Berdasarkan penelitian di Iran, diketahui bahwa terdapat hubungan yang kuat antara lingkar lengan atas LiLA dengan IMT dalam mendeteksi KEK
Khadivzadeh, 2002. Pengukuran LiLA dimaksudkan untuk mengetahui prevalensi wanita usia subur usia 15
–45 tahun dan ibu hamil yang menderita kurang energi kronis KEK. LiLA diukur dengan menggunakan pita LiLA
sepanjang 33 cm dengan ketelitian 0,1 cm Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007.
Parameter nasional untuk menilai WUS dengan risiko KEK di Indonesia adalah LiLA 23,5 cm Supariasa dkk, 2012; Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 1996. Bertolak dari pernyataan di atas, penelitian mengenai validitas ukuran LiLA terhadap IMT dalam mendeteksi risiko
kekurangan energi kronis pada wanita 20 –45 tahun di Indonesia analisis
data Riskesdas 2007, diperoleh hasil bahwa cut –off LiLA yang paling
optimal berada pada titik 24,95 cm dengan nilai sensitivitas 85 dan spesifisitas 75. Nilai ini lebih besar bila dibandingkan dengan cut
–off point LiLA yang digunakan Depkes RI hingga saat ini di Indonesia dalam
mendeteksi risiko KEK, yaitu 23,5 cm Ariyani, 2012; Ariyani dkk, 2012.
Selain IMT dan LiLA, kriteria lain yang dapat mengindikasikan seorang WUS berisiko tinggi menderita KEK adalah berat badan BB 42 kg saat
sebelum hamil, BB 40 kg pada kehamilan trimester I, dan tinggi badan TB 145 cm karena WUS yang pendek cenderung memiliki ukuran
panggul yang kecil disprporsi cephalo pelvic, anatomi tubuh yang pendek akan membatasi ruang maksimal untuk pertumbuhan janin dan risiko ini
bertambah jika kebutuhan gizi WUS selama kehamilan tidak terpenuhi Kalanda, 2007; Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1996.
Kurang energi kronis KEK merupakan keadaan dimana ibu menderita kekurangan makanan yang berlangsung menahun kronis sehingga
menimbulkan gangguan kesehatan pada WUS dan ibu hamil Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1996. Tanda atau gejala seseorang menderita
KEK antara lain badan lemah, muka pucat, serta perut membuncit akibat pembesaran hepar Adriani dan Wirjatmadi, 2012; Podja dan Kelley, 2000.
2.3 Faktor –Faktor yang Memengaruhi KEK pada WUS
Faktor
–
faktor yang memengaruhi KEK pada WUS terbagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal. Internal individukeluarga yaitu genetik,
obstetrik, dan seks. Sedangkan eksternal adalah gizi, obat –obatan,
lingkungan, dan penyakit Supariasa dkk, 2012. Genetik memegang peranan penting seseorang menderita KEK dikarenakan kekurangan gizi pada ibu
hamil akan melahirkan anak dengan berat badan lahir rendah BBLR, jika sudah begitu anak akan sulit untuk tumbuh dengan status gizi baik,
berdasarkan hasil penelitian bahwa anak BBLR berisiko tinggi untuk menderita KEK di masa dewasa Supariasa dkk, 2012; Marlenywati, 2010;
Arisman, 2009.
Obstetrik dalam hal ini usia pernikahan, usia kehamilan, paritas, jarak kehamilan, dan kesehatan ibu berperan aktif dalam menimbulkan risiko KEK
pada WUS. Usia pernikahan saat remaja maka akan menimbulkan konsekuensi kehamilan di usia remaja pula. Wanita yang hamil pada usia
20 tahun merupakan kelompok paling rawan untuk terjadinya risiko KEK dikarenakan terjadinya kompetisi nutrisi antara ibu hamil dan janin yang
dikandungnya, hal ini berkaitan dengan proses pertumbuhan ibu hamil yang masih berlangsung karena usia remaja serta kebutuhan janin dalam
kandungan. Selain itu, paritas tinggi lebih dari 3 kali menandakan jarak kehamilan yang pendek, hal ini berbahaya untuk ibu hamil dikarenakan waktu
pemulihan bagi rahim untuk menyokong janin berikutnya tidak optimal begitu juga dengan kebutuhan gizi WUS yang terkuras habis selama masa
hamil dan meyusui sehingga jarak kehamilan yang berikutnya dianjurkan saat usia anak sebelumnya minimal dua tahun Adriani dan Wirjatmadi 2012;
Wallace et al, 2006 dalam Marlenywati, 2010. Gizi atau asupan makanan yang kurang, baik dalam hal ketersediaan pangan atau susunan variasi
makanan yang salah serta absorpsi metabolisme yang buruk dapat menyebabkan KEK pada WUS dikarenakan ketidaksesuaian antara kebutuhan
dan pemenuhan nutrisi Almatsier, 2009.
Jika membahas tentang faktor lingkungan terhadap risiko KEK pada WUS tentu tidak akan ada habisnya. Karena cakupannya sangatlah luas, meliputi
sosio
–
ekonomi, ketersediaan pangan alam, teknologi dan budaya. Sosio
–
ekonomi meliputi pendidikan, pekerjaan, dan pengeluaran pangan. Pendidikan merupakan hal utama dalam peningkatan sumber daya manusia
Puli, 2014; Arisman, 2009.
Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi kualitas dan kuantitas makanan, karena tingkat pendidikan yang lebih tinggi
diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi khususnya konsumsi makanan yang lebih baik. Kemudian, WUS yang berperan sebagai
ibu rumah tangga IRT memiliki tingkat kesehatan yang lebih rendah dibandingkan wanita yang memiliki pekerjaan dan rutinitas di luar rumah
selain berperan sebagai IRT, seperti wanita karir dan pekerja swasta aktif. Selain itu, pola pengeluaran rumah tangga dapat mencerminkan tingkat suatu
kehidupan masyarakat, indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan adalah komposisi pengeluaran untuk makanan dan non
makanan. Kesejahteraan dikatakan baik jika persentase pengeluaran untuk makanan semakin kecil dibandingkan dengan total pengeluaran Puli, 2014.
Menurut Schaible dan Kauffman 2007 dalam Hidayati 2011 mengenai hubungan antara kurang gizi dengan penyakit infeksi tergantung dari
besarnya dampak yang ditimbulkan terhadap status gizi itu sendiri. Artinya jika infeksi masih akut dan derajat keparahannya masih rendah, maka tidak
akan terlalu berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Sebaliknya, jika infeksi sudah kronis dan berlangsung lama akan dapat memengaruhi status
gizi orang tersebut sehingga dengan kata lain penyakit apapun yang bersifat kronis akan berpengaruh terhadap status gizi seseorang.