Pandangan Nahdlatul Ulama terhadap wawasan kebangsaan dan Khilafah Islamiyah

(1)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan nikmat, hidayah dan rahmat-Nya, sehingga penulisan skripsi dengan judul “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan Kebangsaan dan Khilafah Islamiyah”, dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat beserta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasululllah SAW. beserta keluarga dan sahabatnya.

Munculnya berbagai hambatan dan kesulitan seakan terasa ringan berkat bantuan dan dorongan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis berkenan mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak tertentu, tanpa mengurangi penghormatan penulis bagi pihak-pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam pengantar yang singkat ini.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum beserta para pembantu Dekan.

2. Bapak Asmawi, M.Ag selaku ketua Jurusan Jinayah Siyasah beserta Ibu Sri Hidayati, M.Ag selaku Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah.


(2)

3. Bapak Prof. Dr. Masykuri Abdillah yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran sehingga tulisan ini dapat diselesaikan dengan baik.

4. Seluruh Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Syarif Hidayatullah, pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Kedua orang tua penulis Ayahanda Sagiman dan Ibunda Suparti yang telah

memberikan curahan kasih sayang dan pengorbanan mendalam, baik jiwa, raga maupun materil dalam memperjuangkan penulis menggapai kesuksesan. Serta kakak-kakakku Siti Isyaroh, Mursidah, Purwatun dan kakak-kakak iparku yang selalu memberikan semangat di saat penulis jenuh.

6. Bapak Gun-gun Heryanto M.Si yang telah membantu dan memberikan pinjaman buku motivasi kepada penulis

7. Kang Aslam, Kang Hanafi, Kang Dardiri kang Ali dan khususnya Mbah Liem (Muslim) yang selalu memberikan dorongan untuk menyelesaikan skripsi ini, dan teman-teman IKAMARU Jakarta; Moullyn, @-Noer, Maman, Rina, Yayah terima kasih atas do’a dan motivasinya

8. Rekan-rekan mahasiswa Siyasah Syar’iyyah angkatan 2003 khususnya; Nazir, kosim, Ikrom, Fauzi dan temen Kosan; Said, Jiban, Ari, Hendra 46, I-Ve, Oga, Ozie, Jabal, Yani, Syaem, Erna, Nana dan Noer. Tank’s ya bro’,,.

Mudah-mudahan jasa dan amal baik tersebut mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT. Sebagai amal saleh dan senantiasa berada dalam maghfirah-Nya.


(3)

iii

Akhirnya, semoga skripsi yang sederhana ini dapat memenuhi harapan dalam ikut serta membantu ke arah kemajuan pendidikan, khususnya masalah hukum Islam. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi orang banyak dan membawa keberkahan di dunia dan akhirat. Semoga Allah SWT. memberikan petunjuk ke jalan yang benar dan mencurahkan taufik serta hidayah-Nya kepada kita sekalian. Amin.

Jakarta, 15 Juni 2008


(4)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...i

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI...iv

BAB I PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang Masalah...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...6

D. Tinjauan Pustaka ...6

E. Metode Penelitian...9

F. Sistematika Penulisan...11

BAB II SEKILAS TENTANG NAHDLATUL ULAMA...13

A. Sejarah Berdirinya NU...13

B. Karakteristik Paham Keagamaan...21

C. Kiprah NU dalam Kehidupan Bermasyarakat...33

BAB III WAWASAN KEBANGSAAN DAN KHILAFAH ISLAMIYAH...39

A. Pengertian Wawasan Kebangsaan ...39

B. Paradigma Pemikiran tentang Islam dan Politik...43

C. Pengertian Khilafah Islamiyah ...48


(5)

v

E. Khilafah dalam Wacana Politik Islam Kontemporer...60

BAB IV PANDANGAN NU TERHADAP WAWASAN KEBANGSAAN DAN KHILAFAH ISLAMIYAH...65

A. Pandangan NU terhadap Azas Pancasila... 65

B. Pandangan NU terhadap Finalisasi Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)...70

C. Pandangan NU terhadap Wawasan Kebangsaan dan Khilafah Islamiyah... 74

D. Analisa Penulis...83

BAB V PENUTUP...85

A. Kesimpulan...85

B. Saran-saran...86


(6)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam sering dipahami sebagai suatu ajaran yang lengkap, ia hadir di mana-mana, serta memberikan panduan dalam berbagai segi kehidupan. Islam juga memberikan panduan mengenai bagaimana kita bersikap, berakidah yang baik, beribadah, bermuamalah dan termasuk dalam kehidupan bernegara. Tegasnya bahwa kehadiran Islam selalu memberikan panduan moral yang baik dan benar dalam segala macam tindakan.1

Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah mengurat nadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia tidak berfungsi sebagaimana dalam praktek formalitas hukum. Menurut Abdul Manan, hukum Islam mempunyai tujuan (Maqasid al-Syariah)2 yang memiliki aspek mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Menurutnya, hukum Islam juga membawa manusia ke bawah naungan hukum agar nantinya manusia terbebas dari belenggu hawa nafsu.3

1

Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), Cet ke-1, h. 7.

2

Tujuan Maqasid al-Syariah yaitu Hifzh al-Din (menjaga agama), Hifzh an-Nafs (menjaga kehidupan), Hifzh al-‘Aql (menjaga akal), Hifzh an-Nasl (menjaga keturunan), Hifzh al-Maal (menjaga harta benda).

3

Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 107.


(7)

vii

Hukum Islam ini dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan perubahan dari berbagai pergerakan. Gerakan Islam ini sejak zaman penjajahan memang telah terlibat dalam aktivitas yang bersifat politis. Kondisi seperti ini lebih diakibatkan oleh peranan Islam yang begitu menentukan dalam meraih kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Gerakan dan peperangan ini dipelopori oleh Imam Bonjol dalam Perang Paderi, Pangeran Diponegoro, Perang Aceh dan serentetan aksi-aksi perjuangan Islam lainnya.4

Di masa kemerdekaan, Islam menjadi tolak ukur moralitas dan merupakan kontribusi penting dalam setiap kebijakan publik serta mejadi alat legitimasi efektif terhadap proses pembangunan. Akan tetapi dalam kenyataannya, kedudukan penting Islam di atas ternyata tidak diimbangi oleh fungsionalisasi Islam dan umat Islam itu sendiri, baik secara politik, hukum, ekonomi maupun sosio-kultural. Islam dan umat Islam dalam perkembangannya selalu pada posisi yang marjinal.5 Pada masa Orde Baru, hukum Islam mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Perkembangan ini didorong oleh gerakan pembaruan pemikiran Islam serta perubahan sikap pemerintah Orde Baru yang lebih akomodatif terhadap berbagai aspirasi umat Islam.

Pada hari Minggu 12 Agustus 2007 yang bertepatan dengan 28 Rajab lalu, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menggelar acara Khilafah Internasional di Istora Senayan. Ribuan umat Islam, tamu undangan, dan para pembicara dari dalam maupun

4

Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, (Jakarta: Logos, 1999), Cet ke-I, h. 155.

5

Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 120.


(8)

luar negeri menghadiri acara tersebut. Suatu hal yang menjadi catatan menarik antara lain tampilnya pembicara dan bahkan para hadirin yang berlatar belakang berbeda organisasi masyarakat (ormas), status pendidikan, sosial ekonomi, serta budaya. Mereka tiba-tiba menjadi bersatu mengusung tema pentingnya menegakkan Khilafah Islamiyah. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mempunyai pandangan untuk mengampanyekan konsep Khilafah Islamiyah, seluruh keterpurukan umat terjadi akibat tidak dilaksanakannya syari’at Islam secara penuh. Sistem dalam Islam hanya diambil sebagian sesuai keinginan mereka yang mengamalkannya. Jika Indonesia ingin baik pada masa mendatang, tidak ada cara lain selain dengan khilafah.6

Dalam konferensi khilafah yang diadakan HTI, ada perwakilan ormas yang terkenal moderat secara terang-terangan tidak hadir dalam acara tersebut yaitu perwakilan dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dengan alasan yang prinsipil;7 berbeda dengan Pengurus Pusat Muhammadiyah yang pada waktu itu ikut membantu memberikan orasi, dengan menyerukan agar umat Islam mengambil esensi dari konsep kekhilafahan yaitu persatuan dan kebersamaan.8

Nahdlatul Ulama (NU) yang berdiri pada tahun 1926 telah tampil sebagai organisasi terbesar yang banyak memberikan sumbangan bagi bangsa. Pengorbanan

6

Kompas, Selasa, 4 September 2007, h. 5.

7

Prinsipil yang dimaksud adalah Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menegaskan, bahwa konsep pemerintahan Islam (Khilafah Islamiyah) tidak pernah jelas bagaimana bentuk dan mekanisme pendiriannya. Kejelasan konsep tersebut hanyalah selalu mengganggu dan mempersoalkan keabsahaan sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. http://www. Pikiran-rakyat.com, Senin 13 Agustus 2007.

8


(9)

ix

NU dan organisasi lainnya pada masa itu baik berupa harta benda, keringat bahkan jiwa ternyata tidak sia-sia karena telah berhasil mengantarkan Indonesia ke gerbang kemerdekaan.9 Di awal kemerdekaan RI, Zuhairi Misrawi menegaskan NU mempunyai arti penting bagi proklamasi kemerdekaan. Para kiai NU mempunyai andil besar, bahkan ikut menegaskan kepemimpinan Bung Karno dengan fatwa “pemimpin yang mempunyai otoritas penuh” (waliy al-amri al-dlarury bi al-syaukah) demi terbentuknya negara yang adil dan berdaulat.10

Sejarah keterlibatan NU dalam berpolitik selalu ada benang merah yang nampak bahwa pertimbangan politiknya senantiasa diambil berdasarkan konteks dan situasi politik yang berkembang. Wajar jika kemudian relasi NU dan pemerintah (negara) seringkali bersifat kompromis dan saling menopang. Misalnya, tokoh NU terlibat secara aktif di dalam pemerintahan.11 Sedangkan pada perkembangan kontemporer, pemikiran keagamaan (Islam) dalam komunitas NU menunjukkan fenomena yang menarik, mereka mempunyai gagasan keagamaan progresif dalam merespons modernitas dengan menggunakan basis pengetahuan tradisional yang mereka miliki setelah dipersentuhkan dengan pengetahuan baru dari berbagai

9

Sudarno Shobron, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam Pentas Politik Nasional, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2003), Cet. Ke-1, h. 43.

10

Zuhairi Misrawi, Menggugat Tradisi: Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU, (Jakarta: Kompas, 2004), Cet. Ke-1, h. 1.

11

Faisal Ismail, Dilema NU di Tengah Badai Pragmatisme Politik, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2004), Cet. Ke-1, h. 52.


(10)

khazanah modern.12 Dewasa ini, ketika pembangunan sedang berjalan masih banyak problematika yang masih memerlukan pemecahan. Di sana kiprah kelompok sosial untuk menentukan perannya dalam memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan dasar manusia. NU sebagai kekuatan sosial keagamaan ditentukan ketepatannya dalam ikut serta menjawab tantangan-tantangan bangsa dan diperlukan tindakan-tindakan nyata dalam menyelesaikan masalah.

Berdasarkan kerangka berpikir di atas, penulis merasa termotivasi untuk meneliti lebih lanjut tentang wawasan bernegara Khilafah Islamiyah menurut sudut pandang ormas Islam yang komunitasnya terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama. Penelitian tersebut penulis kemas dalam bentuk skripsi dengan judul: “Pandangan Nahdlatul Ulama terhadap Wawasan Kebangsaan dan Khilafah Islamiyah".

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, untuk lebih memfokuskan arah penelitian ini, penulis memberikan batasan masalah pada pandangan Nahdlatul Ulama tentang wawasan kebangsaan dan khilafah Islamiyah.

Berkaitan dengan pembatasan masalah di atas, perlu dirumuskan beberapa pokok masalah sebagai berikut:

12

Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Mazhab Negara, (Yogyakarta: Lkis, 2001), Cet. I, h. 138.


(11)

xi

1. Bagaimana konsep wawasan kebangsaan dan perkembangan pemahaman Khilafah Islamiyah?

2. Bagaimana pandangan Nahdlatul Ulama dengan masalah kebangsaan khususnya dalam menyikapi Khilafah Islamiyah?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Secara rinci sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana mewujudkan wawasan kebangsaan dan perkembangan khilafah Islamiyah. Kemudian bagaimana pandangan Nahdlatul Ulama dengan masalah wawasan kebangsaan khususnya dalam menyikapi Khilafah Islamiyah.

Selain penelitian ini memiliki tujuan, diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan pemahaman, khususnya menambah wacana baru seputar pandangan Nahdlatul Ulama terhadap wawasan kebangsaan dan Khilafah Islamiyah.

2. Secara praktisi penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan bahan diskusi.


(12)

Penulisan skripsi ini perlu adanya beberapa literatur untuk mencapai kesempurnaan, di antaranya bersumber dari tesis dan buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi ini, yaitu :

1. “Fundamentalisme Islam Indonesia” (Studi Atas Gerakan dan Pemikiran Hizbut Tahrir) Tesis, Rihlah Nur Aulia.

Dalam tesis ini, memberikan pandangan mengenai kefundamentalan Hizbut Tahrir dapat dilihat dari aspek gerakan dan pemikirannya. Adapun bila dilihat dari aspek gerakan, yaitu: (a) Hizbut Tahrir Indonesia mempunyai keterkaitan dengan keagamaan yang berada di Timur Tengah. (b) Sebuah masa Islam/partai Islam, yang tujuan pembentukan cenderung bersifat luas dan global, yakni untuk menegakkan suatu tatanan sosial yang Islami. Sedangkan dilihat dari aspek pemikirannya berkeyakinan bahwa, Islam adalah agama yang komprehensif dan sempurna, di dalamnya tercakup seluruh aspek kehidupan yang harus dilaksanakan dan dijalani pada setiap umatnya, baik dalam kehidupan pribadi, masyarakat, maupun dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu, bagi Hizbut Tahrir mendirikan Daulah Khilafah Islamiyah adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim. Bagi mereka Islam tidak dapat dipisahkan dengan negara (politik) al-Islam al-Din wa al-Daulah. Kesatuan agama dan politik menjadi paradigma politik mereka terhadap konsepsi negara.

2. “Ahlussunnah Wal-Jama’ah; Dalam Persepsi dan Tradisi NU” karya Muhammad Tholhah Hasan.


(13)

xiii

Secara umum, buku ini membahas Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan (Jam’iyah Islamiyah) yang berhaluan “Ahlussunnah Wal-Jama’ah“ mempunyai ciri khas tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), dan tawazun

(harmoni). Organisasi NU sejak dulu mempunyai kepedulian terhadap kehidupan bangsa dan negara (politik), dan partisipasinya telah diwujudkan dengan berbagai macam manifestasi politik, sampai menjadi kekuatan moral bangsa yang ikut mempengaruhi warna politik nasional. Semua sikap, prilaku dan kiprah, serta perannya tidak lepas dari akar dan nilai-nilai teologis yang diyakini, dan norma-norma syari’ah yang dijunjung tinggi, yakni keyakinan Ahlussunnah wal Jama’ah, serta doktrin-doktrin dan metodologi pemahamannya. Untuk dapat memahami Ahlussunnah wal Jama’ah secara utuh, tidak mungkin hanya menggunakan pendekatan doktrinal saja, tetapi sedikitnya menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan historis, pendekatan kultural, dan pendekatan doktrinal.

3. “NU Studies; Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal” Karya Ahmad Baso.

Buku ini memperkenalkan satu terobosan baru dalam pemikiran Islam di Indonesia. NU Studies, demikian terobosan itu disebut, merupakan himpunan tradisi, pencerahan dan kritisisme, yang berakar dalam khazanah kognitif dan praksis mayoritas umat beragama di nusantara. Sebagai sebuah metodologi, NU Studies, perpaduan antara hibrid dan tradisi ahli sunnah wal jama'ah (aswaja),


(14)

praksis kebangsaan dan ke-Indonesia-an, dan kritik post-kolonial. NU Studies

hadir dalam konteks kampanye “perang melawan terorisme”, “benturan peradaban” dan “perang ide-ide” (war of ideas) yang dilancarkan imperium AS, di satu pihak, dan dalam konteks “al-ghazw al-fikri (invasi pemikiran)” yang diusung kelompok gerakan Islam kanan, dan di pihak lain. Muncul tarik menarik di antara kedua kutub ini, yaitu menjadi moderat-liberal atau menjadi Islami (plesetan dari fundamentalisme dan radikalisme). Di sini agama menjadi lahan eksploitasi dan komodifikasi.

4. “Islam Ahlusunnah Waljama’ah di Indonesia; Sejarah Pemikiran dan Dinamika NU” Aceng Abdul Azis Dy, dkk.

Buku ini membahas tentang munculnya Nahdlatul Ulama sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia, telah dengan sungguh-sungguh melibatkan seluruh elemennya dalam pengembangan pendidikan di Indonesia. Hal ini menunjukkan bukti bahwa NU telah berperan dan bertanggung jawab terhadap berlangsungnya hidup bangsa dan negara Indonesia, bahkan jauh sebelum negara ini merdeka. Ciri khas NU dalam mengembangkan paham Ahlussunnah Waljama’ah terdapat dalam dua hal; keharusan bermazhab dan berpegang pada akidah fiqhiyah “al-muhâfadzah ala qadim al-sâlih wa al-akhdzu bil jadîd al-aslah” (menjaga kesinambungan tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Pentingnya bermazhab dalam mengamalkan ajaran Islam, menurut NU dikarenakan akan (lebih) mendekatkan umat Islam pada kebenaran dan mudah dijangkau.


(15)

xv E. Metode Penelitian

Untuk dapat mencapai tujuan dari pembahasan ini, maka penulis menggunakan metode sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilaksanakan adalah jenis penelitian kualitatif, yang lebih menekankan pada penjelasan data-data yang terkait dengan objek yang diteliti secara

deskriptif. Penelitian berupa studi empiris untuk menemukan teori-teori kebangsaan Nahdlatul Ulama dan Khilafah Islamiyah melalui pendekatan kualitatif.

2. Sumber Data

Dalam penyusunan skripsi ini jenis data yang digunakan adalah data kualitaif di mana pengumpulan data diperoleh dari berbagai sumber tertulis. Data tersebut terbagi pada dua sumber yaitu: pertama, sumber primer meliputi buku-buku tentang kebangsaan Nahdlatul Ulama, di antaranya: Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU, NU Studies dan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur tentang Khilafah Islamiyah. Sedangkan sumber yang kedua adalah sumber sekunder meliputi: Artikel-artikel, majalah risalah serta situs-situs yang berkaitan di antaranya NU online.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Library Research (kajian kepustakaan). Studi pustaka antara lain melalui beberapa buku dan literatur yang dipandang mewakili (representatif) dan berkaitan (relevan) dengan objek penelitian.


(16)

Objek penelitian yang dimaksud adalah pandangan Nahdlatul Ulama terhadap wawasan kebangsaan dan Khilafah Islamiyah.

4. Analisis Data

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai pandangan Nahdlatul Ulama terhadap wawasan kebangsaan dan Khilafah Islamiyah. Dalam menganalisa data, diterapkan tehnik analisis isi (content analysis) secara kualitatif, kemudian data-data yang telah ada dibaca, diselektif dan dianalisis mengikuti sesuai dengan bab-bab yang terkait.

5. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan skripsi ini menggunakan Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta terbitan tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

Agar pembahasan dan penulisan skripsi ini terurai secara sistematis, maka dalam hal ini terbagi menjadi lima bab, dengan susunan sebagai berikut:

Bab Pertama: Merupakan Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, serta Sistematika Penulisan.

Bab Kedua: Menjelaskan sekilas tentang Nahdlatul Ulama; Menjelaskan tentang Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama, Karakteristik Faham


(17)

xvii

Keagamaan, Kiprah Nahdlatul Ulama dalam Kehidupan Bermasyarakat.

Bab Ketiga: Menjelaskan Wawasan Kebangsaan dan Khilafah Islamiyah yang meliputi: Pengertian Wawasan Kebangsaan, Paradigma Pemikiran tentang Islam dan Politik, Pengertian Khilafah, Khilafah Islamiyah dalam Lintasan Sejarah, Khilafah dalam Wacana Politik Islam Kontemporer.

Bab Keempat: Menjelaskan tentang Pandangan Nahdlatul Ulama terhadap Wawasan Kebangsaan dan Khilafah Islamiyah yang meliputi; Pandangan NU terhadap Azas Pancasila, Pandangan NU terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pandangan Nahdlatul Ulama terhadap Wawasan Kebangsaan dan Khilafah Islamiyah.

Bab Kelima: Merupakan penutup yang berisi kesimpulan penelitian dari jawaban atas persoalan-persoalan, juga terdiri dari saran-saran penulis terhadap topik pembahasan yang diangkat dalam penelitian skripsi ini.


(18)

BAB II

SEKILAS TENTANG NAHDLATUL ULAMA

A. Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama

Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi sosial keagamaan (Jam’iyah Diniyah Islamiyah) yang berhaluan Ahlusunnah Wal Jama’ah (Aswaja).13 Organisasi ini didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 M, atau 16 Rajab 1334 H.14 Nahdlatul Ulama yang berarti “kebangkitan para ulama” oleh K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Abdul Wahab Hasbulllah, sebagai wadah mempersatukan diri dan langkah di dalam tugas memelihara, melestarikan, mengemban dan mengamalkan ajaran Islam ‘Ala Ahlisunnah Wal jama’ah dan ‘Ala Ahadil Mazhabil Arba’ah dalam rangka mewujudkan Islam sebagai rahmat alam semesta.15

Di samping itu, Nahdlatul Ulama didirikan untuk mewakili kepentingan para kyai tradisionalis yang posisinya terancam dengan munculnya Islam reformis (Muhammadiyah dan Sarekat Islam) yang semakin meluas sehingga memarginalisasikan kyai, yang sebelumnya merupakan satu-satunya pemimpin dan juru bicara komunitas Muslim. Nahdlatul Ulama juga bertujuan untuk vis-à-vis

13

Paham Ahlusunnah Wal Jama’ah yang dipelopori oleh Imam Asy’ari dan Imam Maturidi digunakan oleh NU dalam hal aqidah. Badrun Alaena, NU, Kritisme dan Pergeseran Makna Aswaja

(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000), Cet. Ke-1, h. 2.

14

Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, (Jakarta: Erlangga, 1992), Cet. Ke-1, h. 1.

15

Aceng Abdul Aziz Dy, dkk, Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia: Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika Nahdlatul Ulama, (Jakarta: Pustaka Ma’arif NU, 2007), Cet. Ke-2, h. 124.


(19)

xix

pemerintahan Kolonial dan juga kaum pembaharu serta menghambat perkembangan organisasi-organisasi yang telah ada. Pendapat ini dikemukakan beberapa penulis seperti Benda, Wetheim dan Geertz.16

Pada tahun 1908 ketegangan timbul antara kalangan tradisional dan modernis sebagian karena perbedaan yang menajam antara taqlid dan ijtihad,17 sebagian lagi karena perkembangan di Jazirah Arab yang waktu itu dikuasai Ibnu Saud (1880-1953). Dia menaklukkan tanah suci dan segera meruntuhkan kuburan dan tanda-tanda kramat yang ada di sana. Kondisi ini berimbas ke tanah air dengan tersiar kabar bahwa di Indonesia praktik bermazhab akan dilarang karena dianggap bid’ah. Untuk mempertahankan dari paham para pembaharu di negeri sendiri, golongan tradisional Islam di Jawa sepakat mendirikan Nahdlatul Ulama. Hanya saja, kemenangan kalangan Wahabi di tanah Arab merupakan sebab langsung berdirinya NU.18

Di sisi lain, berdirinya NU dapat dikatakan sebagai ujung perjalanan dan perkembangan gagasan-gagasan yang muncul di kalangan ulama pada perempat pertama abad 20. Kelahirannya diawali dengan Nahdlatul Tujjar (1918) yang muncul sebagai lambang ekonomi pedesaan, disusul dengan munculnya Tashwirul Afkar

(1922) ─dikenal juga dengan sebutan “Nahdlatul Fikri (kebangkitan pemikiran)”─ sebagai gerakan keilmuan dan kebudayaan, dan Nahdlatul Wathan (1924) merupakan

16

Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru

(Yogyakarta: LKiS, 1997), Cet. Ke-1, h. 26.

17

Andre Feillard, NU Vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta:

LKiS, 1999), Cet. Ke-1, h. 6-7.

18

Delian Noer, Partai-partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Bandung: Mizan, 1999), Cet. ke-2, h. 15.


(20)

gerakan politik dalam bentuk pendidikan. Dengan demikian, bangunan NU didukung tiga pilar utama yang bertumpu pada kesadaran keagamaan paham Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.19

Sebelum berdirinya ketiga organisasi tersebut yang sering disebut cikal bakal berdirinya NU, sebenarnya K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah pada waktu tinggal di Makkah pernah mendirikan semacam “paguyuban” yang anggotanya terdiri dari kaum Nahdliyin yang sedang juga bermukim di Makkah. Tujuan paguyuban tersebut adalah tolong-menolong dan saling membantu dalam hal keuangan, ekonomi dan belajar. Dan jauh sebelum organisasi itu berdiri, telah tersedia basis sosial dan basis masa berdirinya NU. Mereka terdiri dari masyarakat yang berpaham Ahlu Sunnah Wal Jama’ah yang terkumpul di dalam pesantren, kelompok pengajian, kelompok tahlilan, dan kelompok haul.20

Pada bulan Januari 1926, sebelum kongres al-Islam di Bandung, ada suatu rapat antar organisasi pembaharu di Cianjur memutuskan untuk mengirim delegasi yang terdiri dari dua orang ke Makkah. Satu bulan kemudian dalam kongres al-Islam usulan K.H. Wahab Hasbullah agar usul-usul kaum tradisionalis mengenai praktek keagamaan yang dibawa oleh delegasi Indonesia, tetapi usulan tersebut tidak disambut dengan baik oleh peserta kongres. Penolakan itu, dalam pandangan kaum modernis memang masuk akal karena sebagian dari mereka menyambut baik

19

Muajmil Qomar, NU Liberal Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam, (Bandung: Mizan, 2002), Cet. Ke-1, h. 31.

20


(21)

xxi

pembersihan dalam kebiasaan ibadah agama di Arab Saudi. Hal ini telah menyebabkan kaum tradisionalis semakin terpojok sehingga mereka memperjuangkan kepentingan mereka dengan cara mereka sendiri, yakni membuat sebuah komite yang dikenal dengan sebutan “Komite Hijaz” untuk mewakili mereka di hadapan Raja Ibnu Saud. Untuk mempermudah tugas ini, pada tanggal 31 Januari 1926 diputuskan untuk membentuk suatu organisasi yang mewakili Islam tradisionalis yang diberi nama “Nahdlatul Oelama (NO)”. Menurut Aula yang dikutip Andrée Feillard, Muktamar pertama NU baru diadakan bulan Oktober 1926 dan pengiriman delegasi tradisionalis ke Makkah dilakukan dua tahun kemudian. Pada Muktamar ke-3 tahun 1928, NU menetapkan Anggaran Dasar (Statuen) untuk mendapatkan pengakuan pemerintah Belanda, namun pengakuan akhirnya baru diterima pada tanggal 6 Februari 1930. Anggaran Dasar ini tidak menyebut hubungan dengan Hijaz yang merupakan “janin” berdirinya NU. Ia menyebutkan dengan sangat eksplisit bahwa tujuan-tujuan NU adalah mengembangkan ajaran-ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah.21

Pada awal pembentukan NU, Hasyim Asy’ari terpilih sebagai Rais Am, dan Ahmad Dahlan sebagai wakilnya sedangkan Wahab Hasbullah menduduki posisi tertinggi ketiga sebagai Katib Syuriah. Demikianlah Wahab Hasbullah dan Hasyim Asy’ari tampil pada peran yang berbeda, tetapi secara mutualistik saling memerlukan dalam keberhasilan membentuk NU. Wahab Hasbullah menawarkan konsep dan

21


(22)

kemampuan berorganisasi sedangkan Hasyim Asy’ari memberikan legitimasi keagamaan.22

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, yaitu tanggal 17 Agustus 1945. Dalam perjalanan sejarahnya NU pernah bergabung dengan Ormas Islam lain dan melebur ke dalam satu wadah partai politik Islam yaitu partai Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) pada tahun 1947, yang kemudian disusul oleh NU lima tahun kemudian (1952).

Setelah keluar dari Masyumi, NU kemudian menyatakan diri sebagai partai politik Nahdlatul Ulama. Dengan demikian telah berlangsung suatu perubahan yang drastis pada diri NU yaitu dari gerakan ide dan pemikiran atau sosial keagamaan menjadi gerakan politik. Sejak saat itu politik bagi NU menjadi tumpuan segalanya. Sedangkan wilayah garapan sebelumnya seperti agama, pendidikan dan sosial hanyalah disubordinatkan atau dicangkokkan kepada politik. Ini terlihat dari cara tempuhnya yang paling mudah yaitu merubah nama Jam’iyah NU menjadi partai politik NU. Perubahan tersebut dilakukan mulai dari tingkat PBNU sampai ke tingkat ranting.23

Gerakan politik tersebut memperoleh dukungan dari lingkungan eksternal NU, yaitu Presiden Soekarno dengan sistem politik yang dibangunnya, yang menjadikan politik sebagai “Cultural Focus” atau panglimanya. Pada saat itulah NU

22

Greg Fealy dan Greg Barton (ed), Tradisonalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, (Yogyakarta: LkiS, 1996), Cet. Ke-1, h.10-11.

23

Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1985), Cet. Ke-1, h. 119.


(23)

xxiii

boleh dikatakan sukses dalam bidang politik, dimana kepemimpinan umat Islam di Indonesia yang biasannya dipegang oleh Masyumi telah bergerak ke Nahdlatul Ulama. Tetapi dibalik kesuksesan tersebut sebenarnya berlangsung pula proses perubahan yang menyangkut pada tiga hal yang prinsipil, yang dalam perkembangannya merugikan NU sendiri. Tiga hal tersebut adalah: Pertama, kepemimpinan para ulama yang tercermin dalam lembaga Syuriah telah mengalami perubahan. Disadari atau tidak, kepemimpinan NU yang seharusnya berada di tangan

Syuriah telah diambil oleh Tanfidziyah yang terdiri dari para politisi. Kedua, sejalan dengan hal yang pertama, maka pimpinan Syuriah telah disubordinasikan kepada kepentingan politik. Ketiga, terjadi perubahan pandangan terhadap organisasi yang sejak awalnya dipandang sebagai segala-galanya, karena hanya organisasilah kepentingan seseorang atau kelompok akan tercapai. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa pada periode ini telah terjadi waktu yang tingkat kesuksesan politik paling optimal saat itu. Dan pada saat itu pula, telah terkandung benih-benih kerusakan di tubuh organisasi NU sendiri.24

Setelah melalui fase tersebut, termasuk di dalamnya adanya intervensi dari Orde Baru saat itu, Pemerintahan Soeharto menerbitkan kebijakan fusi partai sebagai upaya menata kehidupan politik (Ali Moertopo sebagai pimpinan yang merancang kekuatan menjadi tiga partai saja). NU Parmusi, PSSI dan Perti memfusikan dirinya

24

Lampiran Khittah NU, Dasar-dasar Paham Keagamaan NU, dalam Implementasi Nahdliyah Menuju Indonesia Mutamaddin, yang diterbitkan oleh panitia muktamar NU ke XXX di Surabaya, (Jakarta: Fatma Press, 1999), Cet. Ke-1, h. 4.


(24)

ke dalam satu partai yaitu PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Sedangkan PNI, Partindo, IPKI, Partai Katholik dan Murba memfusikan ke dalam PDI (Partai Demokrasi Indonesia) pada tanggal 10 Februari 1973. Semua itu dilakukan atas desakan pemerintah untuk melaksanakan program penyederhanaan partai politik. Selama 10 tahun di dalam PPP tidak banyak yang dilakukan oleh NU dan sering kali dirugikan. Seperti kita ketahui NU adalah partai terbesar di dalam PPP. Menurut hasil pemilu 1971, NU mendapat 58 kursi, PSII 10 kursi, Perti 2 kursi dan Parmusi 24 kursi, sedangkan Golkar sendiri memperoleh 226 kursi. Maka muncullah kesadaran pada NU, untuk memfungsikan kembali organisasi ini seperti pada awalnya ia didirikan. Dari sinilah tersusun Khittah 1926.25

Munas yang digelar pada tahun 1983, mempertegas hubungan NU dan partai politik. NU telah bersiteguh untuk keluar dari partai politik (PPP) dan menjadi organisasi sosial keagamaan. Hal penting yang dicatat dalam Munas ini adalah sebagai berikut:

“Hak berpolitik adalah salah satu hak asasi seluruh warga negara, termasuk warga negara yang menjadi anggota Nahdlatul Ulama. Tetapi Nahdlatul Ulama bukan merupakan wadah bagi kegiatan politik praktis. Penggunaan hak berpolitik dilakukan menurut ketentuan perundang-undangan yang ada dan dilaksanakan dengan akhlaqul karimah sesuai dengan ajaran Islam, sehingga tercipta kebudayaan politik yang sehat. Nahdlatul Ulama menghargai warga negara yang menggunakan hak politiknya secara baik, bersungguh-sungguh dan bertanggung jawab.”26

25

Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana, h. 103.

26


(25)

xxv

Dengan diterimanya rumusan fundamental dan ideal di atas, maka segera diadakan Muktamar di Situbondo yang berlangsung pada tanggal 8-12 Desember 1984 yang menghasilkan beberapa keputusan penting, yaitu:27

1) Penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal atau landasan dasar NU.

2) Pemulihan keutamaan kepemimpinan ulama dengan menegaskan supremasi Syuriah dan Tanfidziyah dalam status hukum.

3) Penarikan diri dari ‘politik praktis’ dengan cara melarang pengurus NU secara bersamaan memegang kepengurusan di dalam partai politik.

4) Pemilihan pengurus baru dengan usulan program baru yang lebih menekankan pada bidang-bidang non-politik.

Dengan diputuskannya Khittah NU 1926, ini merupakan kilas balik NU menjelaskan identitas dirinya kembali sebagai organisasi sosial kemasyarakatan keagamaan yang tidak masuk dalam sekat politik praktis tertentu. Reposisi NU ini, mejadikannya sebagai bagian dari kelompok gerakan yang berupaya melakukan pemberdayaan warganya baik dalam persoalan pendidikan, dakwah, penyadaran politik, peningkatan ekonomi, pemikiran dan lainnya yang mengusung terjadinya masyarakat yang berdaya dalam berbagai aspek kehidupan.

Pada masa reformasi, para kyai, ulama dan tokoh-tokoh NU yang mengadakan pertemuan di Rembang di Pondok Pesantren pimpinan K.H. Chalil Bisri sepakat untuk mendirikan sebuah partai untuk warga NU. Partai tersebut diberi nama

27


(26)

“Partai Kebangkitan Umat”. Dalam perkembangan selanjutnya partai tersebut yang direstui oleh PBNU, diberi nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur waktu itu sebagai ketua umum PBNU memandang gagasan ini adalah sah-sah saja sebagaimana sahnya kelompok lain untuk mendirikan partai bagi kelompoknya, asal partai tersebut tidak mengatasnamakan NU.

Walaupun NU telah memutuskan untuk berkonsentrasi pada bidang garapan sosial keagamaan (sesuai dengan kembalinya ke Khittah 1926), namun godaan-godaan politik selalu datang menerpanya. Godaan dan politik ini datang dari dua arah. Pertama, dari partai-partai politik yang mempunyai kepentingan terhadap NU dan massa NU yang besar untuk mendukung kepentingan partai politik tadi. Kedua, dari tokoh-tokoh NU sendiri yang berkiprah di berbagai politik dengan cara menggiring NU dan massanya untuk mendukung kepentingan politik mereka. NU, secara langsung maupun tidak langsung, akan selalu terkena dampak politik. Sebab, banyak tokoh NU yang secara aktif terjun sebagai politisi di berbagai partai politik.28

B. Karakteristik Paham Keagamaan

Kata ahlu al-sunnah wa al-jama’ah terdiri dari tiga suku kata, yaitu ahl yang berarti kelompok atau golongan; sunnah yang berarti sunnah Nabi atau hadits; dan

28

Faisal Ismail, Dilema NU di Tengah Badai Pragmatisme Politik, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2004), Cet. Ke-1, h. 54.


(27)

xxvii

jama’ah yang berarti mayoritas.29 Jadi, secara harfiah Ahlussunnah wal Jama’ah berarti penganut Sunnah Nabi Muhammad dan jama’ah (sahabat-sahabatnya). Dalam kajian ilmu kalam, istilah Ahlussunnah wal Jama'ah ini sudah banyak dipakai sejak masa sahabat, sampai generasi-generasi berikutnya. Penyebutan Ahlussunnah wal Jama'ah ini juga digunakan untuk membedakan kelompok ini dari kelompok lain seperti Syi'ah, Khawarij, Murji'ah dan Mu'tazilah.

Istilah Aswaja (Ahlussunnah wal Jama’ah) bagi umat Islam pada umumnya dan terutama di Indonesia khususnya, bukanlah istilah baru. Sekalipun demikian, tidak jarang istilah ini dipahami secara berbeda. Yang pertama, dalam kaca mata sejarah Islam, istilah ini merujuk pada munculnya wacana tandingan ( Counter-discours) terhadap membiaknya paham Muktazilah di dunia Islam, terutama pada masa Abbasiyah. Pada akhir abad ke-3 Hijriyah, hampir bersamaan dengan masa berkuasanya Khalifah Mutawakkil, muncul dua orang tokoh yaitu Abu Hasan al-Asy’ari di Basrah dan Abu Manshur al-Maturidi di Samarkand. Dari kedua pemikir-tokoh ini, secara bersama-sama bersatu membendung kuatnya gejala hegemoni paham Muktazilah yang dilancarkan para tokoh dan pengikutnya. Bahkan, hal ini menjadi mainstream (arus utama) pemikiran keagamaan di dunia Islam yang kemudian mengkristal menjadi sebuah gelombang pemikiran keagamaan, atau yang sering dinisbatkan dengan sebutan Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah yang kemudian populer disebut Aswaja. Kedua, istilah Aswaja populer di kalangan umat Islam,

29

Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqidah Islam (Jakarta: Kencana, 2003), Cet. Ke-I, h. 17.


(28)

terutama didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, at-Tirmidzi, dan Ibn Majah dari Abu Hurairah. 30

Sejak awal berdirinya NU menegaskan diri sebagai jam’iyyah yang merupakan penganut Ahlussunnah wal Jama’ah yang bersumber pada: Al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma’, al-Qiyas (menyamakan suatu masalah yang tidak terdapat ketentuan hukumnya dalam nash dengan masalah yang telah ada ketentuan hukumnya dalam nash karena adanya persamaan motif hukum antara kedua masalah).31 Seperti pada umumnya, NU memahami hakekat Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah ajaran Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw. bersama para sahabatnya. Pengertian ini didasarkan pada hadits berikut:

ﺋاﺮ إ

نإ

ث ﺛ

ا

قﺮ و

ًﺔ

و

ﻗﺮ

اﻮ ﺎﻗ

ًةﺪ او

ًﺔ

إ

رﺎ ا

ﻬ آ

ًﺔ

و

:

؟ﷲا

لﻮ ر

ه

و

لﺎﻗ

:

ﺎ ﺻاو

ﺎ ا

) .

يﺬ ﺮ ا

اور

(

Artinya: “Bahwasannya Bani Israil telah berfirqah-firqah sebanyak 72 millah (firqah) dan akan berfirqah umatku sebanyak 73 firqah, semuanya masuk neraka kecuali satu”. Sahabat-sahabat yang mendengar ucapan ini bertanya: “Siapakah yang satu itu Ya Rasulullah?” Nabi menjawab: “Yang satu itu ialah orang yang berpegang (beri’tiqad) sebagai peganganku (i’tiqadku) dan pegangan-pegangan sahabatku”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi)32

30

Aziz Dy, dkk, Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia, h. 61-62.

31

Marijan, Quo Vadis NU, h. 21.

32

Imam Tirmizi, Shahih at-Tirmizi, (Kairo: Maktabah al-Mashriyyah, 1931), Jil.VII, Juz 13, h. 109.


(29)

xxix

ًةﺪ اﻮ

ًًﺔﻗﺮ

و

ث ﺛ

ﻰ ا

قﺮ

ىﺬ او

رﺎ ا

نﻮ و

نﺎ ﺛو

ﺔ ﺠ ا

:

لﺎﻗ

؟ﷲا

لﻮ ر

ه

:

ﺔ ا

ها

ﺔ ﺎ ﺠ او

) .

ﻰ اﺮ ﻄ ا

اور

(

Artinya: Demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad ditanganNya, akan berfirqah ummatku sebanyak 73 firqah yang satu masuk surga dan yang lain masuk neraka. Bertanya para sahabat: “Siapakah firqah (yang tidak masuk neraka) itu Ya Rasulullah?” Nabi menjawab: “Ahlussunnah Wal-Jama’ah”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Thabrani)33

Dalam kajian Ilmu kalam, masalah firqah (pengelompokan) yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah dalam masalah akidah atau ushuluddin, bukan dalam masalah fiqhiyah (furu'iyah) maupun masalah-masalah ijtima'iyah. Meskipun demikian ada implikasinya (keterkaitannya) dengan masalah-masalah di luar akidah. Sebagai contoh, Syi'ah yang meyakini supremasi kepemimpinan pada keturunan Nabi Muhammad saw. menganggap bahwa para imam mereka itu ma'shum

(tidak bisa salah), ini jelas dapat berpengaruh pada ijtima'iyah, utamanya masalah politik dan pemerintahan. Juga mereka hanya menerima hadits-hadits yang sanadnya bersumber dari "ahlul bait" (lingkungan internal keluarga Nabi saw.), padahal sebagian hadits justru dari sumber-sumber di luar ahlul bait. Akibatnya akan banyak berpengaruh dalam pandangan fiqihnya. Tapi sering kali di lingkungan Nahdliyin, terdapat pernyataan-pernyataan yang menggunakan masalah khilafiyah fiqhiyah

(perbedaan masalah fiqih) sebagai seseorang itu Ahlussunnah atau bukan. Misalnya, orang yang membaca qunut pada shalat Subuh itu Ahlussunnah, dan kalau tidak itu

33


(30)

bukan Ahlussunnah. Atau mengatakan: Orang yang tarawihnya 20 rekaat itu ahlusunnah, sedangkan yang tarawihnya 8 rekaat itu bukan. Pernyataan seperti itu, jelas tidak valid (tidak tepat) dan di luar konteks ahlusunnah, karena hal tersebut masuk dalam kajian "Madzâhib Fiqhiyah", bukan masalah ushuluddin.34

Dalam memahami dan menafsirkan Islam, NU mengikuti paham Ahlussunnah Wal-Jama’ah dan menggunakan cara bermazhab. Hal ini ditegaskan dalam Muktamar NU ke-26 di Semarang (1979) sebagai berikut:

Nahdlatul Ulama bertujuan (a). Menegakkan syari’at Islam menurut Ahlussunnah Wal-Jama’ah, ialah ahli mazhaibil arba’ah (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali); (b). Mengusahakan berlakunya ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam masyarakat. 35

Anggaran Dasar NU sebagai berikut, “Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyah Diniah Islamiyah menurut paham Ahlussunnah Wal-Jama’ah dan berpegang teguh kepada tradisi sebagai berikut:

1) Bidang Akidah (Kalam)

Kata akidah merupakan masdar (infinitif) dari kata kerja ‘aqada yang berarti “ikatan”. Dalam Islam akidah dimaknakan sebagai keyakinan-keyakinan dasar Islam yang harus diyakini oleh setiap muslim. Secara umum keyakinan-keyakinan itu terbagi kepada tiga kelompok, yaitu:

34

Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal-Jama’ah: dalam Persepsi dan Tradisi NU, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), Cet. Ke-3, h. 8.

35

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama, (Jakarta: Lajnah Ta’lif wan Nasyr Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ), h. 7.


(31)

xxxi

a. Pengenalan terhadap sumber keyakinan (ma’rifat al-mabda’), yaitu keberadaan Tuhan.

b. Pengenalan terhadap hal-hal yang dijanjikan akan keberadaannya (ma’rifat al-ma’ad) yaitu keberadaan hari kiamat, surga, neraka, shirat,

mizan, takdir dan lain-lain.

c. Pengenalan terhadap penyampai ajaran-ajaran agama (ma’rifat al-wasithah), yaitu keberadaan Nabi dan Rasul, kitab suci, malaikat.

Ketiga bidang ini harus diyakini keberadaannya, kemudian dinyatakan dalam bentuk ungkapan dan dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Dengan demikian, akidah atau keimanan sangat menentukan posisi seorang muslim. Akidahlah yang membedakan seorang muslim dan kafir, seorang yang mengesakan Tuhan (muwahhid) dan menyekutukan Tuhan (musyrik). 36

Dalam bidang akidah (kalam), NU mengikuti Imam Asy’ari dan Imam Maturidi. Mereka dikenal sebagai pelopor Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Al-Asy’ari adalah pengikut Mazhab Syafi’i, sedangkan Al-Maturidi sebagai pengikut Mazhab Hanafi.37 Dalam pemikiran kalamnya Asy’ari mendahulukan dalil naqli

daripada dalil aqli (taqdim al-naql ‘ala al-‘aql), sedangkan Maturidi sebaliknya, mendahulukan dalil aqli daripada naqli (taqdim al-‘aql ‘ala al-naql). Paham Ahlussunnah wal Jama’ah menempatkan nash al-Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai

36

Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqidah Islam (Jakarta: Kencana, 2003), Cet. Ke-I, h. 37.

37

Siradjudin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal-Jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2003), Cet. Ke-25, h. 3.


(32)

otoritas utama yang berfungsi sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam memahami ajaran Islam. Dalam kaitan ini, akal yang mempunyai potensi untuk membuat penalaran logika, filsafat, dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang kemudian dijadikan sebagai alat bantu untuk memahami nash tersebut.38

2) Bidang Syari'ah atau Fiqih

Syari'ah atau fiqih merupakan aspek keagamaan yang berhubungan dengan kegiatan ibadah dan mu'amalah. Ibadah merupakan tuntutan formal yang berhubungan dengan tata cara seorang hamba dalam berhadapan dengan Tuhannya, seperti yang tergabung dalam rukun Islam. Adapun mu'amalah merupakan bentuk kegiatan ibadah (penghambaan kepada Allah atau pengamalan ajaran agama) yang bersifat sosial, menyangkut hubungan manusia sesamanya secara horizontal (habl min an-nas).

Di bidang syari'ah atau fiqih, warga Nahdlatul Ulama berpegang teguh kepada al-Qur’an dan hadits dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan. Hanya saja untuk memahami dua sumber utama Islam tersebut, menurut paham Ahlussunnah wal Jama'ah tidak semua orang akan dapat menerjermahkan dan memahami secara langsung. Sebagaimana diketahui, kebanyakan nash al-Qur'an maupun Sunnah berbicara tentang pokok dan prinsip-prinsip (ashl; ushul) masalah. Hal ini membutuhkan penjabaran dengan metode

38


(33)

xxxiii

pengambilan hukum tertentu, sehingga dapat diperjelas apa saja yang menjadi cabang-cabangnya (far'; furu').

Di kalangan ulama-ulama Nahdliyin untuk melakukan penetapan suatu hukum diperlukan "istinbat" bukanmenggunakan istilah ijtihad yang tidak semua orang mampu melakuknnya, karena dalam prakteknya para ulama telah melakukan aktifitas ijtihad secara kolektif dalam menetapkan pilihan hukum dari pendapat para ulama mazhab yang mereka jadikan pedoman (walaupun dalam kajian fiqih dan ushul fiqih kedua istilah antara ijtihad dan istinbat tersebut tidak banyak berbeda). Itulah sebabnya mengapa kaum Ahlussunnah wal Jama'ah, mengikuti mazhab tertentu dalam memahami ajaran agamanya menjadi penting. Mazhab yang digunakan NU adalah mazhab empat, yaitu mazhab fiqih terbesar yang dirintis oleh imam mazhab, yakni para mujtahid mutsaqil yang masing-masing mempunyai konsep metodologi (nadhrah manhajiah) sendiri, melahirkan fatwa-fatwa masalah fiqih yang relatif lengkap, dan kesemuanya ditulis secara sistematis menjadi karya tulis yang dapat dipelajari dan dikaji oleh para pengikutnya dan orang lain yang berminat. Para imam Mazhab Empat tersebut adalah:39pertama, Imam Abu Hanifah Nu'man bin Tsabit, lahir pada tahun 80 H. dan wafat tahun 150 H. di Bagdad. Imam Abu Hanifah berdarah Persia, digelari "al-Imam al-A'dhom", menjadi tokoh panutan di Irak, penganut aliran ahli ra'yu dan menjadi tokoh sentralnya. Di antara metodologi/manhaj istinbatnya yang terkenal adalah al-Istihân. Fiqih Abu Hanifah yang menjadi rujukan utama

39


(34)

mazhab Hanafi, ditulis dua orang murid utamanya, yaitu Imam Abu Yusuf bin Ibrahim dan Imam Muhammad bin Hasan al-Syaibani.

Kedua, Imam Malik bin Anas, lahir pada tahun 93 H. dan wafat tahun 179 H. di Madinah. Imam Malik dikenal sebagai "Imam Ahl al-Madinah". Imam Malik seorang ahli hadits yang sangat terkenal, sehingga kitab monumentalnya yang dinamai 'al-Muwatha'" dinilai sebagai hadits hukum yang paling sahih, sebelum adanya Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim. Imam Malik mempunyai konsep manhaj istinbat yang berpengaruh sampai sekarang, yaitu: "al-Maslahah al-Mursalah".

Ketiga, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi'i, lahir pada tahun 150 H. di Ghozza dan wafat pada tahun 204 H. di Mesir. Imam Syafi'i mempunyai latar belakang keilmuan yang memadukan antara ahl al-hadits dan ahl al-ra'yu, karena cukup lama menjadi murid Imam Malik di Madinah dan cukup waktu belajar kepada Imam Muhammad bin Hasan di Bagdad. Metodologi istinbatnya ditulis menjadi buku pertama dalam ushul fiqih, yakni al-Risalah. Pendapat-pendapat dan fatwa-fatwa fiqih Imam Syafi'i ada dua macam: (a) al-Qaul al-Qadîm (yang disampaikan selama berada di Bagdad) dan (b) al-Qaul al-Jadîd (yang disampaikan setelah berada di Mesir, pendapat ini terhimpun dalam kitab " al-Um").

Dan keempat, Imam Ahmad bin Hanbal, lahir pada tahun 164 H dan wafat pada tahun 241 H di Bagdad. Imam Ahmad terkenal sebagai tokoh ahl al-hadits. Beliau adalah seorang murid Imam Syafi'i selama di Bagdad dan sangat


(35)

xxxv

menghormati kepada Imam Syafi'i. Beliau mewariskan sebuah kitab hadits yang terkait dengan hukum-hukum Islam, yakni "Musnad ibn Hanbal".

Fiqih menempati posisi sentral dalam kehidupan masyarakat NU, baik kerangka teoritisnya (ushul al-fiqh) maupun kaidah-kaidah fiqih (qawaid al-fiqhiyyah). Segala perilaku sehari-hari, selalu dilihat berdasarkan kacamata fiqih. Perhatian yang begitu besar terhadap fiqih sesungguhnya merupakan wujud dari adanya sikap hati-hati yang sangat kuat di kalangan warga NU.40

Tidak aneh apabila para pendiri NU mengambil sikap bijksana atas dasar moderatnya (tawasuth), yakni memadukan antara visi ahlu hadits dan visi ahlu ra'yu dengan memilih Mazhab Empat sebagai rujukan pemahaman dan pengalaman hukum fiqihnya. Dengan demikian ditegaskan sebagai Qanun Asasi

(Peraturan Dasar) dalam NU sampai sekarang. Hanya saja dalam praktek dan realitas yang berlaku dalam komunitas Nahdliyin, mulai dari ulama-ulama pesantren sampai ulama-ulama struktural NU (Syuriyah) sampai dengan kaum awam warga Nahdliyin, 99 % mengikuti mazhab Syafi'i, atau lebih tegasnya sebagai pengikut "Fuqaha'u al-Syafi'iyah" (Ulama-ulama fiqih mazhab Syafi'i) terutama dalam masalah ibadah/ubudiyah.

3) Bidang Tasawuf

Secara bahasa para ulama berselisih pendapat tentang asal pengambilan kata tasawuf, apakah kata itu diambil dari kata ash-shafa’ (jernih), ash-shuf (kain

40


(36)

wol), ash-shuffah (penghuni emper masjid), ash-shaf (barisan), atau yang lain. Syaikh Abdul Qadir Jailani berpendapat bahwa kata tasawuf diambil dari kata

ash-shafa’ ar-ruhi (kejernihan jiwa) beralasan bahwa, kata ash-shufiyah mengandung makna yang mendalam dan prinsip-prinsip yang tinggi. Abdul Qadir Jailani mendefinisikan seorang sufi sebagai orang yang jernih batinnya dan secara lahir mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu Alaihi wa Sallam. Sedangkan al-Junaid bin Muhammad mengartikan tasawuf dengan dzikir bersama-sama, cinta dengan mendengar, dan mengerjakan dengan mengikuti.41 Ibrahim Basyuni dalam kajian kritisnya setelah menelaah sekitar 40 macam definisi yang ditemukan antara tahun 200-334 H, dan dirumuskan dalam kalimat: “Tasawuf adalah kesadaran fitrah manusia (tayaqqudh fithriy) yang mengarahkan jiwa tulus dan bersih untuk terus berupaya mencapai kenikmatan rasa berhubungan dekat dengan Yang Maha Wujud (al-Wujud al-Muthlaq). Rumusan tersebut mempunyai arti sebagai berikut:

a. Fitrah manusia merasakan dan menyadari bahwa apa yang terlihat dan terdapat disekitarnya belumlah merupakan keseluruhan wujud. Dibelakang itu masih ada wujud yang lain yang tidak terlihat oleh indera (ghoib), bahkan ada terdapat kekuatan wujud Maha Besar (Tuhan) dimana jiwa manusia merindukan untuk dapat menemukan-Nya, untuk mendekat dan

41

Said bin Musfir al-Qahthani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailan. Penerjemah Munirul Abidin, (Jakarta: Darul Falah, 2003), Cet. Ke-3, h. 401.


(37)

xxxvii

berkomunikasi dengan-Nya. Kesadaran ini disebut sebagai “Fase al-Bidayah” (tahap kesadaran awal).

b. Kesadaran diatas mendorong jiwa manusia melakukan pembersihan diri dari selera nafsu, dari godaan kenikmatan duniawi, dan konsentrasi untuk selalu ingat (dzikir) dan berkomunikasi (munajah) dengan Tuhan tahapan ini disebut “Fase al-Mujahadah”. Rangkaian perjuangan dan latihan rohani (spiritual exercise) yang umumnya para sufi memulai urutan dari: taubat42, zuhud,43 wara’,44 sampai kema’rifah. Capaian dan prestasi dari mujahadah ini akan menentukan pada strata (maqam/maqamat) dimana seorang sufi berada, dan pada masing-masing strata akan memberikan kondisi rohani (hal/ahwal) yang dirasakan oleh sufi yang bersangkutan.

Tasawuf selalu berkaitan dengan disiplin moral, ketekunan beribadah, ketahanan mental dari berbagai macam godaan duniawi, konsisten dalam latihan spiritual (mujahadah), dan komitmen yang tidak terbatas untuk dapat sampai kepada Allah yang benar (al-wujud al-haq). Untuk mencapai nilai-nilai ihsan, maka tasawuf menjadi bagian penting dalam pengalaman agama menurut Ahlussunnah wal Jama’ah. NU, dalam hal ini mengambil jalan untuk

42

Taubat adalah kemauan mengambil langkah nyata dalam perbuatan langkah nyata, dalam perbuatan dan prilaku, dengan meninggalkan semua perbuatan penyimpangan/pelanggaran yang pernah dilakukan.

43

Zuhud adalah mendekatkan diri pada Tuhan dan membuang segala kenikmatan duniawi karena kenikmatan duniawi dipandang lebih kecil dibandingkan kenikmatan akhirat.

44

Wara’ adalah mejauhkan diri dari segala perbuatan yang berbau subhat (yang tidak jelas hukumnya halal atau haram).


(38)

memfokuskan wacana tasawuf yang dikembangkan oleh Abu Hamid al-Ghazali, Abu Qasim al-Junaidi al-Baghdadi, dan imam-imam lainnya yang memadukan antara syari’ah dan tasawuf. Ciri yang paling menonjol dari ajaran mereka adalah bahwa ajaran tasawuf harus dibangun di atas landasan syariat, tasawuf harus selalu menempel pada ketentuan syariat atau tasawuf merupakan tahap lanjut kehidupan orang-orang yang telah mantap syariatnya. Alasan perpaduan kedua unsur ini yang mendasari pilihan NU terhadap wacana tasawuf yang dikembangkan oleh imam-imam tersebut. Nahdlatul ulama dan warganya memang sangat perhatian (concern) terhadap tasawuf, baik secara kelembagaan maupun secara pengalaman. Hal itu dibuktikan dengan adanya badan otonom dalam NU yang bernama “Jami’iyah at-Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah”, juga dalam kehidupan sehari-hari seperti: Tahlilan, istighosah, wirid, tirakat dan lain-lain45

Dengan perkataan lain, apa yang menjadi ruang lingkup dari paham Ahlussunnah wal Jama’ah tersebut pada dasarnya merupakan antara nilai-nilai iman, Islam, dan ihsan. Iman menggambarkan suatu keyakinan, sedangkan Islam menggambarkan syari’ah atau fiqih, dan ihsan menggambarkan kesempurnaan iman dan Islam seseorang.46

C. Kiprah NU dalam Kehidupan Bermasyarakat

45

Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal-Jama’ah, h. 200.

46


(39)

xxxix

Nahdlatul Ulama adalah termasuk salah satu organisasi yang sepanjang perjalanan sejarahnya senantiasa mengalami perubahan orientasi. Ia lahir sebagai organisasi sosial keagamaan, namun kemudian berkembang dan menjadi lebih besar setelah terlibat aktif dalam politik praktis. Jika dicermati secara seksama, perubahan-perubahan yang dilakukan itu ternyata bukan hanya menyangkut persoalan “identitas” organisasi. Akan tetapi, perubahan-perubahan itu dapat dilihat pada sejumlah kasus yang berhubungan dengan kebijakan-kebijakan yang diambil, terutama sekali yang berhubungan dengan masalah politik. Pada saat itu NU tampak sebagai organisasi yang akomodatif dan bahkan kompromistik dengan kekuasaan. Namun pada saat yang berlainan ia justru memperlihatkan sosok yang begitu kritis dan militan.47

Di masa awal berdirinya, NU menitikberatkan perjuangannya di bidang pendidikan, sosial dan perekonomian. Para ulama berbasis pesantren mulai berpikir mengupayakan terwujudnya sarana prasarana mendasar masyarakat agar dapat menjalankan aktivitas ritualnya dengan baik. Nahdlatul Ulama berupaya mendirikan lembaga-lembaga sosial sebagai solusi atas problem kemasyarakatan. Sedangkan di bidang pendidikan, Nahdlatul Ulama berupaya memperbanyak pendirian lembaga-lembaga pendidikan yang berbasis Islam. Pada praktiknya, NU mendorong terjadinya pembaruan pendidikan dan kerja-kerja karitatif. Sistem madrasah/sekolah diperkenalkan dengan tetap melestarikan sistem pendidikan ala pesantren. Di bidang perekonomian, Nahdlatul Ulama berusaha melakukan modernisasi di bidang

47


(40)

pertanian, perdagangan dan industri. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan mendirikan badan-badan usaha; misalnya koperasi.48

NU menyadari sepenuhnya, baik sebagai jam’iyah maupun jama’ah, eksistensinya tidak bisa lepas dari masyarakat. Di samping mengadakan hubungan secara vertikal (dengan para ulama) maupun horizontal (dengan masyarakat sekitar). NU memiliki sikap yang jelas dan tegas dalam berhubungan dengan masyarakat tersebut yang mendapat inspirasi dari dasar-dasar pendirian paham keagamaannya. Sikap ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: tawassuth, i’tidal, tasamuh, tawazun, dan

amar ma’ruf nahi munkar. 1) Tawassuth dan i’tidal

Tawassuth berarti sikap tengah atau moderat yang mencoba menengahi di antara dua kubu, pemikiran atau tindakan yang bertentangan secara ekstrem di dalam kehidupan sosial masyarakat. Sikap ini selalu menumbuhkan sikap lain yang berkaitan, yaitu sikap adil (i’tidal) dalam upaya mewujudkan keadilan, suatu bentuk tindakan yang dihasilkan dari berbagai pertimbangan. Oleh karena itu, NU tidak menggunakan patokan-patokan legal-formal semata dalam memberikan pemecahan terhadap suatu masalah, tetapi juga menggunakan pertimbangan-pertimbangan sosiologis, psikologis, dan sebagainya. Melalui sikap tawassuth dan i’tidal ini, NU beriktikad menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus serta selalu bersifat

48

Hilmi Muhammadiyah dan Sulthan Fatoni, NU: Identitas Islam Indonesia, (Jakarta: Elsas 2004), Cet. Ke-1, h. 122.


(41)

xli

membangun dan serta menghindari segala pendekatan yang bersifat ekstrem (tatharruf). NU dapat mengakomodasi berbagai kepentingan dan pemikiran masyarakat yang heterogen latar belakangnya, baik sosial, politik, maupun budaya serta menjadi perekat untuk memperkukuh eksistensi masyarakat yang bersatu, rukun, damai yang ditopang oleh kesadaran bersama. 49

2) Tasamuh (Toleran)

Sikap tasamuh ini berarti memberikan tempat dan kesempatan yang sama pada siapa pun tanpa memandang perbedaan latar belakang apapun. Dasar pertimbangannya murni karena integritas, kualitas dan kemampuan pribadi. Sikap tasamuh juga nampak dalam memandang perbedaan pendapat baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi masalah khilafiah, serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan. NU menyadari benar bahwa orang lain tidak bisa dipaksa mengikuti pandangannya sehingga tidak perlu dihujat, dilecehkan dan dicaci maki, melainkan pandangan orang lain itu dihargai dan dihormati.50

3) Tawazun (Seimbang)

Sikap tawazun adalah sikap seimbang dalam berkhidmah, khidmah kepada Allah Swt. (habl min Allah), khidmah kepada sesama manusia (habl min al-nas) maupun dengan alam lingkungannya. Termasuk sikap ini adalah

49

Qomar, NU Liberal dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam, h. 91.

50


(42)

seimbang dalam menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Atas dasar sikap ini NU tidak membenarkan kehidupan yang berat sebelah, misalnya seseorang rajin beribadah tetapi tidak mau bekerja sehingga menyebabkan keluarganya terlantar. Jalinan berbagai hubungan ini diupayakan membentuk suatu pribadi yang memiliki ketaqwaan mendalam kepada Allah Swt., memiliki hubungan sosial yang harmonis dengan sesama manusia termasuk dengan non-Muslim sekalipun, dan memiliki kepedulian untuk menjaga kelestarian alam lingkungannya.51

4) Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Menurut Nurcholish Madjid, ma’ruf sering diterjemahkan dengan arti kebaikan. Kalau kita dekati lagi dari segi bahasa itu satu akar dengan kata

‘arafa’-ya’rifu yang berarti tahu. Maka al-ma’ruf adalah yang diketahui dengan baik. Sedangkan munkar menurutnya adalah fasaad fil ardh, yaitu melakukan pengerusakan di bumi.52 Jadi sikap amar ma’ruf nahi munkar

adalah sikap yang mendorong amal perbuatan yang baik dan mencegah kemungkaran. Sikap ini sebagai realisasi dari keterlibatan NU untuk membangun masyarakat yang selalu memiliki kepekaan, keterlibatan dan tanggung jawab untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta mewujudkan upaya preventif dalam

51

PBNU, Jati Diri Nahdlatul Ulama, h. 19.

52


(43)

xliii

semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.

Amar ma’ruf nahi munkar lebih memiliki makna dan fungsi ruh keagamaan yang senantiasa memberikan motivasi, makna, arah dan kontrol agar manusia dan masyarakatnya senantiasa tetap terjaga kemartabatan dirinya.53

Keempat kemasyarakatan NU ini selanjutnya diaktualisasikan ke dalam “lima jaminan dasar kehidupan” atau yang dikenal dalam ilmu fiqih sebagai Kuliyat al-Khamsah, dengan pemaknaan sebagai berikut:

(1) Jaminan hak terhadap keyakinan keagamaan atau Hifzh al-Din,

(2) Jaminan hak untuk hidup dan berkembang secara layak atau Hifzh an-Nafs, (3) Jaminan hak berekspresi dan berpendapat secara bebas atau Hifzh al-‘Aql,

(4) Jaminan hak masa depan keturunan dan generasi yang baik serta berkalitas atau

Hifzh an-Nasl, dan

(5) Jaminan hak milik, harta benda, dan sejenisnya atau Hifzh al-Maal.

53


(44)

BAB III

WAWASAN KEBANGSAAN DAN KHILAFAH ISLAMIYAH

A. Pengertian Wawasan Kebangsaan

Kata wawasan berasal dari kata “wawas” yang mempunyai arti tinjauan, pandangan, konsepsi cara pandang. Sedangkan term “bangsa” sebagai akar kata “kebangsaan”. Menurut kamus besar bahasa Indonesia kata “bangsa” memiliki arti kesatuan orang-orang yang mempunyai kesamaan sejarah, kesamaan cita-cita dan perjuangan serta berpemerintahan sendiri meskipun kemungkinan di antaranya ada perbedaan dalam asal-usul keturunan (ras), keyakinan (agama) maupun bahasa. Dan kata “kebangsaan” memiliki makna sebagai ciri-ciri yang menandai golongan bangsa.54

Dalam kosa kata Arab sering dipakai dengan kata “qaum”, “syu’ub”, atau “ummat”. Dalam al-Qur’an Allah menyebut term “qaum” 283 kali, “syu’ub” 2 kali, dan “ummat” 64 kali. Dari ratusan ayat tersebut, paling tidak ada empat pointers yang dapat kita tarik sebagai karakter suatu bangsa, antara lain;

1. Bahwa bangsa berarti komunitas manusia secara keseluruhan, sebagaimana dalam firman-Nya: “kânan nâsu ummatan wâhidatan”55, manusia adalah ummat

(bangsa) yang satu.

54

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), Cet. Ke-I, h. 76.

55


(45)

xlv

2. Bahwa bangsa berarti hanya khusus kaum muslimin saja, seperti firman-Nya “wa kadzâlika ja’alnâkum ummatan wasathan li-takûnû syuhadâ ‘alan-nâs’...”56, dan demikian kami telah menjadikan kamu (umat Islam), ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia.

3. Bahwa ummat berarti seorang diri saja, misalnya firman Allah “innâ Ibrâhîma kâna ummatan qânitan hanifan”57, sesungguhnya Ibrahim adalah ummat (bangsa, imam) yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif (seorang yang selalu berpegang kepada kebenaran dan tak pernah meninggalkannya). 4. Bahwa bangsa (ummat) itu meliputi seluruh mahluk di muka bumi, sebagaimana

dalam firman Allah “wa mâ min dâbbatin fil ardli wa lâ thâirin yathîru bi janâhaihi illâ umamun amtsâlukum”,58 dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan bangsa-bangsa (umat-umat) seperti kamu.

Dari keempat karakter bangsa di atas, dapat ditarik suatu benang merah bahwa hakikat kebangsaan tidak terlepas dari suatu generasi (al-jiil) dan komunitas. Realitas sikap kebangsaan dalam tubuh umat Islam merupakan implementasi dari misi “rahmatan lil-‘alamin” sehingga eksklusifitas mereka harus diminimalkan. Sikap kebangsaan ini diaplikasikan Rasulullah saw. dalam membangun masyarakat Madinah di bawah panji “Madinah Charter” (Watsiqah Madinah atau Piagam

56

Q.S. Al-Baqarah ayat 143.

57

Q.S. An-Nahl ayat 120.

58


(46)

Madinah). Dalam perjanjian luhur yang mengikat Yahudi, Kristiani, Muslim dan Paganis tersebut kata Islam dan al-Qur’an sama sekali tidak pernah ditampilkan. Karakter ini dikuatkan dengan risalah terakhir dalam Islam yang disampaikan Nabi saw. dalam Haji Wada’. Satu-satunya ibadah haji yang pernah dilakukan Rasulullah semasa hidup tersebut, beliau berpesan kepada seluruh umat manusia untuk selalu menghormati hak-hak seseorang, mengangkat kehormatan wanita, menghindarkan pertumpahan darah. Inti khutbah perpisahan Nabi saw jika diaktualisasikan, bahwa ke-Islam-an seseorang belumlah sempurna tanpa pelaksanaan hak-hak asasi manusia di muka bumi.59

Di antara pemikir Sunni yang memulai menyebut gagasan al-Wathan (tanah air) dalam konteks berbangsa dan bernegara adalah At-Thahthowi, kemudian Abdurrahman al-Kawakibi pada awal abad ke-20 mempopulerkan istilah Wathoniyah ketika berbicara mengenai sesuatu yang dapat menyatukan antara komunitas Arab-Muslim dengan Arab non-Arab-Muslim, kemudian masalah al-Wathaniyah (nasionalisme dan kebangsaan) baru muncul secara politik praktis, setelah kekuasaan kesultanan Utsmaniyah dibubarkan oleh Kemal Ataturk di Turki dan lahirnya Negara Bangsa (Nation State) yang pertama dalam masyarakat Islam Turki pada tahun 1924 M.60

59

Said Aqiel Siradj, Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri, (Jakarta: Pustaka Ciganjur: 1999), Cet. Ke-1, h. 194.

60


(47)

xlvii

Menurut Quraish Shihab bahwa unsur-unsur yang mendasari paham kebangsaan adalah:

1. Persatuan dan kesatuan

2. Asal keturunan, dalam hal ini Quraish Shihab mengambil contoh yang dilakukan Rasulullah ketika di Madinah, yaitu dengan adanya Piagam Madinah yang berisi ketentuan/kesepakatan masyarakat Madinah dalam satu ikatan yang justru mengelompokkan anggotanya pada suku-suku tertentu dan masing-masing dinamai ummat. Kemudian mereka yang berbeda agama itu bersepakat menjalin kesatuan ketika membela kota Madinah. Hanya saja pengelompokkan dalam suku bangsa tidak boleh menyebabkan fanatisme buta, apalagi menimbulkan sikap superioritas dan pelecehan.

3. Bahasa, menurut Quraish Shihab bahwa bahasa bukan sekedar untuk menyampaikan pembicaraan yang diucapkan oleh lidah, tetapi bahasa merupakan jembatan penyalur perasaan dan pikiran. Karena itu pula kesatuan bahasa dapat memelihara identitasnya, sekaligus menjadi bukti keberadaannya.

4. Adat-istiadat. Pikiran dan perasaan satu kelompok umat tercermin antara lain dalam adat-istiadatnya. Dalam Islam pakar-pakar hukum menetapkan bahwa adat kebiasaan dalam suatu masyarakat selama tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam, dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan hukum (al-adat muhakkamah).

5. Sejarah. Persamaan sejarah muncul sebagai unsur kebangsaan, karena unsur ini merupakan salah satu yang terpenting demi menyatukan perasaan, pikiran dan


(48)

langkah-langkah masyarakat. Sejarah menjadi penting karena umat, bangsa dan kelompok-kelompok dapat melihat dampak positif atau negatif pengalaman masa lalu, kemudian mengambil sejarah untuk melangkah ke masa depan.

6. Cinta tanah air. Rasa kebangsaan tidak dapat dinyatakan adanya, tanpa dibuktikan oleh patriotisme dan cinta tanah air.61

Jadi wawasan kebangsaan secara umum adalah tuntutan suatu bangsa untuk mewujudkan jati dirinya serta mengembangkan prilakunya sebagai bangsa yang meyakini nilai-nilai luhur budayanya, yang lahir dan tumbuh subur sebagai penjelmaan kepribadiannya62. Dalam negara Indonesia realitas konsep wawasan kebangsaan ini direalisasikan untuk meng-counter konsep-konsep primordial, sektarian dan paham-paham lain yang dapat merangsang timbulnya masalah-masalah SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) yang dapat menimbulkan kerawanan terhadap persatuan bangsa.

B. Paradigma Pemikiran tentang Islam dan Politik

Politik merupakan salah satu dimensi dari sekian banyak dimensi ajaran Islam. Islam tidak hanya merupakan sistem kepercayaan dan sistem ibadah, tetapi juga sistem kemasyarakatan. Sebagai salah satu bagian dari aspek kemasyarakatan, politik yang diungkapkan dalam bentuk garis besar atau prinsip-prinsip umum saja,

61

M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1997), Cet. Ke-4, h. 334-335.

62

Ginanjar Kartasasmita, Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1996).


(49)

xlix

menimbulkan perbedaan interpretasi yang mengakibatkan beragamnya pemikiran dan aksi politik. Hal ini kemudian menjadi bahan perdebatan yang tak berkesudahan di kalangan para pemikir muslim. Menurut Mumtaz Ahmad, masalah-masalah yang mendapat sorotan tajam antara lain berkaitan dengan hakikat, karakteristik serta ruang lingkup suatu negara Islam dan sistem politik Islam yang khas.63

Sementara menurut John L. Esposito, tidak adanya model yang konkrit tentang apa yang disebut sebagai “Negara Islam” menjurus pada kebingungan dan ketidak-sepakatan. Kebingungan tersebut menurut Esposito disebabkan oleh empat faktor: (1) Negara yang didirikan oleh Nabi Muhammad Saw. di Madinah yang dipandang ideal ternyata tidak memberikan suatu model terperinci; (2) Pelaksanaan Khilafah pada Bani Ummayyah dan Bani Abbasiyyah hanya memberikan suatu kerangka mengenai lembaga-lembaga politik dan perpajakan; (3) Pembahasan mengenai rumusan ideal (hukum Islam dan teori politik) hanya menghasilkan rumusan idealis dan teoritis dari suatu masyarakat yang utopian; dan (4) Hubungan agama dan negara dari masa ke masa menjadi subjek bagi keragaman interpretasi. 64

Walaupun demikian, upaya untuk mencari rumusan ideal tentang negara dalam Islam terus diupayakan oleh para pemikir Islam. Menurut Dien Syamsuddin, bahwa upaya pencarian konsep ini mengandung dua maksud, yaitu: pertama, untuk menemukan idealitas Islam tentang negara yang menekankan pada aspek teoritis dan

63

Mumtaz Ahmad, (ed.), Masalah-masalah Teori Politik Islam, Alih Bahasa: Ena Hadi, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. Ke-3, h. 15.

64


(50)

formal. Pandangan ini bermaksud untuk mencoba menjawab pertanyaan tentang bagaimana bentuk dari negara Islam. Menurut Dien, pendekatan ini berawal dari asumsi bahwa Islam memiliki konsep tertentu tentang negara. Kedua, untuk melakukan idealisasi dari perspektif Islam terhadap proses penyelenggaraan negara yang menekankan pada aspek praksis dan subtansial. Pandangan ini bermaksud untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana isi negara menurut Islam. Pendekatan ini didasarkan pada anggapan bahwa Islam tidak membawa konsep tertentu tentang negara, tetapi hanya menawarkan prinsip-prinsip dasar berupa etika dan moral.65

Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh Bahtiar Effendy. Menurut Bahtiar, bahwa pandangan tentang bentuk negara dalam Islam mengerucut pada dua spektrum pemikiran. Pada spektrum pemikiran yang pertama, terdapat kalangan yang beranggapan bahwa Islam harus menjadi dasar negara; bahwa syari’ah harus diterima sebagai konstitusi negara; bahwa kedaulatan politik ada di tangan Tuhan; bahwa gagasan tentang negara bangsa (nation state) bertentangan dengan konsep ummah

(komunitas Islam) yang tidak mengenal batasan-batasan politik dan kedaerahan, dan bahwa aplikasi prinsip syura berbeda dengan gagasan demokrasi yang dikenal dalam diskursus politik modern dewasa ini. Sementara spektrum pemikiran yang kedua, beberapa kalangan intelektual muslim berpendapat bahwa Islam tidak meletakkan

65

M. Dien Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta: Logos, 2001), Cet. Ke-1, h. 12.


(51)

li

suatu pola baku tentang teori negara (sistem politik Islam) yang harus dijalankan oleh umat.66

Dua hal pemikiran di atas selalu tarik-menarik. Di satu sisi sebuah tantangan realitas politik harus dijawab, sebaliknya di sisi lain sebuah tantangan idealitas agama yang harus dipahami juga sedang mencari jawaban. Subtansi pemikiran sebagai akibat perbedaan metodologi dan interpretasi di atas, menimbulkan polarisasi pemikiran politik Islam kontemporer.

Menurut Munawir Sjadzali berpendapat, bahwa ada tiga pendapat mengenai hubungan antara Islam dan negara, yaitu:67

(1) Pendapat bahwa Islam adalah agama yang lengkap dan mencakup semua aspek kehidupan, termasuk kehidupan bernegara. Pendapat ini merupakan pemikiran kelompok tradisionalis;

(2) Pendapat bahwa Islam hanya memuat prinsip-prinsip umum tentang kehidupan kenegaraan, sedangkan aturan-aturan operasionalnya bisa merupakan hasil pemikiran umat Islam sendiri atau mengadopsi dari umat lain (dalam hal ini Barat). Pendapat ini kemudian menjadi ciri khas kelompok modernis;

(3) Pendapat bahwa Islam, seperti halnya agama-agama lain, memisahkan persoalan-persoalan agama dan negara. Pendapat ini diikuti oleh kelompok sekularis.

66

Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Tranformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), Cet. Ke-1, h. 12.

67

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990), h. 1.


(52)

Istilah “Fundamentalisme Islam” yang memandang bahwa Islam sebagai ajaran yang lengkap, mencakup bentuk dan sistem ketatanegaraan.68 Kaum fundamentalis, menurut Montgomery Watt memandang bahwa “Islam bukanlah menjadi dirinya yang sebenarnya, kecuali di dalam suatu negara Islam, yakni negara yang diperintah oleh kaum muslimin yang menerapkan syari’ah sebagai hukum”.69

Sementara “Modernisme Islam” lebih memusatkan perhatiannya kepada penafsiran kembali hukum Islam untuk mengakomodasi realitas modern tanpa mengorbankan nilai-nilai etik, spiritualitas, dan sosial Islam. Islam dan modernisme memang cenderung ke arah “sekularisme”, dimana gagasan sekular dan rasional ke dalam masyarakat Islam, menggantikan pandangan keagamaan pada umumnya sebagai akibat pengaruh Barat. Di samping itu, pengaruh umat Islam menurun, baik elit agama (ulama) maupun elit hukum (fuqaha) dalam proses politik. Sedangkan kaum sekular menekankan adanya keterpisahan yang nyata di antara keduanya, bagi mereka Islam dan politik merupakan dua hal yang berbeda. Mendirikan negara bukanlah suatu kewajiban agama, itu hanya kebutuhan duniawi yang lepas dari pengaruh agama. Oleh karena itu, menempatkan agama di satu pihak dan politik di pihak lain merupakan wujud dari tidak adanya hubungan antara Islam dan politik. 70

68

Lebih lengkap bisa dilihat rumusan al-Maududi tentang “Teori Khilafah” dalam Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis terhadap Sistem Pemerintahan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. Ke-4, h. 19-21.

69

W. Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, alih bahasa: Taufik Adnan Amal, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), Cet. Ke-1, h. 184.

70

Michael C. Hudson, Islam dan Perkembangan Politik”, dalam John L. Esposito, (ed.),

Identitas Islam pada Perubahan Sosial-Politik, alih bahasa: Zainuddin Rahman, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), Cet. Ke-1, h. 29-30.


(53)

liii C. Pengertian Khilafah Islamiyah

Sebelum menguraikan definisi tentang khilafah, penulis merasa perlu untuk memetakan beberapa kandungan al-Qur’an yang berkaitan dengan khilafah terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui dasar-dasar normatif-teologisnya.

Di dalam al-Qur’an, terdapat tiga derivasi yang digunakan untuk kata khalifah.

1. Dalam bentuk tunggal: Khalifah

☺ ⌧

⌧ ☺

Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S. Al-Baqarah: 30).

⌧ ⌧

Artinya: “Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.


(54)

Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Q.S. Shaad: 26)

2. Dalam bentuk jamak: Khulafa’

Artinya: “Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikam kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum 'Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.”

(Q.S. Shaad: 74) ☺

⌧ ⌧

Artinya: “Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan, apabila ia berdoa kepada-Nya, dan menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khulafa’ di bumi…” (Q.S. An-Naml: 62)

3. Dalam bentuk Jamak Kasrat71: khalaif

71

Bentuk ini digunakan untuk konotasi kuantitatif tak terbatas, Abdul Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-2, h. 111.


(55)

lv

⌧ ☺

Artinya: “Kemudian kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.” (Q.S. Yunus: 14)

☺ ⌧ ⌧

Artinya: “Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi barang siapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemakmuran pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.”(Q.S. Fathir: 39)

⌧ ⌧

Artinya: “Lalu mereka mendustakan Nuh, maka kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami jadikan mereka itu pemegang kekuasaan dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu.”

(Q.S. Yunus: 73)

Dari ayat di atas, kata khalifah (

ﺔ ﺧ

) dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 30 dan Q.S. Shad [38]: 26 dihubungkan dengan Nabi Adam dan Nabi Daud yang diciptakan dan diutus Tuhan untuk menjadi wakil-Nya di muka bumi. Khusus yang berkaitan dengan Nabi Daud, Dien Syamsuddin menyatakan bahwa konsep khalifatullah membawa


(56)

implikasi makna yang bersifat universal, yaitu berlaku untuk setiap manusia.72 Sedang khulafa’ dalam Q.S. al-‘Araf [7]: 69 dan 74, dan Q.S. an-Naml [27]: 62, dipergunakan dalam konteks pembicaraan orang-orang kafir. Sementara khalaif

(

) dalam Q.S. Yunus [10]: 14 dan 73; Q.S. al-An’am [6]: 165; Q.S. Fathir [35]: 39, menurut Abdul Muin Salim, dipergunakan dengan merujuk kepada umat manusia pada umumnya dan orang-orang beriman pada khususnya.73

Khalifah (

ﺔ ﺧ

) atau khalaif (

ﺋ ﺧ

) memiliki pengertian yang berbeda,74 terdapat tiga pengertian: (1) pengganti, (2) pemimpin, dan (3) penguasa. Kata

khalifah —yang berakar kata khalafa— mengandung kata dasar lain: menggantikan, mengikuti, datang kemudian. Menurut Dien Syamsuddin, khalifah (

ﺔ ﺧ

) dalam al-Qur’an menunjukkan arti “pengganti” atau “wakil”, seperti dalam ungkapan

khalifatullah fi al-ardl (wakil Tuhan di bumi).75

Baik dalam arti “pengganti”, “wakil Tuhan”, dan “penguasa”, kata khalifah (

ﺔ ﺧ

) melahirkan beberapa kecenderungan penafsiran. Di satu pihak ada yang menafsirkan hal-hal yang berkaitan dengan pengertian khalifah (

ﺔ ﺧ

) tertuju kepada manusia secara keseluruhan tanpa ada kaitannya dengan politik. Sementara di pihak lain, pengertian itu terkait erat dengan kekuasaan politik yang terwujud dalam bentuk

72

Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani.,h. 80.

73

Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an.,h. 110.

74

Bentuk jamak lainnya adalah khawalif (“wakil-wakil”). M. Said Syaikh, Kamus Filsafat Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1991), Cet. Ke-1, h. 67.

75


(1)

4. Untuk mengingat betapa pentingnya peranan ilmu ketatanegaraan Islam (fiqih siyasah), diharapkan agar Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memberikan pendidikan yang lebih mendalam.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim dan terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 1992.

Abbas, Siradjudin, I’tiqad Ahlussunnah wal-Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2003.

Ahmad, Mumtaz, (ed.), Masalah-masalah Teori Politik Islam, Alih Bahasa: Ena Hadi, Bandung: Mizan, 1996.

Alaena, Badrun, NU, Kritisme dan Pergeseran Makna Aswaja, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000..

Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam: dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga Postmodernisme, Jakarta: Paramadina, 1996.

Baso, Ahmad, NU Studies, Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal, Jakarta: Erlangga, 2006.

Bruinessen, Martin Van, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru Yogyakarta: LKiS, 1997.

Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, Jakarta: CV. Anda Utama, 1993.

Dy, Aceng Abdul Aziz, dkk, Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia: Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika Nahdlatul Ulama, Jakarta: Pustaka Ma’arif NU, 2007.

Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.

Engineer, Ashgar Ali, Asal-usul dan Perkembangan Islam: Analisis Pertumbuhan Sosial-Ekonomi, Yogyakarta, Pustaka-Insist, 1999.

Esposito, John L., Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?, alih bahasa: Alwiyyah Abdurrahman, Bandung: Mizan, 1996.


(3)

Fealy, Greg dan Greg Barton (ed), Tradisonalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, Yogyakarta: LkiS, 1996.

Feillard, Andre, NU Vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, Yogyakarta: LKiS, 1999.

Glasse, Cyrill, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Hasan, Muhammad Tholhah, Ahlussunnah Wal-Jama’ah: dalam Persepsi dan Tradisi NU, Jakarta: Lantabora Press, 2005.

Hudson, Michael C., Islam dan Perkembangan Politik”, dalam John L. Esposito, (ed.), Identitas Islam pada Perubahan Sosial-Politik, alih bahasa: Zainuddin Rahman, Jakarta: Bulan Bintang, 1986.

Ismail, Faisal, Dilema NU di Tengah Badai Pragmatisme Politik, Jakarta: Departemen Agama RI, 2004.

____________, Momentum Historis Gerakan Pencerahan Islam: Peranan Nabi Muhammad saw dan Para Khalifah al-Rasyidin Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Mitra Cendekia, 2004.

___________, Pijar-pijar Islam; Pergumulan Kultur dan Struktur, Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat keagamaan, 2002.

Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988. Khaldun, Ibn, Muqaddimah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.

Lampiran Khittah NU, Dasar-dasar Paham Keagamaan NU, dalam Implementasi Nahdliyah Menuju Indonesia Mutamaddin, yang diterbitkan oleh Panitia Muktamar NU ke XXX di Surabaya, Jakarta: Fatma Press, 1999.

Maarif, Ahmad Syafi’i, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985. Madjid, Nurcholis, Islam: Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1998. Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo


(4)

Marijan, Kacung, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, Jakarta: Erlangga, 1992.

Al-Maududi, Abul ‘Ala, Khalifah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam, Bandung: Mizan, 1994.

Misrawi, Zuhairi, Menggugat Tradisi: Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU, Jakarta: Kompas, 2004.

Mujieb, M. Abdul, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995. Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1985. _____________, Teologi Islam: Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta: UI

Press, 1986.

PBNU, Jati Diri Nahdlatul Ulama, Jakarta: PBNU, 2002.

Al-Qahthani, Said bin Musfir, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailan. Penerjemah Munirul Abidin, Jakarta: Darul Falah, 2003.

Qomar, Muajmil, NU Liberal Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam, Bandung: Mizan, 2002.

Qardhawi, Yusuf, Fiqh Dawlah dalam Perspektif al-Qur’an dan Sunnah, alih bahasa: Kathur Suhudi, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998.

Rahardjo, Iman Toto K. & Suko Sudarso, Bung Karno, Islam, Pancasila & NKRI, Jakarta: Komunitas Nasionalis Religius Indonesia, 2006.

Raharjo, M. Dawam, Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 1996.

Rais, Dhiya’ ad-Din, Islam dan Khilafah, Kritik Terhadap Buku Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam, Bandung: Pustaka, 1985.

Raziq, Ali Abdur, Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam, alih bahasa: Afif Muhammad, Bandung: Pustaka, 1985.

Salim, Abdul Muin, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.


(5)

Siradj, Said Aqil, Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri, Jakarta: Pustaka Ciganjur: 1999.

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1990.

Syaharstani, al-Milal wa an-Nihal, Kairo: Maktabah al-Halabi, 1968.

Syamsuddin, M. Dien, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Logos, 2001.

Tirmizi, Imam, Shahih at-Tirmizi, Kairo: Maktabah al-Mashriyyah, 1931.

Watt, W. Montgomery, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, alih bahasa: Taufik Adnan Amal, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.

Yatim, Badri, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, Jakarta: Logos, 1999. Artikel Media Massa dan Majalah

Said, Imam Ghazali, Syaikh Hasyim Asy’ari antara Khilafah dan Nasionalisme, Risalah Nahdlatul Ulama, edisi ke- IV

Siradj, Said Aqil, Bukan Negara Islam tapi Negara Damai, Risalah Nahdlatul Ulama, edisi ke- IV.

Hasan, Muhammad Tholhah, Relistiskah Khilafah di Milenium Perubahan?, Risalah Nahdlatul Ulama, edisi ke- IV.

Hasil Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-XXX, Jakarta: PBNU, 2000. Media Indonesia, 13 Agustus 2007

Kompas, Selasa, 4 September 2007. Internet

Abdusshomad, Muhyiddin, "NU Vis A Vis Transnasionalisme", artikel diakses tanggal 10 Maret 2008 dari http://www.lakpesdam.or.id/index. php?id=185. http ://www. Pikiran-rakyat.com, Senin 13 Agustus 2007.


(6)