CRITICAL REVIEW

Critical review

Sengketa Lembaga Negera
Mata Kuliah Judicial Review dan Sengketa Ketatanegaraan

OLEH :
JULANDI .J.JUNI
B 1111 2 385

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2016/2017

Kata Pengantar
Assalamualaikum wr.wb
Alhamdulillah, pertama-tama marilah kita memanjatkan puji syukur kehadirat Allah
SWT, karena atas izin-nya lah tugas paper critical review sebagai pemenuhan nilai
pembelajaran dalam mata kuliah judicial review dan sengketa ketatanegaraan yang
mengangkat topik “sengketa lembaga Negara” dapat terselesaikan. Tak lupa shalawat dan
salam kami haturkan kepada Baginda Rasullullah Muhammad SAW sebagai nabi penutup
yang melengkapi kesempurnaan agama islam sekaligus sebagai penyampai risalah dan

tuntunan kaum muslimin dalam menjalani kehidupan didunia.
Pertama-tama, izinkan penulis memohon maaf sebesar-besarnya atas keterlambatan
masuknya tugas pada perkuliahan judicial review yang merupakan tugas awal yang bersifat
kelompok. Namun, sayangnya pada keterlambatan ini penulis malah menyelesaikan secara
individual dikarenakan kurangnya komunikasi dan keteledoran penulis terhadap teman-teman
sekelas. Namun, penulis telah berusaha untuk menyusul ketertinggalan tugas ini, karena
memang dalam beberapa kesempatan, penulis dengan sadar tidak masuk dalam perkuliahan
ini dikarenakan satu dan lain hal.
Adapun penulis mengharapkan bahwa tugas ini kiranya mampu menjadi sedikit titik
cerah dalam mengulas fenomena struktur ketatanegaraan yang bersifat penting untuk kita
ketahui

cara

penyelesaian

permasalahannya

,terkhusus


dalam

kajian

sengketa

ketatanegaraan.
Demikian kiranya sedikit pengantar yang dapat penulis sampaikan, dan penulis
memohon maaf apabila dalam tugas ini masih kurang dari kata “baik” dalam memenuhi
hasrat kebutuhan pembaca atas permasalahan yang kiranya dibahas dalam paper ini. Dan
penulis tak lupa mengucapkan terima kasih, semoga keberkahan dan keselamatan senantiasa
tercurahkan kepada dosen-dosen pengajar pada mata kuliah judicial review yang telah
memberikan kepada kami pemahaman-pemahaman dasar tentang persoalan ketatanegaraan,
terkhusus judicial review dan sengketa ketatanegaraan.
Makassar, 04 Desember 2016

Penulis

A. Defenisi Critical Review
critical


review

merupakan

suatu

bentuk

evaluasi,seperti

mereview,mengintreperstasi, maupun menganalisis terhadap suatu buku maupun
artikel bukan untuk mencari kebenaran maupun kesalahan tetapi lebih kepada mencari
keunggulan maupun kelemahan yang dibutuhkan oleh reviewer. Critical review
lazimnya merupakan suatu tugas yang diberikan oleh pengajar seperti dosen kepada
mahasiswanya dengan harapan mampu meningkatkan minat baca , membentuk
kemampuan dalam mengeluarkan pendapat, serta membangun pola pemikiran yang
bersifat kritis dan sistematis.
B. Tahap-Tahap Penulisan Critical Review
Setelah mengetahui tentang critical review, maka adapun tahap-tahap yang

dapat kita tempuh dalam membuat suatu critical review adalah sebagai berikut :
1.

Menentukan suatu topic dalam dalam sebuah bahan (buka/artikel) yang
akan dibedah.

2. Membaca buku atau artikel tersebut secara utuh atau menyeluruh, tentunya
hal ini dapat dilakukan dengan dua teknik, yaitu skamming maupun
scanning.
3. Membaca secara aktif dengan memberikan catatan-catatan yang kemudian
dapat dihimpun menjadi suatu bahan critical review
4. Melakukan evaluasi, baik isi konten maupun penulisan, apakah telah
dirasa memenuhi unsur E.Y.D atau belum. Pada proses ini diharapkan
critical review telah hampir sempurna untuk dibentuk menjadi satu
kesatuan pendapat yang utuh.

C. Artikel Sengketa Lembaga Negara
Presiden Bersengketa Dengan DPR Dan BPK
Perselisihan Pemerintah Di Satu Pihak Dengan DPR Dan BPK Di Lain Pihak
Bermuara Di Mahkamah Konstitusi. Terkait Dengan Divestasi Newmont.

Selasa, 21 Februari 2012,Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lewat Menteri
Hukum dan HAM Amir Syamsuddin dan Menteri Keuangan Agus Martowardjojo
“menggugat” DPR dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Gugatan dilakukan melalui
Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) terkait pembelian divestasi 7 persen saham
PT

Newmont

Nusa

Tenggara

(NNT)

oleh

pemerintah.

sidang pemeriksaan pendahuluan, Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Kiagus
Ahmad Baharuddin mengganggap kebijakan pembelian saham 7 persen yang dilepas PT

NNT itu murni kewenangan konstitusional pemerintah sesuai kewenangan yang diberikan
Pasal 4 ayat (1), Pasal 17, Pasal 23C, dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Jadi, bukan
kewenangan

DPR.

“Presiden melalui menteri keuangan mengklaim bahwa investasi pemerintah lewat pembelian
7 persen saham divestasi PT NNT Tahun 2010 dengan pemegang saham asing seharusnya
tanpa perlu persetujuan termohon I (DPR),” klaim Badaruddin dalam sidang perdana yang
dipimpin Achmad Sodiki di ruang sidang MK, Selasa (21/2).
Badaruddin mengatakan persoalan ini menimbulkan perbedaan pendapat antara
pemerintah dan DPR. DPR menganggap bahwa pemerintah hanya dapat membeli 7 persen
saham divestasi PT NNT setelah mendapat persetujuan DPR. Hal itu dituangkan dalam surat
No. PW.01/9333/DPR-RI/X/2011 dan No. AG/9314/DPR-RI/X/2011 tertanggal 28 Oktober
2011.
“Dua surat pimpinan DPR tertanggal 18 Oktober 2011 yang mengharuskan persetujuan DPR
terlebih dahulu dalam pembelian 7 persen saham divestasi PT NTT mengakibatkan
kewenangan konstitusional pemohon telah diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan sebagai
pemegang kekuasaan pemerintahan dalam hal pengelolaan keuangan negara,” kata
Badaruddin.


Dijelaskan Badaruddin, atas perbedaan pendapat ini DPR telah meminta termohon II
(BPK) untuk mengaudit proses pembelian saham divestasi PT NNT ini. Dalam laporan hasil
pemeriksaannya, BPK juga berpendapat keputusan pemerintah untuk investasi jangka
panjang dalam bentuk penyertaan modal pemerintah di perusahaan swasta harus ditetapkan
oleh

Peraturan

Pemerintah

setelah

mendapatkan

persetujuan

DPR.

“Atas dasar laporan hasil pemeriksaan termohon II itu, termohon I (DPR) mengirimkan dua

suratNo. PW.01/9333/DPR-RI/X/2011 dan No. AG/9314/DPR-RI/X/2011 tertanggal 28
Oktober 2011 itu kepada Menkeu dan Menteri ESDM,” jelasnya.
Menurut Badaruddin, investasi atas pembelian 7 persen saham PT NNT yang dilepas
itu ditujukan untuk memberikan manfaat yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia sesuai
tujuan bernegara. “Ini dalam rangka menjalankan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 terkait
penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya,” ujarnya.
Karena itu, pemohon meminta MK menyatakan pemohon memiliki kewenangan
konstitusional sesuai Pasal 4 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 23C, dan Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945 berupa pembelian 7 persen divestasi PT NNT tanpa memerlukan persetujuan
DPR.
“Menyatakan kesimpulan termohon II dalam laporan hasil proses pembelian 7 persen saham
divestasi PT NNT Tahun 2010 yang sebelumnya harus mendapatkan persetujuan DPR
melampaui kewenangan konstitusional BPK”.
Menanggapi permohonan, anggota majelis panel hakim konstitusi Hamdan Zoelva
menilai secara umum permohonan mudah dipahami dan dimengerti dengan baik. Namun,
agar lebih baik bagian pendahuluan dimasukkan dalam pokok permohonan saja. Sebab, halhal yang dimuat dalam pendahuluan ini juga memuat alasan-alasan pokok permohonan. “Ini
agar dalam materi permohonan tidak ada pengulangan dalam bagian alasan-alasan pokok
permohonan,” kritik Hamdan.Berdasarkan catatan hukumonline, inilah pertama kali Presiden
berseteru secara hukum lewat Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) di
Mahkamah Konstitusi. 1

1

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f43922a4d8d5/presiden-bersengketadengan-dpr-dan-bpk di akses pada 03 desember 2016

Critical Review
Sebelum melangkah pada pokok persoalan, pertama kita mengetahui bahwa Indonesia
merupakan Negara demokrasi yang menganut system presidensial, yang dimana presiden
memilki penguasaan penuh terhadap pemerintah dibanding parlementer (dewan perwakilan
rakyat). Dan dalam hirarki perundang-undangan maka kita mengetahui bahwa Undangundang dasar 1945 (UUD1945) merupakan puncak tertinggi dalam hirarki konsitusi di
Indonesia. Kemudian berikut yang menjadi soal, apakah surat Pimpinan Dewan perwakilan
Rakyat (DPR) dalam hal ini dapat juga di defenisikan sebagai suatu keputusan yang
dilakukan bersama PT.NSS yang dituangkan dalam surat No. PW.01/9333/DPR-RI/X/2011
dan No. AG/9314/DPR-RI/X/2011 tertanggal 28 Oktober 2011, mampu menjadi penghalang
pemerintah dalam melakukan transaksi secara langsung kepada PT.NSS ?
yang perlu diperhatikan bahwa Hal ini telah memasuki babak peradilan ke Mahkamah
konstitusi yang dimana landasan Gugatan Pemerintah oleh Presiden dilandaskan pada amanat
UUD1945 yyang tercantum pada Pasal 4 ayat (1), Pasal 17, Pasal 23C, dan Pasal 33 ayat (3).
Maka untuk untuk memperdalam analisis, terlebih dahulu kita akan melihat eksistensi DPR
dan Presiden dalam pembuatan suatu perjanjian. Dalam system presidensil seperti yang
dianut oleh Indonesia, sebenarnya telah secara otomatis memberikan kewenangan besar

terhadap kepala Negara / presiden dalam mebuat suatu keputusan sepihak. Ini seperti yang
dinyatakan Arend Lijphart (1994), presiden akan menjadi sosok yang sangat berkuasa (a very
powerful president),apabila dukungan politik oleh Lembaga perwakilan rakyat terhadap
presiden sangat besar. Bahkan, kondisi a very powerful president akan dengan mudah
terwujud karena presiden memiliki fungsi ganda sebagai kepala negara dan sekaligus sebagai
kepala pemerintah. Jebakan berayun dalam dua kondisi itu disebut sebagai paradoxes of
presidential power.2 Tetapi, keputusan bersama dengan perundingan antara presiden dan DPR
secara garis besar sebenarnya hanya terbatas pada hal-hal tertentu. Seperti persetujuan DPR
diperlukan dalam menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara
lain; setelah presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu);
dan anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan presiden dengan persetujuan DPR.
Sementara itu, pertimbangan DPR diperlukan untuk mengangkat duta, menerima penempatan
duta negara lain, dan memberi amnesti dan abolisi. Lebih jauh, persetujuan dan pertimbangan
2

http://www.saldiisra.web.id/index.php/tulisan/artikel-koran/26-mediaindonesia/576mengelola-hubungan-presiden-dpr.html diakses pada 03 desember 2016

masih muncul dalam proses pengisian jabatan-jabatan strategis yang diatur di level undangundang.3
Oleh karena itu, terkait dengan sengketa antara Presiden melawan DPR dan BPK
seharusnya dalam hal ini kekuatan DPR tidak melampaui hal-hal tertentu, utamanya membuat

perjanjian yang sepihak dengan hanya melaui persetujuan Pimpinan DPR saja yang
diwujudkan dalam beberapa Surat Keputusan antara pihak PT NSS dan DPR. Karena hal
seperti ini mampu membangun kecurigaan masyarakat akan kecendurangan pemerintah yang
berjuang semata-mata hanya karena ke aroganan masing-masing lembaga, bahkan jika kita
perhatikan secara mendalam hal ini mampu membuat terbangunnya opini masyarakat akan
korupsi /keinginan suatu lembaga Negara dalam mengawasi lahan-lahan basah seperti
PT.NSS.

3

ibid