Critical Review ANEKA PEMIKIRAN tentang
Critical Review
ANEKA PEMIKIRAN tentang KUASA DAN WIBAWA
“ Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudaaya Jawa”
Anggapan yang berbeda tentang kekuasaan itu dapat di cakup dengan menggunakan
suatu konsep yang bersifat behavioristis, yaitu “keputusan”. Yang lebih penting lagi konvergensi
pendapat itu tidaklah sekdera bersifat semantis, Secara eksplisit atau implisit, keputusan itu
selalu mempunyai makna “otoritatif” atau “berwenang” dengan kata lain keputusan-keputusan
itu dilegitimasikan (dibenarkan) oleh kedudukan institusional dari pelakunya, ataupun
keputusan-keputusan sendiri diberi sanksi institusional oleh masyarkat yang bersangkutan.
Bagaimana pun juga kekuasaan ada dimana selama keputusan-keputusan itu di ambil.
Disatu sisi karena nilai-nilai di dalam masyarakat itu banyak maka terdapat pula
“pluralisme elite”. Yang penting sekarang ialah bahwa terdapat hirarki antara pelbagai elite
tersebut. Elite yang paling unggul kedudukannya ialah kelompok yang mempunyai kekuasaan
politik, sebap dilapangan politik mempunyai keputusan-keputusan yang disertai dengan sanksisanksi yang paling kuat. Keputusan-keputusan politik mengikat seluruh masyarakat, sebap
kekuasaan politik melahirkan keputusan-keputusan yang wujudnya secara formal yang paling
otoritatif di antara nilai-nilai yang di dalam masyarakat. Di samping itu, kekuasaan politik
sebagai nilai yang mempunyai daya perekat.
Proses-proses terpenting yang berlangsung dalam masyarkat merupakan suatu tambahan
kompleksitas dari diferensiasi struktural dalam sistem tersebut, tetapi tanpa perubahan struktur
fundamental dari sistem itu sendiri. Interdependensi anatar pelbagai sub-sistem, di satu pihak
bahwa satu perubahan besar dalam satu bagian akan mempengaruhi seluruh struktur., tetapi di
lain pihak berarti pula bahwa pengaruh, atau akibatnya sedikit banyak akan di tahan oleh bagianbagian lain dari sistem itu. Dengan perkataan lain, sifat utama dari suatau sistem dalam
keseimbangan ialah kecenderungan untuk kembali pada suatu kedaan stabil jika bagianbagiannya dibiarkan untuk ber”interaksi” tanpa ada keguncangan terus-menerus..
Dalam rangka pemikiran yang demikian maka mudah dimengerti teoritis-teoritis
sturuktural-fungsional memndang kekuasaan itu sebagai suatu fasilitas sosial atau sumber sosial.
Kekuasaan mempunyai fungsi sosial, yaitu fungsi untuk seluruh masyarakat sebagai suatu
sistem. Tetapi jika dibandingkan dengan sub-sub sistem lainnya, sub sistem politik sifatnya
mencakup seluruh mayarakat. Sifat politik adalah paling umum dalam pola-pola normatifnya.
Keputusan-keputusan politik yang di ambil dalam rangka politik mempunyai akibat-akibat yang
langsung dan memang sengaja mempengaruhi seluruh masyarakat.
Kekuasaan merupakan atribut utama dari suatu sistem sosial. Kekuasaan berwujud
kepemimpinan yang bertanggung jawab dan dan dapat dimintai pertanggung jawabannya. Tetapi
kekuasaan juga berbentuk keputusan-keputusan yang mengikat semua golongan masyarakat.
Pendeknya; kekuasaan banyak sekali sumbangannya pada pemeliharaan masyarakat sebagi suatu
sistem. Lebih dari kekuasaan itu, merupakan suatu “modal” untuk tercapainya tujuan-tujuan dari
mayarakat dalam keseluruhannya.
Dalam pemikiran demikian, maka persoaln utama tentang keuasaan ialah bagaimana
caranya kekuasaan itu di timbulkan, dan kepentingan-kepentingan umum apa dari masyarakat
seluruhnya akan dicapainya. Dengan perkataan lain soalnya adalah “bagaimana caranya
keputusan itu di ambil”? “ Bagaimanakah kekuasaan itu digunakan”?
Tidak mengherankan bahwa teoritis struktural-fungsional akan berlainan penilaiannya
dalam mengalisis suatu sistem kekuasaan tertentu. Suatu konsentrasi kekuasaan tidaklah
dianggapnya tidak wajar atau abnormal, seandainya pertumbuhan demikian disebapkan oleh
keadaan-keadaan intern dari suatu masyarakat. Umpamanya, karena proses industrialisasi dan
kedaan internasional serba tegang. Disamping itu perlu dibedakan apakah suatu koalisi
kekuasaan ataupun suatu konsentrasi kekuasaan merupakan gejala jangka pendek atau jangka
panjang.
Bahkan perlu diketahu pula, adanya kepentingan-kepentingan terorganisir seperti (serikat
buruh, asosiasi pengusaha) dapat saling berlintasan dengan asas-asas yang sebelumnya
digariskan oleh partai-partai politik. Sehingga sebagian besar kebijakan yang ditempuh oleh
pemerintah atau penguasa yang diperjuangkan oleh partai-partai itu tergantung pada keinginan
dari golongan-golongan kepentingan tersebut. Lebih ppenting lagi ada beberapa macam
kepentingan yang jelas merupakan batas-batas dari kepentingan-kepentingan golongan sendiri,
yaitu aturan-aturan permainan seperti umpamanya “ kelangsungan hidup nasional “, kebebasan,
hak asasi manusia, dan sebagainya.
Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa
Cara mengemukakan persoalana seperti ini diharapkan dapat menjelaskan bahwa
Kebudayaan Jawa Tradisional mempunyai teori politik yang memberikan penjelasan sistematis
dan logis tentang tingkah laku politik. Dengan mempergunakan suatu kiasan usang tetapi masih
tetap berlaku, dapat dikatakan bahwa kedua tradisi politik itu telah mempergunakan lensa yang
sangat berlainan dalam memetakan dunia politik. Seperti dalam pandangan Max Weber bahwa
gambaran-gambaran yang tampak lewat lensa-lensa itu akhirnya lebih kurang apa yang di
namakan dengan pengertian subyektif terhadap suatu tindakan soail yang diberikan oleh para
pelakunya.
Maka dalam penekanan ini dari awal permulaan, bahwa saya sama sekali menganggap
konsepsi-konsep politik jawa dipandang unsur demi unsur bersifat khas jawa saja, walaupun
dalam keseluruhannya merupakan gabungan unik. Malahan, persamaan-persamaan antara
konsepsi-konsepsi politik jawa dan konsepsi-konsepsi politik tradisional lainnya merupakan
bagian yang tak bisa dipisahkan dari asumsi yang melatar belakangi uraian ini, sehingga
merupakan kesimpulan teoritisnya, yaitu perlu peninjauan dan penyederhanaan kembali.
Menurut tradisi Ortodoks, bertapa mengikuti hukum kompensasi yang fundamental bagi
rasa orang Jawa tentang keseimbangan kosmos. Jadi mengurangi diri lebih kurang sama artinya
dengan membesarkan diri dengan cara bermatigara; dan sebagaimana dilihat nanti dengan
paradoks khas Jawa, selain pandangan heterodoks tentang kekuasaan itu sendiri.
Dalam kesenian Jawa Kuno, gabungan ini tidak mengambil bentuk banci seperti di dunia
Hellenistis. Yaitu suatu makhluk peralihan yang tidak mempunyai jenis kelamin yang jelas, tetapi
lebih menyerupai suatu makhluk di mana ciri-ciri khas lelaki dan wanita dijajarkan dengan
tajam. Ciri esensial dari gabungan hal-hal yang berlawanan ini bukanlah perpaduannya,
melainkan penggabungannya yang serentak dan dinamis dalam suatu persenyawaan.
Walaupun dalam dunia seni gabungan lelaki dan wanita merupakan lambang kekuasaan,
namun dalam dunia politik, karena alasan-alasan yang jelas, sinkretisme dinamis dalam
pemikiran Jawa menyatakan dirinya dalam bentuk-bentuk lain. Pernyatan lain yang paling
menarik mengenai hal ini adalah apa yang dinamakan dengan politik Nasakom dari bekas
Presiden Soekarno.Orang sering menggap Nasakom sebagai slogan yang tidak bertanggung
jawab dan secara intelektual tidak mempunyai keutuhan atau sebagai alat halus yang
dipergunakan untuk melemahkan prasangka-prasangka anti-komunis dalam kelompok nasionalis
dan agama yang besar pengaruhnya.. Tetapi tafsiran seperti itu belum menempatkan Nasakom
dalam konteks pemikiran politik Jawa.
Terkait dengan masalah Kekuasaan dan Sejarah, seperti yang dikemukakan Sartono
bahwa walaupun para ahli sejarah dan ahli ilmu politik ilmu barat berbeda pendapat tentang
sejarah yang mengikuti garis lurus, dan sampai ke tingkat dimana sejarah yang ditentukan oleh
faktor-faktor obyektif, mereka semuanya mempunyai perasaan yang sama, yaitu perasaan yang
pokoknya bersumber pada revolusi teknologi yang terjadi selam 200 tahun terakhir ini, yang
mengatakan bahwa sejarah tidak berulang, dan merupakan suatu rangkaian peristiwa unik yang
dihubungkan oleh sebap-akibat yang rumit.
Dalam pemikiran Jawa yang populer saat ini, dan dalam kepustakaan masa lalu, sedikit
saja kita temui perasaan adanya lingkaran-lingkaran, dan adanya keruntuhan dan kebangunan
yang terjadi dengan teratur. Sebagai gantinya kita temui kontras tajam yang diadakan antara
zaman es dan zaman edan. Sangat penting bagi saya ialah bahwa pandangan sejarah oraang Jawa
adalah pandangan gerak bolak-balik kosmologis antara masa-masa pemusatan kekuasaan daan
masa terpencarnya kekuasaan.
Konsepsi kekuasaan Jawa ada juga implikasi-implikasinya bagi konsepsi-konsepsi
tentang kedaulatan, integrasi teritorial, dan hubungan-hubungan luar negeri. Perspektif ini jelas
menunjukan adanya perbedaan fundamental antara gagasan lama tentang suatu kerajaan atau
negara. Implisit di dalam gagasan negara modern ialah konsepsi bahwa tapal batas menandai
turunnya secara cepat dan mendadak “voltase” kekuasaan para penguasa negara itu. Para warga
yang tinggal di pinggiran negara atau kerajaan, harus mempunya status yang sama dengan warga
yang tinggalnya di pusat. Disatu sisi pemikiran politik Jawa berorientasi ke pusat, di gabungkan
dengan konsepsi-konsepsi kedaulatan yang berangsur-angsur sebagai mana telah digambarkan
dalam garis besar di atas.
Bahan Bacaan
1. Budiardjo, Miriam. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1984
2. Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2000)
ANEKA PEMIKIRAN tentang KUASA DAN WIBAWA
“ Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudaaya Jawa”
Anggapan yang berbeda tentang kekuasaan itu dapat di cakup dengan menggunakan
suatu konsep yang bersifat behavioristis, yaitu “keputusan”. Yang lebih penting lagi konvergensi
pendapat itu tidaklah sekdera bersifat semantis, Secara eksplisit atau implisit, keputusan itu
selalu mempunyai makna “otoritatif” atau “berwenang” dengan kata lain keputusan-keputusan
itu dilegitimasikan (dibenarkan) oleh kedudukan institusional dari pelakunya, ataupun
keputusan-keputusan sendiri diberi sanksi institusional oleh masyarkat yang bersangkutan.
Bagaimana pun juga kekuasaan ada dimana selama keputusan-keputusan itu di ambil.
Disatu sisi karena nilai-nilai di dalam masyarakat itu banyak maka terdapat pula
“pluralisme elite”. Yang penting sekarang ialah bahwa terdapat hirarki antara pelbagai elite
tersebut. Elite yang paling unggul kedudukannya ialah kelompok yang mempunyai kekuasaan
politik, sebap dilapangan politik mempunyai keputusan-keputusan yang disertai dengan sanksisanksi yang paling kuat. Keputusan-keputusan politik mengikat seluruh masyarakat, sebap
kekuasaan politik melahirkan keputusan-keputusan yang wujudnya secara formal yang paling
otoritatif di antara nilai-nilai yang di dalam masyarakat. Di samping itu, kekuasaan politik
sebagai nilai yang mempunyai daya perekat.
Proses-proses terpenting yang berlangsung dalam masyarkat merupakan suatu tambahan
kompleksitas dari diferensiasi struktural dalam sistem tersebut, tetapi tanpa perubahan struktur
fundamental dari sistem itu sendiri. Interdependensi anatar pelbagai sub-sistem, di satu pihak
bahwa satu perubahan besar dalam satu bagian akan mempengaruhi seluruh struktur., tetapi di
lain pihak berarti pula bahwa pengaruh, atau akibatnya sedikit banyak akan di tahan oleh bagianbagian lain dari sistem itu. Dengan perkataan lain, sifat utama dari suatau sistem dalam
keseimbangan ialah kecenderungan untuk kembali pada suatu kedaan stabil jika bagianbagiannya dibiarkan untuk ber”interaksi” tanpa ada keguncangan terus-menerus..
Dalam rangka pemikiran yang demikian maka mudah dimengerti teoritis-teoritis
sturuktural-fungsional memndang kekuasaan itu sebagai suatu fasilitas sosial atau sumber sosial.
Kekuasaan mempunyai fungsi sosial, yaitu fungsi untuk seluruh masyarakat sebagai suatu
sistem. Tetapi jika dibandingkan dengan sub-sub sistem lainnya, sub sistem politik sifatnya
mencakup seluruh mayarakat. Sifat politik adalah paling umum dalam pola-pola normatifnya.
Keputusan-keputusan politik yang di ambil dalam rangka politik mempunyai akibat-akibat yang
langsung dan memang sengaja mempengaruhi seluruh masyarakat.
Kekuasaan merupakan atribut utama dari suatu sistem sosial. Kekuasaan berwujud
kepemimpinan yang bertanggung jawab dan dan dapat dimintai pertanggung jawabannya. Tetapi
kekuasaan juga berbentuk keputusan-keputusan yang mengikat semua golongan masyarakat.
Pendeknya; kekuasaan banyak sekali sumbangannya pada pemeliharaan masyarakat sebagi suatu
sistem. Lebih dari kekuasaan itu, merupakan suatu “modal” untuk tercapainya tujuan-tujuan dari
mayarakat dalam keseluruhannya.
Dalam pemikiran demikian, maka persoaln utama tentang keuasaan ialah bagaimana
caranya kekuasaan itu di timbulkan, dan kepentingan-kepentingan umum apa dari masyarakat
seluruhnya akan dicapainya. Dengan perkataan lain soalnya adalah “bagaimana caranya
keputusan itu di ambil”? “ Bagaimanakah kekuasaan itu digunakan”?
Tidak mengherankan bahwa teoritis struktural-fungsional akan berlainan penilaiannya
dalam mengalisis suatu sistem kekuasaan tertentu. Suatu konsentrasi kekuasaan tidaklah
dianggapnya tidak wajar atau abnormal, seandainya pertumbuhan demikian disebapkan oleh
keadaan-keadaan intern dari suatu masyarakat. Umpamanya, karena proses industrialisasi dan
kedaan internasional serba tegang. Disamping itu perlu dibedakan apakah suatu koalisi
kekuasaan ataupun suatu konsentrasi kekuasaan merupakan gejala jangka pendek atau jangka
panjang.
Bahkan perlu diketahu pula, adanya kepentingan-kepentingan terorganisir seperti (serikat
buruh, asosiasi pengusaha) dapat saling berlintasan dengan asas-asas yang sebelumnya
digariskan oleh partai-partai politik. Sehingga sebagian besar kebijakan yang ditempuh oleh
pemerintah atau penguasa yang diperjuangkan oleh partai-partai itu tergantung pada keinginan
dari golongan-golongan kepentingan tersebut. Lebih ppenting lagi ada beberapa macam
kepentingan yang jelas merupakan batas-batas dari kepentingan-kepentingan golongan sendiri,
yaitu aturan-aturan permainan seperti umpamanya “ kelangsungan hidup nasional “, kebebasan,
hak asasi manusia, dan sebagainya.
Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa
Cara mengemukakan persoalana seperti ini diharapkan dapat menjelaskan bahwa
Kebudayaan Jawa Tradisional mempunyai teori politik yang memberikan penjelasan sistematis
dan logis tentang tingkah laku politik. Dengan mempergunakan suatu kiasan usang tetapi masih
tetap berlaku, dapat dikatakan bahwa kedua tradisi politik itu telah mempergunakan lensa yang
sangat berlainan dalam memetakan dunia politik. Seperti dalam pandangan Max Weber bahwa
gambaran-gambaran yang tampak lewat lensa-lensa itu akhirnya lebih kurang apa yang di
namakan dengan pengertian subyektif terhadap suatu tindakan soail yang diberikan oleh para
pelakunya.
Maka dalam penekanan ini dari awal permulaan, bahwa saya sama sekali menganggap
konsepsi-konsep politik jawa dipandang unsur demi unsur bersifat khas jawa saja, walaupun
dalam keseluruhannya merupakan gabungan unik. Malahan, persamaan-persamaan antara
konsepsi-konsepsi politik jawa dan konsepsi-konsepsi politik tradisional lainnya merupakan
bagian yang tak bisa dipisahkan dari asumsi yang melatar belakangi uraian ini, sehingga
merupakan kesimpulan teoritisnya, yaitu perlu peninjauan dan penyederhanaan kembali.
Menurut tradisi Ortodoks, bertapa mengikuti hukum kompensasi yang fundamental bagi
rasa orang Jawa tentang keseimbangan kosmos. Jadi mengurangi diri lebih kurang sama artinya
dengan membesarkan diri dengan cara bermatigara; dan sebagaimana dilihat nanti dengan
paradoks khas Jawa, selain pandangan heterodoks tentang kekuasaan itu sendiri.
Dalam kesenian Jawa Kuno, gabungan ini tidak mengambil bentuk banci seperti di dunia
Hellenistis. Yaitu suatu makhluk peralihan yang tidak mempunyai jenis kelamin yang jelas, tetapi
lebih menyerupai suatu makhluk di mana ciri-ciri khas lelaki dan wanita dijajarkan dengan
tajam. Ciri esensial dari gabungan hal-hal yang berlawanan ini bukanlah perpaduannya,
melainkan penggabungannya yang serentak dan dinamis dalam suatu persenyawaan.
Walaupun dalam dunia seni gabungan lelaki dan wanita merupakan lambang kekuasaan,
namun dalam dunia politik, karena alasan-alasan yang jelas, sinkretisme dinamis dalam
pemikiran Jawa menyatakan dirinya dalam bentuk-bentuk lain. Pernyatan lain yang paling
menarik mengenai hal ini adalah apa yang dinamakan dengan politik Nasakom dari bekas
Presiden Soekarno.Orang sering menggap Nasakom sebagai slogan yang tidak bertanggung
jawab dan secara intelektual tidak mempunyai keutuhan atau sebagai alat halus yang
dipergunakan untuk melemahkan prasangka-prasangka anti-komunis dalam kelompok nasionalis
dan agama yang besar pengaruhnya.. Tetapi tafsiran seperti itu belum menempatkan Nasakom
dalam konteks pemikiran politik Jawa.
Terkait dengan masalah Kekuasaan dan Sejarah, seperti yang dikemukakan Sartono
bahwa walaupun para ahli sejarah dan ahli ilmu politik ilmu barat berbeda pendapat tentang
sejarah yang mengikuti garis lurus, dan sampai ke tingkat dimana sejarah yang ditentukan oleh
faktor-faktor obyektif, mereka semuanya mempunyai perasaan yang sama, yaitu perasaan yang
pokoknya bersumber pada revolusi teknologi yang terjadi selam 200 tahun terakhir ini, yang
mengatakan bahwa sejarah tidak berulang, dan merupakan suatu rangkaian peristiwa unik yang
dihubungkan oleh sebap-akibat yang rumit.
Dalam pemikiran Jawa yang populer saat ini, dan dalam kepustakaan masa lalu, sedikit
saja kita temui perasaan adanya lingkaran-lingkaran, dan adanya keruntuhan dan kebangunan
yang terjadi dengan teratur. Sebagai gantinya kita temui kontras tajam yang diadakan antara
zaman es dan zaman edan. Sangat penting bagi saya ialah bahwa pandangan sejarah oraang Jawa
adalah pandangan gerak bolak-balik kosmologis antara masa-masa pemusatan kekuasaan daan
masa terpencarnya kekuasaan.
Konsepsi kekuasaan Jawa ada juga implikasi-implikasinya bagi konsepsi-konsepsi
tentang kedaulatan, integrasi teritorial, dan hubungan-hubungan luar negeri. Perspektif ini jelas
menunjukan adanya perbedaan fundamental antara gagasan lama tentang suatu kerajaan atau
negara. Implisit di dalam gagasan negara modern ialah konsepsi bahwa tapal batas menandai
turunnya secara cepat dan mendadak “voltase” kekuasaan para penguasa negara itu. Para warga
yang tinggal di pinggiran negara atau kerajaan, harus mempunya status yang sama dengan warga
yang tinggalnya di pusat. Disatu sisi pemikiran politik Jawa berorientasi ke pusat, di gabungkan
dengan konsepsi-konsepsi kedaulatan yang berangsur-angsur sebagai mana telah digambarkan
dalam garis besar di atas.
Bahan Bacaan
1. Budiardjo, Miriam. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1984
2. Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2000)