BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Hakikat  belajar  di  perguruan  tinggi  adalah  membangun  pola  berpikir dalam  struktur  kognitif  mahasiswa,  bukan  sekedar  secara  pragmatis  untuk
memperoleh  materi  kuliah  sebanyak-banyaknya  dan  memperoleh  nilai  yang tinggi  Wahidin,  2004.  Dengan  pola  berpikir  yang  terbangun  pada  struktur
kognitif  mahasiswa,  diharapkan  mereka  mampu  mengintegrasikan  pengetahuan dan  pengalaman  sebelumnya  dengan  sikap  dan  tatanan  nilai  yang  ada  di
lingkungannya,  untuk  dapat  memecahkan  masalah  yang  dihadapi  dalam  belajar dan masalah kehidupan pada umumnya.
Namun  proses  berpikir  berbeda  dengan  proses  pembelajaran.  Proses pembelajaran  merupakan  proses  menerima  pengetahuan  dari  luar  dan  disimpan
dalam  pikiran.  Dalam  proses  berpikir,  pengetahuan  merupakan  modal  dasar untuk melakukan proses berpikir, karena tanpa didukung oleh pengetahuan yang
memadai,  hasil  berpikir  kurang  memuaskan,  atau  bahkan  melenceng  dari  yang diharapkan terjadi dalam membuat keputusan.
Menurut Sidjabat 2008, saat ini masih banyak dijumpai pembelajaran di kelas-kelas  di  perguruan  tinggi  sekalipun,  lebih  diarahkan  untuk  mentransfer
pengetahuan  sebanyak-banyaknya  kepada  pebelajar  daripada  mentransfer keterampilan  belajar.  Strategi  pembelajaran  demikian  kurang  memberi  manfaat.
Dengan  strategi  ini,  pebelajar  akan  tumbuh  menjadi  kurang  kreatif,  miskin  ide,
1
dan  pembelajaran  menjadi  “kering”  tidak  bermakna,  karena  mereka  “dipaksa” lebih banyak menguasai bahan atau informasi yang diberikan pengajar, sehingga
mengeleminir  peran,  kreativitas,  dan  tanggung  jawab  mereka.  Mereka  tidak mampu  mengkonstruksi  pengalaman  dan  pengetahuan  mereka  sendiri,  tidak
dapat mengembangkan diri, dan biasanya tidak bisa membandingkan antara teori dengan realitas dalam kehidupan.
Menurut Sidjabat 2008 lebih lanjut, idealnya pembelajaran di perguruan tinggi dewasa ini lebih banyak memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk
memiliki  keterampilan  belajar  yang  memadai.  Mahasiswa  belajar  bukan  hanya untuk  mengingat  fakta-fakta  yang  diberikan  dosen  dalam  perkuliahan,  tetapi
harus  mampu  melihat  berbagai  fenomena  di  balik  fakta.  Proses  belajar  tidak hanya  bertujuan  mengingat  fakta,  tetapi  belajar  melebihi  fakta  learning  beyond
the  facts.  Mengembangkan  proses  belajar  yang  menekankan  pemberian kesempatan  kepada  mahasiswa  untuk  memiliki  keterampilan  belajar  akan  lebih
memberdayakan  dan  bermakna.  Mahasiswa  difasilitasi  untuk  berpikir  dan bertindak  dengan  cara  mereka  sendiri,  sehingga  mereka  merasa  berkontribusi
secara  nyata  melalui  pembelajaran.  Sesuai  dengan  pendapat  Husen  1995:85, “Mahasiswa  harus  dibelajarkan  untuk  menggali  ilmu  sendiri,  menerapkan  ilmu
itu  kepada  apa  yang  sudah  diketahui  sebelumnya.  Tugas  perguruan  tinggi memberikan keterampilan bagaimana ia mampu belajar sendiri”.
Salah  satu  keterampilan  belajar  yang  penting  dikuasai  oleh  mahasiswa adalah  keterampilan  berpikir  sebagai  alat  belajar  tools  of  learning  yang
2
digunakan  untuk  memecahkan  masalah  belajar  dan  kehidupan  pada  umumnya Dahlan, 1996; Wahidin, 2004; Novak  Gowin, 1999; Jones, et al., 1987.
Untuk mengembangkan keterampilan berpikir, para pakar merekomendasi dua  jenis  strategi  berpikir,  yaitu  konvergen  dan  divergen  yang  dikembangkan
secara  seimbang.  Strategi  konvergen  teruji  dapat  meningkatkan  kemampuan berpikir  kritis,  logis,  sistematis,  dan  terencana,  sementara  strategi  divergen
menghasilkan  berpikir  kreatif,  imaginatif,  dan  spontanitas  Guilford  dalam http:en.wikipedia.orgwiki  convergent  and  divergent  productions;  Hudson
dalam  http:www.learning  and  teaching.  infolearningconvergent.htm.  Berpikir merupakan  proses  mental  yang  dilakukan  oleh  seseorang  yang  bertujuan  untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi melalui penafsiran terhadap fenomena. Penelitian ini dilatar belakangi oleh tinjauan terhadap kondisi ideal tentang
hakekat  belajar  dan  kondisi  aktual  sistem  belajar  di  perguruan  tinggi  yang disinyalir  Sidjabat  2008  di  atas,  dan  tinjauan  terhadap  kondisi  ideal  dan  aktual
yang terjadi pada diri mahasiswa seperti akan dipaparkan. Sebagaimana  dimaklumi,  usia  mahasiswa  untuk  strata  1  S1  umumnya
sekitar  18  –  24  tahun,  mereka  berada  pada  masa  remaja  akhir  dan  dewasa  awal, atau  berada  di  antara  keduanya,  yakni  transisi  dari  masa  remaja  ke  masa  dewasa
Hurlock,  1980.  Dilihat  dari  kondisi  ideal,  terdapat  dua  faktor  yang  menjadi tinjauan penelitian ini, yaitu faktor internal dan eksternal.
Dilihat  dari  faktor  internal,  sekurang-kurangnya,  ada  empat  alasan
penelitian  ini  dilakukan. Pertama,  ada  potensi  internal  pada  individu  mahasiswa
untuk  mengembangkan  daya  berpikirnya.  Berdasarkan  perkembangan  kognitif,
3
usia mahasiswa sudah mencapai tahap berpikir “operasional formal”, yaitu sudah mampu  berpikir  abstrak,  hipotetis,  dan  kritis  Piaget,  1983.  Dengan
perkembangan  berpikir  operasional  formal,  cara  berpikir  mahasiswa  sudah memungkinkan  mandiri  daripada  masa  sebelumnya,  yang  diperlukan  untuk
mempersiapkan diri memasuki dunia kerja dan mengembangkan karir masa depan sesuai dengan potensi, bakat, dan minatnya.
Kedua,  ada  dorongan  internal  untuk  meraih  kemandirian  pada  masa
tersebut.  Usia  mahasiswa  berdasarkan  perkembangan  psikososialnya,  mereka sudah mencapai tahap pembentukan identitas Erikson, 1980, di mana kebutuhan
bereksplorasi  sedang  meningkat  dan  sedang  memperjuangkan  kemandirian sebagai  manifestasi  kedewasaan  mereka.  Mereka  sudah  ingin  mandiri  dari
ketergantungan orang tua dan orang dewasa lainnya Hurlock, 1980. Di samping ingin
mandiri, mereka
mulai memperoleh
identitas peran
gender, menginternalisasi  moral,  memilih  karir,  mencoba  beberapa  peran  orang  dewasa,
mencari  identitas diri, dan sebagian mulai bekerja Newman  Newman, 1987. Menurut  Gormly    Brodzinsky  1993:396,  usia  orang  muda  ini  sedang
memasuki  periode  pengambilan  keputusan  dan  dapat  dianggap  dewasa,  meski belum banyak mengambil peran orang dewasa, sebagaimana dikatakannya:”Youth
age is a period of development in which an individual is legally an adult but has not yet undertaken adult work and roles”. Hal ini mengisyaratkan, ciri kedewasaan
seseorang  adalah  kemandirian,  yang  ditunjukkan  oleh  kemampuan  dalam bertanggung  jawab  dan  mengambil  keputusan,  seperti  Fasick  Rice,  1996:336
mengemukakan: One goal of every adolescent is to be accepted as an autonomous
4
adult”.  Pada  usia  tersebut,  mereka  secara  emosi  tidak  ingin  lagi  disebut  kanak- kanak,  tidak  mau  lagi  didikte,  tidak  senang  dikendalikan,  tidak  suka  diatur,  tidak
mau  dinasehati,  dan  tidak  suka  disalahkan  oleh  orang  lain,  apakah  oleh  orang-tua, gurudosen,  atau  orang  dewasa  lainnya,  apalagi  dengan  bahasa  yang  berkonotasi
merendahkan  kemampuan  mereka,  meskipun  kenyataannya  mereka  sering  tidak mandiri dalam bertindak.
Ketiga,  ada  kebutuhan  internal  pada  individu  untuk  mengaktualisasikan
diri  secara  mandiri  sebagai  manifestasi  dari  kedewasaannya  Maslow,  1970, sehingga kemandirian dalam aspek kognitif, sikap, maupun perbuatan, termasuk
kemandirian  dalam  belajar,  merupakan  tugas  perkembangan  usia  mahasiswa. Pada  mulanya  tidak  mudah  bagi  mahasiswa  menumbuhkan  kemandirian  itu,
sebab  usaha  untuk  memutuskan  ikatan  infantil  yang  telah  berkembang  dan dinikmati  dengan  penuh  rasa  nyaman  selama  masa  kanak-kanak,  seringkali
menimbulkan  reaksi  yang  sulit  dipahami  oleh  dirinya  Rice,  1996.  Mereka sering tidak dapat memutuskan simpul-simpul ikatan emosional kanak-kanaknya
dengan  orang-tua  dan  gurudosen  secara  logis  dan  objektif.  Dalam  usaha  itu mereka  kadang-kadang  menentang,  berdebat,  beradu  pendapat,  dan  mengkritik
dengan  pedas  sikap-sikap  orang  dewasa  Thornburg,  1982.  Meskipun  tugas  ini sulit difahami oleh dirinya, orang-tua dan dosen perlu berupaya secara bijaksana
mengembangkan kemandirian mereka, karena mencapai kemandirian merupakan tugas  perkembangan  yang  lazim  bagi  mereka  yang  sudah  menginjak  dewasa
Steinberg, 1993; Rice, 1996; Thornburg, 1982; Lerner dan Spanier, 1980.
5
Keempat,  ada  potensi  internal  untuk  mampu  belajar  secara  mandiri.
Menurut  Merriam    Caffarella  1999,  usia  mahasiswa  dipandang  sudah  cukup matang  dan  mampu  merancang  program  dan  melakukan  kegiatan  belajar  yang
sesuai  dengan  minat  dan  cita-citanya  dan  cara  belajar  mereka  sudah  berbeda dengan cara belajar anak-anak. Para ahli juga berpendapat, usia mahasiswa sudah
mampu  mendiagnose  kebutuhan  belajarnya,  apa  yang  akan  dipelajari  dan bagaimana  cara  mempelajarinya,  dapat  merumuskan  program  belajar,
mengidentifikasi  sumber-sumber  belajar,  memilih  strategi  belajar,  membuat keputusan sesuai dengan kebutuhan belajarnya, mengatur sendiri kegiatan belajar
atas  inisiatifnya  sendiri  tanpa  selalu  tergantung  kepada  orang  lain,  mengikuti proses belajar, dan mengevaluasi hasil belajarnya Gredler, 1989; Knowles, 1970;
Kozma, Belle dan Williams, 1978; Aristo, 2007; Wedmeyer,1973. Dilihat  dari  faktor  eksternal,  ada  tiga  hal  yang  menjadi  alasan  penelitian
ini.  Pertama,  ada  tuntutan  ekternal  dari  sistem  belajar  dengan  Sistem  Kredit
Semester  SKS  yang  berlaku  di  perguruan  tinggi.  Karakteristik  utama  belajar dengan  SKS  menuntut  kemandirian,  baik  dalam  pelaksanaan  proses  belajar
maupun  dalam  pengelolaan  dirinya  sebagai  mahasiswa.  Mahasiswa  dituntut mampu  belajar  sendiri,  mencari,  menemukan,  dan  mendayagunakan  sumber-
sumber  belajar,  memperdalam  dan  mengkaji  sendiri  bahan  perkuliahan  tanpa banyak  menggantungkan  diri  kepada  dosen,  serta  menentukan  apa  yang
bermanfaat  bagi  dirinya,  apalagi  dengan  pembatasan  waktu  studi  yang  ketat, menuntut mereka membuat perencanaan yang matang bagi dirinya dan menuntut
menguasai keterampilan belajar secara mandiri.
6
Kedua, kondisi eksternal dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
iptek sekarang ini menuntut penguasaan keterampilan berpikir kritis dan kreatif dalam  belajar.  Fenomena  kemajuan  iptek  memberi  implikasi  terhadap  dunia
pembelajaran, terutama di perguruan tinggi, menyangkut segi penyediaan sumber belajar dan cara membelajarkan mahasiswa. Keterampilan hidup yang diperlukan
tidak cukup berupa keterampilan yang konvensional saja, tetapi perlu menguasai pelbagai  keterampilan  untuk  memperoleh,  mengelola,  dan  memanfaatkan
informasi seoptimal dan seefektif mungkin bagi kemajuan hidupnya. Kenyataan  sekarang  ini  arus  informasi  terus  meningkat  dan  tidak
mungkin  dapat  dibendung.  Apalagi  dengan  teknologi  internet  yang  merupakan ciri paling menonjol saat ini, akses informasi dari dan ke pelbagai penjuru dunia
dapat dilakukan dengan sangat efisien. Informasi perlu dicari dan ditangkap oleh mahasiswa,  karena  begitu  banyak  tawaran  peluang  memperoleh  informasi  yang
mempersyaratkan  menguasai  pelbagai  keterampilan  untuk  mengakses  dan sekaligus  menyeleksi  informasi  yang  berguna  bagi  dirinya.  Informasi  perlu
dikelola  oleh  mahasiswa,  karena  informasi  yang  diterima  biasanya  belum terstruktur,  sehingga  perlu  menguasai  beberapa  keterampilan  untuk  menata
informasi  tersebut  agar  mudah  difahami.  Informasi  perlu  dimanfaatkan  oleh mahasiswa  dan  untuk  memanfaatkan  informasi,  perlu  menguasai  beberapa
keterampilan agar informasi berguna bagi kemajuan hidupnya. Oleh  karena  informasi  itu  pengetahuan,  maka  pemanfaatan  informasi
sama  artinya  dengan  proses  penyerapan  dan  pengayaan  pengetahuan.  Semakin baik  penguasaan  keterampilan  mengakses  informasi,  semakin  banyak  informasi
7
yang  diperoleh,  yang  berarti  semakin  banyak  pengetahuan  yang  dimiliki. Semakin  baik  penguasaan  keterampilan  menata  informasi,  semakin  banyak
informasi  dan  pengetahuan  yang  dapat  difahami.  Semakin  baik  penguasaan keterampilan untuk menggunakan dan memanfaatkan informasi, semakin banyak
informasi  dan  pengetahuan  potensial  yang  dapat  digunakan  untuk  memecahkan persoalan hidup dan dimanfaatkan untuk mencapai kemajuan hidupnya.
Ketiga,  tuntutan  eksternal  sebagai  hamba  Tuhan  untuk  terus  menerus
mendaya-gunakan potensi berpikir sepanjang hayat. Usia mahasiswa ditinjau dari segi agama Islam, sudah termasuk mukallaf, yaitu yang sudah dikenai kewajiban-
kewajiban agama dan sudah mampu memahami kewajiban agama. Banyak ayat- ayat  al-Qur’an  yang  memberi  pesan  moral  agar  mengembangkan  daya  berpikir,
baik yang berbentuk kalimat retoris, seperti apakah kamu sekalian tidak berpikir?
نو أ
٠ نور
أ ٠
نور د أ
٠ نو
أ ٠
,
atau  firman  Allah  berbentuk kalimat berita dan pernyataan, antara lain:
Terjemah:  Sesungguhnya  dalam  penciptaan  langit  dan  bumi,  dan  silih  berganti malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
yaitu  orang-orang  yang  mengingat  Allah  sambil  berdiri  atau  duduk
8
atau  dalam  keadan  berbaring  dan  mereka  memikirkan  tentang penciptaan  langit  dan  bumi  seraya  berkata:  Ya  Tuhan  kami,
tiadalah  Engkau  menciptakan  ini  dengan  sia-sia,  Maha  Suci  Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. QS., Ali Imran [3]: 190-191.
Terjemah:  Dan  sesungguhnya  Kami  jadikan  untuk  isi  neraka  Jahannam kebanyakan  dari  jin  dan  manusia,  mereka  mempunyai  hati,  tetapi
tidak  dipergunakannya  untuk  memahami  ayat-ayat  Allah  dan mereka  mempunyai  mata  tetapi  tidak  dipergunakannya  untuk
melihat  tanda-tanda  kekuasaan  Allah,  dan  mereka  mempunyai telinga  tetapi  tidak  dipergunakannya  untuk  mendengar  ayat-ayat
Allah. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. QS. Al-A’raf [17]: 179.
Memperhatikan firman Allah tersebut, kata “naar dan jahannam” neraka dapat  diartikan  secara  hakiki  bahwa  Tuhan  sudah  menyediakan  suatu  tempat
yang sangat menyengsarakan untuk orang-orang yang sudah diberi potensi untuk berpikir  tetapi  tidak  mendaya-gunakan  potensi  tersebut,  atau  dapat  diartikan
secara  kiasan  majazi,  akan  tersesat  dan  sengsaralah  bagi  orang  yang  tidak menggunakan daya berpikirnya, baik di dunia maupun akhirat, baik untuk urusan
dunia maupun akhirat. Tuntutan untuk berpikir inilah yang membedakan manusia dengan  hewan,  yang  sama-sama  merupakan  makhuk  Tuhan,  sehingga  Tuhan
menegaskan  dalam  firman  tersebut,  orang  yang  tidak  menggunakan  hati,  mata, dan telinga sebagai alat untuk berpikir, ibarat binatang, bahkan lebih keji.
9
Dilihat  dari  kondisi  aktual,  berdasarkan  penelitian  pendahuluan  untuk keperluan  studi  ini  menemukan:  1  Taraf  keterampilan  belajar  sebagian
mahasiswa,  khususnya  dalam  berpikir  kritis  dan  kreatif  dalam  belajar,  masih rendah;  2  Taraf  kemandirian  belajar  sebagian  mahasiswa,  khususnya  dalam
aspek  sikap  dan  keterampilan,  masih  rendah;  3  Bantuan  untuk  meningkatkan keterampilan  dan  kemandirian  belajar  yang  diberikan  oleh  dosen  Pembimbing
Akademik  PA  dalam  bentuk  layanan  bimbingan  akademik,  belum  optimal sesuai  dengan  kebutuhan  mahasiswa;  4  Dukungan  dan  kebijakan  pimpinan
dalam  menyediakan  layanan  bimbingan  akademik,  belum  optimal  untuk meningkatkan  keterampilan  dan  kemandirian  belajar  mahasiswa,  sehingga
mahasiswa terindikasi kurang terampil dan mandiri dalam belajar. Beberapa  hasil  penelitian  yang  lalu  berkaitan  dengan  bimbingan
akademik,  keterampilan  belajar,  dan  kemandirian  belajar  sudah  banyak dilakukan,  antara  lain  penelitian  Yuwono  2005  menyimpulkan,  bimbingan
akademik di perguruan tinggi umumnya cenderung masih berpola “atas-bawah”, dalam arti bimbingan lebih dipandang sebagai tugas dari “atasan” yang menyatu
dengan tugas mengajar, sehingga memunculkan kinerja bimbingan lebih bersifat instruktif-administratif daripada mengembangkan kepribadian mahasiswa.
Penelitian  Sedanayasa  2003  di  sekolah  menengah  menemukan, penguasaan keterampilan belajar siswa umumnya masih rendah. Untuk solusinya,
Sedanayasa  menawarkan  model  bimbingan  kolaborasi  guru  dan  pembimbing untuk meningkatkan keterampilan belajar dengan pendekatan multimodal.
10
Penelitian  Dahlan  1986  menemukan,  cara  belajar  mahasiswa  tidak berbeda  dengan  cara  belajar  ketika  di  sekolah  menengah.  Menurutnya,  cara
belajar  di  perguruan  tinggi  tidak  cukup  hanya  bersifat  reseptif  dan  reproduktif, tetapi  harus  mampu  mengadakan  penelitian,  belajar,  dan  menemukan  sendiri.
Penelitian  Emosda  1989  menyimpulkan,  proses  pengambilan  keputusan  oleh mahasiswa  berkenaan  dengan  aktivitas  belajar  belum  dilakukan  secara  mandiri,
masih  banyak  bergantung  kepada  kekuatan  eksternal.  Menurutnya,  sikap mahasiswa  terhadap  pembelajaran  yang  demikian  ada  hubungannya  dengan
layanan  bimbingan  kepada  mereka  yang  belum  optimal.  Layanan  bimbingan akademik  yang  belum  optimal  kepada  mahasiswa  diakui  oleh  Ahman  1990
dalam penelitiannya  yang menjelaskan, bahwa untuk memenuhi tuntutan belajar di perguruan tinggi, perlu diintesifkan bimbingan akademik dengan menerapkan
prinsip-prinsip bimbingan yang ideal. Penelitian  yang  lebih  spesifik  dilakukan  oleh  Suriadinata  2000  tentang
“Bimbingan  Akademik  di  Perguruan  Tinggi:  Kepedualian  Dosen  Pembimbing Akademik  dalam  Pembinaan  Kemandirian  Belajar  Mahasiswa  di  Fakultas
Tarbiyah  IAIN  Cirebon”.  Ia  menemukan,  pelaksanaan  bimbingan  akademik belum  optimal  sesuai  dengan  ketentuan  yang  telah  dirumuskan  dalam  pedoman
akademik.  Layanan  bimbingan  akademik  masih  bersifat  formalitas,  sebatas menyelesaikan  tugas  untuk  menanda  tangani  KRS,  sementara  pembimbingan
belajar  belum  banyak  disentuh.  Suriadinata  2000  juga  menemukan,  kecakapan dan kemandirian belajar mahasiswa umumnya belum berkembang secara mantap
dalam  hal:  menangkap  materi  perkuliahan,  memberi  respon  perkuliahan,
11
mengembangkan  materi  perkuliahan,  melakukan  diskusi,  menyelesaikan  tugas tepat waktu, membuat makalah, presentasi, atau membaca buku literatur asing.
Hasil  penelitian  Suriadinata  tersebut  diperkuat  oleh  Gormly Brodzinsky 1993 dan Newman  Newman 1987 yang mensinyalir,
umumnya mahasiswa  belum  mampu  mandiri,  mereka  masih  sering  menggantungkan  diri
kepada orang lain dalam belajarnya Menurut  penelitian  Wahidin  2004,  pebelajar  yang  mendapat  latihan
keterampilan  berpikir,  skor  kemampuan  berpikirnya  lebih  tinggi  daripada pebelajar  yang  tidak  mendapat  latihan  berpikir  Wahidin,  2004.  Para  ahli  juga
sependapat,  bahwa  keterampilan  berpikir  dapat  ditingkatkan  melalui  latihan  dan pembelajaran  de  Bono,  1998;  Som    Dahlan,  2000;  Liliasari,  1996;  Philips,
1997;  Rampingan,  et.al.,  1981.  Oleh  karena  itu  di  Universitas  Kebangsaan Malaysia,  keterampilan  berpikir  kritis  dan  kreatif  masuk  ke  dalam  kurikulum
sebagai  mata  pelajaran  yang  wajib  dipelajari  oleh  seluruh  pebelajar  Wahidin, 2004; Som  Dahlan, 2000. Kriteria proses berpikir yang baik melibatkan empat
komponen:  1  Berpikir  membutuhkan  pengetahuan;  2  Berpikir  melibatkan proses  mental  yang  membutuhkan  keterampilan;  3  Berpikir  bersifat  aktif;  4
Berpikir menghasilkan tingkah laku atau sikap Nickerson, 1985. Rampengan, et al.  1981  dikutip  dari  Wahidin  2004  menjelaskan  bahwa:  1  Proses  berpikir
dapat  dipelajari;  2  Proses  berpikir  adalah  transaksi  aktif  antara  individu,  dan dosen  dapat  membantu  mahasiswa  dalam  konseptualisasi  proses  mental;  3
Proses berpikir berkembang bertahap dan memerlukan strategi yang sistematik.
12
Demikian  pun  kemandirian  belajar.  Kemandirian  belajar  berhubungan dengan  lingkungan  yang  menyediakan  kesempatan  untuk  mengembangkan
aspek-aspek  kemandirian  dalam  belajar,  seperti  kebebasan  yang  bertanggung jawab, rasa identitas, dan kesehatan psikososial Lipps  Skoe, 1998; Baumrind,
1971.  Steinberg  1993:293  menegaskan,”emotional  autonomy  develops  under conditions that encourage both individuation and emotional closeness”. Menurut
Collins 1990:101, “adolescents can become emotionally autonomous form their parents without becoming detached form them”.
Memperhatikan  beberapa  pendapat  tersebut  di  atas,  maka  keterampilan berpikir  dan  kemandirian  dalam  belajar  dapat  dilatih  dan  ditingkatkan  secara
bertahap  melalui  strategi  yang  sistematik.  Layanan  bimbingan  akademik  dapat diprogram secara sistematik untuk membantu meningkatkan keterampilan berpikir
dan  kemandirian  mahasiswa  dalam  belajar.  Kondisi  demikian  memberi  dampak fungsional kepada dosen PA untuk membantu mahasiswa yang memiliki masalah
dalam  belajarnya.  Menurut  Sidjabat  2008  perguruan  tinggi  seyogyanya  dapat menyelenggarakan proses pembelajaran dan layanan bimbingan akademik kepada
mahasiswa  sesuai  dengan  perkembangan  usia  mereka,  khususnya  dalam mengupayakan  peningkatan  keterampilan  belajarnya.  Dengan  meningkatnya
keterampilan belajar, dimungkinkan meningkat pula kemandirian belajar mereka. Dengan  demikian,  sudah  bukan  merupakan  tawaran,  melainkan
keniscayaan  dewasa  ini  bagi  perguruan  tinggi  menyediakan  layanan  bimbingan akademik  untuk  menunjang  keberhasilan  belajar,  khususnya  dalam  upaya
meningkatkan  keterampilan  dan  kemandirian  belajar  para  mahasiswanya.
13
Layanan  bimbingan  akademik  yang  selama  ini  berlangsung  di  institusi  ini, cenderung  masih  berpola  kerja  “atas-bawah”  top-down  dan  formalistik,  tidak
dapat menyelesaikan masalah karena tidak sesuai dengan kebutuhan mahasiswa. Bertolak dari masalah di atas, dilihat dari kondisi ideal mahasiswa secara
internal  dan  eksternal,  serta  kondisi  aktual  temuan  penelitian  pendahuluan tentang masih rendahnya taraf keterampilan dan kemandirian belajar mahasiswa,
layanan  bimbingan  akademik  yang  belum  berjalan  secara  optimal,  yang  melatar belakangi  penelitian  ini,  dengan  berupaya  menghasilkan  model  bimbingan
akademik untuk meningkatkan keterampilan dan kemandirian belajar.
B. Pertanyaan Penelitian