T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evidence dalam Membuktikan Adanya Kartel di Indonesia T2 BAB II

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab tinjauan pustaka ini penulis akan menguraikan teori – teori hukum.
Menurut Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, teori hukum adalah disiplin mandiri
yang perkembangannya dipengaruhi dan sangat terkait erat dengan ajaran hukum
umum.19 Kemudian menurut J.J.H Bruggink, teori hukum merupakan seluruh
pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan –
aturan hukum dan putusan – putusan dan sistem tersebut untuk sebagian penting
dipositifkan. Kemudian Bruggink menjelaskan teori hukum dalam arti luas berarti
merujuk kepada pemahaman sebagai bagian (cabang sub disiplin) teori hukum,
yaitu sosiologi hukum yang berbicara keberlakuan faktual atau keberlakuan empirik
dari hukum dan teori hukum dalam arti sempit berbicara tentang keberlakuan
formal atau keberlakuan normatif hukum.20
Oleh karena itu pada Bab ini tulisan akan diarahkan untuk mengurai serta
menjelaskan, pertama mengenai Konsep Hukum Persaingan Usaha, kedua
dilanjutkan dengan menjelaskan Teori tentang kartel, ketiga akan menjelaskan teori
kesepakatan kehendak, keempat akan membahas mengenai terori arti pembuktikan
dalam hukum (ilmiah, konvensionil dan yuridis) dan diakhiri dengan teori tentang
pembuktian tidak langsung atau circumstantial evidence yang berlaku secara
khusus dalam persaingan usaha.


19
Otje Salman S., SH dan A.F. Susanto S.H. M.Hum, Teori Hukum, cetakan ke-8, Refika
Aditama, Bandung: 2015, h. 54
20
Ibid h. 60

12

A. Hukum Persaingan Usaha
Pada sub judul bagian pertama ini penulisan akan menjelaskan mengenai
awal pengaturan hukum persaingan usaha di Indonesia, kemudian akan dilanjutkan
dengan membahas karakteristik hukum persaingan usaha. Sub judul ini mempunyai
maksud dan tujuan untuk memberikan pemahaman bahwa hukum persaingan usaha
merupakan sub bidang hukum yang mempunyai ciri khusus yaitu tidak adanya batas
yang tegas apakah hukum persaingan usaha merupakan sub bidang hukum privat
atau hukum publik. Berikut penjelasan mengenai hal tersebut.

1. Pengaturan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia
Pengaturan mengenai hukum persaingan usaha di Indonesia sekarang ini

mengacu pada Undang – undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut UU
Antimonopoli) yang disahkan oleh Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie pada
tanggal 5 Maret 1999.
Sejak dimulainya proses globalisasi ekonomi di beberapa negara di
sepanjang dekade 1980an –an dan 1990-an, telah banyak negara – negara yang
mengadopsi kebijakan deregulasi, privatisasi serta perdagangan bebas. 21 Proses
globalisasi ekonomi yang terjadi tersebut juga bersamaan waktunya dengan
kehadiran World Trade Organization (selanjutnya disebut WTO). Di dalam WTO,
terdapat seperangkat perjanjian – perjanjian tentang barang dan jasa dengan
beraneka ragam pengaturan – pengaturan tentang bagaimana negara – negara

21

Rhido Jusmadi, Kosep Hukum Persaingan Usaha : Sejarah, Perdangan Bebas, dan
Pengaturan Merger – Akuisis, Setara Pres, Malang : 2014, h. 6

13

anggota berproduksi dan berdagang, serta memastikan bahwa di dalam pasar global

terjadi persaingan yang sehat.22 Oleh karena itu setiap negara yang menjadi anggota
WTO berupaya untuk membuat suatu regulasi tentang bagaimana para pelaku usaha
ekonomi untuk melakukan kegiatan usahanya secara sehat, sehingga tidak memicu
adanya konflik yang menyebabkan hilangnya kepercayaan pelaku usaha (pemodal
lokal ataupun investor ) terhadap suatu negara. Untuk mewujudkan hal tersebut
maka salah satu upaya negara – negara tersebut adalah dengan membuat suatu
undang – undang atau kebijakan yang mengatur tentang tindakan unfair
competition atau persaingan usaha yang sehat.

Penerbitan UU Antimonopoli sendiri di Indonesia merupakan upaya
Indonesia untuk mereformasi hukum di bidang ekonomi yang berasaskan pada
demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan
pelaku usaha dengan kepentingan umum dengan tujuan untuk menjaga kepentingan
umum dan melindungi konsumen, menumbuhkan iklim usaha yang kondusif
melalui terciptanya persaingan usaha yang sehat dan menjamin kepastian
kesempatan berusaha yang sama bagi setiap orang, mencegah praktek-praktek
monopoli serta menciptakan efektifitas dan efisiensi dalam rangka meningkatkan
ekonomi nasional.23
Fenomena yang terjadi pada awal 1990-an telah berkembang dan didukung
oleh adanya hubungan yang terkait antara pengambil keputusan dengan para pelaku

usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga lebih memperburuk
keadaan.24 Para pengusaha yang dekat dengan elit kekuasaan mendapatkan

22

Rhido Jusmadi, Ibid.
Devi meyliana,Hukum Persaingan Usaha, Setara Pres, Malang : 2013, h. 1
24
Baca bagian umum penjelasan Undang – undang nomor 5 tahun 1999 tentang larang
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
23

14

kemudahan yang berlebihan sehingga berdampak kepada kesenjangan sosial.
Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak
didukung oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor yang
mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak mampu
bersaing.25 Oleh karena itu dengan hadirnya UU Antimonopoli juga merupakan
upaya negara dalam memperbaiki kegiatan usaha ekonomi di Indonesia agar

masyarakat mendapat kesempatan yang lebih luas untuk berpartisipasi dalam
kelangsungan pembangunan ekonomi negara di berbagai sektor usaha sehingga
dapat mencerminkan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan amanat Pasal 33
Undang – undang Dasar Republik Indonesia.

2. Karakteristik Hukum Persaingan Usaha
Dalam perkembangan sistem hukum di Indonesia, hukum persaingan usaha
(competition law) merupakan pengembangan dari hukum ekonomi (economic law)
yang memiliki karakteristik tersendiri yang salah satunya adalah sifat fungsional
dengan meniadakan perbedaan antara hukum publik dan hukum privat yang selama
ini dikenal.26 Sunaryati Hartono berpendapat bahwa hukum dagang dalam
penelitiannya dan penyajian mata kuliah hukum dagang (lama) bersifat perdata
murni, sedangkan hukum ekonomi di Indonesia tidak hanya bersifat perdata tetapi
memerlukan metode penelitian dan penyajian interdisipliner, dimana hukum
ekonomi tidak hanya bersifat perdata melainkan juga mempunyai kaitan erat
dengan hukum administrasi negara, hukum pidana dan bahkan tidak mengabaikan

25

Ibid

, Rachmadi Usman Hukum Acara Persaingan usaha di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta : 2013, h. 1
26

15

hukum publik internasional dan hukum perdata internasional.27 Sunaryati Hartono
juga menambahkan hukum ekonomi di Indonesia juga membutuhkan landasan
pemikiran dari bidang ilmu lain yang diantaranya filsafat, bidang ekonomi,
sosiologi, bidang administrasi pembangunan, ilmu wilayah, ilmu lingkungan dan
bahkan futurology.28
Oleh karena itu, hukum persaingan usaha yang merupakan lex specialis dari
hukum ekonomi tentunya juga mempunyai karakter yang khas dalam substansinya,
sehingga para penegak hukum yang berwenang untuk meyelesaikan perkara
persaingan usaha diharapkan tidak saja memiliki kemampuan hukum, melainkan
juga perlu pengetahuan yang baik di bidang – bidang ilmu lainnya yang mempunyai
kaitan dengan hukum persaingan usaha itu sendiri.
Skema lingkaran hukum persaingan usaha dari Agus Brotosusilo
sebagaimana yang diadopsi dan disempurnakan oleh HMBC Rikrik Rizkiyana
dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini 29


27

Rachmadi Usman Ibid, h. 3

28

Rachmadi Usman Ibid.
Ibid. h. 5

29

16

Gambar 1. The circling scheme of position of the competition Law

B. Kartel
Pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya dibatasi oleh UU
Antimonopoli. Yang dimaksud dengan dibatasi adalah ada beberapa hal yang tidak
boleh dilakukan oleh para pelaku usaha dalam menjalankan usahanya yang termuat

dalam UU Antimonopoli tersebut. Ada tiga hal pokok yang dilarang dalam UU
Antimonopoli yaitu: tentang perjanjian yang dilarang yang diatur didalam Bab III,
selanjutnya tentang kegiatan yang dilarang yang diatur dalam Bab IV dan tentang
larangan posisi dominan yang diatur dalam Bab V.

17

Pada Pasal 11 UU Antimonopoli mengatur agar para pelaku usaha untuk
tidak melakukan kartel dengan pesaingnya. Hal ini mengartikan bahwa kartel
merupakan salah satu perbuatan yang mempunyai dampak buruk bagi dunia usaha.
Berikut ini adalah ulasan mengenai kartel itu sendiri yang dimulai dari pengertian
serta jenisnya, kemudian dilanjutkan dengan pengaturan kartel dalam UU
Antimonopoli beserta aspek – aspeknya.

1. Pengertian dan Jenis – jenis Kartel
Kartel adalah persekongkolan atau persekutuan diantara beberapa produsen
produk sejenis dengan maksud untuk mengontrol produksi, harga dan penjualannya
serta untuk mendapatkan posisi monopoli.30 Dalam Black law’s Dictionary
menyatakan bahwa kartel sebagai berikut :
“A combination of producers of any product joined together to

control its production, sale, and price, so as to obtain a monopoly
and restrict competition in any particular industry or commodity.
Such exist primarily in Europe, being restricted in Unit-ed States
by antitrust laws. Also, an association by agreement of companies
or sections of companies having common interests, designed to
prevent extreme or unfair competition and allocate markets, and to
promote the interchange of knowledge resulting from scientific and
technical research, exchange of patent rights, and stand-ardization
of products.”31
Richard A. Posner mengartikan kartel sebagai :32
A contract among competing seller to fix the price of product they
sell (or, what is the small thing, to limit their ouput) is likely any
other contract in the sense that the parties would not sign unless
they expected it to make them all better off.

30

Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha Indonesia, Kencana, Jakarta : 2012, h.

176


Henry Cambell Black, Black’s Law Dictionary 6th edition, St. Paul Minn West
Publishing Co. :1990, h. 215
32
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha Indonesia : teori dan Prakteknya di
Indonesia, Raja Grafindo Persada : 2010, h. 117
31

18

Jadi pada pokoknya kartel merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh
para produsen untuk mengontrol produksi, harga serta cara penjualan dengan
maksud untuk menghindari adanya persaingan diantara mereka agar para produsen
tersebut memperoleh keuntungan lebih besar ataupun untuk memonopoli pasar.
Kartel merupakan salah satu jenis perjanjian yang dilarang oleh UU Antimonopoli
di Indonesia. Hal ini disebabkan kartel dapat saja membuat konsumen untuk
membeli suatu barang diatas kewajaran atau membeli lebih mahal dari pada
biasanya sehingga dalam hal ini konsumen dirugikan dan dalam hal lain juga kartel
yang dilakukan oleh produsen dapat menghambat pesaing baru untuk masuk ke
dalam pasar. Kerugian – kerugian yang dialami konsumen yang disebutkan di atas

dapat juga terjadi karena produsen bersepakat untuk mengatur jumlah penawaran
yang tujuannya untuk menghasilkan suatu kelangkaan, dengan adanya kelangkaan
tersebut maka permintaan akan naik dan apabila permintaan lebih tinggi dari
penawaran maka harga produk tersebut akan melonjak naik dan tentu saja hal ini
merugikan konsumen. Selain itu apabila produsen produk sejenis bersepakat untuk
mengatur jumlah produksi barang banyak otomatis harga akan turun karena jumlah
penawaran lebih banyak dari permintaan, hal ini dapat menghambat pesaing baru
untuk masuk dalam pasar yang bersangkutan. Sehingga dengan demikian sudah
sepantasnya perilaku kartel tidak diperbolehkan dalam kegiatan usaha.

19

Beberapa jenis kartel yang dikenal dalam persaingan usaha adalah sebagai
berikut :33

a. Kartel harga pokok (prijskartel)
Di dalam kartel harga pokok anggota – anggota menciptakan peraturan
diantara mereka untuk perhitungan kalkulasi harga pokok dan besarnya laba. Pada
kartel ini ditetapkan harga – harga penjualan bagi para anggota kartel. Benih dari
persaingan kerap kali juga datang dari perhitungan laba yang akan diperoleh suatu
badan usaha. Dengan menyeragamkan laba, maka persaingan diantara mereka dapat
dihindarkan.

b. Kartel harga
Dalam kartel ini ditetapkan harga minimum untuk penjualan barang –
barang yang mereka produksi atau perdagangkan. Setiap anggota tidak
diperkenankan untuk menjual barang – barangnya dengan harga yang lebih rendah
dari pada harga yang telah ditetapkan itu. Pada dasarnya anggota – anggota itu
dibolehkan untuk menjual diatas harga yang akan di tetapkan, akan tetapi tanggung
jawab sendiri.
Kartel harga pokok (prijskartel) dengan kartel harga mempunyai kesamaan
yaitu merupakan suatu perencanaan tentang pengaturan harga suatu barang. Namun
antara keduanya sebenarnya juga memiliki perbedaan. Dalam kartel harga pokok
(prijskartel) yang diatur atau yang direncanakan oleh para pelaku kartel itu sendiri
adalah harga pokok dengan tujuan adanya keseragaman laba atau keuntungan

33

Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., h. 180-182

20

diantara mereka. Contoh para produsen sepatu olahraga PT. Adindas dengan PT.
Nikeardi melakukan pengaturan harga jual sepatu tipe running untuk orang dewasa
dengan harga tujuh ratus ribu rupiah. Dengan demikian apabila dalam setahun
mereka membuat sepatu tipe running dengan jumlah yang sama maka
keuntungannya pun akan sama.
Berbeda ceritanya dengan kartel harga. Dalam kartel harga yang diatur oleh
para pelaku usaha adalah harga terendah suatu barang, sehingga keuntungan atau
laba dari para anggota kartel tersebut dapat bervariasi tergantung dari berapa harga
yang ditetapkan. Contoh para produsen sepatu olahraga PT. Adindas dengan PT.
Nikeniki melakukan pengaturan harga jual sepatu futsal dengan harga terendah
empat ratus ribu rupiah, kemudian PT. Adindas menjual sepatu futsal dengan harga
empat ratus lima puluh ribu rupian dan PT. Nikeniki menjual dengan harga empat
ratus ribu rupiah. Dengan demikian walaupun keduanya memproduksi sepatu
dalam jumlah yang sama dalam setahun, keuntungan atau laba yang didapat akan
berbeda.

c. Kartel kondisi atau syarat
Di dalam kartel ini terdapat penetapan di dalam syarat penjualan, misalnya
kartel juga menetapkan standar kualitas barang yang dihasilkan atau dijual,
menetapkan syarat – syarat pengiriman apakah ditetapkan loco gudang, FOB, C&F,
CIF, pembungkusnya dan syarat – syarat pengiriman lainnya. Apa yang
dikehendaki adalah keseragaman diantara para anggota yang tergabung dalam
kartel tersebut. keseragaman tersebut perlu di dalam kebijaksanaan harga, sehingga
tidak akan terjadi persaingan diantara mereka.

21

Perbedaan kartel kondisi atau syarat ini dengan kedua jenis kartel yang
sudah disebutkan sebelumnya adalah pada materi yang diatur. Dalam kartel harga
pokok (prijskartel) dan kartel harga yang diatur adalah spesifik atau langsung
mengatur mengenai harga, sedangkan dalam kartel kondisi atau syarat hal yang
diatur adalah syarat – syarat penjualan yang nantinya akan berdampak pada harga
penjualan. Contoh produsen gitar PT. Nadaku dan PT. Sumbangmu mengatur bahan
produksi gitar jenis ukulele berbahan dasar kayu mahoni. Otomatis kualitas gitar
ukulele dari kedua produsen tersebut akan sama dan pastinya juga pengeluaran
biaya faktor produksi bahan dasar gitar juga akan sama. Sehingga dengan demikian
harga gitar ukulele kedua produsen tadi yang akan dilemparkan ke pasar pun tidak
akan jauh berbeda.

d. Kartel rayon
Kartel rayon atau kadang – kadang disebut juga kartel wilayah/daerah
pemasaran berkaitan dengan perjanjian diantara para anggotanya untuk membagi
daerah pemasaran, misalnya atas dasar wilayah tertentu atau dasar jenis barang.
Penetapan wilayah ini kemudian diikuti oleh penetapan harga untuk masing –
masing daerah. Dalam hal itu kartel rayon pun menentukan pula suatu aturan bahwa
setiap anggota tidak diperkenankan menjual barang – barangnya di daerah lain.
Dengan demikian dapat dicegah persaingan diantara para anggota, yang mungkin
harga barang – barangnya berlainan.

22

e. Kartel kontigentering
Kartel jenis ini juga disebut sebagai kartel jenis produksi. Perjanjian pada
kartel jenis ini menekankan pada pembatasan produksi masing – masing
anggotanya biasanya didasarkan atas jumlah atau persentase tertentu dari total
produksi. Tujuannya untuk mengatur jumlah produksi yang beredar, sehingga harga
bisa dipertahankan pada tingkat tertentu. Biasanya perusahaan yang memproduksi
lebih sedikit dari pada jatah yang sisanya menurut ketentuan, akan diberi premi
hadiah. Akan tetapi, bila melakukan hal yang sebaliknya maka akan didenda.
Maksud dari peraturan ini untuk mengadakan restriksi yang kental pada banyak
persediaan, sehingga harga jual barang – barang yang mereka jual dapat dinaikkan.
Ambisi kartel kontigentering biasanya untuk mempermainkan jumlah persediaan
barang dan dengan cara itu harus berada dalam kekuasaannya.

f. Sindikat penjualan atau kantor penjualan
Di dalam kartel penjualan ditentukan bahwa penjualan hasil produksi dari
anggota harus melewati sebuah badan tunggal, yaitu kantor penjualan pusat.
Persaingan diantara mereka akan dapat dihindarkan karenanya.

g. Kartel laba atau pool laba
Di dalam kartel laba, anggota kartel menentukan peraturan yang
berhubungan dengan laba yang mereka peroleh. Laba yang diperoleh anggota kartel
terlebih dahulu disetorkan ke kas pusat (sistem pool) baru kemudian dibagikan
kepada anggotanya berdasarkan formula yang ditetapkan bersama. Misalnya bahwa
laba kotor harus disentralisasikan pada suatu kas umum kartel, kemudian laba

23

bersih kartel dibagi – bagikan dengan anggota kartel dengan perbandingan yang
tertentu pula.

2. Kartel dalam Undang – undang Nomor 5 Tahun 1999
Dalam hukum positif di Indonesia, kartel diatur dalam Pasal 11 UU
Antimonopoli yang berbunyi sebagai berikut :
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha
pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan
mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa,
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.

Dari rumusan Pasal 11 UU Antimonopoli di atas sekurang kurangnya terdiri
dari 3 (tiga) aspek penting yang saling berkaitan sehingga terjadinya kartel tersebut.
Tiga aspek tersebut diantaranya adalah aspek subyektif (pelaku), aspek perjanjian
(bentuk dan isi) dan aspek akibat dari perjanjian tersebut. Oleh karena itu untuk
membuktikan adanya perilaku kartel maka pihak yang mempunyai otoritas untuk
memutus perkara kartel haruslah menilai dari ketiga aspek tersebut.

Berikut

penjelasan mengenai ketiga aspek tersebut.

a. Aspek pelaku
Yang dimaksud dengan aspek pelaku disini adalah subyek hukum yang
dapat dimintai pertanggungjawaban atas pelanggaran kartel yang dilakukan. Tidak
semua subyek hukum dapat dikenakan pasal ini, sebab pada Pasal 11 ini merujuk
pada subyek hukum pelaku usaha baik itu orang atau badan usaha yang melakukan
kegiatan ekonomi. Menurut Pasal 1 angka 5 UU Antimonopoli menyebutkan
bahwa, pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang

24

berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik
sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai
kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Untuk membuat suatu perjanjian tentunya minimal harus terdiri dari dua
pihak dan tentunya hal tersebut berlaku juga pada kartel. Pada ulasan diatas sudah
disebutkan bahwa perjanjian tersebut dilakukan oleh pelaku usaha. Namun selain
pelaku usaha, Pasal 11 UU Antimonopoli juga menyebutkan ”pelaku usaha
pesaingnya”. Yang dimaksud dengan pelaku usaha pesaingnya adalah pelaku usaha
lain yang berada dalam pasar yang bersangkutan.34 Kemudian tentang pasar
bersangkutan Pasal 1 angka 10 UU Antimonopoli memberikan pengertian bahwa
pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah
pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan jasa yang sama atau sejenis
atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut.
Sesuai pengertian yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 10 pasar
bersangkutan dibagi menjadi dua aspek utama yakni produk dan geografis (lokasi).
Pasar produk didefinisikan sebagai produk-produk pesaing dari produk tertentu
ditambah dengan produk lain yang bisa menjadi substitusi dari produk tersebut dan
pasar geografis adalah wilayah dimana suatu pelaku usaha dapat meningkatkan
harganya tanpa menarik masuknya pelaku usaha baru atau tanpa kehilangan
konsumen yang signifikan, yang berpindah ke pelaku usaha lain di luar wilayah
tersebut.35

34
35

KPPU, Pedoman Pasal 11 tentang kartel, h. 16
Peraturan komisi Pasal 1 angka 10

25

Jadi, untuk memenuhi aspek subyektif dari Pasal 11 UU Antimonopoli
maka para pembuat perjanjian tersebut minimal terdiri dari dua pelaku usaha
kegiatan ekonomi yang menjual produk yang sejenis atau substitutif yang memiliki
jangkauan pemasaran yang sama.

b. Aspek perjanjian
Yang dimaksud dengan aspek perjanjian yang akan dibahas di sini adalah
terkait dengan bentuk atau cara dari perjanjian tersebut dibuat dan substansi dari
perjanjian tersebut. Menurut Pasal 1 angka 7 UU Antimonopoli, perjanjian adalah
suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu
atau lebih usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Hal
ini tentu sejalan dengan pengertian mengenai bentuk dari suatu perjanjian yang
diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata.
Untuk membuktikan adanya suatu perjanjian tertulis dimuka pengadilan
tentu saja sangat mudah yaitu dengan cara menunjukkan akta perjanjian yang dibuat
dan disepakati oleh para pihak pada majelis hakim, baik itu akta otentik ataupun
akta di bawah tangan. Namun berbeda ceritanya apabila ingin membuktikan suatu
perjanjian tidak tertulis dimuka persidangan. Perjanjian tidak tertulis tentu tidak
meninggalkan dokumen sebagai pertanda bahwa terjadi kesepakatan namun hal ini
dapat dibuktikan dengan adanya keterangan dari saksi. Kesaksian atau keterangan
saksi dimuka pengadilan baik itu dalam ranah acara perdata maupun pidana sama –
sama mengenal asas unus testis nullum testis, yang artinya bahwa satu saksi
bukanlah saksi. Sehingga dalam menghadirkan saksi untuk membuktikan suatu
perjanjian maka diperlukan lebih dari satu saksi.

26

Berkaitan dengan substansi atau isi dari kartel adalah suatu kesepakatan
yang dimaksudkan untuk mempengaruhi harga dengan cara mengatur produksi dan
atau pemasaran barang dan atau jasa. Mengatur produksi yang dimaksud adalah
menentukan jumlah produksi barang dan atau jasa yang akan diproduksi oleh para
pelaku usaha sejenis tersebut, sedangkan mengatur pemasaran adalah mengatur
jumlah produk yang akan dijual di pasar.36

c. Aspek monopoli dan persaingan yang tidak sehat
Yang dimaksud dengan monopoli adalah pemusatan kekuatan oleh satu atau
lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran
atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak
sehat. Untuk mengetahui bahwa sekelompok pelaku usaha telah menguasai pasar
maka diperlukan analisa ekonomi yang menggunakan metode ekonomi tertentu
untuk melihat pangsa pasar yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan persaingan
usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan
produksi dan pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak
jujur.

36

Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Pedoman Pasal 11 Tentang Kartel, h. 16

27

C. Arti Pembuktian dalam Hukum
Dalam kamus bahasa Indonesia pembuktian berarti berbagai macam bahan
yang dibutuhkan oleh hakim, baik yang diketahui sendiri oleh hakim maupun yang
diajukan oleh saksi untuk membenarkan atau menggagalkan dakwaan atau
gugatan.37 Kemudian R. Supomo berpendapat bahwa pembuktian mempunyai dua
arti :38
a. Dalam arti luas ialah pembuktian membenarkan hubungan hukum.
b. Dalam arti terbatas ialah pembuktian hanya diperlukan apabila hal yang
dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat dan hal yang
tidak dibantah tidak perlu dibuktikan.
Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa “membuktikan” mengandung
beberapa pengertian:
1. Pembuktian dalam arti logis dan atau ilmiah 39
Pembuktian dalam arti logis dan atau ilmiah artinya memberi kepastian
yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak
mungkin adanya bukti lawan. Berdasarkan axioma, yaitu asas-asas
umum yang dikenal dalam ilmu pengetahuan, dimungkinkan adanya
pembuktian yang bersifat mutlak dan tidak dimungkinkan adanya bukti
lawan. Berdasarkan suatu axioma bahwa dua garis yang sejajar tidak
mungkin bersilang tidak dapat dibuktikan bahwa dua kaki dari suatu
segitiga tidak mungkin sejajar. Terhadap pembuktian ini tidak

37

Diunduh dari https://kbbi.web.id/alat, tanggal 20 agustus 2017 pukul 6.43.
Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta, 2012, h. 6
39
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia , edisi ke -8, Liberty,
Yogyakarta:2009, h. 136
38

28

dimungkinkan adanya pembuktian lawan. Disini axioma dihubungkan
menurut ketentuan-ketentuan logika dengan pengamatan-pengamatan
yang diperoleh dari pengamalan, sehingga diperoleh kesimpulankesimpulan yang memberi kepastian yang bersifat mutlak.

2. Membuktikan dalam arti konvensionil40
Membuktikan berarti memberi kepastian, hanya saja bukan kepastian
mutlak melainkan kepastian yang nibsi atau relative sifatnya yang
mempunyai tingkatan-tingkatan antara lain :
a. Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka. Karena didasarkan
pada atas perasaan maka kepastian ini bersifat intuitif (Conviction in
time).

b. Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka oleh
karena itu disebut Conviction raisonnee.

3. Membuktikan dalam arti yuridis41
Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis. Dalam ilmu
hukum hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan
mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala
kemungkinan akan bukti lawan, akan tetapi merupakan pembuktian
yang konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis
ini hanya berlaku bagi pihak – pihak yang berperkara atau yang
memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian yuridis
40
41

Ibid. h 136-137
Ibid. h.137

29

dalam tidak menuju kepada kebenaran mutlak. Ada kemungkinan
bahwa pengakuan, kesaksian atau surat – surat itu benar atau dipalsukan.
Maka dalam hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan pembuktian
secara yuridis tidak lain merupakan pembuktian “historis”. Pembuktian
yang bersifat historis ini mencoba menetapkan apa saja yang telah
terjadi secara konkret.
Baik dalam pembuktian yuridis maupun pembuktian ilmiah, maka
membuktikan hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa
peristiwa – peristiwa tertentu dianggap benar.
Kesamaan dari tiga jenis pembuktian ini adalah bahwa membuktikan berarti
memberi motivasi mengapa sesuatu itu dianggap benar didasarkan pada
pengalaman dan pengamatan.42 Tujuan dari membuktikan secara yuridis berbeda
dengan tujuan pembuktian ilmiah. Tujuan dari pembuktian yuridis adalah
mengambil putusan yang bersifat definitif, pasti dan tidak meragukan akan adanya
akibat hukum, sedangkan pembuktian ilmiah adalah suatu konstatasi peristiwa dan
bukan semata – mata untuk mengambil kesimpulan atau keputusan.43
Jadi dari definisi dan penjelasannya yang sudah dipaparkan mengenai
pembuktian maka dapat disimpulkan bahwa pembuktian hukum adalah berbagai
macam cara yang dilakukan oleh hakim untuk menilai kebenaran suatu peristiwa
hukum dengan tujuan untuk mengambil putusan yang bersifat definitif, pasti dan
tidak meragukan akan adanya akibat hukum. Hakim dalam persidangan haruslah
memiliki pengalaman baik dalam bidang hukum dan non-hukum serta mempunyai

42
43

Ibid. h.138
Ibid.

30

pengamatan atas suatu pembuktian yang baik dengan harapan putusan yang
mempunyai akibat hukum tersebut mencerminkan nilai – nilai dari keadilan.

D. Kesepakatan Kehendak
Telah dibahas sebelumnya tentang kartel yang merupakan upaya – upaya
dari pelaku usaha untuk memonopoli pasar dengan cara membuat suatu
kesepakatan diantara mereka. Kesepakatan yang dilakukan oleh para pelaku usaha
tersebut mempunyai tujuan yang sama yaitu mendapatkan keuntungan lebih dengan
cara meniadakan persaingan diantara mereka. Kesepahaman kehendak untuk tidak
saling bersaing diantara anggota kartel tersebut merupakan syarat mutlak untuk
menciptakan kesepakatan kartel. Oleh karena itu perlulah untuk dicermati dan
diteliti mengenai apa itu kesepakatan kehendak untuk tidak saling bersaing.
Pada sub bab ini juga akan dijelaskan mengenai makna dari perjanjian yang
terumus dalam Pasal 1 huruf g UU Antimonopoli. Cara untuk memahami makna
perjanjian tersebut dilakukan dengan cara membandingkannya dengan Pasal 1313
Kitab Undang – undang Hukum Perdata (selanjutnya sisingkat KUHPerdata) serta
membandingkannya dengan ketentuan mengenai “agreement” dalam hukum
persaingan usaha di Amerika.

31

1. Teori Kehendak dan Pernyataan
Ada dua jenis teori yang menjelaskan mengenai kesepakatan suatu
kehendak yang menimbulkan suatu perjanjian antar subyek hukum yang umum
berlaku pada Hukum Perdata. Teori tersebut adalah teori kesepakatan berdasarkan
kehendak dan teori kesepakatan berdasarkan pernyataan. Berikut adalah ulasan
mengenai kedua teori tersebut.

a. Teori kehendak (willstheorie)
Kehendak (will) adalah dasar dari keseluruhan hukum keperdataan,
kehendak sebagai batu penjuru dari seluruh hukum keperdataan masih diakui
sebagai ajaran yang berlaku di dunia barat.44 Menurut teori ini faktor yang
menentukan adanya perjanjian adalah kehendak, akan tetapi suatu kehendak harus
dinyatakan dengan demikian hubungan alamiah antara kehendak dengan
pernyataan terwujud. 45 Konsekuensi dari ajaran ini adalah bahwa jika pernyataan
dari seseorang tidak sesuai dengan keinginannya maka tidak akan terbentuk
perjanjian.46 Untuk membentuk suatu perjanjian maka perlu dinyatakan kehendak
tersebut dan sebaliknya tidak mungkin ada suatu perjanjian tanpa didahului suatu
kehendak.47

44
Herlin Budiyono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, citra Aditia Bakti, Jakarata 2014, h . 76
45
Ibid
46
Ibid. h. 77
47
Ibid. h. 77

32

b. Teori pernyataan48
Teori ini berpendapat bahwa pembentukan kehendak adalah proses yang
terjadi dalam ranah kejiwaan seseorang (innerlijk process). Karenanya, pihak lawan
tidak mungkin mengetahui apa yang berlangsung di benak seseorang. Konsekuensi
logisnya adalah bahwa suatu kehendak yang tidak dapat dikenali oleh pihak luar
tidak mungkin menjadi dasar terbentuknya perjanjian. Kekuatan mengikat
perjanjian dikaitkan pada fakta bahwa pihak yang bersangkutan telah memilih
melakukan tindakan tertentu dan tindakan tersebut mengarah atau memunculkan
keterikatan. Tindakan menjadi dasar bagi keterikatan karena “kehendak yang
tertuju pada suatu akibat hukum tertentu sebagaimana yang terejawantahkan dalam
pernyataan”. Terikatnya individu dilandaskan pada pernyataan individu tersebut,
tanpa perlu memperhatikan bahwa dalam perjanjian selalu ada dua atau lebih orang
yang masing – masing membuat suatu pernyataan.
Umumnya, suatu pernyataan muncul atau terwujud dalam rangkaian kata –
kata lisan maupun tulisan, bahkan sikap berdiam diri atau tidak berbuat dalam
keadaan tertentu dapat dimaksudkan sebagai suatu pernyataan.49 Gambar 2 dapat
digambarkan tentang bagaimana cara menyampaikan suatu kehendak. 50

48

Ibid. h. 77
Ibid. h. 94
50
Ibid.

49

33

Akta Otentik
Secara
tertulis

Pernyataan
Kehendak

Secara tegas

Secara lisan

Secara diam
diam

Dengan tanda

Akta dibawah
tangan

Gambar 2. Cara Menyatakan Kehendak

2. Perjanjian Menurut Hukum Persaingan Usaha
Tujuan dari sub bab ini adalah untuk membandingkan konsep perjanjian
umum yang diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata dengan perjanjian yang ada
didalam hukum persaingan usaha yang diatur dalam Pasal 1 huruf g UU
Antimonopoli. Oleh karena itu untuk melihat perbedaan diantara keduanya maka
pertama perlu diurai kedua isi pasal tersebut.

Pasal 1 huruf g UU antimonopoli yang berbunyi :
“Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha
untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha untuk
mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan
nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis”
Pasal 1313 KUHPerdata berbunyi :
”Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”
Tentang syarat sahnya suatu perjanjian tercantum dalam Pasal 1320
KUHPerdata yang terdiri dari : Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,

34

Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, Suatu hal tertentu dan Suatu sebab
yang tidak terlarang.

Apabila dilihat secara sekilas maka perbedaan yang nampak pada kedua
definisi perjanjian tersebut terletak pada subyek yang ditujukan. Dalam UU
Antimonopoli subyeknya ditujukan khusus pada pelaku usaha, sedangkan pada
KUHPerdata ditujukan pada setiap orang. Secara otomatis kedudukan UU
Antimonopoli merupakan lex specialis untuk perjanjian yang dilakukan oleh pelaku
usaha. Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah perjanjian seperti apa
yang dimaksud dalam UU Antimonopoli?
Untuk mengetahui perjanjian seperti apa yang dimaksud dalam UU
Antimonopoli maka perlu ditinjau dari tujuan dibuatnya perjanjian yang diatur
dalam Pasal 1 huruf g UU Antimonopoli. Perjanjian yang diatur dalam UU
Antimonopoli mempunyai maksud untuk membatasi perilaku usaha yaitu berupa
larangan untuk membuat perjanjian yang bermaksud untuk menghilangkan
persaingan usaha yang sehat. Sedangkan dalam KUHPerdata bertujuan untuk
memberikan perlindungan hukum kepada para pihak untuk mendapatkan hak atau
melakukan suatu kewajiban. Sehingga secara otomatis perjanjian yang diatur dalam
UU Antimonopoli merupakan perjanjian yang tidak sah atau ilegal, sedangkan
dalam KUHPerdata ditujukan untuk mensahkan suatu perjanjian. Sehingga dengan
demikian secara otomatis perjanjian yang dimaksud oleh UU Antimonopoli tidak
termasuk dalam kualifikasi Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya suatu
perjanjian.

35

Sebagai perbandingan ada baiknya jika melihat dari konsep hukum
persaingan usaha Amerika mengenai kesepakatan “agreement” yang tertuang
dalam Code 1 Sherman Act. 51
“every contract, combination in the form of trust or otherwise, or
conspiracy, in restraint of trade or commerce among the several stalls,
or with foreign nations, is hereby declared to be ilegal.”
Bahwa berdasarkan ketentuan diatas “agreement” di Amerika Serikat yang
mencangkup “contract”, “combination”, atau “conspiracy” yang menurut section
I dari the Sherman act mengharuskan adanya tindakan bersama-sama dari dua orang
atau lebih untuk membentuknya, sedangkan tindakan bersama (concerted action52)
hanya bisa dibenarkan apabila mereka mempunyai unity of purpose, atau
understanding, atau telah terjadi meeting of minds diantara mereka.53
Concerted action adalah suatu tindakan yang direncanakan, diatur dan

disepakati oleh para pihak secara bersama-sama dengan tujuan yang sama, masingmasing yang melakukan perbuatan itu tidak mengikatkan diri baik tertulis maupun
lisan namun mereka memiliki tujuan yang sama.54 Pelaku concerted action akan
dipertanggungjawabkan atas tindakan bersama walau sekalipun dia tidak
mengikatkan diri, concerted action selalu diidentikkan dengan konspirasi.
Jadi dengan demikian konsep perjanjian dalam hukum persaingan usaha
dengan yang ada dalam buku III KUHPerdata terdapat perbedaan yang cukup

51
Diunduh dari https://www.law.cornell.edu/uscode/text/15/1 tanggal 19 agustus 2017
pukul 14.03
52
Brian A garner, 8th edition, St. Paul Minn West Publishing Co., 2004, h. 871 concerted
action. An action that has been planned, arranged, and agreed on by parties acting together to
further some scheme or cause, so that all involved are liable for the actions of one another. — Also
termed concert of action . Lihat dan bandingkan: Premeditated joint activity (in furtherance of a
mutual cause or purpose) in which each involved party is liable for the actions of the other(s) .
Diunduh dari http://www.businessdictionary.com/definition/concerted-action.html pada tanggal 8
agustus 2017 pukul 04:56. Lihat juga : concerted action. Activity performed by parties that have
agreed to jointly hold responsibility for any outcome, positive or negative for their benefit. Di
undunduh dari : http://thelawdictionary.org/concerted-action/, tanggal 16 agustus 2017, pukul 04:56.
53
Susanti Adi Nugroho, Op.Cit,. h. 112
54
Keteranga Nindyo Pramono saat menjadi ahli yang termuat dalam surat putusan
perkara penetapan harga motor matik dengan nomor perkara 04/KPPU-I/2016.

36

substansial. Dalam hukum persaingan perjanjian dikhususkan kesepakatan ilegal
yang dilakukan oleh pelaku usaha dan cakupan dari makna kesepakatan lebih luas
dibandingakan dengan KUHPerdata.

E. Circumstantial Evidence
Bukti tidak langsung atau circumstantial evidence merupakan suatu bukti
yang didasarkan pada proses inferensi dan bukan dalam pengetahuan atau observasi
pribadi dan Circumstantial evidence merupakan semua bukti yang tidak diberikan
oleh orang yang menjadi saksi mata dalam suatu peristiwa55 M. Burrill, dalam
bukunya yang berjudul A Treatise on the Nature, Principles and Rules of
Circumstantial Evidence menuliskan:

“Indirect evidence (called by the civilians, oblique, and more
commonly known as circumstantial evidence) is that which is applied
to the principal fact, indirectly, or through the medium of other facts,
by establishing certain circumstances or minor facts, already described
as evidentiary, from which the principal fact is extracted and gathered
by a process of special inference ....”56
Yang perlu diperhatikan dalam penggunaan pembuktian tidak langsung
atau circumstantial evidence dalam suatu perkara ialah relevansi antara fakta
kejadian pelanggaran yang akan hendak akan dibuktikan dengan fakta – fakta
pendukung yang digunakan untuk membuktikan fakta kejadian pelanggaran
tersebut.

55
Bryan A. Garner, Black's Law Dictionary 8th ed., West Group, Minnesota : 2004, h.1678.
(Circumstantial evidence. 1. Evidence based on inference and not on personal knowledge or
observation. 2. All evidence that is not given by eyewitness testimony.)
56
Alexander M. Burrill, A Treatise on the Nature, Principles and Rules of Circumstantial
Evidence, Baker Voorhis and co., law Publisher, New York : 1868, h. 4

37

Dalam hukum acara baik di ranah hukum perdata maupun hukum publik
mengenal jenis pembuktian tidak langsung atau circumstantial evidence. Menurut
Hendar Sutarna alat bukti petunjuk dalam KUHAP merupakan alat bukti “yang
tercipta”, berbeda dengan alat bukti yang lain (alat bukti saksi, alat bukti surat, alat
bukti petunjuk) yang bernilai dan berkekuatan pembuktian atas hakikatnya sendiri,
alat bukti petunjuk terwujud karena adanya persesuaian perbuatan, kejadian atau
keadaan satu sama lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri.57
Kemudian alat bukti tidak langsung dalam KUHAPer adalah persangkaan.
Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik suatu peristiwa yang telah dianggap
terbukti, lalu peristiwa yang dikenal kearah suatu peristiwa yang belum terbukti.58
Pada umumnya jika hanya ada satu persangkaan saja, maka persangkaan tersebut
tidaklah dianggap cukup untuk menganggap dalil yang bersangkutan itu terbukti,
dengan lain perkataan persangkaan hakim itu baru merupakan bukti lengkap,
apabila saling berhubungan dengan persangkaan-persangkaan hakim yang lain
yang terdapat dalam perkara itu.59 Pengertian persangkaan hakim sesungguhnya
amat luas, segala peristiwa, keadaan dalam sidang, bahan-bahan yang didapat dari
pemeriksaan perkata tersebut, kesemuanya itu dapat dijadikan bahan untuk
menyusun persangkaan hakim.

57

Hendar Soetarna, S.H., Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, alumni, Bandung :

2011, H.75
58
Ny. Retnowulan, S.H. dan Iskandar Oeripkartawinata, S.H., Hukum Acara Perdata:
dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung : 2009. H.77
59
Ibid H.78

38

F. Circumstantial Evidance dalam Membuktikan Kartel pada
Hukum Persaingan Usaha
Dalam perilaku kerja sama, bukti (evidence) dapat dibagi menjadi dua jenis,
yaitu: 1) Direct Evidence, yaitu bukti yang dapat diamati (observable elements) dan
menunjukkan adanya suatu kesepakatan beserta substansi dari kesepakatan di
antara perusahaan-perusahaan di pasar dan 2) Indirect Evidence (Circumstantial
Evidence): bukti yang tidak secara langsung menyatakan adanya kesepakatan

diantara perusahaan - perusahaan di pasar.60
Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa kartel merupakan suatu tindakan yang
dilakukan oleh sekelompok pelaku usaha untuk mengontrol produksi, harga serta
cara penjualan dengan maksud untuk menghindari adanya persaingan diantara
mereka agar memperoleh keuntungan lebih besar ataupun untuk memonopoli pasar
dengan cara membuat suatu kesepakatan diantara mereka. Sudah tentu untuk
membuktikan kartel adalah dengan cara membuktikan adanya kesepakatan tersebut.
Namun permasalahannya disini adalah para pelaku usaha yang melakukan kegiatan
kartel tidak mungkin membuat suatu perjanjian tertulis yang dapat diketahui secara
bahwa mereka sedang bersepakat untuk melakukan kegiatan kartel.
Dengan ketidak mungkinan untuk menemukan bukti tertulis mengenai
adanya kesepakatan diantara para pelaku kartel maka munculah cara pembuktian
tidak langsung (indirec evidence) atau circumstantial evidence sebagai solusinya.
Sudah dijelaskan sebelumnya pada Bab II bahwa pembuktian tidak langsung
(indirec evidence) atau circumstantial evidence merupakan suatu bukti yang

60

Andi Fahmi Lubbis, Analisis Ekonomi Dalam Pembuktian Kartel, Jurnal Hukum Bisnis
volume 32 nomor 5, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 2013, h. 390

39

didasarkan pada proses inferensi dan bukan dalam pengetahuan atau observasi
pribadi dan merupakan semua bukti yang tidak diberikan oleh orang yang menjadi
saksi mata dalam suatu peristiwa.Khusus pada hukum persaingan usaha,
circumstantial evidence terdiri dari bukti komunikasi dan bukti ekonomi, berikut

ulasan mengeneai bukti komunikasi dan bukti ekonomi :61
Bukti komunikasi merupakan fakta adanya pertemuan dan/atau komunikasi
antar pesaing meskipun tidak terdapat substansi dari pertemuan dan/atau
komunikasi

tersebut.62

Organisation

For

Economic

Co-Operation

And

Development (OECD) memberikan kriteria bukti komunikasi sebagai berikut:63
records of telephone conversations (but not their substance)
between competitors, or of travel to a common destination or of
participation in a meeting, for example during a trade conference;
other evidence that the parties communicated about the subject –
e.g., minutes or notes of a meeting showing that prices, demand or
capacity utilisation were discussed; internal documents
evidencing knowledge or understanding of a competitor’s pricing
strategy, such as an awareness of a future price increase by a
rival.

Pada pokoknya bukti komunikasi dapat berupa tulisan ataupun lisan antar
pesaing dimana dalam komunikasi tersebut terdapat pembicaraan mengenai harga,
strategi masing – masing pelaku usaha (secara langsung maupun tidak langsung)
ataupun menunjukan dokumen internal perusahaan mereka. Hal tersebut
dimaksudkan agar adanya kesepahaman tentang harga antar pesaing yang nantinya
setiap pelaku usaha akan dapat memprediksi harga kompetitornya dikemudian hari.

61

Organisation For Economic Co-Operation And Development, Prosecuting Cartels
without Direct Evidence of Agreement, June 2007. Lihat dan Bandingkan dengan : Peraturan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat.
62
Putusan KPPU Perkara Nomor 24/KPPU-I/2009, h. 57 – 58. Lihat juga, Organisation
For Economic Co-Operation And Development, Prosecuting Cartels without Direct Evidence of
Agreement, June 2007`
63
Op. Cit., Organisation For Economic Co-Operation And Development

40

Sehingga dengan demikian dimasa akan datang kemungkinan akan dapat
mengontrol harga dari tiap – tiap pelaku usaha yang bersaing dan secara otomatis
hal ini menghilangkan persaingan diantara mereka.
Bukti analisis ekonomi64 yaitu bukti yang terdiri dari dua tahapan berupa
analisis struktural, kemudian tahapan yang kedua terkait dengan analisis perilaku.
Analisis struktural diarahkan pada pembuktian apakah kesepakatan kartel
dimungkinkan terjadi di pasar bersangkutan (relevant market) dan analisis perilaku
atau perubahan yang ditujukan untuk membuktikan apakah perilaku di pasar
bersangkutan konsisten dengan perilaku kartel dan bukan perilaku bersaing.65
Hans W. Friederiszick menerangkan tentang economic analysis for cartel
detection - 3 principles and an outline of a two-step framework sebagai berikut:66
Principles for robust economic analysis in cartel cases
1. should be a credible threat
a) decrease false positives to some extent
b) easonably robust to eliminate fishing expeditions
(focus on changes; counterfactual analysis)
2. should not be easy to be circumvented (even if public)
(has to be addressed for each individual indicator)
(there should be no single indicator in general)
3. should not be too resource intensive
a) marginal information should be proportional to cost of
information gathering
b) has to take into account capabilities of competition
authority
Framework for economic analysis objectives
1. working group in Directorate General Competition
developed framework to strengthen economic analysis in
cartel cases
2. quantitative and qualitative economic analysis aimed at
establishing the requirements

Analisis ekonomi seringkali dikategorikan sebagai bagian dari analisis “Plus Factor ”,
yaitu analisis tambahan dari bukti kesamaan harga (price parallelism).
65
Andi Fahmi Lubbis, Analisis Ekonomi Dalam Pembuktian Kartel, Jurnal Hukum Bisnis
volume 32 nomor 5, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 2013, h. 391
66
Hans W. Friederiszick, “Detecting Cartels in Europe – the Role of Economics”, paper
presented at 25th Conference on Political Economy, 12-14 October 2006 Saarbrücken, h. 13-14
64

41

a) for issuing an inspection decision in a given antitrust
market;
b) justifying the opportunity cost of carrying out an
inspection.
(not a tool for proving the existence of cartels)

Pada tahapan analisis struktural yang harus dilakukan adalah menentukan
kemungkinan terjadi kertel tersebut ada dalam pasar bersangkutan. Apabila para
pelaku usaha tersebut tidak berada dalam pasar bersangkutan maka otomatis dugaan
kartel tersebut gugur karena para pelaku usaha tidak saling bersaing. Selanjutnya
apabila para pelaku usaha berada dalam pasar bersangkutan maka dilanjutkan
dengan mencari kemungkinan atau motivasi pelaku usaha untuk melakukan kartel
dalam pasar bersangkutan tersebut.
Beberapa indikator-indikator yang mungkin digunakan untuk menilai
apakah motivasi perusahaan – perusahaan untuk berkolusi cukup besar, adalah :67
1. Tingkat kemiripan Produk (Product homogeneity). Motivasi perusahaan
- perusahaan di pasar untuk melakukan kesepakatan akan semakin besar
jika produk – produk yang dihasilkan oleh perusahaan di pasar memiliki
kemiripan yang cukup tinggi.
2. Ketersediaan produk pengganti terdekat (Absence of close substitutes).
Kesepakatan kolusi akan lebih mudah dilaksanakan apabila konsumen
tidak memiliki banyak pilihan kecuali membeli barang dan atau jasa dari
perusahaan anggota kartel.
3. Kecepatan informasi mengenai penyesuaian harga (Readily observed
price adjustments). Kemudahan mendapatkan informasi mengenai

67
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Pedoman
Pasal 5 (Penetapan Harga) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek
Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat., h. 19-20

42

perubahan - perubahan harga di pasar akan mengurangi insentif
perusahaan untuk melakukan kecurangan terhadap kesepakatan kartel.
4. Standarisasi harga (Standardized prices). Kesepakatan kolusi akan lebih
mudah dilakukan apabila produk yang diperdagangkan di pasar
memiliki standar harga, dan lebih mudah untuk dimonitor untuk
mencegah terjadinya kecurangan.
5. Kelebihan kapasitas (Excess capacity). Motivasi untuk melakukan
kesepakatan kartel akan meningkat ketika keuntungan dari kartel dapat
digunakan untuk menutupi inefisiensi akibat perusahaan tidak
berproduksi secara optimal.
6. Hanya terdapat beberapa perusahaan (Few sellers). Semakin sedikit
jumlah perusahaan yang ada di pasar maka semakin mudah untuk
melakukan koordinasi dalam rangka kesepakatan kartel.
7. Hambatan masuk pasar tinggi (High barriers to entry). Kesepakatan
kartel akan semakin mudah dijalankan karena tidak adanya ‘ancaman’
dari perusahaan baru

yang dapat menggagalkan kesepakatan

perusahaan-perusahaan di pasar bersangkutan.
Kemudian apabila analisa struktural telah selesai dilakukan, maka
selajutnya analisis perilaku atau perubahan. Analisis perilaku ditekankan pada
perubahan hasil (outcome) dari kesepakatan kartel dengan menggunakan indikatorindikator yang ada di pasar bersangkutan yang diduga terjadi karena kesepakatan
kartel dan bukan perilaku bersaing perusahaan-perusahaan di pasar yang dilakukan
secara mandiri.68 Indikator yang dapat digunakan diantaranya adalah:69
68
69

Ibid., h. 392
Ibid.,

43

1. Perubahan atas tingkat keuntungan
2. Perusahaan-perusahaan yang berpartisipasi dalam kesepakatan kartel,
3. Perubahan harga yang ditetapkan oleh perusahaan-perusahaan yang
berpartisipasi (sebelum dan sesudah kesepakatan kartel), dan
4. Perubahan jumlah produksi perusahaan-perusahaan yang dicurigai
melakukan kartel.
Selain daripada itu adapun instrumen – instrument yang dapat memfasilitasi
keberhasilan suatu kolusi, instrument – instrument tersebut adalah :70
1. Resale Price Maintenance (RPM). Praktik ini dapat digunakan untuk
meminimalkan variasi harga di tingkat konsumen.
2. Most-Favoured Nation (MFN) clause. Praktik ini dapat digunakan
untuk meminimalkan insentif memberikan harga lebih rendah dari harga
kesepakatan (cheating).
3. Meeting