Uslub al-hazf dan efek psikologis estetika al-qurán terhadap pembaca dan pendengarnya

USLUB AL-HAZF DAN EFEK PSIKOLOGIS ESTETIKA AL-QURÁN
TERHADAP PEMBACA DAN PENDENGARNYA
Faizah Ali Syibromalisi
Email. faizahalis@gmail.com
Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Abstrak: Al-Qurán sebagai kitab suci al-Karim yang membenarkan risalah Nabi
Muhammad SAW memiliki aspek estetika dan ketelitian redaksinya. Aspek ini
memiliki efek psikologis terhadap pembaca dan pendengarnya sehingga ketinggian
estetika Al-Qurán dianggap sebagai aspek kemukjizatan Al-Qurán. Uslub al-Hazf yaitu
penghilangan kata dalam kalimat yang dikenal dalam sastra Indonesia sebagai bentuk
ellipsis merupakan salah satu fenomena kemukjizatan Al-Qurán yang mencerminkan
kekayaan makna dan keindahan gaya bahasa Al-Qurán. Uslub al-Hazf dimaksudkan
untuk menghindari kekeringan makna dan kekosongan gaya bahasa serta
memperlihatkan bahwa bentuk al-Hazf lebih fasih daripada disebutkan. Uslub al-Hazf
merupakan ciri bahasa yang didukung oleh linguistik si pengarang pada akhirnya
menunjukkan kepiawaian sang pengarang untuk membuktikan kebenaran Al-Qurán
sebagai kalamullah.
Kajian singkat tentang al-Hazf ini bertujuan bukan hanya untuk mengetahui
pengaruh psikologis estetika Al-Qurán dalam kehidupan umat Islam tetapi juga untuk
mengetahui penjelasan para pakar bahasa dan tafsir Al-Qurán terhadap kata-kata yang
dihilangkan dari ayat-ayat tertentu beserta maknanya yang dirasa memerlukan

penjelasan. Hal ini akan sangat membantu umat islam memahami al-qurán secara
maksimal.
Kata Kunci: Balaghah, Kemukjizatan Al-Qurán, al-Hazf, Pengaruh Estetika Al-Qurán
terhadap pembaca dan pendengar
Pendahuluan
Islam sebagai ajaran sumber utamanya adalah Al-Qurán, kitab suci yang
memiliki sisi keagungan sastra. Al-Qurán bahkan menjadi karya sastra ideal dan
merupakan mukjizat sesuai dengan QS. 17: 88. Letak kemukjizatan Al-Qurán tidak
hanya pada isinya, tapi juga pada keindahan bahasanya.
Abu Zakaria al-Farra`(w.207 H) mengatakan bahwa bahasa Al-Qurán
merupakan gaya bahasa Arab yang fasih secara mutlak, sehingga diposisikan sebagai
bahasa Arab yang paling murni serta paling kuat kehujjahannya daripada syair.1
Seorang sastrawan Arab jahiliyah bernama Abu al-Walid pernah diutus para
elite Quraisy untuk menemui Nabi dan mengajaknya agar meninggalkan dakwah. Saat
itu Nabi membaca QS. Fushilat, 41: 41 dari awal hingga akhir. Setelah mendengar
bacaan surah tersebut, ia kembali kepada kawan-kawan yang mengutusnya, ia
* Dekan Fakultas Ushuluddin IIQ Jakarta dan Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1


mengatakan: ‚ku pernah mendengarkan kata-kata yang seindah itu, itu bukanlah
syair, bukan sihir, bukan pula kata-kata ahli tenung. Sesungguhnya Al-Qurán itu
ibarat pohon yang daunnya rindang, akarnya terhunjam ke dalam tanah, susunan
kata-katanya manis dan enak didengar. Itu bukanlah kata-kata manusia, ia Maha
Agung dan tak ada yang dapat mengatasinya.2
Pandangan Abu al-Walid dan keterpesonaannya bisa dipahami karena salah
satu aspek kemukjizatan Al-Qurán sebagai pembenaran risalah Nabi Muhammad
SAW. adalah kitab suci yang memiliki keindahan dan ketelitian redaksinya. Tidak
mudah memang menguraikan hal ini khususnya bagi yang tidak memahaminya dan
tidak memiliki rasa bahasa Arab. Karena keindahannya diperoleh melalui perasaan
bukan melalui nalar.3
Abdul Qahir al-Jurjani (w. 471 H) menilai bahwa kemukjizatan tersebut
disebabkan susunan bahasanya yang sangat indah, harmonis antara setiap kata,
sehingga timbul hubungan timbal balik antara kata-kata itu.4 Dalam pandangan alZamakhsyari (w. 538 H) bahwa komposisi Al-Qurán tidak mampu ditiru karena
disusun secara baik serta sistematis.5 Misalnya Al-Qurán menggunakan bahasa
figurative (majaz), seperti QS. Ali Imran [3]: 167, ...‎ ‫َِِفْ َوا ِ ِهم‬

‫يَ ُقولُو َن‬

menggunakan metafora (tasybih) seperti QS. Hud [11]: 42,


‫اِْبَ ِال َو ََ َدى‬
ْ ‫َوِ َي ََْ ِري ِِِ ْم ِف َم ْو ٍج َك‬

mulut-mulutnya

ُ َْ‫وح اب‬
ُ ُ‫ن‬

Mereka berkata dengan

padahal yang dimaksud adalah lidah-lidahnya. Al-Qurán juga

yang mempersamakan gelombang laut dengan gunung atau istia’rah yang

menyerupakan makhluk bukan manusia dengan sifat-sifat manusia, seperti QS. [11]: 44

ِ
‫ض ابْلَعِي َمآءَ ِك‬
ُ ‫يل ََأ َْر‬

َ ‫َوق‬

seperti QS. al-Isra

Hai bumi telanlah airmu . Al-Qurán juga menggunakan kinayah,
:

9

ِ
‫ك‬
َ ‫َواَ ََْ َع ْل يَ َد َك َم ْغلُولَةً إِ َل ُعُق‬

jangan kau jadikan tanganmu

terbelenggu di lehermu . Yang dimaksud dengan ayat ini adalah jangan kikir.
Kekuatan sastra Al-Qurán juga terletak pada diksi atau pilihan katanya yang
indah, seperti QS. Al-Baqarah [2]: 49,
sebagai


pengganti

mempertahankan

membunuh
kekuasaannya.

‫ يُ َذُِّّو َن أَبَْآءَ ُك ْم‬....

dalam

Menyembelih anak laki-laki kalian

menggambarkan

Al-Qurán

usaha

menggunakan


Firáun

dalam

al-Hasyr,

yakni

mendahulukan obyek (mafúl) daripada subyek (fail) seperti QS. al-Fatihah [1]: 5.

ِ
‫ي‬
ُ ‫َوإِ اَ َك نَ ْستَع‬

‫إِ اَ َك نَ ْعبُ ُد‬

Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta tolong .

Dan uslub ellipsis (al-Hazf) yaitu membuang salah satu aspek dari ayat seperti


ِ ِ
membuang subyek atau predikat atau kata sifat, seperti QS. al-Baqarah [2]: 2 ‎‫ي‬
َ ‫ل ْل ُمتاق‬

2

‫ُ ًدى‬

petunjuk bagi orang yang bertakwa Ayat ini subyeknya dibuang yaitu Al-Qurán atau alKitab.
Al-Qurán dengan gaya bahasanya yang demikian sarat dengan nilai-nilai sastra
menimbulkan kesadaran umat Islam terhadap pentingnya mempelajari kaidah-kaidah
bahasa Arab, baik Nahwu dan Shorof (morfologi dan sintaksis) maupun keindahan
sastranya (balaghah6). Sastra dijadikan metode pertama dalam memahami maksud AlQurán, di samping bertujuan membiarkan Al-Qurán berbicara sendiri tentang berbagai
persoalan, sastra juga digunakan selain untuk membuktikan kemukjizatan Al-Qurán,
juga membantu proses interpretasi makna dan penafsirannya sebagai aspek
fundamental dari Al-Qurán. Itu sebabnya corak tafsir pertama adalah corak sastra dan
bahasa yang timbul akibat banyaknya orang non Arab yang memeluk agama Islam
serta akibat kelemahan orang-orang Arab sendiri terhadap sastra, sehingga dirasakan
kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan keindahan

kandungan Al-Qurán.7
Pakar-pakar bahasa klasik dari abad 2 H. sampai saat ini8 nampaknya sepakat
bahwa kemukjizatan Al-Qurán dari sisi bahasa adalah aspek balaghahnya di samping
isinya. Oleh sebab itu berbagai kajian terhadap bahasa Al-Qurán tidak pernah lepas
dari aspek ke-balaghah-annya.
Aspek balaghah Al-Qurán merupakan bukti dari kemukjizatan Al-Qurán,
karena Al-Qurán diturunkan di tengah-tengah bangsa Arab yang mahir berbahasa
Arab dan menguasai sastranya. Namun ketika mereka ditantang untuk menyusun
ayat-ayat semisal Al-Qurán dari sisi komposisi dan kandungannya, mereka tidak
mampu.9
Dengan demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa semua kajian fenomena
linguistik (kebahasaan) dalam Al-Qurán tidak bisa dilepaskan keberadaannya sebagai
mukjizat Nabi SAW. yang abadi. Sehingga berbagai kajian Al-Qurán hampir
dipastikan juga tidak bisa mengenyampingkan aspek kemukjizatan Al-Qurán.
Efek Psikologis Al-Qurán Terhadap Manusia
Al-Qurán dengan keindahan bahasanya seperti dipaparkan di atas telah
memberikan pengaruh psikologis pada diri pembaca dan pendengarnya. Sejarah telah
mencatat berbagai peristiwa yang membuktikan pengaruh alqurán terhadap
pendengarnya. Kenyataan ini menambah deretan kemukjizatan Al-Qurán. Sebagai
contoh Al-Qurán yang dibacakan berulang-ulang oleh Mush ab bin Umair ditengahtengah keluarganya telah memberi pengaruh yang dalam kepada mereka sehingga


3

akhirnya mereka semuanya masuk Islam. Musháb pula yang mengenalkan Al-Qurán
kepada penduduk Madinah dan mengundang Rasul untuk hijrah ke Madinah,
sehingga ada pepatah jika kota-kota lain ditaklukkan dengan pedang maka Madinah
ditaklukkan dengan Al-Qurán

10

.

Pengaruh estetika Al-Qurán mampu mengubah hati orang yang sangat
membenci Rasul menjadi hati yang mencintainya, bahkan bersedia berjuang demi
Rasul, seperti yang terjadi pada kisah keislaman Umar bin Khattab11 dan keislaman
Abu Dzarrin al-Ghifari dan saudaranya Anis.12 Sayyid Qutub mengatakan ada
pengaruh psikologis Al-Qurán terhadap pembaca maupun pendengarnya. Al-Qurán
memiliki kekuatan yang bisa menguasai fitrah manusia. Siapa saja yang membaca AlQurán akan merasakan ada sesuatu di balik ungkapan makna-makna ayat. Itulah
rahasia Al-Qurán yang bisa dijangkau dengan cara tadabbur, mengamati dan
menganalisa struktur Al-Qurán seluruhnya.13

Tulisan berikut ini akan membahas sekilas tentang uslub al-Hazf dalam AlQurán. Penulis terdorong untuk membahas masalah ini karena pengalaman penulis
ketika melatih tafsir bagi calon-calon peserta MTQ Nasional, mereka kadang-kadang
merasa bingung menafsirkan ayat-ayat yang kalau dilihat sepintas nampak tidak
sempurna susunan kalimatnya, ada bagian aspek kalimat yang hilang, baik itu
subyeknya (fail) atau obyeknya mafúl bih), kadang jawab syaratnya yang dihilangkan,
dan lain-lain. Sehingga agak sulit dipahami secara maksimal.
Kajian al-Hazf ini tidak hanya untuk mengetahui pengaruh psikologis estetika
Al-Qurán dalam kehidupan umat Islam, tapi juga untuk mengetahui reaksi para pakar
bahasa dan tafsir Al-Qurán dalam bentuk penjelasan dari makna ayat-ayat tertentu
yang dirasa memerlukan penjelasan yang menempati kata atau kalimat yang
dihilangkan. Hal itu membantu umat Islam memahami Al-Qurán secara lebih
maksimal.
Pengertian Al-Hazf
Kata al-Hazf adalah masdar dari

‫حذف‬

memiliki banyak arti seperti melempar,

memukul, memotong, dan menghilangkan. Kata yang terakhir ini adalah makna yang

paling tepat untuk kata al-Hazf dalam kajian ini. Sedangkan makna al-Hazf dari sisi
istilah para ulama berbeda pendapat. Misalnya al-Zarkasyi mengatakan bahwa al-Hazf
adalah menghilangkan sebagian dari kalimat atau seluruhnya karena adanya dalil.14
Pendapat al-Zarkasyi ini diikuti oleh al-Abyari (w. 1394 H) dan al-Mathlub (1399 H).

4

sedangkan al-Khaufi (1395 H) memberikan definisi lebih lengkap bahwa al-Hazf adalah
menghilangkan kata atau beberapa kalimat, karena kalimat yang disebutkan sebelum
atau sesudahnya telah menunjukkan apa yang dihilangkan, baik dari sisi lafaz
maupun dari sisi konteks. Pakar bahasa Izzuddin mengatakan bahwa al-Hazf adalah
memendekkan kalimat untuk mendekatkan makna-maknanya kepada pemahaman.
Sebagai perbandingan uslub al-Hazf dalam sastra arab sebanding dengan gaya bahasa
elliptic atau ellipsis dalam teori Stilistika Indonesia, yaitu gaya bahasa yang
menghilangkan unsure kalimat yang dengan mudah dapat dipahami.15
Dari sini bisa kita katakan bahwa uslub al-Hazf adalah menghilangkan salah
satu unsur dari ayat, baik itu kata, kalimat, atau yang lainnya untuk tujuan-tujuan
kebahasaan karena ada qarinah yang menunjukkannya.
Sebab-Sebab Al-Hazf
Al-Zarkasyi menyebutkan beberapa sebab adanya penghilangan kata dari ayat,
diantaranya:
1. Untuk meringkas dan menghindari hal-hal yang tidak bermakna, di samping zahir
ayat mampu menjelaskannya. Contohnya adalah perkatan seseorang

‫اهال وه‬

dalam kalimat ini ada subyek

‫ذا‬

dihilangkannya mubtada

mubtada

yang dibuang, yaitu ‎

,

. Sebab

adalah adanya qarinah yaitu kesaksian orang itu

terhadap situasi ‫اهال‬, bulan tsabit yang dilihatnya.
2. Al-Hazf diutamakan karena kalimat sebelumnya atau sesudahnya memberi indikasi
kata yang dibuang tersebut. Contohnya: QS. al-Ra d

ِ َ‫الْ ِكت‬
‎ ‫اب‬

‫أُم‬

: 9,

ِ ِ‫ََْحو ه ماي َشآء وي ثَب‬
ُ ّ َُ ُ َ َ ُ ُ
ُ ‫ت َوع َد‬

artinya Allah menghapuskan apa yang dia kehendaki dan menetapkan (apa yang

dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh). Frase
sejatinya memiliki obyek (mafúl bih) yang dihilangkan yaitu

ُ‫ َمايَ َشآء‬,

‫ت‬
ُ ِّ‫َويُثَب‬
sebab

penghilangan kata itu adalah demi tuntutan kebahasaan. Pembaca bisa mengetahui
kata yang dibuang tersebut dari frase sebelumnya ُ‫شآء‬
َ َ‫ َماي‬.16

3. Uslub al-Hazf juga digunakan untuk meringankan (bacaan) karena kata yang
dihilangkan itu sering diucapkan dalam pembicaraan sehari-hari. Contohnya:
dihilangkannya huruf ‫ن اء‬‎ ‫( يا‬ya kata panggilan) pada QS. Yusuf [12]: 29,

‫ َع ْن َ َذا‬.17

Faedah Al-Hazf

5

‫ض‬
ْ ‫ف أ َْع ِر‬
ُ ‫وس‬
ُ ُ‫ي‬

Uslub al-Hazf merupakan salah satu fenomena kemukjizatan Al-Qurán yang
mencerminkan kekayaan makna serta keindahan gaya bahasa, karena itu tidak ada
dalam Al-Qurán bentuk ellipsis yang mengandung makna rancu atau kosong. Tidak
banyak ulama yang membahas faedah dari bentuk al-Hazf (ellips) dalam Al-Qurán,
namun ketidak acuhan ulama terhadap bentuk al-Hazf, bukan berarti tidak punya
manfaat atau faedah. Berikut ini adalah pendapat beberapa ulama seputar faedah
uslub al-Hazf.
Pertama, Abdul Qahir al-Jurjani mengatakan kata apapun yang dihilangkan
(dari teks Al-Qurán) dari posisinya yang seharusnya ia disebutkan, maka
dihilangkannya kata itu lebih ablagh (fasih) dari pada disebutkan.18 Al-Zarkasyi
mengatakan di antara faedah al-Hazf adalah menambah kenikmatan pembaca atau
pendengar ketika bisa menemukan kata yang dihilangkan. Semakin sulit mencari kata
yang hilang itu, semakin menggugah kenikmatan pembacanya.19 Sementara Abu Syadi
mengatakan bahwa uslub al-Hazf menambah perhatian dan respon pembaca ketika
berhadapan dengan ayat-ayat yang dirasakan memiliki kata-kata yang dihilangkan,
kemudian ia berusaha menemukannya. Proses penemuan ini akan menambah
sempurna

pemahaman

terhadap

kandungan

ayat

dan

pesan-pesan

dikandungnya semakin mantap dalam ingatan sehingga tidak mudah dilupakan.

yang
20

Fungsi Al-Hazf Dan Pengaruhnya Pada Psikologis Pembaca Dan Pendengarnya
Seperti yang disebutkan bahwa penghilangan – ellipsis – merupakan salah satu
fenomena kemukjizatan Al-Qurán yang mencerminkan kekayaan makna serta
keindahan gaya bahasanya. Uslub al-Hazf bukan hanya memiliki tujuan kebahasaan,
tapi juga memiliki nilai psikologis yang memberi kesempatan kepada pembaca atau
pendengarnya merasakan keindahan bahasa Al-Qurán.
Berikut ini disebutkan beberapa fungsi al-Hazf dan hasil ijtihad para pakar
bahasa dan tafsir Al-Qurán dalam bentuk penjelasan makna dari kata atau kalimat
yang dihilangkan itu.
Pertama, penghilangan dimaksudkan untuk mengindikasikan sejauh mana
tersebarnya sebuah berita, sebagaimana QS. Yusuf [12]: 82:

ِ
‫ص ِادقُو َن‬
َ َ‫أَقْ بَ ْلَا ف َيها َوإِ اَ ل‬.

‫َو ْسئَ ِل الْ َق ْريَةَ الاِت ُكاا فِ َيها َوالْعِ َي الاِت‬

َ‫ َو ْسئَ ِل الْ َق ْريَة‬ada kata yang dihilangkan yaitu ‫ أ ل‬,
dibaca َ‫سئَ ِل أ ل الْ َق ْريَة‬
ْ ‫ َو‬yang bermakna dan tanyakanlah

Di antara kata

sehingga ayat ini seharusnya

penduduk kampung itu. Sebab kata itu dihilangkan bukan hanya karena mustahil
menurut logika tempat atau kampung dimana penduduk hidup disana bisa berbicara
tapi juga berita tentang Bunyamin yang mencuri benda-benda milik raja yang tak lain

6

adalah kakaknya sendiri yaitu Yusuf, menurut laporan saudara-saudaranya kepada
ayahnya Ya kub sudah begitu tersebar di kalangan masyarakat sehingga memberi
kesan seluruh kampung pun sudah mengetahuinya21.
Kedua, penghilangan diutamakan karena kata yang dihilangkan itu sudah jelas
atau sudah dikenal sehingga tidak perlu disebutkan. Contohnya QS. Al-Nisa: 28,

ِ
ِ ِ
‫ضعِي ًفا‬
َ ‫نسا ُن‬
َ ‫أَ ْن َُُّف‬
َ ‫ف َع ُك ْم َو ُخل َق اْإ‬

ُ ‫يُِر‬
ُ‫يد ه‬

. Ayat ini sejatinya mengandung subyek (fa’il) yang

dibuang yakni Allah. Sebab membuang subyek dari ayat ini sangat penting, lebih fasih
dan menambah keagungan, karena pembaca semua tahu bahwa tak ada yang bisa
menciptakan manusia selain Allah.22
Ketiga, Meminta perhatian terhadap inti persoalan dan tidak cukupnya waktu
untuk menyebutkan kata yang dihilangkan, seandainya disebutkan juga, akan
menyebabkan terlalaikannya hal penting yang menjadi inti dari kandungan ayat.
ContohnyaQS. al-Syamsu : 13:

‫فقال هم رسول ه َقة ه وسقيها‬

Lalu Rasul ‚llah (Saleh)

‛erkata kepada mereka: "‛iarkanlah unta betina ‚llah dan minumannya . Ayat ini
seyogyanya memiliki kalimat (fiíl dan fail) yang dihilangkan sebelum
yaitu

‫احذروا‬

yaitu

‫فا تقربو ا‬

adalah

yang artinya berhati-hatilah kamu (ancaman) , dan kata sesudah

‫َ قة ه‬
‫وسقيها‬

artinya jangan kamu dekati . Menurut al-Zarkasyi ayat ini lengkapnya

‫احذروا َقة ه فا تقربو ا وسقيها‬.

Tujuan dihilangkannya 2 kata tadi, selain tujuan

kebahasaan‎ adalah juga memfokuskan perhatian pada kandungan ayat yaitu
peringatan keras terhadap kaum Nabi Shaleh untuk tidak mendekati, menyentuh
apalagi membunuh unta yang menjadi lambang kemukjizatan Nabi Shaleh AS yang
membenarkan risalahnya.23
Contoh dari kalimat yang memiliki indikator dari kalimat yang dihilangkan
sesudahnya adalah QS. al-Hadid [57]: 10
                   

                    


Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, padahal
Allah-lah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi? Tidak sama di antara kamu
orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah).
Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan
berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan)

7

yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Hadid [57]:
10)
Frase

‫ام ْن أَن َف َق ِمن قَْب ِل الْ َفْت ِح َوقَاتَ َل‬

dan orang yang menginfakkan hartanya sebelum fath
sejatinya memiliki kalimat yang dihilangkan

Makkah dan kemudian ikut berperang
sesudahnya yaitu

‫من أنفق من بعد وقاتل‬,

yang bermakna dan orang yang menginfakkan

hartanya sesudah fath makkah dan ikut berperang . Sebab membuang kalimat tersebut
sangat penting karena ada penunjuk (dalalah) pada potongan ayat sesudahnya, yaitu

ً‫ك أ َْعظَ ُم َد َر َجة‬
َ ِ‫أُواَئ‬. Ayat ini memberikan pengertian pada kita bahwa menginfakkan harta
sebelum terjadinya peperangan, nilainya lebih besar daripada sesudah peperangan.

Mengingat peperangan memerlukan berbagai persiapan yang mebutuhkan dana.
Sehingga Allah menjanjikan lebih bagi mereka yang menginfakkan hartanya sebelum
perang.
Keempat, Uslub al-Hazf digunakan sebagai al-targhib (menggalakkan dan
memotivasi) untuk mendapatkan berbagai kenikmatan yang dijanjikan oleh Allah di
akhirat bagi orang-orang yang beriman, bertakwa, dan beramal shalih. QS. al-Zumar:
73.

‫ن‬
‎ ‫خال ي‬‎‫فادْخ ها‬‎‎ْ ‫طبْت‬‎‎ْ ‫ع ْي‬‎‎ ‫سا‬‎‫خ نت ا‬‎‎ْ ‫ل‬‎‎ ‫ قا‬‎‫ ْب اب ا‬‎‎ْ‫ فتحت‬‎‫ج ء ها‬‎‫إ ا‬‎‫حتَى‬‎‫ً ا‬

‎‫ة‬‎ َ‫ ْالجن‬‎‫إلى‬‎‎ْ َ‫ ب‬‎‫اتَق ْ ا‬‎‎‫الَ ين‬‎‎‫سيق‬

Ayat ini sejatinya memiliki jawab syarat (‫ )حى‬yang dibuang yaitu

‎ ‫امقيم‬, mereka memperoleh kenikmatan yang kekal, sesudah frase ‫خالدين‬

‫حصل على ال عيم‬

‫فادخلو ا‬. Jawab Syarat

dihilangkan karena merupakan sesuatu yang tidak bisa dinalar akal, mengingat
kenikmatan di akhirat sangat banyak dan beragam dan tidak akan pernah berakhir.
Jawab syarat dihilangkan untuk memberikan ruang bagi akal manusia untuk menalar
dan

berimajinasi

imajinasi

membayangkan

manusia

menggambarkannya.

24

itu adalah

tidak

kenikmatan-kenikmatan

akan

mampu

tersebut,

meskipun

membayangkannya,

apalagi

Sebab Nabi SAW. bersabda bahwa kriteria kenikmatan surga

‫ما ا عي رأت وا أذن معت وا خطر على قلب بشر‬.

Sesuatu yang tidak pernah dilihat

mata, tidak pernah didengar telinga, dan tidak pernah terbetik dalam hati manusia.

25

Kelima, Uslub al-Hazf digunakan sebagai al-Tarhib (memberi efek jera), terhadap
ancaman Allah berupa azab yang pedih di akhirat, yang juga tidak bisa dinalar
manusia sejauh mana kadar kepedihannya bagi mereka. Contohnya QS. al-Baqarah [2]:
ِ ‫َنداد ُُِبونَهم َكح ِ ِ ا‬
ِ ِ ِ ِ
َِ ِ‫َشد حبًا لِ ولَو ي رى الا ِذين ظَلَموا إِ ْذ ي رو َن الْع َذاب أَ ان الْ ُق اوَة ل‬
ِ ‫َوِم َن ال‬
165. ‫َ ًيعا َوأَ ان‬
ً َ ‫ااس َمن يَتاخ ُذ من ُدون ه أ‬
َ َ ْ ََ ُ َ
ّ ُ ُْ
َ ‫ب ه َوالذ‬
ََ ْ َ ُ َ ‫ين ءَ َامُوا أ‬
ِ
ِ ‫يد الْع َذ‬
‫اب‬
َ ُ ‫هَ َشد‬. Ayat ini memiliki jawab syarat ( ‫)ل‬‎ yang dibuang yaitu

‫ لوقع احسر وال دم‬yang

bermakna mereka meratapi diri dan menyesalinya. Sebab dihilangkannya kalimat di atas
adalah agar pembaca bebas berimajinasi membayangkan sejauh mana penyesalan yang

8

menimpa orang-orang yang zalim di dunia karena menyekutukan Allah dan mencintai
sekutu-sekutu tersebut sebagaimana mereka mencintai Allah. Mereka akan di azab
Allah di akhirat. Dihilangkannya jawab syarat memberi makna yang lebih baligh
daripada disebutkan karena memberikan ruang bagi akal manusia untuk berimajinasi
membayangkan siksaan mereka sehingga mereka meratapi dan menyesali diri, namun
betapa pun manusia menghayalkan siksaan di akhirat kelak tetap saja akal tidak
mampu menggambarkannya dengan maksimal.26
Keenam, bentuk penghilangan (ellipsis) digunakan untuk menjaga perasaan atau
kejiwaan seseorang yang berada dalam situasi susah dan sedih. Kebiasaan manusia
menunjukkan bahwa orang yang sedang bersedih, pembicaraannya selalu singkat
karena tidak lagi mampu berbicara panjang lebar. Contohnya QS. Yusuf: 84,

‫َوتَ َوال َعْ ُه ْم‬

‫ات َعْي َا ُ ِم َن ا ْحُْزِن فَ ُه َو َك ِظ ٌيم‬
َ َ‫ َوق‬yang bermakna dan dia berpaling dari
ْ ‫ف َوابْيَض‬
َ ‫وس‬
ُ ُ‫َس َفى َعلَى ي‬
َ ‫ال ََأ‬
mereka (anak-anaknya) . Frase ‎ ‫ وتول ع هم‬sejatinya memiliki kalimat yang dihilangkan
yang menggambarkan kesedihan Ya qub AS. Ketika kehilangan anaknya, Yusuf.
Kalimat yang dibuang itu adalah

‫ وانصرف بعيدا وراح يبكى ويسقوا إل ربك‬yang bermakna

ia

pergi menjauh dan mulai menangis serta mengadukan persoalaannya kepada Tuhan. sesudah
kata ‎‫ع هم‬

‫وتول‬. Sebab penghilangan kalimat tersebut adalah untuk menunjukkan betapa

kesedihan mampu membungkam seseorang (seorang ayah), sehingga ia tidak lagi
dapat untuk mengungkapkan perasaannya bahkan kemarahannya terhadap anakanaknya, padahal sebenarnya ia tahu bahwa mereka telah mencelakakan Yusuf
dengan menipunya dengan berbagai alasan dusta.27
Ketujuh, uslub al-Hazf atau ellips juga berfungsi memperhalus teguran dan
melembutkan hati ketika datang teguran dari Allah. Contohnya surah al-Jumuáh [62]:

ِ
ِ ِ
ِ ِ
ِ
ِ َ ‫وإِ َذا رأَوا َِارةً أَو َهوا ان َفضوا إِلَي ها وتَرُك‬.
‫ي‬
َ ‫وك قَآئ ًما قُ ْل َماع َد ه َخْي ُر ُُ ّم َن اللا ْه ِو َوم َن التّ َج َارةِ َوهُ َخْي ُر الارا ِزق‬
ًْ ْ َ َ ْ َ َ
َ َ َْ
Dalam ayat ini terjadi penghilangan dhamir (kata ganti/pronomena) ‫إلي‬‎ dari frase ‫ان َفضوا‬.
ِ
Kata ganti yang disebutkan hanya menunjuk pada kata ً‫ارة‬
َ ََ. Sebab penghilangan
11,

dhamir pada ayat ini dimaksudkan untuk memperhalus teguran dan meringankan rasa

berdosa orang-orang mukmin yang pergi meninggalkan Rasul yang sedang
berkhutbah dan lebih memilih aktivitas perdagangan. Pada hakekatnya, mereka tidak
meninggalkan Rasulullah SAW., tetapi naluri kecintaan terhadap harta dan
mempertahankan eksistensi kehidupan lebih kuat daripada keinginan mendengarkan
khutbah Nabi SAW.

Penghilangan kata ganti ‫ ل ا‬dimaksudkan untuk member

penjelasan bahwa perdagangan adalah sarana dan sumber kesenangan yang akan

9

mewujudkan seluruh kesenangan lahiriah seseorang. Dengan kata lain, dengan hasil
perdagangan berupa keuntungan yang besar, orang bisa menikmatinya dengan
bersenang-senang.28
Kedelapan, Uslub al-Hazf (ellips) dimaksudkan untuk memfokuskan pada pesan
penting dari ayat, misalnya ayat al-Qiyamah [75] : 37
      
”ukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim .
Frase    huruf nun-nya dihilangkan untuk memberikan focus perhatian
pada kata sesudahnya yaitu

‫نطفة‬

yang bermakna setetes mani. Betapapun kecil dan

remehnya sel mani, tapi ia memiliki peran penting dalam penciptaan manusia dan
keberadaannya dimuka bumi ini. Dihilangkannya huruf nun dalam ayat ini memiliki
arti yang sangat penting selain untuk tujuan estetika bahasa tapi juga untuk estetika
psikologis, sehingga pendengar setelah menyadari bahwa keberadaannya berasal dari
sesuatu yang hina dan remeh mau mengambil pelajaran dari Al-Qurán dan
mengamalkan perintahnya.
Penutup
Mencermati contoh-contoh diatas bisa dirasakan bagaimana Al-Qurán dengan
estetikanya bertutur kepada pembacanya, tidak sekedar bertutur tapi menyentuh hati
sanubarinya dengan memberi pembacanya ruang dan kesempatan untuk berfikir
mengisi kata-kata yang dihilangkan. Dengan cara ini pesan-pesan Al-Qurán lebih
dipahami kandungannya dan dihayati keindahan bahasanya. Uslub al-Hazf dengan
demikian dimaksudkan untuk menghindari kekeringan makna dan kekosongan gaya
bahasa yang memperlihatkan bahwa uslub al-Hazf lebih ablagh daripada disebutkan.
Hal mana pada akhirnya menunjukkan ketinggian sastra Al-Qurán dan membuktikan
bahwa Al-Qurán bukanlah karangan Nabi Muhammad tapi adalah kalamullah.

10

DAFTAR PUSTAKA
Abu Suúd, Tafsir Irsyad al-Aqli al-Salim ala Mazaya al-Qurán al-Karim, Beirut: Dar Ihya alTurats, t.th
Abu al-Syadi, Musthafa Abdus Salam, al-Hazfu al-Balaghi fi al-Qurán, Kairo: Maktabah
al-Qurán th. 1992
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab al-Tafsir ”ab Qauluhu taála wala ta’lamu nafsun ma
khafiya lahum min qurrati a’‎ yunin
Al-Farra, Maáni al-Quran, Mesir: Dar al-Kutub al-Mashriyah, 1955
al-Hasyimi, Ahmad, Jawahir al-Balaghah fi al-Maáni wa al-Bayan wa al-”adi’, ttp: Dar
Ihya al-Kutub al-Árabiyah, 1960
Imam Muslim, Shahih Muslim, Tahqiq M. Fuad Abdul Baqi, Beirut: Dar Ihya al-Turats
al-Arabi, t.th
Al-Jayusyi Abdullah Muhammad, at-Ta’bir al-Quráni wa ad-Dalalah an-Nafsiyah,
Damaskus: Dar al-Ghautsani li ad-Dirasah al-Qurániyah, 2007
Al-Jurjani, Dalail al-I jaz, ‛eirut, Dar al-Fikri, 1988
Kamil, Syukran, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, t.tp: Rajawali Pers, t.th
Al-Khattabi, Tsalastah al-Rasaíl, Beirut: t.p, t.th
Al-Qurthubi, Tafsir al-Jami’al-Ahkam al-Qurán, Kairo, Dar al-Sya b,

H

Ridha, M. Rasyid, Tafsir al-Manar, Beirut: Dar al-Ma rifah, 1973
Shihab, Quraish Shihab, Membumikan Al-Qurán, Bandung al-Mizan, t.th
Umam, Khatibul, al-Muyassar fi Ílm al-Árudh, Jakarta: Hikmah Syahid, 1990
Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf an Haqaiq al-tanzil wa Úyun al-Aqawil fi Wujuh alTa’wil, Mesir: Syirkah al-Maktabah wa al-Mathbaáh Musthafa al-Babi al-Halabi,
1972
Al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qurán, Kairo: Maktabah Dar al-Turats, t.th

11