Hukum Adat Accera Kalompoang.docx

(1)

Tugas Individu

HUKUM ADAT

“Accera Kalompoang”

Oleh :

Ahmad Rais Karnawan

10500113095

Ilmu Hukum

Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

2014


(2)

Kata Pengantar

Alhamdulillah segala puji syukur selalu kami haturkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, serta inayah-Nya, sehingga dapat menyelesaikan tugas penyusunan Makalah Hukum Adat dengan judul “Accera Kalompoang.”

Selaku penyusun makalah menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bpk/Ibu, selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Adat yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam pembuatan makalah ini, dan orang tua yang selalu mendukung kelancaran dalam penyelesaian tugas ini.

Makalah Hukum Adat ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah Hukum Adat yang dibimbing oleh Bpk/Ibu.

Dalam makalah dengan tema Hukum Adat ini, Akan membahas tentang Pengertian Accera Kalompoang, Sejarah Accera Kalompoang, dan Keistimewaan upacara adat Accera Kalompoang.

Dalam penyusunan makalah ini memang masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, dibutuhkan dari para pembaca akan saran dan kritik yang sifatnya membangun demi

perbaikan dan peningkatan kualitas penyusunan makalah dimasa yang akan datang. Semoga makalah ini bisa memberikan suatu kemanfaatan bagi kami penyusun dan para pembaca semuanya. Amin.

Gowa, 21 Mei 2014

Penyusun


(3)

Accera Kalompoang

A. Pengertian

Accera Kalompoang merupakan upacara adat untuk membersihkan benda-benda pusaka peninggalan Kerajaan Gowa yang tersimpan di Museum Balla Lompoa. Inti dari upacara ini adalah allangiri kalompoang, yaitu pembersihan dan penimbangan salokoa

(mahkota) yang dibuat pada abad ke-14. Mahkota ini pertama kali dipakai oleh Raja Gowa, I Tumanurunga, yang kemudian disimbolkan dalam pelantikan Raja- Raja Gowa berikutnya.

Adapun benda-benda kerajaan yang dibersihkan di antaranya: tombak rotan berambut ekor kuda (panyanggaya barangan), parang besi tua (lasippo), keris emas yang memakai permata (tatarapang), senjata sakti sebagai atribut raja yang berkuasa (sudanga), gelang emas berkepala naga (ponto janga-jangaya), kalung kebesaran (kolara), anting-anting emas murni (bangkarak ta‘roe), dan kancing emas (kancing gaukang). Selain benda-benda pusaka tersebut, juga ada beberapa benda impor yang tersimpan di Museum Balla Lompoa turut dibersihkan, seperti: kalung dari Kerajaan Zulu, Filipina, pada abad XVI; tiga tombak emas; parang panjang (berang manurung); penning emas murni pemberian Kerajaan Inggris pada tahun 1814 M.; dan medali emas pemberian Belanda.

Pencucian benda-benda kerajaan tersebut menggunakan air suci yang diawali dengan pembacaan surat Al-Fatihah secara bersama-sama oleh para peserta upacara yang dipimpin oleh seorang Anrong Gurua (Guru Besar). Khusus untuk senjata-senjata pusaka seperti keris, parang dan mata tombak, pencuciannya diperlakukan secara khusus, yakni digosok dengan minyak wangi, rautan bambu, dan jeruk nipis. Pelaksanaan upacara ini tidak hanya disaksikan oleh para keturunan Raja-Raja Gowa, tetapi juga oleh masyarakat umum dengan syarat harus berpakaian adat Makassar pada saat acara.

Upacara adat Accera Kalompoang digelar sekali setahun, yakni setiap usai shalat Idul Adha pada tanggal 10 Zulhijjah di Museum Balla Lompoa.


(4)

B. Sejarah

Upacara adat yang sakral ini pertama kali dilaksanakan oleh Raja Gowa yang pertama kali memeluk Islam, yakni I Mangngarrangi Daeng Mangrabbia Karaeng Lakiung Sultan Alauddin pada tanggal 9 Jumadil Awal 1051 H. atau 20 September 1605. Meskipun Raja Gowa XIV itu telah memulainya, namun upacara ini belum dijadikan sebagai tradisi. Raja Gowa XV, I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid Tumenanga Ri Papambatuna, mentradisikan upacara ini pada setiap tanggal 10 Zulhijjah, yakni setiap selesai shalat Idul Adha. Selanjutnya, Raja Gowa XVI, I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomanggape Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla Pangkana yang bergelar Ayam Jantan dari timur, memasukkan unsur-unsur Islam ke dalam upacara ini, yakni penyembelihan hewan kurban.

Sejak itu, Raja-raja Gowa berikutnya terus melaksanakan upacara Accera Kalompoang ini dan sampai sekarang terus dilaksanakan oleh para keturunan mereka. Oleh karena pelaksanaan upacara ini memerlukan biaya yang cukup besar, yakni mencapai puluhan juta rupiah, maka setiap keluarga yang tergabung dalam Kerukunan Keluarga Salokoa membiayai upacara ini secara bergiliran.

C. Proses Upacara Adat

Upacara adat Accera Kalompoang adalah salah satu ritual adat yang bersifat sakral, yang sangat diyakini dan dihormati masyarakat Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Upacara yang digelar dirumah adat Ballalompoa, atau Istana Raja Gowa ini merupakan upacara ritual terbesar sepanjang tahun. Prosesinya sendiri dimulai sejak pemerintahan Raja Gowa ke 14, yaitu Sultan Alaudin, Raja Gowa yang pertama kali memeluk agama Islam.

Accera Kalompoang, merupakan acara ritual pencucian benda-benda peninggalan Kerajaan Gowa yang masih tersimpan di Istana Ballalompoa. Berlangsung selama 2 hari berturut-turut, menjelang dan pada saat Idhul Adha. Upacara ini diadakan oleh keturunan Raja Gowa secara bergantian. Tahun ini giliran keluarga Andi Mapaturung. Sedangkan dana untuk upacara ini, ditanggung bersama. Pemerintah daerah turut serta berpartisipasi.


(5)

Segala sesuatu dipersiapkan untuk upacara allekka je'ne, yaitu upacara mengambil air di Sumur Bungun Lompoa, yang artinya sumur besar bertuah. Sesajen berupa bente, atau beras ketan, dupa, lilin, dan daun sirih, turut serta dibawa. Sesepuh adat dan iring-iringan pembawa benda pusaka beserta keluarga kerajaan mulai memasuki sumur Bungun Lompoa yang terletak di Bukit Tamalatea, dekat makam Sultan Hasanudin, atau sekitar 500 meter dari Istana Ballalompoa.

Sambil melantunkan paroyong, atau nyanyian kepada Sang Pencipta dan leluhur, para sesepuh adat memainkan alat musik jajjakkang. Alat musik yang terdiri dari kancing, bacing, bulo, dan kaoppo ini merupakan alat musik yang digunakan kalangan raja untuk pesta adat.

Sesajen mulai ditabur diatas air sumur. Air sumur lalu diambil dengan menggunakan

sero, atau timba, yang bahannya terbuat dari daun lontar. Konon, ada tiga sumur disekitar Bukit Tamalatea. Namun dua dari tiga sumur tersebut, hilang secara gaib.

Usai mengambil air, rombongan kembali ke istana untuk mengikuti upacara selanjutnya. Yaitu upacara ammolong tedong, atau penyembelihan kerbau, saat matarahari pada posisi allabang lino atau pertengahan bumi. Kerbau yang akan disembelih, juga harus memenuhi syarat antara lain jantan, berwarna hitam dan kondisinya prima. Sang kerbau pun diperlakukan secara khusus. Diberi cermin, disisir bulu-bulunya, dan diikatkan kain putih sebagai simbol kesucian. Lalu kerbau diarak keliling istana sebanyak 3 kali putaran.

Sebelum prosesi penyembelihan berlangsung, keluarga yang memiliki hajat, melakukan sebuah prosesi, sebagai bentuk penghormatan kepada Sang Pencipta dan para leluhur. Satu persatu para turunan Raja Gowa ini, memecahkan telor, memberi minyak khusus dan mengarahkan uap ke kepala kerbau. Penyembelihan dilakukan oleh seorang sesepuh adat. Darah kerbau ini selanjutnya disimpan di istana.

Malam hari, berlangsung upacara appidalleki, yang bermakna, persembahan sesajen kepada leluhur sembari memanjatkan doa syukur kepada Sang Pencipta. Upacara ini hanya untuk kalangan keluarga raja saja.

Esok hari usai mengikuti shalat Idul Adha, upacara allangiri kalompoang, atau pencucian benda-benda utama pusaka kebesaran Kerajaan Gowa pun dimulai. Ini merupakan


(6)

puncak upacara dari segala rangkaian acara accera kalompoang. Air bertuah yang diambil dari Sumur Bungun Lompoa diletakkan diatas panggung, beserta darah kerbau dan sesajen lainnya.

Benda peninggalan Kerajaan Gowa yang berjumlah 13 buah, mulai dikeluarkan dari tempat penyimpanan. Annyossoro, atau pembersihan mulai dilakukan oleh turunan Raja Gowa terakhir, Andi Manganruru Pataemba. Benda-benda pusaka ini lalu diberikan kepada para sesepuh adat yang sudah menanti di atas panggung.

Para sesepuh adat mulai mencuci benda-benda pusaka yang terdiri dari, salokoa, atau mahkota, yang memiliki berat 1768 gram, terbuat dari emas murni, dan ditaburi 250 permata. Konon mahkota ini pernah dipakai oleh Raja Gowa pertama.

Benda pusaka lain, ponto janga jangaya, merupakan gelang emas berbentuk naga, yang berjumlah 4 buah. Dilanjutkan dengan pencucian tobo kaluku, atau rantai emas, dan benda-benda pusaka lainnya termasuk 4 senjata sakti, yang sering digunakan para raja dahulu kala. Satu persatu benda pusaka dibasuh oleh air Sumur Bungun Lompoa, kemudian diasapi dengan dupa.

Upacara diakhiri dengan prosesi attitele, atau pelepasan hajat. Para raja keturunan Gowa mengambil air dan darah kerbau untuk dibubuhi pada mahkota. Jaman dulu kala, seusai mencuci benda pusaka, masyarakat menunggu proses annimbang, atau menimbang benda-benda pusaka dengan timbangan khusus. Namun karena timbangan itu kini sudah tak ada, sebagai gantinya memanjatkan do`a bersama, dipimpin sesepuh adat.

D. Keistimewaan

Yang menarik dari pelakasanaan upacara Accera Kalompoang adalah pada saat penimbangan salokoa atau mahkota emas murni seberat 1.768 gram dengan diameter 30 cm dan berhias 250 butir berlian. Penimbangan mahkota tersebut sangat penting bagi petinggi dan masyarakat Gowa, karena penimbangan itu merupakan petunjuk bagi kehidupan mereka di masa yang akan datang. Mahkota tersebut tidak pernah diperbaiki dengan menambah atau mengurangi timbangannya, namun uniknya, pada saat penimbangan dilakukan dalam upacara Accera Kalompoan ini, timbangan mahkota tersebut sering berubah-ubah, terkadang


(7)

berkurang dan terkadang pula lebih. Jika timbangan mahkota tersebut berkurang, maka itu menjadi pertanda akan terjadi bencana di negeri mereka. Pernah suatu ketika, timbangan mahkota tersebut berkurang dan terbukti terjadi tanah longsor di Bawakaraeng yang menelan puluhan korban. Sebaliknya, jika timbangan mahkota tersebut bertambah, maka itu menjadi pertanda kemakmuran akan datang bagi masyarakat Gowa. Suatu ketika, mahkota yang beratnya kurang dari 2 kilogram ini tidak dapat diangkat oleh siapa pun, bahkan 4 orang sekaligus berusaha mengangkatnya, namun tetap saja tidak sanggup.

Secara logika, kejadian yang aneh itu sangat sulit untuk dipercaya. Namun, karena telah terbukti, para keturunan Raja-raja Gowa serta masyarakat umum sudah meyakininya. Oleh karena itu, mereka senantiasa mendukung dan memelihara tradisi upacara Accera Kalompoang yang mereka anggap sakral ini.

E. Tujuan dan Makna

Upacara Allangiri Kalompoang yang merupakan inti dari segala rangkaian Accera Kalompoang yang oleh masyarakat Gowa memberihkan arti tersendiri atas pelaksanaannya. 1. Annyossoro diartikan untuk meluluhkan segala sifat-sifat kejelekan manusia;

2. Allangiri adalah menanamkan keyakinan dan kesucian; dan

3. Annimbang adalah pertanda baik buruknya tingkat kehidupan rakyat dimasa datang dan berhasil tidaknya hasil bumi, ditentukan dari berat ringannya hasil penimbangan benda-benda kerajaan.

Makna penimbangan ini merupakan petunjuk bagi kehidupan mereka di masa yang akan datang. Jika timbangan mahkota tersebut berkurang, maka itu menjadi pertanda akan terjadi (bala) bencana di negeri mereka. . Sebaliknya, jika timbangan mahkota tersebut bertambah, maka itu menjadi pertanda kemakmuran akan datang bagi masyarakat Gowa.

Upacara Accera Kalompoang memang terlihat sederhana, namun dibalik upacara ini mengandung makna yang sangat berarti bagi masyarakat Gowa. Selain mengagungkan Sang Pencipta, menghormati para leluhur dan melestarikan nilai-nilai budaya, upacara ini juga bermakna mempererat tali persaudaraan antara pemerintah dengan masyarakat.


(8)

KESIMPULAN

Indonesia memang memiliki budaya yang sangat beragam dan juga sangat unik. Dan kemejemukan budaya yang ada di Indonesia membuat Indonesia memiliki budaya yang sangat kaya di dunia. Tentu saja sebagai warga Indonesia sudah seharusnya kita mengetahui berbagai macam budaya dan juga tradisi yang ada di negeri tercinta kita ini. Tidak hanya upacara tetapi tradisi membersihkan benda-benda pusaka di setiap daerah di Indonesia memiliki cara yang berbeda. Jika Keraton Jogjakarta punya Siraman Pusaka dan Ngalungsur Pusaka di Jawa Barat, maka Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan punya Upacara Adat Accera Kalompoang. Tentu saja benda-benda pusaka memang punya cara tersendiri untuk membersihkannya. Di Museum Balla Lompoa benda-benda pusaka kerajaan Gowa tersimpan dengan rapi dan setiap setahun sekali akan dibersihkan yang jatuh pada tanggal 10 Zulhijjah atau tepatnya seusai Shalat Idul Adha.

Benda-benda pusaka itu antara lain seperti tombak rotan dengan ekor kuda (panyanggaya barangan), parang besi (lassipo), keris emas berhiaskan permata (tatarapang), senjata atribut berkuasanya raja (sudanga), gelang emas berkepala naga (ponto janga-jangaya), kalung kebesaran (kolara), anting-anting emas (bangkarak ta’roe) dan kancing emas (kancing gaukang). Dan tidak hanya perangkat khas kerajaan Gowa yang dibersihkan tetapi benda-benda dari luar kerajaan juga ikut dibersihkan seperti kalung dari Kerajaan Zulu, Filipina dari abad XVI, tombak emas, parang panjang (berang manurung), penning emas dari Kerajaan Inggris di 1814 M hingga medali emas dari Belanda. Upacara ini dimulai dengan Seorang Anrong Gurua atau Guru Besar yang akan memimpin untuk membaca surat Al-Fatihah bersamaan dengan para peserta upacara sebelum mencuci benda-benda pusaka dimaksud dengan menggunakan air suci. Selain air, khusus untuk senjata pusaka seperti mata tombak, keris hingga parang maka proses pencuciannya akan ditambah dengan langkah pemulasan terlebih dahulu dengan menggunakan minyak wangi, rautan bamboo dan jeruk nipis.

Tetapi inti dari upacara Accera Kalompoang adalah upacara penimbangan Salokoa atau Mahkota raja yang terbuat dari emas murni dan dikreasikan pada abad ke-14. Mahkota ini pertama kali dipakai oleh Raja Gowa, I Tumanurunga yang disimbolkan lewat pelantikan raja-raja. Mahkota berhiaskan 250 butir berlian dengan berat mencapai 1.768 gram akan ditimbang dan juga dipercaya sebagai pertanda akan kehidupan masyarakat Gowa untuk masa yang akan datang. Dan dari hasil timbangan itulah akan diketahui makmur atau


(9)

tidaknya masyarakat Gowa. Jika berat timbangan berkurang, maka dianggap pertanda akan terjadinya bencana. Sebaliknya, jika berat timbangan bertambah, dipercaya sebagai isyarat kemakmuran. I Mangngarrangi Daeng Mangrabbia Karaeng Lakiung Sultan Alauddin, yang merupakan Raja Gowa pertama yang mengadakan upacara Adat Accera Kalompoang pada 9 Jumadil Awal 1051 H atau 20 September 1605. Dan acara upacara adat ini dijadikan tradisi pada masa pemerintahan I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid Tumenanga Ri Papambatuna yang menjabat sebagai Raja Gowa ke XV. Dan jika sobat merasa tertarik ingin melihat langsung upacara adat ini maka sobat bisa datang pada setiap selesai shalat Shalat Idul Adha di Museum Balla Lompoa, Kerajaan Gowa di Jl. Sultan Hasanuddin No. 48 Sungguminasa, Somba Opu, Kabupaten Gowa. Dan Wajib untuk mengenakan baju adat Makassar sebagai persyaratan untuk mengikuti Accera


(1)

B. Sejarah

Upacara adat yang sakral ini pertama kali dilaksanakan oleh Raja Gowa yang pertama kali memeluk Islam, yakni I Mangngarrangi Daeng Mangrabbia Karaeng Lakiung Sultan Alauddin pada tanggal 9 Jumadil Awal 1051 H. atau 20 September 1605. Meskipun Raja Gowa XIV itu telah memulainya, namun upacara ini belum dijadikan sebagai tradisi. Raja Gowa XV, I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid Tumenanga Ri Papambatuna, mentradisikan upacara ini pada setiap tanggal 10 Zulhijjah, yakni setiap selesai shalat Idul Adha. Selanjutnya, Raja Gowa XVI, I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomanggape Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla Pangkana yang bergelar Ayam Jantan dari timur, memasukkan unsur-unsur Islam ke dalam upacara ini, yakni penyembelihan hewan kurban.

Sejak itu, Raja-raja Gowa berikutnya terus melaksanakan upacara Accera Kalompoang ini dan sampai sekarang terus dilaksanakan oleh para keturunan mereka. Oleh karena pelaksanaan upacara ini memerlukan biaya yang cukup besar, yakni mencapai puluhan juta rupiah, maka setiap keluarga yang tergabung dalam Kerukunan Keluarga Salokoa membiayai upacara ini secara bergiliran.

C. Proses Upacara Adat

Upacara adat Accera Kalompoang adalah salah satu ritual adat yang bersifat sakral, yang sangat diyakini dan dihormati masyarakat Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Upacara yang digelar dirumah adat Ballalompoa, atau Istana Raja Gowa ini merupakan upacara ritual terbesar sepanjang tahun. Prosesinya sendiri dimulai sejak pemerintahan Raja Gowa ke 14, yaitu Sultan Alaudin, Raja Gowa yang pertama kali memeluk agama Islam.

Accera Kalompoang, merupakan acara ritual pencucian benda-benda peninggalan Kerajaan Gowa yang masih tersimpan di Istana Ballalompoa. Berlangsung selama 2 hari berturut-turut, menjelang dan pada saat Idhul Adha. Upacara ini diadakan oleh keturunan Raja Gowa secara bergantian. Tahun ini giliran keluarga Andi Mapaturung. Sedangkan dana untuk upacara ini, ditanggung bersama. Pemerintah daerah turut serta berpartisipasi.


(2)

Segala sesuatu dipersiapkan untuk upacara allekka je'ne, yaitu upacara mengambil air di Sumur Bungun Lompoa, yang artinya sumur besar bertuah. Sesajen berupa bente, atau beras ketan, dupa, lilin, dan daun sirih, turut serta dibawa. Sesepuh adat dan iring-iringan pembawa benda pusaka beserta keluarga kerajaan mulai memasuki sumur Bungun Lompoa yang terletak di Bukit Tamalatea, dekat makam Sultan Hasanudin, atau sekitar 500 meter dari Istana Ballalompoa.

Sambil melantunkan paroyong, atau nyanyian kepada Sang Pencipta dan leluhur, para sesepuh adat memainkan alat musik jajjakkang. Alat musik yang terdiri dari kancing, bacing, bulo, dan kaoppo ini merupakan alat musik yang digunakan kalangan raja untuk pesta adat.

Sesajen mulai ditabur diatas air sumur. Air sumur lalu diambil dengan menggunakan

sero, atau timba, yang bahannya terbuat dari daun lontar. Konon, ada tiga sumur disekitar Bukit Tamalatea. Namun dua dari tiga sumur tersebut, hilang secara gaib.

Usai mengambil air, rombongan kembali ke istana untuk mengikuti upacara selanjutnya. Yaitu upacara ammolong tedong, atau penyembelihan kerbau, saat matarahari pada posisi allabang lino atau pertengahan bumi. Kerbau yang akan disembelih, juga harus memenuhi syarat antara lain jantan, berwarna hitam dan kondisinya prima. Sang kerbau pun diperlakukan secara khusus. Diberi cermin, disisir bulu-bulunya, dan diikatkan kain putih sebagai simbol kesucian. Lalu kerbau diarak keliling istana sebanyak 3 kali putaran.

Sebelum prosesi penyembelihan berlangsung, keluarga yang memiliki hajat, melakukan sebuah prosesi, sebagai bentuk penghormatan kepada Sang Pencipta dan para leluhur. Satu persatu para turunan Raja Gowa ini, memecahkan telor, memberi minyak khusus dan mengarahkan uap ke kepala kerbau. Penyembelihan dilakukan oleh seorang sesepuh adat. Darah kerbau ini selanjutnya disimpan di istana.

Malam hari, berlangsung upacara appidalleki, yang bermakna, persembahan sesajen kepada leluhur sembari memanjatkan doa syukur kepada Sang Pencipta. Upacara ini hanya untuk kalangan keluarga raja saja.

Esok hari usai mengikuti shalat Idul Adha, upacara allangiri kalompoang, atau pencucian benda-benda utama pusaka kebesaran Kerajaan Gowa pun dimulai. Ini merupakan


(3)

puncak upacara dari segala rangkaian acara accera kalompoang. Air bertuah yang diambil dari Sumur Bungun Lompoa diletakkan diatas panggung, beserta darah kerbau dan sesajen lainnya.

Benda peninggalan Kerajaan Gowa yang berjumlah 13 buah, mulai dikeluarkan dari tempat penyimpanan. Annyossoro, atau pembersihan mulai dilakukan oleh turunan Raja Gowa terakhir, Andi Manganruru Pataemba. Benda-benda pusaka ini lalu diberikan kepada para sesepuh adat yang sudah menanti di atas panggung.

Para sesepuh adat mulai mencuci benda-benda pusaka yang terdiri dari, salokoa, atau mahkota, yang memiliki berat 1768 gram, terbuat dari emas murni, dan ditaburi 250 permata. Konon mahkota ini pernah dipakai oleh Raja Gowa pertama.

Benda pusaka lain, ponto janga jangaya, merupakan gelang emas berbentuk naga, yang berjumlah 4 buah. Dilanjutkan dengan pencucian tobo kaluku, atau rantai emas, dan benda-benda pusaka lainnya termasuk 4 senjata sakti, yang sering digunakan para raja dahulu kala. Satu persatu benda pusaka dibasuh oleh air Sumur Bungun Lompoa, kemudian diasapi dengan dupa.

Upacara diakhiri dengan prosesi attitele, atau pelepasan hajat. Para raja keturunan Gowa mengambil air dan darah kerbau untuk dibubuhi pada mahkota. Jaman dulu kala, seusai mencuci benda pusaka, masyarakat menunggu proses annimbang, atau menimbang benda-benda pusaka dengan timbangan khusus. Namun karena timbangan itu kini sudah tak ada, sebagai gantinya memanjatkan do`a bersama, dipimpin sesepuh adat.

D. Keistimewaan

Yang menarik dari pelakasanaan upacara Accera Kalompoang adalah pada saat penimbangan salokoa atau mahkota emas murni seberat 1.768 gram dengan diameter 30 cm dan berhias 250 butir berlian. Penimbangan mahkota tersebut sangat penting bagi petinggi dan masyarakat Gowa, karena penimbangan itu merupakan petunjuk bagi kehidupan mereka di masa yang akan datang. Mahkota tersebut tidak pernah diperbaiki dengan menambah atau mengurangi timbangannya, namun uniknya, pada saat penimbangan dilakukan dalam upacara Accera Kalompoan ini, timbangan mahkota tersebut sering berubah-ubah, terkadang


(4)

berkurang dan terkadang pula lebih. Jika timbangan mahkota tersebut berkurang, maka itu menjadi pertanda akan terjadi bencana di negeri mereka. Pernah suatu ketika, timbangan mahkota tersebut berkurang dan terbukti terjadi tanah longsor di Bawakaraeng yang menelan puluhan korban. Sebaliknya, jika timbangan mahkota tersebut bertambah, maka itu menjadi pertanda kemakmuran akan datang bagi masyarakat Gowa. Suatu ketika, mahkota yang beratnya kurang dari 2 kilogram ini tidak dapat diangkat oleh siapa pun, bahkan 4 orang sekaligus berusaha mengangkatnya, namun tetap saja tidak sanggup.

Secara logika, kejadian yang aneh itu sangat sulit untuk dipercaya. Namun, karena telah terbukti, para keturunan Raja-raja Gowa serta masyarakat umum sudah meyakininya. Oleh karena itu, mereka senantiasa mendukung dan memelihara tradisi upacara Accera Kalompoang yang mereka anggap sakral ini.

E. Tujuan dan Makna

Upacara Allangiri Kalompoang yang merupakan inti dari segala rangkaian Accera Kalompoang yang oleh masyarakat Gowa memberihkan arti tersendiri atas pelaksanaannya. 1. Annyossoro diartikan untuk meluluhkan segala sifat-sifat kejelekan manusia;

2. Allangiri adalah menanamkan keyakinan dan kesucian; dan

3. Annimbang adalah pertanda baik buruknya tingkat kehidupan rakyat dimasa datang dan berhasil tidaknya hasil bumi, ditentukan dari berat ringannya hasil penimbangan benda-benda kerajaan.

Makna penimbangan ini merupakan petunjuk bagi kehidupan mereka di masa yang akan datang. Jika timbangan mahkota tersebut berkurang, maka itu menjadi pertanda akan terjadi (bala) bencana di negeri mereka. . Sebaliknya, jika timbangan mahkota tersebut bertambah, maka itu menjadi pertanda kemakmuran akan datang bagi masyarakat Gowa.

Upacara Accera Kalompoang memang terlihat sederhana, namun dibalik upacara ini mengandung makna yang sangat berarti bagi masyarakat Gowa. Selain mengagungkan Sang Pencipta, menghormati para leluhur dan melestarikan nilai-nilai budaya, upacara ini juga bermakna mempererat tali persaudaraan antara pemerintah dengan masyarakat.


(5)

KESIMPULAN

Indonesia memang memiliki budaya yang sangat beragam dan juga sangat unik. Dan kemejemukan budaya yang ada di Indonesia membuat Indonesia memiliki budaya yang sangat kaya di dunia. Tentu saja sebagai warga Indonesia sudah seharusnya kita mengetahui berbagai macam budaya dan juga tradisi yang ada di negeri tercinta kita ini. Tidak hanya upacara tetapi tradisi membersihkan benda-benda pusaka di setiap daerah di Indonesia memiliki cara yang berbeda. Jika Keraton Jogjakarta punya Siraman Pusaka dan Ngalungsur Pusaka di Jawa Barat, maka Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan punya Upacara Adat Accera Kalompoang. Tentu saja benda-benda pusaka memang punya cara tersendiri untuk membersihkannya. Di Museum Balla Lompoa benda-benda pusaka kerajaan Gowa tersimpan dengan rapi dan setiap setahun sekali akan dibersihkan yang jatuh pada tanggal 10 Zulhijjah atau tepatnya seusai Shalat Idul Adha.

Benda-benda pusaka itu antara lain seperti tombak rotan dengan ekor kuda (panyanggaya barangan), parang besi (lassipo), keris emas berhiaskan permata (tatarapang), senjata atribut berkuasanya raja (sudanga), gelang emas berkepala naga (ponto janga-jangaya), kalung kebesaran (kolara), anting-anting emas (bangkarak ta’roe) dan kancing emas (kancing gaukang). Dan tidak hanya perangkat khas kerajaan Gowa yang dibersihkan tetapi benda-benda dari luar kerajaan juga ikut dibersihkan seperti kalung dari Kerajaan Zulu, Filipina dari abad XVI, tombak emas, parang panjang (berang manurung), penning emas dari Kerajaan Inggris di 1814 M hingga medali emas dari Belanda. Upacara ini dimulai dengan Seorang Anrong Gurua atau Guru Besar yang akan memimpin untuk membaca surat Al-Fatihah bersamaan dengan para peserta upacara sebelum mencuci benda-benda pusaka dimaksud dengan menggunakan air suci. Selain air, khusus untuk senjata pusaka seperti mata tombak, keris hingga parang maka proses pencuciannya akan ditambah dengan langkah pemulasan terlebih dahulu dengan menggunakan minyak wangi, rautan bamboo dan jeruk nipis.

Tetapi inti dari upacara Accera Kalompoang adalah upacara penimbangan Salokoa atau Mahkota raja yang terbuat dari emas murni dan dikreasikan pada abad ke-14. Mahkota ini pertama kali dipakai oleh Raja Gowa, I Tumanurunga yang disimbolkan lewat pelantikan raja-raja. Mahkota berhiaskan 250 butir berlian dengan berat mencapai 1.768 gram akan ditimbang dan juga dipercaya sebagai pertanda akan kehidupan masyarakat Gowa untuk masa yang akan datang. Dan dari hasil timbangan itulah akan diketahui makmur atau


(6)

tidaknya masyarakat Gowa. Jika berat timbangan berkurang, maka dianggap pertanda akan terjadinya bencana. Sebaliknya, jika berat timbangan bertambah, dipercaya sebagai isyarat kemakmuran. I Mangngarrangi Daeng Mangrabbia Karaeng Lakiung Sultan Alauddin, yang merupakan Raja Gowa pertama yang mengadakan upacara Adat Accera Kalompoang pada 9 Jumadil Awal 1051 H atau 20 September 1605. Dan acara upacara adat ini dijadikan tradisi pada masa pemerintahan I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid Tumenanga Ri Papambatuna yang menjabat sebagai Raja Gowa ke XV. Dan jika sobat merasa tertarik ingin melihat langsung upacara adat ini maka sobat bisa datang pada setiap selesai shalat Shalat Idul Adha di Museum Balla Lompoa, Kerajaan Gowa di Jl. Sultan Hasanuddin No. 48 Sungguminasa, Somba Opu, Kabupaten Gowa. Dan Wajib untuk mengenakan baju adat Makassar sebagai persyaratan untuk mengikuti Accera