Ritual Kematian Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlakuan terhadap Orang Meninggal dalam Tradisi Penguburan Masyarakat Desa Trunyan Bali T2 752012015 BAB II

16 kebutuhan-kebutuhan yang berulang dari masyarakat sosial, sementara ritual-ritual yang bukan musiman mungkin atau bisa jadi tidak bercorak komunal. 18

2.2. Ritual Kematian

Ritual kematian menandai ritus peralihan penting yang terakhir dalam kehidupan setiap manusia. Di antara orang-orang Kaguru, ritus-ritus kematian dikaitan dengan dua persoalan: 1 orang harus memastikan bahwa si mati itu dialihkan dengan mana dari negeri orang hidup ke dunia spiritual. Orang-orang yang barusan meninggal seperti para remaja di hutan, ada’ ditengah-tengah dan diantara’, dan karenanya harus diurus dengan sangat saksama, mereka tidak dapat dikendalikan seperti kita mengontrol orang-orang yang hidup, namun pada saat yang sama mereka cukup dekat dengan orang-orang yang masih hidup sehingga dapat mempengaruhi mereka. Dengan kata lain mereka mesti secepat mungkin “dimapankan” sebagai orang-orang yang sudah mati. 2 lebih kepada perlakuan kepada yang meninggal yaitu gender dikuburkan dengan muka menghadap ke kiri, ke dunia spiritual. Jazad-jazad itu dikuburkan dengan cara yang sangat terburu-buru karena dianggap mencemarkan dan berbahaya, namun masa perkabungan berlangsung sekurang-kurangnya selama empat hari. 19 Ritus pemakaman mendorong pada dua hal yang paradoksal yaitu untuk memelihara ikatan yang berhadapan dengan kematian, dan menjamin dominasi kehendak untuk hidup, serta ritus kematian untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Geertz menulis apa yang disebut oleh Malinowski bahwa: dari segala sumber agama krisis yang paling berat dan paling akhir adalah kematian. Kematian menimbulkan dalam diri orang 18 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama , Ibid 178-179. 19 Thomas Hylland Eriksen, Antropologi Sosial dan Budaya Maumere:Ledalero, 1998, 238. 17 yang berdukacita suatu tanggapan cinta dan segan, suatu ambivalence emosianal yang sangat mendalam dari pesona dan ketakutan yang mengancam baik dasar-dasar psikologis maupun eksistensi manusia. 20 Geertz kembali mengutip pendapat Malinowski sebagai berikut: “Dan disini dengan bermainnya kekuatan-kekuatan emosional ini, dilema kematian akhir ini, agama melangkah, menyeleksi rumusan kepercayaan yang positif, pandangan yang menghibur, kepercayaan yang secara kultural bernilai akan kebakaan, akan jiwa yang tak tergantung dari badan, dan akan kelanjutan hidup setelah kematian. Dalam berbagai upacara kematian, dalam peringatan dan persatuan dengan yang ditinggalkan, dan pemujaan dengan roh-roh leluhur, agama memberi tubuh dan bentuk pada kepercayaan-kepercayaan yang dinyatakan. Persis fungsi yang sama yang dipenuhi juga dengan memperhatikan seluruh kelompok. Upacara kematian yang mengikat orang-orang yang berduka cita dengan jenazah dan memaku mereka di tempat kematian, kepercayaan- kepercayaan akan adanya Roh, akan pengaruh-pengaruh yang menguntungkan, atau maksud-maksud jahat, akan rangkaian upacara-upacara peringatan atau pengorbaan dalam semua ini maka agama meniadakan kekuatan-kekuatan rasa takut yang bersifat sentrifugal, kecemasan, demoralisasi, dan menyediakan sarana-sarana yang paling kuat untuk reintergrasi solidaritas kelompok yang tergoncang dan penetapan kembali semangat-semangat juangnya. Singkatnya 20 Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1992, 95. 18 agama disini menjamin kemenangan tradisi atas tanggapan negatif tentang naluri yang menghambat” 21 Koentjaranirat mengemukakan pendapat Geertz dalam tulisan yang sama dalam upacara kematian, bahwa upacara kematian selalu dilakukan manusia dalam rangka adat istiadat dan struktur sosial dari masyarakatnya yang berwujud sebagai gagasan kolektif. Dengan demikian menurutnya, upacara kematian itu harus lepas dari segala perasaan pribadi dari orang yang meninggal tersebut, kepada orang-orang yang terlibat dalam upacara kematian itu, dan harus dipandang dari sudut gagasan kolektif masyarakat tadi. Pandangan tentang kematian dari kebanyak masyarakat Arkhais, harus selalu diartikan sebagai suatu proses peralihan dari suatu kedudukan sosial tertentu ke kedudukan sosial yang lain, yaitu kedudukan sosial di dunia ini ke kedudukan sosial di dunia “sana”. Dengan begitu, maka Hertz mengatakan bahwa upacara kematian adalah tidak lain dari upacara inisiasi. Bagi Preusz. Serangkaian ritus dan upacara yang paling penting dalam banyak religi di dunia adalah ritus kematian, dalam ritus-ritus kematian inti pokok upacara itu lebih banyak melambangkan proses perpisahan antara yang meninggal dengan yang masih hidup. Ritus kematian disadari oleh banyak orang sebagai orientasi religi di dunia adalah konsep mengenai hidup dan kematian. Ritus kematian adalah sumber gambaran manusia tentang hidup dan ritus kematian yang sebenarnya diciptakan sendiri oleh manusia. 22 Oleh Koentjaraningrat, kebudayaan yang terdiri dari kumpulan lambang dan simbol serta psikis manusia itu kemudian terwujud dalam ide, tingkah laku dan benda 21 Ibid, 96 22 Koentjanidingrat, Sejarah Teori Antropologi I, Ibid 69-77. 19 fisik. 23 Ketiga wujud ini tidaklah bisa berdiri sendiri. Ketiganya bercampur menjadi satu kesatuan yang utuh. Ide akan mengilhami manusia untuk beraktifitas guna menghasilkan karya. Di dalam kebudayaan itu sendiri terdapat berbagai unsur substansial: pengetahuan, nilai-nilai, pandangan hidup, kepercayaan, persepsi dan etos. Kebudayaan yang terbentuk ini kemudian dapat diidentifikasikan lebih lanjut dalam berbagai sistim. Salah satu sistim tersebut adalah sistim kepercayaanreligi. Tri Widiarto berpendapat 24 , sistim kepercayaanreligi adalah rangkaian keyakinan dari suatu kelompok masyarakat manusia terhadap sesuatu yang dianggap mempunyai kekuatan gaib. Keyakinan ini lahir karena adanya kesadaran akan berbagai misteri kehidupan seperti kelahiran dan kematian. Ada kehidupan di alam gaib setelah kematian. Manusia menginginkan kehidupan yang tentram di dunia dan setelah kematian. Karena itu manusia selalu berusaha untuk berada dalam hubungan yang baik dengan penguasa alam gaib tersebut. Sistim keyakinan inilah yang kemudian diwariskan secara turun- temurun baik melalui kitab suci maupun mitologi dan upacara-upacara keagamaanritus. Di dalam sebuah upacara pemakaman, tersembunyi gambaran keyakinan dan pengharapan sebuah masyarakat. Seperti yang dicatat oleh Alex Jebadu bahwa orang Mesir kuno memiliki adat kebiasaan yang menyiratkan kasih, penghormatan dan respek mereka yang besar kepada orang-orang mati. 25 Ketiga hal ini mendorong mereka untuk mempersiapkan pemakaman dengan sangat terperinci, membangun makam-makam raksasa piramida dan sesajian makanan. Mereka percaya bahwa pemakaman yang baik dan layak sangat penting untuk memungkinkan orang mati itu hidup lagi di dunia akhirat. 23 Tri Widiarto, Dasar-dasar A.ntropologi Budaya, Salatiga: Jurusan Sejarah FKIP UKSW Press, 2000, 12-14. 24 Ibid, 23. 25 Alex Jebadu, Bukan Berhala Penghormatan Kepada Leluhur, Maumere: Seminari Tinggi Ledalero, 2009, 177- 119. 20 Menurut Kobong 26 , Orang Toraja memahami kehidupan ini sebagai suatu lingkaran siklus yang enmalig, tidak dapat terulang lagi. Kematian adalah proses peralihan hidup dari dunia yang empirik praktis kepada dunia yang mistis transenden tersebut. Sebelum manusia kembali dalam kehidupan semula yang mistis itu, ia masih tetap diikat oleh aluk sola pemali AsP melalui kaum kerabatnya. Kehidupan empirik praktis, di sini dan sekarang, bersifat sementara namun memberi warna dan menentukan kehidupan di sana yang mistis transenden. Kehidupan di dalam dunia yang empirik ini dihayati dan diamalkan dengan segala upacara ritual. Victor Turner berpendapat bahwa simbol berfungsi untuk mengatur kehidupan sosial, sehingga ia berpandangan bahwa ritual tidak hanya kumpulan simbol-simbol yang saling terkait satu dengan yang lainnya tetapi juga sekaligus sebagai simbol perekat sosial bagi masyarakat tertentu. Kebersamaan terwujud karena ada krisis yang terjadi dalam masyarakat sehingga memungkinkan ritual dilaksanakan. Menurutnya ketika suatu peristiwa kritis terjadi, maka upacara-upacara simbolis dipahami sebagai petualangan masuk ke dalam dunia yang tidak diketahui. Upacara simbolis diperlukan untuk menjamin kepergian yang aman dan kedatangan kembali yang membahagiakan. 27 Dalam hal ini, ritual berfungsi liminalitas – pembatas ruang dan waktu. Liminalitas adalah keadaan di mana seorang individu mengalami keadaan ambigu. Yakni, keadaan neither here nor there tidak di sini dan juga tidak di sana. Berarti, individu sedang masuk ke tahap betwixt di tengah-tengah dan between antara. Pengalaman liminal ini akan membuat seseorang sadar diri, sadar akan eksistensinya. 26 Theodorus Kobong, Manusia Toraja : dari mana-bagaimana-ke mana, TangmentoE- Tana Toraja: Institut Theologia, 1983, 2. 27 F.W. Dillistone, Daya Kekuatan Simbol, Yogyakarta: Kanisius, 2002, 112 . 21 Pada tahap liminal itu, seorang individu yang tengah menjalani ritual inisiasi sedang melakukan refleksi diri. Mereka telah. atau sedang meninggalkan masa tertentu tetapi juga sedang masuk masa tertentu. Upacara pemakaman masuk sebagai bagian dari ritual inisiasi yang mengakibatkan terjadinya perubahan tahap hidup. Penerimaan kenyataan bahwa kematian telah memisahkan orang yang hidup dengan yang sudah meninggal.

2.3 Dimensi Sakral dalam Ritual

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kontrak Bisnis dengan Orang Asing T2 322011012 BAB II

0 3 56

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlakuan terhadap Orang Meninggal dalam Tradisi Penguburan Masyarakat Desa Trunyan Bali

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlakuan terhadap Orang Meninggal dalam Tradisi Penguburan Masyarakat Desa Trunyan Bali T2 752012015 BAB I

0 3 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlakuan terhadap Orang Meninggal dalam Tradisi Penguburan Masyarakat Desa Trunyan Bali T2 752012015 BAB IV

0 2 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlakuan terhadap Orang Meninggal dalam Tradisi Penguburan Masyarakat Desa Trunyan Bali T2 752012015 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlakuan terhadap Orang Meninggal dalam Tradisi Penguburan Masyarakat Desa Trunyan Bali

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Migran dalam Bingkai Orang Papua T2 092011007 BAB II

0 0 21

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Christian Entrepreneurship T2 912010027 BAB II

0 1 59

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tato sebagai Representasi Spiritual Orang-Orang Bertato T2 752014027 BAB II

0 1 45

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evidence dalam Membuktikan Adanya Kartel di Indonesia T2 BAB II

0 1 35