Pandangan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah Terhadap Tradisi Upayh Pelayat (Studi Kasus di Desa Haur Gajrug, Kec Cipanas, Kab Lebak Banten)

PANDANGAN NAHDLATUL ULAMA DAN MUHAMMADIYAH
TERHADAP TRADISI UPAH PELAYAT

(Studi Kasus di Desa Haur Gajrug, Kec Cipanas, Kab Lebak Banten)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Dian Hasanah
NIM: 1110043100033

KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIKIH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015M

ABSTRAK

Dian Hasanah, NIM: 110043100033, Pandangan Nahdlatul Ulama Dan
Muhammadiyah Terhadap Tradisi Upah Pelayat (Studi Kasus Di Desa Haur Gajrug,
Kec Cipanas, Kab Lebak Banten), program Studi Perbandingan Madzhab dan
Hukum, Konsentrasi Perbandingan Madzhab Fikih, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2015M.
Skripsi ini merupakan upaya untuk memaparkan hukum dari tradisi yang
terjadi di desa haur gajrug yakni tradisi memberikan upah yang dilakukan oleh
keluarga berkabung kepada para pelayat yang datang, serta memaparkan pendapat
dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah Kab Lebak.
Tujuan dari penelitian ini adalah agar mukallaf memahami mengenai hukum
dari tradisi tersebut. Selain itu untuk mengetahui hukum mengambil ujrah (upah) dari
pekerjaan yang berhubungan dengan ibadah seperti berta’ziah, mengaji Al-Qur’an,
mengumandangkan adzan dan lain sebagainya. Juga untuk mengetahui pendapat
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah Kab Lebak.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif
yang menghasilkan data deskriptif dan tertulis dengan menggunakan jenis penelitian
analisis komperatif yakni metode analisis dengan perbandingan antara Al-Qur’an,
Hadis, pendapat ulama’ dan cendekiawan muslim yang mengkaji tentang
permasalahan yang terdapat dalam skripsi ini, serta penelitian kepustakaan (library
research) yaitu dengan mengambil referensi pustaka dan dokumen yang relevan

dengan masalah ini.
Berdasarkan hasil penelitian yang didapat dalam penulisan skripsi ini ialah
bahwa adanya ikhtilāf antara Ulama Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah Kab
Lebak mengenai hukum dari pelaksanaan tradisi tersebut.
Pembimbing
: Dr. H. Fuad Thohari, M. Ag.
H. A. Bisyri Abd. Somad, M.Ag.
Daftar Pustaka
: Tahun 1993-2013

iv

ِ‫بِسۡمِ لَّهِ لرَحۡمَنِ لرَحِيم‬
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tiada hentinya dipanjatkan kepada sang Penguasa
Allah Swt, yang telah memberikan nikmat dan petunjukNya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Salawat serta salam selalu tercurahkan kepada
Nabi Muhammad Saw beserta keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya
hingga akhir zaman.

Berkat rahmat dan hidayah dari Allah Swt, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan karya ilmiah dengan judul PANDANGAN NAHDLATUL ULAMA
DAN MUHAMMADIYAH TERHADAP TRDISI UPAH PELAYAT (Studi Kasus di
Desa Haur Gajrug, Kec Cipanas, Kab Lebak Banten). Semoga skripsi ini bermanfaat
bagi penulis dan bagi yang membacanya.
Selama penulisan skripsi ini penulis banyak kesulitan dan hambatan untuk
mencapai data dan refrensi. Namun berkat kesungguhan hati dan bantuan dari
berbagai pihak, sehingga segala kesulitan itu dapat teratasi. Untuk itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1.

Bapak

Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

v

2.


Bapak Fahmi Ahmadi, M.Si,

Ketua Program Studi Perbandingan Madzhab

Hukum dan Ibu Siti Hanna, S.Ag, Lc, MA Sekretaris Program Studi
Perbandingan Madzhab Hukum.
3.

Dr. H. Fuad Thohari, M. Ag dan H. A. Bisyri Abd. Somad, M. Ag selaku
pembimbing skripsi yang telah banyak memberi arahan, saran serta petunjuk
dalam menyelesaikan skripsi ini.

4.

Dr. Khamami Zada, MA dan Dr. Muhammad Taufiki, M. Ag, yang telah menjadi
bagian dari Program Studi Perbandingan Madzhab Hukum dalam masa jabatan
sebelum Program Studi Perbandingan Madzhab Hukum periode baru.

5.


Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis semasa kuliah,
semoga amal kebaikannya mendapatkan balasan dari Allah Swt.

6.

Seluruh staf dan karyawan Perpustakaan Utama dan staf karyawan fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanan yang baik
dikala penulis mengumpulkan data dan materi skripsi.

7.

Kepada keluarga tercinta terutama kepada ayahanda dan ibunda tercinta (Suhandi
dan Sugiwati), serta kakak-kakak penulis terutama Jali Subrata yang tiada pernah
berhenti untuk selalu berdoa serta memberi nasihat dan motivasi kepada penulis
sehingga skripsi ini selesai.

8.


Sahabat dan rekan mahasiswa PMH (Perbandingan Mazhab Hukum) angkatan
2010, yang selalu memberikan semangat, dukungan, saran dan masukan kepada
penulis. Terima kasih teman-teman, dengan kebersamaan kita selama ini dalam
vi

suka dan duka. Bagi penulis itu adalah pengalaman berharga yang takkan pernah
terlupakan.
9.

Seluruh pihak yang terkait dengan penyusunan skripsi ini yang penulis tidak bisa
sebutkan satu persatu. Semoga Allah Swt membalas kebaikan yang telah
diberikan dengan balasan yang berlipat ganda, Amin.
Semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat khususnya

bagi penulis dan bagi para pembaca pada umumnya. Semoga Allah Senantiasa
meridhoi setiap langkah kita. Aamin

Jakarta, 5 Oktober 2015 M

Dian Hasanah


vii

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING .....................................................................

i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ..............................................................

ii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................

iii

ABSTRAK ...........................................................................................................

iv


KATA PENGANTAR .........................................................................................

v

DAFTAR ISI ........................................................................................................

vii

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................

1

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah .............................................

5


C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian .......................................................

6

D. Review Study Terdahulu .................................................................

7

E. Metode Penelitian ............................................................................

10

F. Sistematika Penulisan ......................................................................

11

BAB II UJRAH DALAM PEKERJAAN IBADAH DALAM PERSPEKTIF
FIQIH
A. Pengertian Ujrah ..............................................................................


12

B. Dasar Hukum Ijarah ........................................................................

14

C. Rukun dan Syarat Ijarah ..................................................................

15

D. Upah Dalam Pekarjaan Ibadah........................................................

17

E. Gambaran Umum Tentang Pengurusan Jenazah Dalam Prespektif
Fikih ................................................................................................

22

1. Pengertian Jenazah ......................................................................


22

2. Hal-hal yang Berkaitan Dengan Pengurusan Jenazah .................

23

a) Memandikan Jenazah ............................................................

23

b) Mengkafani Jenazah..............................................................

26

c) Menshalatkan Jenazah...........................................................

28

viii

d) Mengiringi Jenazah...............................................................

30

e) Menguburkan Jenazah...........................................................

31

BAB III KONDISI OBJEKTIF DESA HAUR GAJRUG, KEC CIPANAS,KAB
LEBAK BANTEN SERTA PRAKTEK TRADISI UPAH PELAYAT di
DESA HAUR GAJRUG, KEC CIPANAS, KAB LEBAK BANTEN
A. Letak Dan Keadaan Wilayah ............................... ......................

33

B. Kondisi Masyrakat..........................................................................

34

1. Keadaan Penduduk ......................................................................

34

2. Pendidikan...................................................................................

35

3. Agama.........................................................................................

37

4. Mata Pencaharian........................................................................

37

C. Praktek Tradisi Upah Pelayat di Desa Haur Gajrug Kec Cianas Kab
Lebak Banten ...................................................................................

38

BAB IV ANALISIS PANDANGAN NAHDLATUL ULAMA DAN
MUHAMMADIYAH TERHADAP UPAH PELAYAT
A. Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Tradisi Upah Pelayat .........

40

B. Pandangan Muhammadiyah Terhadap Tradisi Upah Pelayat ..........

43

C. Analisis Pendapat Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah Terhadap
Tradisi Upah Pelayat..... .................................................................
BAB V

48

PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................

58

B. Saran-saran.......................................................................................

60

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................

61

LAMPIRAN – LAMPIRAN..............................................................................

64

ix

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Bagi manusia, kematian adalah proses berpisahnya ruh dari badan seseorang.
Dalam Al-Quran Allas Swt menjelaskan bahwa jika ajal seseorang sudah datang
maka, tidak ada seorang pun yang dapat mengulurnya.1
Petunjuk Rasulullah Saw, dalam masalah penanganan jenazah adalah
petunjuk dan bimbingan yang terbaik dan berbeda dengan petunjuk umat-umat yang
lainnya, meliputi perlakuan atau aturan yang dianut umat kebanyakan.2 Bimbingan
Rasulullah Saw, dalam hal mengurus jenazah, di dalamnya mencakup hal yang
memperhatikan sang mayat, yang kelak bermanfaat baginya baik ketika berada di
dalam kubur maupun saat tiba hari Kiamat. Termasuk memberi tuntunan, yaitu
bagaimana sebaiknya keluarga dan kerabat memperlakukan mayat.
Di dalam petunjuk Rasulullah Saw juga mengatur bagaimana tata cara yang
terbaik dalam mengiring jenazah sehingga mengantarnya ke dalam kubur sebagai
penghormatan terakhir baginya. Kemudian para pengantarnya yang terdiri atas
keluarga dan orang-orang terdekat berdoa kepada Allah Swt agar menganugerahkan
bagi yang meninggal apa yang paling dibutuhkannya, yaitu keteguhan bagi kehidupan

1

Achmad Mufid, Risalah Kematian, (Yogyakarta: Total Media 2007), hal. 1.

2

Nashiruddin Al-Albani, Tuntunan Lengkap Mengurus Jenazah, penerjamah: Abbas
Muhammad Basalamah, (Jakarta: Gema Insan Pres,1999), hal. 11.

1

2

di alam barzah. Mereka juga diajarkan untuk menziarahi kuburnya, memberinya
salam, dan mendoakanya. Ini sama halnya dengan aturan yang menuntun orang yang
masih hidup mengikrarkan tekad untuk berlaku demikian terhadap sesamanya yang
masih hidup di dunia.
Dengan demikian, petunjuk dan bimbingan Rasulullah Saw. dalam
mengurus jenazah ini merupakan potret aturan yang paling sempurna bagi sang
mayat, baik dalam mu’amalahnya secara vertikal maupun horizontal. Aturan yang
sangat sempurna dalam mempersiapkan seseorang yang telah meninggal untuk
bertemu dengan Rabbnya dengan kondisi yang paling baik lagi afdhal. Bukan hanya
itu, keluarga dan orang-orang terdekat sang mayat pun disiapkan sebagai barisan
orang-orang yang memuji Allah Swt dan memintakan ampunan serta rahmat-Nya
bagi yang meninggal.3
Aturan lain yang tidak kalah esensialnya adalah larangan bagi keluarga yang
ditinggalkan, menangis secara berlebihan. Larangan ini berdasarkan sabda Rasulullah
Saw:

Artinya: “Abdullah bin Abi Ziyad menyampaikan hadits kepada kami,
Ya’kub bin Ibrahim bin Saad menyampaikan hadits kepada kami,
ayahku dari Shalih bin Kisan dari Az-Zuhri dari Salim Abdillah
3

Nashiruddin Al-Albani, Tuntunan Lengkap Mengurus Jenazah, penerjamah: Abbas
Muhammad Basalamah,....Hal. 12.
4

Muhammad bin Isa Abu Isa Al-Tirmidzi, Al-Jami’ Al-Shahih Sunnan Al-Tirmidzi, (Beirut:
Daar Ihya Al-Turats Al-A’rabi, T.th), Juz III, Hal. 326.

3

dari bapaknya berkata: Umar bin Khattab berkata: Rasulullah
Saw bersabda: “mayit disiksa sebab tangisan keluarga yang
berlebihan kepadanya”. (HR. At-Tirmidzi)
Islam sangat responsif terhadap fenomena ini. Bukan hanya komunikasi
yang bertema dan berskala besar saja yang diperhatikannya, tetapi hubungan yang
sangat kecil pun tak luput dari pantauannya. Ini tiada lagi karena demi kemaslahatan
manusia, sebagai makhluk yang berkepribadian mulia. Islam telah memberikan
peraturan dalan masalah mu’āmalah semacam ini, agar dalam pergaulan, manusia
tidak melampaui batas-batas koridor yang telah ditentukan syariat. Sehingga
pergaulan tersebut tidak merugikan salah satu pihak.
Salah satu dari bentuk mu’āmalah tersebut adalah ta’ziah. Ta’ziah berasal
dari kata al-azza yang berarti sabar.5 Ta’ziah merupakan sesuatu yang disunnahkan,
yaitu berta’ziah atau melayat kepada keluarga orang yang meninggal, baik laki-laki
atau perempuan. Sebelum dimakamkan ataupun sesudahnya sampai tiga hari, kecuali
jika salah seorang pelayatnya itu sedang tidak berada ditempat atau dia berada di
tempat yang jauh.6
Makna ta’ziah yang sesungguhnya adalah untuk memberikan nasehat
bersabar kepada keluarga yang ditinggalkan dan menyebutkan sesuatu yang dapat
meringankan musibahnya, dan menghilangkan kesedihannya.7Bagi orang yang
Http://www. Masnuntholabhin/2011/07/ta’ziah.html. diakses pada 14 September 2015
pukul 23.33 WIB
5

6

Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Minhajul Muslim Pedoman Hidup Ideal Seorang Muslim,
(Solo: Insan Kamil), hal. 474.
7

Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Minhajul Muslim Pedoman Hidup Ideal Seorang
Muslim,......hal. 474.

4

berta’ziah, ia diperbolehkan mengungkapkan dengan ungkapan apapun asal dapat
menghibur dan meringankan kesedihan keluarga orang yang meninggal dunia.
Dalam hal ini Muhammadiyah berpendapat bahwa merupakan kewajiban
masyarakat, artinya wajib kifayah bagi masyarakat untuk memandikan jenazah,
mengkafani, menshalatkan, dan menguburkan, dalam pada itu menjadi kewajiban
pula bagi anggota masyarakat untuk membantu keluarga yang dapat musibah
khususnya kematian keluarganya, jangan sampai menambah kesusahan keluarga yang
sedang berkabung.8
Sedangkan dalam pandangan Nahdlatul Ulama menyikapi fenomena yang
terjadi dimasyarakat terkait tradisi memberikan upah kepada para pelayat yang hadir
untuk berta’ziah dijadikan sebagai amal jariah yang pahalanya ditujukan kepada
orang yang meninggal. Mereka berpendapat bahwa tradisi tersebut merupakan bid’ah
akan tetapi tidak diharamkan (makruh). Tradisi tersebut bisa menjadi haram apabila
bertujuan untuk meratapi kesedihan secara berlebihan, atau bertujuan untuk
menangkal ocehan warga yang disebabkan karena keluarga si mayat tidak
melaksanakan tradisi tersebut.9
Akan tetapi fenomena tradisi yang terjadi di desa Haur Gajrug, kec Cipanas,
kab Lebak Banten tidak mencerminkan makna yang sesungguhnya dari pelaksanaan
ta’ziah. Tujuan dari berta’ziah adalah untuk meringankan beban kesedihan keluarga
8

Abdurrahman Asjmuni dkk, Fatwa-Fatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama 3, (Yogyakarta:
Suara Muhammadiyah, 2004), hal. 194.
9

http://Abufahmiabdullah.Wordpress.com/2013/02/11/tahlilan-dalam-pandangan-NuMuhammadiyah.

5

yang sedang berkabung, memberi hiburan agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan,
serta memberikan ungkapan nasehat yang diajarkan Rasulullah Saw.
“Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Pula” itulah ungkapan yang tepat bagi
keluarga di Desa Haur Gajrug ketika ada warga di Desa tersebut yang anggota
keluarganya meninggal dunia, setiap warga yang datang untuk berta’ziah diberikan
upah, bahkan dalam semua kegiatan pengurusan jenazah diberikan amplop yang
berisikan uang. Mereka beranggapan bahwa tradisi tersebut sebagai bentuk amal
Jariyah, yang mana pahalanya ditujukan kepada yang meninggal. Yang lebih
memperihatinkan lagi ketika salah satu keluarga ada yang sedang sakit parah bahkan
sudah mau mendekati ajalnya, seluruh keluarganya sudah harus memikirkan uang
yang harus dikeluarkan untuk warga yang hadir untuk berta’ziah. Bahkan ketika yang
meninggal bukan dari keluarga yang mampu sampai mencari pinjaman sana sini
untuk dibagikan kepada orang-orang yang datang. Segala apa pun yang dimiliki oleh
keluarga yang ditinggalkan baik Sawah, tanah atau apa pun itu, siap untuk dijual.
Berdasarkan data wawancara yang penulis dapat, penulis tertarik untuk
menulis skripsi dengan berjudul “Pandangan Nahdlatul Ulama Dan Muhammadiyah
Terhadap Tradisi Upah Pelayat (Studi Kasus di Desa Haur Gajrug Kec. Cipanas Kab.
Lebak Banten)”.
B. Pembatasan Masalah Dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembatasan perumusan masalah ini fokus dan tidak melebar, maka
permasalahan pada penelitian ini dibatasi hanya membahas pada kasus upah pelayat

6

di Desa Haur Gajruk Kec. Cipanas Kab. Lebak Banten serta membahas pandangan
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah terhadap tradisi tersebut.
2. Perumusan Masalah
Melalui pembatasan masalah di atas, maka untuk mempermudah penulisan
skripsi ini, penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
a.

Bagaimana praktek tradisi upah pelayat di desa Haur Gajruk kec.
Cipanas?

b.

Bagaimana pandangan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah terhadap
tradisi upah pelayat di desa HaurGajrug Kec.Cipanas Kab.Lebak
Banten?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian skripsi ini adalah :
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui praktek dari tradisi upah pelayat di desa Haur gajruk kec.
Cipanas kab. Lebak banten.
b. Untuk mengetahui bagaimana pandangan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah
(ulama setempat) terhadap tradisi upah pelayat yang terjadi di desa Haur Gajrug
Kec.Cipanas Kab.Lebak Banten.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat penulisan skripsi ini secara akademisi adalah :

7

a. Secara Akademis
Manfaat penelitian ini secara akademisi adalah untuk menambah pengetahuan dan
penjelasan bagi masyarakat pada umumnya, terutama pengetahuan terhadap
hukum tradisi upah pelayat.
b. Secara Praktis
Manfaat penelitian skripsi ini secara praktis adalah untuk memberi penjelasan
kepada masyarakat terhadap hukum memberi upah bagi para pelayat khususnya
masyarakat di desa Haur Gajrug, Kec.Cipanas, kab. Lebak Banten.

D. Studi Review
Untuk memudahkan penyusunan penulisan skripsi ini, penulis memberikan
rujukan terhadap tema-tema yang hampir sama dengan pembahasan judul skripsi ini,
meskipun tema yang hampir sama dengan penulisan skripsi ini sangat sedikit.
Adapun sumber-sumber yang penulis dapatkan ialah berasal dari buku-buku dan
kitab-kitab yang berkaitan serta karya ilmiah yang berupa skripsi.
Skripsi Fahrul Ilmi, Sampainya Hadiah Pahala Terhadap Orang Yang
Meninggal Dunia (Studi Kritik Sanad Dan Matan). Fakultas Ushuludin UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2008. Skripsi ini menjelaskan tentang Kehujjahan Hadits
Tentang Sampainya Hadiah Pahala Terhadap Orang Yang Meninggal Dunia. Penulis
menyatakan bahwa setelah melakukan penelitian terhadap hadits riwayat al-Tirmizi
tentang sampainya pahala terhadap orang yang meninggal dunia, dilihat dari segi
sanad shahih, dari segi matan juga shahih. Jadi penulis menyatakan bahwa hadits

8

tersebut boleh dijadikan hujjah, tentang sampainya hadiah pahala terhadap orang
yang meninggal dunia.
Skripsi Dani Kamaludin, Menghadiahkan Pahala Untuk Orang Meninggal
(Studi Komparatif Penafsiran Ibn Katsir dan Ibn „Asyur). Fakultas Ushuludin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014. Skripsi ini menjelaskan tentang penafsiran dua
tokoh mufassir lintas generasi yang berbeda dalam mazhab fiqihnya yaitu Ibn Katsir
dan Ibn ‘Asyur. Penulis menyatakan setelah melakukan penelitian terhadap kedua
pendapat tersebut terdapat ikhtilaf. Menurut Ibnu Katsir, doa dan pahala sedekah yang
dihadiahkan kepada orang meninggal akan sampai, namun pahala membaca AlQur’an tidak akan sampai, karena pada dasarnya setiap praktek Ibadah telah lebih
dahulu dicontohkan dari Rasulullahdan para sahabat. Adapun menghadiahkan pahala
bacaan Al-Qur’an adalah tidak ada contohnya dari Rasulullah saw dan para
sahabatnya, sehingga pahalanya tidak akan sampai kepada orang meninggal.
Sedangkan menurut Ibn ‘Asyur, doa dan pahala sedekah yang dihadiahkan kepada
orang yang meninggal akan sampai. Begitupun pahala bacaan Al-Qur’an akan
sampai.
Tesis Muhammad Noor, Persepsi Ulama Tentang Ijarah Jamaah Shalat
Jenazah Di Kecamatan Tamban Catur Km 20 Kabupaten Kapuas. Fakultas Syariah
dan Ekonomi Islam IAIN Antasari Banjarmasin, 2015. Tesis ini mengemukakan
Persepsi Ulama di Kecamatan Catur Km 20 Kabupaten Kapuas terhadap Ijarah yang
diberikan kepada orang-orang yang ikut serta dalam shalat jenazah. Dalam hasil
penelitiannya Ulama setempat ada yang berpendapat bahwa tradisi tersebut dihukumi

9

boleh dan sunah dengan niat bersedekah untuk mayit dengan catatan uang yang
diberikan bukan merupakan uang peninggalan simayit. Ulama yang lainnya juga
berpendapat, tradisi memberikan upah dan menerima upah dalam melaksanakan
shalat jenazah Kitabullah maupun dari As-Sunnah yang memerintahkan kita untuk
membayar atau menerima bayaran dalam melaksanakan shalat jenazah. Setiap
sesuatu hal yang berkaitan dengan ibadah adalah harus sesuai dengan perintah.
Skripsi Muhammad Iqbal Fauzi, Tradisi Tahlilan Dalam Kehidupan
Masyarakat Desa Tegalagus. Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2014. Skripsi ini memaparkan tentang motivasi masyarakat
desa Tegal agus dalam menghadiri pelaksanaan tahlilan di tempat orang yang
meninggal, serta kurangnya pemahaman masyarakat Desa Tegal agus dalam
menyikapi nilai-nilai positif yang terdapat dalam tradisi tahlilan. Berdasarkan hasil
penelitian penulis, dalam menghadiri pelaksanaan tahlilan, masyarakat desa Tegal
agus memiliki perbedaan motivasi. Seperti, masyarakat akan lebih termotivasi untuk
hadir dan mengikuti pelaksanaan tahlilan jika orang yang meninggal atau keluarga
yang tertimpa musibah adalah temannya, keluarga temannya atau bahkan seorang
tokoh masyarakat. Perbedaan motovasi juga dapat dilihat dari jumlah jamaah tahlilan
pada hari pertama, ketiga dan ketujuh disbanding dengan keempat hari lainnya
(kedua, keempat, kelima dan keenam). Biasanya hari ketiga dan ketujuh akan lebih
banyak dihadiri jama’ah disbanding dengan hari lainnya karena ada ceramah agama
dan berkat (nasi bungkus dengan berbagai macam lauk). Masyarakat desa Tegal agus
juga kurang memahami bahwa dalam pelaksanaan tahlilan pun memiliki banyak nila

10

ipositif, diantaranya mempererat tali silaturrahim antar warga, adanya nilai solidaritas
social dan nilai positif lainnya adalah bertambahnya pengetahuan agama lewat
ceramah agama dalam acara tahlilan tersebut.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kualitatif, dengan
menggunakan instrumen penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan yang
didasarkan

pada

suatu

pembahasan

dengan

menggunakan

studi

kepustakaan.Sedangkan metode yang penulis gunakan adalah metode deskriptif.

2. Sumber Data
a. Data primer, teknik pengumpulan data meliputi wawancara dan observasi dengan
para tokoh ulama (Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah) di Desa Saung Gajruk,
Kec. Cipanas, Kab. Lebak Banten.
b. Data sekunder berupa: buku-buku, makalah tertulis maupun dari internet yang
mempunyai hubungan dengan tema ini.
3. Teknik Penulisan Skripsi
Dalam penulisan skripsi penulis mengacu pada buku “ Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Negeri Syarif Hidayatullah 2012’’

11

F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan skripsi ini agar lebih sistematis, maka penulis
membagi pembahasan ini menjadi beberapa bab, yaitu:
BAB I, dalam bab ini memuat latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat, study review, kerangka teori, metode
penelitian, teknik pengumpilan data, subjek dan objek penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II, dalam bab ini memuat pembahasan tentang upah dalam pekerjaan
ibadah dan pengurusan jenazah dalam perspektif fikih.
BAB III, dalam bab ini membahas mengenai kondisi Objektif Desa Saung
Gajruk Kec. Cipanas Kab. Lebak Banten:
a. Kondisi Objek Desa Saung Gajrug Kec. Cipanas Kab. Lebak Banten, terdiri dari:
Letak dan Keadaan Wilayah, Kondisi Masyarakat Meliputi: Keadaan penduduk,
pendidikan, agama, Ekonomi, dan kebiasaan sehari-hari.
b. Praktek tradisi upah pelayat di Desa Saung Gajruk Kec. Cipanas Kab. Lebak
Banten.
BAB IV, dalam bab ini membahas mengenai analisis pendapat ulama
Nahdlatul ulama dan Muhammadiyah terhadap tradisi upah pelayat pada Desa Saung
Gajrug, Kec.Cipanas, Kab.Lebak Banten.
BAB V, berisi penutup yang memuat: kesimpulan dan saran

BAB II
UJRAH (UPAH) DALAM PEKERJAAN IBADAH

A. Pengertian Ujrah
Dalam kaca mata Islam, upah dimasukan ke dalam wilayah fikih mu’amalah,
yakni dalam pembahasan tentang Ijarah. Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru, menurut
bahasa artinya al-iwad, sedangkan dalam arti bahasa Indonesia ialah ganti dan upah.
Menurut MA. Tihami, al-ajru (sewa- menyewa) ialah suatu akad yang berkenaan
dengan pengambilan kemanfaatan dari sesuatu tertentu, sehingga sesuatu itu
dibolehkan untuk diambil manfaatnya, dengan memberikan pembayaran (sewa)
tertentu.1
Ujrah atau upah diartikan sebagai kepemilikan jasa dari seorang ajir (orang
yang dikontrak tenaganya) oleh musta’zir (orang yang mengontrak tenaga). Ijarah
merupakan transaksi terhadap jasa tertentu dengan disertai kompensasi. 2 Kompensasi
imbalan inilah yang kemudian disebut ujrah (‫ )أجرة‬ajrun (‫)أجر‬. Term ini dapat kita
temukan dalam surat At-Talaq ayat 6 yakni :
       

Artinya: “Apabila mereka menyusukan (anak-anak) mu maka berikanlah
kepada mereka upahnya.” (QS. At-Talaq/ 65:6)
1

MA. Tihami, Kamus Istilah-istilah dalam Studi Keislaman menurut Syaikh Muhammad
Nawawi al-Bantani, (Serang: Suhud Sentra Utama, 2003), hal. 35.
2

Taqyudin An-Nabahani, Membangun Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, (Surabaya:
Risalah Gusti, 1996), hal. 83.

12

13

Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan
makna ijarah, diantaranya adalah sebagai berikut :
Menurut Ulama Hanafiyah bahwa ijarah ialah :
3

َ‫عق ِيِ َمِّك َ َعَ َعّ َ َ َقص َة ِنَ العَينِ المس َأجِ َرةِ بِع‬

Artinya:“Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan
disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan.”
Menurut Ulama Malikiyah, ijarah ialah :
َ‫َ َعَ ِ ااَ َ ِ َ َ بَع ِ المِ ق ا‬

ِ‫َسمِيَ ال َعَاق ِ عاَل‬

Artinya:“Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi
dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan.”
Menurut Ulama As-Syafi’iyah, ijarah ialah:
5

ّ‫َّاحَ قَا بَِّ لَِّّ ِ اابَاحَ ِ بِ ِع َ ِ َع‬

َ ّ‫َ َعَ َقص َة َع‬

ََّ‫عَق ع‬

Artinya:“Akad atas sesuatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu
dan mubah serta menerima pengganti atau kebolehan dengan
pengganti tertentu.”
Menurut Idris Ahmad, upah artinya mengambil manfaat dari sesuatu yang
berupa barang atau tenaga orang lain dengan jalan memberi ganti menurut syaratsyarat tertentu.
Dalam arti luas, Ijarah atau upah bermakna aqad yang berisi penukaran
manfaat sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Sedangkan

3

Abdurrahman Al-Jazairy, Al-Fiqh Ala Madzhabi Al-Arba’ah, (Beirut: Daar Al-Kutub AlIlmiah, 1996), Juz. III, hal. 86.
4

Abdurrahman Al-Jazairy, Al-Fiqh Ala Madzhabi Al-Arba’ah.........., hal. 88.

5

Abdurrahman Al-Jazairy, Al-Fiqh Ala Madzhabi Al-Arba’ah.........., hal. 89.

14

Sayyid Sabiq berpendapat, al-ijarah adalah suatu akad atau transaksi untuk
mengambil manfaat dengan jalan memberi penggantian.
Adapun mengenai bentuk upah tidak harus selalu berbentuk uang. Makanan,
pakaian dan sejenisnya dapat pula dijadikan upah. Seorang ajir boleh dikontrak
dengan kompensasi atau upah berupa makanan dan pakaian. Sebab praktek semacam
ini diperbolehkan terhadap wanita yang menyusui, seperti yang telah disebutkan ayat
di atas.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, kiranya dapat dipahami bahwa ijarah
adalah menukar sesuatu dengan adanya imbalan. Jika diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia berarti sewa-menyewa. Sewa-menyewa (ِ‫ )بَيع المَ َاِّع‬adalah menjual manfaat
dan upah mengupah (ِ‫ )بَيع الق َة‬adalah menjual tenaga atau kekuatan.6
B. Dasar Hukum Ijarah
Dasar-dasar atau rujukan ijarah dalam Al-Qur’an adalah:
           

Artinya: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah
ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya
orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita)
ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". (QS. Al-Qashash
/28:26)7

Sohari Sohran dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah untuk Mahasiswa, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2011), cet.1, hal. 168.
6

7

hal. 389.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Diponegoro, 2000),

15

                 
    

Artinya: “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak
ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut
yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa
Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. AlBaqarah/2:233)8
       

Artinya: “jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah
kepada mereka upahnya. (QS. At-Thalaq/65:6)
C. Rukun dan Syarat Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun ijarah hanya ada dua yaitu ijab dan qabul,
dengan menggunakan kalimat al-ijarah. al-isti’jar. al-iktira, al-ikra. Sedangkan
menurut Jumhur Ulama rukun ijarah ada empat, yaitu :9
a) Aqid (orang yang berakad), yaitu mu’jir/muajir (orang yang menyewakan atau
orang yang memberikan upah) dan musta’jir (orang yang disewakan atau orang
yang menerima upah).
b) Siqhat akad, yaitu ijab qabul antara mu’jir dan muajir.
c) Ujrah (upah atau imbalan).
d) Ma’qud „alaih/manfaah (manfaat/ barang yang disewakan atau sesuatu yang
dikerjakan).
8
9

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal...... 38.

Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqih Muamalah dan Aplikasinya pada LKS, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), cet.1, hal. 159.

16

Adapun yang menjadi syarat ijarah yang harus ada agar terpenuhi ketentuanketentuan hukum Islam, adalah:
a) Syarat aqid
Menurut ulama Hanafiyah. Syarat untuk aqid (orang yang berakad) harus berakal
dan mumayyiz, tidak disyaratkan harus baligh. Sedangkan ulama Malikiyah
berpendapat bahwa tamyiz adalah syarat ijarah dan jual beli, sedangkan baligh
adalah syarat penyerahan. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan aqid
harus mukallaf yaitu baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz belum
dikatakan ahli akad. Syarat selanjutnya adalah cakap dalam melakukan tasharruf
(mengendalikan harta) serta saling meridhai diantara kedua belah pihak.
b) Sighat
Sighat adalah berupa pernyataan antara mu’jir dan musta’jir, ijab qabul sewamenyewa dan upah mengupah, ijab qabul sewa-menyewa, misalnya : “Aku
sewakan mobil ini kepadamu setiap hari RP.5000,00”. Maka musta’jir
menjawab”Aku terima sewa mobil tersebut denga harga demikian setiap hari”.
Ada pun ijab qabul upah mengupah, misalnya mu’ajir berkata “Kuserahkan kebun
ini kepadamu untuk dicangkuli dengan upah setiap hari Rp.5.000,00”, kemudian
musta’jir menjawab “Aku akan kerjakan pekerjaan itu sesuai dengan apa yang
telah engkau ucapkan”.
c) Ujrah (upah)
Dalam hal upah disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik
dalam sewa-menyewa maupun dalam upah mengupah dan tidak boleh sejenis

17

dengan barang manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa rumah dengan
menempati rumah tersebut.
d) Ma’qud „alaih
Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah-mengupah,
disyaratkan barang yang disewakan dengan beberpa syarat, yaitu:
1) Hendaklah barang yang menjadi objek akad sewa-menyewa dan upahmengupah dapat dimanfaatkan kegunaanya.
2) Hendaklah barang yang menjadi objek sewa-menyewa dan upah-mengupah
dapat diserahkan kepada penyewa dan pekerja berikut kegunaanya (khusus
dalam sewa-menyewa).
3) Manfaat dari perkara benda yang disewa adalah perkara yang dibolehkan
menurut syara’, dan bukan hal-hal yang diharamkan.
4) Benda yang disewakan disyaratkan tidak mudah rusak hingga waktu yang
ditentukan menurut perjanjian dalam akad.
D. Upah dalam Pekerjaan Ibadah
Mengenai upah yang diberikan kepada orang yang melakukan suatu ibadah,
diperselisihkan kebolehannya oleh para ulama karena berbedanya cara pandang
terhadap pekerjaan-pekerjaan ini, sehingga berbeda pula pendapat mereka mengenai
ketetapan hukumnya. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa al-ijarah dalam perbuatan
ibadah atau ketaatan kepadah Allah Swt seperti menyewa orang lain untuk sholat,
puasa, haji, atau membaca al-Qur’an yang mana pahalanya dihadiahkan kepada orang
tertentu seperti kepada arwah haram hukumnya, termasuk pekerjaan ibadah menjadi

18

muadzin, menjadi imam sholat haram hukumnya mengambil upah dari pekerjaan
tersebut.10
Amal dari suatu pekerjaan ibadah akan menjadi pahala bagi orang yang
mengerjakannya, karna itu dia tidak dibolehkan mengambil upah atas ibadah yang
dikerjakannya dari orang lain.
Menurut madzhab Hanbali tidak dibolehkan mengambil upah untuk
pekerjaan seperti adzan, iqamah, mengajar al-Qur’an dll. Semua pekerjaan itu tidak
dicatat kecuali sebagai ibadah orang yang mengerjakannya dan diharamkan baginya
mengambil upah dari pekerjaan ibadah yang dia kerjakan. Namun demikian
diperbolehkan mengambil upah dari baitul mal, pengadilan, perwakilan dalam haji.
Karena semua ini terdapat kemaslahatan bersama. Dan dalam hal ini bukan
merupakan upah melainkan membantu dalam pelaksanaan ibadah.11
Ulama yang berpendapat tidak boleh mengambil upah dalam hal ini
berpegang pada beberapa hadits nabi, diantaranya:
َ ‫عَن أَبِ ط َالَ َ عَّ ِ الَّهِ بنِ عَّ ِ الرَحمَنِ بنِ َعمَر اأَ صَارِ ِ عَن سَعِي ِ بنِ َسَار عَن أَبِ رَ َرةَ قَا‬
َ‫ ذ َن َعََّمَ عِّمًا ِمَا ّ َغَ بِ ِه َجه الَّهِ عَ َ َجَ َ اَ َ َعََّمه إِا‬-‫صّ اه عّيه سّم‬- ِ‫قَا َ رَس الَّه‬
1
(
‫لِيصِيبَ بِهِ عَرَضًا ِنَ ال يَا لَم َجِ عَرفَ الجََ ِ َ َ القِيَا َ )ر ا اب‬
Artinya: “Dari Abi Thawalah ibn Abdi al-Rahman ibn Ma’mari al-Anshari
dari Sa’id dari Yasar dari Abi Hurairah, telah berkata Rasulullah
Saw, barang siapa yang mempelajari ilmu yang seharusnya untuk
10

Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2012), hal. 280.
11

Al-Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, penerjemah: Abdurrahim dan Masrukhin, (Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2009), cet. 1, hal. 264.
Sulaiman bin Al-Asy’as bin Syidad bin amar, Sunan Abu Daud, (Beirut: Daar al-Fikr,
t.th), Juz. 11, hal 68, No. 3666.
12

19

mencari ridha Allah Azza wa Jalla, kemudian dia tidak
mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan harta duniawi, maka
dia tidak akan menemukan bau surga padahari kiamat.” (HR. Abu
Daud)
Sedangkan Syaikh Al-Albani berpendapat dibolehkan menerima upah bagi
seorang muadzin yang tidak meminta imbalan dan tidak melampaui batas. Sebab
menurutnya itu merupakan rezeky yang diberikan Allah SWT kepadanya,
berdasarkan hadits Rasulullah Saw:

‫سَا قَه الّه‬

ِ‫َن َبَّغَه عَن أَخِيهِ ِن غَيرِ َسأَ َل َاَ إِشرَاف َ س َّّيَقَّّه َاَ َر َّإِ َمَا ر‬
13

( ‫عَ َ َجَ َ ِإلَيهِ )أخرجه احم‬

Artinya :“Abu Ya’la mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ahmad bin
Ibrahim Al-Daruqy menyampaikan hadits kepada kami, ia
berkata: Said bin Abi Ayub menyampaikan hadits kepada kami, ia
berkata Abu Aswad menyampaikan hadits dari Bakir bin Abdillah
bin Al-Asyj dari Bisr bin Said dari Kholid bin Adi Al-Juhani, ia
berkata: aku mendengar Rasulullah Saw bersabda “Barang siapa
yang diberi saudaranya tanpa meminta-minta dan tidak
melampaui batas, maka hendaklah ia terima dan tidak perlu
dikembalikan. Hal itu merupakan rezeky yang diberikan Allah
Saw kepadanya.” (HR.Ahmad)
Terkait dengan pembahasan terhadap upah pelayat, yang mana berta’ziah
merupakan suatu bentuk pekerjaan ibadah yang disunahkan, dan berta’ziah sendiri
bertujuan untuk menghibur keluarga yang sedang berkabung. Menurut Hendi Suhendi
dalam hukum Islam suatu pekerjaan ibadah yang bertujuan mengharapkan imbalan
tidak dibolehkan.14 Adaapun alasan pemberian upah kepada para pelayat yang datang
13

Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim Al-Tamimi, Shahih bin Hibban Bitartib
Hibn Baliyan, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1993), Juz, VIII, hal. 195.
14

Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah,....... hal.119.

20

sebagai sedekah yang pahalanya ditujukan kepada orang yang meninggal tanpa
disertai dengan menyampaikan permohonan kepada mereka baik untuk urusan dunia
maupun akhirat, cara ini tentu tidak termasuk perbuatan yang membawa kepada
kemusyrikan. Namun ada beberapa hal yang harus kita perhatikan antara lain :15
1) Ruh manusia, apabila terpisah dari jasad akan kembali kepada Allah Swt. Apakan
ruh dapat menerima kiriman atau tidak, sebenarnya tiada yang mengetahui urusan
ruh selain Allah Swt.
               

Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh
itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al-Isra/17:85)16
2) Semua amal manusia tidak dapat menyelamatkan dirinya dari siksa neraka dan
tidak pula dapat memasukkannya ke dalam surga selain karena rahmat Allah Swt.
Karena itu yang ditunggu orang yang sudah meninggal adalah rahmat, ampunan,
dan ridha Allah Swt.
3) Apabila kita ingin menyampaikan kiriman pahala amal orang yang sudah
meninggal, perlu kita bertanya kepada diri kita masing-masing, apakah kita
memiliki bukti bahwa amal kita pasti diterima Allah, lalu kita kirimkan kepada
orang lain, sementara para nabi dan para shalihin apabila telah melakukan amal

15

Saiful Islam Mubarak, Fikih Kontroversi : Menjawab Berbagai Kontroversi dalam Ibadah
Sosial dan Ibadah Sehari-hari, (Bandung: Syamil, 2007), hal. 318-320.
16

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya.........,hal. 291.

21

kebaikan, mereka tidak merasa sudah diterima. Karena itu, mereka sering
memohon kepada Allah agar amal ibadahnya diterima dengan ungkapan :
        

Artinya: "Ya Tuhan Kami terimalah daripada Kami (amalan kami),
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui".(QS. Al-Baqarah/2:127)17
Rasulullah Saw telah mengajarkan kepada kita agar senantiasa memohon
ampun dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, baik yang masih hidup maupun
yang telah tiada. Al-Qur’an pun telah mengajarkan kalimat yang wajib kita amalkan
demi kepentingan kita dan sangat berguna bagi orang yang sudah meninggal, yaitu :
               
  

Artinya: "Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami
yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau
membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang
yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha
Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Hasyr/59:10)18
Hadiah yang pasti benar dan berguna bagi orang-orang yang telah wafat
adalah berdoa memohon rahmat dan ampunan. Adapun tempat dan waktu berdoa
dapat dilaksanakan sesuai dengan keperluan. Berdoa yang paling utama adalah

17

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,..... hal. 21.

18

Departemen Agama RI, Al-Qur’a da Terje ah ya,.....hal. 548.

22

dilakukan setelah berdzikir. Dzikir yang paling utama adalah tilawah dan taddabur
Al-Qur’an, karena Allah Swt telah memberi nama “dzikir” untuk Al-Qur’an.19
E. Gambaran Umum Tentang Pengurusan Jenazah Dalam Perspektif Fiqih
1. Pengertian Jenazah
Jenazah berasal dari kata bahasa arab “Janazah” artinya “tubuh mayit”
sedangkan kata “Jinazah” yang artinya “keranda mayat” berasal dari kata “Janaza”
yang berarti “menutupi”. Dinamakan jenazah karena tubuh mayit haruslah ditutupi.20
Arti jenazah dalam ensiklopedia Islam yaitu segala yang berkaitan dengan proses
pemakaman dan pengkafanan bagi si mayit.21 Sedangkan kata mayat, selanjutnya
disebut jenazah, berasal dari bahasa arab “al-mayyit” yang berarti orang yang telah
meninggal dunia, sebagaimana ungkapan di dalam Al-Qur’an:
     

Artinya: “Kemudian, sesudah itu sesungguhnya kalian semua benar-benar
akan mati”(QS. Al-Mu’minun/23:15)22
Pada ayat tersebut kata al-mayyit digunakan untuk manusia yang telah
meninggal dunia, meski demikian dalan bahasa Indonesia kata “mayat” yang lebih
sering digunakan.

19

Saiful Islam Mubarak, Fikih Kontroversi : Menjawab Berbagai Kontroversi dalam Ibadah
Sosial dan Ibadah Sehari-hari, (Bandung: Syamil, 2007), hal. 323.
20

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progesif. 2002), cet. Ke-25, hal. 214.
21

Cepil Glasse, Ensiklopedia Islam: Ringkas, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999),

hal. 192.
22

Departemen Agama RI, Al-Qura’an dan Terjemahnya,..... hal. 343.

23

Menurut Hasby Ash-Shiddiqie kata jenazah dalam bahasa arab bersifat
umum artinya kata jenazah tidak hanya digunakan untuk manusia yang meninggal
dunia saja, tetapi digunakan pula untuk binatang yang mati. Berbeda halnya dalam
bahasa Indonesia yang mana kata jenazah hanya dikhususkan untuk manusia yang
meninggal dunia saja.23
2. Hal-Hal Yang Berkaitan Dengan Pengurusan Jenazah
Hukum pengurusan jenazah adalah fardhu kifayah24 atau kewajiban sebagian
bukan seluruhnya, artinya jika sudah ada sebagian muslim yang mengurus jenazah
maka muslim lainnya dibolehkan untuk tidak ikut serta dalam pengurusan jenazah.
Adapun hal-hal yang berkaitan dengan pengurusan jenazah dalam agama
Islam

adalah meliputi memandikan jenazah, mengkafankan, menshalatkan,

menguburkan.
a) Memandikan Jenazah
Memandikan jenazah hukumnya fardhu kifayah, sebagai mana yang telah
diketahui apabila telah dilaksanakan oleh yang memadai, maka gugurlah
kewajiban dari yang lain.25
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memandikan jenazah
salah satunya adalah orang yang berhak dalam memandikan jenazah. Adapun

23

Hasby Ash Shiddiqie, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), hal. 245.

24

Othman Mukim Hassan, Khulasah Kifayah Himpunan 600 Masalah Jenazah, (Malaysia:
Pustaka Ilmi, 1995), cet. 1, hal. 2.
25

Fahd bin Nashir bin Ibrahim as-Sulaiman, Fatwa-Fatwa Lengkap Seputar Jenazah Oleh:
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Penerjemah: Muhammad Iqbal Ghazali, (Jakarta: Darul
Haq, 2006), cet. 1, hal. 81.

24

orang yang berhak dalam memandikan jenazah menurut syariat agama Islam
adalah sebagai berikut:
a. Apabila jenazah itu laki-laki, yang memandikannya harus laki-laki. Perempuan
tidak boleh memandikan jenazah laki-laki, kecuali istri dan mahramnya. Begitu
pula sebaliknya jenazah perempuan tidak boleh dimandikan oleh laki-laki,
kecuali suami dan mahramnya.
b. Apabila jenazah itu seorang suami, sementara istri dan mahramnya ada semua,
istrinya lah yang lebih berhak untuk memandikannya. Begitu pula sebaliknya.
c. Apabila jenazahnya adalah anak laki-laki masih kecil, perempuan boleh
memandikannya. Begitu juga apabila jenazahnya adalah anak perempuan yang
masih kecil, laki-laki boleh memandikannya.
Dari setiap orang yang berhak memandikan jenazah, mereka diwajibkan
menutupi aib jenazah tersebut. Dri Abu Umamah, ia berkata Rasulullah Saw
bersabda:
ِ
‫س‬
‫ِ َ َن كَ َ َه َكسَا الّه ِنَ الس‬
‫غسَ َ َيِ ًا َّسَ َ َر سَ َ َر الّه ِنَ ال‬
َ ‫َن‬
Artinya:“Barangsiapa yang memandikan mayat, lalu menutupi aibnya
maka Allah akan menutupi dosa-dosanya. Dan barangsiapa
yang mengkafaninya maka Allah akan mengenakan pakaian dari
kain sutra halus kepadanya.
26

Dalam proses memandikan jenazah ada hal-hal yang disunahkan dalam
pelaksanaannya. Diantaranya adalah sebagai berikut:

26

Abdul Latif Al-Ghamidi, Mengasihi Orang Mati, Penerjemah: Mutsanna Abdul Qahhar,
(Solo: Mumtazah, 2013), hal. 30.

25

a. Mewudhukan Jenazah sebagaimana berwudha ketika hendak melaksanakan
shalat.
b. Menggunakan air yang dicampur daun bidara dan sabun pada semua basuhan,
serta menggunakan kapur pada basuhan terakhir.
c. Mengganjilkan basuhan dan mendahulukan anggota badan jenazah bagian
kanan. Dari Ummu Athiyyah r.a, dia berkata : “Rasulullah Saw bersabda
kepada para wanita yang memandikan putri beliau:
- ِ‫عطِيَ َ أَ َ رَس َ الَّه‬
َ ِ ‫َحَ َثَ َا َحيَ بن َحيَ أَخَّرَ َا شَيم عَن خَالِ عَن حَ صَ َ بِ ِ سِيرِ نَ عَن أ‬
‫ حَيث أَ َرَ َا أَ َغسِ َ اب َ َه قَا َ لَ َا ذ اب َأ َ بِمَيَا ِ ِ َا َ َ َاضِعِ ال ض ءِ ِ َا‬-‫صّ اه عّيه سّم‬
( ‫)ر ا الّ ار‬
Artinya:“Telah meriwayatkan hadits kepada kamu Yahya bin Yahya, telah
mengabarkan kepada kami Husyaim dari Kholid dari Habsah
binti Sirrin dari Ummi Atiyah, bahwasanya Rasululah Saw
ketika menyuruhnya untuk memandikan putrinya, ia bersabda :
Mulailah dengan anggota tubuh bagian kanan dan anggotaanggota wudhunya.” (HR.Al-Bukhari)
d. Menekan perut Jenazah ketika memandikannya secara lembut untuk
mengeluarkan kotoran dalam perutnya.
e. Mengalirkan air yang banyak pada bagian qubul dan dubur untuk
membersihkan kotoran yang keluar.
f. Memakai sarung tangan bagi orang yang memandikannya.

27

t.th), hal. 9.

Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahih Al-Bukhori, (Beirut: Daar Al-Fikr,

26

b) Mengkafani Jenazah
Setelah jenazah dimandikan, langkah berikut adalah mengkafaninya.
Disunnahkan kain kafan yang berwarna putih dan tidak terlalu mahal atau mewah.
Sebagaimana dijelaskan pada Hadits Nabi Saw:
‫حَ َثَ َا حَمَ بن عَّي المحَارِبِ حَ َثَ َا عَمر بن َاشِم أَب َالِك الجَ ِّ عَن إِسمَاعِي َ بنِ أَبِ خَاِل‬
‫صّ اه‬- ِ‫عَ ن عَا ِر عَن عَِّ ِ بنِ أَبِ طَالِب قَا َ اَ َغَا ِ لِ ِّ كَ َن َّإِ ِ سَمِع رَس َ الَّه‬
( ‫ َق اَ َغَاَل ا ِّ ال َ َنِ َّإَِه سَّّه سًَّّا سَرِ عًا )ر ا اب ا‬-‫عّيه سّم‬
Artinya:“Dari Ali ibn Abi Thalib r.a. Rasulullah Saw bersabda,
janganlah kamu berlebih-lebihan memilik kain yang mahalmahal untuk kain kafan, karena sesungguhnya kafan itu akan
hancur dengan segera.”(HR.Abu Dawud)
Hikmah dari mengkafani jenazah adalah untuk menutupi dari pandangan
mata serta sebagai penghormatan padanya. Karena menutupi auratnya dan
menghormatinya adalah wajib selagi ia masih hidup, begitu pula ketika ia telah
meninggal dunia.
Adapun hal-hal yang disunahkan dalam mengkafankan adalah sebagai
berikut:29
a. Membaguskan kafan, yaitu dengan menggunakan kafan yang bersih, wangi,
bisa menutupi seluruh anggota badan, bukan yang diharamkan seperti sutera
dan penggunaannya tidak berlebihan. Berdasarkan hadits Rasulullah Saw.
b. Berwarna putih, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw:
c. Bagi jenazah laki-laki kain kafan tiga helai.
28

Abu Daud Sulaiman bin al-Asyats al-Sajistani, Sunan Abu Daud, (Beirut: Daar Al-Kitab
Al-Arabi,.t.th), Juz. 3, hal. 1