Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Migran dalam Bingkai Orang Papua T2 092011007 BAB II

Bab Dua
M igrasi, Relasi sosial, Perubahan Sosial, M odal
Sosial, dan I ndentitas.

Pengantar
Pada bab ini akan dibicarakan beberapa konsep teoritis yang
dianggap berhubungan dan sekaligus sebagai transeter untuk menerangi persoalan penelititan tentang fenomena antara M igran dan Orang
Papua dalam kehidupan bermasyarakat. Beberapa konsep teoritis tersebut digunakan untuk mempertegas penjelasan pada bagian sintesis.
Lima konsep yang dianggap relevan untuk dibahas antara lain konsep
M igrasi (M igration), Relasi Sosial (Social Relation), M odal Sosial (Social
Capital), Perubahan Sosial (Social Change), dan konsep Identitas
(Identity). Kelima konsep ini selain sebagai penerang, juga merupakan
dasar argumen untuk menjelaskan fenomena yang terjadi dalam
kehidupan antara M igran dan Orang Papua. Dengan demikian kelima
konsep tersebut akan dibahas sebagai berikut:

M igrasi dan I mplikasinya
M igrasi merupakan persoalan dinamika kependudukan yang
terjadi dalam setiap negara dan wilayah bangsa. Secara demografi
Indonesia menjadi salah satu negara berkembang dengan jumlah dan
pertumbuhan penduduk yang cukup besar. Jumlah dan pertumbuhan

ini pun dipengaruhi oleh aspek kelahiran, kematian dan perpindahan.
Aspek perpindahan merupakan salah satu aspek yang sangat ber11

pengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan penduduk pada
suatu wilayah. Perpindahan atau (migrasi) ini dikenal dengan istilah
migrasi paksaan dan migrasi spontan (bukan paksaan). M igrasi paksaan
ini merupakan sebuah model perpindahan penduduk yang pada zaman
kolonial dikenal sebagai perpindahan yang berorientasi pada upaya
mendirikan pasar-pasar buruh yang semata-mata untuk kepentingan
kaum kapitalis barat yang memerlukan tenaga buruh terampil dan
murah.
M odel perpindahan ini kemudian dilanjutkan oleh Indonesia
dengan sebutan transmigrasi yang lebih berorientasi pada peningkatan
hidup dan kesejahteraan transmigran itu sendiri bersama sama dengan
penduduk setempat di daerah transmigrasi. Transmigrasi menurut
(Hardjono, 1970) adalah pemindahan penduduk dari suatu daerah yang
ditempati ke daerah lain yang telah ditetapkan di wilayah Republik
Indonesia yang ditujukan untuk pembangunan bangsa atau untuk
alasan yang dianggap perlu bagi pemerintah. Dengan demikian transmigrasi merupakan program selain untuk pemeratan penduduk antar
wilayah, juga menjadi langkah awal pengembangan daerah pertanian

baru dalam rangka penyediaan pangan sekaligus mengatasi persoalan
tenaga kerja. Keberhasilan transmigran tentu melalui kerja keras yang
dilakukan secara individu, maupun secara bersama-sama antara warga
transmigran dengan bantuan pemerintah.
Bantuan pemerintah yang dilakukan untuk mendukung produktivitas kegiatan transmigran antara lain melalui pelatihan, bimbingan,
dan bantuan sarana-prasarana yang dianggap perlu dalam mengelola
lahan ataupun kegiatan ekonomi lainnya, yang berkaitan langsung
dengan kegiatan utama para transmigran itu sendiri. Kehadiran
transmigran di daerah tujuan membawa perubahan baik pada transmigran itu sendiri maupun penduduk setempat dan bahkan secara luas
(wilayah).
Perubahan yang diakibatkan oleh kehadiran transmigran itu bisa
terlihat pada aspek ekonomi ataupun perkembangan pada aspek
kewilayahan. Sebagaimana penelitian Swasono (1985) di Aceh, menemukan bahwa dengan kehadiran transmigran secara tidak langsung

12

telah menghidupkan perekonomian, terutama di daerah pedesaan.
Konstribusi terhadap pertumbuhan ekonomi pada lokasi penempatan
transmigran terutama di daerah pedesaan, karena pedesaan menjadi
sasaran utama penempatan transmigrasi. Selain itu wilayah pedesaan

juga memberi ruang yang luas dalam mendukung pengembangan
kegiatan pertanian dan pemukiman transmigran. Pertanian menjadi
kegiatan utama para migran yang pertama datang di daerah transmigasi. Kondisi tersebut tidak terlepas dari motif awal para transmigran
melakukan migrasi. Dengan motif itulah secara positif memberikan
kemajuan dan mendorong adanya pertumbuhan maupun perkembangan di daerah-daerah penempatan transmigrasi.
La Pona (1999) dalam penelitiannya di Papua menemukan
translok (trans lokal) yang memiliki jaringan sosial aspek pertanian
dengan transmigran asal ternyata mengadopsi banyak inovasi budi
daya pertanian, demikian pula sebaliknya. Perubahan dalam aspek
pertanian bagi translokal di daerah transmigrasi dimulai dari sebuah
relasi (hubungan) yang baik dan saling menerima dalam perbedaan,
sehingga terbangun sebuah jaringan yang saling menguntungkan lewat
berbagai aktivitas sosial yang dilakukan secara bersama pula. Dengan
tidak menonjolkan perbedaan akan tercipta ruang-ruang relasi yang
lebih baik dan terarah pada tatanan sebuah masyarakat yang diharapkan dapat lebih memperhatikan sisi kemanfaatan secara bersama.
M igrasi spontan menjadi bagian dari perpindahan penduduk
antar daerah. M odel perpindahannya bersamaan dengan transmigrasi,
dan tidak sepenuhnya difasilitasi oleh pemerintah, namun memperoleh
pembinaan dan pengawasan dari pemerintah di tempat tujuan. Bahkan
ada pula yang betul-betul murni spontan tanpa bantuan dari pemerintah. Tipe ini sering berfungsi sebagai mediator, penyalur hasil

pertanian dan sarana pertanian, atau bidang lain yang menunjang
usaha tani semacam bengkel, tukang, dan sebagainya. Untuk memperoleh lahan, mereka menggunakan pendekatan dengan transmigran
yang lain, sesama migran Jawa, lewat kenalan, atau pihak lain yang
bersedia melepaskan tanahnya pada mereka dengan jalan membeli.
Pada umumnya yang melepaskan tanah adalah warga transmigrasi

13

umum maupun lokal yang sama-sama dalam satu daerah transmigrasi.
M igrasi spontan ini pada umumnya berhasil dan cepat berkembang
dari segi ekonomi, dan sekaligus memacu pertumbuhan dan kegiatan
ekonomi di daerah-daerah transmigrasi. Dari berbagai studi tentang
transmigrasi, dapat diketahui bahwa transmigran swakarsa atau
spontan lebih berhasil daripada transmigran umum. Keberhasilan
transmigran swakarsa atau spontan disebabkan oleh ketekunan dan
jiwa kewiraswastaan yang memungkinkan mereka untuk melihat dan
memanfaatkan kesempatan-kesempatan guna memperbaiki hidup
mereka (Hardjono, 1982).
Beberapa daerah transmigrasi telah menunjukkan keberhasilan
transmigran spontan ini. Di Parigi Sulawesi Tengah misalnya,

keberhasilan transmigran spontan yang sudah lebih dahulu bermukim
di Parigi dapat menarik saudara-saudara atau kenalan-kenalan mereka
di daerah asal untuk ikut bertransmigrasi. Adanya surplus pangan dan
kekurangan tenaga kerja yang amat dirasakan telah mendorong arus
transmigrasi spontan ke Parigi (Davis, 1982 dalam Hardjono Joan (Ed),
1982). Dengan keberhasilan yang diperoleh transmigran awal memberikan peluang bagi saudara ataupun kenalan dari daerah asal untuk
ikut bermigrasi dengan mempertimbangkan peluang-peluang dan
kesempatan yang ada di daerah tujuan. Kesempatan dan peluangpeluang tersebut memberi kemajuan dan perubahan dalam kehidupan
mereka. Dengan motivasi tinggi dan bekerja keras itulah yang
memposisikan sebagian besar transmigran spontan ini cepat berhasil.
M igran spontan ataupun paksaan melakukan migrasi ke daerah
tertentu dengan tujuan dan alasan yang berbeda. Ada yang berkeinginan untuk menetap, ada juga yang tidak ingin menetap. Bagi
migran yang melakukan migrasi dengan keinginan menetap di daerah
tujuan, mempunyai alasan bahwa di daerah migrasi tersebut tentu
memberi peluang untuk memperoleh perubahan hidup terutama
perbaikan ekonomi. Peluang yang memberikan perbaikan ekonomi
tersebut menjadi bagian dari matapencaharian yang merupakan sumber
pendapatan secara tetap. Dengan peluang ekonomi itulah memberikan
sebagian besar migran melakukan migrasi secara permanen pada


14

daerah tertentu.
Tommy Firman (1994) mengatakan, migrasi sebenarnya suatu
reaksi atas kesempatan ekonomi pada suatu wilayah. M igrasi yang
terjadi pada negara-negara yang sudah berkembang lebih kompleks
dengan tingkat ekonomi yang lebih seimbang antar wilayah di
dalamnya, sehingga pola migrasinya cenderung tidak terfokus pada
daerah tertentu. Sedangkan di negara-negara berkembang, pola migrasi
terpusat pada daerah-daerah tertentu saja, khususnya di kota-kota
besar. Soewarto (1993) dalam penelitiannya di Papua menemukan
bahwa jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan Papua meningkat
dengan jumlah migran terbesar berasal dari daerah Sulawesi (39,65%),
disusul daerah Jawa (35,76%) dan M aluku (14,44%). Tingginya migran
dari Sulawesi masuk ke kota-kota di Papua karena faktor jarak yang
dekat dan faktor kesempatan ekonomi. Sebagian besar dari mereka
bekerja sebagai pedagang hasil bumi dan laut, di samping juga bergerak
di bidang industri kecil dan menengah.
Selain faktor jarak, faktor transportasi juga turut mendukung
terjadinya arus migrasi dari berbagai daerah ke Papua. Dengan

kemudahan transportasi darat maupun udara tentu memberikan ruang
gerak migrasi begitu cepat dari satu daerah ke daerah lain, dalam
rangka mencari dan melakukan usaha-usaha yang merupakan bagian
dari tujuan bermigrasi. M antra (1992) mengatakan, arus migrasi makin
meningkat setelah tersedianya prasarana tranportasi yang dapat
menghubungkan antar wilayah. Selain itu perkembangan pembangunan yang begitu cepat pada daerah-daerah tertentu yang didukung
dengan kebijakan desentralisasi ikut merangsang arus migrasi untuk
mencoba memperbaiki hidup di daerah-daerah tersebut. Berkaitan
dengan peluang-peluang di daerah tujuan yang menjadi daya tarik
individu bermigrasi menurut (M unir 1981) disebabkan oleh lima
faktor:
Pertama, adanya kesepakatan untuk memasuki lapangan pekerjaan yang cocok; Kedua, adanya kesempatan untuk mendapatkan pendapatan yang lebih baik; Ketiga, adanya kesempatan
mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi; Keempat, adanya
keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang lebih menye-

15

nangkan; dan Kelima, adanya tarikan dari orang yang diharapkan sebagai tempat untuk berlindung.

Kelima faktor daya tarik pada daerah tujuan yang dikemukakan

M unir ini menjadi pertimbangan individu pada umumnya dalam
memutuskan bermigrasi. Pertimbangan rasional itulah yang selalu
didahulukan oleh seorang migran, karena tujuan utama seorang migran
melakukan migrasi sesungguhnya ingin melakukan dan mendapatkan
perubahan kondisi kehidupan. M eskipun demikian, tidak semua
migran mengalami kondisi yang sama, ada yang sukses tapi ada juga
yang gagal. Hal ini tergantung bagaimana sikap migran tersebut dalam
memaknai arti bermigrasi.
Bagi migran yang sukses memilih untuk bertahan dan kemudian
menjadi migrasi permanen, sedangkan yang gagal kembali ke daerah
asal atau memilih migrasi ke daerah lain yang memiliki peluang secara
ekonomi. Di daerah-daerah dengan desentralisasi khusus atau disebut
otonomi khusus masih memiliki peluang-peluang ekonomi, yaitu
tersedianya Sumber Daya Alam (SDA) yang cukup banyak bila dibandingkan dengan jumlah penduduknya (pemiliknya). Kondisi ini
menjadi magnet bagi orang-orang untuk memilih bermigrasi ke daerah
tersebut, dan migrasi yang dilakukan pun bermacam-macam. Patersen
(Baso, 1990) mengemukakn ada empat macam migrasi antara lain:
Pertama, Migrasi primitif (Primitive migration ) yaitu migrasi
yang disebabkan oleh semakin menurunnya daya dukung alam;
Kedua, Migrasi paksaan (Impelled or forced) yaitu migrasi yang

disebabkan oleh kekuatan politis atau kekuatan ekonomi yang
memaksa orang untuk pindah; Ketiga, migrasi bebas (Free
migration), yaitu migrasi yang didasarkan pada keinginan
individu; dan Keempat, migrasi massal (Mass migration ), yaitu
migrasi yang terjadi karena adanya kekuatan-kekuatan sosial
atau pola-pola sosial yang merupakan suatu kebiasaan atau
tingkah laku sosial.

Di Indonesia, setidak-tidaknya dikenal dua tipe migrasi yaitu:
Pertama, transmigrasi, yaitu migrasi struktural yang direncanakan dan
dikendalikan oleh pemerintah; Kedua, migrasi yang sifatnya sosiokultural, yaitu berhubungan dengan beragam istilah yang diperguna16

kan untuk menyebut keluarga. M igrasi dengan istilah perantau juga
mempunyai tujuan yang sama dalam melakukan perpindahan ke
daerah lain, namun lebih pada budaya.
M enurut M octhar Naim (1979,) merantau merupakan sejenis
migrasi dengan konotasi yang tidak gampang diterjemahkan. M igrasi
atau merantau ini menurut Naim mencakup enam unsur:
Pertama, meninggalkan kampung halaman; Kedua, dengan
kemauan sendiri (misalnya, tidak seperti transmigrasi dulu, saat

migrasi diurus oleh pemerintah) untuk jangka pendek atau
panjang; Ketiga, dengan tujuan mencari nafkah; Keempat,
pengalaman atau pengetahuan; Kelima, biasanya dengan niat
untuk pulang ke kampung; dan Keenam, berdasarkan unsurunsur budaya.

M igrasi perantau menjadi bagian dari istilah perpindahan
penduduk antar wilayah, baik dalam satu wilayah maupun di wilayah
lain, bahkan antar negara. M igrasi perantau ini pun hanya pada etnis
tertentu yang suka dan bahkan menjadi bagian dari tradisi mereka.
Pada umumnya migrasi perantau ini mempunyai kemampuankemampuan, baik keterampilan (pengalaman) maupun pengetahuan.
Dengan modal itulah migran perantau ini, nekat dan berani melakukan
migrasi keluar dari kampung halamannya. Dalam migrasinya pun ada
yang menetap di daerah tujuan sebagai migrasi permanen, ada juga
yang kembali ke kampung (migrasi tidak permanen).
Keberadaan migran di daerah tujuan baik secara spontan maupun
bukan spontan tentu melakukan interaksi dengan penduduk lokal,
karena migran dan penduduk lokal menjadi bagian dari masyarakat dan
lingkungan sosial. Dalam lingkungan tersebut pun akan selalu dilalui
dengan berbagai aktivitas-aktivitas, dalam konteks yang berbeda dari
masing-masing orang dengan posisi latar belakang yang berbeda-beda

pula.
Untuk masuk ke konsep berikutnya dalam bab ini ada konsep
lain yang dipakai misalnya; Relasi Sosial; Identitas; M odal Sosial; dan
Perubahan Sosial.

17

M embangun H ubungan H armonis melalui Relasi Sosial
M anusia merupakan makhluk sosial yang mempunyai naluri
untuk bergaul dengan sesama manusia dan membutuhkan orang lain
dalam kehidupan bersama sehingga terjadi hubungan antar sesama
dalam lingkungan sosial atau masyarakat. Terjadinya hubungan antar
individu, antar kelompok, antar etnis, bahkan antar agama bukan
semata-mata karena kebetulan atau terjadi secara natural, tetapi karena
ada ruang berbeda yang dimiliki oleh setiap individu ataupun
kelompoknya dalam lingkungan masyarakat. Ruang-ruang tersebut
merupakan potensi-potensi yang memberi peluang terjadinya interaksi
antar sesama yang lebih pada sebuah tuntutan kebutuhan bersama.
Tuntutan dan peluang itu bisa terjadi apabila masing-masing individu
atau kelompok memposisikan diri sebaik mungkin dan dibarengi
dengan kesadaran secara rasional yang terlepas dari kepentingan
pribadi maupun tradisi, sehingga kondisi relasi yang diharapkan secara
bersama bisa terwujud. Harapan itu bisa terwujud apabila masingmasing individu, ataupun kelompok mampu beradaptasi pada lingkungannya.
Abdoellah (1993) mengatakan bahwa, yang melakukan migrasi
ke daerah tujuan transmigrasi mau tidak mau harus menyesuaikan diri
dengan lingkungan yang baru. Pada lingkungan sosial, peristiwa ini
akan melahirkan perubahan (baik itu perubahan kecil ataupun besar)
saat mereka berinterkasi dengan sesama transmigran. Dalam lingkungan sosial ada kelompok penduduk lokal yang menjadi bagian dari
kehidupan bersama, dan berada di lingkungan yang sama. W iwit
W idiansyah (2003) dalam penelitiannya tentang upaya perusahaan
dalam mengembangkan relasi dengan masyarakat lokal khusus
hubungan Amoseas Indonesia Inc di Jawa Barat, mengatakan bahwa
terjadi perubahan-perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat
selama kehadiran Amoseas dan turut mendorong lahirnya institusiinstitusi lokal sebagai wadah berkumpulnya masyarakat.
Akibat dari relasi yang terbangun atas dasar saling memahami,
antara kedua pihak, maka dengan sendirinya akan tercipta suasana
yang saling terbuka dengan mengedepankan kerja sama. Kebersamaan
18

ini pun bisa tetap ada dan terjaga apabila masing-masing memposisikan
diri dan mengambil bagian dalam kehidupan bermasyarakat dengan
mengutamakan status masing-masing. Status akan mempertegas
peranan yang akan dilakukan oleh masing-masing orang ataupun
kelompok dalam suatu komunitas masyarakat, sehingga terjalin relasi
yang harmonis antar migran dan penduduk lokal dalam satu ruang
yang sama. Haru Cahyono (2004) dalam penelitiannya tentang relasi
antar penduduk asli Kalimatan dan M adura, khususnya di Kalimatan
Tengah menemukan bahwa di Kalimantan Tengah, tidak ada sejarah
konflik yang akumulatif dan traumatik serta tidak terdapat stereotip
yang mendalam dan membekas terhadap etnis M adura, dibandingkan
di Kalimatan Barat. Relasi antar penduduk asli Kalteng dan M adura
lebih terbuka dan efektif, sehingga terjalin komunikasi yang efektif
pula. Efektivitas komunikasi antar etnis merupakan salah satu upaya
yang dapat menunjang hubungan harmonis di antara hubungan
masyarakat multikultur (Nagara, 2008).
Relasi dalam kehidupan bermasyarakat akan lebih intensif dan
kuat apabila dilalui dengan berbagai kegiatan di masyarakat terutama
berkaitan langsung dengan matapencaharian. Kegiatan profesi lebih
aktif dan efisien dalam mempertemukan berbagai etnis dalam ruang
dan lingkungan yang sama. Pada posisi ini pun yang lebih ditonjolkan
adalah kesadaran akan saling membutuhkan antar sesama, karena
diikat oleh rasa sosial kemanusia yang dimulai oleh kebutuhan
bersama. Dengan ikatan kebutuhan itulah akan menanamkan nilai
kebersamaan yang sangat kuat dengan tidak menonjolkan berbagai
perbedaan di antara etnis, terutama antara migran dengan penduduk
lokal. Kehidupan yang dijalani dalam lingkungan bermasyaakat dengan
berbagai perbedaan itu, dengan sendirinya akan saling melengkapi.
M enurut (Abdullah, 2006), di dalam ruang itulah berbagai etnis dapat
belajar berkomunikasi dengan cara yang lebih dapat diterima secara
umum, dan mereka saling belajar untuk menerima perbedaanperbedaan yang dimiliki oleh kelompok lainnya.
Relasi atau interaksi yang terjadi antara migran dan penduduk
lokal selamanya tidak berjalan dalam suasana yang kondusif. Tidak

19

kondusifnya relasi antara etnis atau migran dengan penduduk lokal
disebabkan oleh banyak faktor, namun beberapa faktor yang sering dan
menjadi indikator utama dalam kerenggangan relasi antara etnis,
dimulai dari adaptasi migran terhadap lingkungan yang berlebihan.
Dengan adaptasi lingkungan yang berlebihan akan menimbulkan
peluang-peluang yang mengarah pada penguasaan sumber-sumber
ekonomi yang menjadi bagian vital dari penduduk lokal, dan pada
akhirnya menimbulkan suasana ekspansi. Terjadinya gerak ekspansi
oleh migran terhadap ruang-ruang ekonomi dan kehidupan penduduk
lokal pada gilirannya akan memposisikan mereka (penduduk lokal)
pada suasana yang rapuh dan labil terhadap goncangan-goncangan
yang ditimbulkan oleh perubahan dan perkembangan masyarakat.
M aka di sinilah suasana dan ruang relasi mulai terganggu dalam
kehidupan bermasyarakat. Kondisi tersebut dipicu oleh prinsip-prinsip
hidup yang lebih mengedepankan individualis dan ekonomis, tanpa
mempertimbangan sisi sosial serta kehidupan bermasyarakat, yang
pada akhirnya akan memunculkan pemikiran-pemikiran etnis yang
mengarah pada pembentukan kekuatan-kekuatan kelompok yang
hidup pada masing-masing komunitas dan lingkungannya. Dengan
demikian sebuah relasi yang menjadi kunci dalam kehidupan sosial dan
sekaligus sebagai penggerak aktivitas dan perilaku manusia dalam
bersosialisasi akan terganggu. M odel relasi semacam ini tidak sesuai
dengan makna relasi atau interaksi yang diharapkan bersama, namun
cenderung membuka ruang gesekan antar etnis dalam lingkungan
bermasyarakat, yang berpotensi terjadinya konflik secara horizontal.
Yang banyak merasakan efek dari konflik horizontal adalah masyarakat
itu sendiri, sehingga boleh dikatakan setiap konflik yang terjadi, kedua
belah pihak sama-sama merasakan efek negatifnya.

Perubahan Sosial sebagai H asil I nteraksi
Dalam setiap kehidupan masyarakat manusia senantiasa diperhadapkan pada suatu perubahan. Perubahan-perubahan dalam
kehidupan masyarakat tersebut merupakan fenomena sosial yang
wajar, oleh karena setiap manusia mempunyai kepentingan yang tak
20

terbatas. Perubahan merupakan perbandingan suatu tatanan kehidupan
masyarakat yang lama kepada tatanan kehidupan masyarakat yang
baru. Dua tatanan kehidupan yang dilalui oleh masyarakat dalam
berbagai lingkungan dan kondisi tidak terlepas dari kuadrat manusia
yang menginginkan suatu perbaikan. Perbaikan suatu tatanan kehidupan individu ataupun kelompok tidak terjadi dengan sendirinya atau
secara alami, namun melalui proses dan sentuhan-sentuhan pihak lain
baik disengaja maupun tanpa disengaja. Pada masyarakat di negara
berkembang, perubahan yang terjadi sengaja dilakukan oleh pemerintah lewat sentuhan-sentuhan pembangunan di berbagai aspek kehidupan. Sentuhan-sentuhan pembangunan itu melalui suatu perencanaan yang tentu bertujuan untuk memajukan dan memberi kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat yang lebih baik. Untuk itu
dinamika penduduk dan perubahan sosial dapat direyakasa oleh
pemerintah melalui program transmigrasi sebagai penunjang pembangunan antar kawasan.
Perubahan sosial terjadi karena adanya pertemuan antar komunitas dan etnis dengan latar belakang yang berbeda. Kondisi ini
menimbulkan sebuah reaksi yang mengarah kepada kerja sama saling
menguntungkan, atau sebaliknya justru menimbulkan kerugian. Kedua
sisi tersebut akan selalu ada dalam suatu proses perubahan, baik itu
disengaja maupun tidak, namun melalui pembangunan transmigrasi
telah membawa perubahan pada tatanan kehidupan secara bersama
baik terhadap transmigran maupun masyarakat lokal. La Pona (1993)
dalam penelitiannya di Papua tentang kehidupan antara transmigran
dan penduduk lokal (asli) di lingkungan transmigrasi mengatakan
bahwa:
(a) bangsa berkembang dibangun dengan multi etnik, karena
transmigrasi dibangun dengan multi etnik; (b) sumber makanan
masyarakat perkotaan berasal dari daerah transmigrasi; (c) lokasi
transmigrasi berkembang menjadi daerah otonomi baru seperti
menjadi kampung, distrik dan kabupaten; dan (d) lokasi
transmigrasi sebagai sabuk pengaman.

Proses pembelajaran pertanian antara penduduk asli dengan para
transmigran berlangsung secara alamiah. Kini terjadi peningkatan
21

kesejahteraan hidup masyarakat asli, walaupun secara perlahan tetapi
pasti. Berbagai perubahan yang dialami oleh setiap masyarakat tidak
terlepas dari peranan kehidupan bersama antar etnis di dalam
lingkungan bertetangga maupun bermasyarakat. Kehidupan antar etnis
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dan memberikan konstribusi
bagi perubahan, karena lewat kehidupan bersama masing-masing etnis
dengan karakter, tradisi, dan pengalaman yang berbeda saling berpengaruh dan beradaptasi melalui hubungan antar sesama. Dengan
hubungan dan kerja sama dalam lingkungan sosial akan melahirkan
perubahan, baik perubahan besar maupun kecil. Kondisi perubahan
tersebut akan selalu dialami oleh setiap individu maupun masyarakat.
Chambers (1992) mengatakan bahwa, pada lingkungan sosial,
peristiwa ini akan melahirkan perubahan (baik itu perubahan kecil
maupun perubahan besar) saat mereka berinteraksi dengan sesama
transmigran. Penduduk lokal yang cepat mengalami perubahan ke arah
positif tentu mereka mampu membuka diri dan beradaptasi dengan
dunia luar. Proses adaptasi terhadap dunia luar menjadi persoalan baru,
namun di dalam persoalan tersebut tersimpan berbagai kesempatan dan
perbaikan untuk mencapai perubahan, dan tentu saja dituntut sebuah
kesiapan diri secara mental, pengalaman, dan sikap agar dalam proses
beradaptasi tidak mengalami hambatan. Kesiapan mental sangat
diperlukan dalam membangun dan membuka diri dengan etnis lain.
Kondisi kehidupan sosial masyarakat yang berasal dari berbagai
latar belakang yang berbeda, akan memunculkan perilaku yang
berbeda pula dalam menyikapi persoalan sosial yang berkaitan dengan
tuntutan kebutuhan. Hal ini membuat masing-masing individu akan
berlomba dalam menggunakan waktu sebaik mungkin dengan
aktivitas-aktivitas positif yang merupakan bagian dari aspek perubahan
itu sendiri. Pergeseran suasana sosial dari yang terbiasa ke suasana baru
yang belum terbiasa akan berdampak terhadap mental, sehingga pada
posisi ini mental yang siap dan terbiasa akan mampu bertahan dan
beradaptasi sekaligus menemukan solusinya. Dengan demikian kelompok ini akan tetap eksis dan menjadikan persaingan sebagai motivasi
dalam mencapai perubahan. Rifai (2007) dalam penelitiannya tentang

22

kehidupan migran M adura di Surabaya, mengatakan bahwa logat
bahasa orang-orang M adura mempengaruhi logat bahasa masyarakat
kota Surabaya pada umumnya.
Pengalaman juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
kesiapan seseorang dalam mencapai proses perubahan. Pengalaman
akan membantu individu untuk beradaptasi terhadap kondisi sosial
yang selalu dan cepat berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat. Pengalaman juga akan mempermudah individu dalam memilih
dan melakukan perkerjaan yang begitu kompetitif dari waktu ke
waktu. Hal ini tentu saja diikuti oleh perkembangan masyarakat
manusia yang begitu cepat berubah, sehingga perubahan itu akan
berpengaruh terhadap profesi yang ditekuninya. Perubahan profesi
muncul bersamaan dengan perkembangan pembangunan dan pertumbuhan penduduk yang tidak merata di berbagai daerah. Daerah dengan
peluang pertumbuhan pembangunan dan ekonomi yang cukup baik
dan maju akan menghadirkan berbagai etnis dengan segala perbedaannya, sehingga dengan begitu pengalaman menjadi solusi terbaik
dalam mencari dan menekuni berbagai profesi.
Sikap menjadi penting dalam membuka dan memudahkan ruang
interaksi di antara sesama dalam kehidupan bermasyarakat. Hubungan
antar sesama bisa berjalan dengan baik apabila dilalui dengan sikap
yang saling menerima, menghormati dan menghargai, dengan tidak
mengedepankan perbedaan dan kekurangan di antara individu,
maupun kelompok dalam kehidupan bermasyarakat. Kondisi ini akan
melahirkan kesadaran bersama bahwa sesungguhnya dalam kehidupan
ini tidak terlepas dari bantuan pihak lain. Kesadaran ini akan tetap ada
dan kuat di antara pihak-pihak dalam masyarakat apabila masingmasing dari masyarakat memposisikan diri dan bertindak serta berperilaku sesuai dengan ketentuan yang menjadi bagian dari kehidupan
bermasyarakat. Dengan demikian kehidupan masyarakat yang aman,
damai, dan harmonis yang merupakan dambaan setiap orang dalam
tatanan kehidupan sosial akan dapat tercapai.
Pada bagian lain ada juga perubahan suatu masyarakat berjalan
secara lambat. Terlambatnya perubahan disebabkan oleh masyarakat

23

tersebut menutup diri dengan dunia luar, atau menolak terhadap halhal baru yang dirasa tidak sesuai dengan apa yang mereka miliki.
Terjadinya sikap ini karena adanya perasaan curiga yang kuat dengan
kehadiran orang lain yang bukan bagian dari masyarakatnya. Kecurigaan itu pun manghalangi mereka untuk menerima dan membuat
perubahan dalam kehidupannya. Sastroamodjo (2003) dalam penelitiannya tentang kehidupan suku Samin di Bojonegoro mengatakan
bahwa kemurnian ajaran kesaminan mungkin hanya bisa bertahan
hingga setengah atau paling banter satu abad. Samin adalah sebuah
suku atau kelompok masyarakat yang begitu tertutup dengan dunia
luar, dan tetap mempertahankan tradisi yang menjadi warisan secara
turun temurun. Namun dengan perkembangan global saat ini, tidak
satu pun kelompok masyarakat bisa tetap bertahan dengan tradisinya,
karena perubahan dan perkembangan kini tanpa batas, dan menjadi
bagian dari kehidupan masyarakat manusia. Perubahan tetap dialami
oleh setiap manusia dan tidak bisa dihindari, namun yang perlu
dilakukan oleh manusia adalah mampu beradaptasi dan menyiapkan
diri sesuai dengan tuntutan perubahan tersebut.

M embangun Kerja Sama melalui M odal Sosial
M odal sosial menjadi bagian terpenting dalam kehidupan bermasyarakat. Terjadinya modal sosial merupakan hasil dari hubungan
sosial di dalam kehidupan bermasyarakat. M odal sosial terjadi dalam
sebuah jalinan antar sesama individu atau anggota masyarakat. Adanya
jalinan antar anggota masyarakat disebabkan oleh sesuatu dorongan
yang mempertemukan di antara kedua belah pihak untuk melakukan
sebuah jalinan, atau kerja sama. Jalinan atau kerja sama lahir dari
sebuah kesadaran sebagai makhluk sosial yang memerlukan orang lain.
Setiap manusia sebagai anggota masyarakat mempunyai keterbatasanketerbasan yang berhubungan dengan modal yang yang dimiliki, baik
berkaitan dengan kemampuan, pengalaman, maupun yang ada di luar
dirinya. Dengan keterbatasan itulah membut manusia membuka ruang
untuk bertemu antar individu atau kelompok manusia di dalam
berbagai aktivitas yang dilakukan dan di berbagai lingkungan dengan
24

berbagai tujuan serta pendekatan yang digunakan. Semua tujuan dan
pedekatan yang digunakan bisa terjadi dan berjalan dengan baik
apabila dilandasi dengan sebuah keyakinan yang bernilai kepercayaan.
Secara konsep para ahli pun memberikan gambaran tentang
modal sosial yang terjadi di masyarakat. Putnam (dalam W inter, 2000)
menyebutkan bahwa modal sosial mempunyai tiga pilar utama yaitu
kepercayaan, norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat, serta
jaringan sosial yang terjalin dalam sistem sosial. Tiga pilar utama ini
menjadi tolok ukur dan penentu sebuah jalinan yang terbangun antar
sesama anggota masyarakat ataupun di lingkungan anggota atau kelompok yang lain. Agar jalinan hubungan anggota masyarakat atau kelompok dalam kehidupan sosial bisa tetap berjalan dengan baik dan
bertahan harus tertanam rasa saling percaya yang kuat di antara
sesama, dan memposisikan segala perbedaan di antara sesama dalam
tatanan saling menghargai dan menghormati. Setiap individu dan
masyarakat akan selalu hidup dan berperilaku sesuai kebiasaankebiasaan yang terwujud sebagai ketentuan bersama dan ditaati secara
bersama pula yang disebut sebagai norma, serta nilai-nilai suatu tradisi
dalam kehidupan individu maupun kelompok masyarakat.
Jalinan atau kerja sama dalam kehidupan sosial dengan mengedepankan saling percaya menjadi bagian terpenting untuk menata
ritme hubungan sosial dalam suasana yang baik, terbuka dan awet
(bertahan). Hal mana harus didukung dengan sebuah jaringan yang
terbangun secara baik antar individu maupun kelompok yang terdorong atas kesadaran dan kepentingan bersama dan dilalui pada waktuwaktu sebelumnya. Selanjutnya Bouedieu, Coleman dan Putnam dalam
W inter (2000) mendefinisikan modal sosial dari ranah yang berbedabeda. M enurut Bourdieu dan Coleman, penekanan modal sosial dari
ranah individu, keluarga, dan komunitas, sedangkan Purnam penekanan modal sosialnya dari ranah regional dan nasional yang mana modal
sosial dinilai sebagai pendorong dalam kelembagaan demokrasi dan
pengembangan ekonomi.
Sekalipun para ahli dengan penekanan yang berbeda-beda,
tentang modal sosial, namun dari keseluruhan aktivitas-aktivitas

25

individu atau kelompok di masyarakat akan selalu ada, dan terkait
dengan unsur-unsur atau bagian-bagian dari modal sosial itu sendiri.
Aktivitas yang terjadi di lingkungan serta perkembangannya menjadi
tanggungjawab bersama dan diikat oleh sebuah tradisi yang lahir dari
kebiasaan dan kesepatakan, dan terbangunnya sebuah jaringan
sebelumnya. Hikmat (2001) dalam penelitiannya tentang tradisi
“Rereongan Sarupi” di Jawa Barat, merupakan sebuah modal sosial
yang dimanifestasikan dalam bentuk kerja sama dan gotong-royong
dalam pembangunan sosial; musyawarah dalam memecahkan masalahmasalah kemasyarakatan; saling menolong antar tetangga; dan saling
mengingatkan apabila ada tetangga yang berbuat hal-hal yang merugikan masyarakat. M odal sosial dalam kehidupan bermasyarakat selalu
ada dalam suasana yang berbeda-beda. Perbedaan suasana tersebut
disebabkan oleh cara pandang dan pendekatan yang digunakan oleh
individu mapun kelompok dalam membangun dan menjalankan relasi
dan kerja sama.
Perbedaan suasana modal sosial menurut W oolcock (John Field,
2010) terbagi atas tiga tipe social capital. Tipe pertama, terjadinya
hubungan secara dekat dan mengikat atau bonding social capital yang
berada dalam lingkungan dan situasi yang sama. Hubungan atau relasi
antar individu dalam kelompok ini, seperti keluarga dekat, teman
akrab, rukun tetangga maupun hubungan antar kelompok yang sama
seperti suku, agama, antar golongan dimana kelompok ini akan
memperkuat hubungan di dalam kelompoknya. Tipe kedua terjadinya
hubungan relasi sebagai mitra atau menjembatani bridjing social capital
yang mencakup ikatan atau adanya hubungan yang lebih longgar dari
beberapa orang atau antar kelompok yang berbeda sehingga memperkuat ikatan di antara mereka atau kelompok-kelompoknya seperti
teman jauh atau rekan sekerja. Tipe ketiga terjadinya hubungan relasi
yang menghubungkan linking social capital yang menjangkau orangorang yang berada pada situasi berbeda, seperti mereka yang sepenuhnya ada di luar komunitas, sehingga mendorong anggotanya memanfaatkan banyak sumber daya yang tersedia di dalam komunitasnya,
atau hubungan-hubungan antar individu-individu dan kelompokkelompok dalam strata sosial yang berbeda dalam suatu kehidupan
26

bermasyarakat (struktur).
Buordieu (W inter, 2000) mengatakan, modal sosial dibentuk oleh
adanya jaringan-jaringan, kemudian jaringan-jaringan ini, pada kondisi
tertentu dapat diubah menjadi modal ekonomi dan biasanya secara
kelembagaan terlihat pada kelompok komunitas yang mempunyai
kedudukan sosial tinggi dalam suatu masyarakat. Bourdieu menekankan bahwa modal sosial yang dibentuk oleh jaringan hubungan sosial,
tidak secara alami (natural given) atau begitu saja dalam suatu
masyarakat (social given). M odal sosial merupakan hasil dari investasi
strategi-strategi baik dari tindakan individu maupun kolektif dalam
waktu sesaat atau berkelanjutan yang bertujuan untuk menstabilkan
atau menghasilkan hubungan-hubungan sosial yang secara lansung
berguna, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Penelitian
Brata (2004) di Yogyakarta pada pedagang angkringan menunjukkan
manfaat ekonomis dari modal sosial. M anfaat ekonomis modal sosial
terlihat dari hubungan sosial kekerabatan, yang mana pengalaman
teman ataupun kerabat dekat yang telah menjadi pedagang angkringan
merupakan salah satu faktor pendorong beberapa orang lebih memilih
beralih profesi menjadi pedagang angkringan.
Dimensi modal sosial dalam kehidupan bermasyarakat terjadi
antar individu dan antar kelompok atau sebaliknya, serta di dalam atau
di luar komunitas lebih menekankan pada tujuan memperbaiki kualitas
hidup. Tujuan utama inilah menggerakkan individu maupun kelompok
untuk membuka diri terhadap sesama maupun orang lain dalam rangka
kerja sama dan kebersamaan untuk mencapai tujuan bersama. Agar
kerja sama tetap terjaga dan berada dalam kualitas relasi yang baik
harus didukung oleh nilai-nilai dan norma-norma serta adanya saling
percaya mempercayai.
Dasgupta dan Serageldin (1999) mengatakan, dimensi modal
sosial menekankan pada kebersamaan masyarakat untuk mencapai
kualitas hidupnya, sehingga perlu pengembangan nilai-nilai yang harus
dianut oleh anggotanya, seperti: sikap partisipatif, sikap saling memperhatikan, saling memberi dan menerima, dan saling percaya mempercayai. Dimensi modal sosial menggambarkan segala sesuatu yang

27

membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas
dasar kebersamaan, serta di dalamnya diikat oleh nilai-nilai dan
norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi. Lebih luas Hisbullah (2006)
menjelaskan, modal sosial sebagai suatu hal yang berkaitan dengan
kerja sama dalam masyarakat atau bangsa untuk mencapai kapasitas
hidup yang lebih baik, dan ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang
menjadi unsur-unsur utamanya, seperti rasa saling mempercayai,
ketimbal-balikan, aturan-aturan kolektif dalam suatu masyarakat atau
bangsa dan jenisnya.

I dentitas dan Ketahanan Sosial
Identitas merupakan ciri khas dari setiap individu dan kelompok
dalam satu komunitas masyarakat. Ciri khas menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dan sekaligus menjadi pembeda antar individu maupun
kelompok dalam kehidupan bermasyarakat yang majemuk. Penduduk
lokal atau orang Papua merupakan suatu komunitas masyarakat yang
mempunyai identitas yang berbeda dari komunitas lainnya. Identitas
itu berupa budaya; kepercayaan; cara mempertahankan hidup; dan ciri
fisik maupun wilayah atau tempat dimana suatu kelompok itu
berkembang dan berasal. Dari sinilah setiap individu menyadari bahwa
identitas menjadi bagian terpenting dan sekaligus sebagai alat pemersatu atau sebuah pengikat yang kuat untuk menjamin tetap terpeliharanya kekhasan dalam individu maupun kelompok. Menurut Rex (Habel
Suwae, 2012), etnis adalah suatu predikat terhadap identitas seseorang
atau kelompok atau individu-individu yang menyatukan diri dalam
kolektivitas. Selanjutnya Rex menempatkan identitas sebagai bagian
utama dari suatu etnis atau kelompok sehingga begitu pentingnya
posisi identitas dalam suatu komunitas masyarakat. M enurut M arcia
(1993), identitas diri merupakan komponen penting yang menunjukkan identitas person individu. Semakin baik struktur pemahaman diri
seseorang berkembang, semakin sadar individu akan keunikan dan
kemiripan dengan orang lain. Keunikan dan kemiripan menjadi dua
bagian yang terdapat pada setiap individu baik secara pribadi maupun
secara kelompok. Dari dua sisi inilah akan membentuk dan mem-

28

perkuat suatu etnis atau kelompok dalam kehidupan bermasyarakat
secara luas.
Kondisi dan pemahaman ini tentu ada pada setiap etnis, apabila
masing-masing dari individu mempunyai kesadaran akan kemiripan
maupun keunikan yang dimilikinya. Dengan kesadaran tentang kemiripan dan keunikan menjadi suatu modal utama yang akan melahirkan
sebuah kebersamaan dan kerja sama dalam menjaga dan melakukan
sesuatu untuk melindungi apa yang menjadi bagian dari identitas
etniknya. Adanya perlindungan terhadap identitas etnik apabila
masing-masing diri dan kelompoknya selalu menjaga, menghargai dan
menghidupkan unsur-unsur atau bagian dari identitas yang dimiliki
dalam berbagai lingkungan, situasi dan status. Liliweri (2003) menggolongkan etnik bersifat horizontal dan vertikal. Secara horizontal
etnik didasarkan pada, ras, bahasa daerah, adat istiadat, agama, dan
budaya material. Sedangkan secara vertikal etnik didasarkan pada;
penghasilan, pendidikan, pemukiman, pekerjaan, dan kedudukan sosial
politik.
Pada penggolongan secara vertikal identitas suatu etnik akan
lebih nampak dan kuat, atau sebaliknya mengalami pegeseran dan
menjadi lemah. Di sinilah identitas etnik memiliki peran penting
dalam percaturan antar etnis dalam kehidupan sosial yang multi etnik.
Pada suasana inilah terjadi ruang prasangka antar etnis yang melahirkan perbedaan berpikir. Sebagaimana M artin dan Nakayama (2008)
mengatakan, konflik (prasangka) dapat muncul ketika terdapat perbedaan yang tajam antara apa yang kita pikirkan tentang diri kita dan
yang orang lain pikirkan tentan diri kita. Dari dua sudut berpikir yang
berbeda tentang suatu etnis ini akan memunculkan hasil yang berbeda
pula terhadap posisi suatu etnis. Pemikiran yang muncul dari dalam
tentang diri kita sebagai pemilik identitas tersebut tentu memunculkan
pemikiran bahwa kitalah yang lebih baik dan melihat orang lain di luar
kita adalah menjadi ancaman. Sedangkan pemikiran yang muncul dari
luar tentang diri kita, akan memunculkan pemikiran tentang kekurangan dan kelebihan yang ada pada diri dan identitas kita.

29

Liliweri (2003) mengatakan bahwa, prasangka tersebut disebabkan oleh:
Pertama, kecenderungan berprasangka dengan orang yang
bersaing dengan kita, apalagi ia berasal dari kelompok etnik lain;
Kedua, sikap etnosentrisme, yaitu cenderung mempengaruhi
pandangan bahwa orang luar kelompok etnik lebih buruk dari
orang dalam kelompok etnik ; Ketiga, menilai orang yang tidak
dikenal dengan stereotip, walaupun stereotip tersebut tidak
penuhnya benar, namun tetap menjadi dasar penilaian yang
mudah digunakan; Keempat, cenderung menetapkan jarak sosial
dan diskriminasi antar orang dalam dan luar etnik; Kelima,
menggeneralisasi kelompok lain berdasarkan pengalaman terhadap beberapa indvidu; Keenam, tuntutan kemajuan pembangunan; misalnya modernisasi, pendidikan, kesehatan, ilmu
pengetahuan dan teknologi yang menuntut kualifikasi Sumber
Daya Manusia (SDM) yang profesional sehingga menggeser
kelompok etnik tertentu. Munculnya berbagai prasangka
merupakan konsekwensi dari tatanan kehidupan masyarakat
yang multi etnik.

Identitas etnis semakin kuat apabila diperhadapkan pada suatu
suasana yang tidak menguntungkan atau berada pada tekanan dan
perlakuan yang tidak adil, baik secara ekonomi maupun politik.
Kondisi tersebut akan menimbulkan idealisme dan nasionalisme
identitas etniknya. Chauvel (2005) dalam penelitiannya di Papua
mengungkapkan ada empat faktor penting yang membentuk nasionalisme ke Papua-an:
Pertama, sebagian Papua berbagai kekecewaan sejarah yang
tanah airnya diintegrasikan dengan Indonesia; Kedua, elit Papua
merasakan sebuah persaingan dengan pejabat-pejabat Indonesia
yang telah mendominasi pemerintahan sejak priode Belanda;
Ketiga, pembangunan ekonomi dan pemerintahan di Papua
melanjutkan sense ofdifference (perasaan berbeda); Keempat,
banyaknya pendatang dari luar Papua yang memperbesar perasaan bahwa orang Papua dimarginalisasi.

Kondisi marginalisasi orang Papua dalam ruang-ruang potensi dan
peluang kehidupan ditanahnya sendiri telah ada dan terjadi sejak
perjalanan sejarah status Papua secara kewilayaan dalam tatanan
Negara Indonesia. M arginalisasi terhadap orang Papua hampir pada
semua aspek kehidupan dan potensi yang dimilikinya, menjadi modal
30

dan peluang untuk perbaikan kehidupannya secara bernilai dan
bermartabat dalam tataran pribadi, keluarga serta bermasyarakat.
Harapan itu pun tidak dirasakan secara keseluruhan dan maksimal
dalam kehidupan orang Papua. Kondisi kecewaan yang nyata dan
dialami tersebut disebabkan peranan pemerintah dengan kebijakan
yang bermuatan politis yang lebih mementingkan kepentingannya
dengan mengutamakan banyak peluang diluar orang Papua pada posisi
pemegang kebijakan pemerintahan Papua saat itu.
Selain itu kehadiran migran dari berbagai etnis dengan orientasi
perbaikan kehidupan dan ekonomi yang terjadi sejak dulu telah
menambah dan memperkuat perasaan marginalisasi orang Papua
dilingkungan dan kehidupannya. Dengan berbagai akumulasi
kenyataan itulah menumbuhkan dan memperkuat idialisme dan
nasionalisme orang Papua sebagai etnis dengan identitasnya yang
tumbuh dan berkembang pada ruang dan potensi diatas tanah dengan
segala latarbelakangnya. Identitas yang merupakan segalanya
memberikan kemampuan dan peluang bagi orang Papua untuk
berkesempatan menata dan memperbaiki segala kekurangannya dalam
mempertahangkan identitas dan keberlanjutan masa depannya
diberbagai peluang dan kesempatan. Namun peluang dan kesempatan
itu pun hanya menjadi harapan dan kekecewaan, karena masih
diperhadapkan dengan persoalan yang sama dan sudah menjadi bagian
dari kehidupan orang Papua.

31