat menjelaskan proses penyebaran aliran pada tubuh tanggul serta pengaruhnya terhadap tingkat kestabilan tanggul.

B. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pola penyebaran rembesan (seepage) dan panjang zona basah di dalam tubuh tanggul melalui pengamatan di laboratorium dengan menggunakan model tanggul. Pola penyebaran rembesan dianalisis dengan program Geo-Slope, sedangkan panjang zona basah dianalisis dengan tiga metode dan hasilnya diperbandingkan.


(3)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanah Gleisol

Tanah adalah tubuh alam (natural body) yang terbentuk dan berkembang sebagai akibat bekerjanya gaya – gaya alam (natural force) terhadap bahan – bahan alam (natural material) di permukaan bumi. Tanah terbentuk dari bahan mineral dan organik, air serta udara yang tersusun dalam ruangan yang membentuk tubuh tanah. Akibat berlangsungnya proses pembentukan tanah, maka terjadilah perbedaan morfologi, kimia, fisis dan biologi dari tanah – tanah tersebut. Tanah dapat diartikan sebagai medium berpori yang terdiri dari padatan (solid), cairan (liquid), dan gas udara (air). Fase padatan terdiri dari bahan mineral, bahan organik dan organisme hidup (Hakim et al., 1986).

Menurut Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian (2006), gleisol kelabu gelap merupakan suatu istilah yang digunakan di Kanada untuk menjelaskan suatu kelompok intrazonal dari tanah – tanah hutan yang berdrainase jelek yang mempunyai horison A kelabu gelap. Tanah ini biasanya mengandung bahan organik tinggi dan mempunyai horison mineral yang berbercak kelabu atau berbercak kelabu kecoklatan. Tanah tersebut umumnya memiliki perbedaan tekstur yang rendah.

Tanah gleisol biasanya terdapat di daerah dataran rendah atau cekungan, yang hampir selalu tergenang air, solum tanah sedang, warna kelabu hingga kekuningan, tekstur geluh hingga lempung, struktur berlumpur hingga masif, konsistensi lekat, bersifat asam (pH 4.5 - 6.0), dan mengandung bahan organik. Menurut klasifikasi Pusat Penelitian Tanah Bogor (1982), tanah gleisol selalu jenuh air sehingga berwarna kelabu atau menunjukkan sifat-sifat hidromorfik lain.

B. Sifat Fisik Tanah

Sifat fisik tanah merupakan sifat tanah yang berhubungan dengan bentuk/kondisi asli tanah. Sifat tanah diantaranya tekstur, struktur, porositas, berat isi, berat jenis partikel, potensial air tanah (pF) dan permeabilitas.


(4)

1. Tekstur Tanah

Tekstur tanah merupakan penampakan visual suatu tanah berdasarkan komposisi kualitatif dari ukuran butiran tanah dalam suatu massa tanah tertentu (Bowles,1989). Menurut Soepardi (1983), kelas tekstur tanah dibagi ke dalam tiga kelas dasar, yaitu pasir, lempung, dan liat. Golongan pasir meliputi tanah yang mengandung sekurang – kurangnya 70% dari bobot/beratnya adalah pasir. Golongan liat merupakan tanah yang mengandung mengandung paling sedikit 35% liat. Selama persentase liat lebih dari 40%, sifat tanah tersebut ditentukan oleh kandungan liatnya dan dibedakan atas liat berpasir dan liat berdebu. Kelompok lempung sendiri secara ideal terdiri dari pasir, debu, dan liat yang memperlihatkan sifat – sifat ringan dan berat dalam perbandingan yang sama. Tanah dengan fraksi pasir yang tinggi memiliki daya lolos air dan aerasi yang tinggi, sebaliknya tanah dengan fraksi liat yang tinggi memiliki kemampuan menyerap air yang rendah.

Jenis tekstur tanah dapat ditetapkan dengan sistem klasifikasi Departemen Pertanian Amerika Serikat (United States Department of Agriculture, USDA) dan Unified Soil Classification (USC). Klasifikasi tanah USDA umumnya pakai dalam bidang pertanian dan klasifikasi tanah USC biasanya digunakan untuk sipil. Diagram segitiga tekstur menurut USDA (Hillel, 1998) dapat dilihat pada Gambar 1.


(5)

Menurut klasifikasi tekstur tanah USC, tanah diklasifikasikan berdasarkan nilai-nilai konsistensi tanah yaitu batas cair dan indeks plastisitas tanah. Sistem klasifikasi ini paling banyak dipakai untuk pekerjaan teknis pondasi seperti bendungan, bangunan, dan konstruksi sejenis. Gambar 2 memperlihatkan grafik penentuan klasifikasi tanah berdasarkan sistem USC (Terzaghi dan Peck, 1987).

Gambar 2. Klasifikasi tanah berdasarkan sistem USC 2. Kadar Air Tanah

Kadar air tanah atau kelembaban tanah (soil moisture) adalah perbandingan antara massa air dengan massa padatan dalam tanah. Kadar air dapat ditentukan dari nisbah antara berat air dengan berat tanah kering (basis kering), atau nisbah antara berat air dengan berat tanah basah (basis basah), atau nisbah antara volume air dengan volume tanah utuh (basis volume). Kadar air yang umum digunakan adalah basis kering dan basis volume (Kalsim dan Sapei,2003).

3. Struktur Tanah

Struktur tanah adalah bentuk tertentu dari gabungan sekelompok partikel – partikel primer tanah. Struktur tanah dapat dibedakan menjadi struktur lepas (single grained), masif, dan agregat. Suatu penampang tanah dapat didominasi oleh suatu corak struktur tertentu. Sifat aerasi, permeabilitas dan kapasitas


(6)

menahan air, sifat drainase serta sifat – sifat mekanik tanah sangat dipengaruhi oleh strukturnya (Kalsim dan Sapei, 2003). Tanah dengan struktur yang baik (granular, remah) mempunyai tata udara yang baik, sehingga unsur-unsur hara lebih mudah tersedia dan lebih mudah diolah.

4. Permeabilitas Tanah

Permeabilitas adalah sifat bahan berpori yang memungkinkan terjadinya rembesan aliran baik berupa air atau minyak lewat rongga porinya. Pori – pori tanah saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya, sehingga air dapat mengalir dari titik yang mempunyai tinggi energi lebih tinggi ke titik yang mempunyai energi yang lebih rendah. Pada tanah, permeabilitas digambarkan sebagai sifat tanah melewatkan air melalui tubuh tanah. Tahanan terhadap aliran bergantung pada jenis tanah, ukuran butiran, bentuk butiran, rapat massa, serta bentuk geometri rongga porinya. Suhu juga sangat mempengaruhi tahanan alirannya, karena merubah kekentalan dan tegangan permukaan (Hardiyatmo, 1992).

Permeabilitas atau daya rembesan merupakan kemampuan tanah untuk dapat melewatkan air. Air yang dapat melewati tanah hampir selalu berjalan linier, yaitu jalan atau garis yang ditempuh air merupakan garis dengan bentuk garis yang teratur (smooth curve) (Wesley, 1973). Bahan yang memiliki rongga disebut berpori dan bila rongga tersebut saling berhubungan maka akan memiliki sifat permeabilitas. Bahan dengan rongga yang lebih besar biasanya mempunyai angka pori yang lebih besar pula, dan karena itu tanah yang padat sekalipun permeabilitasnya lebih besar dari pada bahan seperti batuan dan beton. Karena itu, permeabilitas tanah penting untuk mengevaluasi jumlah rembesan (seepage) dan gaya/daya rembesan, menyediakan kontrol terhadap kecepatan rembesan, dan studi tentang laju penurunan (konsolidasi) yang terjadi pada suatu gradien tertentu, dimana perubahan volume tanah terjadi saat air tersingkir dari rongga tanah (Bowles, 1989). Klasifikasi permeabilitas tanah disajikan pada Tabel 1.

Permeabilitas akan menurun dengan naiknya tingkat kepadatan dan akan mencapai nilai terkecil pada kadar air optimum (Sumarno, 2003). Pada kondisi


(7)

kadar air setelah optimum, permeabilitas cenderung mengalami sedikit kenaikan dengan menurunnya tingkat kepadatan. Kondisi ini disebabkan tanah kering kepadatannya relatif kecil karena kekurangan air sehingga cenderung lebih banyak menyerap air, sedangkan pada kadar air optimum tingkat kepadatan tanah mencapai maksimum sehingga air yang terserap sangat sedikit. Setelah kadar air optimum, air akan terserap lagi tetapi dalam jumlah yang sangat sedikit karena kondisi tanah sudah basah/jenuh.

Tabel 1. Klasifikasi permeabilitas tanah Kelas Permeabilitas (cm/jam)

Sangat rendah < 0.125

Rendah 0.125-0.500

Agak rendah 0. 5-2.0

Sedang 2.00-6.35

Agak cepat 6.35-12.70

Cepat 12.7-25.4

Sangat cepat >25.4

Sumber : Sitorus (1980) dalam Praja (2007)

Gambar 3. Falling head permeameter

Menurut Herlina (2003), bertambahnya kadar air, berat isi kering tanah semakin bertambah besar dan koefisien permeabilitas semakin kecil. Pada saat pemadatan maksimum (kadar air optimum), berat isi kering tanah mencapai maksimum dan permeabilitas mencapai minimum. Bila dilakukan penambahan


(8)

air melebihi optimum pada pemadatan tanah maka berat isi kering tanah semakin kecil dan permeabilitas menjadi semakin besar.

Permeabilitas untuk tanah berbutir kasar dapat ditentukan dengan constan head test, sedangkan untuk tanah berbutir halus digunakan falling head test. Uji tersebut telah distandarisasi pada suhu 200C, karena viskositas air bervariasi dari suhu 40C sampai 300C (Craig, 1991). Gambar 3 merupakan alat untuk mengukur permeabilitas.

5. Berat Jenis Partikel Tanah

Berat jenis partikel (specific gravity) tanah (Gs) adalah perbandingan antara berat volume butiran padat ( s) dengan berat volume air ( w) pada suhu 40C (Hardiyatmo, 1992). Nilai berat jenis partikel tanah dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Berat jenis tanah

Jenis Tanah Berat Jenis (Gs)

Kerikil 2.65-2.68

Pasir 2.65-2.68

Lanau tak organik 2.62-2.68

Lanau organik 2.58-2.65

Lempung tak organik 2.68-2.75

Humus 1.37

Gambut 1.25-1.80

Sumber : Hardiyatmo (1992)

6. Berat Isi Tanah (Bulk Density)

Berat isi tanah didefinisikan sebagai perbandingan antara berat tanah total dengan volume tanah total (Wesley, 1973). Berat isi tanah merupakan salah satu indikator kepadatan tanah. Makin padat suatu tanah, maka nilai berat isi tanah semakin besar, sehingga tanah makin sulit untuk melewatkan air atau ditembus akar tanaman. Berat isi tanah dapat dinyatakan sebagai berat isi kering (dry bulk density) atau sebagai berat isi basah (wet bulk density) (Hakim, et al.,1986).

Kalsim dan Sapei (2003) menyatakan nilai berat isi kering selalu lebih kecil dari pada nilai berat isi basah. Nilai berat isi kering bervariasi dari 1000 sampai 1800 kg/m3. Semakin halus partikel tanah atau semakin tinggi


(9)

kandungan bahan organik maka bulk density akan semakin rendah. Akan tetapi jika tanah mengalami pemadatan maksimal maka tanah bertekstur halus menunjukkan berat isi kering yang lebih besar dari pada bertekstur kasar.

7. Porositas (n)

Menurut Terzaghi dan Peck (1987) porositas didefinisikan sebagai rasio ruang pori terhadap volume total agregat tanah. Porositas juga merupakan perbandingan antara volume pori dan volume total, yang dinyatakan sebagai suatu butiran. Pori - pori adalah bagian tanah yang tidak terisi oleh padatan tanah (solid), sehingga memungkinkan masuknya unsur gas dan cairan. Porositas tanah umumnya antara selang 0.30 - 0.75, tetapi untuk tanah gambut nilai n dapat lebih besar dari 0.8 (Terzaghi, 1947 dalam Hardiyatmo, 1992). Porositas tanah dipengaruhi oleh kandungan bahan organik, struktur tanah, dan tekstur tanah (Hardiyatmo, 1992). Lebih penting dari porositas adalah sebaran ukuran pori. Tanah berpasir dan tanah berliat mungkin mempunyai porositas yang hampir sama, akan tetapi sifat-sifatnya yang berhubungan dengan simpanan air, ketersediaan air dan aliran air tanah sangat berbeda, karena pada tanah pasir diameter pori relatif besar dari pada tanah liat.

Ruang pori tanah dibagi atas pori makro dan pori mikro. Pori makro berisi udara dan air gravitasi yaitu air yang mudah hilang oleh gaya gravitasi, sedangkan pori mikro berisi air kapiler atau udara. Tanah pasir mempunyai pori – pori makro yang lebih banyak dibandingkan dengan tanah liat. Diameter pori menurut Kalsim dan Sapei (2003) dapat diklasifikasikan sebagai:

a. Pori makro (> 100 µm), dapat dilihat dengan mata telanjang sangat penting untuk aerasi dan drainase (aliran gravitasi) tanah

b. Pori meso (30-100 µm), efektif dalam gerakan air baik vertikal ke atas maupun ke bawah (aliran kapiler)

c. Pori mikro (< 30 µm), dapat menahan air pada periode kering dan melepaskannya dengan sangat lambat.


(10)

8. Angka Pori (e)

Angka pori adalah rasio ruang pori terhadap volume bahan padat (Terzaghi dan Peck, 1987). Angka pori merupakan perbandingan antara volume pori dan volume butiran padat. Angka pori juga merupakan rasio antara volume pori dan volume bahan padat, yang dinyatakan dalam bentuk desimal (Dunn, et al., 1979). Angka pori merupakan fungsi dari kepadatan tanah.

9. Potensial Air Tanah (pF)

Muka airtanah (water table) atau phreatic surface adalah bidang batas atas dari kondisi tanah jenuh air. Daerah di atas muka air tanah disebut zona tak jenuh. Air dalam tanah baik jenuh maupun tidak secara umum disebut lengas tanah (soil moisture), sedangkan istilah airtanah (ground water) menunjukkan air yang dikandung oleh tanah jenuh di bawah muka airtanah (Kalsim dan Sapei, 2003).

Tingkat energi airtanah bervariasi sangat besar. Perbedaan tingkat energi airtanah tersebut memungkinkan air bergerak dari satu zona ke zona yang lainnya dalam tanah. Airtanah akan bergerak dari tempat dengan tingkat energi yang tinggi (misalnya muka air tanah) ke tempat energi yang lebih rendah (misalnya tanah kering). Dengan mengetahui tingkat energi dari beberapa tempat di dalam profil tanah, maka dapat diprediksi pergerakan airtanah (Hakim, et al.,1986). Potensial airtanah menurun dengan meningkatnya kandungan air (makin banyak airtanah, makin berkurang energi yang diperlukan untuk menahan air dalam tanah).

Daya ikat tanah terhadap air (pF) setelah pemadatan lebih kecil dibandingkan daya ikat tanah terhadap air (pF) tanah dalam kondisi kapasitas lapang (Herlina, 2003). Hal ini ditunjukkan dengan kadar air unuk pF yang sama pada kedalaman sama antara tanah pada kondisi kapasitas lapang dengan tanah yang sudah mengalami pemadatan, dimana terlihat kadar airtanah yang telah dipadatkan jauh lebih kecil dibandingkan dengan tanah pada kondisi kapasitas lapang. Pemadatan menurunkan pori makro dan pori total sehingga energi yang diperlukan untuk menahan air lebih kecil, tetapi cenderung menaikkan pori berukuran sedang.


(11)

C. Sifat Mekanik Tanah

Sifat mekanik tanah merupakan sifat yang berhubungan dengan pergerakan tanah. Sifat mekanik tanah terdiri atas konsistensi tanah dan pemadatan tanah.

1. Konsistensi Tanah

Istilah konsistensi berhubungan dengan derajat adhesi antara partikel tanah dan tahanan yang muncul guna melawan gaya yang cenderung berubah atau meruntuhkan agregat tanah. Konsistensi digambarkan dengan istilah-istilah seperti keras, kaku, rapuh, lengket, plastik, dan lunak. Konsistensi tanah tergantung pada tekstur, sifat, jumlah koloid-koloid inorganik dan organik, struktur dan terutama kandungan airtanah. Dengan berkurangnya kandungan air, umumnya tanah-tanah akan kehilangan sifat melekatnya (stickness) dan plastisitasnya sehingga dapat menjadi gembur (friable) dan lunak (soft) dan akhirnya jika kering menjadi coherent (Hakim, et al,,1986).

Tabel 3. Nilai indeks plastisitas (IP) beberapa fraksi tanah

Fraksi Tanah Plastisitas IP (%)

Pasir (sand) Nonplastis 0

Debu (silt) Plastisitas rendah < 7

Liat berlanau (loamy clay) Plastisitas sedang 7 – 17

Liat (clay) Plastisitas tinggi >17

Sumber: Hardiyatmo (1992)

Konsistensi tanah biasanya dinyatakan dengan batas cair dan batas plastis (disebut juga batas-batas Atterberg). Atterberg (1991) dalam Hardiyatmo (1992) memberikan cara untuk menggambarkan batas – batas konsistensi dari tanah berbutir halus dengan mempertimbangkan kandungan kadar airnya. Pengukuran batas-batas ini dilakukan secara rutin untuk sebagian besar penelitian yag meliputi tanah berbutir halus. Karena batas-batas ini tidak merupakan sifat fisika yang jelas, maka dipakai cara empiris untuk menentukannya (Wesley, 1973). Tabel 3 menyajikan nilai indeks plastisitas beberapa fraksi tanah.


(12)

2. Pemadatan Tanah

Pemadatan adalah usaha sebanyak mungkin mengeluarkan udara dari celah – celah di antara butiran – butiran tanah, agar dapat dicapai tingkat kerapatan butiran – butiran bahan tanah yang semaksimal mungkin (Sosrodarsono dan Takeda, 1977). Pemadatan tanah juga merupakan suatu proses dimana udara pada pori-pori tanah dikeluarkan dengan salah satu cara mekanis. Proses pemadatan berbeda dengan proses konsolidasi. Konsolidasi adalah pemampatan tanah oleh beban statis di atasnya dalam waktu yang lama, sedangkan pemadatan merupakan peristiwa bertambah beratnya volume kering oleh beban dinamis dalam waktu yang relatif singkat. Pemadatan tanah bertujuan untuk memperbesar kekuatan geser tanah, mengurangi sifat mudah mampat (kompresibilitas), mengurangi permeabilitas, dan mengurangi perubahan volume tanah sebagai akibat perubahan kadar air (Hardiyatmo, 1992). Ada empat variabel pemadatan tanah, yaitu usaha/energi pemadatan, jenis tanah (gradasi, kohesif/tidak kohesif, ukuran partikel, dsb), kadar air, dan berat isi kering (Bowles, 1989).

Wesley (1973) berpendapat bahwa semakin rendah kadar air maka tanah akan semakin keras dan kaku sehingga sulit dipadatkan. Apabila kadar air ditambah maka air tersebut akan berfungsi sebagai pelumas sehingga tanah akan lebih mudah dipadatkan. Pada kadar air yang tinggi, kepadatannya akan menurun karena pori-pori tanah terisi air yang tidak dapat dikeluarkan dengan cara pemadatan. Kepadatan tanah biasanya diukur dengan menentukan berat isi keringnya, bukan dengan menentukan angka porinya. Lebih tinggi berat isi kering berarti tanah tersebut lebih padat.

Terzaghi dan Peck (1987) berpendapat bahwa tingkat pemadatan tertinggi terjadi pada kadar air tertentu yang disebut kadar kelembaban optimum (optimum moisture content). Prosedur untuk mempertahankan agar kadar air mendekati nilai optimumnya selama pemadatan timbunan dikenal sebagai kontrol kadar kelembaban (moisture content control).

Pengujian pemadatan di laboratorium dapat dilakukan dengan beberapa metode yang didasarkan pada perbedaan cara pelaksanaan pemadatannya antara lain adalah (Sosrodarsono dan Takeda, 1977) :


(13)

a. Pemadatan tumbuk yaitu dengan menjatuhkan sebuah penumbuk di atas contoh bahan

b. Pemadatan tekan yaitu pemadatan yang didasarkan pada prinsip pengoperasian pada contoh bahan dengan dongkrak hidrolis

c. Pemadatan getar yaitu pemadatan yang menggunakan daya getaran mesin vibrasi.

Dari ketiga metode pengujian tersebut, yang paling luas penggunannya dan dianggap sebagai pemadatan standar adalah metode penumbukan. Hal tersebut disebabkan karena peralatan dan pelaksanaannya cukup sederhana serta hasilnya juga cukup baik.

D. Tanggul

Pembuatan tanggul merupakan salah satu usaha dalam konservasi tanah dan air. Menurut DPU (1986) tanggul dipakai untuk melindungi daerah irigasi dari banjir yang disebabkan oleh sungai, pembuang yang besar atau laut. Tanggul merupakan salah satu jenis bendungan urugan homogen karena semua tanggul dibuat dengan bahan tanah yang hampir sejenis dan gradasinya hampir seragam. Tubuh tanggul sebagaimana bendungan secara keseluruhannya berfungsi ganda, yaitu sebagai penyangga aliran air sekaligus menahan rembesan air (Sosrodarsono dan Takeda, 1977).

Tabel 4. Nilai kemiringan talud tanggul tanah homogen Klasifikasi Tanah Kemiringan Sungai Kemiringan Talud GW, GP, SW, SP Lulus air, tidak dianjurkan

GC, GM, SC, SM 1 : 2.5 1 : 2.0

CL, ML 1 : 3.0 1 : 2.5

CH, MH 1 : 3.5 1 : 2.5

Sumber : DPU (1986)

Keterangan : G (gravel = kerikil), S (sand = pasir), C (clay = lempung), M (silt = lanau), L (plastisitas rendah), H (plastisitas tinggi), W (gradasi baik).

DPU (1986) menyatakan bahwa rembesan terjadi apabila tubuh tanggul harus mengatasi beda tinggi muka air dan jika aliran yang diakibatkannya meresap


(14)

masuk ke dalam tanah di sekitar tanggul. Aliran ini mempunyai pengaruh yang dapat merusak stabilitas tanggul karena terangkutnya bahan-bahan halus dapat menyebabkan erosi bawah tanah (piping). Jika erosi bawah tanah sudah terjadi, maka terbentuk jalur rembesan bagian hulu dan bagian hilir tanggul.

Untuk pembuatan model tanggul, tanah terlebih dahulu dipadatkan dengan sebuah alat tumbuk manual dengan jumlah tumbukan, energi pemadatan, jumlah lapisan dan tinggi jatuhan berdasarkan uji tumbuk manual. Tabel 4 menunjukkan nilai – nilai kemiringan talud menurut The Unified Soil Classification System. Penggunaan nilai – nilai tersebut disarankan untuk tanah homogen pada pondasi stabil yang tingginya kurang dari 5 m. DPU (1986) menyatakan dimensi tanggul adalah sebagai berikut :

1. Tinggi Tanggul (Hd)

Tinggi tanggul adalah beda tinggi tegak antara puncak dan bagian bawah dari pondasi tanggul. Permukaan pondasi adalah dasar dinding kedap air atau dasar zona kedap air. Apabila pada tanggul tidak terdapat dinding atau zona kedap air, maka yang dianggap permukaan pondasi adalah garis perpotongan antara bidang vertikal yang melalui tepi hulu mercu tanggul dengan permukaan pondasi alas tanggul tersebut. Mercu adalah bidang teratas dari suatu tanggul yang tidak dilalui oleh luapan air dari saluran.

2. Tinggi Jagaan (Hf)

Tinggi jagaan adalah perbedaan antara elevasi permukaan maksimum rencana air dalam saluran dengan elevasi mercu tanggul. Elevasi permukaan maksimum rencana merupakan elevasi banjir rencana saluran. Pada saat-saat tertentu air meluap melebihi tinggi rata-rata, dalam keadaan demikian yang disebut elevasi permukaan air maksimum rencana adalah elevasi yang paling tinggi yang diperkirakan akan dicapai oleh permukaan air saluran tersebut. 3. Kemiringan Lereng (Talud)

Kemiringan lereng tanggul adalah perbandingan antara panjang garis vertikal yang melalui puncak dan panjang garis horizontal yang melalui tumit masing-masing lereng tersebut. Kemiringan lereng dirancang sedemikian rupa tergantung pada jenis bahan.


(15)

E. Rembesan Air

Perembesan air secara lateral (seepage) dan secara vertikal (perkolasi) dipengaruhi oleh permeabilitas, porositas, tekstur, kedalaman pori, kelembaban dan muka air tanah. Perkiraan rembesan penting dalam pembangunan bendungan baik jenis urugan, termasuk tanggul, maupun beton. Pada sebagian besar bendungan dapat terjadi rembesan baik melalui tubuh bendungan itu sendiri (jenis bendungan urugan) maupun melalui dasarnya (untuk bendungan urugan maupun beton). Apabila material dasar dan pinggirnya merupakan batuan, maka batuan tersebut biasanya disuntik dengan adukan encer (grouting) untuk mengisi retakan-retakan dan mengurangi permeabilitas. Suntikan adukan encer kadang-kadang juga digunakan untuk mengurangi permeabilitas pada bendungan yang material dasarnya berupa tanah (Bowles, 1989).

Gambar 4. Garis rembesan dalam tubuh tanggul

Garis rembesan disebut juga garis freatik (phreatic line). Garis freatik sama dengan muka air tanah, yaitu batas paling atas dari daerah dimana rembesan berjalan, seperti terlihat pada Gambar 4 (Bowles, 1989). Garis freatik dimulai pada posisi A’ dan berakhir hingga B. Jarak antara titik B dan ujung tanggul bagian hilir (C) merupakan panjang zona basah (a). Rembesan air berjalan searah dengan garis freatik sehingga garis rembesan juga merupakan garis aliran (Wesley, 1973). Garis aliran adalah suatu garis di sepanjang butir-butir air yang akan bergerak dari bagian hulu ke bagian hilir melalui media tanah yang

permeable (Das dkk, 1988).

Garis rembesan disebut juga garis freatik (phreatic line) (Schwab, et al., 1981 dalam Praja, 2007). Faktor-faktor yang mempengaruhi garis rembesan:


(16)

b. Posisi dan aliran air di lapangan c. Tipe dan desain tubuh tanggul

d. Penggunaan saluran pembuangan (drainage devices) untuk membuang rembesan di lereng bagian hilir.

Garis ekupotensial adalah garis – garis yang mempunyai tinggi tekanan yang sama (Hardiyatmo, 1992). Kemiringan garis ekuipotensial adalah tegak lurus terhadap garis aliran. Pada tanah yang homogen dapat digambarkan deretan garis aliran yang saling berpotongan secara tegak lurus. Gambar seperti ini disebut jaringan aliran (flow net). Gambar 5 merupakan ilustrasi jaringan aliran dalam tubuh tanggul. Garis aliran berpotongan tegak lurus dengan garis ekuipotensial membentuk jaringan yang jumlahnya dinyatakan dengan Nf. Dua buah garis ekuipotensial membentuk interval ( h) dengan jumlah tertentu yang dinotasikan dengan Nd.

Bentuk umum dari suatu jaringan aliran akan ditentukan oleh kondisi batas (boundary conditions) dalam sebagian besar kasus, kecuali pada titik-titik tanggul, dimana jaringan aliran dapat menentukan kondisi batas. Untuk menggambarkan jaringan aliran, maka prosedur yang dapat diikuti (Hardiyatmo, 1992) adalah:

a. Garis freatik digambarkan sesuai dengan prosedur.

b. Garis-garis ekuipotensial digambarkan pada penampang melintang tanggul dengan interval antar garis ekuipotensial ( h) yang sama (Bowles, 1989), h diperoleh dengan membagi tinggi tekanan air (perbedaan elevasi antara permukaan air dalam waduk dan permukaan air di bagian hilir bendungan) dengan suatu bilangan bulat (Sosrodarsono dan Takeda, 1977).

c. Garis jaringan aliran digambarkan berdasarkan ketentuan bahwa garis ekuipotensial dan garis aliran berpotongan tegak lurus.

Jaringan aliran di dalam tanggul juga dapat digambarkan dengan berbagai metode yang telah dikembangkan dari persamaan Laplace (Dunn, et al., 1979), yaitu:

a. Penyelesaian matematis langsung b. Penyelesaian secara numeris

c. Penyelesaian secara analogi elektrik d. Penyelesaian secara grafis.


(17)

Gambar 5. Jaringan aliran dalam tubuh tanggul

Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1977) untuk menggambarkan jaringan trayektori aliran rembesan melalui tubuh tanggul perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Trayektori aliran rembesan dengan garis ekuipotensial berpotongan secara tegak lurus, sehingga akan membentuk bidang – bidang yang mendekati bentuk bujur sangkar atau persegi panjang.

b. Apabila dibagi – bagi dengan bentuk yang besar hanya mendekati bentuk bujur sangkar, akan tetapi bila dibagi – bagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil, maka bentuk bujur sangkar akan semakin nyata.

c. Pada bidang di bawah tekanan atmosfer, dimana aliran rembesan tampak dari luar bukan merupakan trayektori aliran rembesan, karena tidak akan membentuk bidang – bidang persegi panjang dan trayektori aliran rembesan dengan permukaan tersebut tidak akan berbentuk potongan secara vertikal. d. Titik perpotongan antara garis-garis ekuipotensial dengan garis depresi

adalah nilai interval h. Panjang zona basah a dapat dihitung dengan persamaan:

2 2

2 2

sin cos

cos

Hp d

d

a ……….. (1)

dimana:

a = panjang zona basah (cm)

d = jarak antara titik asal dari garis freatik dengan ujung bawah hilir (cm)


(18)

= sudut antara muka tanggul bagian hilir dan dasar tanggul.

Garis freatik merupakan parabola, sehingga digunakan persamaan berikut:

y = x2………. (2)

untuk nilai y = yo, maka besarnya nilai K dapat ditentukan dengan persamaan: 2

o o

x y

K ……… (3)

dimana:

y = jarak vertikal pada garis freatik (cm)

K = koefisien

x = jarak horizontal pada garis freatik (cm).

F. Program Geo-Slope

Geo-Slope adalah suatu program dalam bidang geoteknik dan modeling geo-environment yang dibuat oleh Geo-Slope Internasional, Kanada pada tahun 2002. Program Geo-Slope ini sendiri terdiri dari Slope/W, Seep/W, Sigma/W, Quake/W,

Temp/W dan Ctran/W yang mana satu sama lainnya saling berhubungan sehingga dapat dianlisa dalam berbagai jenis permasalahan dengan memilih jenis program yang sesuai untuk tiap – tiap masalah yang berbeda. Pengertian untuk tiap program tersebut:

1. Slope/W adalah suatu software untuk menghitung faktor keamanan dan stabilitas lereng.

2. Seep/W adalah suatu software untuk meneliti rembesan bawah tanah.

3. Sigma/W adalah suatu software untuk menganalisa tekanan geoteknik dan masalah deformasi.

4. Quake/W adalah suatu software untuk menganalisa gempa bumi yang berpengaruh terhadap perilaku tanggul, lahan, kemiringan lereng.

5. Temp/W adalah suatu software untuk menganalisa masalah geothermal. 6. Ctran/W adalah suatu software yang dapat digunakan bersama dengan

Seep/W untuk model pengangkutan zat – zat pencemar.

Seep/W merupakan suatu software yang digunakan dalam menganalisis rembesan air dalam tanah dan tekanan air rembesan, yang membuat material menyerap air seperti tanah dan batu. Seep/W dapat diaplikasikan dalam


(19)

menganalisis dan mendesain pada bidang geoteknik, sipil, hidrogeologika dan proyek pembangunan tambang. Program Seep/W mampu memecahkan hampir semua masalah yang berhubungan dengan air tanah, meliputi:

1. Penghilangan tekanan air pori setelah kondisi waduk drawndown (muka air surut tiba – tiba).

2. Jumlah rembesan yang mengalir pada permukaan.

3. Drawndown dari suatu permukaan air di bawah tanah dalam kaitannya dengan pemompaan dari suatu aquifer.

4. Pengaruh dari saluran di bawah permukaan tanah dan sumur – sumur injeksi (injection wall).

Adapun keunggulan yang dimiliki oleh program Seep/W diantaranya adalah: 1. Jenis analisa meliputi kondisi aliran steady state (mantap), aliran transient

(tidak mantap), aliran 2D, dan aliran 3D.

2. Jenis boundary conditions (kondisi batas) meliputi total head, pressure head, dan lain sebagainya. Kondisi batas dapat diatur dan dibatalkan untuk mengetahui bentuk kondisi rembesan.

3. Volume air dan fungsi konduktivitas dapat diperkirakan dari parameter dasar dan fungsi grain size (ukuran butiran).

4. Dapat melakukan penggambaran aliran air.

5. Membatalkan dan mengulangi perintah-perintah pada program Seep/W. Data-data yang dibutuhkan antara lain jenis bahan, permeabilitas (konduktivitas hidrolik), tinggi tekan (head pressure), pF, fluks, atau dengan kombinasi data-data yang tersedia tersebut. Dalam hal ini, data yang dipergunakan untuk penggambaran garis aliran dengan pogram Seep/W adalah nilai permeabilitas dan pF.

Program Seep/W ditampilkan dalam format windows sehingga memudahkan di dalam penggunaannya. Adapun tahap-tahap penggambaran dari persiapan, input data sampai running semua tersedia pada menu bar dan tools bar. Tahapan penggambaran dengan program Seep/W adalah sebagai berikut:

1. Atur skala dan grid untuk membatasi daerah penggambaran dan menentukan ukuran terkecil dari dimensi tersebut.


(20)

2. Sketsa model tanggul digambarkan berdasarkan dimensi yang sudah ada dengan menggunakan metode penggambaran dua dimensi.

3. Masukkan data konduktivitas hidrolik dan pF ke dalam persamaan (key in). 4. Bagi sketsa model menjadi beberapa elemen melalui perintah draw lalu

lanjutkan ke elements. Maka sketsa model tanggul yang sudah ada telah terbagi menjadi beberapa bagian.

5. Tentukan kondisi batas (boundary conditions) dengan cara klik menu draw

lalu lanjutkan ke boundary conditions. Kemudian klik pada bagian hulu data

pressure head (p) sedangkan pada bagian hilir klik data debit (Q).

6. Untuk menentukan flux section maka klik menu draw lalu lanjutkan ke flux section kemudian klik bagian sketsa tanggul dari bawah sampai atas.

7. Periksa dan pisahkan data dengan menu verify/sort data, apabila masih terjadi error maka periksa ulang data yang dimasukkan melalui key in, elemen, maupun boundary conditions.

8. Setelah itu pecahkan permasalahan dengan menggunakan menu tools

kemudian klik solve untuk mendefinisikan data tiap elemen agar tergambar dalam hasil running.

9. Melihat hasil running dengan cara klik menu tools pada bagian atas kemudian klik contour.

Hasil akhir yang diperoleh adalah diketahuinya arah/vektor aliran, garis rembesan, pola aliran air (flow net), dan debit rembesan.


(21)

III.

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisika dan Mekanika Tanah dan Laboratorium Hidrolika Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai Agustus 2009.

B. Bahan dan Alat 1. Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini :

a. Tanah gleisol yang berasal dari Kebon Duren, Depok, Jawa Barat yang terletak pada 106049´13.7˝ BT dan 060β6´55.1˝ LS (peta lokasi disajikan pada Lampiran 1)

b. Lem acrylic dan katalis c. Larutan H2O2 6% d. Kertas saring e. Air destilasi. 2. Alat

a. Hidrometer b. Timbangan

c. Kotak model tanggul d. Gelas ukur

e. Wadah/ember f. Ring sampel

g. Saringan mesh 4760 m, 2000 m, 840 m, 420 m, 250 m, 105 m, dan 75

m

h. Penumbuk tanah i. Oven dan desikator

j. Falling head permeameter

k. Proctor

l. Kotak tumbuk manual m. Stopwatch

n. Pipa dan selang o. Penggaris

p. Sprayer dan corong q. Piknometer

r. Termometer s. Kamera digital

t. Sand box dan wide range pF meter.


(22)

C. Metode Pelaksanaan

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data sekunder diperoleh dengan studi pustaka. Data sekunder ini diperoleh dari literatur-literatur dan internet, sedangkan data primer diperoleh dengan pengukuran dan perhitungan sifat fisik dan mekanik tanah. Pengukuran sifat fisik tanah meliputi:

1. Pengambilan Contoh Tanah dan Uji Tekstur

Bahan yang digunakan untuk membuat model tanggul adalah contoh tanah tidak utuh (terganggu). Contoh tanah ini diambil dengan cangkul pada kedalaman 20-40 cm. Tanah kemudian dikeringkan dengan cara dianginkan untuk mengurangi kadar airnya sehingga memudahkan dalam pengayakan. Tanah yang kering selanjutnya disaring menggunakan saringan ukuran mesh

4760 m sesuai dengan persyaratan uji pemadatan standar JIS A 1210-1980. Uji tekstur tanah terlebih dahulu dilakukan dengan metode hidrometer. Uji tekstur terutama bertujuan untuk mengetahui kandungan liat tanah yang digunakan. Semakin banyak kandungan liat maka tanggul yang terbentuk semakin baik.

Hidrometer (a) Larutan H2O2 (b)

Gambar 6. Alat dan bahan uji tekstur

Metode yang digunakan untuk uji tekstur adalah metode yang merupakan standar JIS A 1204 -1980. Tanah yang lolos saringan 2000 µm (2 mm) diukur kadar air dan konstanta hidrometernya. Dalam pengukuran konstanta


(23)

hidrometer, tanah ditambahkan larutan H2O2 6% sebanyak 100 ml dengan tujuan untuk menghilangkan bahan organiknya. Larutan tanah dimasukkan ke dalam oven dan didiamkan selama 1 jam, kemudian ditambahkan air destilasi sebanyak 100 ml. Larutan didiamkan selama ±18 jam, kemudian dipindahkan ke wadah pengaduk (stirer), ditambahkan larutan sodium silikat 5% sebanyak 20 ml dan air destilasi sampai ¾ bagian wadah. Tanah diaduk selama 10 menit, kemudian dipindahkan ke gelas ukur yang berukuran 1000 ml. Pembacaan hidrometer pada selang waktu 0.5, 1, 2, 5, 15, 30, 60, 240, dan 1440 menit. Melalui pembacaan hidrometer akan diketahui diameter dan persentase fraksi tanah yang akan digambarkan pada grafik semilog. Dari hasil grafik yang diperoleh dapat diketahui nilai tekstur tanah tersebut.

2. Pengukuran Kadar Air

Pengukuran kadar air pada contoh tanah dilakukan dengan metode

gravimetrik basis kering. Kadar air merupakan nisbah antara berat air dengan berat tanah kering. Kadar air tanah secara gravimetrik dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Kalsim dan Sapei, 2003):

w = x100%

mc mb

mb ma

………. (4)

dimana :

w = kadar air tanah (%)

ma = berat basah tanah dan wadah (g)

mb = berat tanah kering dan wadah (g)

mc = berat wadah (g). 3. Permeabilitas

Permeabilitas merupakan kemampuan fluida untuk mengalir melalui medium yang berpori. Pengujian permeabilitas menggunakan metode falling head. Untuk mendapatkan koefisien permeabilitas tanah dengan metode ini digunakan persamaan (Kalsim dan Sapei, 2003):

2 1 log 3 . 2 h h T x A l x a x Kr ... (5)


(24)

dimana:

Kr = koefisien permeabilitas tanah pada suhu T0C

a = luas permukaan pipa gelas (cm2)

l = panjang contoh tanah (cm)

A = luas permukaan contoh tanah (cm2)

T = waktu (detik)

h1 = tinggi minikus atas (cm)

h2 = tinggi minikus bawah (cm).

Permeabilitas pada suhu standar (T = 200C) diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Sapei,et al.,1990):

K20 = ( T / 20) KT...(6)

Pengukuran nilai permeabilitas dilakukan dua kali pada bahan tanah utuh, yaitu sebelum model tanggul dibuat dan setelah model tanggul dibuat.

4. Pengukuran berat isi (Bulk Density)

Berat isi (bulk density) dari tanah tergantung pada kadar airnya. Pengukuran berat isi dilakukan pada contoh tanah utuh dimana berat isi merupakan berat tanah kering oven yang terdapat dalam volume tanah utuh. Pengukuran berat isi menggunakan persamaan (Sunggono, 1984):

t =

V Wtb

……….. (7)

d =

) 100 (

100

w

t

………... ... (8)

dimana :

w = berat isi basah (g/cm3) d = berat isi kering (g/cm3)

Wtb = berat tanah basah (g)

Wtk = berat tanah kering oven (g)

V = volume tanah (cm3)


(25)

Pada uji pemadatan, nilai berat isi kering maksimum dari beberapa selang kadar air merupakan tingkat kepadatan maksimum dari suatu tingkat pemadatan. Kadar air pada berat isi maksimum tersebut merupakan kadar air optimum dari suatu pemadatan.

5. Porositas

Porositas (n) adalah bagian dari volume tanah yang diisi oleh pori – pori dan didefinisikan sebagai (Kalsim dan Sapei, 2003):

n =

V Vv

………...(9)

Nisbah antara volume pori – pori (void) dengan bahan padatan disebut nisbah void (e).

e =

s v

V V

………. (10)

dimana:

Vv = Vw + Va V = Vs + Vv n = porositas e = angka pori

V = volume total contoh tanah (cm3) Vv = volume pori (cm3)

Vs = volume butiran padat (cm3) Vw = volume air dalam pori (cm3) Va = volume udara dalam pori (cm3) 6. Potensial Air Tanah (pF)

Pengukuran nilai potensial air tanah yang dipadatkan dilakukan dengan menggunakan sand box dan wide range pF meter. Nilai potensial air tanah diambil dari tanah tanggul yang telah dialiri air dengan menggunakan ring sample. Sand box digunakan untuk pF 0 – 1.0 sedangkan wide range pF meter

digunakan untuk pF 1.5 – 3.2. Contoh tanah yang diukur pada pF 4.2 adalah tanah terganggu yang lolos saringan 2000 m yang dilakukan laboratorium


(26)

Departemen Ilmu Tanah. Pembacaan nilai potensial air tanah dilakukan setelah 24 jam.

Gambar 7. Sand box

(a) (b)

Gambar 8. Wide range pF meter (a); Automatic pressure controller (b) Pengukuran nilai potensial air tanah dilakukan pada setiap proses pemadatan dengan nilai kadar air yang berbeda. Nilai potensial air tanah (pF) diplotkan dengan nilai kadar air yang ada sehingga hubungan antara potensial air tanah dan kadar air diketahui.


(27)

Pengujian sifat mekanik tanah meliputi: 1. Pengujian Konsistensi Tanah

Pengujian konsistensi tanah terdiri atas penentuan batas cair, batas plastis dan indeks plastisitas.

a. Batas cair (Liquid Limit)

Batas cair (LL) adalah batas atas dari rentang kadar air dimana tanah masih bersifat plastis atau dapat dikatakan sebagai batas atas dari daerah plastis. Batas cair biasanya ditentukan dari pengujian Cassagrande. Batas cair merupakan kadar air tanah dalam persen berat kering. Metode pengukuran yang digunakan merupakan standar JIS A 1205-1980. Peralatan yang digunakan disebut LL Device Grooving Tools.

Batas cair diuji dengan cara meletakkan contoh tanah yang sudah disaring ke permukaan gelas, kemudian tambahkan air destilasi dan diaduk sehingga membentuk pasta. Pasta tanah dimasukkan ke dalam mangkuk, kemudian dibuat goresan sampai mengenai bagian bawah dari mangkuk. Alat penentu batas cair diputar dengan kecepatan tertentu sampai goresan pada tanah bertemu dan dihitung jumlah ketukannya. Pengukuran kadar air dilakukan secara gravimetrik dengan mengambil sedikit contoh tanah dari mangkuk. Jika kadar air telah diketahui, maka dibuat suatu grafik kadar air terhadap banyaknya ketukan. Batas cair adalah kadar air dengan jumlah ketukan tertentu.

b. Batas plastis (Plastic Limit)

Batas plastis (PL) adalah kadar air pada kedudukan antara daerah plastis dan semi padat, yaitu persentase kadar air dimana tanah dengan diameter silinder 3.2 mm mulai retak – retak bila digulung. Metode yang digunakan adalah metode standar JIS A 1206-1970 (1978).

c. Indeks plastisitas (Plasticity Indeks)

Indeks plastisitas (PI) adalah selisih dari batas cair dan batas plastis (Wesley,1973):

PI = LL – PL……….. (11)

Jika tanah mempunyai kadar interval air daerah plastis yang kecil, maka disebut tanah kurus. Sebaliknya, jika tanah mempunyai interval kadar air


(28)

daerah plastis yang besar disebut tanah gemuk (Bowles, 1989). Nilai – nilai batas cair dan plastis yang diperoleh diplotkan dalam grafik plastisitas untuk mengetahui klasifikasi tanah yang diuji. Klasifikasi tanah yang digunakan dalam Sistem Klasifikasi Tanah Unified (Unified Soil Classification System). 2. Uji Tumbuk Manual dan Pemadatan Tanah

Uji tumbuk manual dilaksanakan untuk menentukan nilai d dari pemadatan di lapangan, yaitu pada proses pemadatan tanggul. Nilai d dihitung dengan persamaan untuk menentukan kadar air tanah berdasarkan kepadatan relatif (RC) yang didefinisikan sebagai berikut:

% 100 ker

ker

x um laboratori di

percobaan maks

ing isi

Berat

lapangan di

ing isi

Berat RC

……... (12)

(a) (b)


(29)

Uji tumbuk manual ini dilakukan untuk mendapatkan ratio compaction

(RC) > 90%. Tanah dipadatkan dengan menggunakan alat tumbuk manual yang mempunyai berat, tinggi jatuh, jumlah tumbukan, jumlah lapisan, dan energi serta frekuensi penumbukan yang ada telah diperhitungkan sehingga jumlah tumbukan (besarnya energi yang diberikan) menunjukkan kepadatan maksimum dan kadar air optimum bahan tersebut.

Uji pemadatan maksimum dilakukan dengan uji proctor sebagai uji standar. Tanah yang diuji dimasukkan ke dalam mold yang berbentuk tabung silinder. Setelah pemadatan dengan kadar air tertentu dilakukan, tanah dari mold

dikeluarkan dengan menggunakan dongkrak. Dari uji ini diperoleh kadar air optimum (OMC) dan berat isi kering maksimum ( dmaks).

Tabel 5. Spesifikasi peralatan uji tumbuk manual Spesifikasi Nilai

Berat palu (kg) 2.05

Tinggi jatuh (cm) 30

Saringan ( m) 4760

Kotak Tumbuk Panjang (cm) 40

Lebar (cm) 30

Tinggi (cm) 10

Spesifikasi peralatan uji tumbuk manual disajikan pada Tabel 5, sedangkan bentuk peralatannya seperti pada Gambar 8.

(a) (b)


(30)

60 Jumlah energi yang diberikan pada saat melaksanakan pemadatan bahan tanah dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:

V g x L x N x H x W CE

……… (13)

dimana:

CE = jumlah energi pemadatan (kJ/m3)

W = berat palu (kg)

H = tinggi jatuh palu (m)

N = jumlah tumbukan pada setiap lapisan

L = jumlah lapisan

V = volume cetakan (m3)

g = gravitasi (m/dt2)

Perhitungan untuk pemadatan tanah meliputi (Bowles,1989): a. Berat isi basah ( t)

t =

v m

m2 1

……… (14)

b. Berat isi kering ( d) d =

w

t

100 100

……… (15)

c. Berat isi jenuh ( dsat) dsat =

100 / /

1 Gs w

w

………. (16)

dimana:

m1 = berat cetakan dan piringan dasar (kg)

m2 = berat tanah padat, cetakan dan piringan dasar (kg)

v = kapasitas cetakan (cm3)

Gs = berat jenis

w = kadar air (%)


(31)

61 3. Pembuatan Model Tanggul

Model adalah representasi suatu masalah dalam bentuk yang lebih sederhana sehingga lebih jelas dan mudah dikerjakan. Model yang baik cukup mengandung bagian-bagian yang perlu saja. Bentuk model dapat dinyatakan dalam beberapa jenis (www.cert.or.id), yaitu :

a. Model Ikonik

Model ikonik memberikan visualisasi atau peragaan dari permasalahan yang ditinjau, dapat berupa foto udara, maket, grafik dan pie chart.

b. Model Analog

Model analog didasarkan pada keserupaan gejala yang ditunjukkan oleh masalah dan dimiliki oleh model. Misalnya modelisasi masalah lalu lintas di suatu kota dengan simulator rangkaian listrik, dengan menganalogikan arus lalu lintas terhadap arus listrik. Contoh lainnya adalah dengan menganalogikan gelombang suara terhadap gelombang permukaan air, sehingga karakteristik suara (akustik) dalam suatu ruangan auditorium dapat dipelajari dengan membuat model ruangannya dan merapatkannya dalam bak dangkal berisi air yang digetarkan.

c. Model Matematik/Simbolik

Model matematik/simbolik menyatakan secara kuantitatif persamaan matematik yang mewakili suatu masalah. Model matematik merupakan bahasa yang eksak, memberikan hasil kualitatif, dan mempunyai aturan (rumus, cara pengerjaan) yang memungkinkan pengembangannya lebih lanjut.

Model tanggul termasuk model ikonik. Model tanggul dibuat dalam sebuah kotak model yang terbuat dari bahan acrylic dengan kerangka besi. Kotak model ini dilengkapi dengan inlet, spillway sebagai control ketinggian, dan outlet untuk pembuangan rembesan air. Ukuran kotak model tanggul berdasarkan ukuran tanggul yang direncanakan dengan skala 1 : 12. Kotak model tanggul yang digunakan berukuran panjang 150 cm, lebar 50 cm, dan tinggi 30 cm.

Tinggi rencana tanggul (Hd) merupakan jumlah tinggi muka air rencana (H) dan tinggi jagaan (Hf). Ketinggian tersebut termasuk penyesuaian untuk kemungkinan penurunan tanah (Hs), yang tergantung pada pondasi dan bahan


(32)

62 yang dipakai dalam pembangunan tanggul. Tinggi muka air rencana yang sebenarnya didasarkan pada profil permukaan air. Tinggi jagaan (Hf) merupakan nilai penyesuaian yang ditambahkan untuk tinggi muka air yang diambil, termasuk tinggi gelombang (DPU, 1986).

Gambar 11. Kotak model tanggul

Pada ukuran sebenarnya, untuk tanggul yang direncanakan guna mengontrol kedalaman air kurang dari 1.5 m, lebar atas minimum tanggul dapat diambil 1.5 m. Jika kedalaman air yang dikontrol lebih besar dari 1.5 m, maka lebar atas minimum biasanya 3 m. Lebar atas diambil sekurang – kurangnya 3 m jika tanggul dipakai untuk pemeliharaan saluran. Tanah dipadatkan menggunakan rammer dengan jumlah tumbukan, jumlah lapisan, dan tinggi jatuhan berdasarkan uji tumbuk manual. Jumlah tumbukan tiap lapisan didapatkan dengan persamaan:

box

el xN

manual tumbuk

kotak Luas

n ke lapisan Luas

Nmod

………. (17)

dimana:

Nmodel = Jumlah tumbukan pada tiap lapisan pada model tanggul


(33)

63 Tanggul pada penelitian ini merupakan model dengan skala 1 : 12 “geometrically similar”, yaitu mempunyai skala horizontal dan vertikal yang bernilai sama. Nilai 1 : 12 diambil dengan pertimbangan untuk memudahkan dalam penentuan dan perhitungan dimensi model. Model tanggul dibuat dalam kotak model tanggul dengan ukuran seperti Tabel 6. Kotak model tanggul yang digunakan seperti pada Gambar 11, terbuat dari bahan acrylic berkerangka besi. Pondasi kotak model terbuat dari bambu. Gambar teknik model tanggul yang dibuat pada kotak model disajikan pada Lampiran 2.

Dimensi tanggul ditentukan berdasarkan kriteria yang disebutkan dalam DPU (1986). Nilai kemiringan talud yang digunakan dalam pembuatan tanggul adalah 1 : 3 untuk memudahkan perhitungan. Selain itu, kemiringan talud ini sudah cukup aman pada selang tersebut. Lebar bawah tanggul dihitung berdasarkan kemiringan talud dan lebar atas, sehingga lebar bawah tanggul adalah jumlah lebar atas dan dua kali tinggi tanggul yang dikalikan dengan talud.

Tabel 6. Dimensi tanggul

Spesifikasi Dimensi

Model (cm) Sebenarnya (cm)

H (tinggi muka air) 12.5 150

Hf (tinggi jagaan) 5.0 60

Hd (tinggi tanggul) 17.5 210

B (lebar puncak atas/mercu) 12.5 150

L (lebar bagian bawah tanggul) 140.0 1680

Hp (tinggi muka air dari dasar tanggul) 15.0 180

Kemiringan 1 : 3 1 : 3


(34)

64 Setelah air merembes ke dalam tubuh tanggul, panjang zona basah a dapat dihitung dengan persamaan (1), penentuan garis freatik dengan persamaan (2), serta nilai K dengan persamaan (3). Penggambaran garis freatik kemudian dilakukan dengan pengamatan langsung pada model tanggul melalui pengambilan foto, analisis grafis, dan menggunakan program Geo-Slope. Urutan kerja penelitian disajikan pada Gambar 13.


(35)

65 Gambar 13. Diagram alir penelitian

ya Model tanggul dialiri air

Pembuatan model tanggul

tidak

ya Uji tumbuk manual

RC > 90 % Mulai

Pengambilan contoh tanah

Pengukuran sifat fisik tanah

Pengukuran konsistensi tanah

Uji pemadatan standar

Jaringan aliran Analisis pola rembesan 1.Pengamatan langsung 2.Rumus empiris 3.Program Geo-Slope Uji permeabilitas & uji pF

Nilai permeabilitas dan pF

tidak

Pembongkaran model tanggul

Pengeringan tanah Pengambilan foto dan pengukuran debit rembesan


(36)

66

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Sifat Fisik Tanah Gleisol

Sifat fisik tanah berhubungan dengan kondisi asli tanah dan dapat menentukan jenis tanah. Pada penelitian ini digunakan tanah gleisol di Kebon Duren, pada kedalaman 20- 40 cm. Sifat-sifat fisik tanah gleisol dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Sifat-sifat fisik tanah gleisol,Kebon Duren, Depok

Sifat Fisik Nilai

Fraksi Liat (%) 45.00

Debu (%) 30.83

Pasir (%) 24.17

Kadar air tanah lapang (%) 15.09 Berat isi kering (g/cm3) 1.21

Permeabilitas (cm/jam) 0.13

Berat jenis tanah 2.69

Porositas (n) 0.62

Angka pori (e) 1.66

Potensial air tanah, pF 2.59


(37)

67 Berdasarkan Tabel 7, tanah gleisol yang digunakan dapat diklasifikasikan menurut sistem klasifikasi segitiga tekstur sistem USDA. Klasifikasi menurut segitiga tekstur sistem USDA didasarkan pada fraksi liat, debu dan pasir. Hasil penelitian menunjukkan tanah gleisol tergolong dalam kelas liat seperti terlihat pada Gambar 15. Hasil uji sifat fisik tanah gleisol selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4.

1. Uji Tekstur Tanah

Uji tekstur adalah pengujian yang paling pertama dilakukan sebelum pengujian lainnya. Uji tekstur bertujuan untuk membuktikan bahwa tanah gleisol memiliki liat yang lebih tinggi daripada latosol yang telah digunakan pada penelitian sebelumnya. Semakin besar kandungan liat pada tanah, maka semakin baik untuk dijadikan bahan pembuatan tanggul karena dapat menahan air lebih baik. Dari hasil uji tekstur diperoleh bahwa tanah gleisol memiliki kandungan liat sebesar 45%. Berdasarkan penelitian sebelumnya (Ratnasari, 2007) kadar liat pada tanah latosol adalah sebesar 27.49%. Maka, terbukti bahwa tanah gleisol memiliki kandungan liat yang lebih tinggi daripada tanah latosol. Hasil uji tekstur tanah gleisol selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3.

2. Permeabilitas

Nilai koefisien permeabilitas yang diperoleh merupakan rata-rata dari tiga kali ulangan percobaan yang dilakukan dengan metode falling head. Besarnya nilai koefisien permeabilitas dipengaruhi oleh porositas dan angka pori tanah. Semakin besar porositas dan angka pori maka semakin besar pula koefisien permeabilitasnya (Sumarno,2003). Semakin kecil nilai permeabilitas tanah, maka nilai RC (kepadatan relatif) akan semakin besar, dan juga berarti tanggul semakin padat (Kurniasari, 2007).

Pengukuran permeabilitas tanah yang dilakukan pada contoh tanah yang diambil dari tubuh tanggul setelah pengaliran sebesar 0.13 cm/jam. Nilai permeabilitas yang didapat pada penelitian kali ini lebih kecil jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya (Ratnasari, 2007) untuk tanah latosol yaitu, 1.17


(38)

68 cm/jam. Hal ini disebabkan kandungan liat tanah gleisol lebih besar daripada tanah latosol, sehingga daya menahan air tanah gleisol juga lebih besar daripada tanah latosol. Berdasarkan klasifikasi permeabilitas menurut sesuai pada Tabel 1, tanah gleisol yang digunakan untuk pembuatan model tanggul termasuk ke dalam kelas permeabilitas rendah. Hasil pengukuran nilai permeabilitas tanah tanggul setelah dialiri dapat dilihat pada Lampiran 8.

3. Pengukuran Kadar Air

Pengukuran kadar air yang dilakukan menggunakan metode basis kering dengan 3 sampel pada setiap pengukurannya. Dari pengukuran ini didapatkan nilai kadar air optimum rata-rata uji tumbuk manual dari dua kali pengulangan sebesar 35.92%.

4. Pengukuran Potensial Air Tanah (pF)

Tabel 8. Hasil pengukuran nilai pF model tanggul pF

Kadar Air (%)

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3

0 53.17 53.40 53.17

0.5 47.61 53.17 46.48

1 46.89 48.36 46.13

1.5 44.21 47.70 44.32

2 42.26 47.69 42.35

2.5 36.30 36.30 36.30

3 33.24 33.24 33.24

3.2 31.16 31.16 31.16

4.2 28.95 28.95 28.95

Penentuan nilai potensial air tanah (pF) dilakukan dengan percobaan langsung yang menggunakan sand box dan wide range pF meter. Dari percobaan yang telah dilakukan dapat diperoleh nilai pF sebesar 2,59 pada kadar air 35.92% (kadar air optimum hasil uji proctor) melalui interpolasi. Nilai pF yang diperoleh untuk kadar air optimum sama dengan nilai pF untuk kadar air optimum tanah oxisol (Praja dkk, 2007). Semakin jenuh tanah, maka nilai pF akan semakin rendah, tanpa terpengaruh oleh berat isi kering atau kepadatan


(39)

69 tanah. Grafik uji pF disajikan pada Gambar 15 dan hasil pengukuran nilai pF model tanggul disajikan pada Tabel 8.

Gambar 15. Grafik uji pF model tanggul untuk 3 ulangan B. Sifat Mekanik Tanah

Sifat mekanik tanah berhubungan dengan pergerakan partikel tanah. Sifat mekanik tanah gleisol dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Sifat mekanik tanah gleisol (Kebon Duren, Depok)

Sifat Mekanik Nilai (%)

Batas cair 74.44

Batas plastis 42.66

Indeks plastisitas 31.78

Kadar air optimum 35.92

5. Uji Konsistensi Tanah

Uji konsistensi tanah terdiri dari uji batas cair, uji batas plastis, dan penentuan indeks plastisitas. Hubungan antara batas cair dan indeks plastisitas digunakan dalam klasifikasi tanah sistem Unified. Sistem klasifikasi Unified


(40)

70 dan batas plastis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanah gleisol tersebut memiliki nilai batas cair (LL) adalah sebesar 74.44 % dan batas plastis (PL) sebesar 42.66 %. Nilai indeks plastisitas (PI) yang merupakan selisih dari batas cair dan batas plastis adalah sebesar 31.78 %. Nilai-nilai batas cair dan indeks plastisitas tersebut diplotkan ke dalam grafik klasifikasi tanah pada Gambar 15. Hasil dari plot tersebut didapatkan bahwa tanah gleisol berada pada daerah MH yaitu lanau anorganik plastisitas tinggi (Craig, 1987).

Gambar 16. Klasifikasi tanah gleisol berdasarkan sistem Unified

6. Uji Pemadatan

Uji pemadatan dilakukan dengan uji proctor sebagai uji standar. Dari hasil uji pemadatan tersebut diperoleh kadar air optimum, berat isi kering, berat isi basah dan berat isi jenuh. Pada penelitian ini uji pemadatan dilakukan dua kali ulangan dan hasil pengujian tertera pada Tabel 10 dan Tabel 11.

Dari tabel di atas, didapatkan rata-rata kadar air optimum adalah sebesar 35.92 % dan rata-rata berat isi kering maksimum ( dmax) sebesar 1.20 g/cm3. Nilai kadar air optimum dan berat isi kering maksimum tersebut merupakan nilai uji pemadatan standar sebagai acuan untuk melakukan pemadatan, baik uji pemadatan di laboratorium maupun pemadatan di lapangan. Pada penelitian


(41)

71 sebelumnya untuk jenis tanah latosol (Herlina, 2003) diperoleh kadar air optimum sebesar 33.50 %, berat isi kering sebesar 1.30 g/cm3, berat isi basah sebesar 1.74 g/cm3, dan berat isi jenuh sebesar 1.40 %, sedangkan penelitian (Ratnasari, 2007) diperoleh kadar air optimum sebesar 33.02 %, berat isi kering sebesar 1.26 g/cm3, berat isi basah sebesar 1.68 g/cm3, dan berat isi jenuh sebesar 1.41 %. Hal ini dapat terjadi disebabkan oleh jenis tanah yang digunakan berbeda dan juga dapat diakibatkan pada proses pemadatan yang tidak konsisten sehingga energi pemadatan yang diberikan berbeda.

Wesley (1973) menyatakan bahwa tanah yang dipakai untuk pembuatan tanggul, bendungan tanah, atau dasar jalan harus dipadatkan untuk menaikkan kekuatannya, memperkecil kompresibilitas, dan daya rembes air serta memperkecil pengaruh air terhadap tanah tersebut. Tujuan pemadatan tanah di lapangan yaitu memadatkan tanah pada keadaan kadar air optimumnya, sehingga tercapai keadaan yang paling padat. Dengan demikian tanah tersebut akan mempunyai kekuatan yang relatif besar, kompresibilitas kecil, dan memperkecil pengaruh air terhadap tanah.

Menurut Pratita (2007), tanah yang memiliki kadar air rendah maka tanah tersebut akan mengeras atau kaku dan sukar dipadatkan. Jika kadar air ditambahkan, maka air itu akan berfungsi sebagai pelumas sehingga tanah tersebut akan mudah dipadatkan dan ruang kosong antara butir menjadi lebih kecil. Pada kadar air yang lebih tinggi lagi, tingkat kepadatan tanah akan turun lagi karena pori-pori tanah menjadi penuh terisi air yang tidak dapat dikeluarkan dengan cara pemadatan. Hasil perhitungan uji pemadatan standar selengkapnya pada Lampiran 5.

7. Uji Tumbuk Manual

Uji tumbuk manual dilaksanakan di laboratorium dengan alat dan energi pemadatan tertentu. Alat yang digunakan dalam uji tumbuk manual maupun proses pemadatan tanggul ini adalah penumbuk (rammer) yang terbuat dari kayu. Pada proses uji tumbuk manual dipergunakan cetakan dengan ukuran yang telah disesuaikan dengan rammer buatan.


(42)

72 Spesifikasi pemadatan pada Tabel 5 diperoleh dari pengujian yang dilaksanakan dengan variasi jumlah tumbukan untuk mendapatkan nilai kadar air yang mendekati optimum dan berat isi kering yang mendekati maksimum dari hasil pengujian standar. Berat isi kering dihitung berdasarkan persamaan (15), sedangkan kadar air diteliti kembali dengan persamaan (4).

Uji tumbuk manual dilakukan 2 kali ulangan dengan 3 lapisan tanah pada setiap ulangan dan jumlah tumbukan yang berbeda seperti terlihat pada Lampiran 6. Dari hasil uji tumbuk manual didapatkan nilai energi pemadatan sebesar 241.326 kJ/m3 dan RC 90.60% dengan jumlah tumbukan 160. Untuk mendapatkan nilai RC yang besar, maka dibutuhkan energi pemadatan yang besar. Tingkat energi pemadatan yang besar akan meningkatkan nilai berat isi keringnya. Jumlah tumbukan yang didapatkan akan dijadikan pembanding dalam menghitung jumlah tumbukan yang akan diberikan pada model tanggul dengan menggunakan persamaan (17).

.

Tabel 10. Jumlah tumbukan pada tiap lapisan Lapisan ke- Panjang (cm) Lebar (cm) Luas Permukaan

(cm2)

Jumlah Tumbukan

1 140 50 7000 933

2 119 50 5950 793

3 110 50 5500 733

4 93 50 4650 620

5 76 50 3800 507

6 63 50 3150 420

7 50 50 2500 333

8 33 50 1650 220

Dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang menggunakan jenis tanah latosol, diperoleh hasil uji tumbuk manual yang berbeda menurut Darmastuti (2005) diperoleh RC sebesar 91. 44% dengan jumlah tumbukan sebanyak 75 tumbukan dan tinggi jatuhan 20 cm, sedangkan menurut Ratnasari (2007) diperoleh RC sebesar 84.13% dengan jumlah tumbukan sebanyak 150 tumbukan dan tinggi jatuhan 20 cm. Hal ini dapat disebabkan karena kadar air optimum yang didapatkan berbeda karena perbedaan jenis tanah yang


(43)

73 digunakan. Selain itu, dapat juga disebabkan oleh energi yang diberikan pada saat penumbukan tidak konsisten. Jumlah energi pemadatan pada uji tumbuk manual dihitung dengan menggunakan persamaan (13) dan diperoleh CE (energi pemadatan) adalah sebesar 241 326 kJ/m3.

Nilai RC pada penelitian Ratnasari (2007) sebesar 84.13% lebih kecil daripada nilai RC tanah gleisol yang digunakan kali ini yaitu sebesar 90.60%. Nilai permeabilitas pada penelitian Ratnasari (2007) lebih besar daripada nilai RC tanah gleisol yang digunakan kali ini. Hal ini membuktikan bahwa semakin padat susunan partikel tanah tubuh tanggul, maka permeabilitas semakin kecil

Lee dan Singh (1971) dalam Bowles (1989) menyebutkan bahwa kepadatan relatif yang bersesuaian dengan kerapatan relatif nol adalah 80% sehingga kepadatan relatif tidak akan pernah kurang dari 80%. Kepadatan relatif merupakan tolok ukur angka pori di lapangan yang dinyatakan dalam berat isi maksimum (ρd maks), minimum (ρd min) dan di lapangan (ρdn) sebagai:

Dr =

min min

d dmaks

d dn dn

dmaks x ………(18)

Setelah diperoleh hasil uji tumbuk manual, maka dibuatlah model tanggul dengan pemadatan. Perlakuan pemadatan sama dengan perlakuan uji tumbuk manual dengan jumlah lapisan sebanyak 8 lapisan. Jumlah tumbukan pada tiap lapisan tertera pada Tabel 10. Perhitungan jumlah tumbukan tiap lapisan pada model tanggul disajikan pada Lampiran 7. Setelah tanggul terbentuk dalam kotak model, air dialirkan.

C. Penyebaran Air Rembesan Pada Model Tanggul

Tabel 11. Debit inlet pada model tanggul

Ulangan Qin(ml/det)

1 91.6

2 90.3

3 80.6

Rata-rata 87.5

Debit aliran air (debit inlet) yang diberikan pada model tanggul diukur sebanyak 3 kali ulangan untuk setiap pembuatan model tanggul. Rata-rata debit


(44)

74

inlet yang diberikan yaitu 87.5 ml/det. Nilai debit inlet rata-rata yang diberikan lebih besar daripada nilai debit inlet pada penelitian Ratnasari (2007) yaitu sebesar 60.0ml/det. Selama pengaliran dilakukan pengambilan foto pada model tanggul setiap 3 menit. Debit inlet (Qin) yang diberikan pada tiga kali ulangan disajikan pada tabel 11.

Tabel 12. Hasil pengukuran debit rembesan (Qout)

ulangan t (menit)

Volume (ml) Qout (ml/jam)

Ulangan Ulangan

Tanggul 1

Tanggul 2

Tanggul 3

Tanggul 1

Tanggul 2

Tanggul 3

0 0 0 0 0 0 0 0

1 5 168 112 170 2016 1342.8 2041.2

2 10 330 196 316 1980 1177.2 1897.2

3 15 498 284 464 1980 1137.6 1857.6

4 20 670 374 612 2016 1123.2 1836.0

5 25 840 462 762 2016 1108.8 1828.8

6 30 1010 554 912 2016 1108.8 1825.2

7 35 648 1060 1112.4 1818.0

8 40 742 1210 1112.4 1814.4

9 45 836 1360 1116.0 1814.4


(45)

75 Rata-rata debit outlet yang terjadi pada 3 kali pembuatan model tanggul yaitu 1648.8 ml/jam atau 0.458 ml/det. Pengukuran debit outlet dilakukan setiap 5 menit mulai dari air keluar melalui pipa outlet sampai debit outlet konstan. Debit

outlet (Qout) pada model tanggul disajikan pada Tabel 12 dan diberikan dengan bentuk grafik seperti Gambar 17.

1. Pengamatan Garis Freatik

Pengamatan langsung terhadap model tanggul mempermudah dalam mempelajari teori garis aliran pada tubuh tanggul. Melalui pengamatan ini dapat dilihat secara langsung bagaimana proses perembesan air yang terjadi di dalam tubuh tanggul. Dengan adanya proses perembesan air secara visual ini maka dapat dibandingkan hasilnya dengan teori yang sudah ada. Kelebihan yang diperoleh dari penggunaan model ini yaitu dapat menggambarkan batas atas dari rembesan sehingga garis aliran yang terjadi dapat diperoleh secara lebih tepat untuk menggambarkan kondisi sesungguhnya di lapangan (Jumikis, 1962 dalam Praja, 2007). Hal ini disebabkan adanya kemungkinan beberapa kondisi batas pada tanggul di lapangan yang tidak dapat diperhitungkan dalam teori, sehingga menyebabkan perbedaan hasil antara teori dan kondisi di lapangan.

Percobaan pada model tanggul yang dialiri air dilakukan sebanyak 3 kali ulangan untuk diamati garis freatiknya setiap 3 menit. Waktu yang dibutukan untuk aliran air untuk sampai ke outlet pada setiap ulangan disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13. Waktu air mencapai outlet dan zona basah (a) model tanggul

Ulangan Waktu (menit) a (cm)

1 107 21.00

2 146 23.19

3 104 22.13

Rata-rata 119 22.11

Pengaliran air rata-rata membutuhkan sekitar 119 menit untuk mencapai

outlet dengan panjang zona basah (a) rata-rata sebesar 22.11 cm. Nilai panjang zona basah (a) rata-rata yang diperoleh pada penelitian sebelumnya disajikan pada Tabel 14.


(46)

76 Pada penelitian ini diperoleh panjang zona basah lebih besar. Hal ini diakibatkan karena perbedaan penggunan jenis tanah maupun ukuran partikel tanah yang digunakan. Selain itu, dapat juga diakibatkan pemadatan pada model tanggul tidak sama sehingga penyebaran air pada tubuh tanggul lebih besar yang mengakibatkan panjang zona basah yang terbentuk lebih besar pula.

Tabel 14. Nilai a metode pengamatan langsung penelitian sebelumnya

Peneliti a (cm)

Ratnasari (2007) 19.9

Darmastuti (2005) 16.0

Latif (2004) 17.7

Panjang zona basah dan waktu yang berbeda-beda yang terjadi pada aliran air untuk menuju outlet disebabkan nilai kepadatan ( d) yang tidak mungkin persis sama pada setiap ulangan, meskipun spesifikasi pemadatan yang dilakukan sama. Hal itu menyebabkan nilai permeabilitas model tanggul setelah dialiri air juga berbeda. Semakin padat, maka nilai permeabilitas akan semakin kecil. Melalui pengambilan foto secara langsung dapat diketahui garis freatik pada tubuh model tanggul seperti terlihat pada Gambar 18. Pola penyebaran air dalam tubuh tanggul yang dilihat dari pengamatan secara langsung garis freatik secara lengkap disajikan pada Lampiran 9.

Garis freatik yang disajikan pada Lampiran 9 adalah perubahan setiap 3 menit. Perubahan yang terjadi tidak terlalu drastis pada setiap 3 menit yang berurutan. Hal ini disebabkan nilai permeabilitas tanah gleisol pada model tanggul setelah pengaliran termasuk dalam nilai rendah. Garis freatik memotong tubuh model tanggul (sampai pada lereng model tanggul) membutuhkan waktu sekitar 99 menit. Semakin rendah nilai permeabilitas, maka garis freatik yang memotong tubuh model tanggul akan semakin lama mencapai lereng model tanggul tersebut. Dengan kata lain, semakin besar nilai permeabilitas, maka akan semakin cepat aliran air (rembesan) pada tubuh model tanggul.


(47)

77 Gambar 18. Garis freatik pada model tanggul melalui pengamatan langsung 2. Program Geo-Slope

Data dimensi yang dimasukkan ke dalam program Seep/W adalah dimensi model tanggul yang terdapat pada Lampiran 10. Panjang model tanggul adalah 140 cm dan tinggi 20 cm. Nilai pF dan permeabilitas adalah nilai yang digunakan untuk menggambar jaringan aliran pada program Seep/W. Garis freatik hasil program Seep/W pada tubuh model tanggul disajikan pada Gambar 19.

Gambar 19. Garis freatik pada model tanggul berdasarkan program Seep/W


(48)

78 Penggambaran jaringan aliran dilakukan sesuai dengan prosedur yang dikemukakan oleh Hardiyatmo (1992). Melalui program Seep/W diperoleh panjang zona basah sebesar 18.44 cm. Nilai ini merupakan nilai yang paling mendekati dengan aktualnya (pengamatan langsung). Dari gambar analisis program Seep/W dan pengamatan langsung pada model tanggul melalui pengambilan foto aliran, bentuk garis rembesan/garis freatik model tanggul dari hulu ke hilir tanggul akan semakin menurun. Garis freatik terbentuk karena adanya pergerakkan air di sebelah hulu menuju bagian hilir tanggul. Dengan adanya tekanan air di sebelah hulu maka akan ada kecenderungan terjadinya aliran air melewati pori-pori di dalam tubuh tanggul. Apabila gaya yang menahan lebih besar dari gaya yang mengalirkan maka aliran air tidak akan memotong tubuh tanggul, sebaliknya jika gaya yang menahan lebih kecil daripada gaya yang mengalirkan maka aliran air akan cepat sampai ke bagian hilir tanggul. Peristiwa ini dapat dicirikan dengan adanya lereng basah pada bagian hilir tanggul atau dikenal dengan panjang zona basah (a). Jaringan aliran yang terjadi pada tubuh model tanggul melalui program Seep/W digambarkan seperti Gambar 20. Tanggul dialiri air dengan debit yang tetap yaitu 87.5 ml/det. Garis – garis ekuipotensial terbentuk pada daerah hulu tanggul dan tegak lurus dengan garis aliran. Garis freatik yang merupakan batas antara tanah jenuh dan tidak jenuh merupakan muka air rembesan pada tubuh tanggul. Setiap lapisan tanah yang berada di bawah garis freatik akan jenuh oleh air yang merembes. Air yang merembes membentuk garis aliran mulai dari lereng hulu tanggul dimana air mulai masuk dan merembes sampai pada hilir model tanggul. Garis freatik merupakan garis yang pertama kali menyentuh lereng hilir tanggul dan membentuk zona basah.

Menurut Pratita (2007), zona basah yang memotong tubuh tanggul akan menyebabkan terjadinya gejala piping. Jika hal ini dibiarkan terjadi maka debit rembesan melalui piping akan merusak tanggul. Salah satu upaya agar tanggul tetap stabil maka harus dibuat saluran drainase dan penggunaan filter pada tubuh tanggul tersebut. Debit rembesan merupakan kapasitas rembesan air yang mengalir ke hilir model tanggul (Qout). Debit rembesan yang terjadi pada sebuah tanggul diusahakan agar tidak melebihi debit kritis (Qc), jika hal tersebut


(49)

79 dibiarkan maka kemungkinan akan timbulnya erosi bawah tanah (piping). Besarnya Qc yaitu sekitar 5% dari debit rata-rata yang masuk ke dalam tanggul (Qin). Debit rembesan (Qout) pada tanggul untuk penelitian ini dengan pengukuran langsung adalah 1648.8 ml/jam atau 0.458 ml/det, dimana debit kritis (Qc) sebesar 4.375ml/det. Maka, pada model tanggul kali ini tidak terjadi

piping karena debit rembesan dari ketiga metode lebih kecil dari debit kritisnya (Qout < Qc).

3. Analisis Grafis

Penggambaran jaringan aliran dengan metode grafis adalah berdasarkan dimensi dan penampang melintang model tanggul seperti pada Lampiran 10. Dengan mengetahui nilai dari Hp, , dan d, maka dapat dihitung panjang zona basah (a) menggunakan persamaan (1).

Perhitungan zona basah secara empiris dilakukan terhadap model dan keadaan tanggul sebenarnya. Dari perhitungan yang telah dilakukan, diperoleh nilai a pada model sebesar 12.22 cm dan keadaan sebenarnya 146.59 cm. Jika diperbandingkan maka 12.22 : 146.59 = 1 : 12, sesuai dengan rasio antara ukuran model tanggul dan ukuran tanggul yang sebenarnya. Nilai a sebesar 12.22 cm menunjukkan titik perpotongan antara garis aliran dengan muka model tanggul di sebelah bagian hilir. Nilai a juga berarti bahwa permulaan aliran air yang keluar dari tubuh tanggul terletak pada jarak 12.22 cm dari ujung bawah permukaan model tanggul bagian hilir. Titik inilah selanjutnya yang digunakan sebagai acuan dalam perhitungan dan penggambaran garis freatik. Nilai x dan y merupakan jarak horizontal dan vertikal antara a dengan dasar tanggul. Nilai xo dan yo merupakan jarak horizontal dan vertikal antara a dengan titik pada jarak 0.3S (titik asal garis freatik), yang pada Gambar 4 disebut 0.3D.

Garis freatik merupakan kurva parabola, maka dalam penentuannya digunakan persamaan parabola sederhana, yaitu pada persamaan (2) dan (3), sehingga diperoleh nilai K sebesar 1.65 x 10-3 cm-1. Posisi titik – titik pada garis freatik dapat diperoleh secara empiris seperti pada Tabel 15. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 11.


(50)

80 Tabel 15. Posisi titik – titik pada garis freatik

Parameter Posisi

Jarak

horizontal (xi)

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Jarak vertikal (yi = K* xi2)

0.000 0.165 0.660 1.485 2.640 4.125 5.940 8.085 10.560

Penggambaran garis freatik dengan program Geo-Slope menunjukkan bahwa tidak ada garik freatik yang berbentuk parabola. Namun mengalami penyesuaian, yaitu berangsur –angsur menjadi tegak lurus terhadap muka tanggul pada garis muka air. Hal ini disebabkan karena muka tanggul bagian hulu merupakan garis ekuipotensial dan kemiringan garis ekuipotensial tegak lurus terhadap garis aliran (Wesley, 1973).

Gambar 21. Perbandingan letak zona basah untuk 3 metode


(51)

81 Penelitian ini menunjukkan nilai panjang zona yang diperoleh secara grafis jauh berbeda dari kedua metode lainnya. Hal ini disebabkan karena analisis grafis tidak memperhitungkan sifat fisik tanah sehingga setiap tanggul dengan dimensi dan perlakuan yang sama dari tiap jenis tanah akan menghasilkan panjang zona basah yang sama secara grafis. Hal ini disebabkan sifat-sifat fisik tanah yang berbeda-beda untuk tiap jenis tanah, dan nilai yang akan digunakan adalah nilai yang diperoleh secara visual. Metode pengamatan langsung dan progran Seep/W cukup mendekati. Oleh karena itu, program Geo-Slope merupakan metode yang paling tepat untuk memperoleh nilai yang mendekati dengan kenyataan sebenarnya. Perbedaan ketiga metode dapat terlihat pada Gambar 21.

Rembesan air pada tubuh tanggul mengalir dari batas muka air ke dasar bagian tubuh tanggul. Rembesan air dipengaruhi oleh gaya gravitasi dan kapilaritas. Meskipun pola aliran pada tanggul selalu bergerak menuju ke bagian dasar tanggul tetapi pengaruh dari kapilaritas tanah dapat terjadi seperti terlihat pada Gambar 21. Akibatnya, bagian tanggul yang berada di atas muka air juga menjadi basah.


(52)

82 V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pola penyebaran air rembesan pada tubuh tanggul dapat diperlihatkan dengan baik melalui pembuatan model tanggul

2. Penyebaran air rembesan yang ditunjukkan dengan garis freatik dapat diketahui dengan pengamatan langsung, analisis grafis, dan program Geo-Slope. Penyebaran air rembesan dengan pengamatan langsung memberikan hasil yang hampir sama dengan program Geo-Slope.

3. Panjang zona basah (a) pada model tanggul melalui pengamatan langsung diperoleh sebesar 22.11 cm, dengan analisis grafis sebesar 12.22 cm, dan melalui program Geo-Slope sebesar 18.44 cm. Dengan demikian, panjang program Geo-Slope (Seep/W) adalah metode yang lebih baik dibandingkan analisis grafis untuk mendekati hasil yang sebenarnya.

4. Pola rembesan dapat ditunjukkan dengan jaringan aliran hasil program Geo-Slope. Garis ekuipotensial terbentuk di hulu model tanggul dan tegak lurus dengan garis aliran. Garis freatik merupakan muka air rembesan pada tubuh model tanggul.

B. Saran

1. Penelitian lebih lanjut tentang rembesan dalam tubuh tanggul berbahan tanah gleisol yang dilengkapi dengan filter drainase dan pengukuran kadar air pada model tanggul perlu dilakukan.

2. Penelitian lebih lanjut mengenai pengembangan analisis grafis agar dapat mempertimbangkan sifat fisik dan mekanik tanah.


(1)

92 3. Klik OK.

j. Pembuatan elemen

1. Tentukan elemen-elemen pada node-node yang telah dibuat, seperti di bawah ini :

2. Pilih menu Keyln, pilih sub menu Element maka akan tampil kotak dialog seperti berikut:

k. Penentuan kondisi batas (boundary conditions)


(2)

93 Lampiran 12. (Lanjutan)

Pilih menu Keyln, klik Flux Sextion, klik OK maka akan tampil kotak dialok seperti dibawah ini :

m. Verifikasi data

1. Pilih menu Tool, lalu klik Verify, selanjutnya akan tampak kotak dialog seperti di bawah ini:


(3)

94 2. Hasil dari penggambaran Boundary Condition dan Flux Section harus

menghasilkan 0 error, juga masih ada yang error berarti harus diulang dalam penggambarannya.

3. Jika telah 0 error, klik done.

n. Pemecahan masalah

1. Pilih menu Tool, lalu klik Solve, selanjutnya akan tampak kotak dialog seperti di bawah ini:

2. Klik Graph, maka grafik akan muncul seperti pada kotak dialog di bawah ini:


(4)

95 Lampiran 12. (Lanjutan)

o. Pembuatan Kontur

Pilih menu Tools, lalu klik contour maka akan muncul garis freatik dan nilai flux section seperti di bawah ini :


(5)

Pandjaitan dan Erizal.

RINGKASAN

Tanggul merupakan salah satu bentuk dari bendungan urugan homogen. Dikatakan demikian, karena tanggul mempunyai bahan pembuat dan bentuk yang hampir sama dengan bendungan. Hampir semua tanggul dibuat dengan bahan tanah yang hampir sejenis dan gradasinya (susunan ukuran butiran tanahnya) hampir seragam.

Pembuatan tanggul merupakan salah satu usaha dalam konservasi tanah dan air. Tanggul dipakai untuk melindungi daerah irigasi dari banjir yang disebabkan oleh sungai atau laut. Tanggul yang dibangun diharapkan tetap kuat dan kokoh terhadap gaya - gaya yang ditimbulkan akibat tergenangnya air di dalam waduk sesuai umur ekonomis tanggul. Salah satu masalah yang sering terjadi pada bendungan urugan, termasuk tanggul adalah adanya rembesan pada tubuh bendungan tersebut. Rembesan ini mempunyai pengaruh yang dapat merusak stabilitas bangunan karena terangkutnya bahan – bahan halus sehingga dapat menyebabkan terjadinya piping. Jika hal ini sudah terjadi, maka terbentuklah lajur rembesan (jaringan aliran) antara bagian hulu dan hilir bangunan.

Tujuan dari penelitan ini adalah untuk menganalisis pola penyebaran rembesan (seepage) dan panjang zona basah di dalam tubuh tanggul melalui pengamatan di laboratorium dengan menggunakan model tanggul. Pola penyebaran rembesan dianalisis dengan metode grafis dan program Geoslope (Seep/W), kemudian hasilnya diperbandingkan.

Model tanggul yang dibuat direncanakan untuk mengkontrol kedalaman air kurang dari 1.5 m dengan lebar atas minimum tanggul 1.5 m. Tanggul yang direncanakan merupakan model dengan skala 1 : 12. Pemadatan tanah dilakukan dengan uji pemadatan standar (proctor test). Dari hasil uji pemadatan tersebut diperoleh kadar air optimum sebesar 35.92% dan rata-rata berat isi kering maksimum ( dmax) sebesar 1.20 g/cm3. Nilai kadar air optimum tersebut

digunakan sebagai acuan untuk melakukan uji pemadatan pada kotak (uji tumbuk manual) yang selanjutnya menjadi nilai perbandingan untuk melakukan pemadatan tanah pada model tanggul. Pada uji tumbuk manual didapatkan RC (Ratio Compaction) sebesar 90.60% dengan jumlah tumbukan per lapisan sebanyak 160 tumbukan dan tinggi jatuhan sebesar 30 cm. Pada penelitian ini juga didapatkan rata-rata nilai permeabilitas lapangan sebesar 1.94 cm/jam, sedangkan rata-rata hasil uji permeabilitas pada tanggul setelah dijenuhkan adalah sebesar 0.13 cm/jam.

Dari pengamatan secara langsung diperoleh panjang zona basah rata-rata 22.11 cm, sedangkan dengan metode grafis diperoleh 12.22 cm, dan dengan program Geoslope sebesar 18.44 cm. Waktu rata-rata aliran air sampai keluar di outlet adalah 119 menit. Debit yang masuk melalui inlet sebesar 87.5 ml/det dan


(6)

debit yang keluar di outlet 0.458 ml/det. Ketiga metode yang digunakan menghasilkan nilai panjang zona basah yang berbeda-beda. Namun, metode pengamatan langsung dan program geo-slope menghasilkan nilai yang berdekatan, sedangkan metode grafis menghasilkan nilai yang jauh berbeda. Hal ini disebabkan metode grafis tidak memperhitungkan sifat fisik dan mekanik tanah. Dengan metode grafis setiap model tanggul (dengan berbagai jenis tanah) yang sama dimensinya akan menghasilkan panjang zona basah yang sama.

Berdasarkan hasil penelitian, penyebaran air rembesan berdasarkan rumus empiris menghasilkan panjang zona basah yang lebih kecil dibandingkan dengan metode pengamatan langsung dan program Seep/W. Garis – garis ekuipotensial terbentuk pada daerah hulu tanggul dan tegak lurus dengan garis aliran. Garis freatik yang merupakan batas antara tanah jenuh dan tidak jenuh merupakan muka air rembesan pada tubuh tanggul. Setiap lapisan tanah yang berada di bawah garis freatik akan jenuh oleh air yang merembes. Air yang merembes membentuk garis aliran mulai dari lereng hulu tanggul dimana air mulai masuk dan merembes sampai pada hilir model tanggul. Garis freatik merupakan garis yang pertama kali menyentuh lereng hilir tanggul dan membentuk zona basah.

Kata kunci : model tanggul, pemadatan, pola penyebaran air rembesan, panjang zona basah, geo- slope.